• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asal-Usul Terbentuknya Ilmu Nahwu Dan Perkembangannya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Asal-Usul Terbentuknya Ilmu Nahwu Dan Perkembangannya"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Asal-Usul Terbentuknya Ilmu Nahwu Dan Perkembangannya

Gilang Muhammad Rifa'i

Bahasa Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, Indonesia

[email protected]

Abstrak

Tulisan ini menyuguhkan pembahasan tentang asal-usul terbentuknya ilmu nahwu dan perkembangannya. Tujuan tulisan ini dibuat adalah agar dapat menjelaskan proses terbentuknya ilmu nahwu dan perkembangannya pasca terbentuknya. Pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka serta sumber data data yang digunakan bersumber dari ejurnal, dan pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini berupa pendekatan historis. Ilmu nahwu adalah salah satu ilmu gramatikal bahasa Arab, sejarah munculnya pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib dikarenakan pada zaman tersebut mulai tersebarnya agama Islam yang semakin luas, sehingga banyak orang luar Arab yang mempelajari Al Quran, oleh karena itu banyak terjadi lahn (kesalahan membaca) kemudian khalifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu Aswad ad-Duwali untuk membuat kaidah-kaidah bahasa Arab. Pada awal perkembangan ilmu nahwu muncul dua madzhab yaitu madzhab Bashrah dan madzhab Kufi.

Kata Kunci : bahasa Arab, nahwu, gramatikal,

PENDAHULUAN

Ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab) sejak awal perkembangannya sampai sekarang senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis dikalangan para pakar linguistik bahasa Arab.[1] Dalam sejarah perkembangan linguistik Arab, nahwu merupakan cabang ilmu yang pertama kali mendapat perhatian serius dari khalifah Ali bin Abi Thalib. Keseriusan ini dibuktikan dengan ditugaskannya Abul Aswad ad-Duwali untuk memperhatikan kesalahan orang Arab dalam berbahasa Arab, dan mencari solusi agar kesalahan itu tidak terulang kembali.[2] Disiplin ilmu nahwu pada masa awal pembentukannya sangat sederhana dan bersifat praktis.[3] Dalam pandangan Islam, bahasa Arab telah menjadi bahasa wajib bagi umat Islam dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW.[4] Bahasa Arab juga menjadi standar mutlak yang harus dikuasai oleh seorang yang mendalami ilmu agama Islam, baik ahli tafsir, ahli hadist, ahli fiqh maupun seorang da’i.[5]

Dalam sebuah penelitian pasti ada yang disebut rumusan masalah, karena untuk memperjelas arah sebuah penelitian, rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

• Bagaimanakah proses atau asal muasalnya ilmu nahwu? • Bagaimana perkembangan ilmu nahwu?

Disetiap penelitian pasti ada tujuannya, karena sebuah penelitian terjadi karena ada tujuan yang ingin dicapai, dan tujuan penelitian ini sebagai berikut:

(2)

• Dapat menjelaskan perkembangan ilmu nahwu setelah terbentuknya ilmu nahwu METODOLOGI

Dalam sebuah penelitian dibutuhkan data-data yang berkaitan dengan penelitian, maka dari itu sumber data penelitian ini bersumber dari e-journal. Pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka dan teknik pengelolaan data dalam penelitian ini adalah teknik dokumen serta teori analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori historis

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ilmu Nahwu adalah salah satu cabang dari ilmu bahasa Arab yang membahas tentang bagaimana menyusun kalimat yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab, baik yang berkaitan dengan letak kata dalam suatu kalimat atau kondisi kata (harakat akhir dan bentuk) dalam suatu kalimat. Baik itu pelajar bahasa Arab pemula maupun yang sudah mahir harus tetap mempelajari yang namanya ilmu Nahwu dan bagian-bagiannya.[4]

Sejarah lahirnya ilmu nahwu itu bermula dari kerisauan seseorang yang bertamu ke rumah putrinya di Bashroh ( sebuah Negeri di Irak), beliau adalah Abul Aswad ad-Duwali dari Bani Kinanah. Pada saat itu puterinya mengatakan : “َََ دشاَاَ مَََ تَ بَ اَاَ ي َ رحلا”, dengan membaca Rofa’ pada lafadz َ د ش ا dan membaca jar pada lafadz َ ر حلا, yang menurut bahasa yang benar ََ ام nya dilakukan sebagai huruf istifham yang artinya: “Wahai Ayahku! Kenapa sangat panas? Dengan spontan Abul Aswad menjawab َ ان رْه ش اذ ٰه(Wahai Puteriku, bulannya memang musim panas).Mendengar jawaban Ayahnya, puterinya langsung berkata :”Wahai Ayah, saya tidak bertanya kepadamu tentang panasnya bulan ini, tetapi saya memberi kabar kepadamu atas kekagumanku pada panasnya bulan ini (yang semestinya jika dikehendaki Ta’ajub diucapkan َ ر حلاَ د شاَ ا م, dengan membaca fathah pada َ د ش ا dan membaca nashob pada َ ر حلا. Itu menandakan kedudukan tanda baca dalam suatu kalimat yang berbahasa Arab sangat mempengaruhi maknanya. Kalimat pertama yang diungkapkan oleh puteri Abul Aswad adalah berupa pertanyaan, dan kalimat yang kedua adalah pernyataan.[4]

Sejak kejadian itu, Abul Aswad lalu datang kepada sahabat, Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali, Seraya berkata “ Wahai Amirul Mukminin, bahasa kita telah tercampur dengan yang lain”, sambil menceritakan kejadian antara dia dan puterinya, maka buatlah saya sebuah ilmu, kemudian Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali membacakan:

َْلا َ ه ل كَ م لا ك َجرخي لا

َ ٍف ْر ح وٍَلْع ف وَ ٍمساَنع وحَّنلاَاذ هَىل عَخلا

“Kalam itu tidak boleh lepas dari kalimat Isim, Fi’il, dan Huruf, dan teruskanlah untuk semisal ini”. Kemudian Abul Aswad ad-Duwali mengarang bab Istifham dan Ta’jub. Pada masa dahulu, bahasa Arab tak mengenal adanya harakat. Masyarakat Arab menggunakan dialek kebiasaan saat mengucapkannya. Bayangkan betapa sulitnya membaca Al Qur’an dengan arab gundul, tanpa tanda harakat satu pun. Oleh karena itu, Abul Aswad ad-Duwali mejadi sosok yang berkiprah sangat penting bagi Muslimin. Dialah yang menemukan kaidah tata bahasa Arab (Nahwu), salah satunya kaidah pemberian harakat¸ Tak hanya harakat, Ad-Duwali melahirkan banyak kaidah tata bahasa Arab yang hingga kini masih menjadi patokan atau rujukan. Sejak dikenal sebagai peletak dasar ilmu i'rab, banyak orang datang untuk belajar ilmu qira'ah ataupun dasar ilmu i'rab. Ia mencurahkan hidupnya untuk menelaah ilmua nahwu, hingga wafat pada 688 masehi di Basrah. Kaidah nahwu Ad-Duwali ini

(3)

dikenal mengusung mazhab Bashrah. Pada perkembangan bahasa Arab, muncul dua mazhab, yakni Bashrah dan Kufi. Kedua mazhab tersebut sangat gencar menyebarkan ilmu nahwu ke penjuru dunia.[4]

Hampir semua pakar linguistik Arab bersepakat bahwa gagasan awal yang kemudian berkembang menjadi ilmu nahwu muncul dari Ali bn Abi Thalib saat beliau menjadi khalifah. Gagasan ini muncul karena didorong oleh beberapa faktor, antara lain faktor agama dan faktor social budaya. Yang dimaksud faktor agama disini terutama adalah usaha pemurnian Al-Qur’an dari Lahn (salah baca). Sebetulnya fenomena Lahn itu sudah muncul pada masa Nabi Muhammad masih hidup, tetapi frekuensinya masih jarang. Dalam sebuah riwayat dikatakn bahwa ada seorang yang berkatab salah (dari segi bahasa) dihadapan Nabi, maka beliau berkata kepada sahabat: “Arsyidii akhikhiikum fa innahu qad dzalla” (Bimbinglah teman kalian, sesungguhnya ia telah tersesat). Perkataan Dzalla ‘tersesat’ pada hadits tersebut merupakan peringatan yang cukup keras dari Nabi. Kata itu lebih keras artinya dari akhtha’a ‘berbuat salah’ atau zalla ‘keseleo lidah’. Lahn itu semakin lama semakin sering terjadi terutama ketika bahasa Arab telah mulai menyebar ke Negara-negara atau bangsa-bangsa lain non-Arab.[1]

Dari sisi sosial budaya bangsa Arab dikenal mempunyai kebanggaan dan fanatisme yang tinggi terhadap bahasa yang mereka miliki. Hal ini mendorong mereka berusaha keras untuk memurnikan bahasa Arab dari pengaruh asing. Kesadaran itu semakin lama semakin mengkristal sehingga tahap demi tahap mereka mulai memikirkan langkah-langkah pembakuan bahasa dalm bentuk kaidah-kaidah. Selanjutnya dengan prakarsa khalifah Ali bin Abi Thalib dan dukungan para tokoh yang mempunyai komitmen terhadap bahasa Arab dan al-Qur’an, sedikit demi sedikit disusun kerangka-kerangka teoritis yang kelak kemudian menjadi cikal bakal pertumbuhan ilmu nahwu. Sebagimana terjadi pada ilmu-ilmu lain ilmu nahwu tidak begitu saja muncul dan langsung sempurna dalam waktu singkat melainkan berkembang tahap demi tahap alam kurun waktu yang cukup panjang.[1]

Perkembangan ilmu nahwu dalam abad pertama hijriyah ini dimulai dari kota-kota Bashrah yang kemudian meluas hingga ke kota-kota mekkah atas peran Ibnu Abbas ke kota Madinah atas perang Abdurrahman bin Hurmuz al-Madani.[6]

Kota Basrah merupakan kota perdagangan yang terletak di pinggir Arab, di mana mengalir sungai Tigris dan Euprates yang bermuara ke laut. Kota Basrah terletak 300 mil di sebelah tenggara kota Bagdad. Di dalam sejarah perkembangan Ilmu Nahwu, sejak diletakkan dan dirumuskannya dasar-dasar Ilmu Nahwu pada pertengahan abad ke 1 H oleh Abul Aswad ad-Duwali (peletak dasar pertamailmu nahwu), ilmu nahwu telah banyak mengalami perkembangan, dan menemukan momentumnya dalam perjalanan historisitasnya serta kemajuannya pada masa dinasti Abbasiyyah, yaitu pada pertengahan abad ke 2 H, di Basrah. Kota ini merupakan center of knowledge and civilization bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya bagi ilmu nahwu. Kota ini banyak melahirkan berbagai macam madzhab nahwu. Nama aliran dalam ilmu nahwu terklasifiasikan menjadi dua arus kelompok besar, pertama, madzhab nahwu Basrah, yang dimotori oleh Imam Sibawahi, kedua, madzhab nahwu Kufah, yang dimotori oleh Imam al-Kisa’i.[6]

Secara umum, tumbuh dan berkembangnya nahwu disebabkan banyak faktor. al-Fadli menyimpulkannya menjadi dua faktor, yaitu faktor sosiologi dan budaya. Khusus dalam konteks Bashrah, menurut Rawway, paling tidak ada empat faktor pendukung lain penyebab tumbuh dan berkembangnya ilmu nahwu tersebut. Kempat faktor itu adalah sebagai berikut.

(4)

Pertama, letak geografis. Bashrah terletak pada jarak tiga ratus mil ke arah tenggara dari kota Bagdad, terdapat sungai Tigris dan Euphrates yang mengalir dan bermuara di laut. Kondisi strategis seperti ini tentunya akan berpengaruh kuat terhadap pembentukan personalitas penduduk, dan membuat mereka terkenal dengan kematangan berfikir, fasih dalam berbahasa yang murni, dan terbebas dari cacat lachn dan kata-kata asing. Letak Kota Bashrah yang berada di pinggir pedalaman seringkali dijadikan tujuan para ilmuwan dalam melakukan perjalanan. Di tengah perjalanan, biasanya mereka bertemu dengan orang Arab asli dan melakukan pembicaraan dari sumber bahasa yang asli. Namun, adakalanya juga para ilmuwan tersebut membawa orang Badui ke kota mereka. Orang yang terkenal melakukan perjalanan ke pedalaman untuk melakukan survey tentang bahasa Arab Fusha adalah Khalîl bin Ahmad, Yūnus bin Chabīb, Nadhar bin Syāmil, dan Abū Zaidil-Anshāri. Hal ini tampak jelas dari perkataan Khalīl ketika ditanyai oleh al-Kisāī tentang sumber-sumber ilmunya. Dia menjelaskan bahwa sumbernya ada di pedalaman Hijaz, Najd dan Tihama, maka al-Kisāī pun keluar menuju pedalaman tersebut dan menghabiskan lima belas botol tinta untuk menulis bahasa Arab selain dari yang sudah dihafalnya. Ulama Bashrah berpendapat bahwa bahasa Arab yang asli hanya ada di kabilah-kabilah pedalaman, yang belum banyak berinteraksi dengan dunia luar, jadi bahasanya masih baik dan benar. Di antara kabilah yang paling sering dikunjungi adalah Tamim dan Qais. Mengingat Bashrah sebagai pelabuhan perdagangan bagi Irak di Teluk Arab, maka datanglah unsur-unsur asing yang berimbas pada kemajuan di bidang perdagangan dan investasi. Dari sinilah terjadi pertemuan antara orang-orang Arab, Persia, dan India, sekaligus merupakan perjumpaan antara agama Nasrani, Yahudi, Majusi, dan Islam. Kedekatan Bashrah dengan madrasah Jundisapur di Persia yang mempelajari kebudayaan Persia, Yunani, dan India telah menghantarkan pada pertautan kebudayaan secara menyeluruh. Karena itu, munculah upaya penerjemahan pada masa Umar bin Abdul Aziz yang dilakukan oleh Masir Haubah dengan menerjemahkan buku kedokteran. Hal yang sama juga dilakukan oleh Abdullah al-Muqaffa‟ yang pandai berbahasa Arab dan Persia. Ia menerjemahkan peningalan-peninggalan sejarah dan sastra Persia ke dalam bahasa Arab. Dari putranya yang bernama Muhammad, lahirlah buku terjemahan bahasa Arab untuk ilmu mantiq-nya Aristoteles dan terjemahan Kalilah wa Dimnah. Selain itu, di Bashrah sendiri, terdapat aliran Syi‟ah dan Mu‟tazilah yang telah membuka lebar berkembangnya keilmuan Yunani. Ini sangat berpengaruh dalam mazhab ilmu kalam mereka dan juga berimbas pula pada ilmu nahwu dalam hal taqsim, ta’lil, ta’wil dan qiyas.[2]

Kedua, stabilitas masyarakat. Bashrah adalah kota yang mempunyai tingkat keamanannya yang stabil. Di kota ini tidak ada konflik dalam masalah politik, pergeseran antara mazhab, kerusuhan antara kelompok sosial masyarakat. Kondisi yang damai ini banyak menarik perhatian orang asing untuk mengunjungi Bashrah, dimana mereka akan mendapatkan ketenangan dan perlindungan keamanan. Dampak dari stabilitas kota ini adalah banyaknya orang Bashrah yang terjun dalam dunia perdagangan. Peradaban Bashrah jauh lebih cepat maju, aktivitas keilmuannya berkembang pesat, masuknya budaya lain yang turut mewarnai corak kehidupan masyarakat semakin beragam. Puncaknya, lahirlah di Bashrah pakar-pakar ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang kehidupan yang sangat dibutuhkan saat itu.[2] Ketiga, Pasar Mirbad. Pasar Mirbad adalah pasar yang sangat terkenal yang terletak di pintu barat kota Bashrah. Dahulu pasar ini dinamai Pasar Unta (sūqul-ibil) karena terbatas hanya pada penjualan unta, kemudian dinamakan Mirbad karena unta ditinggalkan di tempat tersebut. Oleh karena itu, setiap tempat yang digunakan untuk

(5)

menambatkan unta dinamakan mirbad. Kemudian jadilah tempat tersebut tempat yang terkenal dan di sana diadakan unjuk kebolehan di bidang puisi dan khitabah. Adapun sebab didirikannya Pasar Mirbad adalah karena orang-orang Arab yang datang ke Bashrah dari tengah Jazirah Arab menemukan di pinggiran kota tersebut tempat yang nyaman untuk menunda perjalanan. Mereka kemudian menjadi penduduk Bashrah. Mereka menanti di tempat tersebut untuk berdagang dan saling bertukar hal-hal yang bermanfaat. Kondisi ini berkembang dan Pasar Mirbad menjadi pusat perdagangan di mana para empunya adalah para penyair dan sastrawan, sehingga hiduplah nuansa sastra di pasar ini. Merekapun mampu bersaing dalam keindahan dengan para penyair di Ukaz.[2]

Keempat, Masjid Bashrah. Masjid Basrah memiliki majelis-majelis yang mengkaji beberapa disipilin ilmu pengetahuan, di antaranya majelis kajian tafsir, ilmu kalam, dan bahasa. Para imamnya adalah penduduk Bashrah sendiri yang berbangsa Arab, Persia, dan India dan sebagian lagi orang-orang Badui yang datang dari pedalaman. Majelis-majelis tersebut antara lain adalah: (1) Majelis Himad bin Salmah di mana Sibawaihi ikut bergabung dalam majelis tersebut; (2) Majelis Musa bin Siyar al-Aswari, dan (3) Majelis Abu „Amru bin al-„Alla. Ia mengajar qira’ah, bahasa, dan nahwu. Murid-muridnya berdesak-desakan di dalamnya. Suatu ketika, Hasan alBashri lewat dan menyaksikan betapa berjejalnya murid-murid yang mengikuti majelis tersebut, maka ia pun berkata:” la ilaha illallah, hamper para ulama menjadi tuhan-tuhan baru. Jika setiap kemuliaan mereka tidak dibentengi dengan ilmu, maka kehinaanlah yang berkuasa”.[2]

KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa sejarah terbentuknya ilmu nahwu dikarenakan beberapa faktor, diantaranya faktor agama dan social budaya. Contoh dari faktor agama adalah pemurnian Al-Qur’an dari Lahn (salah baca) karena agama Islam yang semakin menyebar luas, yang kedua faktor sosial budaya, karena orang Arab mempunyai kebanggaan terhadap bahasa yang ia miliki dan ini yang mendorong mereka untuk mempertahankan kemurnian bahasanya dari asing.

Ilmu nahwu berkembang di kota Bashrah, berkembangnya ilmu nahwu di Bashrah karena beberapa faktor, faktor yang pertama letak geografis, kedua stabilitas Masyarakat, ketiga, Pasar Mibrad yang terletak di pintu barat kota Bashrah, yang keempat Masjid, Masjid di kota Bashrah memiliki majelis-majelis yang mengkaji beberapa disiplin ilmu pengetahuan.

PENGAKUAN

Saya ucapkan syukur kepada Allah SWT. yang telah memberi nikmatnya sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan artikel ini dan tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Dr. Zubair, M.Ag. yang telah membimbing saya dengan sabar dalam proses pembuatan artikel ini.

(6)

REFERENSI

[1] A. A. Rahman, “Sejarah Ilmu Nahwu dan Perkembangannya,” Jurnal Adabiyah, vol. 10, no. 1, hlm. 98–109, 2010.

[2] M. F. Rohman, “Kajian Historis; Periodisasi Tokoh Ilmu Nahwu Madzhab Bashrah,” Ummul Qura, vol. 11, no. 1, hlm. 50–72, 2018.

[3] B. Dihe, “Konstruksi Pemikiran Sibawaih Dalam Kajian Ilmu Nahwu,” Rausyan Fikr: Jurnal Studi Ilmu Ushuluddin dan Filsafat, vol. 14, no. 1, hlm. 89–112, 2018.

[4] S. Sugirma, “Peran Khalifah Ali bin Abi Thalib Dalam Meletakan Dasar-Dasar Ilmu Nahwu,” Foramadiahi, vol. 11, no. 1, hlm. 158–171, 2019.

[5] L. Muhyiddin, “Konsep Al-Qiyas Ibn Jinny,” At-Ta’dib, vol. 8, no. 1, 2013. [6] Y. Ramdiani, “Kajian Historis; Perkembangan Ilmu Nahwu Mazhab Basrah,”

Referensi

Dokumen terkait