• Tidak ada hasil yang ditemukan

ILSA E-Law HUMAN RIGHTS ABUSE OF INDONESIAN CREWMAN ABOARD FISHING VESSEL. Future Of International Law. Juni 2020 Edisi III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ILSA E-Law HUMAN RIGHTS ABUSE OF INDONESIAN CREWMAN ABOARD FISHING VESSEL. Future Of International Law. Juni 2020 Edisi III"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ILSA E-Law

“Future Of International Law

Juni 2020 Edisi III

HUMAN RIGHTS ABUSE OF

INDONESIAN CREWMAN

ABOARD FISHING VESSEL

Penulis :

Andi Nurul Azizah

Aprilya Zachra Alwi Penyunting :

(2)

Juni 2020 Edisi III

Buruh migran merupakan pekerjaan yang berkembang dengan signifikan. Menurut ILO (Intenational Labour Organization) 73 persen migran adalah pekerja. Pada tahun 2017 ILO mencatat ada sekitar 244 Juta migran diseluruh dunia atau 3,3 persen dari populasi dunia. Pekerja/buruh migran sangat rentan terhadap eksploitasi kerja, perdagangan manusia dan tidak mendapat perlindungan kerja yang cukup. Standar ILO terhadap migrasi ialah penyediaan alat untuk negara asal dan negara tujuan untuk mengelola migrasi dan memastikan perlindungan yang memadai bagi kelompok pekerja yang rentan ini.

INTERNASIONAL LAW

STUDENT ASSOCIATION CHAPTER UNIVERSITAS HASANUDDIN

Memfasilitasi migrasi internasional untuk pekerjaan dengan menetapkan dan mempertahankan layanan bantuan dan informasi gratis bagi para pekerja migran dan mengambil langkah-langkah terhadap propaganda yang menyesatkan sehubungan dengan emigrasi dan imigrasi, termasuk ketentuan layanan medis bagi para pekerja migran dan pemindahan pendapatan serta tabungan dan menyediakan langkah-langkah untuk memerangi imigrasi gelap dan ilegal merupakan tugas dari setiap negara menurut standar migran yang ditetapkan oleh ILO.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (PWNI dan BHI) Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, Judha Nugraha mengatakan, banyak warga negara Indonesia (WNI) sebagai pekerja migran tidak melakukan lapor diri keperwakilan RI di negara lain. Di antara para pekerja migran adalah Anak Buah Kapal (ABK) yang tersebar bekerja di kapal-kapal pesiar maupun perikanan di luar negeri.

Berdasarkan database Kemenlu RI ada 2,9 juta WNI yang tinggal di luar negeri, Sebanyak 9.404 di antaranya merupakan pekerja migran Indonesia (PMI) yang bekerja sebagai ABK, para ABK Indonesia ini juga banyak yang terputus interaksi dari keluarganya, bahkan terdapat banyak laporan keluarga atau orang tua yang merasa kehilangan anaknya di kapalasing. Judha mengatakan, data yang disampaikan adalah data dari warga negara Indonesia yang aktif melakukan lapor diri di perwakilan RI di luar negeri. Namun, tidak sedikit WNI maupun ABK WNI yang tidak lapor diri.

Para ABK tersebut terbagi dalam beberapa kategori; yakni ABK yang bekerja di kapal kargo (6,57%), kapal pesiar (6,80%), kapal tanker (0,68%), tugboat (8,84%), dan kapal penangkap ikan (77,09%).

(3)

Juni 2020 Edisi III

Pada Mei 2020, Dunia internasional dikejutkan dengan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap anak buah kapal (ABK) Indonesia di Kapal Long Xing 629.

Kasus tersebut menjadi viral setelah diwartakan oleh media di Korea Selatan video mengenai pelarungan jenazah ABK yang bernama Ari (24 tahun) Bahkan sebelumnya juga terjadi pelarungan terhadap ABK Indonesia lainnya, yaitu Alfata (19 tahun) dan Sepri (24 tahun).

Para korban mengatakan bahwa mereka berkerja selama 18 jam perhari dan mereka hanya dapat meminum air laut selama bekerja di kapal tersebut serta mendapat kekerasan fisik dari senior atau wakil kapten kapal tempat mereka bekerja dan hal yang paling sering mereka alami ialah gaji yang mereka dapatkan tidak sebagaimana yang telah dijanjikan.

Sebelum ABK Indonesia meninggal dunia, terdapat beberapa pelanggaran HAM yang terjadi di Kapal Long Xing 629, seperti adanya perbudakan, eksploitasi kerja secara berlebihan, perbuatan yang tidak manusiawi, upah yang jauh dibawah standar pada umumnya dan bahkan saat meninggal mayat ABK dibuang secara sewewenang di laut dengan cara dilarung ditengah laut tanpa sepengetahuan keluarga terlebih dahulu, sehingga ini tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Seharusnya proses pelarungan itu juga harus didokumentasikan secara detail baik dengan video maupun foto, Ini karena praktik pelarungan diatur dalam peraturan “Seafarer’s Service Regulations” ILO, Pasal 30.

(4)

Perbuatan-perbuatan tersebut dapat dikatakan melanggar Pasal 4, Pasal 5, Pasal 9, Pasal 23 (3), Pasal 24, Pasal 25 (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menjunjung harkat dan martabat manusia dan melanggar pasal 6 dan pasal 7 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada UU Nomor 12 Tahun 2005 sedangkan, China sudah menandatangani kovenan tersebut tetapi belum meratifikasinya hingga saat ini. Tindak kriminal tersebut juga melanggar hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan yang disebutkan pada pasal 7 International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights yang telah disahkan oleh pemerintah Indonesia pada UU Nomor 11 Tahun 2005 dan begitupun China telah meratifikasinya pada tanggal 27 Maret 2001. Tindak Kriminal tersebut juga melanggar ketentuan-ketentuan pada Konvensi ILO nomor 188 tahun 2007 yang secara terperinci menjelaskan mengenai hak-hak awak kapal dalam pekerjaan penangkapan ikan. “Disebutkan pula pada pasal 8 ayat 2 b Konvensi ILO 188 secara eksplisit menekankan kapten kapal wajib menghormati keselamatan dan kesehatan awak kapal. kebijakan ini dinilai perlu untuk disepakati pemerintah sebab cukup banyak kekerasan yang dilakukan kapten kapal terhadap ABK-nya.”

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pelanggaran terhadap ABK sudah sering terjadi, pada periode tahun 2018 hingga 6 Mei 2020 terjadi pengaduan oleh ABK sebanyak 411 aduan dan pengaduan terbanyak adalah gaji yang tidak dibayar sebanyak 183 aduan. Hal tersebut dapat dikatakan sangat miris karena ABK Indonesia yang menjadi awak kapal yang umumnya diiming-imingi dengan gaji yang tinggi. Gaji yang bermata uang Dollar US membuat pekerja Indonesia tertarik bekerja dengan pekerjaan itu walaupun mereka pergi jauh merantau dari tanah air dan meninggalkan keluarganya.

Edisi III Juni 2020

Di Indonesia pada UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran hanya mengatur beberapa hak-hak dan kewajiban ABK. Awak kapal memiliki hak kesejahteraan yang mencakup gaji, jam kerja dan jam istirahat, jaminan pemberangkatan ke tempat tujuan dan pemulangan ke tempat asal, pemberian akomodasi, fasilitas rekreasi, makanan atau minuman, pemeliharaan dan perawatan kesehatan, serta pemberian asuransi kecelakaan kerja. Kesejahteraan kerja ini dinyatakan dalam perjanjian kerja antara awak kapal dengan pemilik

atau operator kapal. ABK Indonesia dapat bekerja di dalam maupun di luar negeri. Proses penempatan ABK Indonesia ke luar negeri diatur pada UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Namun, UU ini belum dapat mengatasi ataupun mencegah tidak terjadinya pelanggaran HAM terhadap para ABK Indonesia.

(5)

Berdasarkan BBC.com, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan bahwa terdapat 4 ABK Indonesia yang telah meninggal, 3 diantaranya di larung dilaut dimana kapal yang mereka tempati berlayar. Sedangkan, 1 ABK di antaranya meninggal di Busan. Menurut Abdul Hakim selaku programme manager ILO di Jakarta, keselamatan para ABK di atur juga pada Konvensi ILO nomor 188 tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, namun konvensi ini belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Wacana pemerintah akan meratifikasi ini telah muncul mulai awal 2015 dimana kasus perbudakan ABK Indonesia pertama kali mencuat di era Menteri kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, tetapi hingga sekarang konvensi ILO nomor 188 tahun 2007 belum diratifikasi. Sehingga, masyarakat Indonesia melihat bahwa tidak ada keseriusan pemerintah dalam melindungi ataupun mencegah terjadinya tindak kriminal terhadap para ABK.

Retno Marsudi selaku Menteri Luar Negeri Indonesia mengatakan bahwa ia akan meminta dukungan kepada pemerintah Tiongkok untuk mengusut tuntas kasus ini dan membantu pemenuhan tanggung jawab atas hak para awak kapal Indonesia, termasuk pembayaran gaji yang belum dibayarkan dan kondisi kerja yang aman. Perlindungan ABK di kapal ikan menjadi fokus diplomasi Indonesia untuk mendorong adanya norma hukum internasional yang mengatur pelindungan bagi ABK yang bekerja di kapal ikan karena perlindungan ABK di kapal ikan berbeda dengan perlindungan di kapal niaga yang secara rinci diatur oleh Maritime Labour Convention (MLC). Sedangkan, awak kapal yang bekerja di kapal ikan longline belum ada atau masih sangat terbatas aturang-aturan internasional yang mengaturnya menurut Kemenlu Retno pada konferensi pers tanggal 7 Mei 2020.

China memberi tanggapan terhadap nota diplomasi yang dilayangkan oleh Indonesia. Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian mengatakan bahwa “China akan serius mengusut kasus ini dan akan terus menjalin komunikasi dengan Indonesia mengenai hal itu dan menangani masalah ini berdasarkan fakta dan hukum yang berlaku”. Zhao Lijian menilai bahwa beberapa hal yang diberitakan oleh media tidak sesuai dengan fakta yang ada.

Ada beberapa faktor yang dapat dikatakan mempengaruhi terjadinya pelanggaran HAM terhadap ABK menurut kutipan pers Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) :

1. Adanya kewenangan yang tumpang tindih dan saling bersilangan, dimana itu menyebabkan ketidakjelasan pemegang peran utama untuk pengendalian penempatan ABK Indonesia, serta pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan.

2. Tidak adanya database terpadu sebagai sumber daya terpercaya dasar pengawasan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak dasar ABK, dan mempercepat penanganan apabila terjadi

pelanggaran. Serta tidak maksimalnya fungsi kontrol dan pengawasan berjalan sehingga mendorong terjadinya pelanggaran hak-hak ABK oleh pemberi kerja.

3. Belum optimalnya sinergi dalam penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia terhadap ABK Indonesia di kapal ikan asing. Serta, para ABK itu belum cukup dibekali pengetahuan, wawasan dan kemampuan (skill) sebelum berangkat.

(6)

PERLINDUNGAN HUKUM INTERNASIONAL ATAUPUN

HUKUM NASIONAL TERHADAP PARA ABK

Hukum Internasional

1. Maritime Labour Convention 2006 ( Konvensi Ketenagakerjaan Maritim 2006) telah diratifikasi pada UU Nomor 15 Tahun 2016.

2. Cape Town Agreement of 2012 on the implementation of the Provisions of the 1993 protocol relating to the Torremolinos International Convention for the Safety of Fishing Vessels, 1997 3. Work In Fishing Convention No. 188/2007 ( Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam penangkapan ikan)

4. International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their families 1990 (telah diratifikasi pada UU Nomor 6 Tahun 2012 tentang Ratifikasi konvensi Internasional tentang perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya. 5. Convention againts Torture and other treatment,

Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1984 ( diratifikasi pada UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia)

6. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) (telah diratifikasi oleh Indonesia pada UU Nomor 12 Tahun 2005)

7. International covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (telah disahkan oleh pemerintah Indonesia pada UU Nomor 11 Tahun 2005)

Hukum Nasional

1. UU Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran

2. UU Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

3. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 tahun 2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia Perikanan.

4. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42 tahun 2016 tentang Perjanjian Kerja Laut bagi Awak Kapal Perikanan

5. UU Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Buruh Migran Indonesia 6. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun

2000 Tentang Kepelautan

Edisi III Juni 2020

(7)

HAL APA SAJA YANG PERLU PEMERINTAH

LAKUKAN ?

Langkah pemerintah dan perwakilan dalam penanganan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di kapal Long Xing berdasarkan laporan Direktorat Perlindungan WNI dan BHI kementerian luar negeri, ialah :

1. Dalam perlindungan kekonsuleran, terhadap 3 kasus pelarungan pemerintah mengadakan rapat K/L, pemanggilan

Manning Agency

dan

Family Engagement.

Terhadap 46 ABK yang masih berada di kapal tersebut, pemerintah mengadakan akses kokunsuleran dan penyelidikan KCG serta melakukan repatriasi.

2. Dalam Perlindungan Diplomatik, pemerintah melayangkan nota diplomatik kepada kemlu RRT, memanggil duta besar RRT di Jakarta serta melakukan pertemuan Dubes RI Beijing dengan DG Asia Kemlu RRT.

Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pun menyebut ada enam terobosan yang perlu dilakukan pemerintah agar kasus tak terulang :

1. Menguatkan political will (kemauan politik) pemerintah dengan kepemimpinan yang kuat untuk membenahi governance dan memperkuat penegakan hukum dalam melindungi ABK Indonesia di kapal asing. "Komitmen kuat tersebut dapat dituangkan dalam bentuk Surat Pernyataan Bersama para menteri terkait atau pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pembenahan dan Perlindungan ABK Indonesia di kapal asing oleh Presiden Joko Widodo, dipimpin oleh menteri koordinator dan bertugas mengawasi pelaksanaan pembenahan tata kelola penempatan dan perlindungan ABK Indonesia di kapal ikan asing.

2. Melakukan pembenahan integrated database Pekerja Migran Indonesia, khususnya ABK yang bekerja di kapal ikan asing oleh BP2MI sebagai lembaga yang bertanggungjawab atas penempatan pekerja migran. Database tersebut dapat dimanfaatkan kementerian terkait untuk koordinasi dalam pengawasan sejak sebelum pemberangkatan, saat bekerja, hingga pemulangan.

3. Prosedur penempatan yang menjamin perlindungan ABK, antara lain proses penempatan yang murah, mudah, cepat, aman, transparan, dan satu pintu di bawah BP2MI dengan Kementerian Ketenagakerjaan sebagai regulator dan pemberi izin keagenan.

(8)

4. Kemudian, harus ada penguatan perlindungan hukum ABK dengan melakukan percepatan penerbitan PP dan Peraturan Menteri sebagai peraturan turunan yang dimandatkan oleh UU Nomor 18 Tahun 2017, dan percepatan peratifikasian instrumen hukum internasional (ILO Convention 188) oleh Kementerian Ketenagakerjaan.

5. Peningkatan kompetensi melalui pembekalan yang cukup kepada para ABK sebelum diberangkatkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perhubungan, serta memastikan informasi yang diberikan kepada calon ABK terkait pekerjaannya secara lengkap dan akurat.

6. Serta mengoptimalkan kerja sama dalam penegakan hukum baik antar instansi didalam negeri maupun melalui kerja sama internasional.

Menurut Arie Afriansyah yang merupakan ketua pusat penelitian Djokosoetono Fakultas Hukum Universitas Indonesia, terdapat beberapa cara yang bisa kita lakukan terhadap pemerintah Cina, yaitu:

1. Menekan Cina melalui jalur diplomasi untuk melakukan investigasi serius bersama penegak hukum Indonesia atas kasus ini;

2. Menugaskan perwakilan Indonesia di Cina untuk ikut melakukan investigasi berkordinasi dengan kepolisian Indonesia dengan interpol;

3. Jika pelaku tertangkap, Pemerintah Indonesia meminta ekstradisi ke Cina agar pelakunya dapat diadili di Indonesia.

Indonesia sendiri dengan Cina memiliki kerja sama dalam ekstradisi sehingga poin ketiga tersebut dapat dilaksanakan.

(9)

URGENSI MENGAPA KONVENSI ILO NOMOR 188

TAHUN 2007 HARUS SEGERA DIRATIFIKASI

Untuk tercapainya

kepastian perlindungan bagi pekerja migran

Indonesia yang bekerja di atas kapal negara asing bisa terjamin.

Mencegah praktik perbudakan terhadap pekerja di sektor

perikanan.

Untuk memastikan awak kapal yang bekerja di kapal penangkapan

ikan mendapat pemenuhan syarat minimal ketika bekerja, misalnya

terkait standar persyaratan layanan, akomodasi, makanan,

perlindungan kesehatan, keselamatan kerja, dan jaminan sosial.

Semua standar tersebut menjadi tanggungjawab pemilik kapal

penangkapan ikan.

Sebagai bentuk konkret negara melindungi nelayan Indonesia yang

Juni 2020 Edisi III

“…The important for

taking action that makes

a real difference in the

lives of those who arrive

at our shores seeking

safety, security, or their

future livelihood…”

“ Our Policy Choices Matter Greatly”

Guy Ryder

(10)

TENTANG PENULIS

ANDI NURUL AZIZAH Minister Finance

Usually, dipanggil Cica/Azizah. Mahasiswi semester 6 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, angkatan 2017. Pengurus ILSA Unhas periode 2019-2020

APRILYA ZACHRA ALWI Vice Minister Finance

Dipanggil Sarah, Mahasiswi Semester 6 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin angkatan 2017. Pengurus ILSA Unhas periode 2019-2020

RENDI YUSA ALI Minister Academic Activity

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin angkatan 2017. Enterpreneur muda yang telah dua kali menjadi person in charge program internship ILSA Unhas pada beberapa KBRI di luar negeri. Rendi telah menjadi pengurus ILSA Unhas selama 3 periode dan memiliki minat pada Hukum Internasional

TENTANG PENYUNTING :

- HANS GIOVANNY

Presiden ILSA Unhas Periode 2019, Mahasiswa Semester 8 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Referensi

Dokumen terkait

9 What this means in terms of my research is that rather than following suggestions for an alternative approach to transitional justice in the form of “transformative justice” as

The findings show the protection of TCE in Indonesia based on Article 38 of the Law Number 28 of 2014 concerning Copyright (Copyright Law 2014) was implemented through the Draft

The government should also contribute indirect support to venture capital by creating conducive environment for venture capital develop- ment, such as increasing economic growth

31 International Court of Justice, Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v.. coasts” of the two States, the “relevant area” to be delimited, as well as the

However by still recognizing the United Kingdom’s historic rights and economic dependency on certain fish stocks located in such a fishing zone, 32 the Court implied that Iceland

As mentioned above, the implementation of digital services tax draws allegation of violation towards the non-discrimination principles of WTO, namely the Most-Favoured Nation

State parties undertake to respect and ensure respect for rules of international humanitarian law applicable to them in armed conflicts which are relevant to the child; State

The study does not show the need for any changes to be made to the provisions under the Indian Copyright Act, rather it is required in the execution and implementation to