• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KASUS Atrial Fibrillation

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KASUS Atrial Fibrillation"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KASUS

Atrial Fibrillation

Pembimbing: dr. Lendy Delyanto Disusun oleh: dr. Shelarosa Arumdita

RSUD KOTA CILEGON MARET 2015 LAPORAN KASUS

(2)

Nama Wahana : RSUD Cilegon

Topik : Atrial Fibrilasi (Cardiac Arrythmia) Tanggal Kasus : 18/2/2015

Nama Pasien : Ny. A No. Rekam Medis :

Tanggal Presentasi : Maret 2015

Nama Pendamping : dr. Lendy Delyanto Narasumber :

dr. Ibnu Adam Sp.JP Tempat Presentasi : RSUD Cilegon

Obyektif Presentasi :

☐Keilmuan ☐Keterampilan ☐Penyegaran ☐Tinjauan

pustaka

☐Diagnostik ☐Manajemen ☐Masalah ☐Istimewa

☐Neonatu s ☐Bayi ☐Anak ☐Rema ja ☐Dewas a ☐Lansia ☐Bumil

Deskripsi : membahas kasus Atrial Fibrillation Tujuan : mengetahui kasus Atrial Fibrillation Bahan

bahasan :

☐Tinjauan

pustaka ☐Riset ☐Kasus ☐Audit

Cara Membaha s :

☐Diskusi ☐Presentasi ☐E-mail ☐Pos

DATA PASIEN

Nama : Ny. A Umur: 58 tahun No. RM:

Nama Klinik : RSUD Cilegon Telp: Terdaftar Sejak :

BAB I

ILUSTRASI KASUS Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio:

1. Subyektif: A.

(3)

Pasien datang dengan keluhan sesak yang selalu dirasakan ketika pasien sedang beraktivitas, ketika pasien jalan pergi ke pasar. Sesak disangkal saat melakukan pekerjaan rumah ringan (menyapu, memasak). Sesak dimalam hari dan tidur dengan bantal yang tinggi disangkal. Keluhan sesak sudah dirasakan sekitar kurun waktu satu tahun belakangan, sebelumnya pasien hanya berobat kontrol ke poli penyakit dalam dan di diagnosa sebagai CHF. Selain itu, pasien juga merasakan mudah kelelahan bila melakukan aktivitas rumah.

Keluhan nyeri dada disangkal. Keluhan berdebar-debar disangkal. Riwayat bengkak pada kedua tungkai disangkal.

Riwayat kelemahan anggota gerak badan disangkal. C.

Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat merokok disangkal. Riwayat hipertensi disangkal.

Riwayat DM dan hiperlipidemia disangkal. D.

Riwayat Penyakit Keluarga Keluhan serupa disangkal.

Kelainan jantung pada keluarga disangkal.

2. Objektif: Status generalis

Kesadaran : compos mentis Keadaan umum : tampak sakit sedang Keadaan gizi : baik

Tekanan Darah : 110/50 mmHg

Frekuensi nadi : 102 x/ menit, irreguler, isi cukup.

Frekuensi nafas : 16 x/menit, torakoabdominal, kedalaman cukup Suhu : 36,5 oC

(4)

Kepala : CA SI

-/-Leher : JVP 5+3, KGB tidak teraba, tiroid tidak teraba. Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat.

Palpasi : iktus kordis teraba pada sela iga 5, linea midklavicula. Perkusi : batas jantung kanan di sela iga 5, 2 jari lateral linea

sternalis dekstra,

batas jantung kiri di sela iga 5, 3 jari lateral linea midklavikula sinistra,

pinggang jantung di sela iga 3 linea parasternal kiri. Kesan cardiomegaly (-)

Auskultasi : BJ I-II irreguler, terdengar murmur gr 3/6, diastolik, lokasi apeks (ln.midclavicula sin – SIC V).

Paru Inspeksi : hemitoraks simetris statis dinamis.

Palpasi : ekspansi dada simetris, fremitus kanan = kiri. Perkusi : sonor/sonor.

Auskultasi : vesikuler +/+, RBB -/-, wheezing –/–. Abdomen Inspeksi : datar

Palpasi : supel, NT (-)

Perkusi : timpani, shifting dullness (-) Auskultasi : bising usus (+) normal Ekstremitas : akral hangat, edema –/–, CRT < 2” PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hematologi

Masa Perdarahan 2 menit 1-6 menit

Masa Pembekuan 11 menit 5-15 menit

(5)

EKG

Irama AF dengan ventricular response 60-110x/m. Axis : normal

Gelombang P : variable Tidak ada Q patologis Gelombang QRS normal Gelombang U (-)

(6)

3. Assesment:

Pasien datang dengan keluhan utama sesak saat aktivitas (dyspneu on effort) yang dirasakan dalam setahun belakangan. Dari keluhan utama tersebut kita dapat berpikir kemungkinan diagnosis mengarah kepada kelainan pada jantung mulai dari yang paling sering ditemukan yaitu gagal jantung kongestif (CHF) dan penyakit jantung koroner (CAD). Sesak pada onset yang lama dan kronis tidak menggambarkan CAD yang umumnya onset akut dan disertai nyeri dada khas angina, sedangkan pada pasien ini tidak demikian. Namun tidak menutup kemungkinan terdapat riwayat dari CAD (sebelum melihat kepada hasil EKG). Pada pasien ini masih dimungkinkan diagnosa CHF mengingat adanya dyspneu on effort, namun disangkal adanya gejala pendukung seperti paroxysmal nocturnal dyspneu (PND), orthostatic dyspneu (OD). Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan vena jugular, tidak adanya kesan cardiomegaly, tidak adanya tanda dari edema pulmo (ronkhi basah basal paru) yang mungkin berasal dari CHF.

Namun pada pemeriksaan pasien ditemukan irama nadi yang irregular yang menandakan kemungkinan adanya aritmia jantung (dikonfirmasikan melalui EKG). Pada auskultasi jantung terdengar adanya bising jantung pada area apex jantung, yaitu area mitral. Bising jantung terdengar pada fase diastolik pada area apex dengan kualitas low pitched sound. Bising jantung fase diastolik pada area mitral bisa jadi menunjukkan adanya mitral valve stenosis. Adanya aritmia dan kelainan katup jantung bisa jadi merupakan penyebab gejala pada pasien tersebut, karena aritmia dan kelainan katup juga dapat menurunkan fungsi sistolik/diastolik jantung. Jadi pada pasien ini kelainan jantung tidak murni hanya CHF.

Dari EKG dikonfirmasikan adanya aritmia dengan assessment EKG meliputi adanya irama atrial fibrilasi dengan respon ventrikel 60-110x/m. Pada EKG tidak terlihat gelombang P normal dan jarak RR interval yang irregular, mengarahkan pada AF. Setelah melihat adanya kemungkinan gangguan katup dan aritmia pada pasien, dilakukan anamnesis tambahan untuk risiko terjadinya stroke akibat thromboemboli meliputi adanya riwayat kelemahan anggota gerak. Selain itu

(7)

Pada makalah ini tidak ditampilkan hasil laboratorium penunjang lengkap, melainkan hanya profil koagulasi saja. Hal ini disebabkan pemeriksaan dan pengumpulan data dilakukan pada kunjungan kesekian pasien ke poli jantung dan data laboratorium belum dapat dilacak dari poli penyakit dalam sebelumnya. Sangat disayangkan karena perlu penilaian darah rutin dan kimia darah meliputi nilai ureum-kreatinin, nilai elektrolit (terutama kalium), gula darah sewaktu, profil lipid dan sebagainya.

Pasien ini didiagnosa kerja sebagai Rheumatic Heart Disease Mitral Stenosis (RHD MS) dengan AF normo. 4. Plan: Terapi : ▪ Furosemide 1 x 10mg ▪ Spironolacton 1 x 25mg ▪ Digoxin 1 x ½ tab (0.125mg)

▪ Warfarin 1 x 2mg, cek INR 1 minggu lagi Rencana pemeriksaan penunjang :

▪ Darah rutin, GDS

▪ Faal ginjal (ureum-creatinin) ▪ Elektrolit darah

▪ Profil lipid ▪ Ro. Thorax ▪ Echocardiografi

(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cardiac Arrythmia

Fungsi jantung normal tergantung kepada aliran impuls listrik melalui jantung yang berjalan secara terkoordinasi. Irama jantung yang abnormal dikatakan sebagai aritmia (juga dapat dikatakan disritmia). Presentasi klinis dari aritmia beragam mencakup palpitasi ringan sampai dengan gejala berat dari low

cardiac output dan kematian. Oleh karena itu, pemahaman terhadap aritmia

jantung sangat penting bagi praktisi klinis sehari-hari.

Dikatakan irama jantung normal adalah bila heart rate 60-100x/m, impuls listrik berasal dari SA nodal dan impuls berjalan dalam jalur konduksi normal dengan kecepatan yang normal. Irama jantung yang lambat abnormal dikatakan sebagai bradikardia atau bradiaritmia. Sementara irama cepat dikatakan takikardia atau takiaritmia. Takikardia dikatakan sebagai supraventricular takikardia bila mencakup atrium dan AV nodal.

Gangguan irama jantung dapat dihasilkan dari perubahan pembentukan impuls, konduksi impuls, ataupun keduanya.

Gambar 1.1 Aritmia akibat perubahan dari pembentukan dan/atau konduksi impuls.

(9)

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Perubahan pembentukan impuls dapat terjadi akibat peningkatan automatisasi dan triggered activity.

Automatisasi adalah kemampuan sel untuk mendepolarisasikan sel itu sendiri hingga threshold voltage dalam sifat yang ritmis dan berulang, sehingga potensial aksi spontan terbentuk. Walaupun sel atrium dan ventrikel tidak memiliki kemampuan tersebut dalam kondisi normal, beberapa sel dalam sistem konduksi khusus memiliki automatisasi alami dan sehingga dinamakan sebagai

pacemaker cells. Sistem konduksi tersebut meliputi sinoatrial (SA) nodal,

atrioventricular (AV) nodal, dan sistem konduksi ventrikel yang terdiri dari

bundle of His, bundle branches, dan serabut Purkinje. Pada keadaan patologis,

sel jantung diluar sistem konduksi menjadi dapat memiliki kemampuan automatisasi tersebut. Berikut adalah kurva yang menunjukkan terjadinya potensial aksi pada sel pacemaker.

(10)

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Peningkatan automatisasi pada SA nodal salah satunya dapat diakibatkan oleh rangsangan epinefrin melalui reseptor beta adrenergik. Rangsangan tersebut mengakibatkan ion Ca lebih banyak yang masuk ke dalam sel sehingga threshold menjadi lebih cepat tercapai. Hal ini juga menyebabkan SA nodal mencetuskan impuls lebih frequent dari normal. Sementara, penurunan automatisasi dapat diakibatkan oleh rangsang kolinergik yang ditunjukan pada gambar berikut. Gambar 1.3 Efek stimulasi beta adrenergik dan cholinergic pada pergerakan ion kalsium dalam sel myocard.

(11)

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Perubahan pembentukan impuls lainnya adalah triggered activity. Pada kondisi tertentu, potensial aksi dapat mencetuskan depolarisasi abnormal yang menyebabkan extra heart beat atau rapid aritmia. Proses tersebut dapat terjadi ketika potensial aksi pertama menuju ketidakseimbangan ion pada membran sel, yang dikenal sebagai aafterdepolarizations. Ada dua tipe afterdepolarization, yaitu early afterdepolarization (EAD) yang muncul pada fase repolarisasi, dan

delayed afterdepolarization (DAD) yang muncul seketika setelah peristiwa

repolarisasi berakhir. Salah satu yang dapat mencetuskan afterdepolarization adalah pada kasus iskemia jantung. Iskemia yang terjadi pada sel ventrikel dapat menyebabkan membran sel tercederai sehingga menyebabkan penumpukan sel

(12)

kation kalsium intraselular dan menyebabkan membran sel tidak dapat mengalami resting state.

Gambar 1.4 Early afterdepolarization dan Delayed afterdepolarization.

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Selain dari perubahan pembentukan impuls, adalah perubahan konduksi impuls yang meliputi peristiwa reentry. Pada irama reentry, impuls listrik bersirkulasi berulang-ulang kali pada jalur reentry, dan kembali mendepolarisasi area jantung tersebut.

(13)

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Gambar 1.5 di atas menjelaskan bahwa bila konduksi yang melalui jalur retrograde adalah lambat, maka impuls mencapai point x setelah jalur α recovered. Pada kondisi tersebut, impuls dapat mengeksitasi kembali jalur α dan lingkaran reentry terbentuk. Pada kondisi normal, impuls yang melewati lintasan multipe α dan β akan saling menetralkan. Bila terdapat unidirectional block, impuls tidak akan melewati lintasan β dari arah anterograde tapi bisa melewati lintasan α dari arah retrograde dengan kecepatan yang lebih rendah, akibatnya lintasan α telah menyelesaikan repolarisasinya sehingga impuls dari lintasan β dapat melalui lintasan α. Terjadilah sirkuit reentry.

Selain reentry, perubahan konduksi impuls dapat berupa conduction block. Conduction block pada sistem konduksi meliputi AV nodal atau sistem His-Purkinje menyebabkan hantaran impuls normal dari SA nodal ke daerah distal tidak normal.

Pada makalah ini hanya dibahas mengenai Atrial Fibrillasi yang merupakan salah satu gangguan irama jantung cepat yang disebabkan oleh peningkatan automatisitas dan/atau peristiwa reentry. Gangguan irama jantung lainnya tidak dibahas dalam makalah ini.

2.2 Pembahasan Atrial Fibrillasi

Atrial fibrillasi (AF) adalah gangguan irama jantung yang paling sering ditemukan, dan prevalensinya meningkat seiring usia populasi.Walaupun sering terkait dengan penyakit jantung lainnya, AF terkadang muncul pada pasien tanpa keluhan jantung tertentu. Gangguan hemodinamik dan kejadian tromboemboli menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.

(14)

Tabel 1.1 Definisi pada tiap klasifikasi Atrial Fibrilasi (AF).

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial Fibrillation: Executive Summary

AF adalah supraventrikular aritmia yang ditandai dengan tidak terkontrolnya aktivasi atrium diikuti dengan menurunnya aktivitas mekanik atrial. Pada EKG dapat terlihat gelombang P normal menghilang dan digantikan oleh gelombang fibrilasi yang bervariasi ukuran, bentuk, dan waktu munculnya serta berhubungan dengan respon ventrikel ireguler apabila konduksi AV intak. Peningkatan frekuensi denyut jantung pada AF sebesar 350-650 x/menit, sehingga menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa darah jantung.

(15)

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Atrial fibrilasi diklasifikasikan menurut kejadian episodenya. Ketika pasien mengalami dua episode atau lebih, AF dikatakan rekuren. Ketika sudah diterminasi, AF rekuren dikatakan paroksismal, dan apabila AF terus berlangsung maka dikatakan persisten. Bila terapi farmakologis dan cardioversi tidak dapat merubah irama AF, maka dikatakan AF persistent, dan umumnya menuju kepada AF permanen. Definisi pada tiap klasifikasi terdapat pada Tabel 1.1. tersebut di atas.

2.3 Patofisiologi (Mekanisme) Atrial Fibrilasi

Teori yang melandasi terjadinya AF mencakup proses peningkatan automatisitas pada 1 atau beberapa foci yang terdepolarisasi cepat, dan reentry yang melibatkan 1 atau beberapa sirkuit. Foci yang tercetus secara cepat dan terlokasi pada 1 atau lebih tempat pada v.pulmonalis superior dapat menimbulkan AF pada pasien tertentu. Foci juga bisa terdapat pada atrium kanan dan jarang sekali pada vena cava superior atau sinus coronarius. Ablasi pada foci tersebut dapat menjadi tindakan kuratif pada beberapa pasien.

Proses yang abnormal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai macam hal mencakup kelainan struktural maupun elektrikal (fungsional), seperti yang digambarkan dalam bagan tersebut dibawah. Kelainan struktural dapat diakibatkan oleh proses fibrosis (atrial remodelling), iskemia, infiltrasi pada atrial myocard (pada amyloidosis, sarcoidosis, hemochromatosis), dilatasi atrium, dan hipertrofi atrium. Sementara itu kelainan fungsional salah satunya adalah akibat dari peningkatan automatisitas ataupun kondisi dimana aliran kation pada sel jantung abnormal.

(16)

Gambar 1.7 Bagan mekanisme atrial fibrillasi.

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial Fibrillation: Executive Summary

(17)

dikelilingi oleh sel transisional. Terdapat 2 jalur impuls dari atrium ke AV nodal yaitu dari posterior melalui crista terminalis dan dari anterior melalui septum interatrial. Pada suatu kasus bisa jadi terdapat jalur aksesori (mis.pada sindroma WPW), yang merupakan serabut otot yang menghubungkan atrium dan ventrikel dan mempunyai kapasitas untuk konduksi cepat. Konduksi melalui jalur aksesori selama AF berlangsung dapat menyebabkan very rapid ventricular response dan dapat berakibat fatal. Obat-obatan seperti digitalis, calcium channel antagonist, dan beta-blocker umumnya diberikan untuk memperlambat konduksi pada AV nodal selama AF, namun tidak menghentikan aliran impuls yang melalui jalur aksesori, sehingga dapat meningkatkan konduksi dan menyebabkan hipotensi ataupun cardiac arrest.

Gambar 1.8 Trigonum Koch

Pada AF, ada 3 faktor yang dapat mempengaruhi fungsi hemodinamik, yaitu : hilangnya aktivitas mekanik atrial yang sinkron, respon ventrikular yang irregular, dan nadi yang sangat cepat. Respon ventrikular yang cepat dapat

(18)

pulmo. Hilangnya aktivitas mekanik atrial yang sinkron dapat menyebabkan darah menjadi stasis di atrium, sehingga meningkatkan risiko thrombus, yang merupakan penyebab penting dari kejadian stroke. Thrombus yang terkait dengan AF seringkali berasal dari left atrial appendage (LAA). Namun karena patofisiologi dari thromboembolisme pada pasien AF belum dapat dijelaskan secara pasti, maka mekanisme yang menghubungkan faktor risiko stroke iskemik pada AF juga belum dapat secara lengkap dijabarkan.

Oleh karena itu, fokus tatalaksana pada AF adalah pada tiga aspek, yaitu: (1) ventricular rate control, (2) mengembalikan ke irama sinus, dan (3) penilaian kebutuhan antikoagulan untuk mencegah thromboembolisme.

2.4 Evaluasi Klinis dan Diagnosis

Presentasi klinis dari AF tidak selalu simptomatik, bisa jadi asimptomatik, walaupun pada satu pasien yang sama. Gejala bervariasi dari ventricular rate, status fungsional jantung, durasi AF, maupun persepsi individual pasien. Disritmia dapat terjadi pada pertama kali dengan komplikasi emboli ataupun eksaserbasi dari gagal jantung. Seringkali pasien dijumpai datang dengan keluhan palpitasi, nyeri dada, sesak napas, kelelahan/ fatigue, ataupun lightheadedness. Sinkop merupakan komplikasi yang sangat jarang namun serius yang umumnya mengindikasikan disfungsi sinus nodal, valvular aortic stenosis, HCM, cerebrovascular disease, atau adanya jalur aksesori pada AV nodal.

Evaluasi inisial untuk pasien yang suspek ataupun terbukti AF meliputi penentuan karakteristik pola aritmia (apakah paroksismal atau persisten), penentuan penyebab aritmia, dan penentuan faktor cardiac serta extracardiac. Pada pemeriksaan fisik dapat dicurigai AF bila adanya nadi irregular, pulsasi vena jugular yang irregular, dan variasi kerasnya suara bunyi suara jantung satu (S1). Untuk mendiagnosis AF diperlukan rekam jantung (EKG). Jika episode frekuen, dapat dipasang 24 jam Holter monitor. Pada kasus AF pada EKG dapat ditemukan irama AF, heart rate 350-650x/m, tidak adanya gelombang P dan

(19)

disertai dengan gambaran bundle branch block, old myocard infarct, atrial arrythmia lainnya.

Selain itu pemeriksaan penunjang dapat meliputi pemeriksaan laboratorium, foto rontgen thorax, transthoracic echocardiogram, exercise testing, dan sebagainya seperti tertera pada tabel berikut di bawah.

(20)

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial Fibrillation: Executive Summary

(21)

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial Fibrillation: Executive Summary

(22)

2.5 Terapi AF

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa fokus tatalaksana pada AF adalah pada ventricular rate control, mengembalikan ke irama sinus, dan penilaian kebutuhan antikoagulan untuk mencegah thromboembolisme.

Mengembalikan irama sinus

Alasan yang mendasari kepentingan untuk mengembalikan dan menjaga irama sinus pada pasien AF adalah untuk meredakan gejala, mencegah embolisme, dan sebagai upaya pencegahan cardiomyopathy. Cardioversi sering dilakukan untuk mengembalikan irama sinus pada pasien persistent AF. Kebutuhan akan cardioversi bisa jadi immediate, yaitu ketika aritmia tersebut merupakan faktor utama penyebab gagal jantung akut, hipotensi, atau perburukan angina pectoris pada pasien CAD. Meskipun begitu, tindakan cardioversi memiliki risiko thromboembolisme kecuali antikoagulasi profilaksis telah diberikan secara inisial sebelum prosedur, dan risiko paling tinggi terjadinya thromboembolisme adalah pada aritmia >48 jam.

Cardioversi dapat dicapai dengan pemberian obat-obatan ataupun electrical shock. Pemberian obat-obatan umumnya dilakukan sebelum electrical cardioversion menjadi prosedur standar. Perkembangan obat-obat baru telah meningkatkan popularitas pharmacological cardioversion, walaupun ada beberapa kerugiannya seperti risiko terjadinya drug-induced torsade de pointes ventricular tachycardia atau aritmia serius lainnya. Pharmacological cardioversion masih kurang efektif bila dibandingkan dengan electrical cardioversion, namun pada electrical cardioversion diperlukan sedasi atau anestesia, sementara pharmacological cardioversion tidak. Risiko thromboembolisme atau stroke pada kedua metode cardioversi tersebut tidak berbeda bermakna, sehingga rekomendasi pemberian antikoagulan adalah sama untuk keduanya.

Pharmacological cardioversion paling efektif diberikan pada 7 hari setelah onset AF. Kebanyakan pasien mengalami paroksismal AF, dan sebagian besar mengalami spontaneous cardioversion dalam 24 – 48 jam. Namun hal

(23)

efficacy. Cardioversi secara farmakologis meliputi pemberian antiaritmia kelas IA, IC, atau III (Tabel 1.3 dan 1.4).

Tabel 1.3 Klasifikasi obat antiaritmia.

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Electrical cardioversion meliputi pemberian electrical shock yang tersinkronasi dengan aktivitas intrinsik jantung, sehingga stimulasi listrik tidak terjadi pada fase vulnerable dari siklus jantung. Keberhasilan cardioversi pada AF bergantung pada penyakit jantung yang mendasari dan densitas arus listrik yang diberikan. Densitas arus listrik tersebut tergantung kepada voltase defibrillator, output waveform, ukuran dan posisi electrode paddles, dan impedansi transthorakal. Kebutuhan energi lebih rendah dan tingkat keberhasilan lebih tinggi pada posisi paddle anterior-posterior (sternum dan left scapular), dibandingkan dengan anterior-lateral (ventricular apex dan right infraclavicular).

(24)
(25)

Cardioversi dilakukan pada pasien yang dipuasakan dan dalam pemberian anesthesia short acting yang adekuat. Inisial shock 100 J seringkali terlalu rendah dan inisial energi 200 J atau lebih direkomendasikan untuk electrical cardioversion pada pasien AF. Energi yang lebih kecil juga dapat diberikan pada arus listrik dengan biphasic waveform, dibandingkan dengan monophasic waveform. Irama sinus dapat dikembalikan dengan direct-current cardioversion, namun tingkat relaps tinggi kecuali obat antiaritmia diberikan bersamaan. Risiko electrical cardioversion adalah kejadian emboli dan aritmia. Ventricular rate control

Alternatif untuk menjaga irama sinus pada pasien dengan paroksismal atau persisten AF adalah dengan mengontrol ventricular rate. Ventricular rate umumnya dianggap terkontrol bila ventricular response antara 60 hingga 80 x/m saat istirahat, dan 90 hingga 115 x/m saat exercise. Terapi dengan kronotropik negatif didasari oleh tujuan depresi konduksi melalui AV nodal. Sinus bradikardia dan heart block dapat muncul pada pasien usia tua, sebagai efek yang tidak diinginkan dari terapi farmakologis dengan beta-blocker, digitalis, ataupun CCB. Pada pasien bradikardia dengan gejala diperlukan permanent pacing. AV nodal ablasi dan implantasi permanent pacemaker sangat efektif untuk memperbaiki gejala pada apasien AF dengan gejala terkait rapid ventricular rate yang tidak dapat dikendalikan dengan obat antiaritmia ataupun agen kronotropik negatif.

(26)

Tabel 1.5 Terapi farmakologis untuk rate control pada AF

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial Fibrillation: Executive Summary

Pencegahan thromboembolisme

Faktor risiko independent terjadinya thromboembolisme pada nonvalvular AF termasuk gagal jantung, hipertensi, usia tua, dan diabetes mellitus. Pada pemeriksaan penunjang transthoracic echocardiography (TTE) kita dapat menghitung diameter atrium kiri (LA) serta menilai adanya disfungsi ventrikel kiri (LV) sebagai prediktor dari kejadian iskemia. Pemeriksaan transesophageal echocardiography (TEE) lebihs sensitif dan spesifik untuk mendeteksi thrombus pada LA dan LAA, dibandingkan dengan TTE. Adanya thrombus pada LA/LAA merupakan kontraindikasi dari tindakan elective cardioversion pada AF. Tidak terdeteksinya thrombus tidak menjamin tidak terjadinya thromboembolisme setelah cardioversi jika pasien tidak diberikan terapi antikoagulan.

Target dari pemberian antikoagulan mempertimbangkan keseimbangan dari pencegahan stroke iskemia dan menghindari komplikasi perdarahan. Sangat penting untuk memberikan antikoagulan dgn target adekuasi terendah untuk

(27)

Pasien dengan nonvalvular AF, direkomendasikan untuk dilakukan penilaian CHA2DS2-VASc score, seperti pada tabel di bawah.

Tabel 1.6 Penilaian faktor risiko terjadinya stroke pada AF

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial Fibrillation: Executive Summary

Pada pasien nonvalvular AF dengan riwayat stroke, transient ischemic attack (TIA), atau skor CHA2DS2-VASc ≥ 2, pemberian oral antikoagulan direkomendasikan, dengan pilihannya adalah warfarin (INR 2 hingga 3) (Level of Evidence : A). Pada pasien yang diberikan warfarin, INR harus dipantau setiap minggu selama inisiasi terapi antitrombotik dan minimal setiap bulan jika INR terpantau stabil. Pada pasien nonvalvular AF dengan INR tak terkontrol walaupun dengan pemberian warfarin, direkomendasikan untuk pemberian direct thrombin atau factor Xa inhibitor (dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban) dengan evaluasi fungsi ginjal sebelumnya dan dilakukan evaluasi ulang berikutnya.

(28)

Pada pasien nonvalvular AF dengan skor CHA2DS2-VASc ≥ 2, dan terdapat end-stage chronic kidney disease (CKD) (creatinine clearance <15mL/min) atau dalam pengobatan dengan hemodialisa, warfarin tetap diberikan sebagai oral antikoagulan (INR 2 hingga 3).

2.6 Agen Antiaritmia

Obat antiaritmia merupakan salah satu golongan obat yang berbahaya karena potensial efek sampingnya yang serius. Dengan demikian pemahaman menyeluruh mengenai mekanisme aksi, indikasi, dan toksisitas sangat penting.

Obat antiaritmia terbagi menjadi 4 kelompok besar berdasarkan mekanisme aksinya.

1. Class I : menghambat kanal sodium cepat yang bertanggung

jawab pada fase 0 depolarisasi. Class I dibagi menjadi 3 subtipe berdasarkan derajat kemampuan memblokade kanal sodium dan efeknya terhadap durasi potensial aksi.

2. Class II : beta-adrenergic receptor antagonist (beta-blocker)

3. Class III : menghambat kanal potassium yang bertanggungjawab

pada fase repolarisasi, sehingga memperpanjang potensial aksi dengan sedikit efek pada peningkatan fase 0 depolarisasi.

4. Class IV : menghambat L-type kanal kalsium.

Terlepas dari penggolongan antiaritmia tersebut, tujuan utama pemberiannya adalah untuk menghentikan mekanisme takiaritmia, yaitu peningkatan automatisitas, reentry, dan triggered activity.

Pada kasus aritmia akibat peningkatan automatisitas, terapi ditujukan untuk menurunkan slope dari fase 4 diastolic depolarization, dan/atau memperpanjang masa refrakter.

Obat antiaritmia yang menginhibisi irama reentrant dengan mekanisme yang berbeda. Terbentuknya reentrant adalah bila pada salah satu area jantung terdapat unidirectional block atau slow conduction. Irama reentrant dapat bertahan bila lamanya waktu yang dibutuhkan impuls untuk propogasi mengelilingi sirkuit melebihi masa refrakternya. Jika impuls yang kembali ke

(29)

tidak akan terbentuk. Oleh karena itu, strategi untuk menghentikan reentry adalah dengan memperpanjang masa refrakter myocard. Selain dari itu, untuk menghentikan reentry bisa juga dengan mengganggu propagasi impuls pada jalur lambat sirkuit reentry, yaitu dengan memblokade kanal sodium yang bertanggung jawab untuk fase 0 depolarisasi. Dengan demikian blokade tersebut menghentikan konduksi impuls pada aliran balik jalur lambat dan memutuskan aliran sirkuit reentry.

Gambar 1.9 Mekanisme agen antiaritmia dalam inhibisi reentry

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Eliminasi tipe ketiga dari takiaritmia, triggered activity, adalah dengan menekan early dan delayed afterdepolarization.

Agen antiaritmia yang ideal adalah yang dapat menekan foci ektopik dan menghambat sirkuit reentrant tanpa mempengaruhi jalur konduksi normal. Namun yang disayangkan adalah ketika konsentrasi obat antiaritmia melebihi rentang terapeutiknya yang sempit, bahkan aktivitas listrik normal dapat tersupresi. Beberapa obat antiaritmia memang memiliki potensi untuk memicu gangguan irama (dinamakan efek proaritmik). Contohnya adalah, ketika obat antiaritmia memperpanjang potensial aksi dan menginduksi early afterdepolarization, menghasilkan triggered-type aritmia, seperti torsade de pointes. Drug induced proaritmia seringkali muncul pada pasien dengan

(30)

disfungsi LV atau pada pasien dengan pemanjangan interval QT (suatu tanda bahwa potensial aksi sudah prolonged sebelumnya).

2.7 Kesimpulan

Atrial fibrilasi adalah takiaritmia atrial yang ditandai dengan tidak terkontrolnya aktivasi atrium dengan konsekuensi gangguan fungsi mekanis atrium. Klasifikasi dari atrial fibrilasi dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu AF deteksi pertama, paroksismal AF, persisten AF dan kronik/permanen AF.

Mekanisme AF terdiri dari proses, yaitu peningkatan automatisitas dan reentry. Mekanisme ini sangat berhubungan dengan bentuk klinis AF, lokasi pencetus, dan kelainan fungsional, struktur, dan otonom yang mendasari progresivitas AF.

Terjadinya AF menimbulkan disfungsi hemodinamik jantung, yaitu hilangnya koordinasi aktivitas mekanik jantung, ketidakteraturan respon ventrikel dan ketidakteraturan denyut jantung serta komplikasi tromboemboli yang berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.

Diagnosis AF ditegakkan dari klinis dan EKG.

Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol ketidakteraturan irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan menghindari/mencegah adanya komplikasi tromboembolisme.

(31)

DAFTAR PUSTAKA

A Report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines and the European Society of Cardiology Committee for Practice Guidelines and Policy Conferences (Committee to Develop Guidelines for the Management of Patients With Atrial Fibrillation). 2001. ACC/AHA/ESC Guidelines for the Management of Patients With Atrial Fibrillation : Executive Summary. Journal of the American College of Cardiology Vol 38, No.4

A Report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines and Heart Rythm Society. 2014. ACC/AHA/ESC Guidelines for the Management of Patients With Atrial Fibrillation : Executive Summary. Journal of the American College of Cardiology Vol 64, No.21.

Lilly, L.S. 2011. Pathophysiology of Heart Disease – A Collaborative Project of Medical Students and Faculty 5th ed. Lippincott & Wilkins.

Gambar

ILUSTRASI KASUS
Gambar 1.2 Potensial aksi pada sel pacemaker.
Gambar   1.3   Efek   stimulasi   beta   adrenergik   dan   cholinergic   pada pergerakan ion kalsium dalam sel myocard.
Gambar 1.4 Early afterdepolarization dan Delayed afterdepolarization.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dewasa ini, / outbound sudah menjadi sebuah kegiatan rekreasi yang digemari masyarakat.// Ini terlihat dari semakin banyaknya pusat rekreasi yang menyediakan

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, karunia dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan penelitian yang berjudul “Pengaruh Pengembangan Karir

Sehubungan dengan Surat Penawaran Saudara pada Paket Pekerjaan Pengadaan Bahan Bangunan Yang Akan di Serahkan ke Masyarakat di Kecamatan Krayan pada Badan Pemberdayaan

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE SCRIPT TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA JURUSAN ADMINISTRASI PERKANTORAN DI SMK BINA ESSA PARONGPONG Universitas Pendidikan Indonesia

[r]

Pembentukan sinyal dari satu sel ke sel lain dapat bersifat parakrin yang memerlukan faktor yang dapat berdifusi, atau jukstakrin yang melibatkan banyak faktor yang

Dengan kata lain, konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan Sungai Tarai masih melebihi konsentrasi oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk proses dekomposisi

.ةبستكملا مهفلا قيمعت لجأ نم ةساردلا ساردلا هذه مدختسي متي ،صحفلا امك تارابتخلااو ، تاظحلاملا و ،تلاباقملا مادختساب يعونلا ثحبلا ة ( .قيثوتلاو