• Tidak ada hasil yang ditemukan

Develop a framework of porter diamond model for different commodities (under your concern)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Develop a framework of porter diamond model for different commodities (under your concern)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

 Terangkan apa perbedaan Comparative advantage dan competitive advantage. Mengapa negara yang memiliki comparative advantage belum tentu miliki competitive advantage.

 Terangkan evolusi teori perdagangan. Menurut anda ke depan apakah akan terjadi perubahan-perubahan dalam teori dan praktek perdagangan? Ke arah mana kira-kira perubahan itu akan terjadi?

 Develop a framework of porter diamond model for different commodities (under your concern)

Answer :

1. Dalam suatu wilayah, sangat dipengaruhi oleh keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dalam perencanaan wilayahnya. Dalam kajian ini, yang dimaksud dengan kompetitif adalah konsep perbandingan kemampuan dan kinerja perusahaan, sub-sektor atau negara untuk menjual dan memasok barang dan /atau jasa yang diberikan dalam pasar dan keunggulan kompetitif adalah keunggulan dari pesaing diperoleh oleh konsumen menawarkan nilai yang lebih besar, baik melalui harga yang lebih rendah atau dengan menyediakan manfaat yang lebih besar dan layanan yang membenarkan harga yang lebih tinggi. Sedangkan untuk komparatif sendiri adalah suatu potensi, keunggulan maupun daya saing yang dimiliki oleh suatu wilayah dalam perencanaannya dimana daya saing tersebut akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorso. Konsep daya saing ini adalah berdasarkan atas kensep keunggulan komparatif dimana pertama kali dikenal dengan model Ricardian. Suatu perdagangan dapat terjadi bila ada perbedaan keunggulan komparatif suatu wilayah. Keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada wilayah lainnya. Pada dasarnya, keunggulan komparaif yang dimiliki oleh suatu wilayah adalah sumber daya alam dan sumber daya manusia yang cukup melimpah. Dengan tersedianya kedua modal tersebut, maka akan dapat diraih keunggulan kompetitif. Dengan adanya penggunaan dari keunggulan kompetitif tersebut secara maksimal dan efisien untuk pengembangan sumber daya alam untuk menghasilkan pertumbuhan yang berkelanjutan pada suatu wilayah perencanaan.

Dalam hal ini keunggulan kompetitif dan keunggulah komparatif sangat berpengaruh terhadap perencanaan suatu wilayah. Suatu wilayah mempunyai keunggulan kompetitif jika wilayah tersebut memiliki nilai keuntungan financial. Disamping itu, suatu wilayah dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif jika wilayah tersebut tidak memiliki pesaing dan wilayah tersebut lebih baik dari wilayah yang lain atau dengan kata lain mampu membuat sesuatu yang baru yang tidak dimiliki oleh wilayah lain. Dalam meningkatkan daya saing dalam suatu perencanaan wilayah perlu dilakukan dengan strategi pengembangan.

Sebagai contoh, Indonesia dan Malaysia sama-sama memproduksi kopi dan timah. Indonesia mampu memproduksi kopi secara efisien dan dengan biaya yang murah, tetapi tidak mampu memproduksi timah secara efisien dan murah. Sebaliknya,

(2)

Malaysia mampu dalam memproduksi timah secara efisien dan dengan biaya yang murah, tetapi tidak mampu memproduksi kopi secara efisien dan murah. Dengan demikian, Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi kopi dan Malaysia memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi timah. Perdagangan akan saling menguntungkan jika kedua negara bersedia bertukar kopi dan timah. sebuah contoh antara Inggris dan Portugal. Di Portugal, sangat memungkinkan untuk menghasilkan anggur dan pakaian dengan tenaga kerja yang lebih sedikit dari pada Inggris dengan jumlah yang sama. Di Inggris, sulit untuk menghasilkan anggur dan pakaian dengan tenaga kerja yang lebih sedikit daripada Inggris, pada jumlah yang sama. Di Inggris, sulit untuk menghasilkan anggur, dan lumayan sulit untuk menghasilkan pakaian. Karenanya, ketika lebih murah untuk menghasilkan kain di Portugal daripada di Inggris, masih lebih murah untuk menghasilkan anggur dan memperdagangkannya untuk pakaian Inggris. Dan sebaliknya, Inggris memiliki keuntungan dari perdagangan ini karena biayanya dalam menghasilkan pakaian telah tidak berubah, tapi dapat memperoleh anggur dengan harga yang lebih murah. Keputusan seri ini dapat memberikan keuntungan pada kedua belah pihak melalui spesialisasi yang memiliki keuntungan komparatif.

2. Evolusi/ perkembangan teori-teori perdagangan internasional dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) Teori Pra Klasik: Mrekantilisme;(2) Teori Klasik : Adam Smith, David Ricardo; (3) Teori Modern: Heckscher-Ohlin; (4) Alternative Theory: M Porter, R. D’ Aveni, dll. Penjabaran masing masing teroti perdagangan internasional adalah sebagai berikut:

1. 1 Teori Merkantilisme

Istilah merkantilisme berasal dari kata “merchant“ yang berarti pedagang. Menurut paham merkantilisme, tiap negara yang berkeinginan untuk maju harus melakukan perdagangan dengan negara lain. Sumber kekayaan negara akan diperoleh melalui surplus perdagangan di luar negeri yang akan diterima dalam bentuk logam mulia. Aliran merkentilisme yang tumbuh dan berkembang pada abad XVI-XVIII di Eropa Barat, menempatkan kegiatan perdagangan internasional, khususnya ekspor, sebagai lokomotif utama yang dipacu melalui peningkatan industri di dalam negeri. Ide pokok merkantilisme adalah sebagai berikut: (Hamdy Hadi: 2004)

A. Suatu negara akan kaya/ makmur dan kuat bila ekspor lebih besar dari impor. B. Surplus yang diperoleh dari selisish (X-M) atau ekspor netto yang positif tersebut ditunjukkan dengan semakin banyaknya logam mulia ( sebagai alat pembayaran/ uang ) yang dimiliki negara.

C. Logam mulia yang melimpah digunakan oleh negara/raja untuk memperluas perdagangan di luar negeri dengan kolonisasi (penjajahan).

Merkantilisme menitikberatkan pada 2 (dua) kebijakan penting yakni:

(1) Kebijakan merkantilisme dalam usaha untuk memperoleh monopoli perdagangan, monopoli perdagangan tersebut dapat diperoleh dengan memilki armada perdagangan/ armada perang yang kuat;

(2) Kebijakan lanjutan adalah uasaha untuk memperoleh daerah-daerah jajahan yang dilakukan melalui ekspansi perdagangan dan penaklukan/penundukan daerah -daerah baru di Amerika, Afrika dan Asia. Daerah/negara jajahan ini dijadikan sebagai sumber bahan baku dan sekaligus pasar, sekaligus sebagai sumber

(3)

langsung logam mulia. Negara jajahan menjadi sangat tergantung pada negara

penjajah. (Lia Amalia, 2007).

Merkantilisme pada prinsipnya harus memperbesar ekspor dan membatasi impor seketat mungkin , sehingga memperoleh surplus perdagangan. Disamping itu, merkentilisme menerapkan tarif impor yang relatif tinggi untuk mengurangi persaingan barang-barang dari luar negeri terhadap produksi nasional (Sobri, 1986). Kritik David Hume terhadap merkentilisme adalah sebagai berikut: Kekayaan / kemakmuran suatu negara yang diukur dari banyaknya logam mulia tidak sepenuhnya benar. Logam mulia (yang pada waktu itu digunakan sebagai alat pembayaran/uang), maka jika logam mulia banyak berarti Money Supply atau jumlah uang beredar banyak. Jika jumlah uang beredar banyak sedangkan produksi tetap/tidak berubah maka akan terjadi inflasi atau kenaikan harga. Inflasi akan menaikkan harga barang-barang ekspor sehingga kuantitas ekspor menurun. Sementara harga barang impor menjadi lebih rendah sehingga impor meningkat. Dengan demikian impor akan lebih besar dari ekspor ( terjadi defisit) yang menyebabkan logam mulia yang dimilki akan berkurang.

Kebijakan Merkantilisme pada saat ini masih dijalankan oleh banyak negara (termasuk negara-negara maju), yaitu kebijakan proteksi untuk melindungi dan mendorong ekonomi dan industri dalam negeri dengan banyak menggunakan hambatan non- tarif (non-tariff barier) seperti: penerapan syarat-syarat dan sertifikasi tertentu, ketentuan teknis, peraturan kesehatan/karantina, dikaitkan dengan isu-isu lingkungan hidup, hak asasi manusia dan lain-lain (Hamdy Hadi, 2004).

1.2 Teori Keunggulan Mutlak (Absolute Advantage)

Menurut teori Keunggulan Absolut yang dikemukakan Adam Smith, bahwa perdagangan internasional akan terjadi jika setiap Negara mampu memprodukdi barang tertentu secara lebih efisien daripada negara lain melalui spesialisasi dan pembagian kerja. Keunggulan absolute bisa diperoleh karena adanya perbedaan dalam kepemilikan faktor produksi antara lain sumberdaya alam, tenaga kerja, modal, teknologi dan entrepreneurship. Setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan ( gain from trade) karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak, sedangkan untuk produk yang tidak memiliki keunggulan mutlak sebaiknya impor saja. Dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa suatu negara akan melakukan spesialisasi terhadap ekspor suatu jenis barang tertentu, dimana negara tersebut memiliki keunggulan absolut dan tidak memproduksi atau melakukan impor jenis barang dimana negara lain yang memproduksi barang sejenis. Atau dengan kata lain, suatu negara akan mengekspor (mengimpor) suatu jenis barang, jika negara tersebut tidak dapat memproduksi secara lebih efisien atau murah dibandingkan dengan negara lain. Sehingga teori ini menekankan bahwa efisiensi dalam penggunaan input, misalnya tenaga kerja, dalam proses produksi sangat menentukan keunggulan atau daya saing.

Sebagai contoh, di dunia nyata ada dua negara yaitu Indonesia (INA) dan Amerika Serikat (AS). Kedua negara tersebut sama-sama memproduksi dua jenis barang , yakni barang A (kain) dengan harga Pa dan barang B (Komputer) dengan harga Pb. Tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang digunakan untuk memproduksi dua jenis barang tersebut (kain dan komputer).

(4)

Negara Kemungkinan Produksi DTDN

A (Kain) B(Komputer) A/B B/A

(1) (2) (3) (4) (5)

INA 90 60 1,50 0,67

AS 50 100 0,50 2,00

Sumber : Tulus Tambunan, 2001

Seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.1, Indonesia dapat memproduksi maksimum 90 unit kain (A) per satu orang tenaga kerja dan atau dapat memproduksi maksimum 60 unit komputer (B) per satu orang tenaga kerja. Rasio ini menunjukkan bahwa Indonesia lebih baik dalam memproduksi A dibandingkan B. Tingkat produktivitas atau efisiensi dalam penggunaan input (tenaga kerja) di industri A lebih tinggi dibandingkan di industri B. Jika tidak ada perdagangan internasional, dua barang tersebut dapat dipertukarkan di pasar domestik dengan perbandingan sebagai berikut: 1,5 A untuk 1B atau 2/3B untuk 1A. Artinya, biaya alternatif (opportunity cost) untuk membuat 1B adalah dengan mengorbankan 1,5A. Dalam harga relatif dapat ditulis : (Pb/Pa) INA = 1,5. Misalnya, Pb = 100 maka Pa = 66,6. Perbandingan ini disebut dasar tukar dalam negeri (DTDN). Jadi di Indonesia, B mempunyai harga jual lebih tinggi, karena memproduksi B lebih mahal daripada memproduksi A. Sebaliknya di AS, A mempunyai harga jual lebih tinggi dibandingkan B, karena biaya produksi A lebih mahal daripada biaya produksi B. Di pasar domestik AS, dasar tukar dalam negeri adalah: 0,5A untuk 1B atau 2B untuk 1A. Dalam harga relatif dapat ditulis: (Pb/Pa)AS=0,5. Perbedaan rasio harga(biaya produksi) tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan absolut atas Amerika Serikat dalam memproduksi kain (A), sebaliknya AS memiliki keunggulan absolut atas Indonesia dalam memproduksi komputer (B).

Terjadinya perdagangan internsional menyebabkan gains from trade masing-masing negara sebagai berikut: (a) Indonesia memperoleh keuntungan jika menjual (mengekspor) kain (A) ke Amerika Serikat karena 1A dapat ditukar dengan 2B, dibandingkan hanya 2/3B untuk 1A jika tidak ada perdagangan internasional. Jadi keuntungan Indonesia adalah 1,33B; (b) Amerika Serikat memperoleh keuntungan jika menjual komputer (B) ke Indonesia, karena 1B akan memperoleh 1,5A, dibandingkan hanya 0,5A untuk 1B jika tidak ada perdagangan internasional. Jadi keuntungan AS adalah 1A.

Dari contoh tersebut diperoleh bahwa (Pb/Pa) AS ¹ (Pb/Pa) INA, atau (Pb) INA ¹ (Pb) AS dan (Pa) INA ¹ (Pa) AS. Perbedaan harga tersebut merupakan syarat terjadinya perdagangan internasional. Jika harga dari jenis barang yang sama tidak berbeda antarnegara, maka tidak ada alasan untuk melakukan perdagangan internasional, atau masing-masing negara tidak akan menikmati manfaat perdagangan internasional (gain from trade) (Tulus Tambunan, 2001 ).

1.3 Teori Keunggulan Komparatif ( Comparative Advantage)

Dalam perkembangan selanjutnya, disadari bahwa perdagangan yang saling menguntungkan tidak selalu menuntut setiap negara harus memiliki keunggulan absolute dibandingkan mitra dagangnya. Menurut David Ricardo, sekalipun sebuah negara memiliki keunggulan absolute pada beberapa barang, tetapi selama negara yang lebih lemah memiliki keunggulan komparatif pada produksi salah satu barang, maka perdagangan tetap bisa terjadi. Teori David Ricardo yang juga dikenal dengan teori cost comparative advantage ( labor efficiency) ini menyatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut

(5)

dapat berproduksi relative lebih efisien serta mengimpor barang jika negara tersebut berproduksi relative kurang/ tidak efisien.

Munculnya teori keunggulan komparatif dari J.S.Mill (1848) dan David Ricardo (1817) dapat dianggap sebagai kritik dan sekaligus upaya perbaikan terhadap teori keunggulan absolut. J.S.Mill beranggapan bahwa suatu negara akan berspesialisasi pada impor jika negara tersebut memiliki kerugian komparatif. Atau, suatu negara akan melakukan ekspor jika barang yang diproduksi dengan biaya sendiri membutuhkan biaya yang lebih besar atau mahal. Sedangkan dasar pemikiran David Ricardo adalah perdagangan antara dua negara akan terjadi jika masing-masing negara memiliki biaya relatif terkecil untuk jenis barang yang berbeda. Sehingga penekanan Ricardo adalah pada efisiensi relatif antara negara dalam memproduksi dua atau lebih jenis barang yang menjadi dasar terjadinya perdagangan internasional.

Sebagai contoh, berdasarkan efisiensi tenaga kerja; di Indonesia untuk memproduksi 1 unit A. seorang pekerja hanya membutuhkan 1 hari kerja dan untuk memproduksi 1 unit B diperlukan 2 hari kerja. Di AS untuk memproduksi 1 unit A dan 1 unit B masing-masing diperlukan waktu 4 dan 3 hari kerja. Atau, berdasarkan produktivitas tenaga kerja, di INA 1 hari kerja dapat menghasilkan 1A dan 1/2B, dan di AS, 1 hari kerja dapat menghasilkan 1/4A dan 1/3B. Seperti dapat dilihat pada tabel 2.2, DTDN di INA adalah 2A untuk 1B atau 0,5B untuk 1A, atau (Pb/Pa)INA = 2, sedangkan DTDN di AS adalah (PPb/Pa)AS = ¾. Jadi di INA B mempunyai harga jual lebih tinggi dan di AS yang mempunyai harga jual lebih tinggi adalah A.

Tabel 2.2 Ilustrasi Tingkat Efesiensi Tenaga Kerja David Ricardo

Negara Produksi: jumlah jam kerja per satu unit Biaya Relatif

A B

(1) (2) (3) (4)

INA 1(A) INA = 1 1(B) INA = 2 {1(A)/1(B)} INA = ½ AS 1(A) AS = 4 1(B) AS = 3 {1(A)/(B)} AS = 4/3 Sumber : Tulus Tambunan, 2001

Tabel 2.3 Ilustrasi Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja David Ricardo

Negara Produksi: jumlah unitper satu hari kerja DTDN

A B

(1) (2) (3) (4)

INA 1′(A) INA = 1 1′(B) INA = 1/2 (Pb/Pa) INA = 2 AS 1′(A) AS = 1/4 1′(B) AS = 1/3 (Pb/Pa) AS = ¾ Sumber : Tulus Tambunan, 2001

Dari contoh pada tabel 2.2 dan 2.3, dengan teori keunggulan absolut dari Adam Smith, perdagangan antara INA dan AS tidak dapat terjadi karena Indonesia memiliki keunggulan absolut atas Amerika Serikat untuk A dan B, artinya hanya INA yang dapat melakukan ekspor. Jika perdagangan antara kedua negara tersebut tetap dilakukan, misalnya karena AS sangat membutuhkan kain, maka gain from trade hanya dapat dinikmati Indonesia.

Namun David Ricardo menyatakan bahwa perdagangan tetap dapat terjadi dengan penjelasan sebagai berikut: berdasarkan tingkat efisiensi tenaga kerja dalam memproduksi A dan B masing-masing negara (tabel 2.2),selanjutnya dicari untuk

(6)

barang yamg mana Indonesia (atau AS) lebih unggul terhadap Amerika Serikat (atau INA), dalam arti tingkat efisiensi tenaga kerjanya paling tinggi. Hasil perhitungan efisiensi tenaga kerja relatif dapat dilihat pada tabel 2.4:

Tabel 2.4 Perhitungan Efisiensi Tenaga Kerja Relatif

Negara Perbandingan Efesiensi Tenaga Kerja

A B

(1) (2) (3)

INA 1(A)INA/1(A)AS = ¼ 1(B)INA/1(B)AS = 2/3 AS 1(A)AS/1(A) INA = 4 1(B)AS/1(B)INA = 3/2 Sumber : Tulus Tambunan, 2001

Dari tabel tersebut terlihat bahwa tingkat efisiensi tenaga kerja di Indonesia lebih besar bila dibandingkan dengan AS dalam meproduksi 1 unit A daripada produksi 1 unit B; [1(A)INA/1(A)AS < 1(B)INA/1(B)AS]. Hal ini berarti Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam produksi A. Sebaliknya, tenaga kerja AS lebih efisien dibandingkan tenaga kerja INA dalam memproduksi 1 unit B daripada memproduksi unit A [1(A)AS/1(A)INA > 1(B)AS/1(B)INA]. Hal tersebut berarti AS memiliki keunggulan komparatif dalam produksi B. Berdasarkan perbandingan tersebut, Indonesia dan Amerika Serikat masing-masing akan melakukan spesialisasi produksi dan ekspor barang A dan B.

Jadi dapat disimpulkan, bahwa meskipun Indonesia memiliki keunggulan absolut dibandingkan Amerika Serikat untuk barang A(kain) dan barang B (computer), perdagangan Internasional tetap bisa terjadi dan saling menguntungkan keduanya melalui spesialisasi di masing-masing negara jika terdapat perbedaan dalam tingkat efisiensi tenaga kerja (cost comparative advantage) dan atau produktivitas tenaga kerja. (production comparative advantage).

1.3. Teori Heckscher-Ohlin (H-O)

Teori Hecksher dan Ohlin (H-O) disebut juga teori proporsi faktor (factor proportion) atau teori ketersediaan faktor (factor endowment). Dasar pemikiran teori ini adalah perdagangan internasional, misalnya antara Indonesia dan Amerika Serikat terjadi karena opportunity cost antara kedua negara tersebut berbeda. Perbedaan biaya alternatif tersebut dikarenakan adanya perbedaan dalam jumlah faktor produksi. Jadi karena factor endowment yang berbeda, maka sesuai hukum pasar harga faktor produksi tersebut juga berbeda antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jadi menurut teori H-O, suatu negara akan berspesialisasi dalam produksi dan ekspor barang-barang yang impor utamanya relatif sangat banyak di negara tersebut, serta impor barang yang input utamanya tidak dimiliki oleh negara tersebut (jumlahnya terbatas). Dalam kasus Indonesia, negara tersebut akan ekspor

(7)

produk-produk yang padat karya (tetapi dalam kategori unskilled workers) atau padat bahan-bahan baku yang berlimpah di dalam negeri, sepeti minyak, batu bara, dan komoditas-komoditas pertanian (Tulus Tambunan, 2001).

Muatan Teori H-O yang utama adalah: (1) Dalam perdagangan internasional yang melandasi keunggulan komparatif adalah bahwa setiap negara memilki hadiah alam dari Tuhan yang berbeda-beda baik secara kualitas maupun kuantitas, sehingga faktor-faktor produksi tersebut akan memilki distribusi yang tidak merata secara proporsional; (2) Perbedaan kepemilikan faktor produksi oleh setiap negara akan mendorong pemakaian faktor produksi dalam kombinasi yang memilki intensitas yang berlainan. Setiap negara akan mengekspor barang yang memilki intensitas faktor produksi yang melimpah.

Menurut model neoklasik ini, perdagangan internasional tidak bersumber pada perbedaan tingkat produktivitas atau perkembangan teknologi antar negara, melainkan pada perbedaan kelimpahan atau kekayaan faktor produksi. Negara yang memiliki banyak tenaga kerja akan berspesialisasi pada produksi yang bersifat padat karya terutama komoditi primer, serta mengimpor produk yang menggunakan faktor produksi yang langka di negaranya seperti produk manufaktur yang bersifat padat modal.

Teori ini mendorong negara berkembang untuk memfokuskan pengembangan aneka komoditi primer sebagai andalan ekspor yang nantinya akan ditukarkan dengan produk manufaktur. Sehingga, negara berkembang akan lebih berpeluang dalam mengembangkan perekonomiannnya serta memperoleh keuntungan maksimal dari hubungan perdagangan internasional.

Dalam rumusan model kelimpahan faktor, suatu negara diasumsikan pada awalnya akan beroperasi pada suatu titik tertentu di mana kurva batas kemungkian produksi sangat ditentukan oleh kondisi permintaan domestik.

P A C

rasio harga domestik (Pa/Pm)T manufaktur D B rasio harga internasional Īa/Īm pertanian P

Gambar 2.1 Kurva Perdagangan Atas Dasar Kelimpahan Faktor Sumber: Todaro, 2000

(8)

Berdasarkan gambar 2.1 , dapat dilihat manfaat yang diperoleh dalam hubungan perdgangan internsional. Kurve di atas menunjukkan batas kemungkinan produksi suatu negara sebelum dan sesudah terlibat dalam hubungan perdagangan internasional. Dengan asumsi adanya penyerapan sumber daya secara penuh (full employment) dan kondisi persaingan sempurna, sebelum ada perdagangan internasional negara tersebut akan mengadakan produksi dan konsumsi di titk A, dengan rasio harga relatif Pa/Pm, yang besarnya ditunjukan oleh kemiringan atau besarnya sudut perpotongan antara garis putus-putus (Pa/Pm)T serta garis lengkung tepat di titk A. Setelah terjadi perdagangan internasional, negara tersebut akan berproduksi sampai titik B pada kurva batas kemungkinan produksinya, di mana biaya produk relatifnya sama dengan harga relatif dunia. Nagara ini bisa berdagang sepanjang Īa/Īm atau garis harga internasional dengan mengekspor produk pertanian sebesar BD guna memperoleh produk manufaktur (mengimpor) sebesar DC, sehingga masyarakat negara tersebut bisa mencapai titik konsumsi yang lebih tinggi di tititk C, ini menunjukkan peningkatan kesejahteraan di negara tersebut.

Dengan demikian, perdagangan internasional dapat memperbaiki alokasi sumber daya sehingga menjadi lebih efisien melalui spesialisasi produksi dan ekspor komoditi yang menyerap banyak faktor produksi yang banyak dan berlimpah di negara tersebut, serta dapat mengatasi kekurangan faktor produksi tertentu melalui kegiatan impor dari negara lain.

Kesimpulan penting dari model tersebut adalah: (a) setiap negara cenderung berfokus atau berspesialisasi pada kegiatan produksi yang keunggulan komparatifnya dikuasai (artinya Negara tersebut memiliki sumberdaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan komoditi itu dalam jumlah yang melimpah. Sebaliknya Negara tersbut akan mengimbangi kelangkaan kelangkaan sumberdaya tertentu dengan cara mengimpor.(b) setiap negara di dunia memperoleh kesempatan untuk memperbesar batas-batas kemungkinan produksinya (production possibility curve) sekaligus menjamin terpenuhinya kebutuhan konsumsi dari produk impor. Kondisi ini diyakini mampu merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara. (Todaro, 2000).

1.4. Competitive Advantage of Nation

Menurut M Porter, dalam era persaingan global saat ini, suatu negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki 4 (empat) faktor penentu yaitu:

1. Factor Conditions

Faktor conditions adalah sumber daya (resources) yang dimiliki oleh suatu negara yang terdiri atas lima kategori berikut ini.

(9)

a. Human resources (SDM) b. Physical resources (SDA) c. Knowledge resources (IPTEK)

d. Capital resources (Permodalan) atau (SDC) e. Infrastructure resources (Prasarana) atau (SDI)

2. Demand conditions

Permintaan merupakan salah satu faktor penting sebagai penentu keunggulan daya saing atau competitive advantage suatu bangsa/perusahaan produk atau jasa yang dihasilkannya. Adapun yang dimaksud dengan “demand conditions” tersebut terdiri atas:

a. Composition of home demand

b. Size and pattern of growth of hoine demand a. Rapid home market growth

b. Trend of international demand

3. Related and Supporting Industry

Untuk menjaga dan memelihara kelangsungan keunggulan daya saing, maka perlu selalu dijaga keberadaan industri pemasok industri terkait, terutama dalam menjaga dan memelihara value chain.

4. Firm Strategy, Structure and Rivalry

Strategi perusahaan, struktur organisasi dan modal perusahaan, serta kondisi persaingan/rivalry di dalam negeri merupakan faktor-faktor yang akan menentukan dan mempengaruhi competitive advantage perusahaan. Rivalry yang berat di dalam negeri biasanya justru akan lebih mendorong perusahaan untuk melakukan pengembangan produk dan teknologi, peningkatan produktivitas, efisiensi dan etektifitas, serta peningkatan kualitas produk dan pelayanan.

Selain keempat factor penentu dalam tingkat persaingan internasional tersebut, keunggulan kompetitif nasional juga dipengaruhi oleh faktor kebetulan ( penemuan baru, kerubahan kurs, konflik keamanan) dan tindakan-tindakan atau kebijakan pemerintah. Faktor luar lainnya yang penting dan sangat menentukan secara eksternal adalah factor sumberdaya manusia yang dibagi mnenjadi dua, yaitu sistem

(10)

pemerintahan (goverment) dan terdapatnya akses dan kesempatan dalam melakukan sesuatu hal, yaitu perubahan( Hamdy Hady, 2001).

1.5. Hyper Competitive ( Richard D’Aveni)

Proses liberalisasi perdagangan dunia, baik secara regional maupun internasional yang berlangsung hingga saat ini, telah menyebabkan persaingan global yang semakin ketat, bahkan menuju kepada “hyper conmpetitive”. Hal ini dibuktikan antara lain oleh adanya persaingan dan ancaman dari Korea, Taiwan, Singapura, dan lain-lain. Persaingan dan ancaman tersebut dihadapi oleh industri elektronik dan otomotif Jepang, AS dan Eropa yang selama ini menguasai pasar dunia.

Selain itu, persaingan yang sangat ketat juga terjadi di antara sesama negara yang sedang berkembang (NSB), khususnya untuk produk-produk industri ringan seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), sepatu, agro industri, dan lain-lain.

Kondisi persaingan global yang “hyper competitive” tersebut memaksa setiap negara/perusahaan untuk memikirkan/ menemukan suatu strategi yang tepat. Strategi yang tepat tersebut berupa perencanaan dan kegiatan operasional terpadu yang mengkaitkan lingkungan eksternal dan internal, sehingga dapat mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang dengan disertai keberhasilan dalam mempertahankan/meningkatkan “sustainable” real income secara efektif dan efisien. Strategi ini dikenal atau disebut sebagai “Sustainable Competitive Advantage ” atau SCA yaitu “keunggulan daya saing berkelanjutan” (terus menerus). Akan tetapi, menurut Richard D’Aveni (1994), pada situasi “hypercompetitive’“, tidak ada lagi perusahaan/negara yang dapat memiliki “keunggulan daya saing berkelanjutan” atau SCA.

Sehubungan dengan pendapat Richard D’Aveni ini, perlu dikemukakan beberapa catatan (H. Hady, 2004) sebagai berikut.:

Pada situasi “hypercompetititve“, keunggulan daya saing suatu perusahaan/negara tetap didasarkan kepada keunggulan kompetitif dinamis, walaupun dengan periode/jangka waktu yang relatif pendek. Beberapa catatan penting dari teori ini adalah: (1) Pengertian SCA atau keunggulan daya saing berkelanjutan harus diartikan sebagai keunggulan yang diperoleh karena invention dan innovation secara terus-menerus, sehingga tetap unggul dari pesaing; (2) Invention dan innovation diperoleh dari hasil research & development, baik yang bersifat scientific maupun applied; (3)“Sustainable cornpetitive advantage” ini relatif lebih tepat dan paling menguntungkan untuk dilakukan dalam sektor agro industri karena sumber atau resource base-nya dapat diperbaharui atau renewable. “Sustainable cornpetitive advantage”, yang diperoleh melalui Invention dan Innovation.

(11)

Jika dilihat dari perubahan yang terjadi, maka untuk kedepannya akan lebih mengarah kepada monopolistik dimana setiap produksi ataupun lainnya dikuasai oleh satu maupun beberapa orang saja sehingga hanya menguntungkan pihak produsen saja dan merugikan semua pihak konsumen karena harga dan barang ditentukan oleh perusahaan.

3. PORTER’s DIAMOND MODEL FOR GARMENT INDUSTRIES IN INDONESIA

1) Factor Conditions (Endowment Factor) Positif :

 Indonesia memiliki cadangan batubara yang tersebar di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera, sedangkan dalam jumlah kecil, batu bara berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua dan Sulawesi.

 Untuk batubara coklat, Indonesia menempati peringkat tertinggi. Pada tahun 2010, negara menggali 163 juta ton batubara.

Negatif :

 Tenaga kerja terampil cukup baik, meskipun seharusnya masih banyak peluang untuk ditingkatkan, seperti pelatihan dan sertifikasi.

 Sekalipun negara kita penghasil batubara, akan tetapi masih kalah bersaing dengan China dan USA sebagai penghasil batubara terbanyak di dunia.

2) Demand Conditions Positif :

 Jumlah permintaan baik dalam maupun luar negeri sangat menjanjikan dan pasar masih sangat besar.

 Permintaan pasar luar negeri sangat menjanjikan, negara ASIA merupakan konsumen batubara terbesar dunia.

Negatif :

 Kurangnya penyerapan pasar untuk kebutuhan industri dalam negeri, Hal ini terjadi karena pertumbuhan industri pengguna batubara belum begitu pesat. 3) Related & Supporting Industries

(12)

 Ketika industri domestik menjadi competitive, beban biaya perusahaan akan menjadi lebih efisien dan mampu berinovasi. Efek ini juga dapat lebih diperkuat jikalau supplier itu sendiri adalah competitor global yang kuat. Industri kayu adalah industri yang supportive untuk batubara, tapi yang harus dijadikan pertimbangan adalah global warming mengingat industri kayu sedang mengalami masalah.

Negatif :

 Industri pengolahan, mesin berat, alat-alat teknologi masih sangat kurang di Indonesia, sebagian besar mesin diimpor dari China dan Eropa.

 Industri batubara tidak mampu mengolah hasil tambang sesuai permintaan pasar dalam negeri maupun luar negeri secara optimal.

4) Firm Strategy, Structur, & Rivalry Positif :

 Pembiayaan modal untuk usaha batubara cukup tinggi seiring dengan peningkatan kualitas dan kapasitas perbankan di Indonesia.

 Memperkirakan pertumbuhan produksi batubara seiring peningkatan kapasitas produksi dan program efisiensi

Negatif :

 Harga batubara ditentukan oleh adanya permintaan dari negara lain dikarenakan industri lokal belum bisa mengolah.

 Batubara yang diekspor hanya yang berkualitas sedangkan untuk yang bermutu rendah tidak dipakai sehingga harganya menjadi turun secara signifikan.

5) Government Positif :

 pemerintah telah mengeluarkan peraturan agar perusahaan PKP2B dapat memenuhi kebutuhan batubara domestik, yakni dengan aturan DMO (Domestik Market Obligation). Kebijakan DMO mewajibkan perusahaan PKP2B menyisihkan paling tidak 30 persen produksi bersih batubaranya ke penjualan domestik.

 Pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang digunakan sebagai landasan di

dalam kebijakan pengusahaan batubara, yaitu :

1) Kepmen ESDM No.1128 Tahun 2004, tentang Kebijakan Batubara Nasional.

2) Perpres No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.

3) Inpres No.2 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Batubara yang Dicairkan sebagai Bahan Bakar Lain..

Negatif :

 Beban biaya energi yang mahal (listrik, bbm) dan belum adanya peraturan konversi minyak ke bentuk energi lain yang lebih murah seperti batu bara.  Belum ada penghargaan kepada pelaku riset yang telah berjasa

mengembangkan teknologi pemanfaatan energi berbasis batubara.

 Trend ekspor batubara yang jumlahnya meningkat secara signifikan setiap tahunnya oleh pengusaha pertambangan.

(13)

 Belum ada bantuan untuk pengusaha batubara peringkat rendah seperti : penentuan tarif nilai bagi hasil (PKP2B) untuk batubara bermutu rendah. 6) Chance

Positif :

 Dengan posisi yang cukup kuat saat ini sebagai pemain 10 besar dunia, Indonesia berpeluang cukup besar untuk meningkatkan penetrasi pasarnya di pasar luar negeri terutama pasar AS, Uni Eropa, dan Jepang.

Negatif :

 Kurangnya kesiapan bangsa Indonesia dalam menghadapi persaingan global mengakibatkan industri sukar maju dan tergeser oleh eksportir-eksportir dari China, Brazil, Rusia dan India.

 Belum adanya pengembangan pelabuhan bongkar, sarana angkutan dan jalur distribusi serta stockyard batubara yang dekat dengan sentra industri di wilayah pulau jawa yang merupakan konsumen terbesar di dalam negeri.

Referensi

Dokumen terkait

anak juga sering dikaitkan dengan proses pikir dari anak tersebut yang masih dalam tahap pertumbuhan, sebab pertumbuhan seorang anak biasanya menyangkut tentang

[r]

Virulensi spora pada masing-masing generasi subkultur diuji dengan cara meneteskan 10 μ l suspensi (kerapatan 1x10 6 spora/ml) pada nimfa walang sangit instar ketiga yang baru

Imam al-Ghazali sebagai ulama Syafi’iyah, menyatakan bahwa apabila kas negara itu kosong dan tak ada biaya yang mencukupi untuk pengeluaran biaya militer sedangkan ditakutkan

Data-data yang telah terkumpul baik data primer dan sekunder, selanjutnya diolah dan dianalisa secara normatif dan sistematis dengan menggunakan data kualitatif

Memaksimalkan kursus calon pengantin (suscatin) sesuai dengan panduan dari Kementerian Agama RI, baik dari sisi materi maupun dari alokasi waktu, selama ini suscatin

Sistem informasi manajemen zakat adalah aplikasi yang digunakan untuk mencatat berbagai data dan transaksi sehingga semua data tersebut dapat diproses menjadi

 Tekanan darah normal adalah sekitar 60/30 mm Hg pada jangka...  Periksa telinga Untuk memeriksa telinga bayi, tataplah muka nya. Bayangkan sebuah garis melintasikedua mata