• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gigitan Ular Berbisa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gigitan Ular Berbisa"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Andy Luman,

Endang

Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi – Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik Medan

ABSTRAK

Gigitan ular berbisa dan kematian yang diakibatkan merupakan masalah kesehatan

publik yang penting pada daerah pedesaan. Diperkirakan setidaknya 421.000 kasus

envenomasi (injeksi bisa terhadap korban melalui sengatan/ gigitan oleh hewan berbisa) dan

20.000 kematian timbul setiap tahunnya di seluruh dunia akibat gigitan ular. Korban gigitan

yang selamat mengalami sekuele fisik permanen akibat nekrosis jaringan lokal, dan sekuele

psikologis. Di Indonesia jenis famili ular berbisa dibagi dua yaitu Flavipiridae dan Elapidae.

Untuk negara-negara di Asia Tenggara, WHO memberikan perhatian-perhatian khusus yang

membagi atas dua kategori yaitu kategori 1 untuk kepentingan medis tertinggi dan kategori 2

untuk kepentingan medis sekunder. Tulisan ini dibuat untuk membahas patofisiologi,

diagnosis dan penatalaksanaan gigitan ular berbisa.

I. PENDAHULUAN

Ular berbisa dapat dijumpai di seluruh belahan dunia, kecuali pada beberapa

pulau, lingkungan dingin, dan terletak tinggi dari permukaan laut. Gigitan ular berbisa dan

kematian yang diakibatkan merupakan masalah kesehatan publik yang penting pada daerah

pedesaan. Populasi pada daerah ini memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi karena

akses pelayanan kesehatan yang buruk, yang seringkali suboptimal dan pada beberapa

keadaan, kelangkaan antivenom, yang merupakan satu-satunya pengobatan spesifik. Korban

gigitan yang selamat mengalami sekuele fisik permanen akibat nekrosis jaringan lokal, dan

sekuele psikologis. Karena kebanyakan korban gigitan ular masih muda, maka pengaruh

terhadap ekonomi karena disabilitas mereka perlu dipertimbangkan. Disamping besarnya efek

terhadap populasi, gigitan ular tidak mendapat perhatian yang cukup dari pelayanan

kesehatan nasional dan internasional, dan dapat dikategorisasi sebagai penyakit tropikal yang

(2)

II. PEMBAHASAN

Diperkirakan setidaknya 421.000 kasus envenomasi (injeksi bisa terhadap korban

melalui sengatan/ gigitan oleh hewan berbisa) dan 20.000 kematian timbul setiap tahunnya di

seluruh dunia akibat gigitan ular. Sebagian besar perkiraan kejadian gigitan ular dijumpai di

Asia Selatan dan Asia Tenggara, Sub-Sahara Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan.

Kasus gigitan ular yang bervariasi secara geografik dan musiman, terutama pada daerah

pedesaan tropikal dimana pelaporan dan pendataan masih kurang, dan sifat pengobatan yang

masih dibagi kepada pengobatan tradisional yang kadang lebih dipilih dibandingkan

pengobatan Barat, berkontribusi terhadap kesulitan untuk mempelajari epidemiologi gigitan

ular (Kasturiratne et al. 2008). EPIDEMIOLOGI

(3)

Gambar 2. Perkiraan kematian akibat gigitan ular berdasarkan regional (Kasturiratne et al. 2008).

Epidemiologi gigitan ular di Asia Tenggara tidak diteliti secara adekuat dan data yang

dipublikasi, kebanyakan secara eksklusif berdasarkan laporan rumah sakit kepada

Kementerian Kesehatan, seringkali kurang dapat dipercaya dan menyebabkan kesalahan data.

Masalah mendasar yang dijumpai pada kebanyakan regional Asia adalah pengobatan gigitan

ular masih menganut paham tradisional dan herbal, maka sebagian besar korban gigitan ular

tidak tercatat pada rumah sakit (Warrell 2010).

Untuk negara-negara di Asia Tenggara, WHO memberikan perhatian-perhatian

khusus yang didefinisikan sebagai berikut:

- Kategori 1: Kepentingan medis tertinggi: Ular yang sangat berbisa yang sering atau

tersebar luas dan menyebabkan banyak kasus gigitan, menimbulkan tingginya

tingkat morbiditas, disabilitas, dan mortalitas.

- Kategori 2: Kepentingan medis sekunder: Ular yang sangat berbisa yang dapat

menyebabkan morbiditas, disabilitas, atau mortalitas, tetapi (a) kekurangan data

epidemiologis dan klinis yang pasti atau (b) lebih jarang berpengaruh karena sifat

alamiahnya, pilihan habitat atau dijumpai pada area yang jauh dari populasi besar

(4)

Beberapa jenis ular berdasarkan kategori WHO yang dapat dijumpai di Indonesia

(Warrell 2010):

- Daerah Sumatera, Jawa, Borneo, Sulawesi dan sebagian pulau-pulau Sunda tetapi terletak di

barat garis Wallace:

Kategori 1

-Elapidae: Bungarus candidus (Sumatera dan Jawa), Naja sputatrix (Jawa dan sebagian pulau-pulau Sunda), Naja sumatrana (Sumatera dan Borneo).

-Viperidae: Calloselasma rhodostoma (Jawa), Cryptelytrops albolabris, Daboia siamensis.

Kategori 2

-Elapidae: Bungarus fasciatus, Bungarus flaviceps (Sumatera dan Borneo),

Calliophis bivirgatus, Ophiophagus Hannah (Sumatera, Borneo dan Jawa).

-Viperidae: Cryptelytrops insularis, Cryptelytrops purpureomaculatus

(Sumatera).

- Daerah timur garis Wallace seperti Papua Barat dan Maluku:

Kategori 1 -Elapidae: Acanthophis laevis

Kategori 2 -Elapidae: Acanthophis rugosus, Micropechis ikaheka, Oxyuranus scutellatus,

Pseudechis papuanus, Pseudechis rossignolii, Psudonaja textilis.

Sekitar 15% dari 3.000 spesies ular yang dijumpai di seluruh dunia dipertimbangkan

berbahaya bagi manusia. Ular berbisa yang dapat dijumpai di dunia dapat dilihat ada tabel 1

(Gold, Dart & Barish 2002). KLASIFIKASI

(5)

Diagnosis definitif keracunan bisa ular memerlukan identifikasi dari jenis ular dan

manifestasi klinis envenomasi. Pada penilaian laporan gigitan dari ular berbisa, harus

dibedakan gigitan dari ular yang tidak berbisa atau hewan lain. Perbandingan ular berbisa dan

ular tidak berbisa dapat terlihat pada gambar 3 berikut (Gold, Dart & Barish 2002).

Gambar 3. Perbandingan ular berbisa dan tidak berbisa di Amerika Serikat (Gold, Dart & Barish 2002).

WHO mengklasifikasi ular berbisa yang penting secara medis pada regional Asia

tenggara yaitu dijumpai tiga famili ular berbisa pada Asia Tenggara (Elapidae, Viperidae, dan

Colubridae) (Warrell 2010):

- Elapidae: memiliki gigi taring pendek di depan (proteroglyph). Famili ini meliputi kobra,

raja kobra, kraits, ular koral, ular Australia dan ular laut. Elapidae secara relatif merupakan

ular yang cukup panjang, kurus, memiliki warna seragam dengan sisik simetrikal besar halus

pada puncak kepala. Beberapa kobra, meninggikan bagian depan tubuhnya dari tanah dan

melebar dan merata dari leher untuk membentuk kerudung. Beberapa spesies kobra dapat

meludahkan bisanya hingga 1 meter atau lebih terhadap mata korbannya. Ular laut berbisa

(6)

- Viperidae: memiliki gigi taring yang cukup panjang (solenogyph) yang secara normal

terlipat rata terhadap rahang atas, tetapi saat menyerang akan menjadi tegang. Ada dijumpai

dua subfamili, viper tipikal (Viperinae) dan viper pit (Crotalinae). Crotalinae memiliki organ

khusus untuk mendeteksi korban berdarah panas yang terletak diantara hidung dan mata.

Viperidae merupakan ular yang relatif pendek, bertubuh tebal dengan banyak sisik kasar pada

puncak kepala dan pola warna yang khas pada permukaan dorsal tubuh.

- Colubridae: dua spesies penting yang telah diidentifikasi pada regional Asia Tenggara

adalah Rhabdophis subminiatus berleher merah dan Rhabdophis triginus. Piton besar

(Boidae), merupakan Python reticularis di Indonesia, pernah dilaporkan menyerang dan

menelan manusia, yang biasanya petani.

Komposisi bisa ular 90% terdiri dari protein. Masing-masing bisa memiliki lebih dari

ratusan protein berbeda: enzim (meliputi 80-90% bisa viperidae dan 25-70% bisa elapidae),

toksin polipeptida non-enzimatik, dan protein non-toksik, seperti faktor pertumbuhan saraf.

Enzim pada bisa ular meliputi hidrolase digestif, hialuronidase, dan aktivator atau inaktivator

proses fisiologis, seperti kininogenase. Sebagian besar bisa mengandung L-asam amino

oksidase, fosfomono- dan diesterase, 5`-nukleotidase, DNAase, NAD-nukleosidase,

fosfolipase A2, dan peptidase (Warrell 2010).

PATOFISIOLOGI & DIAGNOSIS

(7)

Envenomasi gigitan ular pada manusia memiliki banyak efek potensial, namun hanya

beberapa kategori yang memiliki klinis mayor yang signifikan, yaitu: (1) flasid paralisis; (2)

miolisis sistemik; (3) koagulopati dan perdarahan; (4) kerusakan dan gangguan ginjal; (5)

kardiotoksisitas; (6) kerusakan jaringan lokal pada daerah gigitan (White 2005).

(8)

Tabel 3. Ular dengan komponen bisa yang mempengaruhi platelet (White 2005)

Beberapa korban yang digigit oleh ular (atau dicurigai digigit) dapat mengalami

simptom dan gejala yang khas, bahkan saat tidak ada bisa yang diinjeksi. Hal ini diakibatkan

dari ketakutan yang tidak dipahami dari konsekuensi gigitan ular berbisa. Korban cemas

dapat hiperventilasi sehingga mengalami sensasi kebas dan ditusuk-tusuk pada ekstremitas,

spasme tangan dan kaki, dan pusing. Korban lainnya dapat mengalami syok vasovagal setelah

gigitan, dengan kolaps disertai penurunan denyut jantung yang berat. Tampilan klinis korban

gigitan ular bervariasi sesuai umur dan ukuran tubuh, spesies ular, jumlah dan lokasi gigitan,

dan kuantitas dan toksisitas bisa. Morbiditas dan mortalitas bergantung pada umur dan

(9)

Tabel 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi keparahan dan hasil akhir gigitan ular (Ahmed et al. 2008)

Faktor Efeknya terhadap hasil akhir

Ukuran tubuh korban Semakin besar ukuran, hasil akhir semakin baik karena jumlah

toksin yang lebih sedikit per kg berat badan.

Komorbiditas Predisposisi terhadap efek membahayakan bisa ular.

Lokasi gigitan Gigitan pada tubuh, wajah, dan secara langsung ke aliran darah

memiliki prognosis buruk.

Latihan fisik Latihan fisik setelah gigitan ular memiliki hasil akhir buruk

karena peningkatan absorpsi sistemik toksin.

Sensitivitas individual Sensitivitas individual terhadap bisa mempengaruhi gambaran

klinis.

Karakteristik gigitan Jumlah; kedalaman; “gigitan kering”; gigitan melalui pakaian,

sepatu, atau perlindungan lain; jumlah bisa yang diinjeksi; kondisi gigi taring; dan durasi ular melekat pada korban mempengaruhi hasil akhir.

Spesies ular Spesies yang berbeda memiliki dosis, periode mematikan dan

agresifitas berbeda.

Infeksi sekunder Ada atau tidaknya organisme patogenik pada mulut ular.

Pengobatan Adanya bantuan dasar diberikan dan waktu yang berlalu

sebelum dosis pertama antivenom.

Tabel 5. Berbagai gigitan ular, dosis fatal, kuantitas bisa diinjeksi, dan waktu mematikan (Ahmed et al. 2008).

Ular LD50

Common krait (Bungarus

caeruleus) 0,09 mg/kg 6 mg 20 mg 18 jam

Viper Russell (Daboia

russelii) 0,1 mg/kg 15 mg 63 mg 3 hari

Viper bersisik gergaji

(Echis carinatus) 6,65 mg/kg 8 mg 13-40 mg 41 hari

Tabel 6. Penilaian keparahan envenomasi (Ahmed et al. 2008)

Derajat envenomasi Gejala dan tanda klinis

Tidak ada envenomasi Tanpa reaksi lokal atau sistemik; tanda gigitan (+/-).

Envenomasi ringan Tanda gigitan (+). Nyeri sedang, edema lokal minimal (0-15 cm),

eritema (+), ekimosis (+/-), tidak ada reaksi sistemik.

Envenomasi sedang

Tanda gigitan (+), nyeri hebat, edema lokal sedang (15-30 cm), eritema dan ekimosis (+), kelemahan sistemik, berkeringat, sinkop, nausea, muntah, anemia, atau trombositopenia.

Envenomasi berat

(10)

Tabel 7. Klasifikasi gigitan ular menurut Schwartz (Djunaedi 2009)

Derajat Venerasi Luka Nyeri Edema/ Eritema Sistemik

0 0 + +/- <3 cm/ 12 jam 0

I +/- + - 3-12 cm/ 12 jam 0

II + + +++ 12-25 cm/ 12 jam

+

Neurotoksik, mual, pusing, syok

III + + +++ >25 cm/ 12 jam

++ Petekhiae, syok,

ekimosis

IV +++ + +++ > ekstremitas

++

Gangguan ginjal akut, koma, perdarahan

Petunjuk adanya envenomasi berat oleh gigitan ular harus dipertimbangkan bila

dijumpai keadaan berikut (Ahmed et al. 2008):

1. Ular diidentifikasi sebagai sangat berbisa.

2. Ekstensi awal yang cepat dari pembengkakan lokal daerah gigitan.

3. Pembesaran awal kelenjar getah bening lokal, menandakan penyebaran bisa di sistem

limfatik.

4. Simptom sistemik awal.

5. Perdarahan sistemik spontan awal (terutama perdarahan gusi).

6. Adanya urine berwarna coklat-gelap.

Walaupun dijumpai gambaran klinis diakibatkan oleh bisa dari spesies ular berbeda

yang tumpang tindih, suatu “pendekatan sindrom” yang diklasifikasi WHO dapat berguna,

terutama ketika ular tidak dapat diidentifikasi dan hanya tersedia antivenom monospesifik

(11)

Klasifikasi “pendekatan sindrom” gigitan ular oleh WHO (Warrell 2010):

Pemeriksaan laboratorium memiliki nilai yang sangat kecil pada diagnosis

envenomasi ular, tetapi sangat berguna dalam menentukan prognostik dan pengambilan

keputusan untuk intervensi spesifik. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah:

a. Uji 20 menit pembekuan darah lengkap (20 WBCT): 20 WBCT merupakan pemeriksaan

koagulopati sederhana untuk mendiagnosa envenomasi viper dan menyingkirkan

kemungkinan gigitan elapidae. Pemeriksaan ini memerlukan tabung gelas kering dan

bersih serta belum pernah dicuci dengan detergen, kemudian beberapa milliliter darah

segar vena diambil dan diteteskan pada tabung lalu dibiarkan selama 20 menit; apabila

darah tetap cair setelah 20 menit di tabung, menunjukkan adanya koagulopati dan

mengkonfirmasi pasien telah digigit oleh viper. Kobra atau krait tidak menyebabkan

simptom antihemostatik ini. (Ahmed et al. 2008; Warrell 2010). Akan tetapi terdapat

perbedaan pendapat terhadap manfaat pemeriksaan ini pada beberapa studi. Pada studi

(12)

sederhana yang akurat (sensitivitas 83,3% dan spesifitas 90%) untuk membantu memandu

pengobatan setelah envenomasi ular, namun studi oleh Isbister et al. tahun 2013

menunjukkan 20 WBCT memiliki sensitivitas rendah (40%) untuk mendeteksi koagulopati

pada envenomasi ular dan tidak dapat menjadi patokan pemberian antivenom.

b. Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA): Pemeriksaan ELISA dapat mengidentifikasi

spesies ular, berdasarkan antigen venom. Nmaun pemeriksaan ini mahal dan tidak selalu

tersedia, maka memiliki keterbatasan pada diagnostik. Saat ini, ELISA digunakan terutama

pada studi epidemiologi (Ahmed et al. 2008).

c. Konsentrasi hemoglobin/ hematokrit: Peningkatan mengindikasikan hemokonsentrasi

diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler (seperti pada gigitan viper Russell).

Penurunan mengindikasikan kehilangan darah yang diakibatkan hemolisis intravaskular

(Ahmed et al. 2008; Warrell 2010).

d. Hitung leukosit: leukositosis neutrophil merupakan penanda envenomasi sistemik dari

spesies ular (Warrell 2010).

e. Abnormalitas biokimiawi: Aminotransferase dan enzim otot (kreatin kinase, aldolase)

dapat meningkat bila dijumpai kerusakan otot lokal yang berat, atau terutama kerusakan

otot menyeluruh (pada gigitan ular laut, beberapa spesies krait, elapid Australia, viper

Russell Srilanka dan India Selatan). Disfungsi hpear ringan mencerminkan peningkatan

enzim serum lain. Bilirubin meningkat mengikuti ekstravasasi darah masif. Kalium,

kreatinin, urea atau nitrogen urea darah meningkat pada gangguan ginjal akut pada gigitan

viper Russell, hidung punuk Viper, dan ular laut. Hiperkalemia dapat dijumpai pada

rhabdomiolisis ekstensif pada gigitan ular laut. Bikarbonat dapat rendah pada asidosis

metabolik. Hiponatremia pernah dilaporkan pada korban gigitan krait di Vietnam utara

(Bungarus candidus dan B. multicinctus) (Warrell 2010).

f. Sistem koagulasi darah: PT dan APTT dapat memanjang pada gigitan viper. Fibrinogen

rendah dengan peninfkatan FDP (fibrin degradation product) dapat dijumpai pada

gangguan koagulasi akibat venom (Ahmed et al. 2008).

g. Urinalisis: Warna urine (merah jambu, merah, dan coklat gelap) harus diperhatikan, dan

urine diperiksa dengan dipstik untuk darah atau hemoglobin atau mioglobin. Pemeriksaan

(13)

Permasalahan utama penanganan gigitan ular adalah ketidak-tersediaan antivenom

yang spesifik dan ppendukung lainnya seperti faktor pembekuan dan krioprecipitat. Studi

oleh Fadare & Afolabi tahun 2012 selama 18 bulan menunjukkan penanganan gigitan ular di

Nigeria masih kurang dan memerlukan antivenom yang efektif dan aman yang terjangkau

untuk memperbaiki hasil akhir pasien. PENANGANAN

Panduan penanganan gigitan ular di Asia Tenggara oleh WHO adalah sebagai berikut

(Warrell 2010):

• Penanganan bantuan dasar

Bantuan dasar diberikan secepatnya setelah gigitan, sebelum pasien mencapai rumah sakit

atau penyedia kesehatan. Hal ini dapat dilakukan oleh korban gigitan ular sendiri atau

orang lain yang ada dan mampu. Metode bantuan dasar tradisional, popular, yang tersedia

dan terjangkau seringkali tidak bermanfaat atau bahkan membahayakan. Metode-metode

tersebut meliputi: insisi lokal, atau tusukan pada area gigitan, usaha untuk menghisap bisa

dari luka, mengikat erat tourniquet di sekitar gigitan, shock elektrik, penggunaan bahan

kimiawi atau topikal, tanaman atau es batu. Prinsip utama dari bantuan dasar adalah usaha

untuk memperlambat sistemik absorpsi bisa, menyelamatkan hidup dan mencegah

komplikasi sebelum pasien mendapat layanan kesehatan, memantau simptom awal bisa

yang membahayakan, mengatur transportasi pasien ke penyedia kesehatan, dan diatas

semua itu tujuan utama adalah tidak membahayakan/ melukai korban.

Studi oleh Albert set al. tahun 2004 menunjukkan penggunaan pompa untuk ekstraksi

darah dari luka simulasi gigitan ular berhasil membuang cairan darah, tetapi tidak

membuang bisa, yang menandakan ekstraksi/ penghisapan tidak menjadi pengobatan

efektif untuk mengurangi bisa dalam tubuh setelah gigitan ular berbisa.

• Transportasi ke rumah sakit

Korban harus secepatnya ditransfer ke penyedia kesehatan/ rumah sakit, tetapi dengan

sedapat mungkin aman dan nyaman. Pergerakan terutama pada daerah gigitan dikurangi

hingga seminimal mungkin untuk mencegah peningkatan absorpsi sistemik bisa. Kontraksi

otot dapat meningkatkan penyebaran bisa dari daerah gigitan. Bila mungkin, pasien

(14)

• Penilaian klinis dan resusitasi segera

Resusitasi kardiopulmonari dapat dilakukan, termasuk penggunaan oksigen dan

pemasangan akses intravena. Penanganan klinis dan resusitasi segera mengikuti

pendekatan ABCDE: Airway, Breathing, Circulation, Disabilitas sistem saraf, Exposure

dan kontrol lingkungan.

• Penilaian klinis mendetail dan diagnosis spesies

Riwayat gigitan ular dan progresi simptom dan tanda lokal dan sistemik sangat

penting. Petunjuk-petunjuk yang menandakan pasien dengan envenomasi berat,

pemeriksaan fisik di daerah gigitan, dan secara umum, tanda envenomasi neurotoksik

(paralisis bulbar dan pernapasan), rhabdomiolisis menyeluruh harus diperhatikan pada

pasien. Diagnosis terhadap spesies dapat dilakukan apabila ular dibawa untuk

diidentifikasi, misalnya ular yant telah mati; namun pada kondisi tanpa bukti ular,

identifikasi secara tidak langsung dari deskripsi pasien, bentuk luka gigitan, dan sindrom

klinis gejala dan tanda dapat dilakukan.

• Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan 20 WBCT, dan pemeriksaan lainnya dapat membantu pada kasus gigitan

ular berbisa.

• Pengobatan antivenom

Antivenom merupakan satu-satunya pengobatan antidotum spesifik terhadap bisa ular.

Keputusan paling penting dalam penanganan gigitan ular adalah perlu atau tidaknya

memberikan antivenom. Dalam hal ini, antivenom hanya diberikan pada pasien dengan

mempertimbangkan manfaat melebihi resikonya, karena antivenom cukup mahal dan sulit

diperoleh dan resiko reaksinya harus turut dipertimbangkan.

Indikasi pemberian antivenom adalah apabila pasien dengan dugaan atau terbukti

gigitan ular mengalami satu atau lebih tanda berikut (Warrell 2010):

 Envenomasi sistemik

- Abnormalitas hemostatik: perdarahan sistemik spontaneous (klinis); koagulopati (20

WBCT atau tes lain seperti PT), atau trombositopenia (<100.000) (laboratorium).

- Tanda neurotoksik: ptosis, optalmoplegia eksternal, paralisis (klinis).

- Abnormalitas kardiovaskular: hipotensi, syok, aritmia (klinis); abnormal EKG.

(15)

- Hemoglobin-/ Mioglobin-uria: urine coklat gelap (klinis), dipstick urine, tanda lain

hemolisis intravaskular atau rhabdomiolisis menyeluruh (nyeri otot, hiperkalemia) (klinis,

laboratorium).

- Tanda-tanda pendukung laboratorium adanya envenomasi sistemik.

 Envenomasi lokal

- Pembengkakan lokal meliputi lebih dari setengah tungkai yang tergigit (tanpa tourniquet)

dalam 48 jam pertama. Pembengkakan setelah gigitan pada jari-jari.

- Ekstensi cepat pembengkakan (seperti dibawah pergelangan tangan atau kaki dalam

beberapa jam setelah gigitan pada tangan atau kaki).

- Dijumpai pembesaran kelenjar getah bening yang mendrainase tungkai yang tergigit.

Ada dua metode pemberian antivenom yang direkomendasikan (Warrell 2010):

1. Injeksi “push” intravena: Antivenom diberikan secara injeksi intravena lambat (tidak

lebih dari 2 mL/menit).

2. Infus intravena: Antivenom dilarutkan sekitar 5-10 mL cairan isotonik per kg berat

badan (seperti 250-500 mL saline isotonik atau dekstrosa 5% pada orang dewasa) dan

diinfus dengan kecepatan konstan diatas sekitar 1 jam.

Pasien yang diberikan antivenom harus secara ketat dipantau setidaknya selama 1 jam

setelah dimulai pemberian antivenom intravena, sehingga reaksi anafilaksis antivenom

dapat dideteksi dan diobati segera dengan epinefrin (adrenalin).

Dosis antivenom yang diberikan pada gigitan ular pada dewasa dan anak-anak adalah

sama, karena ular juga menginjeksikan bisa dengan dosis yang sama. Di Indonesia,

antivenom yang tersedia adalah serum antivenom polivalen (Calloselasma rhodostoma, B

fasciatus, N sputatrix) yang diproduksi oleh Bio Farma dengan sediaan ampul 5 mL. Dosis

awal antivenom yang disarankan dapat diberikan berdasarkan spesies ular.

Adapun pedoman lain dari terapi pemberian antivenom dapat mengacu pada Schwartz

dan Way (Djunaedi 2009):

• Derajat 0 dan I: tidak diperlukan antivenom, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, bila

derajat meningkat maka diberikan antivenom. • Derajat II: 3-4 vial antivenom

• Derajat III: 5-15 vial antivenom

(16)

Tabel 8. Pedoman Terapi Antivenom Ular menurut Luck (Djunaedi 2009)

Derajat Beratnya

envenomasi

Taring atau gigi

Ukuran zona edema/ eritema

kulit (cm)

Gejala sistemik

Jumlah vial venom

0 Tidak ada + <2 - 0

I Minimal + 2-15 - 5

II Sedang + 15-30 + 10

III Berat + >30 ++ 15

IV Berat + <2 +++ 15

(17)

Pada sebagian proporsi pasien, lebih dari 10% mengalami reaksi terhadap pemberian

antivenom yang timbul awal (dalam beberapa jam) atau terlambat (5 hari atau lebih).

Beberapa reaksi terhadap antivenom adalah:

1. Reaksi anafilaksis awal: muncul dalam 10-180 menit setelah pemberian antivenom,

pasien mulai gatal dan urtikaria, batuk kering, demam, nausea, muntah, kolik abdomen,

diare, dan takikardi. Minoritas pasien mengalami anafilaksis berat (hipotensi,

bronkospasme, angioedema).

2. Reaksi pirogenik (endotoksin): muncul dalam 1-2 jam setelah pengobatan, gejala

meliputi kekakuan, demam, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah; reaksi ini

diakibatkan oleh kontaminasi pirogen selama proses produksi antivenom.

3. Reaksi terlambat (tipe serum sickness): muncul dalam 1-12 hari setelah pengobatan,

gejala meliputi demam, nausea, muntah, diare, gatal, urtikaria, atralgia, myalgia,

limfadenopati, pembengkakan periartikular, multipleks mononeuritis, proteinuria

dengan nefritis imun kompleks, dan jarang, ensefalopati. Pasien dengan reaksi awal dan

diobati dengan antihistamin dan kortikosteroid lebih jarang mengalami reaksi terlambat.

Studi oleh Premawardhena tahun 1999 menunjukkan penggunaan 0,25 mL dari

1:1.000 adrenalin yang diberikan secara subkutan segera sebelum pemberian antivenom

terhadap pasien dengan envenomasi setelah gigitan ular mengurangi kejadian reaksi efek

samping akut pada serum. Studi oleh de Silva et al. tahun 2011 menunjukkan pemberian

adrenalin dosis rendah memiliki penurunan resiko reaksi akut berat terhadap antivenom

sedangkan prometazin, dan hidrokortison tidak memberikan efek yang bermakna.

• Pemantauan respons antivenom

Bila dosis antivenom diberikan secara adekuat, maka respons terhadap antivenom

dapat dipantau adalah:

a. Umum: pasien mengalami perbaikan. Nausea, sakit kepala dan nyeri menyeluruh

berkurang secara cepat. Hal ini juga dapat sebagian peran dari efek plasebo.

b. Perdarahan sistemik spontaneous: biasanya berhenti dalam 15-30 menit.

c. Koagulabilitas darah: biasanya kembali normal dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka

baru dan lama biasanya berhenti lebih cepat.

d. Pada pasien syok: tekanan darah meningkat dalam 30-60 menit pertama dan aritmia

(18)

e. Envenomasi neurotoksik pada tipe post-sinaptik (tipe kobra) dapat dijumpai perbaikan

dalam 30 menit setelah antivenom, tetapi biasanya membutuhkan beberapa jam.

Envenomasi dengan toksin presinaptik (krait dan ular laut) tidak berespons.

f. Hemolisis dan rhabdomiolisis aktif dapat berhenti dalam beberapa jam dan urine

kembali menjadi warna normal.

• Menentukan apakah dosis lanjutan antivenom diperlukan

Kriteria pemberian antivenom dosis lanjutan adalah:

- Inkoagulabilitas darah menetap atau timbul setelah 6 jam atau perdarahan setelah 1-2

jam.

- Perburukan tanda-tanda neurotoksik atau kardiovaskular setelah 1-2 jam.

Apabila darah tetap inkoagulasi (diukur dengan 20 WBCT) 6 jam setelah dosis awal

antivenom, dosis yang sama diulangi. Pasien dengan perdarahan yang berkelanjutan dan

tanda-tanda perburukan neurotoksik dan kardiovaskular dapat diberikan dosis antivenom

ulangan dalam 1-2 jam.

• Penanganan supportif/ tambahan

Antivenom dapat menetralkan bisa yang bersirkulasi bebas, mencegah progresi

envenomasi dan memberikan kesembuhan, Namun, proses ini memerlukan waktu dan

pasien envenomasi berat memerlukan sistem pendukung kehidupan seperti pengobatan

syok, ventilator, dan dialisis ginjal hingga kerusakan berat organ dan jaringan mendapat

waktu untuk penyembuhan.

• Penanganan daerah gigitan

Infeksi bakteri dapat ditangani dengan pemberian antibiotik berupa antibiotik

spektrum luas (amoksisilin atau sefalosporin ditambah dosis tunggal gentamisin ditambah

metronidazol) dan profilaksis tetanus apabila dijumpai bukti adanya infeksi sekunder

bakteri, namun profilaksis antibiotik tidak terbukti bermanfaat.

Daerah gigitan dapat membengkak dan nyeri, dan harus ditempatkan dengan posisi

nyaman, tetapi tidak dalam kondisi elevasi berlebihan karena dapat mengurangi tekanan

perfusi arteri pada daerah bengkak yang tegang dan meningkatkan resiko iskemia

intrakompartemen. Kondisi tungkai yang imobile, membengkak tegang, dingin, dan tanpa

denyut dapat merupakan tanda peningkatan tekanan intrakompartemen yang

(19)

- Abnormalitas hemostatik telah dikoreksi (antivenom dengan atau tanpa faktor

pembekuan).

- Bukti klinis adanya sindroma intrakompartemen.

- Tekanan intrakompartemen >40 mmHg (pada dewasa).

Studi oleh Hall tahun 2001 terhadap intervensi bedah pada envenomasi Crotaline

merekomendasikan insisi area gigitan sebagai bantuan dasar, eksisi atau debridemen area

gigitan tidak direkomendasikan, fasiotomi hanya dilakukan pada kondisi sindrom

kompartemen terdokumentasi dengan peningkatan tekanan kompartemen yang gagal

respons terhadap pemberian antivenom adekuat sebelumnya, serta rehabilitasi awal yang

agresif dengan pergerakan pasif dan aktif pada gigitan di tangan dan jari-jari

direkomendasikan.

• Rehabilitasi

• Penanganan komplikasi kronik

III. KESIMPULAN

Envenomasi gigitan ular memiliki banyak efek potensial, namun hanya beberapa

kategori yang memiliki klinis mayor yang signifikan, yaitu flasid paralisis, miolisis

sistemik, koagulopati dan perdarahan, kerusakan dan gangguan ginjal,

kardiotoksisitas, kerusakan jaringan lokal pada daerah gigitan

.

• Petunjuk adanya envenomasi berat oleh gigitan ular harus dipertimbangkan bila

dijumpai keadaan ular diidentifikasi sebagai sangat berbisa, ekstensi awal yang cepat

dari pembengkakan lokal daerah gigitan, pembesaran awal kelenjar getah bening

lokal, menandakan penyebaran bisa di sistem limfatik simptom sistemik awal.

perdarahan sistemik spontan awal (terutama perdarahan gusi), dan adanya urine

berwarna coklat-gelap.

• Panduan penanganan gigitan ular di Asia Tenggara oleh WHO adalah penanganan

bantuan dasar, transportasi ke rumah sakit, penilaian klinis dan resusitasi segera,

penilaian klinis mendetail dan diagnosis spesies, pemeriksaan laboratorium,

pengobatan antivenom, pemantauan respons antivenom, menentukan apakah dosis

lanjutan antivenom diperlukan, penanganan supportif/ tambahan, penanganan daerah

(20)

Gambar 5. Algoritma Diagnosis dan Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa (Warrell 2010). Pasien dengan riwayat gigitan ular TANPA bukti adanya

fisik ular dan sedikit/ tidak ada deskripsi ular

Tanda

Gigitan Viper green pit: beri antivenom spesifik/

Di Filipina Mialgia DAN/

urine hitam/

Darah tidak membeku stlh 6 jam dosis antivenom

Berikan antivenom

Viper green pit Pemantauan RS

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed SM, Ahmed M, Nadeem A, Mahajan J, Choudhary A & Pal J. (2008) Emergency treatment of a snake bite: Pearls from literature. J Emer Trauma Shock 1(2):97-105.

Alberts MB, Shalit M & Logalbo F. (2004) Suction for venomous snakebite: A study of ”mock venom” extraction in a human model. Ann Emerg Med 43:181-186.

de Silva HA, Pathmeswaran A, Ranasinha CD, Jayamanne S, Samarakoon SB & Hittharage A. (2011) Low dose adrenaline, promethazine, and hydrocortisone in the prevention of acute adverse reactions to antivenom following snakebite: A randomised, double-blind, placebo-controlled trial. PLoS Med 8(5):e1000435.

Djunaedi D. (2009) Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, penyunting Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Edisi ke-5. InternaPublishing: Jakarta, p. 280-283.

Fadare JO & Afolabi OA. (2012) Management of snake bite in resource-challenged setting: A review of 18 months experience in a Nigerian hospital. J Clin Med Res 4(3):39-43.

Gold BS, Dart RC & Barish RA. (2002) Bites of venomous snake. N Engl J Med

347(5):347-356.

Hall EL. (2001) Role of surgical intervention in the management of crotaline snake envenomation. Ann Emerg Med 35:175-180.

Isbister GK, Maduwage K, Shahmy S, Mohamed F, Abeysinghe C, Karunathilake H, et al. (2013) Diagnostic 20-min whole blood clotting test in Russell`s viper envenoming delays antivenom administration. Q J Med. doi:10.1093/qjmed/hct102.

Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A, Premaratna R, et al. (2009) The global burden of snakebite: A literature analysis and

modelling based on regional estimates of envenoming and deaths. PLoS Med

5(11):e218.

Premawardhena AP, de Silva CE, Fonseka MMD, Gunatilake SB & de Silva HJ. (1999) Low dose subcutaneous adrenaline to prevent acute adverse reactions to antivenom serum in people bitten by snake: randomised, placebo controlled trial. BMJ 318:1041-3.

Punguyire D, Iserson KV, Stotz U & Apanga S. (2012) Bedside whole blood clotting times: Validity after snakebites. J Emerg Med 44(3):663-667.

Sajevic T, Leonardi A & Krizaj I. (2011) Haemostatically active proteins in snake venoms.

Toxicon 57:627-645.

Warrell DA. (2010). Guidelines for the management of snake bites. World Health Organization Regional Office for South-East Asia. India. Cited 2013 October 14. Available from

White J. (2005) Snake venoms and coagulopathy. Toxicon 45:951-967.

Gambar

Gambar 1. Perkiraan envenomasi gigitan ular pada 2007 berdasarkan regional (Kasturiratne et al
Gambar 2. Perkiraan kematian akibat gigitan ular berdasarkan regional (Kasturiratne et al
Tabel 1. Ular berbisa yang biasa dijumpai di dunia (Gold, Dart & Barish 2002)
Gambar 3. Perbandingan ular berbisa dan tidak berbisa di Amerika Serikat (Gold, Dart  & Barish 2002)
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait