PEMBUATAN PETA LAUT BERDASARKAN S-4 DAN S-57 INTERNATIONAL HYDROGRAPHIC ORGANIZATION (IHO) MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK
ARCGIS 10.4.1
Muhamad Haidar Abdillah1, Rochman Djaja2, Ahmad Lufti Ibrahim3
ABSTRAK
Peta laut merupakan peta yang dirancang secara spesifik untuk memenuhi kebutuhan navigasi laut. Di Indonesia, lembaga yang berhak untuk menerbitkan peta laut yaitu Pusat Hidro dan Oseanografi TNI Angkatan Laut (Pushidrosal) dan mengacu pada ketentuan Peta No. 1. Namun dengan tingginya tingkat pelayaran di Indonesia dan tidak menutup kemungkinan untuk pelaut asing berlayar di Indonesia, maka dibutuhkan peta laut Indonesia yang telah berstandar Internasional. Untuk mendapatkan peta laut dengan standar Internasional, dibutuhkan ketentuan atau spesifikasi yang dipublikasikan oleh International Hydrographic Organization (IHO) yaitu S-4 Regulations Of The
IHO for International (INT) Charts And Chart Specifications of The IHO dan S-57 IHO Transfer Standard for Digital Hydrographic Data. Penelitian dalam penulisan Tugas Akhir ini dilakukan
dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.4.1 sebagai alat untuk menghasilkan langkah-langkah kerja dalam proses simbolisasi serta pembuatan basis data pada peta laut tersebut. Kemudian langkah-langkah hasil proses pekerjaan tersebut dilakukan pengecekan dan penyesuaian dengan ketentuan S-4 dan S-57 IHO. S-4 IHO digunakan untuk pembuatan simbol dan tampilan peta. Sedangkan, S-57 IHO digunakan untuk pembuatan basis data dari peta tersebut.
Kata Kunci: Peta Laut Indonesia, International Hydrographic Organization (IHO), S-4, S-57, ArcGIS
10.4.1.
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.504 pulau, 13.466 pulau bernama dan 4.038 pulau belum bernama (Wikipedia). Indonesia juga merupakan negara kepulauan dengan luas lautan yang mencapai 2/3 luas kedaulatannya dan juga negara dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia (Situmorang, 2012).
Di Indonesia, Lembaga Hidrografi yang berhak untuk menerbitkan peta laut navigasi adalah Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut (Pushidrosal). Peta navigasi yang diterbitkan oleh Pushidrosal mengacu
pada ketentuan Peta No. 1 terbitan
Pushidrosal. Namun selain standarisasi Peta No.1, digunakan juga standarisasi yang
dipublikasikan oleh International
Hydrographic Organization (IHO) yaitu S-4 Regulations Of The IHO for International (INT) Charts And Chart Specifications of The IHO. Selain S-4, standarisasi S-57 IHO Transfer Standard for Digital Hydrographic Data juga digunakan sebagai ketentuan format
data untuk transfer data hidrografi yang di
distribusikan kepada produsen, pelaut serta pengguna data hidrografi lainnya (IHO, 2002). Negara-negara yang tergabung dalam IHO diwajibkan mengikuti aturan tersebut.
Peta laut wilayah Perairan Selat Riau diterbitkan pertama kali pada tahun 1980 dan terbitan yang kelima dikeluarkan pada tahun 2013. Pada tahun 2015, peta laut wilayah
Perairan Selat Riau diperbaharui oleh
Pushidrosal serta informasi mengenai Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) disesuaikan dengan Berita Pelaut Indonesia (BPI) Tahun 2015 yang disusun dan disiarkan oleh Pushidrosal. Namun, agar peta laut wilayah Perairan Selat Riau dapat digunakan oleh dunia Internasional sebagai alat bantu navigasi pelayaran, maka peta laut yang tersedia harus disesuaikan dengan ketentuan S-4 dan S-57 yang dipublikasikan oleh IHO. ArcGIS merupakan salah satu perangkat lunak yang sering digunakan untuk pembuatan peta. Dalam versi yang terbaru yaitu ArcGIS 10.4.1 telah dilengkapi oleh fitur khusus yang mendukung dalam proses pembuatan peta laut. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan tugas akhir ini, penyusun akan membuat peta laut
dengan menggunakan perangkat lunak
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang,
permasalahan yang dapat dirumuskan adalah: 1. Indonesia merupakan negara dengan luas lautan yang mencapai 2/3 dari luas kedaulatannya, dengan kondisi tersebut maka dibutuhkan peta laut yang mutakhir. 2. Indonesia juga merupakan negara yang
tergabung kedalam IHO, sehingga
pembuatan peta laut tersebut harus sesuai dengan ketentuan yang dipublikasikan oleh IHO yaitu S-4 Regulations Of The
IHO for International (INT) Charts And Chart Specifications of The IHO dan S-57 IHO Transfer Standard for Digital Hydrographic Data.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah pembuatan
peta laut berdasarkan S-4 dan S-57
International Hydrographic Organization
(IHO) menggunakan perangkat lunak ArcGIS
10.4.1 pada Perairan Selat Riau. 1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah peta laut wilayah Perairan Selat Riau dapat digunakan sebagai alat bantu navigasi pelayaran yang telah berstandar Internasional.
1.5 Batasan Masalah
Batasan masalah dari penelitian ini adalah: 1. Wilayah perairan yang digunakan untuk pembuatan peta laut adalah Perairan Selat Riau (Peta Laut Indonesia No. 49). 2. Luas area yang dipetakan yaitu 41.796 Ha.
3. Pembuatan peta laut menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.4.1.
4. Spesifikasi peta laut berdasarkan S-4 2016 dan S-57 2002 IHO.
5. Sistem proyeksi yang digunakan adalah sistem proyeksi Mercator.
6. Skala yang digunakan adalah skala 1:25.000.
II. DASAR TEORI 2.1 Peta Laut
Peta laut atau dikenal dengan istilah
Nautical Chart merupakan peta yang dirancang secara spesifik untuk memenuhi
kebutuhan navigasi laut dengan menampilkan (Haas, 1986):
1. Kedalaman laut dan fisiografi dasar laut khususnya memperhatikan bahaya-bahaya navigasi.
2. Bentuk dasar dan tingkatan dari bentuk pantai serta bentuk dasar laut.
3. Variasi bentuk keselamatan navigasi. 4. Fitur-fitur laut dan beberapa detail topografi yang bermanfaat untuk navigasi laut.
2.2 Fungsi dan Informasi Peta Laut
Fungsi utama dari peta laut adalah menyampaikan informasi terkait wilayah laut dan pesisir serta perubahan-perubahan yang terjadi didalamnya untuk kebutuhan:
1. Keselamatan, efektivitas, dan efisiensi bidang navigasi.
2. Eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut.
3. Pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir.
4. Perlindungan lingkungan laut. 5. Pertahanan maritim.
Secara khusus untuk peta navigasi laut, informasi utama yang harus dikomunikasikan terdiri atas (Poerbandono, 1998):
1. Kedalaman perairan dengan pokok
perhatian pada bahaya navigasi
(kedangkalan, bangkai kapal tenggelam, daerah latihan militer, dan sebagainya). 2. Sifat dan jenis garis pantai serta sifat material dasar laut dibawahnya.
3. Posisi, jenis, dan karakter sarana bantu navigasi pelayaran.
4. Bentuk atau unsur topografi khusus yang dapat dipakai untuk sarana bantu navigasi.
2.3 Jenis Peta Laut
Secara umum peta laut yang digunakan terbagi atas tiga jenis, yaitu peta navigasi laut, peta batas laut, dan peta kerekayasaan kelautan. Untuk pemanfaatan dalam bidang navigasi, peta laut dikelompokkan lagi kedalam empat jenis dengan skala yang berbeda (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005), yaitu:
1. Peta Pelabuhan (skala > 1:50.000), untuk keperluan navigasi dalam pelabuhan dengan alur pelayaran sempit, serta untuk tempat berlabuh.
2. Peta Pantai (skala 1:50.000 – 1:100.000), untuk keperluan navigasi dekat pantai (agar kapal dapat berlayar melalui karang atau daerah dangkal), memasuki teluk dan pelabuhan yang cukup besar, serta bernavigasi di alur pedalaman.
3. Peta Umum (skala 1:100.000 – 1:600.000), untuk navigasi pada saat kapal berada cukup jauh dari daratan namun posisi kalap masih dapat ditentukan relatif terhadap tanda-tanda di darat, lampu-lampu suar, serta pelampu-lampung-pelampu-lampung. 4. Peta Haluan (skala < 1:600.000), untuk navigasi antar pelabuhan yang jauh dan untuk pengeplotan posisi kapal pada saat daratan belum tampak.
2.4 Kartografi Kelautan
Seperti halnya kartografi pada umumnya, kartografi kelautan juga memiliki definisi yang sama. Namun berbeda pada produk peta yang
dihasilkannya, kartografi kelautan
menghasilkan peta laut atau dikenal dengan
Nautical Chart (Anggaramurti, 2009).
Ruang lingkup pekerjaan kartografi terdiri dari lima proses yaitu (Prihandito, 1989):
1. Seleksi data (objek/unsur) untuk
pemetaan.
2. Manipulasi dan generalisasi unsur. 3. Pekerjaan desain (simbol-simbol), dan konstruksi peta (proyeksi peta).
4. Teknik reproduksi peta. 5. Revisi peta.
2.5 Proyeksi Peta
Proyeksi Peta adalah prosedur matematis yang memungkinkan hasil pengukuran yang dilakukan di permukaan bumi fisis bisa digambarkan diatas bidang datar (peta). Karena permukaan bumi tidak teratur, maka akan sulit untuk melakukan perhitungan langsung dari hasil pengukuran. Untuk itu diperlukan pendekatan secara matematis dari bumi fisis tersebut. Model matematis bumi yang digunakan adalah ellipsoid putaran dengan besaran-besaran tertentu (Mutiara, 2004).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pemilihan sistem proyeksi peta
(Wongsotjitro, 1982):
1. Syarat-syarat peta harus berhubungan dengan penggunaan peta.
2. Besar dan bentuk daerah diatas permukaan bumi yang akan dipetakan. 3. Letak daerah yang akan dipetakan berada diatas bumi.
1.5.1 Proyeksi Mercator
Proyeksi Mercator merupakan sistem proyeksi silinder normal konform, artinya bidang proyeksi berupa bidang silinder yang mempunyai kedudukan normal, berhimpit dengan garis putas bumi dengan sifat distorsi konform. Kedudukan bidang silinder terhadap
bidang ellipsoid adalah bersinggungan
sehingga dengan demikian lingkaran ekuator akan diproyeksikan secara ekuidistan (Karima, 2016).
Gambar 1. Sistem Proyeksi Mercator (IHO, 2006)
2.6 Sistem Koordinat Geodetik
Sistem koordinat geodetik biasanya
didefinisikan berhimpit dengan pusat massa bumi. Sumbu ketiga (+z) merupakan sumbu putar ellipsoid (melewati kutub utara), sumbu pertama (+x) terletak pada bidang ekuator dan
memotong meridian nol (meridian
Greenwich), dan sumbu kedua (+y) pada
bidang ekuator tegak lurus dengan sumbu x dan z.
Gambar 2. Sistem Koordinat Geodetik (Prihandito, 2010)
2.7 Datum Geodetik
Bentuk permukaan bumi yang
sesungguhnya dapat direpresentasikan oleh bentuk geoid. Geoid adalah permukaan pada saat lautan yang memenuhi seluruh bumi, bebas untuk menyesuaikan diri dan hanya dipengaruhi oleh atraksi massa bumi dan gaya sentrifugal rotasi bumi. Representasi geoid
merupakan suatu bidang ekuipotensial medan gaya berat bumi, yang berdasarkan solusi hitung perataan kuadrat terkecil dengan permukaan laut rata-rata (Mean Sea Level) lautan (Djunarsjah, 2004).
Gambar 3. Permukaan Bumi, Geoid dan Ellipsoid
(Djunarsjah, 2004)
2.7.1 Datum Horizontal
Datum horizontal merupakan titik kontrol horizontal pada ellipsoid referensi WGS ’84 dalam sistem gratikul (jaring garis proyeksi lintang dan bujur) pada interval 10 – 20 cm di peta dengan graduation frame (skala pembagi gratikul) di tepi batas muka peta. Koordinat horizontal (lintang dan bujur) serta tinggi geodetik dapat dikonversi ke sistem koordinat kartesian (x, y, z) yang mengacu pada sumbu ellipsoid (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005).
2.7.2 Datum Vertikal
Sebagai referensi posisi vertikal pada peta laut, umumnya digunakan suatu bidang air rendah (Chart Datum). Chart Datum dapat didefinisikan sebagai kedudukan rata-rata air rendah tertentu yang diperoleh dari suatu periode pengamatan pasang surut selama 18.6 tahun. Berbagai jenis bidang vertikal yang digunakan sebagai chart datum adalah sebagai berikut.
1. MHHW (Mean Higher High Water) 2. MHW (Mean High Water)
3. MLW (Mean Low Water)
4. MLLW (Mean Lower Low Water)
Gambar 4. Kedudukan Datum Vertikal (IHO, 2006)
2.8 Registrasi
Peta dasar yang digunakan sebagai sumber dalam pemetaan yang berupa gambar citra atau peta hasil scanning belum memiliki
sistem referensi geografi. Tujuan dari
registrasi peta adalah untuk memposisikan peta atau citra sesuai dengan posisi di bumi, sehingga dapat digunakan dalam suatu proses analisis. Sistem referensi suatu peta dapat dibedakan atas beberapa karakteristik yaitu:
Georeferencing, Koreksi geometrik dan Rektifikasi (Purwanto, 2017).
2.9 Kompilasi
Kompilasi adalah salah satu tahapan dalam proses penggambaran peta laut. Proses kompilasi meliputi penambahan informasi baru dari Berita Pelaut Indonesia terbaru,
pemilihan angka kedalaman (Sounding
Selection). Sebagai referensi yang digunakan
dalam proses kompilasi peta laut adalah katalog peta dan Berita Pelaut Indonesia. Pada katalog peta laut memuat area peta yang saling bertampalan. Berita Pelaut Indonesia memuat berita terbaru tentang data Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP), dan bahaya
pelayaran baru yang bertujuan untuk
memberikan informasi baru pada peta
(Yosidian, 2016).
2.10 Simbol Peta Laut
Simbol peta laut adalah suatu bentuk
penyerderhanaan penyampaian informasi
geografis pada peta laut dalam bentuk titik, garis dan area/poligon. Jenis simbol peta (Peta Laut No.1) sebagai berikut:
Gambar 5. Judul dan Catatan Kecil Peta Laut (Peta No. 1)
Keterangan:
1. Nomor urut peta secara nasional 2. Catatan publikasi/terbitan 3. Catatan hak cipta
5. Catatan koreksi BPI No.108 tahun 2005 6. Ukuran dari border dalam
7. Koordinat pojok 8. Judul peta
9. Catatan yang menjelaskan pembuatan peta
10. Logo IHO dan nasional
(PUSHIDROSAL)
11. Skala peta
12. Skala linier pada skala besar
13. Batas garis skala
14. Sumber diagram data kompliasi
15. Referensi untuk peta yang skalanya
besar
16. Referensi peta yang bertampalan
dengan skala
17. Instruksi untuk melengkapi publikasi
nautika
18. Catatan percetakan
19. Nomor peta dalam seri internasional
2.11 Publikasi S-4 IHO
Publikasi S-4 adalah peraturan yang
dipublikasikan oleh International
Hydrographic Organization (IHO) untuk
pembuatan peta laut Internasional dengan spesifikasi sebagai berikut (IHO, 2016):
1. Bagian A: Peraturan dan Spesifikasi IHO untuk peta laut Internasional.
2. Bagian B: Spesifikasi IHO untuk peta laut Internasional dan Nasional pada skala menengah dan besar (Skala lebih besar dari 1:2.000.000).
3. Bagian C: Spesifikasi IHO untuk peta laut Internasional pada skala kecil (Skala 1:2.000.000 dan lebih kecil).
2.12 Publikasi S-57 IHO
Publikasi S-57 IHO adalah transfer standar yang digunakan oleh lembaga hidrografi nasional untuk pertukaran data hidrografi digital dan berguna sebagai distribusi untuk produsen, pelaut dan pengguna data lainnya. Sebagai contoh, standar ini digunakan untuk penyediaan data ECDIS (Electronic Chart
Display and Information System). ECDIS
adalah komputer berbasis sistem informasi navigasi yang sesuai dengan peraturan dan dapat digunakan sebagai alternatif peta navigasi kertas (IHO, 2002).
2.13 Pengenalan ArcGIS
ArcGIS adalah salah satu perangkat lunak
yang dikembangkan oleh ESRI (Environment
Science & Research Institute) yang merupakan
kompilasi fungsi-fungsi dari berbagai macam perangkat lunak GIS yang berbeda seperti GIS
Dekstop, Server dan GIS berbasis web.
Perangkat lunak ini mulai dirilis oleh ESRI pada tahun 2000. Produk utama dari ArcGIS adalah ArcGIS Dekstop, dimana ArcGIS
Dekstop merupakan perangkat lunak GIS
professional yang komprehensif dan
dikelompokkan atas 3 komponen, yaitu:
ArcView (komponen yang fokus terhadap
penggunaan data yang komprehensif,
pemetaan dan analisis), ArcEditor (lebih fokus terhadap proses editing data spasial) dan
ArcInfo (lebih lengkap dalam penyajian
fungsi-fungsi GIS termasuk untuk keperluan analisis geoprosessing).
III. PELAKSANAAN
Diagram alir dari pelaksanaan Tugas Akhir ini digambarkan sebagai berikut.
Pengumpulan Data
Registrasi (PLI No. 49)
Peta Laut Indonesia No. 49 Format Data Raster (.TIF)
Cetak
Peta Laut Validasi: S-4 dan S-57 IHO
Kompilasi Peta Laut
Tidak
Ya Cetak Coba Peta Laut Indonesia No. 49
1. Peta Dasar 2. BPI 3. DSI 4. Citra Satelit Sumber: 1. S-4 IHO 2. S-57 IHO
Gambar 6. Diagram Alir Pelaksanaan
3.1 Pengumpulan Data
Data yang digunakan pada pelaksanaan pembuatan peta laut ini merupakan data sekunder.
3.1.1 Peta Dasar
Data yang digunakan sebagai peta dasar yaitu berupa Peta Laut kertas No. 49 wilayah Perairan Selat Riau skala 1:25.000 edisi cetakan kelima pada Maret 2013 yang dilakukan proses scanning dan registrasi peta
menggunakan perangkat lunak Global Mapper
17 agar menghasilkan peta laut yang memiliki
informasi seperti skala, sistem proyeksi, sistem koordinat dan datum.
Gambar 7. Peta Dasar
3.1.2 Berita Pelaut Indonesia (BPI)
Berita Pelaut Indonesia (BPI) Tahun 2017, sumber data dari Dinas Nautika Pushidrosal.
Gambar 8. BPI Tahun 2017
3.1.3 Daftar Suar Indonesia (DSI)
Daftar Suar Indonesia (DSI) Tahun 2017, sumber data dari Disraplingla Pushidrosal.
Tabel 1. DSI Tahun 2017
3.1.4 Citra Satelit
Citra Satelit yang digunakan yaitu Citra Satelit Google Tahun 2017. Citra Satelit digunakan untuk melengkapi proses digitasi objek-objek yang tidak terdapat pada peta dasar.
Gambar 9. Citra Satelit
3.2 Registrasi Peta
Proses registrasi peta dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Global Mapper
17. Berikut merupakan langkah-langkah dalam
proses registrasi Peta Laut Indonesia No. 49: 1. Buka perangkat lunak Global Mapper
17 dan kemudian Drag and Drop file.
2. Pada Select Position to Use for Layer,
akan diberikan tiga pilihan untuk
melanjutkan proses. Untuk melakukan proses registrasi, pilih pada pilihan pertama yaitu Manually Rectify Image kemudian OK.
3. Lakukan proses Ground Control Point
(GCP) pada setiap sudut dengan
memasukan koordinat yang terdapat dalam peta.
4. Pilih sistem proyeksi dan datum peta
yang digunakan.
5. Simpan gambar dalam format
(.geoTIFF) dengan cara Export Raster/
Image Format dan pilih format (.geoTIFF).
3.3 Proses Pembuatan Peta
Sebelum proses pembuatan peta laut dilaksanakan, terlebih dahulu input peta dasar yang telah teregistrasi. Setelah itu, untuk melakukan proses digitasi peta diperlukan
shapefile dan sistem koordinat yang akan
digunakan.
3.3.1 Input Peta Dasar
Sebelum melakukan pembuatan layer
shapefile (.shp), maka peta yang sudah di
registrasi harus ditampilkan terlebih dahulu pada tampilan awal perangkat lunak ArcGIS
10.4.1. Berikut ini dijelaskan langkah-langkah
untuk menampilkan peta dalam tampilan awal
ArcGIS 10.4.1:
1. Buka ArcGIS 10.4.1, lalu pilih Blank
2. Lalu akan muncul tampilan awal pada perangkat lunak ArcGIS 10.4.1.
3. Tentukan Folder Connections
Folder Connections merupakan folder
yang digunakan sebagai tempat
penyimpanan suatu project. Sebelum pekerjaan dimulai, terlebih dahulu harus menentukan tempat penyimpanan untuk semua file.
4. Input peta dasar
Untuk memasukan data yang telah disiapkan dalam proses digitasi peta yaitu dengan memilih tools “Add Data” kemudian pilih peta dasar yang disimpan pada folder yang telah terkoneksi dengan
ArcGIS.
3.3.2 Pembuatan Shapefile
Setelah seluruh objek teridentifikasi, maka proses digitasi peta dapat dilakukan dengan membuat shapefile terlebih dahulu. Proses pembuatan shapefile dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Buka Arc Catalog, pilih folder yang
akan digunakan untuk tempat
penyimpanan shapefile yang akan dibuat. 2. Kemudian klik kanan pada folder tersebut lalu pilih New dan pilih shapefile. 3. Tentukan nama dan tipe fitur (Feature
Type) sesuai dengan objek yang akan di
digitasi.
Dalam proses pembuatan peta laut menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.4.1, setiap shapefile yang kita buat harus memiliki sistem proyeksi tertentu. Pada umumnya, sistem proyeksi yang digunakan untuk peta laut yaitu sistem proyeksi Mercator.
3.3.3 Layer pada Table of Contents
Dalam proses digitasi yang dilakukan,
terdapat beberapa layer yang dibuat
berdasarkan klasifikasi objek pada peta dasar yaitu meliputi:
Tabel 2. Layer Berdasarkan Objek Titik
Layer Acronym
Sounding SOUNDG
Topmark TOPMAR
Lights LIGHTS
Buoy Lateral BOYLAT
Buoy Special
Purpose BOYSPP
Buoy Safe Water BOYSAW
Buoy Isolated
Danger BOYISD
Beacon Lateral BCNLAT
Beacon Special
Purpose BCNSPP
Tabel 3. Layer Berdasarkan Objek Garis
Layer Acronym
Depth Contour DEPCNT
Cable Submarine CBLSUB
Coast Line COALNE
Navigation Line NAVLNE
Two-way Route
Part TWRTPT
Road ROADWY
Tabel 4. Layer Berdasarkan Objek Area
Layer Acronym
Anchorage Area ACHARE
Building Single BUISGL
Runway RUNWAY
Land Area LNDARE
Depth Area DEPARE
3.4 Kartografi Peta Laut
Setelah semua proses diatas selesai dilakukan, langkah awal untuk digitasi peta adalah dengan memasukan file shapefile yang sudah terbuat kedalam Arcgis 10.4.1 dengan
cara “Add Data” lalu pilih file shapefile
yang digunakan untuk proses digitasi peta.
3.4.1 Kompilasi Peta Berdasarkan Objek
Proses kompilasi peta laut dilakukan sesuai dengan klasifikasi objek yang terdapat pada peta dasar yaitu objek titik (point), garis
(line) dan area (polygon). 3.4.1.1 Titik (Point)
Proses digitasi pada layer nilai kedalaman
(sounding) dilakukan secara satu persatu dan
penempatan posisi titik digitasi sesuai dengan posisi titik nilai kedalaman yang terdapat pada peta dasar. Gambar 10. Nilai Kedalaman Pada Peta Dasar Gambar 11. Nilai Kedalaman Hasil Digitasi
Objek titik selanjutnya yaitu SBNP yang berupa MPMT (Merah Putih Melintang Tegak). MPMT termasuk kedalam buoy yang memberikan tanda awal untuk memasuki area pelabuhan. Buoy MPMT yang terdapat pada sumber peta terdiri dari komponen Buoy
Pillar, Light dan Topmark Safe Water Marks.
Ketiga komponen tersebut digabung menjadi satu pada lokasi yang sama.
3.4.1.2 Garis (Line)
Objek garis yang terdapat pada peta dasar salah satunya yaitu garis pantai. Garis pantai merupakan batas pertemuan antara bagian lautan dengan daratan yang terjadi pada saat air laut pasang tertinggi. Proses digitasi yang
dilakukan pada objek garis pantai
digambarkan sesuai dengan bentuk garis pantai sebenarnya.
Objek garis selanjutnya yaitu kontur kedalaman (depth contour). Kontur kedalaman
merupakan garis yang memiliki nilai
kedalaman laut yang sama. Kontur kedalaman pada peta laut terdiri dari kontur 2m, 5m, 10m, 20m dan 30m.
3.4.1.3 Area (Polygon)
Objek area yang terdapat pada peta dasar yaitu area lepas jangkar (Anchorage Area).
Anchorage Area merupakan area yang
digunakan untuk berlabuh kapal (lepas
jangkar). Pada peta laut, umumnya objek tersebut ditandai dengan garis putus-putus berwarna merah muda yang membentuk suatu area dan terdapat logo jangkar diantara garis tersebut.
Objek area selanjutnya yaitu area
kedalaman (depth area). Area kedalaman merupakan area perairan yang kedalamannya berada dalam kisaran nilai yang telah ditentukan. Pada peta laut, area kedalaman dibedakan kedalam 4 warna sesuai nilai kedalaman. Untuk kedalaman -2m sampai dengan 0 ditandai dengan warna hijau, kedalaman 0 sampai dengan 10m ditandai dengan warna biru, kedalaman 10m sampai dengan 20m ditandai dengan warna biru muda dan untuk 20m sampai seterusnya ditandai dengan warna putih.
3.4.2 Kodefikasi Objek
Penggunaan simbol maupun atribut yang terkandung didalam layer shapefile harus sesuai dengan standar IHO. Dalam proses kodefikasi ini terbagi kedalam 3 objek sesuai dengan objek yang terdapat pada peta laut.
3.4.2.1 Titik (Point)
Proses kodefikasi layer nilai kedalaman (sounding) dilakukan dengan menghilangkan simbol yang terdapat pada layer, hanya label atribut dari nilai kedalaman yang ditampilkan pada peta.
Gambar 22. Contoh Atribut Nilai Kedalaman
Gambar 12. SBNP Pada Peta Dasar Gambar 13. SBNP Hasil Digitasi Gambar 14. Garis Pantai Pada Peta
Dasar Gambar 15. Garis Pantai Hasil Digitasi Gambar 16. Kontur Kedalaman Pada Peta Dasar Gambar 17. Kontur Kedalaman Hasil Digitasi Gambar 18. Area Lepas Jangkar Pada
Peta Dasar
Gambar 19. Area Lepas Jangkar Hasil
Digitasi Gambar 20. Area Kedalaman Pada Peta Dasar Gambar 21. Area Kedalaman Hasil Digitasi
Proses kodefikasi layer SBNP dilakukan dengan menggabungkan tiga komponen dalam 1 posisi. Tiga komponen sarana bantu navigasi pelayaran (SBNP) yaitu Buoy/Beacon, Lights dan Topmark.
Gambar 23. Tiga Komponen SBNP
3.4.2.2 Garis (Line)
Objek garis berupa garis pantai, kontur kedalaman laut, rute pelayaran, kabel dasar laut dan jalan. Simbol yang digunakan untuk digitasi objek garis yaitu simbol yang sesuai dengan standar IHO.
Tabel 5. Simbolisasi Objek Garis
Objek Simbol (INT1)
Garis Pantai
Kontur Kedalaman
Rute Pelayaran
Kabel Dasar Laut
Jalan
3.4.2.3 Area (Polygon)
Objek area berupa bandara, area jangkar, lahan dan area kedalaman laut. Simbol yang digunakan untuk digitasi objek area yaitu simbol yang sesuai dengan standar IHO.
Tabel 6. Simbolisasi Objek Area
Objek Simbol (INT1)
Bandara Area Jangkar Lahan Area Kedalaman (Simbolisasi untuk layer area kedalaman terbagi kedalam beberapa kategori sesuai dengan nilai kontur kedalaman)
3.5 Grid Peta
Pembuatan grid pada peta laut ini menggunakan template yang sudah tersedia oleh ArcGIS dalam format XML File.
Template tersebut sudah sesuai dengan standar
INT2 IHO yang harus digunakan pada peta laut.
Lokasi direktori template tersebut berada
pada <instalasi ArcGIS 10.4.1> \
MaritimeCharting \ Dekstop10.4 \ Charting \ Cartography \ GridDefinitions.
Tabel 7. Template Berdasarkan Skala Peta
Berdasarkan skala peta yang digunakan dalam pembuatan peta laut ini yaitu peta dengan skala 1:25.000, maka template yang digunakan untuk membuat layout grid yaitu INT2_E.xml sehingga dihasilkan layout grid sebagai berikut:
Gambar 24. Grid Peta
IV. PEMBAHASAN 4.1 Pengumpulan Data
Peta laut Indonesia No. 49 wilayah Perairan Selat Riau skala 1:25.000 edisi cetakan kelima pada Maret 2013 digunakan
sebagai peta dasar dalam proses pembuatan peta laut ini. Selain Peta Laut Indonesia No. 49, data sekunder lainnya yang berupa Berita Pelaut Indonesia (BPI) Tahun 2017, Daftar Suar Indonesia (DSI) Tahun 2017 dan Citra Satelit tahun 2017 digunakan sebagai sarana informasi tambahan yang terbaru dalam peta laut apabila terdapat perubahan pada wilayah perairan tersebut.
4.2 Registrasi Peta
Registrasi peta yang dilakukan meliputi proses penyamaan skala peta, sistem proyeksi peta, sistem koordinat peta dan datum peta antara peta dasar dengan peta yang akan dibuat. Berikut merupakan hasil dari proses registrasi peta dasar menggunakan perangkat lunak Global Mapper 17:
1. Nama : Peta Laut Indonesia No. 49
2. Skala : 1 : 25.000 3. Meridian Tengah: 106° 48’ 27.79” BT 4. Proyeksi : Mercator 5. Datum : WGS 1984 6. RMS Eror : 0.0010190299 x 250 = 0.25 m 7. Koordinat Batas a. 01º 01’ 58” LU s/d 104º 02’ 43” BT b. 01º 01’ 58” LU s/d 104º 17’ 06” BT c. 01º 10’ 28” LU s/d 104º 17’ 06” BT d. 01º 10’ 28” LU s/d 104º 02’ 43” BT
4.3 Kartografi Peta Laut
Proses kartografi dilakukan berdasarkan klasifikasi objek yang terdapat pada peta dasar yaitu objek titik (point), garis (line) dan area
(polygon).
4.3.1 Titik (Point)
Proses digitasi objek titik meliputi nilai kedalaman (sounding) dan sarana bantu navigasi pelayaran (SBNP).
4.3.1.1 Nilai Kedalaman (Sounding)
Hasil digitasi yang dilakukan terhadap nilai kedalaman pada peta dasar, terdapat 2.484 titik dengan nilai kedalaman berkisar antara 0 sampai dengan 50 meter.
Gambar 25. Nilai Kedalaman (Sounding) Proses pengisian atribut layer harus sesuai dengan ketentuan S-57 IHO. Untuk layer nilai kedalaman, type layer yang ditentukan berupa
Spot Sounding dengan nama layer SOUNDG.
Proses kodefikasi untuk nilai kedalaman
harus sesuai dengan ketentuan atau
standarisasi yang dipublikasikan oleh IHO yaitu penulisan nilai kedalaman harus dibuat miring dan apabila titik kedalaman bukan bilangan bulat maka angka dibelakang koma ditulis lebih kecil dan lebih rendah dari angka didepan koma. Sebagai contoh penulisan nilai kedalaman yaitu: kedalaman 3.4 m ditulis menjadi 34.
Untuk membuat format penulisan seperti pada contoh diatas, maka diperlukan suatu manipulasi format penulisan nilai kedalaman
dengan menambahkan perintah berupa
subscript sebagai berikut:
Function FindLabel ( [Depth] ) myArray = Split ( [Depth], "." ) strLabel = myArray (0)
For i = 1 To UBound (myArray) strLabel = strLabel & "<SUB> " & myArray (i) & "</SUB>"
Next
FindLabel = strLabel End Function
4.3.1.2 SBNP
Titik SBNP yang terdapat pada peta dasar berjumlah 38 titik yang terbagi menjadi 6 kategori yaitu 13 titik Buoy Lateral, 2 titik
Buoy Special Purpose, 1 titik Buoy Safe Water, 1 titik Buoy Isolated Danger, 9 titik Beacon Lateral, 12 titik Beacon Special Purpose.
Gambar 26. SBNP
Type layer untuk SBNP terdiri dari dua
tipe yaitu Buoy dan Beacon. Untuk nama layer dari masing-masing titik adalah sebagai berikut:
1. Buoy Lateral (BOYLAT)
2. Buoy Special Purpose (BOYSPP) 3. Buoy Safe Water (BOYSAW) 4. Buoy Isolated Danger (BOYISD) 5. Beacon Lateral (BCNLAT)
6. Beacon Special Purpose (BCNSPP) Kodefikasi layer Sarana Bantu Navigasi
Pelayaran (SBNP) dilakukan dengan
menggabungkan Buoy/Beacon, Lights dan
Topmark. Ketiga komponen tersebut digabung
dan disesuaikan posisinya hingga sesuai dengan standar IHO. Berikut merupakan hasil kodefikasi label layer Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP).
Gambar 27. Hasil Kodefikasi SBNP
4.3.2 Garis (Line)
Proses digitasi objek garis diantaranya yaitu garis pantai (coast line) dan kontur kedalaman (depth contour).
4.3.2.1 Garis Pantai (Coast Line)
Pada wilayah Perairan Selat Riau, terdapat 2 bentuk garis pantai yaitu Flat coast (garis pantai datar) yang digambarkan dengan garis solid berwarna hitam dan Steep coast (garis pantai yang berupa tebing curam) yang
digambarkan dengan garis putus-putus
berbentuk lancip seperti segitiga berwarna hitam.
Gambar 28. Garis Pantai (Coast Line)
Type layer dari kedua bentuk garis pantai
tersebut yaitu Flat Coast dan Steep Coast dengan nama layer dari keduanya adalah COALNE.
Gambar 29. Flat Coast dan Steep Coast
4.3.2.2 Kontur Kedalaman (Depth Contour)
Kontur kedalaman laut terbagi kedalam kontur 2m, 5m, 10m, 20m dan 30m. Proses digitasi layer kontur kedalaman dilakukan
sesuai dengan menghubungkan titik
kedalaman yang memiliki nilai kedalaman yang sama.
Gambar 30. Kontur Kedalaman (Depth
Contour)
Type layer yang digunakan pada layer ini
adalah Depth Contour dengan nama layer DEPCNT.
4.3.3 Area (Polygon)
Proses digitasi objek area diantaranya yaitu area lepas jangkar (anchorage area) dan area kedalaman (depth area).
4.3.3.1 Area Lepas Jangkar (Anchorage Area)
Area lepas jangkar digambarkan dengan garis putus-putus berwarna merah muda dan terdapat logo jangkar diantara garis tersebut
Keterangan:
1. Garis pantai Flat Coast 2. Garis Pantai Steep Coast
yang menunjukan bahwa area tersebut merupakan area yang diperuntukan sebagai tempat berlabuh kapal.
Gambar 31. Area Lepas Jangkar (Anchorage
Area)
Type layer yang digunakan pada layer ini
adalah Anchorage Area dengan nama layer ACHARE.
4.3.3.2 Area Kedalaman (Depth Area)
Area kedalaman terbentuk dari nilai kontur kedalaman dan dibedakan oleh warna yang menunjukan tingkat kedalaman area tersebut.
Gambar 32. Area Kedalaman (Depth Area)
Type layer yang digunakan pada layer ini
adalah Depth Area dengan nama layer DEPARE.
4.4 Layout Peta
Pembuatan Peta Laut Indonesia No. 49 dengan menggunakan metode digitasi yang dalam proses pembuatannya menghasilkan atribut seperti:
1. Framework Peta
Framework peta merupakan penyajian
tampilan peta yang didalamnya terdapat: a. Judul peta dengan teks berwarna
hitam.
INDONESIA PULAU-PULAU RIAU
ALUR PELAYARAN KABIL DAN TANJUNGUBAN
b. Nomor urut peta secara Nasional “49”, terletak pada bagian sudut kiri atas dan sudut kanan bawah peta dengan teks berwarna hitam.
c. Catatan yang menjelaskan tentang pembuatan peta:
- Kedalaman disebut dengan meter
- Sistem proyeksi Mercator
d. Ukuran dari border dalam, “1067.66 X
626.53 mm” dicetak miring dengan
teks berwarna hitam.
e. Koordinat pojok peta, 1°01’58” LU - 104°02’43” BT yang terletak pada pojok kiri bawah dan 1°10’28” LU - 104°17’06” BT yang terletak pada
pojok kanan atas dengan teks
berwarna hitam.
f. Skala peta, “Skala 1 : 25.000” terletak pada bagian bawah judul peta dengan teks berwarna hitam.
2. Topografi a. Garis pantai
Garis pantai digeneralisasi sesuai skala peta dan digambarkan sesuai dengan bentuk lahannya.
b. Pelabuhan dan dermaga
Pelabuhan dan dermaga digeneralisasi sesuai skala peta dan penggambaran
pelabuhan dan dermaga disertai
dengan penggambaran bangunan
disekitar pelabuhan.
c. Bangunan di darat (Landmarks) Bangunan di darat yang digambarkan berupa pabrik dan rumah sakit.
d. Topografi lainnya
Topografi lainnya seperti jalan,
bandara dan kabel dasar laut. 3. Hidrografi dan Bantuan Navigasi
a. Kedalaman
Angka kedalaman dicetak miring merupakan angka kedalaman yang diperoleh dari hasil survey hidrografi. b. Kontur kedalaman
Kontur kedalaman yang
digambarkan berasal dari titik
kedalaman seperti kontur kedalaman 5m, 10m, 20m, 30m dan 50m.
penggambaran garis kontur
digeneralisasi sesuai skala peta yang akan dibuat.
Bantuan navigasi seperti jalur pelayaran dan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) lainnya.
d. Teks
Teks pada pembuatan Peta Laut Indonesia No. 49 dicetak tegak untuk nama tempat, kota, tanjung dan keterangan lainnya, sedangkan teks yang dicetak miring hanya untuk angka kedalaman.
Gambar 33. Layout Peta
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pelaksanaan Tugas Akhir ini, maka diperoleh beberapa kesimpulan antara lain:
1. Tahapan pembuatan peta laut
diantaranya yaitu proses kompilasi data dan informasi terbaru guna pemutakhiran peta laut merupakan proses yang harus dilaksanakan.
2. Untuk proses simbolisasi pada setiap layer, perlu adanya penyesuaian dengan
simbol-simbol yang terdapat pada
ketentuan S-4 IHO. Khusus untuk layer nilai kedalaman, tidak ada simbol yang ditampilkan. Hanya angka dari nilai kedalaman yang ditampilkan pada peta laut dan diperlukan subscript untuk
membuat tampilan penulisan nilai
kedalaman menjadi sesuai dengan
ketentuan IHO. Sedangkan basis data dari setiap layer tersebut disesuaikan dengan ketentuan S-57 IHO.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan selama pelaksanaan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut:
1. Dalam proses pembuatan peta laut, data pendukung yang terbaru seperti Nilai
kedalaman laut, Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP), Berita Pelaut Indonesia (BPI), Daftar Suar Indonesia (DSI) serta Citra Satelit sangat dibutuhkan sebagai
informasi terbaru guna keselamatan
pelayaran pada wilayah tersebut.
2. Indonesia yang merupakan negara maritim dengan luas lautan yang lebih besar daripada daratan, maka kebutuhan akan informasi laut yang selalu update sangat begitu berguna untuk aktivitas pelayaran serta pengembangan lautan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Anggaramurti. 2009. Aspek Kartografis Peta
Batas Laut Teritorial Indonesia. Program
Studi Teknik Geodesi dan Geomatika
Fakultas Ilmu Bumi dan Teknologi
Kebumian, Institut Teknologi Bandung, Indonesia.
Djunarsjah. 2004. Aspek Teknik Hukum Laut. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Haas. 1986. Cartography II Course. Training
And Standards Division Canadian
Hydrographic Service.
IHO, 2002. IHO Transfer Standard for Digital
Hydrographic Data. IHO Publication S-57, International Hydrographic Bureau, Monaco.
IHO, 2006. A Manual on Technical Aspects of
The United Nations Convention on The Law of The Sea. IHO Publication C-51, International Hydrographic Bureau, Monaco.
IHO, 2016. Regulations of The IHO for
International (INT) Charts and Chart Specifications of The IHO. IHO Publication
S-4, International Hydrographic Bureau, Monaco.
Karima. 2016. Pembuatan Peta Laut Navigasi
Elektronik Untuk Alur Masuk Pelabuhan Tanjungbara (Sangata). Program Studi
Teknik Geodesi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Mutiara. 2004. Pendidikan Dan Pelatihan
(Diklat) Teknis Pengukuran Dan Pemetaan Kota. Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.
Prihandito. 1989. Kartografi. PT Mitra Gama Widya, Yogyakarta.
Prihandito. 2010. Proyeksi Peta. PT Kanisius. Yogyakarta.
Poerbandono, 1998. Hidrografi 1. Catatan Pengajar.
Poerbandono dan Djunarsjah. 2005. Survei
Hidrografi. PT. Refika Aditama, Bandung
Prahasta. 2009. Sistem Informasi Geografis:
Konsep-Konsep Dasar (Perspektif Geodesi & Geomatika). Informatika Bandung.
Purwanto. 2017. Registrasi Peta. Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang.
Purworahardjo. 2000. Hitung Dan Proyeksi
Geodesi. Bandung: Jurusan Teknik Geodesi
FTSP-ITB.
Riqqi. 2006. Bahan Kuliah Kartografi. Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika Fakultas Ilmu Bumi dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, Indonesia.
Situmorang. 2012. Skala Prioritas Untuk
Pemutakhiran Peta Laut Secara Periodik.
Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika Fakultas Ilmu Bumi dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, Indonesia.
TNI AL. 2005. Peta No. 1. Dinas Hidro-Oseanografi, Jakarta.
Wikipedia Indonesia, 2017. Daftar Pulau di
Indonesia.
https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pulau_ di_Indonesia (diakses pada 11 Oktober 2017)
Wongsotjitro. 1982. Ilmu Proyeksi Peta. Yayasan Kanisius Yogyakarta.
Yosidian. 2016. Pembuatan Peta Laut Kertas
Menggunakan Perangkat Lunak Caris GIS 4.5. Direktorat Pembinaan Diploma, Program Studi Diploma III Teknik Hidro-Oseanografi, Jakarta.
RIWAYAT PENULIS
1. Muhamad Haidar Abdillah, S.T, Alumni Tahun 2018 Program Studi Teknik Geodesi – Fakultas Teknik – Universitas Pakuan Bogor.
2. DR. Ir. Rochman Djaja, AH, M.Surv.Sc,
Ketua Program Studi Teknik Geodesi – Fakultas Teknik – Universitas Pakuan Bogor.
3. Mayor. Ahmad Lufti Ibrahim, S.T, M.Sc, Staf Dosen Pengajar Program Studi
Teknik Geodesi – Fakultas Teknik – Universitas Pakuan Bogor.