• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DI KOTA TANGERANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DI KOTA TANGERANG"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8

TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DI KOTA

TANGERANG

Penulis : Marcelina Resti Permata Pembimbing : Sri Susilih

Program Studi : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Politik

ABSTRAK

Penyimpangan sosial yang banyak terdapat pada hampir seluruh negara adalah prostitusi atau tindakan pelacuran. Tindakan prostitusi merupakan cerminan negatif dari masyarakat, sebab hal tersebut merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sulit diberantas secara menyeluruh. Dalam rangka mencegah dan memberantas pelanggaran terhadap praktek-praktek prostitusi di Kota Tangerang, maka Pemerintah Daerah Kota Tangerang menetapkan suatu kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Hal ini juga tercermin dari motto Kota Tangerang yaitu “Akhlakul Karimah”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam dan studi pustaka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang menurut Standar Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan. Hasil dari penelitian ini bahwa implementasi dari Perda ini telah berhasil memberantas tindakan prostitusi di Kota Tangerang. Namun demikian, masih banyak ditemukan indikasi dari perbuatan yang melanggar Perda tersebut yaitu dalam bentuk kasus perselingkuhan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya sanksi yang mengatur tentang perbuatan perselingkuhan. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Tangerang telah mengikuti SOP (Standard Operational Procedur) yang ditentukan, meskipun terdapat fenomena baru yaitu maraknya kasus perselingkuhan yang terjadi di Kota Tangerang. Berdasarkan kesimpulan tersebut penulis memberikan saran sebaiknya Kota Tangerang memiliki pusat rehabilitasi bagi pelaku prostitusi sehingga tersangka yang terbukti sebagai seorang PSK dapat selalu diawasi perkembangannya sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. Selain itu, Perlu adanya substansi dalam Perda yang mengatur kasus perselingkuhan karena hal tersebut sangat banyak ditemui dalam operasi.

Kata Kunci : Implementasi Kebijakan; Pelarangan Pelacuran; Peraturan Daerah. ABSTRACT

There are many features of social deviance in almost all countries is prostitution or acts of prostitution. Prostitution has always existed in society since thousands of years ago. The act of prostitution is a negative reflection of the society, because it is one of social disease that is difficult to eradicate completely. In order to prevent infraction of the practice of prostitution in Tangerang, thus Tangerang Government then assign a policy contained in the Regional Regulation No. 8 of 2005 about the Prohibition of Prostitution. This is also reflected byTangerang motto is "akhlakul Karimah". This research used a qualitative approach with in-depth interviews and literature. Results from this research that the implementation of this regulation has been successfully eradicate prostitution in Tangerang. However, there are

(2)

many indications of an act that violates the law is in the form of affair cases. This is due to the absence of sanctions governing act of affair cases.

Keywords: Local Regulation; Policy Implementation; Prohibition of Prostitution.

Pendahuluan

Latar Belakang Masalah

Di antara penyimpangan sosial yang banyak terdapat pada hampir seluruh negara adalah prostitusi atau tindakan pelacuran. Prostitusi sudah ada dalam kehidupan masyarakat sejak ribuan tahun yang lalu. Tindakan prostitusi merupakan cerminan negatif dari masyarakat, sebab hal tersebut merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sulit diberantas secara menyeluruh. Fenomena yang sering terjadi di masyarakat adalah prostitusi selalu identik dengan wanita, dikarenakan wanita sebagai simbol keindahan, maka setiap yang indah biasanya menjadi target pasar yang selalu dijadikan komoditi yang mampu menghasilkan uang. Untuk memerangi perdagangan perempuan dan prostitusi di Indonesia, beberapa daerah di Indonesia menerapkan Peraturan Daerah (Perda) yang berkaitan dengan perlindungan terhadap masyarakat khususnya para wanita. Salah satu kota yang telah lama gencar menerapkan suatu kebijakan dalam rangka menekan dan membasmi angka pelacuran atau pelaku prostitusi adalah kota Tangerang.

Pada dasarnya Peraturan Daerah (Perda) menghasilkan suatu kebijakan yang diperlukan oleh suatu daerah tertentu untuk mengatur daerahnya sendiri. Tentunya Perda yang dibuat harus mewakili kepentingan masyarakat. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang dibuat oleh Pemerintah Daerah Kota Tangerang dengan tujuan melestarikan nilai-nilai luhur budaya masyarakat yang tertib dan dinamis serta dalam rangka mencegah pelanggaran terhadap praktek-praktek prostitusi di Kota Tangerang. Kota Tangerang memiliki motto “Akhlakul Karimah”, yang berasal dari kata akhlak dan memiliki arti seperti budi pekerti atau kelakuan yang baik. Motto tersebut menjadi pedoman bahwa akhlak yang baik harus selalu dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.

Apabila disesuaikan dengan motto Kota Tangerang, maka keberadaan Perda Nomor 8 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran sudah sejalan. Namun hal terpenting dalam kesuksesan suatu kebijakan adalah pada tahap implementasi. Seperti yang dikemukakan oleh Nugroho, bahwa rencana adalah 20% dari keberhasilan, implementasi adalah 60%, dan 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Dalam rangka mensukseskan Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran di Kota Tangerang diperlukan

(3)

kerjasama dan partisipasi dari Pemerintah Daerah selaku pembuat kebijakan serta seluruh masyarakat setempat. Selain itu, tersedianya sumber daya yang mendukung proses implementasi Perda tersebut baik dalam bentuk materil maupun sumber daya manusia. Untuk menegakkan perda tersebut, Satpol PP Kota Tangerang telah menjadwalkan kegiatan razia atau operasi pelarangan pelacuran yang dilakukan sebanyak empat kali dalam sebulan. Razia terus dilakukan secara rutin, agar Kota Tangerang benar-benar terbebas dari tindakan prostitusi. Untuk itu, operasi lebih banyak dilakukan di hotel-hotel Kota Tangerang, antara lain Hotel Merdeka I, Hotel Merdeka II, Hotel Mentari, Hotel Tangerang, Wisma Anggrek, Wisma PKPN, Hotel Mandala, Hotel Flamboyan, Wisma Warna Alam, dan Hotel Al Amin yang berada di wilayah Kota Tangerang.

Operasi ini lebih fokus dilakukan di beberapa hotel sebab pelaku asusila menganggap bahwa hotel merupakan tempat yang aman untuk melakukan tindakan tersebut. para pengguna hotel yang tidak memiliki kartu nikah atau identitas yang sama akan dicurigai telah melanggar Perda Nomor 8 Tahun 2005. Keberadaan Perda Nomor 8 Tahun 2005 ini masih terus diterapkan secara ketat sebagai kebijakan yang mendukung program Pemerintah Kota Tangerang dalam memberantas HIV Aids (www.tangerangkota.go.id, diunduh pada tanggal 22 Oktober 2012).

Dalam pelaksanaan operasi, petugas Satpol PP menjunjung tinggi Standar Operating Procedure (SOP) yang telah dimiliki dalam hal mekanisme operasi. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalisasi kesalahan yang dilakukan dalam proses operasi serta mekanisme operasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan adanya SOP yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan penertiban, seharusnya tidak ada lagi masalah-masalah yang ditakutkan oleh beberapa masyarakat khususnya kaum wanita dan implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005 dapat berjalan secara efektif. Berikut merupakan data jumlah pelaku prostitusi dari hasil penertiban yang dilakukan oleh petugas Satpol PP Kota Tangerang dalam rangka penertiban Perda Nomor 8 Tahun 2005 :

Tabel 1.1

Rekapitulasi Jumlah Wanita Tuna Susila di Kota Tangerang pada Tahun 2005-2012

Tahun Jumlah PSK

2005 445 Orang

(4)

2007 114 Orang 2008 91 Orang 2009 51 Orang 2010 40 Orang 2011 1 Orang 2012 0

Sumber : Sub Dinas Polisi Pamong Praja pada Dinas Ketentraman dan Ketertiban Kota Tangerang Tahun 2005-2012 (Telah diolah kembali)

Tabel diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2005 saat pertama kali Perda Nomor 8 Tahun 2005 diterapkan, terdapat cukup banyak Wanita Tuna Susila atau PSK di Kota Tangerang yang tertangkap dalam operasi penertiban yaitu berjumlah 445 Orang PSK. Jumlah tersebut mengalami penurunan pada tahun-tahun berikutnya yaitu ditemukan sejumlah 269 Orang PSK di tahun 2006, 114 Orang PSK di tahun 2007, 91 Orang PSK di tahun 2008, 51 Orang PSK di tahun 2009, 40 Orang PSK di tahun 2010, 1 Orang PSK di tahun 2011, serta di tahun 2012 petugas Satpol PP tidak menemukan satu orangpun PSK saat operasi penertiban dilaksanakan. Penurunan jumlah PSK yang ditemukan tersebut cukup signifikan dan menunjukkan bahwa keberadaan Perda Nomor 8 Tahun 2005 yang diimplementasikan melalui operasi penertiban dapat mengurangi jumlah pelaku prostitusi atau PSK di Kota Tangerang. Namun keberhasilan Perda ini tidak hanya dilihat dari berkurangnya jumlah pelaku prostitusi yang ditemukan, tetapi juga dilihat bagaimana proses implementasi serta adanya fenomena lain yang timbul seperti kasus perselingkuhan dan tindakan prostitusi secara terselubung.

Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah pokok yang dipilih adalah bagaimana implementasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang menurut Standar Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan? Untuk itu, berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang menurut Standar Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan.

Tinjauan Teoritis

Sebelum berbicara mengenai implementasi kebijakan, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai definisi kebijakan dan kebijakan publik yang menjadi teori dasar

(5)

munculnya teori evaluasi kebijakan. Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan (Suharto, 2005:7). Menurut Shore dan Wright dalam Marzali, Kebijakan atau policy berkaitan dengan perencanaan, pengambilan dan perumusan keputusan, pelaksanaan keputusan, dan evaluasi terhadap dampak dari pelaksanaan keputusan tersebut terhadap orang banyak yang menjadi sasaran kebijakan (kelompok target). Kebijakan merupakan suatu alat atau instrumen untuk mengatur perubahan dari atas ke bawah, dengan cara memberi rewards dan sanction dengan cara intrinsik, kebijakan adalah instrumen teknis dan rasional untuk menyelesaikan masalah (Marzali, 2012: 14).

Analisis kebijakan sangat berperan penting untuk mengetahui efektivitas perumusan dan pelaksanaan kebijakan, sehingga pada akhirnya dapat dibuat kesimpulan apakah kebijakan dapat terus berjalan, berjalan disertai dengan perbaikan baik penambahan atau pengurangan peraturan, ataupun mencabut kebijakan karena sudah tidak relevan dengan situasi yang ada untuk kemudian menggantinya dengan kebijakan yang lebih relevan dengan kondisi saat ini. Menurut pendapat Dye dalam Wahab, analisis kebijakan merupakan upaya mengetahui apa yang dilakukan pemerintah, kenapa mereka melakukan hal itu, dan apa yang menyebabkan mereka melakukannya berbeda-beda (Wahab, 1990:2). Sementara itu pendapat Dunn dalam Darwin, analisis kebijakan merupakan proses menghasilkan pengetahuan mengenai proses kebijakan untuk menyediakan informasi kepada pengambil kebijakan untuk memikirkan kemungkinan pemecahan masalah kebijakan (Darwin, 1998:35). Sedangkan dalam bukunya yang lain Dunn mendefinisikan analisis kebijakan sebagai suatu aktivitas intelektual dan praktis untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan (Dunn, 1999:44). Dari kedua pendapat Dunn dapat disimpulkan bahwa analisis kebijakan bertujuan untuk memberikan informasi, kritik, serta rekomendasi kepada para pembuat serta pelaksana kebijakan untuk menjalankan kebijakan dengan tepat sehingga tujuan utama perumusan kebijakan yakni untuk mengatasi permasalahan dapat dilaksanakan dengan baik.

Implementasi Kebijakan

Salah satu kajian tentang kebijakan publik terkait dengan implementasi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan kebijakan. Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Nawawi, implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan baik oleh individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan untuk

(6)

tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan (Nawawi, 2009:131).). Dalam premisnya, Jones mengemukakan implementasi kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungkan tindakan dengan tujuan (Jones, 1991:295).

Ada beberapa model yang menggambarkan suatu proses implementasi kebijakan, antara lain :

1. Model Van Meter dan Van Horn

Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik.

2. Model Mazmanian dan Sabatier

Model kedua adalah model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam Nugroho yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Duet Mazmanian Sabatier mengklasifiaksikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel. Pertama, variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. Kedua, variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses impelmentasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan. Ketiga, variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar (Nugroho, 2011:630).

3. Model Grindle

Model Merilee S. Grindle dikemukakan oleh Wibawa dalam Nugroho. Model Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan tersebut mencakup hal-hal berikut :

1. Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan 2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan

3. Derajat perubahan yang diinginkan 4. Kedudukan pembuat kebijakan

(7)

5. Siapa pelaksana program

Metode Penelitian

Pendekatan penelitan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Denzin dan Lincoln dalam Moleong menyatakan bahwa pendekatan penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar belakang alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada (Moleong, 2007:5).

Dalam Jannah dan Prasetyo, jenis-jenis penelitian diklasifikasikan menjadi empat jenis berdasarkan manfaat penelitian, tujuan penelitian, dimensi waktu dan klasifikasi berdasar teknik pengumpulan data. Berdasarkan pada manfaat penelitian, jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah penelitian murni karena dilakukan dalam kerangka akademis dan ditujukan bagi pemenuhan keinginan atau kebutuhan peneliti di mana peneliti memiliki kebebasan untuk menentukan permasalahan yang akan diteliti (Jannah dan Prasetyo, 2005:38-39). Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Menurut Jannah dan Prasetyo, penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena (Jannah dan Prasetyo, 2005:42).

Dilihat dari dimensi waktu, penelitian yang dilakukan oleh peneliti merupakan penelitian cross sectional karena penelitian ini hanya dilakukan dalam satu waktu tertentu dan peneliti tidak akan melakukan penelitian lain di waktu yang berbeda untuk diperbandingkan. Jannah dan Prasetyo menjelaskan bahwa pengertian satu waktu tertentu tidak dapat hanya dibatasi pada hitungan minggu, bulan, atau hitungan tahun saja (Jannah dan Prasetyo, 2005:45). Tidak ada batasan yang baku untuk menunjukkan satu waktu tertentu. Akan tetapi, yang digunakan adalah bahwa penelitian itu telah selesai. Selain itu, Neuman dalam Kumar mengatakan bahwa cross-sectional research adalah “any research that examines information on many cases at one point in time” (Kumar, 1999:36).

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan metode kualitatif. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam. Wawancara mendalam atau wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dengan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan (Sugiyono, 2007:74). Wawancara dilakukan kepada orang-orang yang terlibat langsung dengan pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang

(8)

Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang sehingga peneliti dapat memperoleh informasi secara langsung dari narasumber terkait, seperti:

1. Kepala Sub Bagian Hukum Kantor Pemerintah Daerah Kota Tangerang; 2. Staf Bagian Hukum Kantor Pemerintah Daerah Kota Tangerang

3. Kepala Seksi Bidang Operasional Satpol PP Kota Tangerang;

4. Kepala Bagian Masalah Sosial, Kementerian Pemberdayagunaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI;

5. Masyarakat Kota Tangerang,

6. Petugas hotel di Wilayah Kota Tangerang;

7. Staf Bagian Penanganan Masalah Dinas Sosial Kota Tangerang 8. Kepala RT 03, Keluran Cikokol, Kecamatan Tangerang.

Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dengan mengumpulkan, membaca, serta menelaah berbagai literatur atau artikel terkait penelitian baik melalui media massa, buku, dan internet. Data yang terkait dengan penelitian ini adalah:

1. Produk kebijakan terkait dengan penerapan kebijakan Pelarangan Pelacuran di berbagai daerah di Indonesia pada umumnya dan di Kota Tangerang pada khususnya, baik dalam bentuk undang-undang maupun perda;

2. Data dalam bentuk kasus yang terjadi saat implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005; 3. Data lain yang terkait.

Dalam penelitian ini, yang menjadi lokasi penelitian adalah Kota Tangerang. Kota Tangerang merupakan salah satu kota yang menjunjung tinggi nilai sosial dan keagamaan sesuai dengan motto yang diterapkan, yaitu Akhlaktul Karimah.

Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian, penulis menggambarkan bahwa keseluruhan hasil analisis menyimpulkan implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005 cukup dapat dikatakan berhasil dengan berkurangnya tindakan prostitusi di Kota Tangerang walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa tindakan ini sangat sulit untuk dapat diberantas secara menyeluruh. Hal ini dilihat dari adanya beberapa pernyataan dan persepsi berbeda antara Satpol PP selaku implementor utama dari kebijakan ini. Petugas Satpol PP menyimpulkan bahwa rekapitulasi data hasil penertiban PSK pada tahun 2012 menunjukkan jumlah kosong yang artinya tidak ditemukan seorangpun PSK dalam proses razia. Namun dari artikel surat kabar yang penulis dapatkan, terdapat PSK yang ditemukan saat penertiban walaupun pelaku tersebut merupakan “wajah lama” yang

(9)

tertangkap kembali dan kemudian kembali dibawa ke Panti Rehabilitasi. Untuk itu penulis merasa bahwa data yang di dapat dari Satpol PP masih diragukan tingkat keakuratannya.

Selain itu, terjadi maraknya kasus perselingkuhan. Hal ini menunjukan bahwa keberadaan perda tersebut justru tidak membuat pelaku perselingkuhan merasa jera. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa Perda tersebut belum efektif mengurangi jumlah kasus perselingkuhan yang juga melanggar norma agama dan norma susila. Hal ini disebabkan karena Perda tersebut tidak mengatur adanya sanksi dari tindakan perselingkuhan.

Jika dirangkum, jumlah PSK dan jumlah pasangan selingkuh di Kota Tangerang sejak Perda Nomor 8 Tahun 2005 diimplementasikan, yaitu dari tahun 2006 hingga 2012 adalah sebagai berikut :

Tabel 4.10

Hasil Operasi Penertiban

Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran

Tahun Jumlah PSK Jumlah Pasangan

Selingkuh 2006 269 orang 275 orang 2007 114 orang 455 orang 2008 91 orang 312 orang 2009 51 orang 326 orang 2010 40 orang 146 orang 2011 1 orang 250 orang 2012 0 312 orang

Sumber : Sub Dinas Polisi Pamong Praja pada Dinas Ketentraman dan Ketertiban Kota Tangerang Tahun 2006-2012

Dari data hasil penertiban diatas tentu dapat dibandingkan bahwa jumlah PSK di Kota Tangerang semakin berkurang setelah diterapkannya Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Namun demikian, kasus yang muncul mengenai pasangan selingkuh tetap marak dengan jumlah yang fluktuatif setiap tahunnya.

Pembahasan

Sumber Daya Manusia yang Terlibat dalam Proses Implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005 :

(10)

1. Camat, Lurah, dan RT/RW

Camat, Lurah, dan RT/RW merupakan salah satu aktor pelaksana yang memahami wilayah mana yang perlu dijadikan target operasi. Oleh karena itu, tugas dari pelaksana tersebut yakni memberikan informasi mengenai lokasi yang menjadi target operasi serta turut mendampingi proses pelaksanaan operasi di wilayah mereka.

2. Dinas Sosial

Dinas Sosial berperan dalam menunjang pelaksanaan kebijakan mengenai pengawasan dan pengendalian kependudukan khususnya dalam bentuk kegiatan pengawasan di lapangan. Dinas Sosial memiliki tugas dan peran yaitu mengatasi warga PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial). Dalam hal implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005 ini, Dinas Sosial Kota Tangerang memiliki tugas menyalurkan wanita yang sudah terbukti sebagai PSK ke panti rehabilitasi milik Dinas Sosial DKI Jakarta.

3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) ini bertugas untuk melakukan proses penyidikan terhadap masyarakat yang terlibat atau terindikasi melakukan proses prostitusi. Selain itu, PPNS juga bertugas dalam hal melakukan pemberkasan berita acara pemeriksaan.

4. Satpol PP Kota Tangerang

Sumber daya manusia yang terlibat langsung dalam proses implementasi Perda ini adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Tangerang. Satpol PP merupakan pihak penanggungjawab terkait keamanan dan ketertiban pelaksanaan pengawasan di lapangan. Satpol PP memiliki tugas dan peran dalam mengupayakan keamanan dan ketertiban jalannya suatu kebijakan. Dalam implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005, Satpol PP berperan mengamankan jalannya Perda ini melalui proses operasi atau razia di tempat-tempat yang terindikasi adanya tindakan prostitusi. Satpol PP pada awalnya dibantu oleh petugas Trantib di tingkat Kecamatan dan Kelurahan. Petugas Trantib di Kecamatan dan Kelurahan diberi mandat oleh Camat atau Lurah untuk melakukan operasi di Kecamatan dan Kelurahan sekitar. Tim operasi pemberantasan tindakan prostitusi oleh petugas Trantib memiliki tugas-tugas, antara lain :

1. Melaksanakan pendataan tempat-tempat pelacuran di wilayah Kecamatan Tangerang. 2. Mengadakan operasi penertiban pelacuran di wilayah Kecamatan Tangerang.

(11)

3. Menyita dan mengumpulkan barang bukti hasil operasi serta menyerahkan kepada yang berwajib.

4. Mengevaluasi hasil kegiatan dan melaporkan secara periodik setiap bulan kepada Walikota Tangerang melalui Camat Tangerang.

Sosialisasi Perda Nomor 8 Tahun 2005

Pada tanggal 9 Desember 2005, Walikota Tangerang mengeluarkan suatu instruksi yang tertuang dalam Instruksi Walikota Tangerang Nomor 5 Tahun 2005 tentang “Sosialisasi Perda Nomor 7 Tahuun 2005 tentang Pelarangan Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol dan Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran”. Instruksi tersebut ditujukan kepada Camat dan Lurah se-Kota Tangerang, dimana perintahnya adalah :

a) Memberikan penjelasan langsung dan/atau melalui surat edaran kepada pemilik hotel, restoran, tempat hiburan, panti pijat, toko/warung jamu, RT/RW dan masyarakat serta para penjual minuman beralkohol lainnya;

b) Memasang spanduk di tempat-tempat yang strategis dengan tema/kalimat yang tercantum dalam lampiran instruksi ini.

Dalam instruksi ini Walikota Tangerang menugaskan Camat dan Lurah se-Kota Tangerang untuk melakukan sosialisasi dan memberikan laporan mengenai lokasi/tempat-tempat yang dijadikan tempat pelacuran/berbuat mesum. Tidak lama surat instruksi tersebut diturunkan, beberapa Kecamatan dan Kelurahan di Kota Tangerang segera melakukan instruksi tersebut, antara lain Wilayah Kecamatan Periuk, Wilayah Kecamatan Ciledug, Wilayah Kecamatan Tangerang Kota.

Melalui instruksi ini Pemerintah Daerah juga menghimbau kepada seluruh kalangan pengusaha di Kota Tangerang baik kepada perusahaan, pemilik toko, pemilik salon, pemilik restauran, pemilik hotel maupun pemilik panti pijat untuk melakukan sosialisasi kepada seluruh karyawan dan stake holder bahwa akan diterapkannya Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Untuk itu para pengusaha dihimbau untuk memasang billboard dan spanduk dalam rangka sosialisasi Perda tersebut kepada masyarakat dan seluruh elemen terkait. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengirimkan surat perintah sosialisasi Perda Nomor 8 Tahun 2005, antara lain kepada PT. Citra Sarana Promosindo, PT. Bardie Puritama, PT. Aneka Karya, PT. Indo Promo, PT. Sinar Kreasi Utama, PT. Citra Nuansa Media, dan PT. Adipati Kencana.

(12)

Mekanisme Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 1. Pemilihan dan Penentuan Wilayah Sasaran/Objek Operasi

Penyusunan rencana operasi di lapangan didasari pada pemilihan lokasi yang akan dioperasi, salah satunya dengan menyusuri hotel-hotel “melati” yang sebelumnya sudah terbukti adanya indikasi perbuatan pelacuran atau mesum. Selain itu, petugas juga mendapat laporan dari masyarakat. Untuk itu partisipasi dan kerjasama dari masyarakat dalam hal memberantas tindakan prostitusi sangat dibutuhkan.

2. Standar Operating Procedure (SOP)

SOP yang dimiliki oleh Satpol PP dalam hal melakukan operasi pelarangan pelacuran ini sama dengan SOP yang digunakan dalam operasi kebijakan lain di Kota Tangerang. SOP (Standard Operational Procedure) dalam hal implementasi Peraturan Daerah di Kota Tangerang terlihat melalui gambar berikut ini :

PROSEDUR PENEGAKAN PERATURAN DAERAH OPERASIONAL PENEGAKAN PERDA

SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA TANGERANG

Gambar diatas menunjukkan alur prosedur penegakan semua Peraturan Daerah di Kota Tangerang oleh Satpol PP termasuk penegakan Perda Nomor 8 Tahun 2005. Pada Tahap I, kebijakan berupa Perda disosialisasikan dengan membuat surat pemberitahuan dan suarat edaran kepada masyarakat melalui Camat dan Lurah setempat juga oleh petugas Satpol PP

SATPOL PP KOTA TANGERANG Tahap III PENEGAKAN DAN PENINDAKAN 1. Dalam bentuk fisik

 Penyetopan  Penutupan  Pembongkaran  Penyitaan  Pemusnahan 2. Dalam bentuk Administrasi  Sidang Tipiring  Pelimpahan Pengadilan  Keputusan (JPU) TAHAP I SOSIALISASI :  Surat Pemberitahuan  Edaran TAHAP II PEMBINAAN:  Peringatan I  Peringatan II  Peringatan III

(13)

yang langsung mensosialisasikannya kepada masyarakat. Pada Tahap II petugas Satpol PP melakukan pembinaan dengan memberikan peringatan satu sampai dengan tiga sebelum pada akhirnya masuk pada tahap Penegakan dan Penindakan di Tahap III baik penindakan dalam bentuk fisik maupun administrasi.

Pada mulanya rencana operasi diketahui oleh pejabat tingkat Kepala Seksi (Kasi), Kepala Bidang (Kabid), hingga Sekretaris. Rencana operasi penertiban pelacuran atau PSK tersebut tertuang dalam Nota Dinas yang dibuat oleh Kepala Bidang Penertiban kepada Kepala Satpol PP. Dengan persetujuan dari Kepala Satpol PP, maka proses operasi akan dapat dilaksanakan. Isi dari Nota Dinas tersebut antara lain menggambarkan :

1) Dasar dilakukan penertiban, dalam hal ini Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran dan berdasarkan hasil pengawasan atau pemantauan dan Ketertiban Umum dari operasi sebelumnya.

2) Waktu dan Tempat Pelaksanaan Operasi, dalam hal ini yang dipaparkan adalah waktu, Lokasi, dan sasaran.

 Lokasi yang sering dijadikan target operasi antara lain : Taman Kota, Pintu Air Sewan, Hotel Merdeka I, Hotel Merdeka II, Hotel Mentari, Hotel Tangerang, Wisma Anggrek, Wisma PKPN, Hotel Mandala, Hotel Flamboyan, Wisma Warna Alam, dan Hotel Al Amin yang berada di wilayah Kota Tangerang.

 Sasaran : Hotel, Wisma, Kontrakan, dan di pinggir jalan (ruas jalan) di Wilayah Kota Tangerang.

3.) Pola Operasi, petugas Satpol PP memiliki Pola Operasi yang diturunkan dari SOP penertiban yang telah ada dalam pelaksanaan operasi atau penertiban. Hal ini dilakukan agar proses operasi berjalan dengan baik tanpa mengganggu ketentraman masyarakat juga pihak yang menjadi target operasi. Sebelum melaksanakan pola operasi, petugas melakukan penyelidikan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk mencari tau lokasi dan sasaran saat dilakukan penertiban nanti. Biasanya yang melakukan penindakan adalah petugas intel dari Satpol PP. Petugas intel tanpa mengenakan seragam Satpol PP memasuki tempat sasaran berupa hotel, wisma, kontrakan, dan taman kota untuk melakukan pendataan kepada oknum yang terindikasi melakukan pelanggaran Perda Nomor 8 Tahun 2005. Pola Operasi yang ditetapkan secara tertulis oleh Satpol PP Kota Tangerang menjadi pedoman dalam mengimplementasikan Perda Nomor 8 Tahun 2005. Hal tersebut berisi :

(14)

 Melakukan Apel dan Persiapan Operasi

Apel dilakukan untuk mempersiapkan para petugas sebelum melakukan operasi dengan diberi pengarahan agar para petugas bertindak dengan penuh tanggung jawab dan menjunjung tinggi etika. Apel ini dipimpin secara bergantian oleh Kepala Bidang Penertiban maupun Kepala Seksi Operasi. Struktur kegiatan yang dilaksanakan saat Apel sebelum pelaksanaan operasi adalah dengan pembacaan doa dan pengarahan bahwa petugas dilarang melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap target operasi. Selain itu para petugas diingatkan untuk menjunjung tinggi SOP yang telah disepakati

Proses Apel dan Persiapan Sebelum Operasi Sumber : Dokumentasi Satpol PP

 Melaksanakan Penindakan

Penindakan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Satpol PP berupa Pendataan terhadap pasangan selingkuh, pelacuran dan waria. Penindakan berupa operasi ini dilakukan pada hotel-hotel dan ruas jalan yang sering terindikasi sebagai tempat prostitusi, seperti Taman Kota, Pintu Air Sewan, Hotel Merdeka I, Hotel Merdeka II, Hotel Mentari, Hotel Tangerang, Wisma Anggrek, Wisma PKPN, Hotel Mandala, Hotel Flamboyan, Wisma Warna Alam, dan Hotel Al Amin yang berada di wilayah Kota Tangerang.

Petugas Satpol PP mendatangi tempat sasaran berupa hotel dengan membawa Surat Tugas atau Surat Perintah Melakukan Operasi yang ditunjukkan kepada petugas hotel atau resepsionis. Petugas satpol PP dengan didampingi petugas hotel lalu menyusuri kamar-kamar yang berisi tamu hotel. Operasi atau razia dilakukan secara

(15)

sopan sebab petugas Satpol PP sebelumnya telah diberi pengarahan untuk mengedepankan etika dalam melakukan operasi. Hal tersebut ditunjukan bahwa petugas selalu mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk kamar hotel agar target operasi dapat diajak bekerjasama dengan baik.

Proses Operasi/Razia di Hotel Flamboyan Sumber : Dokumentasi Satpol PP

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa petugas Satpol PP yang melakukan razia sudah cukup mengikuti arahan dan SOP yang ditentukan. Target yang terindikasi PSK ataupun pasangan selingkuh segera diminta menunjukkan kartu identitas dan kemudian dibawa ke Kantor Satpol PP untuk dimintai keterangan lebih lanjut dengan menggunakan mobil operasi Satpol PP. Dalam sekali razia, jumlah personil yang digerakan kurang lebih 20 orang.

Dalam kegiatan operasi, masing-masing unit melakukan tugas pokok dan fungsinya. Para target yang terindikasi sebagai PSK ataupun pasangan selingkuh yang telah dibawa ke Kantor Satpol PP segera ditempatkan dalam suatu ruangan untuk dimintai keterangannya satu persatu disamping diberikan penjelasan dan penyuluhan tentang Perda Nomor 8 Tahun 2005 oleh petugas Satpol PP. Setelah diberikan pengarahan, tersangka yang terkena kasus perselingkuhan serta PSK diminta untuk mengisi Surat Keterangan yang berisi identitas lengkap serta pernyataan bahwa bersedia untuk di proses menurut Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran atau sesuai dengan hukum yang berlaku.

(16)

Tersangka diberi Pengarahan oleh Kabid Pembinaan dan Penyuluhan Sumber : Dokumentasi Satpol PP

Jika tersangka terbukti telah melanggar Perda Nomor 8 Tahun 2005, yang dalam hal ini adalah pelaku PSK, maka Satpol PP dan pihak kepolisian bekerja sama dengan Dinas Sosial di DKI Jakarta melakukan rehabilitasi terhadap pelaku prostitusi tersebut. Kota Tangerang tidak memiliki Panti Rehabilitasi yang diperuntukan bagi para PSK yang hendak dibina, untuk itu Pemerintah Kota bekerjasama dengan dinas sosial di DKI Jakarta untuk menempatkan para PSK asal Kota Tangerang pada Panti Rehabilitasi yang terletak di Kelurahan Pasar Rebo, Jakarta Timur.

 Melakukan Apel dan Evaluasi Pasca Operasi Penertiban.

Para petugas yang telah selesai menjalankan tugas operasi kembali melakukan apel sebagai laporan bahwa kegiatan operasi telah terlaksana. Setelah itu, diadakan evaluasi mengenai proses dan hasil dari operasi yang telah dilaksanakan. Evaluasi dilakukan oleh seluruh tim yang bertugas dalam operasi tersebut di hadapan Kepala Seksi Operasional dan Kepala Bidang Ketertiban untuk di dokumentasikan dan sebagai pembelajaran dalam kegiatan operasi selanjutnya.

Hambatan dalam Implementasi Kebijakan Perda Nomor 8 Tahun 2005.

Secara keseluruhan, pelaksanaan sebuah kebijakan tidak selalu berjalan dengan lancar dan selalu sesuai dengan perencanaan dan tujuan yang akan dicapai. Secara garis besar implementasi Perda ini memang mampu mengurangi adanya tindakan prostitusi di Kota Tangerang. Namun dalam proses implementasinya tidak terlepas dari beberapa hal yang menjadi hambatan dan kendala dalam proses implementasi, antara lain :

(17)

1. Adanya Sikap Kontra dari Masyarakat saat Awal Implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005.

Dalam pembentukan suatu kebijakan publik, tentu ada pihak yang memberikan dukungan juga sanggahan atas implementasi Perda tersebut. Walaupun tujuan awalnya sangat mulia, tetapi dapat menimbulkan persepsi yang berbeda dari masyarakat ketika ada ketidaksesuaian dalam substansi kebijakan dengan proses implementasi. Tidak terkecuali pada kebijakan Perda Nomor 8 Tahun 2005 ini. Sikap kontra dari masyarakat muncul dikarenakan adanya beberapa kaum wanita yang takut untuk keluar di malam hari. Pada Pasal 4 ayat 1 yang bertuliskan : “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, dilapangan-lapangan, dirumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di daerah”. Isi dari Perda tersebut sempat dianggap multitafsir karena petugas lalu dapat mencurigai setiap wanita yang memenuhi kriteria diatas meskipun wanita tersebut bukanlah pelacur atau pelaku tindakan prostitusi.

Berita yang dikutip dari surat kabar Suara Pembaruan, pada hari Kamis, 10 Maret 2006 menjelaskan bahwa seorang karyawati Hotel Ibis Tamarin sempat mengusahakan meminta surat keterangan dari perusahaan tempatnya bekerja yang menyebutkan bahwa ia memang pekerja hotel yang harus pulang malam. Hal lain juga dijelaskan oleh Siti Istikharoh, aktivis pada Serikat Pekerja Nasional (SPN) yang menjelaskan bahwa kebijakan ini juga dianggap akan membawa dampak buruk bagi investasi karena makin tingginya tuntutan buruh yang menyulitkan perusahaan seperti tuntutan untuk menyediakan bus bagi karyawan yang pulang di malam hari.

Sikap kontra tersebut tentunya menjadi perhatian Pemerintah Daerah Kota Tangerang selaku perumus Perda tersebut. Namun demikian hal tersebut tidak menyurutkan langkah Pemerintah Daerah untuk terus melanjutkan kebijakan ini. Untuk itu, Pemerintah mengambil langkah dengan cara melakukan sosialisasi atas implementasi Perda ini hingga akhirnya terbentuk himpunan pro dari masyarakat yang sepakat bahwa Perda ini terus dijalankan.

(18)

2. Tidak Tersedianya Sarana Panti Rehabilitasi di Kota Tangerang

Selama ini Dinas Sosial Kota Tangerang bekerjasama dengan Dinas Sosial DKI Jakarta dalam rangka menempatkan pelaku yang telah terbukti sebagai seorang PSK. Dinas Sosial Kota Tangerang mengantarkan pelaku tersebut ke Panti Rehabilitasi Sosial Karya Wanita Mulya di Wilayah Pasar Rebo, Jakarta Timur. Tidak tersedianya sarana Panti Rehabilitasi ini membuat Dinas Sosial Kota Tangerang harus melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan Dinas Sosial DKI Jakarta mengenai penempatan PSK yang akan dikirim ke Panti Rehabilitasi tersebut. Walaupun demikian, Dinas Sosial Kota Tangerang tetap melakukan pengawasan terkait PSK asal dari Kota Tangerang yang sedang menjalani rehabilitasi.

3. Adanya Perlawanan dari Tersangka

Tidak jarang petugas Satpol PP merasa kesulitan dalam operasi penertiban PSK ini. Target operasi seringkali menolak untuk dimintai keterangan mengenai identitas dan menolak untuk dilakukan pendataan. Sebagian besar dari mereka yang melakukan perlawanan pada umumnya pelaku tindakan perselingkuhan. Karena merasa malu maka mereka menolak untuk dimintai keterangan dan dibawa ke kantor Satpol PP.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang, dapat disimpulkan bahwa penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Tangerang telah mengikuti SOP (Standard Operational Procedur) yang ditentukan, oleh sebab itu kegiatan operasi atau razia yang dilakukan selama empat kali dalam sebulan di hotel-hotel serta ruas jalan telah dapat mengurangi jumlah pelacur atau PSK di Kota Tangerang sejak tahun 2006 hingga tahun 2012. Hasil penertiban Perda Nomor 8 Tahun 2005 menunjukkan tingkat pelacuran atau prostitusi berkurang sejak tahun 2006 hingga 2012 meskipun terjadi perbedaan persepsi antara data tersebut dengan hasil penelitian penulis di lapangan pada narasumber berbeda yang menunjukkan bahwa tahun 2012 terjadi operasi penertiban yang menghasilkan beberapa PSK “wajah lama” diciduk kembali. Selain itu, hasil penertiban yang dilakukan oleh petugas satpol PP menunjukan fenomena maraknya kasus perselingkuhan. Hal ini menunjukan bahwa keberadaan perda tersebut justru tidak membuat pelaku perselingkuhan merasa jera. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa Perda tersebut belum efektif mengurangi jumlah kasus

(19)

perselingkuhan yang juga melanggar norma agama dan norma susila. Hal ini disebabkan karena Perda tersebut tidak mengatur adanya sanksi dari tindakan perselingkuhan.

Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan, penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Untuk lebih mengoptimalisasi efektivitas dari Perda ini, sebaiknya Kota Tangerang memiliki pusat rehabilitasi bagi pelaku prostitusi sehingga tersangka yang positif sebagai seorang PSK dapat selalu diawasi perkembangannya sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali.

2. Perlu adanya substansi dalam Perda yang mengatur kasus perselingkuhan karena hal tersebut sangat banyak ditemui dalam operasi. Selain itu tindakan perselingkuhan merupakan suatu penyakit masyarakat yang harus diberantas, oleh karena itu pelakunya juga perlu untuk diberi sanksi agar merasa jera.

Kepustakaan

Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Samodra Wibawa, dkk, Penerjemah). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Marzali, Amri. 2006. Antropologi&Kebijakan publik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif edisi Revisi. Bandung: Rosdakarya.

Jones, Charles, O. 1991, Pengantar Kebijakan Publik. Jakarta: Rajawali Press.

Nugroho, Riant. 2004. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Prasetyo, Bambang & Jannah, Lina Miftahul. 2005. Metode Penulisan Kuantitatif, Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta.

Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik (Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial). Bandung: CV Alfabeta.

Gambar

Tabel diatas  menunjukkan  bahwa  pada  tahun  2005  saat  pertama  kali  Perda  Nomor  8  Tahun  2005  diterapkan,  terdapat  cukup  banyak  Wanita  Tuna  Susila  atau  PSK  di  Kota  Tangerang yang tertangkap dalam operasi penertiban yaitu berjumlah 445
Gambar  diatas  menunjukkan  alur  prosedur  penegakan  semua  Peraturan  Daerah  di  Kota Tangerang oleh Satpol PP termasuk penegakan Perda Nomor 8 Tahun 2005

Referensi

Dokumen terkait

Tempat yang ideal untuk melahirkan adalah fasilitas kesehatan dengan perlengkapan dan tenaga yang siap menolong bila sewaktu-waktu terjadi komplikasi

Terdapat beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab masih ditemukannya responden yang mengkode diagnosis secara tidak tepat, di antaranya pengkodean yang dilakukan

Berdasarkan informasi yang disajikan pada Tabel 8, Tabel 9 dan Tabel 10 dapat dilihat bahwa hutan alam sekunder memiliki cadangan karbon lebih rendah

Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang serta shalawat beriring salam teruntuk Nabi Muhammad SAW, akhirnya

Kedua, jarak dari jalan dan intensitas cahaya tidak berpengaruh terhadap sebaran jumlah individu tumbuhan asing invasif Clidemia hirta di Taman Hutan Raya Bung

Dengan demikian tidak terdapat hubungan yang nyata antara jenjang jabatan fungsional peneliti dengan bahasa dari literatur yang digunakan untuk bahan rujukan.. Hal

Konselor datang ke rumah konseli. Sampai di rumah EE, Konselor disambut dengan baik oleh Ibu EE dan kakak sepupu EE. Konselor kemudian membina hubungan baik dengan Ibu

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh retail mix yang meliputi customer service , location , pricing , store design and display , merchandise assortments ,