FATWA DAR AL-IFTA MESIR (MAJELIS ULAMA MESIR)
www.dar-ilifta.org
Judul: Para perempuan mengikuti pengajian dari ustadz
tanpa pembatas
Memperhatikan permohonan fatwa No. 3267 tahun 2005 yang berisi:
Apakah kaum muslimah boleh mengikuti pengajian yang disampaikan oleh seorang laki-laki tanpa ada satir atau pembatas di antara mereka? Sebagian pihak ada yang mengatakan bahwa hal itu diharamkan.
Jawaban Dewan Fatwa:
Menurut para ulama dari kalangan salaf dan khalaf (masa belakangan) keberadaan kaum laki-laki dan kaum perempuan di satu tempat tidaklah secara otomatis menjadi haram. Yang menjadi haram adalah jika terjadi kondisi yang bertentangan dengan ajaran agama, seperti jika para perempuan menampakkan aurat, pertemuan itu untuk kegiatan yang munkar atau jika terjadi khalwat yang diharamkan.
Para ulama menegaskan bahwa kondisi ikhtilath yang diharamkan –yang disebabkan oleh perbuatan ikhtilath itu sendiri– adalah jika kaum laki-laki dan perempuan saling menempel (sempit-sempitan atau merapat) bukan karena sekedar bersama berada di satu tempat. Hal ini seseuai dengan hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Sahal bin Sa’ad As- Sa’idi r.a. ia berkata, “Ketika Abu Usaid As-Sa’idi melaksanakan resepsi pernikahan, ia mengundang Nabi Saw. bersama beberapa para sahabat. Tidak ada yang membuatkan dan menghidangkan makanan untuk mereka kecuali istrinya yaitu Ummu Usaid”. Imam Bukhari memberi judul untuk hadis ini sebagai “Bab Perempuan Menjamu Kaum Laki-laki dalam Acara Resepsi Pernikahan”.
Al-Qurtubi berkata dalam buku tafsirnya:
Para ulama kami (mazhab Maliki) berkata: Hadis ini sah menjadi dalil atas kebolehan seorang istri menyiapkan jamuan bagi tamu suami bersama suami dalam acara resepsi pernikahan”.
perempuan, hal itu hanya khusu bagi para istri Nabi Saw. Itu ada dalam Al-Quran surah Al-Ahzaab [33] ayat 53.
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir”.
Al-Hafizh Ibn Hajar memberikan komentar atas hadis di atas dalam buku Fathu Al-Bari:
“Hadis ini menjadi dalil atas bolehnya perempuan menyiapkan jamuan (melayani) untuk suaminya bersama tamu undangannya. Tentu saja kebolehan itu selama tidak ada
kemungkinan terjadi sesuatu yang buruk (fitnah) dan perempuan tersebut senantiasa menutup auratnya. Hadis ini juga menjadi dalil atas bolehnya suami meminta istri melakukan pelayanan itu”.
Dalam buku kumpulan hadis shahih oleh Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah r.a. meriwayatkan kisah Abu Thalhah Al-Anshari bersama istrinya yang melayani tamu mereka. Dalam kisah itu disebutkan bahwa mereka berdua berpura-pura makan di hadapan tamu mereka, padahal mereka tidak makan sama-sekali, sehingga mereka berdua tertidur dalam kondisi perut kosong karena tidak makan.
Dalam riwayat Ibn Abi Ad-Dunya, –sebagaimana dikutip dari buku Qira Ad-Dhayf– dari Anas bin Malik r.a. bahwa ada seorang sahabat Nabi Saw berkata pada istrinya, “Buatlah roti ini menjadi tsarid (makanan yang terbuat dari roti yang diremuk lalu direndam dengan kuah dan daging) dan tambahkan mentega sebagai lauknya lalu hidangkan kepada tamu kita. Suruhlah pembantu untuk mematikan lampu. Kemudian, ketika menemani tamu mereka makan, keduanya ikut menggerakkan mulut seperti orang yang sedang makan, sehingga tamu itu mengira bahwa mereka juga ikut makan”. Dipahami dari zahir teks hadis ini (secara eksplisit) ada petunjuk bahwa mereka makan dalam satu hidangan atau satu nampan. Pada pagi besoknya mereka menjumpai Rasulullah Saw lalu beliau menyampaikan kepada mereka:
“Allah mengagumi perbuatan kalian berdua menghadapi tamu kalian tadi malam”.
Lalu Allah menurunkan wahyu dari Al-Quran terkait mereka: ْﻥَﻡ َﻦوُّﺏِﺡُﻱ ْﻡِﻩِﻝْﺏَﻕ ْﻥِﻡ َﻦاَﻢﻴإﻠاَﻭ َﺮاَّﺪﻠا ﺎوُﺀَّﻭَﺏَﺕ َﻦﻳِﺫَّﻞاَﻭ ﺎوُﺖوُﺃ ﺍَّﻡِﻡ ًﺓَﺞاَﺡ ْﻡِﻩِﺮوُﺩُﺹ ﻱِﻑ َﻦوُﺩِﺝَﻱ ﺎﻟَﻭ ْﻡِﻩْﻱَﻝِﺇ َﺭَﺞاَﻩ َﻖوُﻱ ْﻥَﻡَﻭ ٌﺓَﺺاَﺹَﺥ ْﻡِﻩِﺏ َﻦاَﻙ ْﻭَﻝَﻭ ْﻡِﻩِﺱُﻑْﻥَﺃ ﻯَﻝَﻉ َﻦوُﺭِﺙْﺅُﻱَﻭ َﻦوُﺡِﻝْﻑُﻡْﻞا ُﻡُﻩ َﻙِﺉَﻞوُﺃَﻑ ِﻩِﺱْﻑَﻥ َّﺡُﺵ
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr [59] ayat: 9).
Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan dari Abu Juhaifah r.a. ia berkata, “Nabi Saw
mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Pada suatu hari, Salman berkunjung ke rumah Abu Darda’. Ia bertemu dengan Ummu Darda’ yang ketika itu memakai pakaian yang lusuh. Salman lalu bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi denganmu?” Ummu Darda’ menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ tidak lagi memikirkan dunia”. Sebentar kemudian Abu Darda’ muncul dan membuatkan Salman makanan.
Al Hafizh Ibn Hajar dalam bukunya Fathu Al-Bari berkomentar atas hadis ini:
“Dari hadis ini diperoleh pesan bahwa boleh berbicara dan bertanya kepada perempuan yang bukan mahram tentang sesuatu yang ada di baliknya maksud kebaikan (maslahah).
Rasulullah Saw. “Kaum laki-laki memonopoli dirmu dari kami. Oleh karena itu berilah kami satu hari untuk bersamamu.” Lalu Rasulullah menentukan hari untuk berjumpa mereka dan
menyampaikan pelajaran”.
Hadis berdekatan yang dengan itu ada dalam riwayat juga ada dalam riwayat Nasai dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah r.a. diberitakan bahwa Rasulullah berkata kepada
perempuan-perempuan itu:
ﺔﻨاﻠﻓ ﺖﻴﺑ َّﻥُﻚدﻌوﻣ
“Tempat pertemuan dengan kalian adalah di rumah fulanah”.
Bukti pendukung atas kebolehan itu, bahwa dahulu para wanita muslimah selalu berpartisipasi dengan kaum laki-laki dalam berbagai aktifitas kehidupan bermasyarakat dengan senantiasa menjaga cara berpakaian dan adab-adab islami. Bahkan, ada di antara sahabiyah (sahabat Rasul dari kalangan perempuan) yang menjadi penanggung-jawab hisbah (ibara polisi syariah jika di masa sekarang). Hal itu sebagaimana diriwayatkan Thabrani dalam buku Al-Mu’jam Al-Kabir –berlandaskan sanad yang terdiri dari para perawi tsiqat– dari Abu Balaj Yahya bin Abu Sulaim, ia berkata, “Saya melihat Samra’ binti Nuhaik –seorang perempuan yang pernah berjumpa dengan Nabi Saw– memakai pakaian perang dan kerudung yang berbahan kain yang kasar serta memegang sebuah cambuk. Ia bertugas menertibkan masyarakat serta melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar”.
Dari semua keterangan di atas, tidak sepatutnya ada orang mengingkari atau meniadakan kenyataan (realitas) yang didapat dari data sunnah Nabawiyah dan tercatat dalam sejarah perjalanan kaum muslim pertama. Kebiasaan atau adat masyarakat di suatu tempat (seperti misalnya di Arab Saudi. Penerj) dan periode masa tertentu tidak bisa dijadikan standar atau pijakan beragama dan bersyariat. Sumber-sumber berupa data hadis yang merupakan ajaran agama berada di posisi teratas tidak ada yang mengalahkannya. Jika ada seseorang yang ingin memilih bersikap wara’ dengan maksud ingin lebih berhati-hati, maka ia tidak boleh
memaksakan pendapat pada orang lain untuk mengikutinya, atau bersikap keras dan mempersempit urusan yang sebenarnya Allah jadikan lapang dan mudah bagi hamba-Nya. Dengan demikian, apa yang disampaikan dalam pertanyaan adalah tidak salah dan tidak diharamkan. Wallahu subhaanahu wa ta’aala a’lam.
Sumber: www.dar-alifta.org