• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAGASAN PERGERAKAN SOSIAL DALAM TAUFAN DIATAS ASIA DAN TIGA BUAH SANDIWARA LAIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAGASAN PERGERAKAN SOSIAL DALAM TAUFAN DIATAS ASIA DAN TIGA BUAH SANDIWARA LAIN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

GAGASAN PERGERAKAN SOSIAL DALAM TAUFAN DIATAS ASIA DAN TIGA BUAH SANDIWARA LAIN

Ananto S.S.

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia Email: ananto.sutyasno@gmail.com

ABSTRAK

Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain merupakan kumpulan naskah drama karya El Hakim atau Abu Hanifah. Karya ini muncul pada zaman pendudukan Jepang tetapi baru dibukukan pada tahun 1949. Pada zaman pendudukan Jepang, drama banyak digunakan sebagai alat propaganda untuk kepentingan Jepang. Dalam situasi sosial tersebut, El Hakim muncul dengan karya-karyanya yang sedikit atau tidak sama sekali mencerminkan propaganda Jepang. Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain mengandung gagasan-gagasan El Hakim untuk menanggapi permasalahan masyarakat pada masa pendudukan Jepang. Gagasan-gagasan tersebut menempatkan El Hakim sebagai pengarang yang berdiri antara propaganda untuk Jepang dan Indonesia.

Kata Kunci: Sastra, Gagasan Pergerakan Sosial, Drama, El Hakim, Abu Hanifah

ABSTRACT

Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain is a collection of playscript by El Hakim or Abu Hanifah. This works come up during the Japanese occupation period but the book was published in 1949. In the Japanese occupation period, plays was used to be propaganda means towards Japanese benefits. In this social situation, El Hakim shows up with his works within or without propaganda means. Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain contains El Hakim’s ideas to answer the people problems during the Japanese occupation period. That ideas placed El Hakim as a playwright who stand among propaganda towards Japan and Indonesia.

Keywords: Literature, Social Movement Idea, Drama, El Hakim, Abu Hanifah

1. Pendahuluan

Karya sastra merupakan hasil timbal balik antara pengarang, masyarakat, dan karya. Damono (2009: 1) menjelaskan karya sastra dihasilkan oleh pengarang. Pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat dengan lembaga-lembaga sosial. Lembaga-lembaga sosial dan kehidupan masyarakat dijadikan inspirasi bagi pengarang untuk menciptakan karya. Karya sastra, sebagaimana karya seni lainnya, merupakan suatu kebulatan yang utuh, khas, dan berdiri sendiri (Hardjana, 1981: 25). Dalam memandang sebuah peristiwa, seorang pengarang menjadi pengambil keputusan yang mempunyai otoritas tidak terbatas. Oleh karena

(2)

diciptakan dalam suatu karya adalah dunia pengarang yang meskipun digambarkan sangat pribadi, tetap tidak terlepas dari masyarakat atau lingkungan tempat sastrawan itu berada (Wiryomartono, 2001: 113).

Salah satu bentuk karya sastra ialah drama. Drama Indonesia mengalami perkembangan sangat pesat pada masa pendudukan Jepang. Menurut Oemarjati (1971: 43), intensitas penulisan lakon lebih giat dilakukan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya (Balai Pustaka dan Pujangga Baru).

Drama oleh pemerintah militer Jepang melalui Sendenbu1 (Kantor Propaganda) digunakan sebagai alat propaganda Jepang. Secara sederhana, Wasono (1999: 47) mengutip Shaw menyatakan propaganda ialah informasi, ide, atau gosip yang disebarluaskan untuk mendukung atau menghancurkan seseorang, kelompok, gerakan, keyakinan, lembaga, atau bangsa. Jika dilihat dari pengertian propaganda di atas, dapat dibayangkan bahwa pada masa pendudukan Jepang terlihat adanya campur tangan pemerintah Jepang (sebagai pihak yang memiliki kepentingan propagandis) pada waktu itu dalam drama-drama yang muncul. Pesan-pesan yang disampaikan dalam drama-drama tersebut harus memuat propaganda untuk membantu perang Jepang. Tujuan dari perang yang dilakukan bangsa Jepang ialah untuk mencapai Kemakmuran Bersama Bangsa Asia Timur Raya (Hakko Ichiu).

Untuk mengatur kelancaran propaganda tersebut, 18 April 1943 Kantor Propaganda membentuk Keimin Bunka Shidosho (Kantor Pusat Kebudayaan). Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia menjelaskan,

Pemerintah itu mendirikan sebuah Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) yang digunakan untuk mengorganisasi sekalian seniman Indonesia. Melalui pusat ini dikerahkan penyaringan yang amat ketat yaitu penyaringan yang bukan saja melarang segala sesuatu yang dianggap bermusuhan atau berbahaya terhadap peperangan Jepang, tetapi juga menuntut hasil kesusastraan yang mendorong cita-cita peperangan Jepang yang dengan pintar ditemakan dengan nama Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya (Teeuw, 1978: 150).

Kantor Pusat Kebudayaan tersebut mewajibkan para pengarang untuk menuliskan karya-karya yang memiliki nilai propaganda mendukung Jepang dalam perang.

1

Susunan Pemerintah Pusat Pemerintahan militer Jepang di indonesia dikepalai oleh Ketua Markas Besar Angkatan Darat. Ketua Markas Besar Angkatan Darat kemudian membentuk kantor Soomubu (Bagian Urusan Umum), Naimubu (Bagian Urusan Dalam Negeri), Sihoobu (Bagian Kehakiman), Keimubu (Bagian Kepoisian), Zaimubu (Bagian Keuangan), Sangyoobu (Bagian Perekonomian), Kootubu (Bagian Lalu-lintas), dan Sendenbu (Bagian Propaganda)untuk mengatur segala urusan yang diperlukan Jepang. (Tanpa Nama). 2603. “Pemandangan tentang Balatentara Dai Nippon Genap Setahu” dalam Pandji Poestaka nomor XXI tahun 2603 Halaman (tidak diketahui).

(3)

Dengan membentuk Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) balatentara Jepang merekrut seniman dari berbagai bidang. Sastrawan, musisi, dramawan, seniman film, pelukis, dan lain-lain dibariskan untuk menciptakan karya yang propaganda untuk kemenangan Asia Timur Raya (Rosidi, 1981: 17).

Damono (2006: xi) menjelaskan bahwa seleksi naskah drama yang sangat ketat dari pemerintah militer Jepang menyebabkan para penulis drama pada masa tersebut mematuhi pemerintah militer Jepang dengan menghasilkan karya yang memiliki gagasan propaganda. Sumardjo (1992: 293) memberi contoh bahwa naskah-naskah propaganda itu adalah karya-karya Eitaroo (“Fajar Telah Menyingsing”, “Samudra Hindia”, “Jujur Mujur”, “Benteng Ngawi”) dan Armijn Pane (“Kami”, “Perempuan”, “Jinak-jinak Merpati”).

Salah satu penulis naskah drama yang muncul pada masa pendudukan Jepang adalah El Hakim. El Hakim merupakan nama samaran dari dr. Abu Hanifah. Ia adalah seorang dokter lulusan STOVIA (School toot Opleiding Voor Indische Artsen). Ketika tahun 1943 Sekolah Kedokteran GHS diaktifkan lagi dengan nama Ika Dai Gaku, Prof. Assikin kemudian meminta agar Abu Hanifah menjadi pengajar di GHS—sebagai asistennya. Tidak lama setelah itu, Abu Hanifah diangkat sebagai Kepala Bagian Internis di CBZ (Sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Kedudukannya sebagai pegawai Jepang tidak membuat El Hakim melupakan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Sebaliknya, El Hakim aktif dalam perjuangan bangsa Indonesia melalui karya-karya yang lahir pada saat ia masih menjadi pegawai Jepang. “Taufan Diatas Asia”, “Intelek Istimewa”, “Dewi Reni”, “Insan Kamil” adalah naskah drama karya El Hakim yang kemudian dibukukan oleh Balai Pustaka dengan judul Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain pada 1949.

Sumardjo (1992: 293-294) mengatakan Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain mengandung unsur propaganda Jepang tetapi pesan itu tertelan oleh pemilihan unsur-unsur seperti tokoh dan latar. Di tengah ideologi pemerintah militer Jepang untuk menyebarluaskan propaganda Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya, El Hakim menulis karya-karya yang sedikit atau bahkan tidak mengandung propaganda untuk kepentingan Jepang.

Karena isinya yang tendensius—berat kepada kebesaran Indonesia dan coraknya yang bersifat kepribadiannya sendiri—membahayakan bagi cita-cita Jepang yang hendak menipponkan Indonesia, maka tonil “Dewi Reni” beberapa lamanya tertahan dan hampir-hampir tidak lolos dari penyaringan Jepang (Jassin, 1954: 146).

Jassin (1993: 24) menambahkan karangan-karangan El Hakim: “Taufan Diatas Asia”, “Manusia Sempurna” atau (“Insan Kamil”) , dan “Intelek Istimewa” adalah pedang-pedang

(4)

cerminan semangat kebangsaan dan idealisme baru pada lakon-lakon El Hakim yang terkumpul dalam bukunya Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain. Hal di atas memperlihatkan bahwa kedudukan El Hakim sebagai pegawai pemerintah Jepang tidak membuatnya takut untuk berjuang untuk kemakmuran bangsa Indonesia. Kenyataan bahwa karya El Hakim bukanlah karya yang besar nilai propagandanya membuat karya-karyanya menarik untuk diteliti.

Pada masa pendudukan Jepang, El Hakim banyak menulis naskah drama untuk Kelompok Sandiwara Penggemar Maya. Menyinggung soal Kelompok Sandiwara Penggemar Maya, Sumardjo (1992: 134) mengatakan pentas mereka yang pertama di Gedung Komidi dengan drama tulisan El Hakim, “Taufan Diatas Asia” (Juli 1944). Setelah itu “Intelek Istimewa” (Februari 1945), dan “Dewi Reni” (Juli1945) drama karya El Hakim yang lain dipentaskan. Sementara itu, “Insan Kamil” dipentaskan pada Juni 1949. Keempat naskah drama tersebut membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan pendudukan Jepang.

“Taufan Diatas Asia” menggambarkan suasana perang Pasifik, sebagai pertanda kebangkitan bangsa-bangsa Asia pada umumnya. “Dewi Reni” merupakan perlambang (perjuangan) kemerdekaan Indonesia khususnya. “Intelek Istimewa” melukiskan peranan kaum intelek dalam masyarakat yang tengah membina kesatuan dan kekuatan bangsa. “Insan Kamil” merupakan sketsa-sketsa sosial yang menggambarkan segi-segi khusus, seperti persoalan remaja, pengaruh lingkungan sosial, wanita dalam masyarakat, dan sebagainya (Oemarjati, 1971: 111).

Dengan kata lain, keempat karya di atas termasuk dalam khazanah sastra pada masa pendudukan Jepang dilihat dari cerita dan peristiwa yang ada di dalamnya. Keberadaannya menjadi semacam pamflet zaman yang sedikit banyak menggambarkan permasalahan yang terjadi pada zaman tersebut.

Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain merupakan gambaran peristiwa dan cita-cita bangsa Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Adapun gambaran cita-cita zaman terlihat melalui pernyataan H.B. Jassin dalam menanggapi karya-karya El Hakim tersebut:

Jiwa muda yang tadinya sedia menerima pikiran-pikiran dan cita-cita yang kelihatannya bagus dan indah, untuk beberapa lama hanyut dalam kekaguman semboyan kemakmuran bersama, Asia untuk Bangsa Asia, Hakko Ichiu (Seluruh Dunia Satu Rumah Tangga) dan sebagainya yang kemudian ternyata hanya balon-balon indah belaka. Tetapi datanglah juga masanya insyaf makhluk yang berfikir membentuk dunia jiwanya sendiri yang tidak bisa dilepaskan dari suasana dan iklim dari bangsa kita, bangsa Indonesia. Dan bangsa Indonesia hendak mulia, hendak menduduki tempat yang patut antara bangsa-bangsa di dunia (Jassin, 1993:15).

(5)

Melalui kutipannya, Jassin menggambarkan perubahan sikap dan ideologi pada masyarakat Indonesia. Perubahan sikap dan ideologi masyarakat Indonesia terjadi sangat cepat pada masa pendudukan Jepang.

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini melihat dan membicarakan gagasan-gagasan pergerakan sosial masyarakat Indonesia pada masa pendudukan Jepang dalam kumpulan drama Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain. Dengan kata lain, rumusan masalah dalam penelitian ini dirumuskan menjadi bagaimana gagasan pergerakan sosial masyarakat Indonesia pada masa pendudukan Jepang ditampilkan dalam Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain karya El Hakim?

2. Metode Penelitian

Penelitian terhadap Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain akan menggunakan metode penelitian deskriptif analisis. Ratna (2007: 53) memaparkan bahwa metode penelitian deskriptif analisis merupakan gabungan dari dua metode. Metode deskriptif analisis dilakukan dengan mendeskripsikan gagasan-gagasan dalam “Taufan Diatas Asia”, “Intelek Istimewa”, “Dewi Reni”, dan “Insan Kamil”, kemudian menganalisis gagasan-gagasan tersebut untuk memperlihatkan sikap dan tanggapan El Hakim terhadap masa pendudukan Jepang melalui Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain.

Pengumpulan data dalam penelitian ini ditempuh dengan kajian pustaka dan penelusuran melalui internet. Hasil dari pengumpulan data tersebut dikumpulkan menjadi satu dan diolah menjadi sebuah penelitian yang utuh. Kajian pustaka dilakukan untuk memperoleh buku teori yang berkaitan dengan struktur formal karya sastra. Selain itu, data latar belakang kehidupan El Hakim dan keadaan zaman pendudukan Jepang didapatkan dari surat kabar dan majalah di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin dan Perpustakaan Nasional Indonesia. Data sejarah, buku-buku mengenai masyarakat masa pendudukan Jepang, dan buku-buku yang berhubungan dengan sosiologis karya digunakan untuk mendukung data dari surat kabar dan majalah. Penelusuran melalui internet dilakukan untuk melengkapi data dari buku, surat kabar dan majalah.

Dalam bentuk sastra, unsur tema (gagasan) dipaparkan sedemikian rupa oleh unsur-unsur yang lain. Misalnya, menghadirkan seorang tokoh untuk menyampaikan gagasan pengarang. Dengan kata lain, menurut Hasanuddin (2009: 123) dalam melihat gagasan dapat dirumuskan dari berbagai peristiwa, penokohan, dan latar.

(6)

Gagasan adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Segala peristiwa dalam karya tersebut wajarnya mengikuti gagasan umum yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pengarang sehingga pemilihan tokoh, jalinan peristiwa, latar, dan sudut pandang diusahakan agar mencerminkan gagasan umum tersebut (Nurgiyantoro, 2002: 70).

Dengan demikian, dalam “Taufan Diatas Asia”, “Intelek Istimewa”, “Dewi Reni”, dan “Insan Kamil” peristiwa-peristiwa yang dibangun oleh El Hakim berfungsi untuk mendukung gagasan-gagasan yang hendak disampaikannya.

Sudjiman (1988: 50) menjelaskan gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra dinamakan tema. Keberadaan tema dalam suatu karya sastra membuat karya sastra tersebut memiliki fungsi lebih penting dari sekadar hiburan.

Gagasan yang terdapat atau ditemukan di dalam karya disebut (makna muatan). Akan tetapi harus disadari bahwa makna muatan itu tidak selalu sama dengan apa yang dimaksud pengarang sebagai niatan (makna niatan). Pertama, mungkin pengarang kurang pandai menjabarkan tema yang dikehendakinya di dalam karyanya sehingga yang termuat dan yang tertangkap oleh pembaca tidak seperti yang dimaksud oleh pengarang. Kedua, dapat saja beberapa pembaca berbeda pendapat tentang gagasan dasar suatu karya yang sama (Sudjiman, 1988: 55).

Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang wajar jika dari sebuah karya sastra terdapat perbedaan penafsiran mengenai gagasan. Hal tersebut sekaligus menerangkan kekhasan bentuk sastra yang multitafsir.

Gagasan-gagasan yang berkaitan dengan permasalahan ideologi disampaikan pengarang dalam karya-karyanya dengan sangat hati-hati. Kehati-hatian ini tentu dimaksudkan untuk menjaga agar tidak terjadi persinggungan antara ideologi politik (misalnya ideologi propaganda Jepang) dengan ideologi yang dimiliki pengarang. Williams (1973: 328-347) dalam Damono (2009: 72) menjelaskan ada tujuh macam cara yang dipergunakan pengarang untuk memasukkan gagasan sosialnya ke dalam karya sastra. Ketujuh cara tersebut adalah:

1. Gagasan sosial disampaikan secara lugas atau dipropagandakan dalam novel.

2. Novel tidak sepenuhnya menyampaikan gagasan dengan lugas tetapi menunjukkan niat untuk memikat orang ke arah gagasan tertentu.

3. Gagasan dimasukkan ke dalam novel lewat perbantahan di antara tokoh-tokoh yang bermain di dalamnya.

4. Menyodorkan gagasan sebagai konvensi (terasa dan tampak sebagai sesuatu yang wajar).

(7)

5. Gagasan sama sekali tidak ‘kelihatan’ atau tidak bisa dikenali dengan langsung karena sudah menyatu dengan tokoh – bahkan harus dikatakan, sudah menjadi tokoh itu sendiri.

6. Melarutkan gagasan dalam dunia rekaan yang sepenuhnya dikendalikan pengarang. 7. Menampilkan gagasan sebagai superstruktur (menciptakan tokoh yang

menyuarakannya tetapi tindakan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkan sama sekali berlawanan arah).

Ketujuh cara yang diajukan Raymond Williams tersebut akan menjelaskan cara El Hakim dalam memasukkan gagasan-gagasan ke dalam “Taufan Diatas Asia”, “Dewi Reni”, “Intelek Istimewa”, dan “Insan Kamil”. Dengan demikian, akan terlihat keterkaitan latar belakang kehidupan pengarang terhadap karya-karya yang dihasilkannya. Selain itu, cara pengarang dalam memasukkan gagasan-gagasan yang bersifat kontradiktif maupun yang satu tujuan memperlihatkan sikap pengarang terhadap ideologi yang berkembang dalam lingkungan masyarakatnya.

3. Hasil Penelitian

Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain merupakan gambaran jiwa manusia yang memiliki rasa cinta kepada tanah air. Jiwa manusia dalam Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain merupakan gambaran dari jiwa-jiwa yang dikekang oleh kekuasaan. Jiwa-jiwa tersebut memiliki perasaan dan keinginan tetapi pendudukan dan kekuasaan pemerintah Jepang membuat jiwa manusia tersebut tidak dapat mewujudkan perasaan dan keinginannya itu. Perasaan seorang manusia yang ditampilkan di dalam Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain merupakan manusia yang berketuhanan. Dalam “Taufan Diatas Asia”, gambaran manusia yang memiliki keyakinan kepada Tuhan dalam mengejar ilmu pengetahuan.

Tokoh-tokoh dalam naskah drama “Taufan Diatas Asia” dari awal sampai akhir membicarakan ketuhanan sebagai dasar untuk mewujudkan cita-cita. Keyakinan kepada Tuhan menjadi jawaban dari segala permasalahan yang sedang dihadapi.

INDERAWATI: (tenang, tetapi segala gerak-geriknja memperlihatkan kekasihnja) As, suamiku djanganlah engkau pikirkan hal itu. Tidakkah tjukup bagimu aku

berbahagia disampingmu? Apa gunanja harta dan kekajaan berkilauan, kalau hidup tak berbahagia? Engkau sendiri selalu mengatakan kepadaku: Wati, Tuhan amat sajang pada kita rupanja, memberi bahagia demikian besar pada kita.

(8)

ABD. AZAS: (terharu, memegang tangan isterinja kedua belahnja dan membawa kedadanja)

Benar, dik, benar katamu. Tuhan amat kasih pada kita. Bahagia seperti ini hampir tidak ada hingganja. Tetapi, dik, aku tahu engkau sudah beberapa bulan mengandung anak kita (Inderawati menundukkan kepala, dan Abd. Azas meletakkan tangan kirinja diatas rambut isterinja dan membelainja) ABD. AZAS: (melihat keatas), Ja, Allah, kurniailah kami terus bahagia sebagai ini.

(Sebentar kedua-duanja duduk berdiam begitu...) (El Hakim, 1949: 17).

Melalui kalimat Wati, Tuhan amat sajang pada kita rupanja, memberi bahagia demikian besar pada kita terlihat bahwa dalam membangun keluarga, Drs. Abd. Azas mendasarinya dengan ketakwaan kepada Tuhan. Ketakwaan tokoh Drs. Abd. Azas kepada Tuhan diperlihatkan untuk membibing Inderawati dalam menghadapi persoalan kehidupan. Pada akhirnya, kebahagiaan Drs. Abd. Azas didapatkan dari rasa cinta Drs. Abd. Azas kepada Tuhan dan Inderawati.

Rasa cinta yang dimiliki Drs. Abd. Azas dan Inderawati membuat keduanya berat untuk berpisah. Namun, mengingat perpisahan tersebut dilakukan demi kebaikan keduanya dan anak yang ada di dalam kandungan Inderawati, mereka ikhlas menjalani perpisahan tersebut. Hal tersebut diperlihatkan dari perkataan Drs. Abd. Azas,

ABD. AZAS: (tenang) Dik, Watiku, djangan begitu. Tuhan mentjobai orang-orang jang dikasihiNja. Aku jakin keselamatan akan upah kita pada kemudian hari. (mengambil saputangan isterinja dan menjeka air mata isterinja) (El Hakim, 1949: 25).

Kutipan di atas memperlihatkan ikhtiar yang dilakukan oleh Drs. Abd. Azas dan Inderawati untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Jelas terlihat pula, ikhtiar yang dilakukan keduanya berdasarkan keyakinan bahwa Tuhan akan memberikan imbalan yang setimpal dari ujian yang diberikanNya. Tuhan merupakan jawaban dari kegamangan jiwa yang disebabkan perang. Jassin (1954: 80) mengatakan jika orang dalam kesengsaraan, teringatlah orang kepada Tuhannya, baik ia percaya atau tidak percaya kepada Tuhan. Ia senantiasa menyerah kepada Tuhan.

Keyakinan kepada Tuhan tersebut merupakan dasar bagi manusia untuk berikhtiar dalam mengejar ketertinggalan ilmu pengetahuan dari Barat. Selain itu, keyakinan kepada Tuhan berarti memperlihatkan keikhlasan dan ketakwaan kepada Tuhan dalam menjalani kehidupan. Keyakinan kepada Tuhan tersebut akan menghindarkan manusia dari malapetaka. Oleh karena itu, keyakinan kepada Tuhan harus senantiasa dijaga dan ditingkatkan. Sementara itu, dalam naskah drama “Dewi Reni” keyakinan kepada Tuhan bukan berarti meninggalkan tradisi leluhur, tetapi mencari sintesis antara yang dulu dan yang baru.

(9)

Perasaan cinta kepada Tuhan dalam “Dewi Reni” diperlihatkan dalam dialog-dialog yang berhubungan dengan Ki Alwali. Tokoh Ki Alwali merupakan tokoh yang memiliki fungsi sebagai pemberi solusi dalam dalam setiap konflik yang dihadapi tokoh lain. Kehadirannya berguna untuk menyelesaikan konflik yang ada dalam naskah drama tersebut. Ki Alwali dianggap sebagai orang yang memiliki ilmu kebatinan dan tajam jiwanya dalam memberikan pandangan-pandangan mengenai masalah yang dihadapi tokoh lain.

KI ALWALI: (tersenjoem) Den Ajoe Prangningrat, dan nak Chalid Wahid, tentoe sadja akoe soedi membatjakan do’a selamat boeat segala-galanja itoe. Tetapi jang terpenting ialah kejakinan ‘nak Chalid Wahid sendiri, terhadap Toehan jang Maha Esa. Bila kejakinan nak Chalid Wahid tidak bisa dibongkar, digontjangkan lagi, bila taqwa dirinja sendiri soedah sempoerna, tak akan begitoe penting lagi doakoe sendiri pada Allah s.w.t. boeat dirinja (El Hakim, 1949: 125).

Pernyataan Ki Alwali di atas menunjukkan dua hal sekaligus. Pertama, nilai ketuhanan yang tinggi akan membuat manusia memiliki kepekaan terhadap suatu masalah. Kedua, masyarakat dalam “Dewi Reni” yang erat dengan ketuhanan. Dalam Soeara Moeslim Indonesia nomor 3 tahun 3 dijelaskan bahwa:

…soepaja Oemat Islam di Indonesia bisa mendjalankan hidoep setjara Islam, hidoep dalam berbakti kepada Allah, tetapi kalau matipoen soepaja mati sejara Islam, karena sia-sia hidoep kita, kalau mati kita mati kafir atau mati jang tidak setjara Islam (A.TJ, 1945: -).

Oleh karena itu, kedudukan Chalid Wahid sebagai anggota PETA seharusnya selalu diselaraskan dengan keyakinannya kepada Tuhan. Keberanian untuk maju ke medan perang sebaiknya diiringi dengan keyakinan akan Tuhan.

Tokoh Harlono Adiasmara mengunjungi Ki Alwali untuk mencari jawaban mengenai kebimbangan hati yang dirasakannya.

KI ALWALI: Heran, heran sekali. Bagaimanakah roepanja tjiptaan toean sampai sekarang, sedangkan tjiptaan berdasarkan ilham?

HARLONO: Dengan getaran djiwa. KI ALWALI: Dari mana asalnja itoe?

HARLONO: Saja tidak tahoe. Tetapi sekarang agak koerang datangnja getaran djiwa boeat mentjipta itoe. Moengkin saja sedang bimbang.

KI ALWALI: Ilham dari Toehan Jang Maha Esa. Ilham menggerakkan djiwa, dan djiwa mendesak bertindak. Siapa jang akan mentjiplakan barang sesoeatu, haroes dapat ilmu jang sutji dan loehoer lebih dahoeloe (El Hakim, 1949: 136).

(10)

Ilham yang dimaksud oleh Ki Alwali dalam percakapan di atas berasal dari rasa cinta manusia kepada Tuhannya. Manusia yang percaya dengan sepenuh hati dan menyerahkan dirinya kepada Tuhan akan mendapat bimbingan dariNya untuk menyelesaikan segala permasalahan dunia. Harlono yang jauh dari Tuhan merasa hidupnya berada dalam kebimbangan, meskipun ia menjuluki diri sebagai poedjangga pentjita tjita-tjita (El Hakim, 1949: 134). Kebimbangan yang dirasakan oleh Harlono Adiasmara disebabkan oleh perasaan yang mengawang-awang. Perasaan mengawang-awang tersebut merupakan akibat dari kurangnya iman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Selain membicarakan religiusitas, Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain juga membicarakan mengenai semangat perjuangan. Semangat perjuangan tersebut diserukan oleh El Hakim sebagai bentuk rasa cinta kepada tanah air yang dimilikinya. Rasa cinta kepada tanah air menumbuhkan semangat untuk memperjuangkan bangsa Indonesia. Perjuangan untuk Indonesia disampaikan El Hakim, misalnya melalui tokoh dr. Abdul Hak. Ikhtiar yang dilakukan dr. Abdul Hak sebagai manusia Indonesia dalam mengejar ketertinggalan dari Barat bertujuan untuk mendapatkan sintesis Timur dan Barat, yang memiliki jiwa ketuhanan dan kepandaian dunia. Dengan mendapatkan sintesis Timur dan Barat, manusia utopia Indonesia dapat membawa Indonesia menuju kemakmuran.

Dalam “Intelek Istimewa” gagasan tersebut diwujudkan dalam konflik di antara tokoh-tokohnya. Dokter Taha Kamil merupakan kepala Rumah Sakit Sudiwaras yang memiliki cita-cita memajukan bidang kedokteran tanpa memikirkan masalah-masalah lain di masyarakat. Berbeda dengan dr. Taha Kamil, dr. Abdul Hak memiliki perhatian lebih terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Perbedaan tersebut menimbulkan konflik di antara keduanya.

Dr. TAHA: (tertawa) Ha, ha, Hak, sahabatku. Apa pula gunanja kau tjampur dengan pertanian dan perikanan. Kamu ini dokter manusia atau dokter tani, atau apa? Ha, ha, ada-ada sadja si Hak ini, membitjarakan pertanian dan perikanan

Dr. HAK: (tersenjum) Ja, aku mengerti itu tidak masuk akalmu, he Kamil?

Dr. TAHA: (berdiri dan melihat temannja) Tentu tidak. Apa gunanja seorang dokter tjampur dengan perkara lain, lain dari pada hal kedokteran. Aku heran misalnja mendengar Dr. Hamzah mengepalai barisan pemuda dan jang lain mentjampuri kebudajaan. Apa gunanja itu?

...

Dr. TAHA: Tentu, tentu. Sembojan aku senantiasa ,,Pengetahuan ialah Kekuasaan”. Siapa jang berpengatahuan dan punja uang, itu jang akan menang dalam perdjuangan hidup. Dan perdjuangan hidup itu berarti perdjuangan kekuasaan

Dr. HAK: (tertawa) Ja, aku pengelamun dan kamu adalah saudagar, ha, ha. Akan kemana tudjuan kita kelak, Kamil. Akan kemana kaum intelek, akan

(11)

kemana? (tersenjum terus) (ketokan dari luar, juru rawat puteri masuk) (El Hakim, 1949: 68-69).

Bagi dr. Taha Kamil, kegiatan dr. Abdul Hak yang bersinggungan dengan masalah pertanian dan perikanan dianggap sesuatu yang tidak berguna. Selain itu, kegiatan tersebut menurunkan derajat kaum dokter yang dianggap sebagai kaum intelek istimewa. Sikap dr. Taha Kamil yang hanya mementingkan dirinya sendiri tergambarkan dalam semboyan ‘pengetahuan ialah kekuasaan’ yang diagung-agungkan olehnya. Bagi dr. Abdul Hak, sikap dr. Taha Kamil memperburuk kondisi bangsa Indonesia yang hanya memiliki sedikit kaum akademisi. Kalimat Akan kemana kaum intelek, akan kemana? Sekaligus menegaskan kekhawatiran dr. Abdul Hak akan nasib bangsa Indonesia. Hal tersebut merupakan tanggapan El Hakim terhadap kondisi zaman tersebut. Hanifah (1972: 124) menjelaskan the Japanese would then flood Indonesia with their own intellectuals. There must have a plan because many top Indonesian intellectuals lost their lives during the Japanese occupation for no reason. Tindakan Jepang di atas dapat menggagalkan tujuan mewujudkan kemakmuran bangsa Indonesia. Dengan demikian, melalui “Intelek Istimewa” El Hakim ingin menyerukan bahwa sisa intelek yang ada di Indonesia harus menyadari betul perannya di masyarakat.

Manifestasi gagasan yang ingin disampaikan El Hakim melalui tokoh dr. Abdul Hak ialah gagasan bahwa kaum akademisi Indonesia harus membantu kaum praktisi dalam mewujudkan cita-cita kehidupan yang lebih baik. Dokter Abdul Hak dalam “Intelek Istimewa” merupakan perwujudan dari tokoh wirawan seperti yang diungkapkan Sudjiman (1988). Menurut Sudjiman (1988: 19), tokoh wirawan termasuk ke dalam tokoh sentral dan memiliki keagungan pikiran dan keluhuran budi yang tercermin di dalam maksud dan tindakan yang mulia. Oleh karena itu, kehadiran tokoh dr. Abdul Hak dalam “Intelek Istimewa” memiliki peran yang sangat penting.

R. SUGIANTO: Tetapi kalau semua terpeladjar dan akademisi kita seperti tuan Dr. Abd. Hak sipatnja, terang pula masjarakat kita akan berobah. Banjak kaum intelek kita masih memikirkan pekerdjaannja sendiri-sendiri sadja. Betul apa tidak tuan dr. Hak?

Dr. ABD. HAK: Terpaksa saja membenarkan hal itu. Tetapi tidak baik pula dilepaskan terlalu tinggi harapan masjarakat kita kepada kaum akademisi. Pertama, karena memang tidak semua kaum terpeladjar ada ketjakapan buat memimpin atau ada bakal mendjadi pemimpin rakjat dan kedua karena antara mereka jang belum pernah masuk kesekolah tinggi banjak pula jang memang tjakap memimpin rakjat dalam pelbagai hal (El Hakim, 1949: 85).

(12)

yang penting. Namun, menurut dr. Abdul Hak dalam lingkungan akademisi Indonesia, tidak semuanya mampu menjadi pemimpin-pemimpin di luar bidang akademisi yang ditekuninya. Oleh karena itu, tidak baik pula menggantungkan harapan terlalu tinggi kepada salah satu golongan saja. Pernyataan dr. Abdul Hak di atas memperlihatkan kepada kita bahwa dalam membangun bangsa, yang paling penting ialah bekerja sama dan saling membantu antara satu bidang dengan bidang yang lain. Hal tersebut didukung oleh pernyataan dr. Abdul Hak dalam menasehati Susilo.

Dr. HAK: Susilo, kamu masih muda, tentu kamu merasa heran, sebab umumnja pemuda-pemuda bertjita-tjita. Aku harap kamu terus begitu sifatmu, ialah bertjita-tjita, sebab kalau seorang dokter atau mester muda sudah mulai terpengaruh hanja oleh uang dan pangkat, maka itulah kehilangan tjita-tjita. Paling keras mereka berangan-angan (El Hakim, 1949: 86).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa dalam diri seorang akademisi harus terdapat cita-cita yang besar. Cita-cita tersebut hendaknya memberikan dampak yang baik bagi masyarakat di sekitarnya. Sebagai pemimpin bangsa, seorang akademisi tidak boleh terpengaruh oleh uang dan pangkat sehingga melupakan tanggung jawabnya kepada masyarakat. Dengan menampilkan wujud manusia utopis yang berguna untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia, El Hakim bermaksud memberikan seruan kepada kaum akademisi. Lebih khusus lagi kaum akademisi yang belum tergugah hati dan pikirannya untuk membantu mewujudkan hidup baru yang dimimpikan manusia Indonesia.

Perjuangan mendapatkan kemakmuran tersebut menjadi fokus El Hakim dalam Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain. Perjuangan mewujudkan kemakmuran Indonesia (angan-angan hidup) harus dilakukan dengan cara-cara yang benar. El Hakim memperlihatkan pentingnya persatuan dalam perjuangan mewujudkan angan-angan hidup tersebut melalui tokoh-tokoh seperti Drs. Abd. Azas, dr. Abd. Hak, Dewi Reni, dan Insan Kamil. Persatuan menjadi dasar bagi bangsa-bangsa Asia dan bangsa Indonesia khususnya untuk melepaskan diri dari kungkungan bangsa lain terlihat dalam “Taufan Diatas Asia”. Sementara itu, “Intelek Istimewa” memperlihatkan impian bangsa Indonesia mengenai persamaan derajat dengan bangsa lain dan kemerdekaan bagi Indonesia.

Dalam usahanya mewujudkan kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia harus memiliki manusia-manusia yang bertanggung jawab dan peduli dengan masyarakatnya. Manusia-manusia yang bertanggung jawab dan peduli kepada masyarakat berarti manusia yang memiliki perasaan cinta dan kasih kepada masyarakat, lingkungan, dan bangsanya.

(13)

Manusia-manusia yang dicita-citakan El Hakim tersebut misalnya muncul dalam sosok Inderawati, Susilo, dr. Abdulah Hasjim, dan Sri Hartati. Mereka menggambarkan sikap tulus dan peduli kepada permasalahan sosial.

Permasalahan sosial dalam Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain berfokus mengenai cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia dan kemakmuran bagi rakyatnya. Permasalahan ini tersirat melalui penantian-penantian yang dilakukan tokoh-tokoh di dalamnya. Penantian ini merupakan gambaran diri El Hakim yang memiliki impian dan harapan untuk kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik. Drs. Abd. Azas dan Inderawati dalam “Taufan Diatas Asia” misalnya menggambarkan perasaan bahagia karena kedatangan Jepang ke Indonesia untuk menghancurkan Belanda. Peristiwa tersebut membawa harapan baru bagi bangsa Indonesia untuk sejajar dengan bangsa lain. Dalam perjalanannya, harapan tersebut harus tertunda karena Jepang ternyata memiliki maksud mengeksploitasi bangsa Indonesia setelah mengalahkan Belanda. Akibat dari keinginan tersebut digambarkan El Hakim dalam “Intelek Istimewa”. Konflik antara pemimpin bangsa Indonesia dengan Jepang mengakibatkan bangsa Indonesia kehilangan banyak orang terpelajar. Dokter Abdul Hak, Susilo, R. Sugianto, Sulasmi, dan Nji Sundari merupakan gambaran El Hakim dalam menyikapi keadaaan bangsa Indonesia yang kekurangan kaum terpelajar. Dari tokoh-tokoh tersebut, terlihat sebuah penantian akan hidup yang lebih baik. Sementara itu, penantian akan hidup yang lebih baik dengan tegas digambarkan dalam “Dewi Reni”. Dokter Abdulah Hasjim (perlambang kaum terpelajar) dan Mr. Nasar Tohir (perlambang kaum pergerakan) memperlihatkan cintanya kepada Dewi Reni (perlambang Indonesia). Perasaan cinta tersebut diperlihatkan keduanya sebagai sebuah penantian hari kemerdekaan. Penantian hari kemerdekaan diperlambangkan oleh El Hakim sebagai perasaan cinta. Gagasan penatian itu juga muncul dalam “Insan Kamil” sebagai tanggapan El Hakim kepada permasalahan zamannya. Tercapainya impian dan penantian Indonesia merdeka, ternyata menimbulkan permasalahan baru mengenai ketidaksiapan bangsa Indonesia untuk menentukan pemimpin.

Ketidaksiapan tersebut membawa individu-individu di dalam bangsa Indonesia mengalami konflik batin. Konflik batin dalam diri manusia ditampilkan “Insan Kamil” dalam permasalahan cinta di samping sikap kemodernan dalam pergaulan pemuda dalam masa kemerdekaan. Permasalahan cinta tersebut menuntut adanya pengorbanan dan ketetapan hati untuk melewati badai cobaan tersebut. Dalam “Insan Kamil’ hal tersebut diperlihatkan melalui sikap keberanian dan ketegasan para tokoh di dalamnya. Selain itu, permasalahan konflik batin dalam Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain terlihat dalam diri dr. Taha Kamil. Keinginan untuk mengdapatkan hidup yang lebih baik dengan mengorbankan

(14)

orang-orang yang dicintainya dan perjuangan mendapatkan kehidupan yang bahagia bersama orang-orang yang dicintainya muncul sebagai perdebatan dalam diri dr. Taha Kamil.

Permasalahan mengenai pencarian sosok pemimpin yang baik, dalam “Insan Kamil” kemudian diselesaikan dengan munculnya tokoh Sukanto (seorang wartawan). Sukanto tiba-tiba muncul di kantor Insan Kamil dan mengabarkan bahwa Insan Kamil sudah diberitakan akan menduduki sebuah jabatan di sekolah tinggi partikelir yang akan didirikan di kota tersebut.

SOEKANTO: (doedoek, mengeloearkan soreat chabar dari tasnja). Seperti soedah dioemoemkan kemarѐn dalam soerat kabar kami, sedikit waktoe lagi akan diboeka dikota ini satoe sekolah tinggi partikoelir, jang soedah lama dinanti-nanti olѐh masjarakat kita, istimѐwa tentoe pemoeda-pemoeda dan orang-orang toeanja. Tentoe toean soedah batja chabar itoe, kalau saja ta’ salah ? (El Hakim, 1949: 199).

Ada beberapa hal yang ingin disampaikan El Hakim melalui dialog di atas. Pertama, dalam fungsinya sebagai pemberi solusi, kedatangan Sukanto menimbulkan konflik yang berfunsi sebagai leraian. Kedua, kedudukan Sukanto sebagai seorang wartawan merupakan salah satu bentuk mobilisasi2, jika dikaitkan dengan bentuk mobilisasi pada masa Jepang.

Pola mobilisasi sosial yang terjadi pada masa Jepang tersebut rupanya membawa permasalahan tersendiri bagi bangsa Indonesia setelah merdeka. Permasalahan kontrol sosial dalam masyarakat Indonesia setelah persamaan derajat dan kebebasan diperoleh bangsa Indonesia muncul pada masa tersebut. El Hakim melalui “Insan Kamil” ingin menanggapi hal tersebut dengan mengutarakan saran yang dapat digunakan oleh bangsa Indonesia untuk menghadapi masalah rangkap jabatan akibat mobilisasi sosial

INSAN KAMIL: (berdiri). Saja ta’ soeka sistim bekerdjanja (menghitoeng djarinja), misalnja: Semoea orang seperti berlomba-lomba mengadakan ini dan itoe. Jang berarti memetjah kekoeatan jang hanja sedikit itoe. Dan mengapa tidak dibikin panitian sѐntral, panitia poesat sadja, boeat mengoeroes ini dan itoe, dimana ditjatat nama-nama achli-achli dan orang-orang jang terpeladjar jang bolѐh dipakai tenaganja. Seperti sekarang merѐka seakan-akan berlomba-lomba. Kemoedian saja keberatan ditoendjoekkan sadja dengan tidak ditanja lebih doeloe.

2 Mobilitas berasal dari kata movere (latin): memindahkan/berpindah; mobilitas: mudah dipindahkan atau banyak bergerak, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mobilitas sosial berarti perpindahan orang atau kelompok dari satu strata sosial ke strata sosial lain. Mobilitas sosial dibedakan menjadi dua. Pertama, mobilitas sosial vertikal: mobilitas sosial vertikal bisa berarti arah gerakannya ke atas atau social climbing, dan arah gerakannya ke bawah atau sosial sinking. Kedua, Mobilisai horizontal: perubahan kedudukan seseorang pada lapisan sosial yang sama. Kedudukan seseorang dapat maju mundur tetapi masih dalam lapisan sosal yang sama. Konsekuensi dari mobilitas sosial ialah konflik antar kelas sosial, konflik antar kelompok sosial, konflik antar generasi, kemungkinan adanya adaptasi (Philips Ng dan Nurul Aini. 2006. Sosiologi dan

(15)

Laloe saja djoega keberatan sistim satoe orang merangkap 1001 pimpimnan, seperti ta’ ada orang lain jang masih beloem kelihatan, dan rasanja tiada manoesia jang bisa sempoerna bekerdja begitoe.

SOEKANTO: (asjik menoelis). Baik, toean, saja sampaikan hal ini kepada pimpinan redaksi. Menoeroet pikiran saja jang moeda ini, banjak jang haroes diperhatikan dari pendapat-pendapat toean tadi. Tetapi soäl kekoerangan tenaga, tinggal ada toean.

INSAN KAMIL: Benar, tetapi kalau ada sistim jang lebih baik dan koordinasi atau bekerdja bersama-sama jang lebih baik, lebih baik penjelenggaraannja, boekan ?

SOEKANTO: (berdiri). Teriam kasih, toean, atas keterangan-keterangan toean.

INSAN KAMIL: Ah, tidak apa, tetapi satoe permintaan saja, kalau ada nama saja akan disiarkan disoerat kabar toean, minta toean chabarkan pada saja boeat korѐksi lebih doeloe.

SOEKANTO: Sebisa-bisanja kami lakoekan.

INSAN KAMIL: (memberi tangan, tersenjoem). Kirim salam saja kepada anggota-anggota redaksi.

SOEKANTO: (tersenjoem). Baik toean. Selamat siang. (berangkat).

INSAN KAMIL: (berdiri ditengah-tengah kamar). Betoel gila, atau poesing orang-orang ini semoeanja. Seperti takoet ketinggalan kerѐta api sadja semoea. Tergesa-gesa, alhasil moengkin barang-barang bertebara., dan kerѐta api beloem djoega berangkat. Siapa ta’ kan poesing (pergi doedoek dibelakang mѐdja toelisnja). (El Hakim, 1949: 200-201).

Komentarnya mengenai sistem golongan yang berlaku di masyarakat merupakan bukti dari manifestasi yang dilakukan El Hakim. Insan Kamil diperlihatkan sebagai manusia sempurna yang merupakan cerminan dari manusia Indonesia menjadi pamflet yang efektif untuk memberikan pandangan mengenai konsep kesastraan El Hakim yang tidak pernah bergeser atau berubah. Fungsinya masih sama dengan ketiga karya sebelumnya yaitu sebagai corong perjuangan bangsa Indonesia dan pamflet persatuan.

Pada akhirnya, kesatuan gagasan dalam Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain dijembatani oleh El Hakim sebagai pengarangnya dan latar belakangnya sebagai seorang dokter dan barisan pemuda. Gagasan-gagasan yang muncul di dalamnya berasal dari pemikiran El Hakim mengenai masyarakat pada masa pendudukan Jepang, kritik terhadapnya, dan seruan mengenai tindakan atau sikap yang seharusnya diambil oleh masyarakat pada zaman tersebut. Dalam menghadapi tantangan zaman pada waktu itu, masyarakat Indonesia harus memiliki keyakinan kepada Tuhan, berusaha mengejar ketertinggalan ilmu pengetahuan, memiliki kepedulian terhadap nasib orang-orang di sekitarnya, memiliki perasaan cinta kepada bangsa Indonesia dan orang-orang di sekitarnya, dan memiliki sikap tegas dalam menghadapi segala persoalan yang terjadi.

El Hakim menyampaikan gagasan-gagasannya dalam Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain melalui berbagai cara. Pertimbangan El Hakim yang paling penting

(16)

pemerintah Jepang dan fungsi sastra sebagai media untuk menyerukan cita-citanya. Oleh karena itu, gagasan-gagasan disampaikan El Hakim dengan menggunakan jalan “sembunyi-sembunyi” atau simbolisasi, mengimplementsiakan ke dalam tokoh, pemilihan diksi yang berasosiasi, dan mempertentangkan dua tokoh.

Penyampaian gagasan dengan cara-cara yang dilakukan El Hakim membuat Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain lolos dari sensor yang dilakukan oleh Keimin Bunka Shidosho pada masa pendudukan Jepang. Dengan kata lain, Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain memiliki bentuk propaganda untuk Jepang di dalamnya dan cita-cita kesempurnaan manusia dan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Adapun bentuk propaganda demi kepentingan Jepang yang muncul dalam Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain dihadirkan oleh El Hakim sekadar untuk memenuhi syarat dari Keimin Bunka Shidosho. Secara garis besar bentuk propaganda dalam Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain tidak mempengaruhi cita-cita dan gagasan yang ingin disampaikan oleh El Hakim.

Berbeda dengan bentuk propaganda dalam Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain, cita-cita yang diserukan El Hakim untuk Indonesia mengalami pergerakan. Cita-cita mengenai bentuk dan sistem masyarakat yang diimpikan El Hakim dalam lakon-lakonnya terlihat dinamis. Pencarian jatidiri masyarakat Indonesia, kesadaran akan sintesis Timur dan Barat, kesadaran pentingnya persatuan, pergerakan golongan untuk mendukung kemerdekaan, dan kesadaran untuk bertindak tegas terhadap persoalan masyarakat mengalir dari 1942-1945. Pergerakan gagasan dan cita-cita El Hakim dalam Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain berjalan beriringan dengan permasalahan zamannya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa El Hakim kedudukan El Hakim melalui Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain yang senantiasa memiliki sikap dan tanggapan demi kebaikan masyarakat Indonesia.

4. Kesimpulan

Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain menggambarkan kehidupan sosial yang terjadi pada kurun waktu 1941 sampai dengan 1945. Sepanjang 1941-1945 masyarakat Indonesia mengalami pergantian pandangan dan keruntuhan keyakinan. Kebangkitan yang didasari kesadaran akan harga diri, mobilisasi masyarakat terpelajar untuk mendukung Jepang (efek dari kekaguman akan kemenangan Jepang), langkah-langkah mandiri masyarakat Indonesia dalam menciptakan kemerdekaan, hingga konflik batin seseorang dalam menghadapi masyarakatnya merupakan isi Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain.

(17)

Dalam masa pendudukan Jepang yang singkat terjadi gerakan sosial yang begitu cepat dan menyebabkan perubahan tata hidup dalam masyarakat Indonesia. Kesadaran akan harga diri yang diperoleh Drs. Abdul Azas dan Cheong Fung membawa perubahan bagi arah perjuangan bangsa Indonesia. Perubahan dan pergerakan ideologi-ideologi mendesak masyarakat yang belum memahaminya seperti dr. Taha Kamil ikut serta dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Kekecewaan terhadap janji-janji Jepang dalam memberikan kemerdekaan menimbulkan reaksi dari masyarakat untuk memperjuangkan kemerdekaan. Ukar Sumodikromo, Harlono Adiasmara, dr. Abdullah Hasjim, dan Dewi Reni menggambarkan masyarakat yang memiliki cita-cita kemerdekaan Indonesia. Pemuda seperti Insan Kamil mengalami konflik batin dalam menentukan arah perjuangannya sehingga dituntut untuk memiliki ketegasan dan keberanian untuk memilih.

El Hakim atau Abu Hanifah menulis naskah drama yang memiliki tendensi propaganda bagi kepentingan Jepang dan Indonesia sekaligus. Hal tersebut terjadi dalam kondisi Jepang yang sudah terjepit dan mulai mengalami kekalahan perang. Hal tersebut menyebabkan sensor yang dilakukan Keimin Bunka Shidosho mengalami degradasi standar. Oleh karena itu, naskah seperti “Dewi Reni” yang dengan jelas mengangkat semangat untuk merdeka dapat lolos dari sensor tersebut. Degradasi standar sensor yang dilakukan Jepang bertujuan mendapatkan kembali kepercayaan dari bangsa Indonesia akan kemenangan akhir. Namun, hal tersebut justru dimanfaatkan oleh kaum nasionalis seperti Abu Hanifah untuk menyebarkan ideologi persatuan Indonesia. Penyebarluasan ideologi tersebut pada dasarnya merupakan propaganda dari bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

Jadi, seruan-seruan persatuan dan gagasan-gagasan kesempurnaan manusia Indonesia sejalan dengan konsep seni yang dimiliki El Hakim. El Hakim yang menjadikan kesenian (sastra) menjadi media untuk menyebarluaskan cita-cita kemakmuran bangsa Indonesia, memperlihatkan sikap tersebut di dalam karya-karyanya. Religius, cinta, bercita-cita, peduli, dan tegas merupakan cita-cita yang hendak disampaikan El Hakim kepada masyarakat Indonesia melalui karya-karyanya. Konsep tersebut didapatkannya melalui pengalaman hidup di masyarakat. Dalam karya-karya yang diciptakannya juga muncul cerminan dirinya tersebut; kemudian cerminan dirinya itu dikembalikan ke masyarakat melalui seruan-seruan di dalam karya.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar. Ciputat: Editum. ________. 2009. Drama Indonesia. Ciputat: Editum.

Dewan Redaksi. 2006. Antologi Drama Indonesia Jilid 2. Jakarta: Amanah Lontar.

Hanifah, Abu (El Hakim). 1949. Taufan Diatas Asia dan Tiga Buah Sandiwara Lain. Jakarta: Balai Pustaka.

_________. 1950. Rintisan Filsafat Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.

__________. 1972. Tales of Revolution.Brisbane: Angus and Robertson (Publisher). __________. 1978. Dokter Rimbu. Jakarta: Ichtisar.

Jassin, H. B. 1954, Kesusatraan Indonesia dalam Kritik dan Essay I. Jakarta: Gunung Agung. ___________. 1993. Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang. Jakarta: Balai Pustaka.

Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Masa University Press.

Oemarjati, Boen S. 1971. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. Philips, Ng dan Nurul Aini. 2006. Sosiologi dan Politik. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Ratna, Nyoma Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Poskulturalisme Perspektif Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rosidi, Ajip. 1981. Mengenal Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sumardjo, Jakob. 1992. Perkembangan Teater Modern dan Drama Modern Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

(tanpa nama). 2603. “Pemandangan tentang Balatentara Dai Nippon Genap Setahun”, dalam Pandji Poestaka nomor XXI tahun 2603 Halaman (tidak diketahui).

TJ. A. 1945. “Memelihara Semangat Rakjat”, dalam Soeara Moeslim Indonesia nomor 3 tahun 3.

_________. 1978. Sastra Baru Indonesia I. Ende: Nusa Indah.

Wasono, Sunu. 1999. Teknik Propaganda Dalam Sejumlah Cerpen Indonesia Pada Masa Jepang (Tesis). Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Wiryomartono, Bagoes P. 2001. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa: Sebuah Wacana Seni dan

Keindahan Dari Plato Sampai Derrida. Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama. WS, Hasanuddin. 2009. Drama Karya dalam Dua Dimensi Kajian Teori, Sejarah, dan

Analisis. Bandung: Angkasa.

Yoesoef, M. 1988. Lakon-Lakon Masa Jepang (1942-1945) Sebuah Refleksi Sosial Masa Perang (Skripsi). Depok: FSUI.

Referensi

Dokumen terkait