• Tidak ada hasil yang ditemukan

Design of Interior Estetic Elements of the Mosque Ornaments Based on Local Arivity of Bugis Tribe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Design of Interior Estetic Elements of the Mosque Ornaments Based on Local Arivity of Bugis Tribe"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1671

Design of Interior Estetic Elements of the Mosque

Ornaments Based on Local Arivity of Bugis Tribe

Alimuddin dan Aswar Universitas Negeri Makassar Email: alimuddin185@gmail.com

Abstract. Continuing research on the development of ornamental design on aesthetic elements

in the second year by focusing on the interior elements of the Imaduddin Tancung Mosque in Wajo Regency, which in the first year focused on developing exterior elements. As a further strengthening in fulfilling the expectations of the mosque administrators and the community, especially the congregation, to realize the architectural style mosque they built has a distinguishing element from the similarities of other Islamic places of worship (Persian style), so that it appears distinctive, characteristic, and as a confirmation. identity. Through research on the development of ornamental design with local wisdom as an alternative to advanced solutions with the adaptation procedure of the Borg & Gall development research model which is simplified in four stages, namely: introduction, design, test-validation and refinement, and design dissemination. The results of the research on the development of ornate local wisdom designs on the aesthetic elements of the mosque interior with the philosophical concept of sulafa eppa and 'micro cosmos symbols', namely: 1) pulpit, 2) podium, 3) place / sona imam prayer, 4) front wall, 5) pillars , 6) lisplang, and (7) barrier trellis. It is also important to carry out advanced design development research specifically on the interior elements of the mihrab (front room).

Keywords: design, ornament, local wisdom, interior, mosque. PENDAHULUAN

Kebudayaan memiliki dan mengenal ruang, tempat tumbuh dan berkembang, serta mengalami perubahan, penambahan atau pengurangan, sebab suatu masyarakat akan mengatur prilaku atas lingkungannya, termasuk intraksi sosialnya. Jika suatu perkembangan atau perubahan terjadi maka dapat dipastikan terjadi memodifikasi pola tingkah laku manusia, sehingga untuk menghadapi lingkungan fisik, manusia cenderung mendekati dengan budaya yang dimilikinya, yaitu sistem simbol, makna dan sistem nilai (Sahlin;1968; Poerwanto, 2010: 139-140). Hal tersebut tak terkecuali dalam budaya pada penganut Islam yang juga senantiasa akan timbul keinginan untuk maju dan terus berkembang dalam untuk kehidupan yang lebih baik, diawali dengan memberi arah pemikiran yang melahirkan gagasan-gagasan atau ide-ide baru. Inilah yang kemudian mendorong laju pengembangan dari berbagai sudut pandang kehidupan manusia, termasuk dalam mencipta benda-benda fisik untuk mendukung sistem kebudayaanya.

Desain elemen estetis dengan berbagai bentuk dan pemaknaan pada ornamennya merupakan produk kesenian yang lahir dari produk budaya sejak

(2)

1672

masa lampau, telah ada dan keberlangsungannya terjadi secara turun-temurun. Kesenian tradisional pada umumnya tidak dapat diketahui secara pasti kapan dan siapa pencipta awalnya termasuk seni visual seperti ornament atau ragam-hias. Sedyawati (1992: 26) memandang seni tradisi merupakan suatu proses penciptaan dalam kehidupan masyarakat yang menghubungkan subjek manusia itu sendiri terhadap kondisi lingkungannya. Karena itulah, kesenian tradisional ataupun kesenian rakyat namanya, bukan lagi merupakan hasil kriativitas individu, tetapi tercipta secara anonim bersama kreativitas masyarakat yang mendukungnya (Esten, 1993: 11, Kayam, 1981: 60). Dapat dikatakan bahwa pencipta seni tradisional hanya terpengaruh pada keadaan sosial budaya masyarakat di suatu tempat. Menciptakan produk seni tradisional yang terlestarikan dapat dengan mengadopsi kearifan lokal sesuai yang dipahami dan dihidupkan oleh masyarakat pendukungnya.

Masjid sebagai rumah ibadah bagi penganut Islam sejak dahulu hingga kini menjadi pusat kebudayaan terutama dalam kaitan dengan syiar Islam. Karena itu, di berbagai belahan dunia masjid sebagai simbol kebesaran Islam oleh masyarakat penganutnya, maka secara gotong-royong pula masyarakat Islam untuk membesarkan dan memperindah masjid sebagai rumah ibadahnya baik pada bentuk konstruksi bangunan maupun elemen-elemen estetis eksterior dan interiornya. Keindahan elemen estetis pada bangunan masjid dapat diperkuat dengan melalui ornamen. Ornamen atau ragam hias berperan sebagai media untuk mempercantik atau mengagungkan suatu karya. Ornamen dan dekoratif mempunyai perlambang atau simbolik dan sekaligus pembentukan jati diri (Toekio, 1987: 10 dan Baidlowi, 2003: 39). Ornamen atau ragam hias pada bangunan dapat menjadi salah satu pembentuk karakter dan ciri untuk isyarat mengetahui langgam atau gaya yang digunakan pada bangunan, sekalipun penggunaan ornamen biasanya disesuaikan dengan tingkat kemampuan dana atau ekonomi dan kedudukan sosial di masyarakat. Ornamen merupakan sesuatu yang dirancang untuk menambah keindahan suatu benda. Hal tersebut, memang keindahan dapat dinikmati melalui pengetahuan tentang elemen bentuk dan menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia karena memiliki makna filsofis. Melalui elemen bentuk seni, budaya, kaligrafi dan seluruh kosmos menjadi media keindahan Islam Tradisional untuk mengangkat dan menciptakan ketulusan kesadaran manusia pada pluralilitas dan pada saat yang sama dapat menyadarkan manusia ke dalam perjalanan spiritual dengan pencipta kosmos atau meditasi atas yang maha kuasa (Herawati, 2015: 4). Ataukah dengan ornamen juga sebagai simbol komponen utama dalam kebudayaan bahwa setiap melihat atau mengalami diolah sebagai serangkaian simbol yang dimengerti oleh manusia, simbol tersimpan berbagai makna. Karena kesenian atau kebudayaan direspon sebagai sistem-sistem simbol (Suparlan, 1987: 3; Geertz, 1973; Parson, 1966; dan Rohidi, 2000: 31).

(3)

1673

Sebagai penelitian lanjutan dalam pengembangan desain ornamen pada elemen estetis pada tahun ke-2 ini dengan memfokuskan pada elemen interior Masjid Imaduddin Tancung Kabupaten Wajo. Pada tahun pertama dengan fokus pengembangan ornamen estetis elemen eksteriornya. Karena itu, penelitian tahap ke-2 ini dimaksudkan sebagai penguatan lanjutan dalam memenuhi harapan pengurus masjid dan masyarakat terutama para jamaahnya untuk mewujudkan masjid dengan gaya arsitektur yang memiliki unsur pembeda dari kesamaan dari ragam bangunan rumah ibadah Islam lainnya (gaya Persia) untuk tampilan yang berciri khas, berkarakter, dan sebagai penegas identitas.

Masjid Imaduddin Tancung di Kabupaten Wajo merupakan masjid yang telah dibangun kira-kira di era tahun 20-an dengan konstruksi semi permanen (sebagian konstruksinya berbahan kayu) dan pada akhirnya bangunan masjid ini tidak dapat dikembangkan lagi. Kini oleh pengurus memutuskan untuk merehabilitasi secara total sejak tahun 2015 dengan membangun baru, namun jamaahnya ingin mengadopsi bentuk atap yang bersusun tiga (menyerupai atap bangunan vihara) sebagaimana bentuk sebelumnya, di samping itu dari pihak jamaah juga menginginkan elemen-elemen masjid yang memiliki ciri kelokalan yang dapat diklaim sebagai simbol kebudayaannya (Survei awal, 2 – 3 Januari 2019). Oleh karena itu, jika ingin mewujudkan bangunan Masjid Imaduddin Tancung yang memiliki karakter dan memenuhi nilai-nilai filosofis, terlebih jika diharapkan menjadi salah satu masjid destinasi wisata religi ke depan, maka solusinya adalah mengembangkan desain ornamen berbasis kearifan lokal pada elemen-elemen estetis, terutama pada elemen eksterior dan interiornya.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada di atas, maka rumusan penelitian ini adalah “Bagaimana mengembangkan bentuk desain elemen-elemen estetis interior berornamen kearifan lokal pada Masjid Imaduddin Tancung Kabupaten Wajo”.

METODE PENELITIAN

Sebagai penelitian pengembangan pada Tahun-2 ini, yang bertujuan mengembangkan desain elemen estetis interior berornamen kearifan lokal pada Masjid Imaduddin Tancung Kabupaten Wajo. Dalam penelitian pengembangan oleh Borg dan Gall (1983: 775) mengajukan serangkaian tahap yang harus ditempuh dalam pendekatan ini, yaitu: 1) “research and information collecting, 2) planning, 3) develop preliminary form of product, 4) preliminary field testing, 5) main product revision, 6) main field testing, 7) operational product revision, 8) operational field testing, 9) final product revision, and 10) dissemination and implementation”. Secara konseptual, pendekatan penelitian dan pengembangan mencakup 10 langkah umum. Namun dari model dari Borg & Gall, diadaptasi untuk lebih disederhanakan atas kebutuhan menjadi empat tahap tanpa bermaksud mengurangi standar kelayakan produk desain, yaitu: 1)

(4)

1674

pendahuluan, 2) perancangan, 3) validasi dan penyempurnaan, serta 4) diseminasi. Metode pelaksanaan penelitian dengan menekankan pada suatu tahapan prosedur, jelas luaran yang diharapkan, lokasi penelitian tepat sasaran dan indikator capaian yang terukur.

Alur pengembangan desain elemen estetis interior berornamen kearifan lokal pada Masjid Imaduddin Tancung Kabupaten Wajo dilaksanakan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Tahap I Pendahuluan: Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data awal yang akurat elemen-elemen bangunan yang menjadi sasaran penerapan estetis. Disamping itu kajian pustaka untuk mengidentifikasi kearifan lokal yang akan dijadikan sumber inspirasi dalam konsep gagasan pengembangan desain ornamen.

2. Tahap II Perancangan: membuat berbagai alternatif desain elemen-elemen estetis interior berornamen kearifan lokal pada masjid Imaduddin Tancung Kabupaten Wajo, distorsi hingga pengkomputerisasian agar lebih muda diperbaiki pada tahap selanjutnya.

3. Tahap III uji-validasi dan penyempurnaan: Dilakukan dengan memvalidasi melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan menghadirkan ahli/pakar atau praktisi desain elemen estetis bersama tokoh-tokoh masyarakat. Hasil diskusi melalui saran dan koreksian terhadap desain-desain elemen estesis interior berornamen kearifan lokal pada masjid dan ditindaklanjuti untuk menyempurnakannya.

4. Tahap IV Diseminasi: Desain ornamen yang telah disempurnakan kemudian diaplikasikan dalam pembuatan produk oleh Pengurus Masjid hingga siap untuk digunakan pada bangunan masjid.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengembangan penelitian dengan tahapan, yaitu pengumpulan dokumen pendukung, perancangan desain (diawali eksplorasi sketsa dan pendesainan awal), validasi melalui FGD dan produk akhir desain. Atas tahapan penelitian pengembangan tersebut masing-masing disajikan sebagai berikut.

1. Studi Dokumen Filosofi Kearifan Lokal

Studi dokumen sebagai tahapan awal (pendahuluan) pengembangan pada penelitian ini bahwa “Dalam kosmologi (tentang dunia keilmuan) masyarakat Bugis memahami bahwa struktur kehidupan di dunia (makro kosmos) terdiri dari tiga tingkatan, yaitu dunia atas (botting langi) tempatnya sang Pencipta yang dikenal tempatnya para dewa, dunia tengah (ale kawa) tempatnya di atas tanah atau tempat kehidupan manusia, dan dunia bawah (bori’ liung) tempat kehidupan di dalam tanah atau dalam air. Manusia dipandang mikro kosmos sebagai jelmaan makro-kosmos (bumi) terdiri dari

(5)

1675

tiga bagian tingkatan, yaitu: kepala (atas), badan (tengah) dan kaki (bawah). Suku Bugis mengenal kosmologi ruang yang mencerminkan suatu pandangan terhadap dunia alam raya dengan konsep sulappa eppa' (segi empat belah ketupat) (lihat bahasan pada bagian tinjauan pustaka). Berikut digambarkan dalam bentuk visual struktur kosmologi alam raya, manusia dan rumah adat Bugisnya.

Gambar 1: Makro-kosmos, Mikro-kosmos Manusia dan Rumah Adat Masyarakat Bugis

Atas sudut pandang kosmologi suku Bugis yang senantiasa melatar belakangi konsep untuk membuat sesuatu, seperti upacara ritual persembahan, membangun rumah, membuat pusaka, dan lain-lain sehingga dalam kehidupan sehariannya lazim diwujudkan nilai-nilai perbuatan/sikap, bentuk rupa dan warna sebagai simboliknya. Seperti gambar berikut ini memiliki wujud simbolik dalam ritual-ritual oleh suku Bugis.

Gambar 2: Suasana Ritual Maccera Tappareng (Persembahan Danau) Suku Bugis Marioriawa Kabupaten Soppeng di Danau Tempe

(Dokumen: Eka Hakim, Liputan 6, 2 Agustus 2016) Keterangan gambar di atas:

a

b

c

d

(6)

1676

a. Masyarakat secara bersama dalam prosesi penyembelian hewan kerbau dan hidangan sokko patanrupa (nasi ketam empat warna: hitam, putih, kuning dan merah serta dibumbungnya diletekkan telur sebagai simbol kesempurnaan dari empat unsur: tanah, air, angin dan api dan telur sebagai simbol sumber awal kehidupan), sepasang pisang (otti fanasa dan otti barangan) dan lainnya).

b. Kepala kerbau dan sesajen siap dibawa ke lokasi persembahan c. Rombangan masyarakat dan pejabat Daerah mengiringi

persembahan

d. Penyelenggaraan ritual maccera tappareng dengan kepala kerbau yang disimpan dalam wadah kerambah wala soji (terbuat dari bambu dan bila bambu yang dianyam renggang) dibungkus kain putih bersama sejumlah nasi ketam (sokko fatanrupa) yang dibumbungnya dipasangi telur masak dan sesajen lainnya

Pandangan terhadap kosmologi oleh masyarakat Bugis dalam bersikap dan perbuatannya untuk mengarungi kehidupannya juga senantiasa dengan spirit sulafa eppa, misalnya: 1) alempureng (kejujuran), 2) assitinajang (kepatutan), 3) agettengeng (keteguhan), dan 4) reso (keusahaan). Sedangkan dalam wujud bentuk rupa (visual) sulafa eppa masyarakat Bugis mengaplikasikan dan ditemukan pada rumah tinggal, pusaka, dan perlengkapan rumah tangga lainnya, termasuk perlengkapan untuk pesta perkawinan adat Bugis. Berikut contoh keramba wala suji yang dibuat sebagai bagian perlengkapan hantaran calon mempelai laki-laki yang akan diisi buah untuk dibawa ke tempat pernikahannya tempat calon mempelai perempuan menunggu.

Gambar 3: Wala Suji sebagai Wujud Bentuk Rupa Sulafa Eppa (Dokumen: Nur Fadhilah Sophyan; Kabar News.com, 10 Mei 2018: 13:53)

Dalam wujud warna (visual) sulafa eppa juga diwujudkan melalui mewarnai sesajen dalam acara ritual tertentu, seperti ritual untuk persembahan di danau sebagai tanda kesukuran para nelayan (maccera

(7)

1677

tapparengi), ritual atau pesta panen raya (mappangolo ri datu ase) oleh kalangan petani padi. Demikian juga untuk ritual tanda kesyukuran (mabbaca doang salama) dari petani kebun setelah panan buah-buahan, juga ritual-ritual lainnya. Dalam berbagai prosesi ritual-ritual tersebut lazim ditemukan nasi ketam dengan empat jenis warna (sokko patanrupa) sebagai simbol kesempurnaan persembahan sebagai spirit dari konsep sulafa eppa dengan makna hitam symbol tanah, putih symbol air, kuning symbol angina, dan merah sebagai symbol api sebagaimana unsur kejadian manusia. Berikut warna nasi ketam (sokko fatanrupa) yang tersaji untuk acara syukuran selamatan panen buah-buahan sebagaimana pada gambar berikut.

Gambar 4: Sokko Fatanrupa dalam Ritual Syukuran Panen Buah-buahan Bagi Petani Kebun

(Dokumentasi: Alimuddin; 2019)

Dari berbagai ritual dan nilai-nilai yang masih kental dan lazim ditemukan di tengah-tengah suku Bugis, sebagai pengaruh dari kosmologi atas kepercayaan animisme sebagaimana contoh-contoh ritual di atas, maka dengan dasar itulah sehingga dapat dikatakan kearifan lokal orang-orang Bugis hingga kini masih mempunyai pengaruh dalam bersikap, berekspresi, berimajinasi dan sampai kepada pengabdiannya kepada Yang Kuasa. Adapun kearifan lokal yang dipandang penting dalam kaitannya dengan berekspresi untuk mengembangkan desain ornamen interior di Masjid Imaduddin Tancung terutama melalui eksplorasi bentuk-bentuk dasar ornament dan warna. Hal tersebut agar masjid ini mempunyai ciri/identitas kelokalan sebagai berikut:

a. Simbol manusia; manusia sebagai mikro-kosmos adalah perwujudan dari struktur makro-kosmos, yang terdiri dari tiga bagian yakni kepala = dunia atas (simbol dari botting langi), badan = dinia tengah (simbol dari ale kawa) dan kaki = dunia bawah (simbol dari buri liung).

(8)

1678

b. Bentuk-bentuk segi empat Wala Suji; wala suji ada yang menyebutnya lawa suji adalah properti penting dan afdal dihadirkan bagi masyarakat Bugis untuk pelbagai kegiatan-kegiatam ritulnya.

c. Warna sebagai simbol sulafa eppa; pelaksanaan ritul oleh orang Bugis lazimnya dan menjadi persyaratan utama adalah sesajen atau nasi ketam empat warna (sokko patanrupa), yakni sokko bolong (nasi ketam hitam), sokko fute (nasi ketam putih), sokko onnyi (nasi ketam kuning) dan sokko cella (nasi ketam merah) serta dilengkapi telur masak sebiji setiap sesajen.

2. Perancangan Desain Elemen Estetis Interior Berornamen Kearifan Lokal

Mengacu dari kosmologi dan filosofi sulafa eppa masyarakat Bugis telah menjadi suatu kearifan lokal, maka perancangan desain diawali dengan eksplorasi bentuk ornemen dan warna visualnya sebagaimana pada uraian berikut.

a. Eksplorasi rancangan bentuk desain elemen estetis interior dengan isian ornamen sibol manusia dan wala suji dan warna mengambil dari sokko fatarupa dalam bentuk sketsa-sketsa.

b. Perancangan awal desain elemen estesis interior, atas eksplorasi sketsa bentuk-bentuk elemen estetis ornamen di atas, maka perancangan awal desain ornamen dilakukan tahap komputerisasi desain.

c. Validasi desain elemen estetis interior berornamen kearifan lokal, dengan hasil desain awal yang telah dirancang pada tahap ini, kemudian divalidasi oleh kelompok para ahli/pakar bidang seni rupa dan desain melalui Forum Group Discution (FGD). Dalam forum ini beberapa masukan yang telah didiskusikan menjadi acuan dalam menyempurnakan desain.

d. Desain akhir elemen estetis interior berornamen yang telah dibahas dalam FGD diperbaiki dan disimpulkan dari usulan, kemudian direvisi untuk diklaim sebagai desain ornamen elemen estetis yang dipermanen dan siap diaplikasikan di Masjid Imaduddin Tancung Kabupaten Wajo. Adapun desain ornamen elemen estetis interior berkearifan lokal yang telah direvisi akhir sebagaimana dalam table berikut.

(9)

1679

Tabel 1: Desain Akhir Elemen Estetis Interior Berornamen Kearifan Lokal No

. Karya Desain Ornamen Deskripsi Desain 1. Desain Elemen Estetis

Mimbar Masjid:

Desain ini dirancang untuk diaplikasikan pada material/ bahan: stainless dan konstruksi besi baja (anti karat) agar memilik daya tahan yang kuat. Juga material lainnya seperti glassfibre

reinforced concrete (GRC) atau semen berserat dan atap metal

Dari aspek fungsi: mimbar ini digunakan khusus pembaca/pembawa khutbah saja, sehingga tanpa beban yang berat Bentuk ornamen elemen mimbar mengusung konsep dari atap masjid (kearifan lokal), dan warna: asli stainless mengkilab (shiny) dan padukan warna konsep sulapa eppa.

2. Desain Elemen Estetis Podium:

Desain diaplikasi pada material/bahan: stainless (anti karat), konstruksi besi baja dan paduan GRC, agar memilik daya tahan yang kuat sebagai podium dan tampil lebih elegan.

Warna dan bentuk-bentuk ornamen pada elemen mengusung konsep sulapa eppa.

(10)

1680 3. Desain Elemen Tempat

Shalat Iman:

Desain diaplikasi pada material/bahan: stainless (anti karat), konstruksi besi baja dan paduan GRC, agar memilik daya tahan yang kuat sebagai tempat shalat imam dan tampilan lebih elegan. Warna dan bentuk-bentuk elemen mengusung konsep sulapa eppa.

4. Desain Elemen Estetis Relief Dinding Depan Interior:

Desain rancangan relief dinding ini untuk diaplikasikan pada material/bahan: glassfibre reinforced concrete (GRC) dan konstruksi besi baja (anti karat) agar memilik daya tahan yang kuat, juga material,tegel granit, akrelit, stainless, dll.

Dari aspek fungsi: mimbar ini digunakan khusus

pembaca/pembawa khutbah saja, sehingga tanpa beban yang berat

Bentuk mimbar mengusung konsep dari atap masjid (kearifan local) dan warna: asli stainless mengkilab (shiny) dan padukan warna dari konsep sulapa eppa.

5. Desain Elemen Estetis Tiang Tengah:

Desain tiang ini diaplikasi pada material/bahan:

(11)

1681

glassfibre reinforced concrete bertulang logam besi baja, tegel granit dan stainless (anti karat).

Warna dan bentuk elemen mengusung konsep sulapa eppa. 6. Desain Elemen Estetis Lisplang:

Desain lisplang diaplikasi pada material/bahan: glassfibre reinforced concrete bertulang logam besi beton yang disiapkan menempel pada plat beton.

Warna dan bentuk ornamen pada elemen estetis ini mengusung konsep sulapa eppa.

7. Desain Elemen Estetis Teralis (lantai 2):

Desain teralis ini dapat diaplikasi pada material/bahan: tiang dan rangka stainless (anti karat) atau besi baja, lembaran motif stainless atau akrelit. Warna yang

diterapkan adalah warna sulafa eppa.

Dari revisi akhir pengembangan desain di atas sudah dapat diterapkan atau diaplikasikan di Masjid Imaduddin Tancung Kebupaten Wajo. Sebagai gambaran desain elemen estetis interior berornamen kearifan lokal tersebut di antaranya: mimbar, podium, tempat shalat imam, dinding relief depan, tiang tengah, lisplang dan teralis lantai dua dengan penerapan bentuk-bentuk ornamen tau, sulafa eppa wala suji dan penerapan warna melalui bahan dan pengecatan dari konsep sulafa eppa.

Penerapan warna pada seluruh elemen di atas mengusung konsep bahwa dari unsur hitam (terwakilkan warna abu-abu), putih / stainless (intensitasnya tetap putih), kuning (terwakilkan dengan warna kuning telur) dan merah (intensitasnya merah darah), sebagai perwujudan dari empat unsur manusia (tanah, air, angin dan api) yang disebut warna sulafa eppa.

(12)

1682 3. Pembahasan

Bentuk dan warna desain elemen-elemen estetis interior berornamen kearifan lokal yang dikembangkan pada Masjid Imaduddin Tancung syarat dengan makna dan simbolik. Dalam pengembangannya mempertimbangkan aspek fungsi, nilai estetis dan aspek produksi. Oleh karena itu, desain elemen estetis interior berornamen kearifan lokal pada masjid ini didasari konsep dan filosofi yang dimiliki masyarakat suku Bugis yang untuk dapat diklaim sebagai kearifan lokalnya. Konsep dan filosofi berkarya desain ornamen dalam arti yang lebih luas bahwa ornamentasi memiliki fungsi sebagai motivasi dasar berkarya dan juga mempunyai kelebihan sebagai lintasan ideologi dalam bersikap/transideologi (Susanto, 2002: 82). Adapun desain elemen estesis interior berornamen kearifan lokal yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Elemen Estetis Mimbar, berfungsi sebagai tempat khatib berhutbah atau menyampaikan pesan-pesan keummatan beragama, hutbah pada hari jumat merupakan syarat wajib atau rangkaian dari shalat jumat. Elemen ini beratap dengan susun tiga tingkatan yang menyerupai atau miniatur masji, ornamen yang diterapkan mengusung kearifan lokal manusia Bugis dengan filosofi sulapa eppa dan wala suji. Mimbar dalam masjid adalah salah satu tempat amat disakralkan bagi kalangan Islam yang sekalian menjadi simbol sebagai masjid, karena tempat ibadah ummat Islam lainnya seperti musallah tidak memiliki mimbar.

2. Elemen Estetis Podium, elemen ini dari aspek fungsi merupakan tempat menyampaikan pesan-pesan sifatnya biasa baik urusan duniawi maupun berkaitan keagamaan yang lazim digunakan oleh protokol menginformasikan suatu pengumuman, tetapi oleh kalangan Islam membedakannya dengan mimbar. Ornamen yang diterapkan pada elemen ini juga mengusung kearifan lokal manusia Bugis dengan filosofi sulapa eppa dan wala suji.

3. Elemen Estetis Tempat Shalat Imam, tempat ini adalah lokalisasi imam memimpin shalat atau tempat pemimpin bermunajat kepada Ilahi, menjadi penting disakralkan agar tempat diharapkan mendapat keberkahan sehingga menjadi tempat dan jalur kemudahan kekhusukan. Ornamen yang diterapkan pada elemen ini juga mengusung kearifan lokal manusia Bugis dengan filosofi sulapa eppa dan wala suji.

4. Elemen Estetis Relief Dinding Depan Interior, elemen ini merupakan bagian penting untuk menampakkan keindahan masjid, kalau boleh disebut juga sebagai bagian dari penguatan kenyamanan beribadah dan siar Islam. Ornamen yang diterapkan pada elemen ini juga

(13)

1683

mengusung kearifan lokal manusia Bugis dengan filosofi sulapa eppa, wala suji, tulisan lafadz nama ‘Allah’ dan ‘Muhammad’, serta nama atau ikon masjid. Elemen ini juga amat kompleks yang tidak hanya bidangnya yang lebar tetapi juga langsung tertuju pandangan para jamaah. Sona elemen ini menjadi penting untuk diutamakan aspek estetikanya.

5. Elemen Estetis Tiang Tengah, Masjid Imaduddin yang memiliki empat tiang tengah dari lantai satu hingga terus ke lantai dua yang menopang kuda-kuda atap bagian tengah. Posisinya yang amat fungsional pada bagunan masjid, juga dengan tempatnya strategis di antara dan selah-selah jamaah, oleh karena itu penting juga mendapat perhatian aspek estetisnya. Ornamen yang diterapkan pada elemen ini juga mengusung kearifan lokal manusia Bugis dengan filosofi kosmologi manusia Bugis. 6. Elemen Estetis Lisplang, posisi elemen estetis lisplang ini berada pada

tepi pelat lantai 2. Posisi elemen lisplang dalam masjid ini juga strategis berada di tengah-tengah ruang dan mudah terjangkau pandangan. Karena itu penting menata elemen ini untuk tampil estetik. Dengan ornamen yang diterapkan juga mengusung kearifan lokal manusia Bugis dengan filosofi dunia tengah bagi Manusia Bugis.

7. Elemen Estetis Teralis, elemen ini memiliki fungsi sebagai pengaman di lantai 2 masjid, dengan demikian elemen ini mutlak diadakan. Dalam mewujudkan penting mempertimbangkan aspek estetisnya, sehingga dapat menyatu dengan elemen lainnya. Posisi elemen ini berada di atas ornamen lisplang maka ornamen yang diterapkan mengusung kearifan lokal manusia Bugis dengan filosofi dunia atas bagi Manusia Bugis. Bentuk-bentuk dari ke-7 desain elemen estetis interior berornamen kearifan lokal yang dikembangkan pada Masjid Imaduddin Tancung mengusung konsep dan filosofi motif bentuk figure manusia Bugis (ornamen tau atau bagian-bagian tubuh manusia, yaitu ulu, ale, dan aje), bentuk wala suji, dan dan warna sulafa eppa, serta lafaz/tulisan ‘Allah dan Muhammad’ dan ‘Imaduddin’ dengan gaya Kufi untuk melengkapi ornamen masjid. Kesemuanya ini dilakukan dalam pengembangan desain ornamen elemen estetis baik pada exterior terlebih juga interiornya memiliki keserasian bentuk dan warna, sehingga menyatu dengan fisik bangunan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pada elemen estetis interior Masjid Imaduddin Tancung Kabupaten Wajo menerapkan ornamen kearifan lokal dengan bentuk simbol manusia Bugis (mikro-kosmos) sebagai ornamen geometris-figuratif, yakni: (1) ornamen

(14)

1684

tau (manusia), (2) ornamen ulu (kepala), (3) ornamen ale (badan), dan (4) ornamen aje (kaki). Juga bentuk ornamen wala suji, serta simbol warna sulafa eppa, dan lafaz/tulisan Arab ‘Allah dan Muhammad’, serta lafaz/tulisan nama masjid ‘Imaduddin’ dengan gaya Kufi untuk menserasikan bentuk-bentuk motif yang dikembangkan pada elemen estetis exterior yang terlebih dahulu dikembangkan.

2. Elemen estetis interior berdasarkan kebutuhan yang kemudian dikembangkan pada Masjid Imaduddin Tancung, yakni: 1) elemen estetis mimbar, 2) elemen estetis podium, 3) elemen estetis tempat shalat imam, 4) elemen estetis relief dinding dalam depan, 5) elemen estetis tiang tengah, 6) elemen estetis lisplang (lantai 2), dan 7) elemen estetis teralis (lantai 2),. Pada elemen estetis inilah yang dikembangkan desain ornamennya agar berkearifan lokal, atas dasar bahwa ornamen (ragam hias) dan dekoratif mempunyai perlambang atau simbolik dan sekaligus pembentukan jati diri.

3. Pengembangan bentuk-bentuk visual kearifan lokal dengan desain ornamennya pada masing-masing elemen estetis interior Masjid Imaduddin Tancung yang di kembangkan

DAFTAR PUSTAKA

Baidlowi, H. & Daniyanto, E., 2003. Arsitektur Permukiman Surabaya. Surabaya: Karya Harapan.

Barthes, Roland, (terj. Kurniawan), 2001. Semiologi, Magelang: Indonesia Tera. Dakung, Subagya. 1981. Arsitektur Daerah Tradisional Yogyakarta, Proyek

Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta: Dep. Pendidikan dan Kebudayaan.

Haryanto, Eko. 2018. “Pemanfaatan Ragam Hias Mantingan sebagai Strategi Inovasi Pengembangan Industri Kreatif Kerajinan Kayu Jepara”. Disertasi: Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.

Herawati. Andi. 2015. “Keindahan sebagai Elemen Spiritual Perspektif Islam Tradisional”. Jurnal Kawistara – Jurnal Sosial dan Humaniora ISSN: 2088-5415 ISSN online: 2355-5777 Vol. 5 No. 2. Jogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.

Hidayat, Arif. 2014. “Masjid dalam Menyikapi Peradaban Baru”. Ibda Jurnal Kebudayaan Islam ISSN: 1693-6736, Vol. 12 No. 1 (Januari – Juni).

Hoed, Benny H. 2011. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.

(15)

1685

Jones J. C., 1970; Design Methods, Seeds of Humen Futures, Wicley Interscience, London.

Kurniawan, Syamsul. 2014. “Masjid dalam Lintasan Sejarah Ummat Islam” Jurnal Khatulistiwa – Joernal of Islamic Studies Vol. 4 No. 2 (September). Bandung: MKDU – FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia.

Mattulada, 1976; Geografi Budaya Sulawesi Selatan, Ujung Pandang.

…………, 1988; Kebudayaan Tradisional, Sekelumit tentang Sulawesi Selatan (dalam Masyarakat dan Kebudayaan, kumpulan karya untuk Prof. Dr. Sumardjan), Djambatan, Jakarta.

Mistaram, A. & Agung A.A.G. 1991. Ragam Hias Indonesia. Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, IKIP Malang.

Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Palemmui, Nadji Shima. 2006. Arsitektur Rumah Tradisional Bugis. Makassar: Badan Penerbit UNM.

Sutopo H.B., 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.

Wicaksono, Soni. 2015. “Pengembangan Desain Ragam Hias Pada Jaran Kepang Di Sanggar Kesenian Jaranan ‘Wahyu Agung Budoyo’ Desa Gampeng Kabupaten Kediri”. E-Jurnal: Seni Rupa ISSN: 309-316309 Vol. 3 No.2. Surabaya: Pendidikan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni UNESA. http://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/va/article/view/12350.

Gambar

Gambar 1: Makro-kosmos, Mikro-kosmos Manusia dan   Rumah Adat Masyarakat Bugis
Gambar 3: Wala Suji sebagai Wujud Bentuk Rupa Sulafa Eppa  (Dokumen: Nur Fadhilah Sophyan; Kabar News.com, 10 Mei 2018: 13:53)
Gambar 4: Sokko Fatanrupa dalam Ritual Syukuran Panen                        Buah-buahan Bagi Petani Kebun
Tabel 1: Desain Akhir Elemen Estetis Interior Berornamen Kearifan Lokal  No

Referensi

Dokumen terkait