• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM ATAS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM ATAS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

48

NEGERI SIDOARJO DALAM PERKARA TINDAK PIDANA

PERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR

A. Analisis Terhadap Pertimbangan Hukum yang Dipakai Oleh Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo

Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dipandang sebagai tindak kejahatan yang melanggar norma, baik dari segi norma agama, kesopanan, maupun norma hukum.

Untuk menilai atau mengukur suatu perbuatan sebagai tindak kejahatan tergantung dari nilai dan pandangan hidup yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat.

Kekerasan seksual pada anak di bawah umur dalam bentuk pemerkosaan, merupakan salah satu kasus yang perlu mendapat perhatian khusus karena kasus ini merupakan masalah sosial yang berdampak buruk di masyarakat.

Untuk mengetahui pertimbangan hukum yang dipakai oleh hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo dalam menjatuhkan putusan terhadap kasus perkosaan terhadap anak di bawah umur, hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo terlebih dahulu mempertimbangkan kembali tututan jaksa penuntut umum yang menuntut terdakwa telah melanggar pasal 81 (1) UUPA apakah sudah tepat.

(2)

Untuk lebih jelasnya ketentuan pasal 81 (1) UUPA lengkapnya berbunyi sebagai berikut:1

"setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksakan anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dipidana penjara paling lama 15(limabelas) tahun dan paling singkat 3(tiga)tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000 dan paling sedikit Rp.(60.000.000)."

Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa unsur-unsur dari pasal 81 (1) Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA) adalah:

1. Barang Siapa

Yang dimaksud adalah orang atau manusia baik laki-laki maupun perempuan yang mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya.

2. Dengan Sengaja

Berarti si pelaku atau terdakwa dalam hal ini menghendaki perbuatannya tersebut. Dan menginsafi akibat yang timbul dari perbuatannya tersebut kepada orang lain.

3. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan

memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Dalam unsur ini kekerasan atau ancaman kekerasan fisik, atau kekerasan lain yang bersifat psikis atau kejiwaaan yang termasuk di dalamnya.

Berdasarkan unsur yang semuanya ada pada diri terdakwa bernama Kusaeni ini, terdapat satu unsur yang paling dominan yakni terdakwa selaku

(3)

ayah tiri korban yang bernama Enggar telah sengaja dan memaksa korban melakukan hubungan kelamin dengannya berkali-kali dengan cara membentak dan mengancam korban.

Dari apa yang terungkap inlah yang menjadi salah satu dorongan utama mengapa jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan kepada terdakwa yang dianggap secara sah bersalah dan melanggar hukum, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 81 (1) UUPA.

Setelah menimbang tuntutan jaksa dan sebelum hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo menjatuhkan putusan, hakim mempertimbangkan pula hal-hal yang memberatkan dan meringankan sebagai berikut:

Hal yang memberatkan:

1. Perbuatan terdakwa merusak kehormatan seorang gadis

2. Perbuatan terdakwa dilakukan pada anak dibawah umur

3. Terdakwa sebagai ayah seharusnya mengayomi dan memberi contoh yang baik

Hal yang meringankan:

1. Terdakwa mengakui perbuatannya serta

menyesalinya

2. Terdakwa belum pernah dihukum

(4)

Maka hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo dalam memutus perkara dan memvonis pelaku perkosaan terhadap anak dibawah umur dengan hukuman pidana penjara 7 tahun dan denda sebesar RP.60.000.000.- dengan subsidair 5 bulan kurungan.

Putusan hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo ini dinilai kurang memberikan suatu ketegasan hukum yang dapat menjerat pelakunya dengan hukuman yang berat sehingga dapat menimbulkan efek jera. Hukuman ini dianggap begitu ringan dan tidak menjamin bagi pelaku untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama.

Sedangkan bila ditinjau berdasarkan Undang-Undang No.23 th 2002 tentang perlindungan anak pasal 81 (1) di atas, pelaku perkosaan terhadap anak harusnya diancam hukuman maksimal 15 tahun dan paling sedikit 3 tahun penjara dan denda paling banyak sebesar Rp. 300.000.000 dan paling sedikit Rp. 60.000.000.

Dari ketentuan pidana inilah, setidaknya hakim dalam memutus suatu perkara dapat mempertimbangkan pula efek yang dialami korban akibat perbuatan pelaku, sehingga dalam menjatuhkan putusannya hakim dinilai cukup adil dan imbang dalam memvonis pelaku.

Vonis yang dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo di atas, merupakan salah satu bentuk praktik Peradilan di Indonesia yang belum sepenuhnya memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap perempuan . Pada tahap pemeriksaan terhadap korban kejahatan seperti korban perkosaan dilakukan dengan tidak memperhatikan hak-hak asasi korban. Sedangkan

(5)

pada tahap penjatuhan putusan hukum, korban kembali dikecewakan karena putusan yang dijatuhkan pada pelaku cukup ringan atau jauh dari memperhatikan hak-hak asasi perempuan.

Keberadaan UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindunagn anak dalam menjerat pelaku perkosaan terhadap anak pada realitasnya belum berjalan sebagaimana mestinya. hal ini disebabkan oleh 2 faktor yaitu:2

1. Faktor Internal

Anak-anak mudah mejadi korban perkosaan karena mereka mudah diancam dipaksa dan dibujuk oleh si pelaku, pelaku melakukan ancaman dan intimidasi terhadap korban dalam tekanan pelaku sehingga ia memilih tidak melaporkan hal ini kepada orang tua atau orang dewasa lainnya karena merasa diancam. hal ini menyebabkan sering kali kasus pada anak baru terungkap bertahun-tahun lamanya bahkan setelah korban akhirnya hamil.

2. Faktor Eksternal

Keberadaan Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak tidak dijadikan sebagai kekuatan yang memprevensi dan menindak para pelaku perkosaan secara optimal.

B. Analisis Hukum Islam atas Putusan Hakim

Pengadilan Negeri Sidoarjo

Menurut ketentuan dalam hukum Islam, perkosaan disamakan dengan perzinahan. Maka sesuai dengan deskripsi kasus yang telah dipaparkan pada

(6)

bab III, bahwa pelaku tindak pidana perkosaan terhadap anak dibawah umur adalah pemerkosa mukhson, dimana pelaku tersebut sudah kawin dan melakukan hubungan seksual dengan orang yang bukan isterinya dengan cara memaksa atau kekerasan dengan bukan atas dasar kemauan wanita tersebut.

Soal jenis hukuman dalam Hukum Pidana Islam sangatlah seimbang antara perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dengan akibat atau dampak yang dialami korban setelah perbuatanya tersebut.

Menurut para fuqoha (imam Syafi'i, Malik, Auza'i, dan Abu Hanifah) berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku perkosaan (muh}s}an) adalah rajam, yakni sesuai dengan kata-kata Umar bin Khattab dalam satu khutbahnya yang diceritakan oleh Abu Abbas sebagai berikut:

ﹶﻝﹶﺎﻘﹶﻓ َﺐﹶﻄَﺧ ُﻪﱠﻧﹶﺍ ﻪﻨﻋ ﷲﺍ َﻲِﺿَﺭ ِﺏﹶﺎﹼﻄَﺨﹾﻟﺍ ِﻦْﺑ َﺮَﻤُﻋ ْﻦَﻋَﻭ

:

ِﺍﱠﻥ

َﺑ ﷲﺍ

َﻌ

ﹶﺚ

ُﻣ

َﺤ

ﱠﻤ

ﹰﺍِﺑ

ﹾﻟﺎ

َﺤ

ﱢﻖ

َﻭ

ﹶﺃْﻧ

َﺰ

ﹶﻝ

َﻋﹶﻠ

ْﻴِﻪ

ﹾﻟﺍ

ِﻜ

ﹶﺎﺘ

ِﺏ

ﹶﻓ

ﹶﺎﻜ

ﹶﻥ

ِﻣ

ﱠﻤ

ﹶﺃ ﺎ

ْﻧَﺰ

ﹶﻝ

َﻋ

ﹶﻠْﻴِﻪ

ﹶﺍ َﻳ

ﱠﺮﻟﺍ ﺔ

ْﺟ

ِﻢ

.

ﹶﻗَﺮ

ﹾﺃَﻧﺎ

ﹶﺎﻫ

َﻭ

َﻭ

َﻋْﻴ

ﹶﺎﻨ

ﹶﺎﻫ

َﻭ

َﻋﹶﻘ

ﹾﻠَﻨ

ﹶﺎﻬ

ﹶﻓ ،

َﺮ

َﺟ

َﻢ

َﺭ

ُﺳ

ْﻮ

ﹸﻝ

ﷲﺍ

َﻭ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ

َﺭ

َﺟ

ْﻤﻨ

ﹶﺎ

َﺑ

ْﻌ

ُﻩَﺪ

ﹶﻓ ﹶﺄ

ْﺧ

َﺸ

ِﺍ ﻰ

ﹾﻥ

ﹶﺎﻃ

ﹶﻝ

ِﺑ

ﱠﻨﻟﺎ

ِﺱﺎ

َﺯ

ﻣﹶﺎ

ﹲﻥ

ﹶﺍ

ﹾﻥ

َﻳ

ﹸﻘْﻮ

ﹶﻝ

ﹶﺎﻗ

ِﺋﹲﻞ

ﹶﺎﻣ

َﻧ

ُﺪِﺠ

ﱠﺮﻟﺍ

ْﺟ

َﻢ

ﹶﻓ

ِﻛ ﻲ

ﹶﺎﺘ

ِﺏ

ﹶﻓ ،ﷲﺍ

َﻴ

ِﻀ

ﱡﻠ

ِﺑ ﺍﻮ

َﺘْﺮ

ِﻙ

ﹶﻓ

ِﺮْﻳ

َﻀ

ٍﺔ

ﹶﺍ ْﻧ

َﺰﹶﻟ

َﻬ

َﻭ ﷲﺍ ﺎ

ِﺇﱠﻥ

ﱠﺮﻟﺍ

ْﺟ

َﻢ

ِﻓ

ِﻛ ﻲ

ﹶﺎﺘ

ِﺏ

ﷲﺍ

ﻰﹶﻟﹶﺎﻌَﺗ

َﻋﹶﻠ

َﻣ

ْﻦ

َﺯ

َﻧ

ِﺍ ﻲ

َﹶﺫﺍ

ﹶﺃ

ْﺣ

َﺼ

َﻦ

ِﻣ

َﻦ

ﱢﺮﻟﺍ

ﹶﺎﺟ

ِﻝ

َﻭ

ﱢﻨﻟﺍ

ﹶﺎﺴ

ِﺀ

ِﺇ ،

ﹶﺫ

ﹶﺎﻗ

َﻣ

ِﺖ

ﹾﺍ

َﺒﻟﱢﻴ

َﻨﹸﺔ

ﹶﺃ

ْﻭ

ﹶﺎﻛ

ﹶﻥ

ﹾﻟﺍ

َﺤ

ْﺒﹸﻞ

ﹶﺍ

ِﻭ

ِﻹﺍ

ْﻋِﺘ

ﹶﺍﺮ

ُﻑ

)

ﻩﺍﻭﺭ

ﻢﻠﺴﻣ

(

Artinya: “Sesungguhnya Allah swt. telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya dan telah pula menurunkan kepadanya sebuah kitab suci, salah satu dari ayat-ayat yang terkandung dalam kitab suci itu terdapat “ayat rajam”. Rasulullah sendiri melaksanakan rajam dan kita pun melakukannya. Hal ini saya tegaskan lantaran saya kuatir, karena telah lam berselang akan ada seseorang yang mengklaim bahwa dalam kitabullah tidak ada ayat rajam. Hal ini seperti suatu kesesatan oleh karena meninggalkan suatu kewajiban

(7)

(fardlu) yang justru benar-benar diturunkan Tuhan, hukuman rajam memang harus dijatuhkan kepada laki-laki atau dia hamil atau dia sendiri mengakui perbuatannya.” (HR. Muslim) 3

Disamping itu mereka juga berlandaskan dengan hadis Ali r.a. yang menjatuhkan dera terhadap Syarakah Al-Hamdiyah pada hari kamis dan kemudian merajamnya pada hari jumat. Ia berkata:

َﺟ

ﹶﻠْﺪ

ُﺗَﻬ

ِﺑ ﺎ

ِﻜ

ﹶﺎﺘ

ِﺏ

ِﷲﺍ

َﻭ

َﺭ

َﺟ

ْﻤ

ﹶﺎﻨ

ﹶﺎﻫ

ِﺑ

ُﺴ

ﱠﻨِﺔ

َﺭ

ُﺳ

ْﻮِﻟ

ِﻪ

Artinya: “Aku menderanya Sarakah berdasarkan kitabullah, dan aku merajamnya berdasarkan sunnah Rasul-Nya.” 4

Sedangkan Imam Muslim juga meriwayatkan dari Ubaddah dan Shamit bahwa Rasulullah pernah bersabda:

ْﺤَﻳ ﺎَﻨﹶﺛﱠﺪَﺣ

ِﺪْﺒَﻋ ِﻦْﺑ ﹶﻥﺎﱠﻄِﺣ ْﻦَﻋ ِﻦَﺴَﺤﹾﻟﺍ ْﻦَﻋ ٍﺭﻮُﺼْﻨَﻣ ْﻦَﻋ ٌﻢْﻴَﺸُﻫ ﺎَﻧَﺮَﺒْﺧﹶﺃ ﱡﻲِﻤﻴِﻤﱠﺘﻟﺍ ﻰَﻴْﺤَﻳ ُﻦْﺑ ﻰَﻴ

ِﺖِﻣﺎﱠﺼﻟﺍ ِﻦْﺑ ﹶﺓَﺩﺎَﺒُﻋ ْﻦَﻋ ﱢﻲِﺷﺎﹶﻗﱠﺮﻟﺍ ِﻪﱠﻠﻟﺍ

َﻢﱠﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴﹶﻠَﻋ ُﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠَﺻ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﹸﻝﻮُﺳَﺭ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﻲﱢﻨَﻋ ﺍﻭﹸﺬُﺧ

ْﺪﹶﻗ ﻲﱢﻨَﻋ ﺍﻭﹸﺬُﺧ

ُﺪﹾﻠَﺟ ِﺐﱢﻴﱠﺜﻟﺎِﺑ ُﺐﱢﻴﱠﺜﻟﺍَﻭ ٍﺔَﻨَﺳ ُﻲﹾﻔَﻧَﻭ ٍﺔﹶﺋﺎِﻣ ُﺪﹾﻠَﺟ ِﺮﹾﻜِﺒﹾﻟﺎِﺑ ُﺮﹾﻜِﺒﹾﻟﺍ ﺎﹰﻠﻴِﺒَﺳ ﱠﻦُﻬﹶﻟ ُﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻞَﻌَﺟ

ُﻢْﺟﱠﺮﻟﺍَﻭ ٍﺔﹶﺋﺎِﻣ

.

ُﻪﹶﻠﹾﺜِﻣ ِﺩﺎَﻨْﺳِﺈﹾﻟﺍ ﺍﹶﺬَﻬِﺑ ٌﺭﻮُﺼْﻨَﻣ ﺎَﻧَﺮَﺒْﺧﹶﺃ ٌﻢْﻴَﺸُﻫ ﺎَﻨﹶﺛﱠﺪَﺣ ُﺪِﻗﺎﱠﻨﻟﺍ ﻭٌﺮْﻤَﻋ ﺎَﻨﹶﺛﱠﺪَﺣ ﻭ

.

5

Artinya: “Ketahuilah....ketahuilah sesungguhnya Allah telah memberi jalan untuk mereka, untuk jejaka dan perawan yang berzina dihukum dengan seratus kali pukulan dan diasingkan setahun lamanya, dan untuk janda dan duda yang berzina dihukum dengan hukuman seratus kali pukulan dan rajam”.(HR Muslim)6

Pendapat ini yang oleh kebanyakan ulama lebih dipedomani. Meskipun para ulama telah sepakat atas wajibnya menghukum pelaku zina, namun mereka masih

3 Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, hal 645 4 Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, h. 237

5 CD Hadits, Kutub at-Tis’ah, Muslim no.3199 6 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 9, h. 99

(8)

berpendapat mengenai tambahan hukuman pukul itu dengan hukuman buang atau isolasi. Perbedaan tersebut adalah:

1. Imam Syafi'i berpendapat bahwa setiap pezina harus dikenakan pengasingan disamping hukuman dera. Yakni bagi laki-laki atau perempuan merdeka atau hamba.

2. Imam Malik dan Auza'i berpendapat bahwa

pengasingan hanya dikenakan bagi pezina laki-laki dan tidak dikenakan pada perempuan. Karena mereka menganggap bahwa perempuan adalah aurat yang harus dilindungi dan disembunyikan.

3. Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa tidak ada pengasingan sama sekali.7

Adapun golongan kedua yang berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku zina adalah dera, mereka berpegangan dengan keumuman, firman Allah swt dalam surat An-Nur ayat 2:8

ِﻬِﺑ ْﻢﹸﻛﹾﺬُﺧﹾﺄَﺗ ﻻَﻭ ٍﺓَﺪﹾﻠَﺟ ﹶﺔﹶﺋﺎِﻣ ﺎَﻤُﻬْﻨِﻣ ٍﺪِﺣﺍَﻭ ﱠﻞﹸﻛ ﺍﻭُﺪِﻠْﺟﺎﹶﻓ ﻲِﻧﺍﱠﺰﻟﺍَﻭ ﹸﺔَﻴِﻧﺍﱠﺰﻟﺍ

ْﻢُﺘْﻨﹸﻛ ﹾﻥِﺇ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ِﻦﻳِﺩ ﻲِﻓ ﹲﺔﹶﻓﹾﺃَﺭ ﺎَﻤ

َﲔِﻨِﻣْﺆُﻤﹾﻟﺍ َﻦِﻣ ﹲﺔﹶﻔِﺋﺎﹶﻃ ﺎَﻤُﻬَﺑﺍﹶﺬَﻋ ْﺪَﻬْﺸَﻴﹾﻟَﻭ ِﺮِﺧﻵﺍ ِﻡْﻮَﻴﹾﻟﺍَﻭ ِﻪﱠﻠﻟﺎِﺑ ﹶﻥﻮُﻨِﻣْﺆُﺗ

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”.

Kandungan hukum dalam ayat ini adalah:

7 Ibnu Rusyd, Bidayatul..., h. 240

(9)

1. Penegasan tentang dilarangnya jarimah zina, sebelumnya telah di singgung dalam surat An-Nisa’ ayat 15 dan 16, serta surat Al-Isra’ ayat 32. pengertian zina adalah hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan miliknya (istrinya) dan tidak ada syubhat (ketidak jelasan) dalam miliknya itu.

2. Ancaman hukuman untuk pelaku zina disebutkan dengan tegas dalam ayat ini, yaitu berupa hukman dera (cambuk) sebanyak seratus kali. Hukuman ini berlaku bagi pemerkosa muhsan dan pemerkosa

gairu muh}s}an. Untuk pemerkosa muhsan ditetapkan hukuman rajam, sedangkan untuk pemerkosa gairu muh}s}an ditetapkan hukuman dera (cambuk) seratus kali ditambah dengan hukuman pengasingan selama satu tahun.9

Sebagaimana ketentuan dalam Islam bahwa kedua pelaku perzinahan keduanya dapat diancam hukuman. Sedangkan dalam perkosaan tidak dikenakan hukuman.

Pada masa Nabi Muhammad SAW, kasus perkoosaan semacam ini pernah terjadi. Seperti yang terungkap dalam sebuah teks hadist yang diriwayatkan Imam Turmudzi dan Abu Dawud, dari sahabat Wail bin Hujr Ra. Suatu hari ada seorang perempuan pada masa Nabi SAW yang keluar rumah hendak melakukan shalat di masjid. Ditengah jalan, ia dijumpai seorang laki-laki yang menggodanya, dan memaksanya (di bawa ke suatu tempat) untuk berhubungan intim. Perempuan tersebut menjerit, dan ketika selesai memperkosa, pelaku lari. Kemudian lewat

(10)

beberapa orang Muhajirin, perempuan itu lalu mengatakan ”laki-laki itu memperkosa saya”. Kaum Muhajirin lalu mengejar dan menangkap laki-laki tersebut yang diduga telah memperkosa. Ketika dihadapkan kepada perempuan tersebut, ia berkata “ ya, ini orangnya”. Mereka kemudian membawa pelaku mengahdap Rasulullah SAW. Ketika hendak dihukum laki-laki berkata “ya Rasul, saya yang melakukannya”. Kemudian Rasul berkata kepada perempuan “Pergilah Allah telah mengampuni kamu”. Lalu kepada laki-laki tersebut Nabi memerintahkan “rajamlah”. Kemudian berkata “ sesungguhnya ia telah bertaubat, yang kalau saja taubat itu dilakukan seluruh penduduk Madinah, niscaya akan diterima”.10

Tindak Pidana perkosan pada masa Nabi SAW memang dihukum, dan korban perkosaan dilepaskan dengan harapan agar memperoleh ampunan dari Allah SWT. Pada saat itu, hukuman pemerkosaan yang dilakukan dengan cara paksa dan kekerasan sama persis dengan hukuman perzinahan (yang tidak dilakukan dengan cara kekerasan dan paksaan). Karena itu, mayoritas ulama hadis dan fiqh menempatkan tindak pidana perkosaan sama persis dengan tindak perzinahan. Hanya perbedaannya, dalam tindak perzinahan kedua pelaku harus menerima hukuman, sementara dalam tindak pidana perkosaan hanya pelaku pemerkosa saja yang menerima hukuman, sementara korban harus dilepas.

Ada juga beberapa teks hadist lain yang memperkuat tentang sanksi yang di jatuhkan terhadap pemerkosa pada masa Nabi SAW, seperi yang diriwayatkan Imam Al-Turmudzi bahwa ada seorang perempuan yang diperkosa pada masa

(11)

Rasulullah SAW, maka ia dilepaskan dari ancaman hukuman perzinahan, sementara pelakunya dikenakan hukuman h}ad”’

Dalam riwayat Imam Bukhari dari Malik, dari Nafi’ Mawla Ibn ‘Umar Ra. bahwa Sahafiyah bin Abi Ubaid mengatakan “ bahwa seorang budak laki-laki berjumpa dengan seorang budak perempuan dan memaksanya berhubungan intim, maka Khalifah ‘Umar menghukumnya dengan cambukan dan tidak menghukum si perempuan.11

Menurut pendapat Imam Malik dan kawan kawannya mengatakan: "jika ada seseorang wanita hamil, tetapi tidak tahu siapa yang menyetubuhinya dan tidak mengaku diperkosa, maka ia harus dijatuhi hukuman. Seandainya ia mengaku diperkosa haruslah pula ada tanda-tanda yang menunjukkan hal itu seperti putusnya perawanannya atau bukti-bukti lain berdasarkan atas perkataan umar:

"Hukum rajam harus dikenakan kepada orang yang berzina, baik laki-laki maupun perempuan jika ada bukti-bukti atau wanita hamil dan mengakui perbuatannya".12

Dengan demikian, jika ditinjau dari pasal 81 ayat 1 UU No.23 th 2002 tentang perlindungan anak, hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo memvonis pelaku perkosaan terhadap anak di bawah umur dengan pidana penjara selama 7 tahun dan denda sebanyak Rp. 60.000.000 subsidair 5 bulan penjara, dimana didalam mengambil keputusan tersebut didasarkan pertimbangan-pertimbangan hakim yakni atas hal-hal yang memberatkan dan meringankan

11 Ibid.

(12)

Sedangkan dalam hukum Islam, dalam masalah penjatuhan hukuman atau penetapan vonis hukuman, Islam tidak mengenal adanya hal-hal yang memberatkan apalagi hal-hal yang meringankan hukuman, dimana hukuman dalam ketentuan Undang-Undang yang berlaku pelaku harus dihukum dengan pidana penjara maksimal 15 tahun berubah menjadi 7 tahun, hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup karena atas pertimbangan hakim.

Namun, dalam hukum Islam memutus dan menetapkan hukuman bagi pelaku tindak pidana perkosaan harus sesuai dengan hukuman yang telah ditentukan oleh ketentuan yang berlaku dalam Islam, yakni hukuman rajam. Hukum ini sudah tidak dapat ditawar lagi dan tidak lagi melihat pertimbangan atas hal yang memberatkan dan hal yang meringankan hukuman seperti yang diterpakan dalam Undang-Undang di negara republik Indonesia.

Dengan demikian karena negara Indonesia adalah negara hukum atau disebut negara yang taat hukum maka putusan hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo dalam memutus perkara kasus tindak pidana perkosaan terhadap anak di bawah umur serasa kurang seimbang jika ditinjau dari segi kerugian yang dialami si korban sangat menjatuhkan harga dirinya juga masa depannya. Apalagi bila kita melihat dari segi anak yang masa depannya harus dijaga dan dilindungi sebagai penerus generasi berikutnya. Sungguh itu tidaklah seimbang apabila kita melihat pertimbangan hukum yang dipakai hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo yakni pasal 81 UU No.23 th 2002 dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Islam dalam memvonis pelaku. Apalagi hukum di negara Indonesia bersifat mengikat dan harus mempunyai efek jera bagi pelakunya.

(13)

Apabila vonis hukuman yang dijatuhkan oleh hakim hanya 7 tahun penjara jelas tidak menutup kemungkinan bagi pelaku untuk mengulangi perbuatan yang sama karena hukuman yang diterimanya dirasa cukup ringan dan tidak menimbulkan efek jera sama sekali.

Disinilah letak ketidak tegasan pemerintah selaku pembuat Undang-Undang yang hanya menjatuhkan vonis yang begitu ringan dan tidak berdampak jera bagi pelaku. Sedangkan dalam hukum Islam menetapkan hukuman yang keras atau berat terhadap pelaku pemerkosaan yakni rajam yang sangat membahayakan nyawa atau kadang samapai mati demi kata adil. Hukum Islam menetapkan hukum berdasar dan telah menimbang bahwa menghukum si pelaku pemerkosaan (zina) dengan hukuman yang berat adalah lebih adil ketimbang membiarkan rusaknya masyarakat disebabkan oleh merajalelanya perkosaan atau perzinahan.

Dari sini jelaslah bahwa pemberian putusan yang dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo jauh lebih ringan dibanding hukuman yang dijatuhkan oleh hukum Islam yakni rajam.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya identitas politik yang dimiliki oleh Negara tersebut, maka Negara tersebut dapat menggunakannya sebagai tameng dimana akan digunakan sebagai perlidungan

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan pembahasan, maka penelitian ini menemukan hasil: kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan, komite

Materi perkuliahan membahas tentang konsep dasar sistem kontrol berumpan balik dan latar belakang matematik, pemodelan sisten fisik, analisa respon transien serta

Ebben az esetben a projektek nem egyebek, mint pótcselekvések, csak arra szolgálnak, hogy dokumentálják, hogy történik valami, de nem tényleges eredmények

Variable dalam penelitian ini adalah Strategi Coping stres adalah suatu cara individu mencoba dua yaitu Problem focused coping (coping yang berpusat pada

kebutuhan petani yang sangat mendesak, karena dengan menjual produksi karet kepada pedagang pengumpul, petani akan menerima uang secara langsung, sedangkan apabila

Penang bersatu membentuk pemukiman Selat Malaka. Permintaan pasar akan karet bertumbuh cepat pada abad ke-19, sementara pasokan hanya berasal dari Amerika Selatan. Benih-benih

Skripsi dengan judul Peran Pemerintah Dalam Penanggulangan Masalah Sosial (Studi Kebijakan Publik Terhadap Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pembinaan Anak