• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 13

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 13"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

iii

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

JILID 13

OLEH

Pane

mBah

an

Man

daraka

Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta

Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas

(4)

iv

Cerita ini ditulis

Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa

Yang telah menggali cerita

Dari bumi yang tercinta

Walaupun yang disajikan ini jauh dari sempurna

Tak ada maksud untuk meniru Sang Pujangga

Hanyalah kecintaan akan sebuah karya

Untuk dilestarikan sepanjang masa

Sekar keluwih, April 2019

Terima kasih atas dukungan: Istri dan anak-anak tercinta Serta handai taulan semua

(5)

1

TIBA-TIBA tampak wajah Ki Waskita menjadi bersungguh-sungguh. Setelah menarik nafas panjang terlebih dahulu, barulah Ki Waskita kemudian menjawab dengan suara pelan namun penuh tekanan.

“Baiklah,” berkata Ki Waskita kemudian sambil beringsut setapak dari tempat duduknya, “Kita ini ibaratnya memang seperti saudara sekandung, namun bagaimanapun juga aku harus mengemban amanah yang telah dibebankan di pundakku oleh

orang berkerudung itu.”

Sejenak Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan saling berpandangan. Mereka berdua belum dapat menerka ke arah mana pembicaraan ayah Rudita itu.

“Maksud Ki Waskita?” sela Ki Bango Lamatan kemudian dengan nada sedikit tidak sabar.

Kembali Ki Waskita menarik nafas panjang. Jawabnya kemudian, “Memang benar bahwa pertemuanku dengan orang berkerudung di bawah pohon sadeng itu telah membuka jati diri orang tersebut dengan sangat jelasnya. Aku mengenal dia sebagaimana dia juga mengenal aku,” Ki Waskita berhenti sejenak untuk sekedar membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi kering. Lanjutnya kemudian, “Namun ada satu hal yang aku tidak mampu untuk mengkhianati sebuah janji. Apapun alasannya, aku akan tetap memegang teguh sebuah janji, walaupun harus nyawa sebagai taruhannya.”

(6)

2

“Ah!” hampir bersamaan kedua orang tua itu tertawa

pendek.

“Rasa-rasanya aku seperti sedang mendengarkan kisah asmara Panji Asmorobangun dengan Dewi Sekartaji,” sahut Ki Jayaraga di

antara tawanya.

“Tentu tidak, Ki,” sela Ki Waskita cepat begitu melihat Ki

Bango Lamatan terlihat akan membuka mulutnya, “Aku

berkata sebenarnya. Orang berkerudung itu telah mewanti-wanti kepadaku untuk tidak membuka jati dirinya kepada siapapun, kecuali.”

Tiba-tiba Ki Waskita menghentikan ucapannya sehingga membuat kedua orang tua itu menjadi heran dan diliputi oleh rasa penasaran.

“Kecuali siapa Ki?” desak kedua orang itu bersamaan dengan nada yang tidak sabar.

Setelah kembali menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang tiba-tiba saja menjadi pepat, Ki Waskita pun kemudian menjawab dengan suara perlahan namun sangat jelas terdengar di telinga kedua orang tua itu,

“Kecuali kepada calon pewaris tahta Mataram Raden Mas Rangsang.”

“He?!,” hampir bersamaan kedua orang tua itu berseru tertahan. Sejenak kemudian tampak kedua orang tua itu saling berpandangan dengan kerut merut di dahi.

“Apakah dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa orang berkerudung itu ada hubungan yang erat dengan Raden Mas Rangsang?” bertanya Ki Bango Lamatan kemudian setelah mereka sejenak terdiam.

“Mungkin, itu sangat mungkin, Ki,” desis Ki Jayaraga sambil memandang tajam ke arah Ki Waskita sambil memiringkan tubuhnya.

Namun ternyata Ki Waskita justru telah membuang pandangannya ke langit-langit bilik yang tampak kusam.

(7)

3

“Ki Waskita,” desak Ki Jayaraga kemudian, “Apakah Ki Waskita dapat memberi sedikit pencerahan hubungan antara orang berkerudung itu dengan Raden Mas Rangsang?”

Ki Waskita menarik nafas panjang sebelum menjawab. Setelah memandang kedua orang tua itu ganti berganti, barulah

dia menjawab, “Ada atau tidak ada hubungan antara orang berkerudung itu dengan Raden Mas Rangsang, aku kira tidak perlu

dibahas terlalu mendalam.”

“Ah!” desah kedua orang itu hampir bersamaan. Ki Jayaraga

pun tanpa sadar telah kembali tidur menelentang sambil menatap langit-langit yang terbuat dari anyaman bambu yang sangat kasar dan terlihat sedikit kotor.

“Ki Waskita telah membawa kita ke dunia teka-teki yang tak

berkesudahan,” desis Ki Jayaraga kemudian sambil pandangannya

tetap menatap langit-langit, “Aku secara pribadi sebenarnya sudah

mempunyai sebuah nama yang dapat aku jadikan dasar untuk menebak siapakah sebenarnya orang berkerudung itu.”

Ki Bango Lamatan yang duduk di ujung amben itu pun ikut

berdesis, “Aku juga, Ki. Mungkin dugaan kita jatuh pada orang

yang sama, namun tidak menutup kemungkinan dugaan kita pun

akan berbeda.”

“Silahkah saja kalian berdua menebak menurut penalaran

kalian masing-masing,” sahut Ki Waskita cepat, “Namun yang aku

harapkan, simpan saja nama itu untuk kalian sendiri. Aku sudah

disumpah untuk tidak menyebut sebuah nama pun.”

“Bagaimana dengan ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh orang

berkerudung itu, Ki?” sela Ki Jayaraga sambil kembali memiringkan tubuhnya menghadap ke arah ayah Rudita itu,

“Bukankah menyebut ciri-ciri kewadagan tidak dilarang? Misalnya cara berpakainnya ataupun senjata khusus yang dimilikinya serta tentu saja bentuk tubuh orang berkerudung itu sendiri.”

“Aku kira untuk bentuk tubuh dan ciri-ciri kewadagan orang berkerudung itu Ki Bango Lamatan sudah cukup paham. Dia

(8)

4

bersamaku sepanjang malam mengejar orang aneh itu,” jawab Ki Waskita dengan serta merta.

“Tentu tidak, Ki,” sela Ki Bango Lamatan cepat, “Jarak antara

kita dengan orang berkerudung itu cukup jauh dan terlihat dia selalu berusaha menyamarkan dirinya, baik dalam tingkah laku, suara maupun wajah yang tertutup secarik kain dan kepala yang

berkerudung hitam.”

“Tetapi bukankah Ki Bango Lamatan telah melihat sendiri bentuk kewadagan orang itu? Tinggi besarkah atau pendek dan

sebagainya,” Ki Waskita cepat menanggapi ucapan Ki Bango

Lamatan.

“Engkau benar, Ki,” kembali Ki Bango Lamatan menyahut, “Namun bukankah Ki Waskita telah diijinkan untuk bertemu

dengannya pada jarak yang sangat dekat?” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dan juga Ki Waskita

tadi mengatakan bahwa Ki Waskita benar-benar mengenal orang itu sebagaimana orang berkerudung itu mengenal Ki Waskita. Nah, jika Ki Waskita tidak berkeberatan, sebutkanlah ciri-ciri khusus yang dimiliki orang berkerudung itu. Kami berdua tidak menuntut Ki Waskita untuk menyebut sebuah nama, namun dengan menyebut sebuah ciri khusus yang terdapat pada diri orang berkerudung itu, kami berdua akan mendapat ancar-ancar yang jelas untuk mengetahui jati diri

orang itu.”

Namun ternyata jawaban Ki Waskita sangat mengejutkan kedua orang tua itu.

Sambil menggeleng lemah dan tersenyum masam, Ki

Waskita pun kemudian menjawab, “Itu aku rasa tidak perlu, Ki. Biarlah kalian berdua menebak pada nama yang sama ataupun berbeda, itu tidak akan bermasalah. Tetaplah pada tebakan kalian masing-masing. Waktulah nanti yang akan

membuktikan.”

Kedua orang tua itu sejenak terdiam sambil menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Waskita masih tetap pada

(9)

5

pendiriannya untuk tidak membuka jati diri orang berkerudung itu. Berbagai dugaan pun hilir mudik dalam benak mereka. Namun sesungguhnya, mereka berdua walaupun tidak terucapkan telah menebak sebuah nama, terutama Ki Jayaraga.

“Nah,” berkata Ki Waskita kemudian begitu melihat kedua sahabatnya itu sepertinya telah dapat menerima penjelasan serta alasan-alasan yang dikemukakannya, “Aku kira penjelasanku

tentang orang berkerudung itu sudah cukup. Aku tidak perlu mengungkap jati diri orang berkerudung itu dengan sebenar-benarnya. Aku juga tidak perlu menyebut sebuah nama ataupun gelar. Kalian berdua bebas untuk menebaknya.”

“Ki Waskita,”” tiba-tiba Ki Bango Lamatan menyela,

“Sebenarnyalah aku tidak mempunyai gambaran yang pasti

tentang orang berkerudung itu,” Ki Bango Lamatan berhenti

sejenak untuk sekedar menarik nafas. Lanjutnya kemudian,

“Namun menurut panggraitaku, orang berkerudung itu pasti dari

golongan angkatan tua yang masih tersisa dengan kemampuan ilmu yang ngedab-edabi. Aku kira hanya tinggal beberapa orang

saja saat ini.”

“Sejauh manakah Ki Bango Lamatan mengenal golongan yang disebut angkatan tua itu?” sahut Ki Jayaraga kemudian. Sementara Ki Waskita hanya dapat menahan nafas mendengar pertanyaan Ki Jayaraga.

Sejenak Ki Bango Lamatan termenung. Berbagai kenangan hilir mudik dalam benaknya. Kenangan masa-masa muda yang penuh dengan tantangan namun mengandung harapan setinggi langit.

“Bagaimana Ki Bango Lamatan?” desak Ki Jayaraga membangunkan lamunan orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu.

Ki Bango Lamatan tersenyum mendengar pertanyaan Ki Jayaraga yang terkesan sedikit penasaran. Sambil tetap tersenyum Ki Bango Lamatan pun kemudian menjawab, “Sampai saat ini, aku masih mengenal beberapa orang yang dapat dikatakan sebagai golongan angkatan tua itu.”

(10)

6

Hampir bersamaan Ki Waskita dan Ki Jayaraga mengerutkan kening mereka dalam-dalam. Ki Waskita lah yang

kemudian mengajukan pertanyaan, “Siapakah yang Ki Bango

Lamatan maksud?”

Kembali Ki Bango Lamatan tersenyum penuh arti. Jawabnya

kemudian, “Di antara golongan angkatan tua yang masih ada itu sekarang ada di sini, walaupun sudah cukup sepuh, akan tetapi masih menyimpan ilmu yang pilih tanding dan dahsyat tiada

taranya.”

Kembali kedua orang tua itu mengerutkan keningnya. Namun Ki Jayaraga yang memang senang bergurau itu

akhirnya menimpali, “Ya, aku juga mengenali mereka. Salah

satunya sekarang sudah benar-benar tua bangka. Tergeletak di atas amben tak berdaya. Dengan penyakit tua yang mulai menggerogoti usianya. Tinggal menunggu kapan waktunya tiba.

Dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa.”

“Ah!” Ki Bango Lamatan dan Ki Waskita pun tidak mampu

menahan tawa mereka.

“Lain halnya dengan Ki Waskita,” lanjut Ki Jayaraga

kemudian sambil memandang Ki Waskita dengan sebuah

senyuman yang menggoda, “Ki Waskita adalah salah satu

angkatan tua yang sampai sekarang masih mampu menjaga kebugaran tubuhnya. Itu terbukti di usianya yang sudah senja, masih mampu mengawini dan membahagiakan seorang janda.”

“Ah!” kali ini tawa ketiga orang tua itu begitu kerasnya

sehingga sampai terdengar di regol depan banjar padukuhan induk.

Para pengawal yang sedang bertugas jaga pun menjadi saling pandang sejenak. Namun merekapun segera tersenyum sambil mengangguk-angguk.

“Orang-orang aneh,” salah satu pengawal menyelutuk, “Bukannya tidur, mereka malah bergurau. Apakah orang-orang tua itu tidak merasa lelah atau mengantuk setelah berkeliaran

(11)

7

“Tentu tidak,” seorang yang berperawakan kurus menyahut,

“Mereka orang-orang luar biasa. Tentu mereka sudah kalis dari segala rasa payah dan kantuk yang biasa menghinggapi

orang-orang kebanyakan seperti kita ini.”

Pengawal yang lain tidak menanggapi. Namun tampak kepala mereka saja yang terangguk-angguk.

Namun tiba-tiba seorang pengawal yang lain berdesis perlahan,

“Tentu mereka sedang mengenang masa-masa muda mereka yang gemilang. Menjelajahi Tanah ini dari ujung ke ujung. Dengan berbekal kemampuan ilmu yang tinggi, memungkinkan mereka untuk berbuat apa saja menurut sekehendak hati mereka.”

“Ah, tentu tidak,” pengawal yang berperawakan kurus itu kembali menyahut, “Mereka tentu berasal dari perguruan yang

beraliran putih. Pantang bagi mereka untuk berbuat sewenang wenang dengan mengandalkan ketinggian ilmu mereka. Aku justru yakin mereka itu orang-orang yang senang tapa ngrame, mendarma baktikan ilmu mereka kepada sesama dengan tanpa pamrih. Sehingga apa yang telah mereka perbuat di masa lalu, masih dapat kita rasakan sampai saat ini.”

“Engkau benar,” sela pemimpin pengawal jaga yang bertubuh

tinggi besar dan sedikit berewokan, “Mereka telah membantu

Perdikan Matesih menghancurkan Padepokan Sapta Dhahana. Mereka membantu kita benar-benar dengan tanpa pamrih. Itu terlihat dari cara mereka bersikap dan berbicara kepada kita. Mereka orang-orang yang berilmu tinggi dan sangat berjasa terhadap Perdikan Matesih. Namun mereka berbicara dan bersikap kepada kita sebagaimana apa adanya. Tidak mau menunjukkan bahwa mereka mempunyai kelebihan dari kita, baik dari segi kemampuan maupun jasa yang telah mereka perbuat.”

Kembali tampak kepala para pengawal jaga itu terangguk-angguk. Dalam hati, mereka tak henti-hentinya mengagumi sepak terjang orang-orang tua itu.

Dalam pada itu, di dalam bilik banjar padukuhan induk, ketiga orang tua itu ternyata masih meneruskan perbincangan mereka.

(12)

8

“Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Jayaraga kemudian setelah tawa mereka mereda, “Apakah Ki Bango Lamatan mengenal juga guru Ki Rangga Agung Sedayu, Kiai Gringsing atau yang lebih dikenal sebagai orang bercambuk? Beliau adalah salah satu angkatan tua yang sudah meninggalkan kita. Namun kedahsyatan ilmunya sampai sekarang masih dikenang. Pada saat terjadi perang tanding antara orang bercambuk melawan orang yang disebut Kakang Panji, sebuah nama yang selalu membayangi pemerintahan Pajang pada waktu itu, mereka berdua telah mengeluarkan berbagai jenis ilmu yang saat ini sudah sangat jarang kita temui.”

Ki Waskita yang mendengar pertanyaan guru Glagah Putih itu tampak terkejut. Namun dengan cepat segera dihapusnya kesan itu dari wajahnya. Sedangkan Ki Bango Lamatan tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam.

Setelah terlebih dahulu menarik nafas panjang, barulah Ki Bango Lamatan kemudian menjawab sambil menggelengkan

kepalanya, “Aku tidak mengenal kehidupan pribadinya secara utuh. Aku hanya mendengar kedahsyatan ilmunya yang disadap dari sebuah perguruan yang pernah berjaya di masa akhir kerajaan Majapahit. Itu pun menurut penuturan Kecruk Putih yang bergelar Panembahan Cahya Warastra,” Ki Bango Lamatan berhenti sebentar untuk sekedar menarik nafas.

Lanjutnya kemudian, “Namun kedahsyatan ilmunya itu telah

aku rasakan sendiri walaupun secara tidak langsung.”

Hampir bersamaan Ki Waskita dan Ki Jayaraga mengerutkan kening mereka dalam-dalam. Bertanya Ki Jayaraga kemudian, “Maksud Ki Bango Lamatan?”

Ki Bango Lamatan menarik nafas panjang terlebih dahulu untuk meredakan dadanya yang tiba-tiba saja terasa pepat. Kenangan pahit itu memang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidupnya.

“Pada awalnya aku mendapat tugas dari Panembahan Cahya Warastra atau Kecruk Putih untuk menemui dan sekaligus membujuk orang bercambuk itu agar bersedia bergabung

(13)

9

dengannya, atau setidak-tidaknya tidak berpihak atau mengambil peran baik kepada Mataram maupun Madiun,” jawab Ki Bango Lamatan kemudian memulai ceritanya.

“Kecruk Putih yang mana? Yang terbunuh oleh Ki Patih

Mandaraka ataukah saudara kembarnya yang mampu mateg aji Brahala Wuru namun yang mampu dijinakkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu?” Ki Waskita yang beberapa saat hanya diam saja kemudian dengan serta merta menyahut.

Ki Bango Lamatan tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Ki Waskita. Berbagai kenangan dengan saudara kembar Panembahan Cahya Warastra itupun melintas sekilas dalam benaknya.

“Tentu saja Kecruk Putih yang sebenarnya, Ki,” jawab Ki Bango

Lamatan kemudian, “Saudara kembar Kecruk Putih itu tidak begitu mengenal keadaan di tanah Jawa ini. Waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu jauh di tanah seberang.”

Hampir bersamaan kepala kedua orang tua itu terangguk-angguk. Sejenak kemudian suasana menjadi sepi. Ketiga orang tua itu pun tampaknya sedang terombang-ambing oleh kenangan masa lalu yang mengasyikkan.

“Bagaimana cerita selanjutnya, Ki? Apakah Ki Bango Lamatan

berhasil menjumpai orang bercambuk itu?” bertanya Ki Jayaraga

kemudian memecah kesepian.

“Ya, aku berhasil menjumpainya di tepian kali Opak,” jawab Ki

Bango Lamatan sambil menganggukkan kepalanya.

“Apa jawab orang bercambuk itu, Ki?” desak Ki Jayaraga yang terlihat sangat penasaran itu.

Kembali Ki Bango Lamatan menarik nafas panjang. Ada segores luka yang masih membekas di jantungnya walaupun kini luka itu telah sembuh berkat nasihat dan petunjuk tentang kawruh kehidupan dari Ki Ajar Mintaraga. Namun bekas luka itu tidak akan pernah hilang sepanjang hayat masing dikandung badan.

(14)

10

“Bagaimana, Ki?” kembali terdengar Ki Jayaraga mengajukan sebuah pertanyaan begitu dilihatnya Ki Bango Lamatan justru termenung sejenak.

Ki Bango Lamatan tersenyum mendengar pertanyaan orang yang pernah malang melintang dalam bayang-bayang kehidupan

kelam itu. Jawabnya kemudian, “Aku terlalu yakin dengan

kemampuanku dan menganggap kemampuan orang bercambuk itu masih selapis di bawahku. Walaupun sebenarnya sebelum berangkat menunaikan tugas, Panembahan Cahya Warastra telah mewanti-wanti jangan

sampai aku melukai hatinya ataupun membuatnya gusar.”

Kembali kedua orang tua itu tampak mengerutkan kening mereka dalam-dalam. Dalam hati mereka berdua menduga bahwa Ki Bango Lamatan tentu telah membuat Kiai Gringsing itu tersinggung dan dengan ilmunya yang sangat tinggi telah mengusir Ki Bango Lamatan.

“Apakah orang bercambuk itu kemudian menjadi tersinggung dan mengusir Ki Bango Lamatan?” akhirnya

pertanyaan yang menggumpal dalam dada Ki Jayaraga itu pun terlontar keluar.

Namun jawaban Ki Bango Lamatan justru telah membuat kedua orang itu terheran-heran.

Sambil menggeleng lemah, Ki Bango Lamatan pun kemudian menjawab, “Tidak, Ki. Orang bercambuk itu tidak

berbuat apa-apa kepadaku. Justru muridnya yang bernama Agung Sedayu itulah yang telah mampu mematahkan

kesombonganku selama ini.”

“He?!” serentak kedua orang itu pun berseru tertahan

dengan nada penuh keheranan.

Untuk sejenak bilik di ruang dalam banjar padukuhan itu menjadi sunyi. Ki Waskita dan Ki Jayaraga benar-benar tidak habis mengerti. Ki Bango Lamatan dapat dikatakan termasuk golongan angkatan tua pada saat itu, walaupun tentu saja belum dapat disejajarkan dengan Kiai Gringsing. Namun penjelasan

(15)

11

Ki Bango Lamatan yang baru saja mereka dengar benar-benar di luar nalar.

“Seingatku sebelum pecah perang antara Mataram dengan Madiun kemampuan Angger Agung Sedayu belum menyamai gurunya, walaupun sudah dapat dikatakan jarang ada

tandingannya,” berkata Ki Waskita kemudian perlahan seolah

ditujukan kepada dirinya sendiri.

“Ada satu kelebihan yang dimiliki oleh Ki Rangga Agung Sedayu,” tiba-tiba saja Ki Bango Lamatan menyela, “Selain

berilmu tinggi, Ki Rangga selalu menggunakan otaknya dalam mengatasi setiap permasalahan yang timbul, baik dalam

pertempuan maupun di luar pertempuran.”

“Ki Bango Lamatan benar,” sahut Ki Jayaraga dengan serta merta. Sedangkan Ki Waskita hanya mengangguk-anggukkan kepalanya karena Ki Waskita sudah membuktikan sendiri. Betapa kemampuan otak Ki Rangga memang sangat cemerlang. Hanya dalam waktu semalam mampu menghafal isi kitab peninggalan perguruan Ki Waskita yang dipinjamkan kepadanya.

“Jarang ada yang memiliki kemampuan seperti itu,” berkata Ki

Waskita dalam hati, “Pada awalnya aku mengira Angger Agung Sedayu hanya akan membaca dan menghafal salah satu dari sekian banyak jenis ilmu yang terdapat dalam kitab itu. Namun ternyata dia justru membaca dan menghafal seluruh isi kitab itu dan memahatkannya di dinding-dinding hatinya untuk di kemudian hari, satu persatu dipelajari dan ditekuninya sampai tuntas.”

“Ah, sudahlah,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil menggeliat dan menjelujurkan kedua kakinya di amben bambu tempat tidurnya, “Mengenang masa lalu tentu tak akan ada habis-habisnya. Biarlah masa lalu tetap menjadi kenangan, sedangkan

masa depan adalah harapan,” Ki Jayaraga berhenti sejenak.

Kemudian sambil memejamkan kedua matanya dan menyilangkan

kedua tangannya di dada dia melanjutkan, “Aku tadi sebenarnya sudah begitu penat menunggu kedatangan kalian berdua. Sekarang aku akan melanjutkan mimpiku yang sempat terputus. Masih cukup waktu untuk sekedar memejamkan mata,” kembali

(16)

12

Ki Jayaraga berhenti sejenak. Setelah menguap lebar-lebar dan menutupinya dengan salah satu tangannya, Ki Jayaraga pun kemudian melanjutkan kata-katanya kembali, “Biarlah orang

berkerudung itu tetap menjadi rahasia Ki Waskita”

Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan tersenyum mendengar kata-kata guru Glagah Putih itu. Sahut Ki Waskita kemudian,

“O, silahkan Ki. Semoga masih bisa mimpi indah di sisa malam ini. Siapa tahu, di alam mimpi nanti Ki Jayaraga akan bertemu dengan orang berkerudung itu.”

“Ah!” Ki Jayaraga yang sudah memejamkan kedua matanya

itu masih sempat tertawa pendek. Sementara Ki Bango Lamatan hanya tersenyum kecut.

“Tapi aku tidak akan mengejarnya,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil tetap memejamkan matanya, “Aku akan

berusaha sekuat tenaga untuk membujuknya agar dengan suka

rela dia mau membuka kerudungnya.”

Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan berpandangan sejenak mendengar gurauan Ki Jayaraga. Namun Ki Waskita lah yang

kemudian bertanya, “Tapi bagaimana jika setelah membuka kerudungnya, ternyata dia seorang perempuan yang masih

muda dan sangat cantik?”

“Aku akan mengawininya,” sahut Ki Jayaraga acuh sambil memutar tubuhnya menghadap dinding.

“Ah!” tawa kedua orang tua itupun meledak sehingga

terdengar kembali sampai di regol depan banjar padukuhan induk.

“Ah, sudahlah,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil tetap menghadap dinding, “Bagaimana aku bisa bermimpi jika kalian

tetap saja mengajakku berbicara.”

Kedua orang tua itu tersenyum. Berkata Ki Waskita kemudian, “Baiklah Ki Jayaraga, kami berdua juga akan

(17)

13

“Silahkan, silahkan,” sahut Ki Jayaraga hampir tak terdengar di

antara suara desah nafasnya yang mulai terdengar dalam irama pelan dan teratur.

Kedua orang tua itu sejenak masih saling berpandangan. Namun setelah Ki Waskita memberi isyarat kepada Ki Bango Lamatan, kedua orang tua itupun dengan perlahan segera beranjak dari tempat duduk mereka.

“Aku akan tidur sampai Matahari naik sepenggalah,” desis Ki Waskita kemudian sambil berjalan menuju pembaringannya.

Ki Bango Lamatan tidak menanggapi. Setelah menguap lebar-lebar dia pun segera menjatuhkan dirinya di amben bambu sebelah Ki Waskita. Terdengar amben bambu itu berderak-derak tertimpa tubuh Ki Bango Lamatan yang tinggi besar.

Ki Jayaraga yang terlihat mulai terlelap itu memang sempat membuka kedua matanya sekejap mendengar suara amben bambu yang berderak-derak. Namun selanjutnya guru Glagah Putih itu pun sudah kembali memejamkan kedua matanya dan terbuai dalam alam mimpi.

Dalam pada itu, langit sebelah timur mulai terlihat bayangan cerah sinar Matahari pagi yang perlahan tapi pasti menjenguk cakrawala. Suasana alam yang semula diliputi kegelapan perlahan menjadi terang. Burung-burung pun mulai berkicau bersahut sahutan di dahan-dahan pepohonan yang rendah. Sementara sekelompok tupai tampak berloncat-loncatan dari dahan ke dahan sambil memperdengarkan lengkingan-lengkingan merdu mereka seakan menyambut sinar Matahari yang pertama kali menyentuh bumi.

Di kediaman Ki Gede Matesih, tampak Ratri dengan tergesa-gesa keluar dari biliknya. Sejenak dipandanginya ruang tengah yang luas itu untuk beberapa saat. Rasa-rasanya dia menangkap sebuah getaran yang aneh yang menyelinap ke dalam lubuk hatinya.

“Aneh,” berkata Ratri kemudian dalam hati sambil mengedarkan pandangan matanya ke seluruh ruangan,

(18)

14

“Sepertinya aku merasakan sesuatu yang kurang dalam ruang

tengah ini. Tapi aku tidak tahu apakah itu?”

Untuk beberapa saat Ratri masih berdiri termangu-mangu. Dikerahkan seluruh daya ingatnya untuk mencoba menjawab pertanyaan dalam hatinya itu.

“Mengapa ruangan ini terasa asing bagiku?” pertanyaan itu hilir mudik dalam benaknya, “Sepertinya aku tidak melihat

sesuatu yang biasanya aku lihat setiap pagi di ruangan ini.”

Tiba-tiba Ratri bagaikan terbangun dari sebuah mimpi buruk. Bayangan seseorang yang sudah sangat dikenalnya melintas cepat dalam benaknya.

“Mbok Pariyem?!” seru Ratri tiba-tiba dengan suara sedikit

tertahan, “Ya, Mbok Pariyem. Setiap pagi Mbok Pariyem selalu membersihkan ruangan ini. Setelah aku terbangun dan keluar bilik, Mbok Pariyem selalu menyambutku dengan sebuah senyuman sambil memandangku dengan pandangan yang penuh kasih sayang.”

Berpikir sampai disitu, Ratri segera bergegas melintasi ruang tengah menuju ke pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur.

“Mungkin Mbok Pariyem bangun kesiangan,” desis Ratri dalam hati sambil mempercepat langkahnya, “Semalam mungkin dia terlalu lelah dan letih mencari aku yang menghilang, sehingga sampai saat ini mungkin dia belum bangun. Aku akan ke biliknya.”

Ketika Ratri kemudian sampai di depan pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur, segera saja jari-jari yang lentik itu membuka pintu.

Namun alangkah terkejutnya anak gadis satu-satu Ki Gede Matesih itu. Di tengah-tengah dapur yang cukup luas itu, beberapa pembantu perempuan Ki Gede tampak sedang duduk dengan gelisah di atas amben yang cukup besar. Begitu mereka melihat Ratri tiba-tiba saja muncul dari balik pintu, serentak

(19)

15

mereka segera berdiri dan kemudian dengan tergesa-gesa menghambur ke arahnya.

“Nimas Ratri, di manakah Mbok Pariyem?” bertanya salah

seorang yang bertubuh gemuk sesampainya di depan Ratri.

“Ya nduk. Di mana Mbok Pariyem? Kami tidak tahu harus berbuat apa tanpa ada perintah dari Mbok Pariyem,” sela

perempuan yang berbadan kekurus-kurusan.

“Ya, ya. Kami sedari tadi belum melihatnya,” seorang perempuan parobaya menyahut, “Aku sudah mencoba melongok

di biliknya. Tapi biliknya kosong.”

“Geledeg di biliknya pun kosong, tidak ada selembar pakaian

Mbok Pariyem yang tersisa,” kembali yang lain menyahut.

“Jangan-jangan dia sengaja meninggalkan rumah Ki Gede,” timpal yang lain, “Tapi mengapa dia pergi tanpa pesan? Terutama

kepada kita yang telah bersama-sama ikut membantu rumah tangga Ki Gede ini?”

Pertanyaan bertubi-tubi dari para perempuan pembantu rumah Ki Gede itu benar-benar membuat Ratri bagaikan membeku di tempatnya. Berbagai perasaan bergolak dalam dadanya. Apa yang disampaikan perempuan-perempuan itu benar-benar telah membekukan jantungnya.

“Mbok Pariyem...?” desah Ratri tanpa sadar dengan suara yang lirih dan bergetar. Hanya kata-kata itu yang terucap dari bibir mungil memerah delima itu. Selanjutnya pandangan matanya pun mulai berkunang-kunang. Ketika sebuah desah kembali terdengar dari bibir mungilnya, tubuhnya pun limbung ke samping.

Jika saja salah satu perempuan pembantu Ki Gede yang berdiri paling dekat tidak segera memeluknya, tentu tubuh Ratri sudah terjatuh di lantai dapur.

“Nimas Ratrii...!!” serentak perempuan-perempuan pembantu Ki Gede Matesih itupun menjerit keras sambil berusaha meraih tubuh Ratri yang limbung dalam pelukan salah satu dari mereka.

(20)

16

“Nduk, sadar. Nduk... nyebut… nyebut!” beberapa

perempuan itu tampak berusaha membisikkan doa-doa ke telinga Ratri. Sementara yang lainnya dengan susah payah berusaha membopong Ratri dan membaringkannya di amben besar yang terletak di tengah-tengah ruangan dapur.

Beberapa orang segera memijit-mijit telapak kaki dan pelipis putri satu-satunya Ki Gede Matesih itu. Sedangkan yang lain telah mengambil minyak kelapa yang masih baru dan kemudian dicampur dengan bawang merah yang telah dilumatkan terlebih dahulu.

“Bawalah kesini,” pinta seorang perempuan parobaya

meminta minyak kelapa yang telah dicampur dengan lumatan bawang merah itu.

Seseorang segera mengangsurkan sebuah mangkuk yang berisi ramuan minyak kelapa dan bawang merah. Dengan cekatan perempuan parobaya itupun kemudian mengoleskan ramuan itu ke pelipis dan telapak kaki Ratri. Sementara perempuan-perempuan pembantu rumah Ki Gede yang lain segera ikut merubung dan membantu memijit-mijit kaki, tangan serta pundak Ratri.

“Pergilah ke regol depan,” tiba-tiba perempuan parobaya itu menghentikan pijitannya dan menoleh ke arah perempuan

yang duduk di sebelahnya, “Beritahu pengawal yang sedang

jaga untuk melaporkan kejadian ini kepada Ki Gede.”

“Tapi Ki Gede belum pulang,” sahut perempuan yang

bertubuh agak gemuk itu dengan serta merta.

“Makanya aku minta engkau memberitahu salah satu pengawal untuk menyusul Ki Gede!” sela perempuan parobaya

(21)

17

Namun alangkah terkejutnya anak gadis satu-satu Ki Gede Matesih itu. Di tengah-tengah dapur yang cukup luas itu, beberapa pembantu perempuan Ki Gede tampak sedang duduk

(22)

18

Perintah itu tidak perlu diulangi lagi. Dengan bergegas perempuan pembantu Ki Gede yang bertubuh agak gemuk itu segera bangkit dan dengan setengah berlari meninggalkan dapur menuju ke regol depan.

***

Dalam pada itu Matahari telah memanjat kaki langit sebelah timur semakin tinggi. Walaupun sinarnya masih belum menggatalkan kulit, namun udara mulai terasa hangat dan badan pun mulai dibasahi oleh bulir-bulir keringat.

Di tengah padang perdu di sebelah selatan gunung Tidar tampak tiga ekor kuda dipacu dengan tergesa-gesa. Walaupun ketiga penunggangnya itu sudah berusaha membuat kuda-kuda mereka melaju dengan kencang, namun gerumbul-gerumbul perdu yang tumbuh berserakan telah menghambat laju kuda-kuda mereka.

“Gila!” geram seorang penunggang kuda yang terlihat masih muda dibanding dengan kedua kawan seperjalanannya,

“Menurut perhitunganku, sebelum Matahari sepenggalah kita

sudah sampai di kaki bukit Tidar sebelah barat. Namun padang perdu ini ternyata cukup sulit untuk dilewati dengan berpacu kencang.”

“Ya, Raden,” jawab penunggang kuda di sebelahnya yang

terlihat sudah tua namun masih tampak segar dan kuat,

“Namun kita masih punya cukup waktu. Setidaknya kita akan mengirim utusan ke padepokan Setra Gandamayit sebelum Matahari sampai puncaknya.”

Orang yang dipanggil Raden itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sambil berpaling ke belakang dia

bertanya, “Soma, apakah tujuan kita masih jauh?”

Orang yang berkuda di belakang itu segera memacu kudanya menjajari kedua kuda yang ada di depan. Jawab Soma

kemudian, “Sudah cukup dekat Raden. Setelah padang perdu ini kita berbelok ke kiri dan menelusuri tepian sebuah sungai kecil yang dangkal. Sebelum sungai itu berkelok ke barat, kita

(23)

19

berjalan terus dan kemudian menerobos hutan di kaki bukit Tidar

sebelah barat.”

Orang yang dipanggil Raden itu menarik nafas dalam-dalam sambil tetap memacu kudanya dengan kecepatan sedang menghindari gerumbul-gerumbul perdu yang banyak bertebaran di padang rumput itu.

“Untunglah kita mendapatkan kuda, Raden,” desis orang yang

terlihat sudah sangat sepuh itu, “Jika tidak, mungkin baru sirep

bocah kita akan sampai di tujuan.”

Orang yang dipanggil Raden itu tertawa pendek. Katanya

kemudian, “Eyang Guru benar. Aku tadi sudah hampir putus asa untuk mendapatkan ketiga ekor kuda ini. Untunglah pemilik kuda

itu tertarik dengan timang emas yang sedang aku pakai.”

“Sebenarnya aku lebih senang mencekiknya saja sampai mati untuk mendapatkan ketiga ekor kuda ini,” geram orang yang

sudah sangat sepuh itu yang ternyata adalah Eyang Guru, “Raden terlalu berbaik hati. Dalam keadaan yang serba tidak menentu ini, kita harus berani mengambil keputusan cepat. Apapun akibat yang

akan ditimbulkannya.”

Raden Wirasena yang berkuda di sebelahnya tidak menjawab. Hanya tampak keningnya saja yang sedikit berkerut. Sementara Soma yang kembali berkuda di belakang telah menarik nafas dalam-dalam.

Demikianlah ketiga ekor kuda beserta penunggangnya itu pun akhirnya keluar dari padang perdu yang cukup luas itu. Ketika mereka kemudian berbelok ke kiri, sesuai dengan petunjuk Soma, mereka telah menjumpai sebuah sungai yang dangkal dan tidak seberapa lebar namun berair sangat bening. Suara gemericik air di sela-sela batu-batu yang banyak berserakan di dalam sungai itu terdengar sangat merdu dan terasa menyejukkan kalbu.

Tanpa sadar Raden Wirasena memperlambat laju kudanya sambil mengamat-amati sungai yang bertebing landai itu. Eyang Guru dan Soma pun ikut memperlambat kuda mereka.

(24)

20

“Apakah Raden berkenan membersihkan diri di sungai itu?”

tiba-tiba pertanyaan itu terlontar begitu saja dari Eyang Guru. Sejenak Raden Wirasena mengerutkan keningnya. Dia dan Eyang Guru memang telah menempuh perjalanan semalam suntuk dan sama sekali belum bersentuhan dengan air. Adalah kurang pada tempatnya jika dia dan Eyang Guru terlihat sangat kusut sesampainya mereka berdua nanti di hadapan para pengikutnya.

“Baiklah,” jawab Raden Wirasena kemudian sambil mengekang kudanya sehingga berhenti. Sambil meloncat turun Raden Wirasena meneruskan, “Kita membersihkan diri

seperlunya sebelum mencapai hutan sebelah barat kaki bukit Tidar.”

Eyang Guru dan Soma pun serentak ikut mengekang kuda mereka dan mengikuti Raden Wirasena meloncat turun.

Setelah menambatkan kuda-kuda mereka pada batang-batang perdu yang banyak terdapat di tanggul sungai itu, ketiga orang itu pun kemudian menuruni lereng sungai yang landai menuju ke sungai.

Begitu kaki-kaki mereka bersentuhan dengan beningnya air sungai itu, terasa betapa sejuknya air sungai itu membasahi kaki-kaki mereka.

Agaknya Soma yang tidak dapat menahan diri. Segera saja dia membungkuk dan mengambil air yang bening dan sejuk itu dengan kedua telapak tangannya.

“Alangkah segarnya,” desis Soma sambil menyiramkan air

itu ke wajahnya. Merasa kurang puas, Soma pun kemudian mengulanginya beberapa kali.

Raden Wirasena tersenyum melihat tingkah Soma. Namun orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu pun akhirnya mengikuti apa yang telah dilakukan Soma, membasahi wajahnya dengan air sungai yang bening dan sejuk.

(25)

21

Sedangkan Eyang Guru untuk beberapa saat masih termangu-mangu di tepian yang basah. Kedua kakinya terendam air sungai hanya sebatas mata kaki. Namun tampak Eyang Guru sedang memusatkan segenap kemampuannya untuk mendengarkan segala jenis bunyi di sekitarnya.

Bahkan ketika Eyang Guru kemudian kurang yakin dengan apa yang telah didengarnya, segera saja dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menunduk dalam-dalam dan memejamkan kedua matanya.

Raden Wirasena dan Soma tampak terheran-heran melihat tingkah Eyang Guru itu. Namun keduanya hanya membiarkan saja terutama Raden Wirasena. Orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu sadar sepenuhnya bahwa mungkin Eyang Guru telah mendengar sebuah desir yang mencurigakan.

“Apakah desir yang sekarang ditangkap oleh Eyang Guru adalah

sama dengan desir yang terdengar beberapa saat yang lalu?”

bertanya Raden Wirasena dalam hati dengan jantung yang berdebaran.

Namun Eyang Guru tidak terlalu lama. Segera saja diurai kedua tangannya yang bersilang di dada dan diangkat wajahnya sambil

tersenyum. Katanya kemudian, “Marilah Raden. Pendengaran orang setua ini ternyata semakin kabur dan menyesatkan. Atau mungkin kegelisahanku sajalah yang telah mempengaruhi ketajaman panca indraku.”

Raden Wirasena sejenak tertegun mendengar uraian Eyang Guru. Diam-diam kecemasan menggores jantungnya walaupun

hanya sesaat. Maka tanyanya kemudian, “Baiklah Eyang Guru. Tetapi apakah Eyang Guru tidak ingin sekedar mencuci muka agar terasa lebih segar sebelum melanjutkan perjalanan?”

Sejenak Eyang Guru ragu-ragu. Dipandanginya pohon besar yang tumbuh menjulang di tepian seberang sungai. Beberapa saat tadi Eyang Guru melihat daun-daun pohon itu bergetar dengan tidak sewajarnya.

(26)

22

“Aneh,” berkata Eyang Guru kemudian dalam hati sambil kembali mengamat-amati pohon di seberang sungai itu, “Aku tadi

sekilas melihat daun-daun pohon itu bergetar dengan tidak sewajarnya. Jika angin yang sangat lembut bertiup menerpa pohon itu, tentu getaran daun-daunnya tidak akan cepat dan sesingkat

itu.”

Namun Eyang Guru sudah mencoba menangkap semua getaran di sekelilling tepian itu akan tetapi tidak mendapatkan sesuatu pun yang mencurigakan.

“Eyang Guru?” tiba-tiba suara Raden Wirasena membangunkan lamunannya.

Eyang Guru tersenyum sambil memandang wajah Raden Wirasena dan Soma berganti-ganti. Agaknya Eyang Guru berusaha menghilangkan kesan ketegangan itu dari wajahnya. Maka jawabnya kemudian, “Baiklah Raden, aku akan membasuh wajah dan kedua lenganku. Setelah itu kita

meneruskan perjalanan.”

Demikianlah setelah Eyang Guru selesai membersihkan diri secukupnya, ketiga orang itu segera naik ke tanggul sungai yang tidak seberapa tinggi. Sejenak kemudian ketiga orang itu pun telah berderap kembali di atas kuda masing-masing.

Dalam pada itu, di hutan sebelah barat kaki bukit Tidar, di antara pepatnya pepohonan dan lebatnya gerumbul di pinggir hutan yang memisahkan hutan itu dengan sebuah gumuk kecil, tampak beberapa orang sedang berjaga-jaga.

Sebagian ada yang duduk-duduk di bawah pohon yang menjorok agak ke dalam sehingga terlindung dari pandangan luar, sebagian justru telah memanjat dan duduk di atas cabang-cabang pohon yang tinggi.

Di hadapan hutan sebelah barat kaki gunung Tidar itu terhampar tanah yang cukup luas dengan berbagai macam tanaman buah-buahan maupun pepohonan liar bercampur jadi satu. Agaknya tanah bera itu adalah bekas pategalan yang pernah digarap akan tetapi telah ditinggalkan oleh pemiliknya.

(27)

23

Tanah bekas pategalan itu sangat luas. Mungkin dulunya telah diolah oleh beberapa orang namun karena jauh dari sumber air, akhirnya ditingalkan begitu saja.

Beberapa pohon buah-buahan yang sempat ditanam ternyata mampu bertahan dan tumbuh menjulang. Sedangkan berbagai jenis tanaman palawija yang diusahakan ternyata tidak menghasilkan panen yang memuaskan. Sebagai gantinya telah tumbuh gerumbul-gerumbul dan perdu liar serta tanaman menjalar yang menutupi hampir seluruh tanah bekas pategalan itu.

“Apakah engkau telah melihat sesuatu?” tiba-tiba terdengar suara seseorang bertanya dari bawah sebatang pohon besar yang digunakan oleh beberapa orang untuk mengawasi keadaan.

“Belum Kakang Bonggol,” jawab salah seorang yang sedang

duduk-duduk di atas sebuah cabang pohon yang tinggi itu, “Sedari

tadi kami terus mengamati keadaan dan belum terlihat tanda-tanda kakang Soma telah kembali.”

Orang yang dipanggil kakang Bonggol itu tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil berusaha mempertajam pandangan matanya. Namun yang terlihat di hadapannya hanyalah hamparan pategalan yang hampir berubah menjadi sebuah hutan kecil.

Untuk beberapa saat cantrik Bonggol masih berdiri termangu-mangu di bawah pohon itu. Baru setelah menarik nafas dalam-dalam dia pun kemudian melangkah pergi sambil berdesis, “Terus

amati keadaan. Menurut perhitunganku, jika Soma memang dapat menjumpai mereka, setelah Matahari tergelincir ke barat, barulah

mereka akan memasuki daerah ini.”

Namun langkahnya tertegun ketika salah seorang anak buahnya yang berada di cabang paling tinggi telah berteriak,

“Kakang Bonggol...! Aku melihat tiga ekor kuda! Ya ...! Tiga ekor

kuda sedang berpacu ke arah tempat ini!”

Dengan bergegas cantrik Bonggol segera berbalik dan melangkah ke tempat yang lebih terbuka. Namun karena tanah

(28)

24

pategalan itu telah hampir menjadi sebuah hutan kecil, pandangan matanya terhalang oleh pepohonan dan gerumbul liar yang tumbuh menjulang tinggi.

Sedangkan beberapa orang yang berada di cabang yang rendah berusaha untuk memanjat lebih tinggi agar pandangan mata mereka tidak terhalang.

“Ya...! Aku juga melihatnya...!” tiba-tiba salah seorang dari mereka ikut berteriak.

“Tiga ekor kuda...!!” teriak yang lain tak kalah kerasnya. “Ya. Ya. aku juga telah melihatnya!!” timpal yang lain.

“Mereka keluar dari balik gumuk kecil itu...!!” seru orang

pertama yang melihat ketiga penunggang kuda itu.

“Diam..!!” tiba-tiba terdengar cantrik Bonggol membentak keras sehingga telah mengejutkan anak buahnya yang sedang berada di atas pohon. Sementara beberapa orang yang tersebar di gerumbul dan batang-batang perdu telah tertarik dengan keributan itu dan melangkah mendekat.

“Ada apa ribut-ribut?” bertanya seorang yang berkumis tipis dan berjanggut jarang sesampainya dia di hadapan cantrik Bonggol.

Cantrik Bonggol berpaling sekilas. Jawabnya kemudian,

“Para pengawas telah melihat tiga penunggang kuda dari balik

gumuk kecil itu dan sedang berpacu ke tempat ini. Namun sikap mereka sungguh memuakkan. Berteriak-teriak seperti laku anjing-anjing pemburu yang melihat seekor pelanduk sembunyi dalam semak.”

Orang-orang yang sedang berada di atas pohon itu terdiam mendengar kata-kata cantrik yang dituakan diantara mereka. Sedangkan orang yang berkumis tipis dan berjanggut jarang itu telah mendongakkan kepalanya ke atas. Katanya kemudian,

“Kalian para pengawas tidak selayaknya berbuat demikian. Kita belum tahu siapa yang datang. Segala sesuatunya harus dilakukan dalam keadaan senyap namun tetap dalam

(29)

kesiap-25

siagaan yang tinggi,” orang itu berhenti sejenak. Lanjutnya

kemudian, “Nah, sekarang apakah kalian sudah dapat

mengenali siapa mereka?”

Segera saja orang-orang yang berada di atas dahan yang paling tinggi kembali melemparkan pandangan mata mereka jauh ke depan. Sejenak mereka masih menunggu. Lamat-lamat raut wajah ketiga penunggang kuda itu memang semakin lama semakin jelas. Setelah garis-garis wajah serta bentuk tubuh ketiga penunggang kuda itu dapat diamati secara jelas, bagaikan telah berjanji sebelumnya dan lupa akan pesan cantrik Bonggol dan orang berkumis tipis itu, mereka pun serentak berteriak dengan gegap gempita.

“Raden Wirasena telah dataang...!!” “Hidup Raden Wirasena...!!!” “Hidup Trah Sekar Seda Lepen...!!!”

“Balaskan dendam saudara-saudara kami…!!!” “Hancurkan perdikan Matesih…!!”

“Rebut kembali padepokan Sapta Dhahana…!!!”

“Bumi hanguskan perdikan Matesih dan boyong putri Matesih Nimas Ratri...!!!” tiba-tiba saja seorang cantrik yang tinggi kekurus-kurusan dan duduk di cabang yang rendah telah berteriak cukup lantang di sela-sela gegap gempita teriakan kawan-kawannya.

“He...?!!” seru kawan di sebelahnya sambil menyikut lambung

cantrik kurus itu, “Apa maksudmu?”

Cantrik kurus itu berpaling sambil tersenyum penuh arti.

Jawabnya kemudian, “Aku lebih senang menyerbu perdikan

Matesih dari pada merebut kembali padepokan kita.”

Kawannya ternyata masih belum dapat menangkap maksud cantrik kurus itu. Maka sekali lagi dia bertanya, “Mengapa?

Bukankah merebut padepokan kita berarti kita dapat kembali ke rumah kita yang selama ini kita tinggali? Padepokan Sapta

(30)

26

Dhahana bagiku menyimpan seribu kenangan yang akan sangat

sulit bagiku untuk dilupakan.”

“Ah, apa peduliku,” sahut cantrik kurus itu, “Aku lebih senang menjarah perdikan Matesih terutama kediaman Ki Gede Matesih. Tentu banyak barang-barang berharga yang tersimpan di sana. Dan yang paling berharga tentu puteri Matesih yang cantik

jelita itu.”

“He...?!!” kembali kawannya terkejut bukan alang kepalang

mendengar apa yang tersimpan dalam benak Cantrik kurus itu. Tanpa sadar dia berpaling sambil memandang tajam ke arahnya sambil berkata dengan suara bergetar, “Agaknya

otakmu sudah engsle, jika Raden Surengpati mendengar omonganmu yang ngelantur itu, aku jamin engkau tidak akan

sempat melihat Matahari terbenam hari ini.”

Namun Cantrik kurus itu justru telah tertawa kecil sambil berbisik ke arah telinga kawannya, “Adik Trah Sekar Seda Lepen itu nyawanya sudah berada di ujung rambut. Dia tidak akan mampu berbuat apa-apa seandainya malam ini kita menyerbu Matesih dan aku akan memboyong puteri yang cantik itu. Dia pasti belum mampu ikut dalam pasukan yang akan dipimpin langsung oleh Raden Wirasena. Dia akan

menjadi penunggu hutan bersama tabib tua itu.”

“Gila...!!” umpat kawannya berkali-kali. Namun Cantrik kurus itu justru telah melanjutkan tawanya.

“Engkau akan dibunuh Raden Wirasena!” kembali

kawannya menggeram, “Raden Wirasena sangat sayang kepada adik satu-satunya itu. Jika engkau mencoba mengganggunya,

sama saja engkau membunuh dirimu sendiri.”

Namun Cantrik kurus itu tampak kembali tersenyum aneh.

Jawabnya kemudian, “Raden Wirasena sama sekali tidak tertarik dengan urusan tetek bengek yang melibatkan perempuan. Jika adiknya kemudian mempunyai hubungan khusus dengan puteri Matesih itu, dia juga tidak akan perduli. Baginya berjuangan meraih tahta adalah segala-galanya.”

(31)

27

Kawannya tampak termenung beberapa saat. Namun pada akhirnya dia justru telah ikut tertawa sambil berkata, “Ah,

sudahlah. Persetan dengan semua itu. Bagiku perjuangan Trah Sekar Seda Lepen ini harus berhasil.”

Demikianlah, masih banyak lagi teriakan bersahut-sahutan dari atas pohon itu yang segera disambut dengan gegap gempita oleh kawan-kawan mereka yang berada di bawah pohon.

Sejenak dahi cantrik Bonggol berkerut. Tanpa sadar dia berpaling ke arah orang berkumis tipis itu yang berdiri hanya beberapa langkah saja di sampingnya.

Namun ternyata orang berkumis tipis itu hanya tersenyum kecut sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tanpa mengucap sepatah kata pun dia kemudian melangkah maju keluar dari gerumbul perdu yang cukup lebat yang tumbuh di hadapannya.

Cantrik Bonggol pun akhirnya mengikuti langkah orang berkumis tipis itu untuk maju beberapa langkah lagi menyambut kedatangan pemimpin mereka yang sangat ditunggu-tunggu kehadirannya.

Dalam pada itu beberapa orang yang berada di atas pohon ternyata telah meluncur turun dengan cepat. Agaknya mereka juga ingin menyambut kedatangan pemimpin mereka yang sangat di hormati dan di gadang-gadang akan dapat mengeluarkan mereka dari kehidupan yang penuh papa cintraka menuju ke bebrayan

yang gemah ripah loh jinawi. Tata titi tentrem kerta raharja,

subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku.

“Perintahkan salah seorang cantrik untuk melaporkan kedatangan Raden Wirasena ini,” tiba-tiba orang berkumis tipis itu berdesis perlahan kepada cantrik Bonggol yang berjalan di sampingnya.

Cantrik Bonggol pun tanggap. Segera saja salah seorang cantrik yang berjalan beberapa langkah di belakangnya diberi isyarat untuk maju mendekatinya.

(32)

28

“Laporkan kepada Raden Surengpati bahwa Kakandanya telah hadir di tengah-tengah kita,” bisiknya kemudian.

Cantrik itu tampak mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian dengan nada sedikit ragu-ragu, “Bukankah Raden Surengpati sedang sakit?”

“Aku tahu,” sahut Cantrik Bonggol cepat, “Tapi sebelum aku

pergi ke tempat ini, aku lihat Raden Surengpati sudah mampu duduk bersandaran pada sebatang pohon. Semoga berita kedatangan Kakandanya ini akan semakin memacu

semangatnya untuk segera sembuh.”

Cantrik itu tampak menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Tanpa bertanya lagi, dia segera memisahkan diri dengan kawan-kawannya dan berjalan kembali ke dalam hutan.

***

Dalam pada itu di kaki gunung Muria sebelah selatan, tampak Glagah Putih dengan semangat yang tinggi berjalan menyusuri pematang. Di belakangnya Ki Rangga Agung Sedayu terlihat berjalan mengikutinya sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Kakang...!” tiba-tiba Glagah Putih menghentikan

langkahnya dan menoleh ke belakang, “Perdikan Matesih masih sangat jauh, mengapa kakang terlihat kurang bersemangat? Seharusnya kakang tadi tidak menolak tawaran Mas Santri

untuk membawa kuda.”

Ki Rangga Agung Sedayu pun ikut menghentikan

langkahnya. Jawabnya kemudian sambil tersenyum, “Aku

memang menolak untuk membawa kuda. Bukan berarti aku menolak kebaikan Mas Santri, namun aku tidak mau mempunyai tanggungan untuk suatu saat harus mengembalikan kuda-kuda itu ke Gunung Muria.”

(33)

29

Glagah Putih menarik nafas panjang sambil mengangguk-angguk. Namun tampak raut wajahnya memendam kegelisahan.

“Kakang,” berkata Glagah Putih selanjutnya ketika dia sudah

tidak mampu lagi menahan kegelisahan itu, “Jika kita berkuda tanpa istirahat, mungkin baru dua hari lagi kita akan sampai di perdikan Matesih. Sedangkan sekarang kita hanya berjalan kaki. Aku tidak tahu kapan kita akan sampai di perdikan Matesih.”

Untuk beberapa saat Ki Rangga termenung. Apa yang disampaikan oleh Glagah Putih itu memang benar adanya. Jarak gunung Muria dengan perdikan Matesih sangat jauh, sementara setelah jatuhnya padepokan Sapta Dhahana, perdikan Matesih belum dapat dikatakan aman sepenuhnya.

“Glagah Putih,” berkata Ki Rangga kemudian sambil

melangkahkan kakinya, “Marilah kita istirahat sejenak di gubuk

itu.”

Selesai berkata demikian tanpa menghiraukan adik sepupunya, Ki Rangga pun kemudian melangkah menghampiri sebuah gubuk sederhana yang terdapat di hamparan sawah yang luas itu.

Sejenak Glagah Putih bagaikan membeku di tempatnya. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan kakak sepupunya itu. Baginya waktu adalah sangat sempit. Setiap saat sisa-sisa cantrik padepokan Sapta Dhahana dapat menghimpun kekuatan mereka kembali dan menyerang balik untuk merebut padepokan mereka kembali.

“Atau justru mereka akan menyerang tanah Perdikan Matesih,”

tiba-tiba sebuah pemikiran menyelinap begitu saja dalam

benaknya, “Sementara pasukan pengawal Matesih masih bertahan di padepokan Sapta Dhahana.”

Berpikir sampai disitu Glagah Putih segera mengayunkan langkahnya menyusul kakak sepupunya itu.

(34)

30

Sejenak kemudian kedua orang itu telah duduk bersila di atas sebuah gubuk yang sangat sederhana. Untuk beberapa saat semilir angin yang berhembus telah membuat kedua orang itu terlena.

“Alangkah segarnya!” seru Glagah Putih sambil menghirup udara sepuas-puasnya untuk memenuhi rongga dadanya.

Ki Rangga tersenyum melihat tingkah adik sepupunya itu.

Katanya kemudian, “Tanah pesawahan ini masih berada di kaki Gunung Muria, sehingga udara di sekitarnya masih terasa

sejuk.”

“Ya kakang,” jawab Glagah Putih sambil menggeliat dan kemudian menggeser duduknya bersandaran pada salah satu

tiang gubuk itu, “Rasa-rasanya menjadi malas untuk melanjutkan perjalanan. Entah mengapa, kedua mata ini rasa-rasanya menjadi berat dan ingin tidur beberapa kejap.”

“Ah!” desah Ki Rangga sambil tertawa pendek, “Kita harus

membiasakan diri melawan setiap keadaan yang dapat menjerumuskan kita pada kelemahan.”

Tanpa sadar anak laki-laki Ki Widura itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian suasana menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam dalam lamunan yang mengasyikkan.

“Kakang,” berkata Glagah Putih kemudian begitu menyadari rasa kantuk mulai kembali bergelayut di kedua pelupuk

matanya, “Apa rencana kakang selanjutnya? Perdikan Matesih masih sangat jauh dan aku tidak tahu kapan kita akan sampai ke sana.”

Ki Rangga Agung Sedayu termenung sejenak. Setelah menghirup udara pagi yang segar untuk memenuhi rongga

dadanya, barulah dia kemudian menjawab, “Glagah Putih, kita memang harus secepatnya ke tanah Perdikan Matesih. Kita belum mendapat kabar tentang keadaan kawan-kawan kita. Demikian juga kita harus memastikan bahwa padepokan Sapta Dhahana benar-benar sudah hancur dan tidak akan

(35)

31

menimbulkan ancaman bagi Mataram, setidaknya dalam waktu

dekat ini.”

Glagah Putih menjadi heran mendengar jawaban Ki Rangga. Di satu sisi kakak sepupunya itu memandang perlu untuk segera sampai di perdikan Matesih, namun di sisi lain justru mengajaknya beristirahat di gubuk itu. Untuk beberapa saat anak laki-laki Ki Widura itu tidak mampu menanggapi jalan pikiran Ki Rangga dan justru hanya diam termangu-mangu.

Ki Rangga yang melihat adik sepupunya itu justru termenung

segera bertanya, “Glagah Putih, apakah engkau mempunyai

pendapat yang lain?”

“O, tidak. Tidak Kakang,” tergagap Glagah Putih menjawab dengan wajah memerah sambil menggeser duduknya sejengkal,

“Aku sedang memikirkan keadaan kawan-kawan kita. Kira-kira

sedang berada di manakah mereka saat ini?”

Namun agaknya panggraita kakak sepupunya yang tajam melebihi orang kebanyakan itu telah sedikit banyak melihat kegelisahan di wajah Glagah Putih. Maka berkata Ki Rangga kemudian dengan nada yang rendah, “Glagah Putih, aku menyadari bahwa jarak antara gunung Muria dengan perdikan Matesih sangat jauh,” Ki Rangga berhenti sejenak sambil memandang adik sepupunya yang menundukkan wajahnya itu,

“Sekarang aku ingin mengetahui keadaan sebenarnya yang telah terjadi. Ketika engkau memutuskan untuk menyusul aku atas dasar keterangan Ki Waskita, apakah pertempuran antara pasukan pengawal Matesih dengan cantrik padepokan Sapta Dhahana sudah berakhir dan pasukan Matesih sudah mampu menguasai

keadaan?”

Berdebar jantung Glagah Putih mendapat pertanyaan dari kakak sepupunya itu. Saat itu hatinya memang benar-benar sedang galau. Dia mendengar ledakan dahsyat dari balik dinding padepokan yang tinggi sehingga dia memutuskan untuk menyelesaikan lawannya dan segera melihat keadaan Ki Rangga Agung Sedayu.

(36)

32

“Maafkan aku kakang,” jawab Glagah Putih pada akhirnya,

“Pada saat itu aku memang tidak mempunyai pilihan lain. Aku mendengar benturan ilmu yang dahsyat dari balik dinding padepokan sehingga aku telah memutuskan untuk meninggalkan

medan pertempuran.”

Sejenak Ki Rangga termenung. Terlintas kembali dalam benaknya saat-saat sebelum benturan kekuatan itu terjadi. Sebuah getaran yang tidak mampu dilawannya telah membangunkan dirinya dari alam sonyaruri. Hanya dalam waktu sekejap, seluruh ilmu olah kanuragan serta jaya kawijayan yang tertimbun dalam dirinya seolah bergolak dengan sendirinya dan menyatu membentur serangan dahsyat dari Kiai Damar Sasangka.

“Aneh,” berkata Ki Rangga kemudian dalam hati, “Semua

ilmu yang aku pelajari dari perguruan Windujati dan perguruan Ki Waskita serta Ki Sadewa seolah menyatu tanpa terikat sekat maupun batas dari ciri-ciri masing-masing aliran. Semua ilmu itu menyatu sedemikian saja tanpa digerakkan oleh sebuah keinginan namun dalam satu tujuan, membentengi diriku dari gempuran ilmu puncak Sapta Dhahana.”

Kembali Ki Rangga termenung. Sebenarnya ada sebuah keinginan untuk menanyakan hal itu kepada Kanjeng Sunan, namun hatinya sedikit meragu. Kanjeng Sunan selalu menekankan pentingnya pendekatan dan kepasrahan diri kepada Yang Maha Agung, sebagai sumber segala sumber kehidupan di jagad raya ini.

“Aku akan bertanya kepada Ki Waskita saja,” demikian

angan-angan Ki Rangga kembali menerawang, “Selama ini jika aku ingin mengungkapkan sebuah jenis ilmu yang aku pelajari, maka hanya ilmu itu yang dapat aku pergunakan untuk melakukan sebuah perlawanan kepada lawan, sedangkan ilmu-ilmu yang lain seolah tertidur dan tidak ikut mengadakan

(37)

33

Ki Rangga menarik nafas panjang. Ada sebuah harapan akan pengungkapan seluruh ilmu yang telah mengendap dalam dirinya itu menjadi sebuah ujud nyata yang nggegirisi.

“Alangkah dahsyatnya,” berkata Ki Rangga dalam hati

kemudian, “Jika aku mampu mengungkapkan berjenis-jenis ilmu yang telah aku pelajari itu menjadi sebuah ujud pengungkapan kekuatan, tentu kekuatannya menjadi berlipat ganda dari salah satu jenis ilmu itu jika diungkapkan

sendiri-sendiri.”

Sejenak ada sebuah harapan dan kebanggaan menyelinap dalam dada Ki Rangga. Namun selebihnya, timbul sebuah pertanyaan dalam dadanya yang tak kunjung mendapat jawaban. Sebagaimana pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh Kanjeng Sunan. Untuk apa sebenarnya dia menumpuk segala ilmu olah kanuragan dan jaya kawijayan itu di dalam dirinya?

Tiba-tiba terlintas dalam benaknya dua orang priyagung yang selama ini sangat dikaguminya namun yang telah meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.

“Panembahan Senapati dan Pangeran Benawa,” desis Ki Rangga dalam hati, “Keduanya adalah orang-orang yang pinunjul

ing apapak. Namun tidak mampu melawan takdir. Semua

akhirnya harus kembali kehadapan Yang Maha Agung, mau tidak mau atau siap tidak siap, untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatan semasa hidup mereka.”

Sampai disini tiba-tiba terasa sesuatu mengethuk dinding hati Ki Rangga. Sesuatu yang selama ini diabaikannya dalam menjalani hidup di alam bebrayan. Sesuatu yang justru akan sangat berpengaruh dalam hidupnya di alam kelanggengan nanti.

“Setelah selesai tugasku mencari Pangeran Ranapati nanti, aku

akan mengundurkan diri dari dunia keprajuritan,” membatin Ki Rangga dalam hati, “Sudah waktunya aku mendalami olah batin

untuk bekalku di alam kelanggengan kelak. Sebelum Yang Maha

(38)

34

Dalam pada itu, Glagah Putih yang melihat kakak sepupunya seperti sedang tenggelam dalam lamunan yang mengasyikkan tidak berani mengusiknya. Namun ketika terasa ada sesuatu yang menyangkut di tenggorokannya, Glagah Putih pun kemudian terbatuk-batuk kecil.

Agaknya batuk Glagah Putih itu telah menyadarkan lamunan Ki Rangga. Maka setelah menarik nafas panjang terlebih dahulu, Ki Rangga pun akhirnya bertanya, “Glagah Putih, siapakah lawanmu sebelum engkau meninggalkan medan

pertempuran?”

“Adik orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu,

kakang,” jawab Glagah Putih dengan serta merta, “Aku terpaksa

menggunakan aji Namaskara untuk menghentikan perlawanannya. Aku sudah tidak dapat menahan diri lagi untuk

segera mengetahui keadaan kakang.”

Kerut merut tampak di kening Senapati pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh itu. Tanyanya kemudian dengan nada sedikit ragu-ragu, “Glagah Putih, apakah engkau telah membunuhnya?”

Sejenak Glagah Putih meragu. Setelah menelan ludah beberapa kali terlebih dahulu, barulah dia menjawab dengan

suara sedikit bergetar, “Aku tidak tahu kakang. Aku benar -benar tidak punya pilihan lain. Aku terpaksa melepaskan aji Namaskara untuk menghentikan perlawanannya. Aku tidak bermaksud untuk benar-benar membunuhnya.”

Kembali Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Berkata Ki Rangga kemudian sambil menatap tajam ke arah adik

sepupunya itu, “Glagah Putih, aku adalah contoh yang nyata dari lingkaran dendam yang tiada berkesudahan. Engkau tentu masih ingat, siapa saja yang telah aku bunuh di peperangan. Ingat di dalam peperangan seharusnya tidak ada lingkaran dendam, karena kita bertemu tanpa direncanakan. Peperanganlah yang telah menyebabkan kita saling bunuh untuk mempertahankan hidup. Namun dalam kenyataannya, anak turun, saudara seperguruan bahkan orang yang tidak

(39)

35

punya sangkutan dendam kepadaku pun berusaha untuk membunuhku hanya karena nama besarku yang telah mereka dengar, walaupun aku sendiri secara pribadi tidak pernah

mempersoalkan nama besar itu.”

Untuk beberapa saat Glagah Putih yang menjadi termenung. Lingkaran dendam yang tidak berkesudahan akan menghantui sepanjang hidupnya jika memang Raden Surengpati sampai menemui ajal di tangannya. Kakak kandungnya yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu pasti akan mengejarnya walaupun dia bersembunyi sampai di ujung dunia sekalipun.

“Sudahlah Glagah Putih,” berkata Ki Rangga kemudian membuyarkan lamunan Glagah Putih, “Aku tidak menyalahkanmu sepenuhnya. Namun jika memang dapat dihindari, membunuh itu sebaiknya kita hindari. Menghilangkan nyawa seseorang itu bukan hak kita sesama manusia. Hidup dan mati manusia itu mutlak berada dalam genggaman Yang Maha Agung,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun kadang kita sebagai

sesama manusia dijadikan lantaran untuk jalan kematian seseorang, dalam sebuah peperangan misalnya. Namun semua itu ada peraturannya. Jika memang lawan sudah tak berdaya atau menyerah, kita dilarang untuk membunuhnya.”

“Bagaimana jika ternyata lawan kita sangat kuat dan justru dapat membahayakan keselamatan kita?” sela Glagah Putih kemudian.

“Itu namanya membela diri,” sahut kakak sepupunya itu cepat, “Seseorang dibenarkan membunuh apabila dia dalam usahanya

membela diri, baik membela kehormatannya, hartanya maupun

nyawanya sendiri.”

Kembali Glagah Putih termenung. Pertempuran dengan Raden Surengpati memang belum dapat dikatakan tuntas. Dia belum dapat meraba kekuatan yang sebenarnya dari adik orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu. Pada awalnya terbersit niat untuk mengetrapkan aji sigar bumi, namun kekhawatiran akan keselamatan kakak sepupunya dan sekaligus gurunya itu telah membuat Glagah Putih hilang penalaran sehingga dia telah

(40)

36

mengetrapkan aji Namaskara, walaupun tidak pada tataran tertinggi.

“Seharusnya aku memang mampu mengukur sampai batas mana kekuatan lawanku saat itu,” berkata Glagah Putih dalam

hati, “Perhitungan yang cermat serta panggraita yang tajam memang sangat diperlukan dalam setiap pertempuran, untuk mencegah melayangnya sebuah nyawa dengan sia-sia.”

(41)

37

Ki Rangga tersenyum melihat tingkah adik sepupunya itu.

Katanya kemudian, “Tanah pesawahan ini masih berada di kaki

Gunung Muria, sehingga udara di sekitarnya masih terasa

(42)

38

“Kakang,” tiba-tiba Glagah Putih menanyakan sesuatu yang

terlintas begitu saja dalam benaknya, “Bagaimana jika lawan kita

memang berniat untuk membunuh kita? Dia bertempur tanpa memperdulikan segala paugeran dalam peperangan? Kita pasti

akan terjebak dalam kesulitan.”

“Itulah gunanya Yang Maha Agung memberikan kita hati nurani dan nalar,” sahut Ki Rangga cepat, “Berusahalah selalu menggunakan nalar yang dilandasi

dengan hati nurani yang bening, serta pasrah kepada sumber hidup kita. Niscaya Yang Maha Agung akan memberikan yang

terbaik bagi kita.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya dalam-dalam. Tanyanya kemudian dengan nada sedikit ragu-ragu, “Maksud kakang, kita akan selalu diberi kemenangan?”

Ki Rangga tertawa pendek. Jawabnya kemudian sambil

menggelengkan kepalanya, “Belum tentu, Glagah Putih. Belum tentu kemenangan yang kita raih. Tidak menutup kemungkinan Yang Maha Agung justru akan menakdirkan kita mati dalam sebuah peperangan.”

“Jadi,” sahut Glagah Putih cepat, “Apa gunanya jika ternyata kita kemudian menemui ajal dalam pertempuran itu.”

Dengan sebuah senyum yang sareh, Ki Rangga pun

kemudian menjawab perlahan, “Kalau pun kita ditakdirkan mati, semoga kita mati dalam jalan dan ridhoNYA.”

Untuk ke sekian kalinya Glagah Putih termenung. Dia belum mampu untuk mengikuti jalan pikiran kakak sepupunya itu. Baginya kemenangan itulah yang seharusnya diraih dalam setiap akhir dari sebuah pertempuran, apapun cara yang ditempuhnya.

“Glagah Putih,” berkata Ki Rangga selanjutnya, “Engkau masih muda dan jalan kehidupan di hadapanmu masih terbentang luas. Pandai-pandailah engkau membawa diri dalam setiap keadaan. Kadang-kadang kita harus menahan diri agar tidak bersinggungan dengan perasaan orang lain. Namun

(43)

39

suatu saat kita dituntut untuk mengambil sikap tegas agar orang lain tidak menjadi salah paham dan berprasangka buruk terhadap

sikap kita.”

Terlihat kepala Glagah Putih itu terangguk-angguk. Namun sebenarnya anak laki-laki Ki Widura itu tidak paham arah pembicaraan kakak sepupunya itu.

Namun Ki Rangga berkata seterusnya, “Dalam perjalanan

hidupmu nanti, pasti akan mengalami pasang surut, baik hubungan dalam keluargamu sendiri maupun hubunganmu dengan bebrayan di sekitarmu. Untuk hubungan dalam keluargamu, utamakanlah untuk selalu berbicara dari hati ke hati, bahwa kalian berdua telah mengikat janji untuk membentuk sebuah keluarga itu menuntut sebuah tanggung jawab yang tiada taranya. Tanggung jawab untuk mengemban amanah dari Yang

Maha Agung agar kehidupan di alam ini terus berlangsung,” Ki Rangga Agung Sedayu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian,

“Untuk hubunganmu dengan bebrayan di sekitarmu adalah wujud tanggung jawabmu untuk ikut memelihara rasa damai dan aman serta saling menghargai dan tidak memperdalam jurang perbedaan namun justru berusaha merajut kembali benang-benang kasih di antara kita yang mungkin telah terputus akibat perbedaan yang pernah terjadi.”

“Setiap langkah yang kita ambil jangan lupa selalu kita sertai dengan doa,” berkata Ki Rangga selanjutnya demi melihat Glagah Putih hanya duduk termangu-mangu, “Kadangkala kita sudah mempunyai rencana sedemikian matangnya, bahkan kita yakin seyakin-yakinnya bahwa rencana kita itulah yang terbaik. Namun kita lupa bahwa Yang Maha Agung adalah sebaik-baiknya Perencana. Jika yang terjadi kemudian adalah diluar rencana kita semula, maka kita harus sadar bahwa itulah yang terbaik bagi kita, Yang Maha Agung lebih mengetahui kebutuhan kita, lebih mengetahui apa yang terbaik bagi kita walaupun kadangkala tidak sejalan dengan keinginan kita. Itulah yang disebut nrimo ing

pandum. Sesuatu yang sudah kita usahakan dengan

sungguh-sungguh namun Yang Maha Agung memberikan yang lain yang tidak kita perkirakan sebelumnya atau jauh dari harapan kita.

(44)

40

Apapun yang terjadi, kita harus menerimanya dengan ikhlas disertai dengan doa semoga Yang Maha Agung selalu memberikan

manfaat dan barokah.”

Kembali tampak kepala Glagah Putih terangguk-angguk. Nasihat kakak sepupunya itu sedikit banyak telah menyentuh hatinya namun kegelisahannya tentang nasib Ki Waskita dan kawan-kawannya di perdikan Matesih itu masih tetap ada walaupun dalam kadar yang berbeda.

“Kakang,” berkata Glagah Putih kemudian setelah keduanya sejenak terdiam, “Aku mempunyai dugaan yang kuat bahwa

sepeninggal pemimpin padepokan Sapta Dhahana dan putut kepercayaannya, para cantrik yang tersisa akan menyerah atau

justru melarikan diri untuk menyelamatkan hidup mereka,” Glagah Putih berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun

yang menjadi kekhawatiranku adalah, Perdikan Matesih belum sepenuhnya aman. Sisa-sisa cantrik Padepokan Sapta Dhahana yang berkeliaran masih dapat membahayakan keamanan dan

keselamatan kawula Matesih.”

“Engkau benar, Glagah Putih,” sahut Ki Rangga, “Selain itu,

selama pertempuran berlangsung aku sama sekali belum pernah bertemu atau setidaknya melihat orang yang menyebut

dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu.”

“Mungkin orang itu berada di tempat lain, kakang. Padepokan itu sangat luas,” jawab Glagah Putih mengira-ngira.

“Ah tentu tidak,” sahut Ki Rangga dengan serta merta, “Seandainya orang itu berada di padepokan, pada saat kita berlima memasuki padepokan, pasti dia akan menampakkan

diri.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya sejenak. Namun sesaat kemudian dia pun tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Demikian juga dengan orang yang disebut Eyang Guru itu.

Tidak terlihat sama sekali batang hidungnya,” lanjut Ki Rangga

Referensi

Dokumen terkait