• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Islam dan Trend Buku Keagamaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemikiran Islam dan Trend Buku Keagamaan"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1

Pemikiran Islam dan Trend Buku Keagamaan di Surabaya

Zaenal Abidin Eko Putro

(Prodi Penerbitan (Jurnalistik), Politeknik Negeri Jakarta)

Kasim Abdurrahman

(Pusat Kelekturan dan Khazanah Keagamaan Balitbang Kemenag RI)

Pendahuluan

Buku sebagai bagian dari produk kelekturan telah banyak dimaklumi mempunyai energi kuat untuk mempengaruhi pembacanya. Banyak pihak meyakini bahwa buku memberi pengetahuan dan informasi yang bisa mempengaruhi perilaku pembacanya. Karena itulah, tidak heran jika banyak penulis kemudian dikecam karena menuliskan pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pemikiran banyak orang.

Beberapa peristiwa yang memberitakan kecaman terhadap penulis buku memberi pemahaman, bahwa kekuatan buku, terutama buku-buku keagamaan, tidak dapat dipandang sebelah mata dalam mempengaruhi pembacanya. Seringkali terdengar bahwa adalah wajar buku-buku keagamaan melahirkan polemik, ataupun pro dan kontra karena buku adalah produk pemikiran. Pembaca boleh setuju atau menolak gagasan buku-buku tersebut. Namun di luar pehamanan yang sekilas bernafaskan akademik ini, dan di luar dugaan bahwa buku-buku keagamaan ternyata juga mampu menginspirasi pembacanya untuk meniru dan mengikuti pesan yang dibawa oleh buku tersebut.

Di luar pembicaraan pengaruh ide atau gagasan itu, selain memasarkan ideology dan pemikiran, ternyata buku juga bicara bagaimana memasarkan produk. Belakangan ini buku keagamaan juga sudah masuk ke ranah industry. Larisnya buku diukur dari seberapa kali naik cetak. Semakin produk dicetak ulang, maka semakin meningkatlah perolehan materi penulis dan penerbit. Maka, biasanya semakin kontroversi sebuah buku, semakin larislah buku itu. Semakin terjerat dalam logika pasar, maka semakin jauhlah jangkauan buku itu dari pengawasan. Posisi inilah yang antara lain akan diulas dalam paper singkat ini.

(2)

2

A. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A.1. Sejarah Kota

Istilah Surabaya terdiri dari kata sura (berani) dan baya (bahaya), yang kemudian secara harfiah diartikan sebagai berani menghadapi bahaya yang datang. Merujuk pada catatan lama, nilai heroic tersebut salah satunya mewujud dalam peristiwa pertempuran antara Raden Wijaya dan Pasukan Mongol pimpinan Kubilai Khan di tahun 1293. Begitu bersejarahnya pertempuran tersebut hingga tanggalnya diabadikan menjadi tanggal berdirinya Kota Surabaya hingga saat ini, yaitu tanggal 31 Mei.1

Karena itu, kota ini telah memainkan peranan penting peradaban manusia yang menetap di pesisir timur Pulau Jawa sejak beberapa abad silam. Karena itulah tidak salah jika kota ini digolongkan kota yang sangat tua berdirinya di Pulau Jawa.

A.2. Peta Geografi dan Demografi Kota Surabaya

Kota Surabaya terletak di antara 07 derajat 9 menit - 07 derajat 21 menit LS (Lintang Selatan) dan 112 derajat 36 menit - 112 derajat 54 menit BT (Bujur Timur). Tinggi 3 - 6 meter di atas permukaan air laut (dataran rendah), kecuali di bagian selatan terdapat dua bukit landai di daerah Lidah dan Gayungan dengan ketinggian 25-50 meter di atas permukaan air laut. Perbatasan utara adalah Selat Madura, timur dengan Selat Madura, kemudian selatan Kabupaten Sidoarjo, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Gresik. Luas Kota Surabaya adalah 33.306,30 Ha, yang terbagi dalam 31 kecamatan, dan 160 kelurahan. Struktur tanah terdiri atas tanah aluvial, hasil endapan sungai dan pantai, di bagian barat terdapat perbukitan yang mengandung kapur tinggi. 2

Penduduk Surabaya mencapai sekitar 3,110,187 Orang di Tahun 2012.3 Beragam etnis berdiam di kota ini antara lain, Jawa, Madura, Sunda, Batak, Bali, suku-suku dari Kalimantan, suku-suku dari Sulawesi, Melayu, Cina, India, Arab, dan Eropa. Karakteristik masyarakat asli Surabaya adalah mudah bergaul, suka membanyol, gaya bicara sangat terbuka dan cenderung temperamental.

A.3. Kota Perdagangan, Industri dan Dampaknya

Posisinya di tikungan pantai utara Jawa membuatnya menjadi kota strategis sebagai jalur perdagagan. Dulu kala, Surabaya merupakan pelabuhan gerbang utama Kerajaan Majapahit di abad ke-14. Berlanjut pada masa kolonial, letak geografisnya yang

1 Ibid.

(3)

3

sangat strategis membuat pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-19, memposisikannya sebagai pelabuhan utama yang berperan sebagai collecting centers dari rangkaian terakhir kegiatan pengumpulan hasil produksi perkebunan di ujung Timur Pulau Jawa, yang ada di daerah pedalaman untuk diekspor ke Eropa.4

Di era sekarang, Tanjung Perak merupakan pelabuhan penting di wilayah Indonesia Timur. Pelabuhan ini terhubung dengan beberapa kawasan industri dan pergudangan seperti kawasan Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER), Berbek, maupun Margomulyo. Tidak kalah pentingnya adalah dukungan perkantoran untuk menunjang perdagangan dan industri. Di kota ini perkantoran pun tersebar baik di pusat maupun di kawasan pinggiran kota. Di pusat kota berdiri Wisma Intiland, BRI Tower, Bumi Mandiri, dan lainnya. Selain itu baru-baru ini pusat perkantoran berkembang pesat di kawasan Surabaya Barat seiring munculnya pusat bisnis baru di daerah HR Muhammad, kawasan perkantoran dan bisnis di Graha Family dan Pusat perbelanjaan Supermall Pakuwon.

Untuk mendukung kelancaran bisnis, layanan perbankan juga tidak kalah penting. Untuk saat ini, di Surabaya berdiri 61 instansi perbankan yang terdiri atas 6 bank pemerintah, 2 bank pembangunan daerah, 42 Bank Swasta Nasional, serta 11 Bank Internasional.5

Sebagai dampak dari perdagangan dan industri, Kota Surabaya juga dikenal dengan tempat “pelesiran”-nya. Meski sekarang sudah mulai memudar, dulu di Surabaya tumbuh subur bisnis pelacuran yang terkonsentrasi di kawasan Kremil yang sekarang menjadi kawasan pemukiman Tambaksari. Begitu pula daerah Bangunrejo, Bangunsari, dan Tambakrejo, kawasan pemakaman Jarak, Sidokumpul, Putat dan Gang Dolly. Tidak ketinggalan pula Kawasan Sememi (Agam 2013 h. 1-28).

Dalam hal menyinggung tempat wisata paling tua seiring peradaban manusia ini, banyak orang akan mafhum dengan keberadaannya. Sebenarnya, jika dirunut, seperti juga di kota lain, pertumbuhan kompleks pelacuran muncul seiring dengan kegiatan pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa, seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap dan Yogakarta, tepatnya sekitar tahun 1884.

Menurut pengetahuan banyak orang, kompleks Dolly yang seluas lebih kurang 25 hektar terletak di Kecamatan Sawahan dinamakan Dolly, hal yang sebenarnya tidak sesederhana itu. Selain gang Dolly sendiri, masih ada Jarak dan lokalisasi Putat. Memang

menjadi biasa, kalau orang misalnya pergi ke Jalan Jarak, mereka akan bilang “pergi ke Dolly”. Demikian pula kalau mau pergi ke Jalan Putat Jaya.

Penelitian Suyanto (2012: 74-76) menyebutkan di Gang Dolly pada tahun 2005 terdapat sekitar 36 wisma (rumah bordil) yang saling berhadapan. Di sebelah kiri terdapat 18 wisma, dan sebelah kanan berderet-deret terdapat 18 wisma. Malah sekarang ini jumlahnya mengalami kenaikan dan ditaksir mencapai 57 wisma, walaupun Pemerintah Kota Surabaya sebetulnya mulai bersikap agak ketat, dan media massa juga tidak sekali

4 Ibid.

(4)

4

dua kali memberitakan wacana penutupan Kawasan Dolly. Hal yang unik, di Kawasan Dolly adalah keberadaannya di tengah Kota Surabaya dan berbaur dengan perumahan, masjid, taman kanak-kanak dan lain-lain di Kawasan Putat, Surabaya.

Keberadaan komplek pelacuran ini seolah semakin melengkapi dinamika kota ini sebagai kota perdagangan dan industri. Dengan tidak bermaksud membandingkan struktur dan legalitasnya, sarang pelacuran di kota ini lebih bertahan lama untuk tidak secara ditutup dan dihancurkan yang lalu segera berganti menjadi tempat public yang baru. Di Yogyakarta misalnya, bekas lokalisasi di Giwangan sekarang dirubah menjadi Terminal Giwangan. Lokalisasi Kramat Tunggak di Jakarta Utara kini lenyap tak berbekas dan berganti berdiri megah Islamic Centre. Kota-kota lain juga tidak jauh berbeda.

A.4. Kota Kesenian Tradisional dan Modern

Dalam situs Pemkot Surabaya disebutkan, kehidupan berkesenian tradisioal dan modern tumbuh dengan baik dan saling melengkapi membentuk keragaman kesenian di Kota Surabaya. Kesenian panggung yang paling lama bernama Ludruk adalah kesenian rakyat asli Jawa Timur yang juga menjadi maskot Surabaya. Dalam pentas Ludruk, selalu disuguhkan Tari Ngremo yang khas sebagai pengantar adegan pembuka dalam kesenian Ludruk. Kesenian yang konon berasal dari Jombang ini, begitu populer sejak jaman penjajahan hingga saat ini, meski sekarang berangsur menurun terkena dampak perkembangan industri hiburan.

Penting juga untuk dicatat keberadaan Gending Jula-Juli Suroboyo, Kentrung, Okol, Seni Ujung, Besutan, upacara Loro Pangkon, Tari Lenggang Suroboyo dan Tari Hadrah Jidor. Kesenian-kesenian tradisional ini bersanding dengan kelompok kesenian modern yang mengembangkan kreasi modern, misalnya Marlupi Dance dan Gito Maran.6

Perlu ditambahkan pula para seniman modern yang bergerak di dunia tarik suara juga tumbuh pesat di kota ini. Meski tidak semuanya lahir dan besar di Surabaya, namun para musisi ini memulai ketenarannya di kota ini. Sebut saja musisi pop era 1980-an Gombloh, lalu penyanyi dangdut dengan goyang ngebor-nya Inul Daratista, dan grup orkes dangdut Moneta yang mengiringi Evie Tamala. Dalam musik cadas juga tampil grup musik seperti Power Metal, Boomerang, Elpamas, Dewa, Padi dan lain-lain. Untuk seni panggung lawakan tidak boleh melupakan Tessy cs dan Srimulat-nya, begitu pula Cak Kartolo, Blonthang, dan kawan-kawannya.

Keberadaan para musisi tradisional maupun modern ini menunjukkan betapa dunia hiburan menjadi kebutuhan masyarakat Surabaya yang sehari-harinya disesaki dengan kepentingan bisnis dan industri. Menikmati kesenian merupakan sarana pelepasan diri dari kepenatan akibat menjalani roda bisnis yang begitu hidup di kota ini. Dengan begitu, para seniman pada masa itu juga dapat bertahan karena mendapat apresiasi dari penikmat seni, sesuatu yang drastik berkurang sekarang ini.

(5)

5

A.5. Bergolak Di Sekitar Perang Dunia II

Kota Pahlawan, adalah julukan utama bagi Kota Surabaya. Julukan ini disematkan langsung oleh Bung Karno pada tanggal 10 November 1950. Untuk pembangunan tugu pahlawan, peletakan batu pertama berdirinya tugu ini dilakukan tanggal 10 November 1951 yang didirikan di atas reruntuhan gedung yang hancur dalam perjuangan 10 November 1945. Setelah setahun berlalu, pada tanggal 10 November 1952 Presiden Soekarno kembali datang ke Surabaya dan meresmikan Tugu Pahlawan setinggi 45 yard (41,13 meter) itu.7

Peristiwa bersejarah itu tidak dapat dilepaskan dari dentuman pemikiran dan gerakan tokoh-tokoh nasionalis antipenjajahan yang beraktivitas di Surabaya. Lewat persentuhannya dengan pendidikan Belanda, mereka dapat membaca situasi yang terjadi di kancah perpolitikan internasional yang semakin kencang berhembus untuk melenyapkan imperialisme dan kolonialisme. Posisi Belanda dan Sekutu yang mulai goyah di tengah Perang Dunia II dan juga kehadiran tentara Jepang yang hanya sekejap, merubah peta gerakan yang nantinya sangat menentukan bagi kemerdekaan bangsa ini. Para tokoh tersebut mulai tergerak untuk memikirkan nasib bangsa untuk melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan.

Faktor industrialisasi di kota Surabaya waktu itu juga tidak dapat dikecilkan artinya. Dalam catatan Howard Dick yang dikutip Formichi (2012: 16) tentang situasi Surabaya di awal abad 20, digambarkan bahwa Surabaya merupakan salah satu kota utama di Jawa. Para kurun 1900-1914, pertumbuhan industry begitu pesat. Mengacu pada statistik colonial tahun 1915 terdapat sekurangnya sepuluh ribu pekerja yang bekerja di sector industri yang tersebar di seluruh kota. Perang Dunia I memaksa Belanda untuk merubah pola produksi. Material-material manufaktur yang semula gencar diekspor ke Eropa seperti gula, tembakau dan tekstil kemudian diganti dengan barang-barang metal, permesinan dan sector bangunan. Disebutkan bahwa perubahan dan perkembangan industry ini mempekerjakan sekitar dua puluh hingga dua puluh lima ribu pekerja di tahun 1920.8

Dalam situasi kota seperti itulah, tidak mengherankan jika dinamika dan perkembangan pemikiran pun juga turut bersemi. Situasi demikian ini menjadi ajang bagi tumbuhnya individu-individu dengan pemikiran brilian, bahkan hingga menyentuh aspek ideology dan paham keagamaan. Di samping itu, situasi kota demikian ini juga mengundang datangnya perpindahan orang seiring dengan tuntutan dunia industri dan perdagangan.

7 Agam Yousri Nur Raja. Riwayat Surabaya Rek. Dulu, Kini, dan Esok. Surabaya: Cahaya Aura Kasih. 2013 h. 1-28

8 Formichi, Chiara. Islam And The Making Of The Nation Kartosuwiryo and Political Islam in

(6)

6

Jejak Surabaya saat itu membuat setidaknya ada lima tokoh penting yang sangat berpengaruh terhadap pergolakan antiimperialisme dan kolonialisme yang berbasis di kota ini. Dalam Majalah Majalah Surabaya Cityguide Agustus 2013 halaman 16-24 menyebut kelima tokoh itu antara lain Dr. Soetomo, WR. Supratman, Soekarno, HOS. Tjokroaminoto dan KH. Mas Mansur. Tiga nama yang disebut belakangan ini menjadi penting dalam pergerakan kemerdekaan dan juga dalam gerakan keIslaman yang memiliki jejak kuat di kota Surabaya. Mereka bertiga bertemu dengan tokoh sentralnya HOS. Tjokroaminoto.

Sebenarnya masih ada tokoh penting lain yakni Sekarmaji Maridjan Kartosuwiryo

yang juga “murid” Tjokroaminoto di Surabaya. Setelah meninggalkan kampung halamannya di Cepu, Kartosuwiryo belajar di Sekolah Dokter Djawa di Surabaya tahun 1923. Kartosuwiryo mulai belajar Islam dan politik dari Tjokroaminoto, lantas aktif di Jong Islamiten Bond dan bahkan juga besar bersama Partai Sarekat Islam (PSI) yang didirikan Tjokroaminoto.9 Tidak tampilnya nama Kartosuwiryo dalam majalah yang dipimpin oleh Walikota Tri Rismaharini ini tidaklah mengherankan. Sekalipun Kartosuwiryo dianggap salah satu orang dekat Tjokroaminoto, namun garis hidupnya yang berlawanan dengan tokoh-tokoh utama seperti Soekarno menjadikan figure ini seolah kurang dikehendaki.

Adalah Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto atau H.O.S Cokroaminoto intelektual Islam dan juga guru para aktivis pergerakan kemerdekaan kala itu seperti Soekarno, Kartosuwirjo, Semaoen, Muso, Alimin, dan masih banyak lagi. Ia dikenal pemimpin Sarekat Islam (SI), sebuah organisasi politik pertama yang pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang batik Muslim. Jejak peninggalannya di Surabaya kini dapat ditemukan, tepatnya di Jalan Peneleh VII/29-31. Rumah kuno itu diyakini sebagai rumah pahlawan nasional ini.10 Menurut situs Merdeka.com tertanggal 6 September 2012, di rumah itu juga, tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti KH Ahmad Dahlan dan KH Mas Mansyur sering bertukar pikiran.11

Catatan menarik dari rumah ini adalah rumah ini pernah berfungsi sebagai rumah tinggal keluarga Tjokroaminoto dan juga dijadikan rumah indekos bagi para pelajar

Hogere Burgerlijks School (HBS) yang penghuinya antara lain Soekarno, dan kawan-kawannya itu. Rumah ini pun pada perkembangannya juga berfungsi menjadi pondok pesantren kecil yang selain mengajarkan agama juga mengembangkan kemampuan berpolitik agar dapat terlepas dari cengkeraman penjajah kolonial. Di rumah ini pula didirikan Sarekat Islam (SI) yang akhirnya menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia pada tahun 1912. Setelah hampir satu abad kemudian, tepatnya pada tahun 2009, rumah ini resmi dijadikan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Surabaya sesuai SK Walikota Surabaya no. 88.45/251/402.1.04/1996 No. urut 55. Dinyatakan bahwa rumah tersebut pertama kali

9 van Dijk, Cornelis. Rebellion Under The Banner Of Islam: The Darul Islam In Indonesia, KITLV Verhandelingen no. 94.The Hague: Nijhoff, 1981. Lih. juga S. Soebardi. Kartosuwiryo and the Darul Islam Rebellion in Indonesia. Journal of Southeast Asian Studies Vol. 14, No. 1 (Mar., 1983), p. 109

10 Majalah Surabaya Cityguide Agustus 2013 halaman 16-24.

(7)

7

ditemukan pada tahun 1996 oleh Sukmawati Sukarnoputri, putri Soekarno yang meyakini bahwa rumah tersebut merupakan bekas indekos ayahnya.12

Soekarno alias Bung Karno, yang yang kemudian menjadi proklamator dan presiden RI pertama, sempat menetap di Surabaya untuk indekos atau mondok di rumah milik H.O.S Cokroaminoto. Saat itu, Soekarno berusia 15 tahun. Ayah Soekarno, Soekemi Sosrodihardjo, menitipkan Soekarno yang melanjutkan pendidikan di Hoogere Burger School (HBS). Saat itu, tahun 1916, Tjokroaminoto sudah menjadi Ketua Sarekat Islam, organisasi politik terbesar dan yang pertama menggagas nasionalisme.

Cindy Adams, salah seorang penulis biografi Soekarno, menyebutkan bahwa Soekarno mengenang Tjokroaminoto sebagai idolanya. Dia belajar tentang menggunakan politik sebagai alat mencapai kesejahteraan rakyat. Dia belajar tentang bentuk-bentuk modern pergerakan seperti pengorganisasian massa dan perlunya menulis di media. Sesekali Soekarno menulis menggantikan Tjokro di Oetoesan Hindia dengan nama samaran Bima. Soekarno juga kerap menirukan gaya Tjokroaminoto berpidato.13

Satu lagi tokoh pergerakan Islam yang perlu disebutkan di sini yang meninggalkan jejaknya di Surabaya. Dia adalah K.H. Mas Mansur. Jejaknya kini dapat ditelusuri di area gang kecil Kalimas Udik I C. di situ terdapat peninggalan tersisa seperti masjid, yayasan sekolah dan bekas tempat tinggal K.H. Mas Mansur mantan Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Yayasan itu awalnya merupakan pondok pesantren peninggalan ayah Mas Mansur, yaitu K.H. Mas Achmad Marzoeqi. Pondok tersebut berdiri sejak jaman Belanda. Setelah Kyai Achmad meninggal, Mas Mansur lah yang melanjutkan mengurus dan mengajar di pondok. Sekarang telah berubah menjadi sekolah TK- SD Islam Al-Muidah.

Menurut Abdullah Munif (77), salah satu sanak saudara yang pernah menjadi murid K.H. Mas Mansur, Soekarno sering mendatanginya untuk kemudian berziarah bersama ke makam Sunan Ampel. Mas Mansur juga mengenal Bung Karno muda saat bersama-sama mengikuti tabligh ajaran Islam di daerah Peneleh oleh K.H. Ahmad Dahlan.14

K.H. Mas Mansur tergolong keturunan Arab dan sempat belajar di Pesantren Sidoresmo Wonokromo dan Pondok Pesantren Demangan Madura sebelum kemudian meneruskan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Sepulang belajar dari Mesir, dirinya bergabung dalam Syarikat Islam (SI) yang dipimpin oleh HOS. Cokroaminoto. Di dalamnya, ia dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar SI.

Sebelum menjadi Ketua PB Muhammadiyah, tokoh ini banyak terlibat dalam berbagai aktivitas politik umat Islam. Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur termasuk salah seorang dari empat orang tokoh nasional yang diperhitungkan, yang

12 Majalah Surabaya Cityguide. Ibid.

13 Kisah 3 murid Tjokroaminoto: Soekarno, Semaoen, Kartosoewirjo, www.merdeka.com, Kamis, 6 September 2012 12:39

(8)

8

terkenal dengan sebutan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansur. Ketika perang kemerdekaan terjadi, Mas Mansur belum sembuh dari sakit. Namun, ia tetap ikut berjuang memberikan semangat pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya, Ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Bui Kali Sosok Surabaya. KH. Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di kawasan makam Ampel, Surabaya.15 Versi lain menyebutkan Mas Mansur meninggal di rumah setelah dirawat di rumah sakit dan dalam kondisi serba kekurangan.16

A.6. Tonggak Gerakan Paham Nasionalis Religius

Seiring dengan perkembangan perdangan dan industri di kota ini, sebenarnya juga kondisi tersebut berpengaruh pada bidang pemahaman dan pendidikan agama, termasuk agama Islam. Gelombang industri yang diiringi dengan masuknya informasi tentang modernism Islam cukup kuat memberi warna dalam gerakan Islam. Saat itu sering terjadi perdebatan yang mempertemukan antara kelompok modernism Islam dan tradisionalisme Islam.

Apa yang dilakukan oleh HOS. Tjokroaminoto dan kawan-kawannya itu ternyata tidak berjalan beriringan dengan gelombang kelompok tradisionalis Islam saat itu yang dimotori oleh Wahab Hasbullah, Hasyim Asyari dan ulama tradisionalis lain yang nantinya mendirikan Nahdlatul Ulama. Perdebatan mengenai ijtihad, taklid, bid’ah dan kafir ini telah meruncing pada saat itu, sebagaimana dikutip Greg Fealy dalam disertasinya yang

diterjemahkan Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar berjudul “Ijtihad Politik Ulama.

Sejarah NU 1952-1697”.

Pada tahun 1916 sebuah madrasah atau sekolah dasar modern tetapi digagas oleh pembela tradisi bernama Nahdlatul Wathan didirikan di Surabaya oleh Wahab Chasbullah dan Mas Mansur, yang kemudian bergabung dengan Muhammadiyah. Staf pengajar Nahdlatul Wathon terdiri dari banyak ulama tradisionalis muda seperti Bisri Syansuri (1886-1980), Abdul Hakim Leimunding dan Abdullah Ubaid (1899-1938), yang kesemuanya di kemudian hari turut mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) di tahun 1926. Cabang-cabang Nahdlatul Wathan segera dibuka di kota-kota lain di Jawa.

Pada tahun 1918, Wahab Hasbullah dan ulama senior Surabaya KH. Ahmad Dahlan dari Kebondalem membentuk kelompok diskusi yang dinamakan Tasywirul Afkar.

Kelompok itu menyelenggarakan forum debat antara kaum modernis dan kaum tradisionalis mengenai isu keagamaan, seperti ijtihad dan taklid. Wahab Hasbullah dikenal

15 Majalah Surabaya Cityguide. Ibid.

(9)

9

pembela ahlussunnah wal jamaah dan mengikuti ajaran para wali hingga Pangeran Diponegoro. Karena itulah ia tidak pernah melepaskan surban dan sarungnya.17

Semangat untuk melakukan perubahan versi kelompok tradisionalis terus menyala. Pada tahun yang sama, Wahab bersama Hasyim Asyari (1871-1947), mendirikan sebuah koperasi dagang yang berusia pendek, Nahdlatul Tujjar untuk kalangan tradisionalis di wilayah Surabaya-Jombang, Jawa Timur.18

Jaringan antartokoh penjaga Islam tradisi terus berlanjut dan pada 31 Januari 1926, sebuah kelompok yang terdiri dari lima belas kiai terkemuka berkumpul dan kembali bertempat di rumah Wahab Chasbullah (1888-1971) di Kertopaten, Surabaya. Dalam kesempatan itu mereka memikirkan langkah bersama untuk mempertahankan kepentingan mereka dan bentuk Islam tradisional yang mereka praktikkan. Setelah melalui diskusi, mereka memutuskan mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) untuk mewakili dan memperkokoh Islam tradisional di Hindia Belanda.19 Dalam pertemuan itu juga dibahas delegasi Komite Hijaz isinya di antaranya adalah, tuntutan makam Nabi Muhammad dan situs-itus sejarah Islam tidak dibongkar serta dibolehkannya praktik madzhab yang beragam selain Wahabi.20

Gerakan NU di Jawa Timur selanjutnya lebih banyak bergerak di bidang pendidikan dan politik yang bercorak nasionalis religius. Ketika revolusi fisik meletus, tokoh-tokoh NU tidak tinggal diam. Mereka mengadakan rapat di Surabaya pada tanggal 22 Oktober 1945 yang menghasilkan “Resolusi Jihad” yang menyatakan bahwa perjuangan untuk merdeka adalah perang suci (jihad). Berjuang menentang kembalinya tentara Sekutu (termasuk Belanda) dinyatakan sebagai kewajian setiap muslim (fardlu ain). Berita tentang resolusi itu menyebar cepat dan menjadi kekuatan bagi perlawanan umat Islam.21 Kaitan antara resolusi jihad dan peristiwa 10 Nopember 1945 pada saatnya pernah dikaburkan, namun belakangan mulai terkuak kaitan antara semangat perlawanan untuk mengusir penjajahan ini dengan resolusi jihad ini.

Wahab Hasbullah yang meski kelahiran Tambakberas, Jombang, namun juga beraktivitas dalam memainkan politik dan gerakannya di Surabaya. Ia dikenal pribadi yang anti Belanda. Antipatinya terhadap pemerintahan Belanda itu paling tidak dapat disimak dari joke-nya yang dituliskan Munim Dz. Bahwa pernah suatu pidato, Wahab Hasbullah meminta para ulama dan generasi muda santri untuk jangan sekali-sekali terbersit, apalagi

17 Munim, DZ. Kiai Wahab Hasbullah, Pahlawan Tanpa Gelar. http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,13-id,39322-lang,id-c,tokoh-t,Kiai+Wahab +Hasbullah++Pahlawan+Tanpa+Gelar-.phpx

18 Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulaa. Sejarah NU 1952-1697. Yogyakarta: LKIS. 2003. hal .29-30. 19 Fealy, Greg. Ibid. hal. 21.

20 Munim, DZ. Ibid.

(10)

10

bercita-cita sebagai Ambtenaar (pegawai Belanda). Mereka celingukan. Lalu diteruskanlah,

Ambtenaar itu singkatan dari Antum fin Nar. Kontan hadirin pun tertawa.22

Jejak peninggalan NU masih kuat mengakar di Surabaya hari ini. Gedung PWNU berdiri megah dengan dua lantai di Kawasan Menanggal yang berseberangan dengan Masjid al Akbar Surabaya. Pemikiran-pemikiran Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) yang sekarang ditambahkan NU menjadi AswajaNU masih terpelihara ditengah berulangnya

perdebatan klasik tentang bid’ah, syirik dan seterusnya.

Belakangan, PWNU Jawa Timur pun berinisiatif mendirikan stasiun TV yang dinamaan TV9. Stasiun tv ini dimiliki oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur dan dikelola oleh PT. Dakwah Inti Media. TV9telah memperoleh izin Tetap Penyelenggaraan Penyiaran dari Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia tertanggal 23 Juli 2012 untuk melakukan siaran di kanal 42 sebagai lembaga penyiaran swasta di Surabaya/Jawa Timur. Program andalan untuk menyebarkan paham AswajaNU dinamakan Kiswah dengan jam siar pagi dan malam. Dalam program siaran ini, kyai-kyai dan dai berwawasan AswajaNU tampil yang biasanya rekaman dari pengajian umum yang berlangsung sebelumnya di suatu tempat di sekitar Jawa Timur. Kantor pengelolaan tv ini terletak di kawasan elite Jalan Dharmo, Surabaya.

Budaya material di Surabaya juga tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Makam dan Masjid Sunan Ampel yang terletak di kawasan Surabaya utara. Di Surabaya-lah tempat hijrahnya Sunan Ampel disertai langkahnya dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa. Sunan Ampel adalah wali yang dituakan di antara Sembilan wali. Makam ini hingga kini masih ramai dikunjungi oleh ribuan peziarah. Saat ini, kegiatan ziarah Wali Sanga selalu diawali dari Surabaya sebelum menuju ke Gresik, Lamongan, Tuban, Gunung Muria, Kudus, Demak serta berakhir di Cirebon, Jawa Barat.23 Belakangan juga ramai kunjungan orang-orang ke Makam Sunan Bungkul yang terletak di pinggir Jalan Raya Darmo, Surabaya. Letak makam ini persis di Taman Bungkul yang ramai dengan kios makanan dan rindangnya tanaman. Di sebelah makam juga terdapat ruang terbuka yang sering digunakan untuk senam pagi pada hari-hari libur.

B. PETA PERBUKUAN DI SURABAYA

B.1. Buku Arus Utama

Sebagai kantong masyarakat Islam tradisional, maka buku-buku yang paling dominan beredar adalah buku-buku tuntutan amaliyah sehari-hari yang lekat dengan tradisi dan sering dikatakan dengan istilah buku tuntunan yasin dan tahlil. Termasuk di dalamnya juga buku tuntunan Shalat praktis. Buku-buku seperti ini menurut penuturan pihak IKAPI Jawa Timur masih paling dominan diminati masyarakat. Minat baca untuk buku-buku sejenis ini masih paling tinggi. Segmen pasar untuk buku-buku seperti itu

22 Munim, DZ. Ibid.

(11)

11

cukup luas yaitu kalangan pesantren dan juga masyarakat umum yang dapat menemukannya dengan mudah di kios-kios PKL, angkutan umum, pengajian umum dan seterusnya.24

“Ciri-ciri buku buku keagamaan seperti ini tampilannya tipis dan harganya relatif murah. Isinya juga sederhana tidak membahas hal-hal yang dianggap kontroversi. Beda dengan buku-buku yang dianggap controversial. Judulnya biasanya dibuat sekontroversi mungkin. Penerbit bukan sekadar sebar ilmu, tetapi juga mempunyai tujuan komersil. Judulnya dibuat sedemikian rupa, jadinya laku keras. Kalau misalnya menulis tentang puasa, itu biasa-biasa saja”25

Dilihat dari sisi penerbit yang menerbitkan buku-buku tersebut di atas juga tidak terhitung jumlahnya. Tidak semua penerbit buku-buku seperti itu terdaftar dalam IKAPI Jawa Timur. Mengacu data Ikapi Jawa Timur, di Jawa Timur terdapat lebih kurang 100 penerbit yang menjadi anggota Ikapi Jawa Timur. Untuk di Surabaya sendiri terdapat 47 penerbit yang terdaftar sebagai anggota Ikapi.

Karena di Surabaya dan Jawa Timur, sekolah-sekolah yang dikelola NU di bawah lembaga Maarif-nya, maka buku-buku ke-NU-an juga tidak kalah besar jumahnya. Buku-buku itu merupakan Buku-buku pelajaran yang dijadikan acuan oleh guru-guru di bawah lembaga tersebut. Salah satu penerbit yang memproduksi buku-buku ke-NU-an seperti ini adalah Penerbit Misykat Indonesia yang berbasis di Malang. Bahkan, buku-buku penerbit ini juga telah menjangkau wilayah Sulawesi Selatan.26

Selain itu buku-buku tahlil dan yasin, di Surabaya juga terdapat beberapa penerbit buku yang menerbitkan buku keagamaan bernuansa pemikiran. Di antara buku-buku pemikiran tersebut terdapat juga buku-buku hasil terjemahan yang kebanyakan berasal dari Bahasa Arab. Buku-buku ini juga beredar luas di masyarakat terpelajar yang ingin mendapatkan informasi dari buku secara lebih cepat dan mudah. Beberapa buku itu sebenarnya buku wajib dipelajari di pesantren-pesantren dan tergolong ke dalam kitab kuning.

Terdapat beberapa penerbit di Kota Surabaya juga menekuni di bidang kajian keislaman. Untuk menyebut di antaranya, di sini disinggung salah satu penerbi besar yang belakangan dibilang cukup merajai buku-buku keagamaan, yaitu Penerbit Pustaka Elba. Informasi ini diperkuat oleh beberapa pengurus Ikapi Jawa Timur. Sebenarnya masih ada beberapa penerbit lain seperti Penerbit Bina llmu, Ahmad Nabhan dan seterusnya. Namun, kedua penerbit yang cukup lama itu belakangan tidak cukup aktif di Ikapi Jawa Timur. Berbeda dengan Penerbit eLba yang lebih aktif di asosiasi perbukuan ini.

24 Wawancara dengan Abdul Muiz Nahari, Ketua Ikapi Jawa Timur, wawancara, tanggal 7 Oktober 2013. 25 Abdul Muiz Nahari, Ibid.

(12)

12

Seperti disampaikan dalam company profile-ya, Pustaka Elba berada dalam naungan PT. Elba Fitrah Mandiri Sejahtera (PT. eFMS) yang beralamat diRuko Galaxi Bumi Permai Blok G6 No. 16 Jl. A.R Hakim 20-36 Surabaya. Perusahaan ini bermula dari distributor CV. Fitrah Mandiri Sejahtera (FMS) yang didirikan pada tanggal 6 Agustus 2002.

CV. FMS dirintis dan didirikan oleh Ainul Haris, seorang alumni Timur Tengah, bersama Ansharul Adhim dan Deddy Ardiansyah Suis. Awalnya perusahaan ini hanya berstatus sebagai distributor umum. Enam tahun kemudian tepatnya tanggal 23 Juni 2008, dalam upaya pengembangan distribusi dan produknya didirikanlah unit penerbitan yang diberi nama Pustaka eLBA dan sekaligus mendirikan pecetakan sehingga memantapkan keberadannya dalam usaha distributor, penerbitan dan percetakan dengan nama PT. eLBA Fitrah Mandiri Sejahtera.

Direktur Utama saat itu adalah Ainul Haris, sementara Direktur dijabat Deddy Ardiansyah Suis dan Komisaris dijabat Ansharul Adhim. Pada tanggal 11 Januari 2011 telah terjadi perubahan susunan anggota pengurus yaitu Komisaris Ainul Haris, Direktur Utama Deddy Ardiansyah Suis dan Direktur Ansharul Adhim.

Pustaka eLBA sebagai sebuah nama penerbitan dirintis pada tahun 2002. Dalam proses perjalanannya, Pustaka eLBA baru bisa berjalan dengan normal sejak pertengahan tahun 2004. Sejak itulah kemudian buku-buku terbitan Pustaka eLBA terus terbit. Kini, Pustaka eLBA berkembang cukup menggembirakan, dan telah menjadi salah satu penerbit Islam yang diperhitungkan dari Indonesia Timur, khususnya dari kota Surabaya. Penerbit ini ingin mendobrak pemahaman umum bahwa Surabaya diidentikkan sebagai kota yang sepi dari penerbit Islam. Selama ini, kalau pun disebut memiliki sejumlah penerbit Islam, tetapi penerbit yang identik dengan kertas buram dengan kualitas cetak yang buruk, dan dipasarkan di bis-bis umum atau di kereta api. Kota Surabaya, bahkan kalah jauh dibanding dengan kota kecil, seperti Solo dan Jogyakarta yang memiliki sejumlah penerbitan berskala nasional. eLBA berusaha menjadi wakil terbaik kota Surabaya dalam hal penerbitan buku-buku Islam, insya Allah.

Buku-buku yang diterbitkan oleh Pustaka eLBA adalah buku-buku yang dipilih secara ketat yang mencakup antara lain 1. Aqidah dan Tauhid. 2. Tazkiyatun Nufus (Penyucian Jiwa). 3. Motivasi dan Pengembangan Diri. 4. Motivasi Akhirat. 5. Fiqih (Hukum-hukum dan Ibadah Sehari-hari). 6. Wanita Shalihah. 7. Akhlak dan Etika. 8. Remaja Islam. 9. Dakwah dan Materinya. 10. Sejarah dan Kisah. 11. Pendidikan Islam. 12. Keluarga Sakinah. 13. Masyarakat Islam.27

Buku-buku yang diterbitkan penerbit ini antara lain berjudul “Tarjamah Tafsir Jalalain 1”, “Tarjamah Tafsir Jalalain 2” dan “Tarjamah Tafsir Jalalain 3”, kemudian “Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah”, “Hadis-Hadis Populer” dan sebagainya. Tidak ketinggalan juga penerbit ini juga menerbitkan buku-buku tuntunan praktis seperti “102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara”, “30 Wasiat Takwa di Bulan Puasa”, “108 Obat Mengusir Gelisah, Panduan Etika Muslimah” dan sebagainya.28

(13)

13

Buku-buku tuntunan praktis seperti terbitan Penerbit eLba ini ternyata masih menduduki rangking pertama dari segi penjualan di Kota Surabaya. Hal ini terafirmasi ketika mengunjungi salah satu toko buku besar, Toga Mas di Kawasan Margorejo. Mengunjungi toko buku ini tanggal 25 September 2013, di toko buku ini, tepatnya di tikungan tangga, pengunjung disuguhi rak-rak kecil yang bertuliskan, best seller 1 sampai

best seller 5. Best seller 1 ditempati oleh buku berjudul “Yuk, Berhijab!” Karangan Felix Y. Siauw. Beda lagi di Best Seller 2 dan seterusnya sampai Best Seller 5. Naik lagi ke lantai 2, buku-buku keagamaan Islam yang cukup banyak tersedia di lantai 2 toko buku ini, siap menyambut kedatangan pengunjung.

Petugas marketing toko buku ini menimpali pertanyaan sembari menata buku-buku dagangan di rak. Petugas marketing toko buku-buku yang menyasar segmen pada pembeli remaja ini menyebutkan, buku keagamaan Islam yang paling laris dua-tiga bulan terakhir ini adalah buku-buku karangan Felix Y. Siauw, antara lain yang berjudul “Yuk,

Berhijab!” dan “Udah, Putusin Aja!” Buku-buku penulis ini diterbitkan oleh Penerbit Mizania, grup Mizan, Bandung. Menurutnya, di toko buku ini saja sudah tercatat 300-an eksemplar buku yang terjual sejak terbit pertama kali Juli 2013 yang baru lalu. Belum lagi di toko buku Toga Mas lain di Surabaya.29 Buku ini sebenarnya sejenis buku tuntunan praktis keIslaman, lebih tepatnya ajakan untuk berjilab pada buku “Yuk, Berhijab!”, namun disajikan dalam bentuk komik. Dengan komik, pembaca muda dianggap akan lebih tertarik dengan tuntunan yang tidak melelahkan membacanya. Kemasan dan bentuk komik yang menarik membuat buku ini menjadi best seller.

B.2. Buku-Buku Kontroversial di Surabaya

Secara umum, buku-buku controversial yang pernah menimbulkan kegelisahan masyarakat di kawasan Surabaya dan sekitarnya, tidak begitu jauh berbeda dengan fenomena pertarungan antara kelompok tradisional dan modernis dalam memahami Islam yang pernah terjadi di kota ini. Perdebatan yang menguat di awal abad kedua puluh lalu itu, sekarang ini masih tetap relevan untuk mendalami sejauh mana tingkat kontroversi buku-buku yang beredar di masyarakat Surabaya. Kesimpulan awal ini terkonfirmasi dari penelusuran lapangan, baik melalui wawancara mendalam maupun observasi. Dengan demikian, maka artinya pola pemikiran kontroversi belum banyak beranjak dari perdebatan lama seabad lampau yang masih saja direproduksi belakangan ini.

Harus diakui, untuk membatu mengetahui peta buku-buku kontroversial lebih dalam, informasi dari pihak IKAPI Jawa Timur yang disambangi pada saat preliminary

research sangatlah membantu. Menurut wakil Ketua IKAPI Jawa Timur, Dadang yang

didatangi di kantornya di kawasan Kutisari Surabaya, baru-baru ini orang di Surabaya dan sekitarnya ramai membicarakan buku yang menyerang ritual sehari-hari warga nahdliyyin yang ditulis oleh Mahrus Ali, yang mengaku dalam bukunya sebagai “Mantan Kyai NU”. Bukunya antara lain berjudul, “Mantan Kyai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik

(Nariyah, al Fatih, Munjiyat, Thibul Qulub)” terbitan Laa Tasyuk! Press, Surabaya. Buku ini

(14)

14

cukup ramai dicari oleh para pembeli buku, karena isinya menyerang praktik-praktik keagamaan orang-orang NU.

Kontroversi penulis ini tidak berhenti di sini. Mahrus Ali juga menulis buku lain

berjudul “Amaliah Sesat di Bulan Ramadhan (Kesyirikan Ngalap Berkah Kubur, Ruwahan,

Megengan, dan Kesesatan Dzikir Berjamaah di Sela-sela Shalat Tarawih)”. Tentulah masih sebuah kritik terhadap amaliah warga nahdliyin yang dianggap tradisionalis.

Di Toko Buku Toga Mas terbesar di Surabaya yang terletak di Jalan Diponegoro, buku-buku Mahrus Ali dapat ditemukan dengan mudah. Informasi yang berbeda ditemukan di Toko Buku Gramedia terbesar di Surabaya yang berlokasi di Dyandra Convention Center, Jalan Basuki Rahmat. Di toko buku ini, buku-buku Mahrus Ali tidak tersedia. Judul bukunya masih dapat dilacak di computer, namun wujud fisiknya sudah tidak tersedia. Pihak customer service menyampaikan, bahwa buku-buku Mahrus Ali terakhir tersedia awal tahun 2011. Buku itu dipajang selama beberapa waktu saja, lalu tidak diperpanjang lagi (discontinued). Ketika dilacak di Gramedia di Surabaya yang lain dan juga Gramedia di Malang, buku tersebut juga sudah tidak tersedia lagi. Alasan mengapa discontinued, diperoleh informasi bahwa yang menentukan Kantor pusat Gramedia Jakarta.30

Selain penulis seperti Mahrus Ali, di Surabaya juga terdapat penulis lain yang mengundang kontroversi. Ia adalah Agus Mustofa yang berdomisili di wilayah Menanggal Surabaya. Ia menulis buku berkisar tentang al Quran dan dikaitkan dengan logika sains. Terkadang, ia menafsirkan ayat al Quran dengan pendekatan logika sains atau ilmu alam.

Bahwa buku-buku seperti itu mempengaruhi pembaca diakui juga oleh pengurus IKAPI yang lain bernama Sofie yang juga pengusaha penerbitan buku ini. Paling tidak, buku-buku tersebut banyak diperbincangkan di masyarakat. Seringkali yang dijumpai, kalangan tokohlah yang membeli dan mengonsumsi buku tersebut. Lantas, hasil bacaan itu direproduksi kepada para jamaah dalam forum-forum pengajian serta forum diskusi. Buku itu sebagai bahan bacaan untuk disampaikan kepada jamaah. Jadi dapat dikatakan, buku-buku itu berdampak kepada masyarakat.

Begitu pula, buku-buku radikal pun, menurtnya, sekalipun tampak kurang laku di toko buku, namun sebenarnya juga jelas segmentasinya. Hal ini terlihat misalnya dalam pameran buku yang di Surabaya, biasanya diadakan pada bulan Januari. Buku-buku radikal Islamis laku dibeli oleh pembeli-pembeli khusus dan sekali beli, biasanya langsung ratusan ribu.31

Membandingkan tingkat kontroversi buku-buku Mahrus Ali dengan Agus Musthofa, menurut pengurus IKAPI Jawa Timur ini, buku Agus Mustofa memang mengundang kontroversi, terutama jika memperhatikan judulnya. Namun, setelah dibaca, banyak orang mengatakan tidaklah sekontroversi judulnya. Hal menarik di sini adalah, terdapat gejala umum bagaimana buku supaya laris di pasar.

(15)

15

Dapat dikatakan bahwa temuan di lapangan menunjukkan buku-buku kontroversial yang tersedia di rak-rak toko buku masih sekitar masalah penolakan taklid,

tuduhan bid’ah dan syirik. Meskipun barangkali larisnya buku-buku seperti ini belum bisa menyamai larisnya buku-buku tuntunan praktis seperti buku tulisan Felix Y. Siauw di atas, buku-buku dengan ciri tersebut tetap menghentak di pasaran.

Untuk kategori buku yang bernuansa liberal, dengan kuatnya penolakan pada taklid, belakangan ini diwakili oleh tulisan-tulisan seperti tulisan Agus Mustofa. Adapun buku-buku yang cenderung radikal dengan mengulang kembali tuduhan bid’ah dan syirik direpresentasikan oleh buku-buku tulisan Mahrus Ali. Untuk buku bercorak moderat, lebih banyak diterbitkan untuk meng-caunter buku-buku liberal dan radikal tersebut. Ketiga model ini dapat tergambar dari hasil penelitian di Surabaya baru-baru ini.

B.2.1 Buku-Buku Liberal (Penolakan Taklid)

Di Surabaya, buku-buku terkategori liberal dengan pengertian bebas dari ikut-ikutan semata (taklid) dewasa ini dapat dilihat pada bebeapa judul buku yang ditulis mantan jurnalis Jawa Pos, Agus Mustofa. Belakangan ini ia juga mengelola jejaring sosial, Ngaji Online yang diubah menjadi Diskusi Tasawuf Modern (DTM) yang cukup menghebohkan di dunia maya dan juga komunitas pengajian di Surabaya khususnya.

Di toko buku besar seperti Gramedia dan Toga Mas di Surabaya, buku-buku Agus Mustofa dalam berbagai judul ditempatkan dalam satu susunan rak tersendiri yang memberi sinyal bahwa buku-buku penulis yang terdiri dari berbagai judul yang “agak” kontroversial itu, cukup laris terjual. Judul-judulnya dapat disebutkan di sini antara lain,

“Sang Atheis pun Menerima Konsep Takdir”, “Ibrahim Pun Pernah Atheis”, Ternyata Akhirat (Masih) Tidak Kekal” dan sebagainya. Beberapa buku dari penulis ini sebenarnya salinan dari interaksi penulis dengan pembacanya di akun fesbuk-nya. Ada juga memang buku yang disunting sendiri, tanpa melibatkan respon dari kalangan pembaca fesbuk-nya.

Agus Mustofa memang dikenal dengan buku-bukunya dengan judul berbau kontrversial selain di atas, misalnya saja berjudul “Ternyata Akhirat Tidak Kekal”, “Tahajud

Siang Hari Dhuhur Malam Hari”, “Ternyata Adam Dilahirkan”, “Adam Tak Diusir dari Surga”, “Memahami Al Quran Denga Metode Puzzle”, “Jangan Asal Ikut-Ikutan Hisab & Rukyat”, dan lain-lain.32 Sejauh ini, menurut pengakuannya, telah terbit 47 judul buku selama lebih kurang sepuluh tahun ini, sejak ia meninggalkan tempat kerjanya di Jawa Pos Group tahun 2003.33

Menurut pengakuannya, ia sebenarnya mengisi ruang kosong bidang penulisan agama dan sains yang tidak banyak orang berkutat di dalamnya. Menurutnya, tidak banyak penulis di bidang ini yang bertahan lama. Karena itu ia memutuskan untuk menulis di bidang ini. Ia menyadari bakat menulisnya lambat ia temukan. Bakat menulisnya sebenarnya belum ia rasakan sebagai sesuatu yang nantinya membesarkan namanya di

32 Katalog Padma Press.

(16)

16

dunia perbukuan hingga ia menjelang lulus kuliah. Ia baru menulis agak panjang sampai 300 halaman ketika menyelesaikan Tugas Akhir kuliahnya di Jurusan Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan nilai A. Dosen pembimbingnya salut dengan gaya tulisannya.

Lantas ia bekerja di Surabaya setamat dari UGM, dan mencoba menulis artikel opini di Jawa Pos yang isinya membantah tulisan seorang penulis lain yang membahas bumi akan mati. Saling membalas tulisan pun berlanjut dengan lawan tandingnya itu yang kebetulan seorang wartawan Jawa Pos. Sampailah datang tawaran dari Dahlan Iskan dalam suatu pertemuan, pemimpin redaksi Jawa Pos saat itu kepadanya untuk menjadi wartawan Jawa Pos. Akhirnya ia putuskan untuk bergabung ke Jawa Pos.

Setelah sekitar tiga belas tahun berkarir di Jawa Pos, hingga mengepalai JTV ia akhirnya berpikir ulang untuk meneruskan karirnya di dunia jurnalistik yang telah membesarkan namanya. Keinginannya untuk menjadi penulis buku dan menerbitkannya

sendiri semakin besar, setelah buku pertamanya berjudul “Pusaran Energi Ka’bah” laku

keras. Saat itu ia sudah mempunyai daftar judul-judul buku yang ia asumsikan pasti meledak di pasaran, di samping daftar judul buku yang mungkin akan direaksi biasa saja.

Maka setelah buku “Pusaran Energi Ka’bah” tidak lagi diterbitkan Jaw Pos Book, maka ia

berani menerbitkannya sendiri dengan bendera Padma Press. Sejak tahun 2003 itulah, ia memutuskan untuk total di dunia perbukuan dengan menjadi penulis, menerbitkan bukunya sendiri dan memasarkannya.

Ketrampilannya menulis terasah berkat dunia kewartawanan yang digelutinya.

“Selama masih di Jawa Pos, saya dituntut untuk mendapatkan sampai lima berita sehari dan dituntut juga angel-nya harus berbeda dengan media lain. Jika diketahui angle-nya sama, kontan kena semprot redaktur. Apalagi setiap hari masalahnya berbeda. Itu yang menuntut supaya jeli mengambil angel dan, cepat menulis dan juga cepat melakukan analisis.”34

Oleh sebab itu, ia mengakui tulisan-tulisannya tidaklah bersifat scientific murni dengan aroma daftar pustaka yang ketat. Di dalam buku-bukunya, ia tidak mencantumkan daftar pustaka. Hanya ia menyebut referensi langsung di tengah-tengah tulisan buku. Ia sengaja mendesain bukunya seperti ini untuk memberi kenyamanan pembaca. Tidaklah mengherankan jika ada yang mengatakan bukunya itu, buku sekali duduk. Artinya sekali duduk membaca, selesai dan paham.

Undangan seminar dan diskusi yang datang bertubi-tubi setelah bukunya yang berjudul, “Ternyata Akhirat Tidak Kekal” terbit. Sebelum terbit, ia datang ke kediaman KH Mustofa Bisri (Gus Mus) di Rembang untuk berdiskusi mengenai pemahamannya tentang ketidakkekalan akhirat dan memintanya untuk menuliskan kata pengantar terhadap bukunya yang bakal terbit itu. Gus Mus juga hadir dan memberi sambutan dalam peluncuran buku tersebut di Surabaya. Sejak saat itu, ia diundang kalangan kampus di

(17)

17

berbagai kota dan juga masjid-masjid untuk mempertahankan pendiriannya. Pesantren pun ia datangi, termasuk di Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo dan juga Pesantren Termas, Pacitan.

Ia menyadari kritikan datang kepada buku-bukunya. Sejumlah kritikan itu antara lain menilai buku-bukunya terlalu memanjakan akal dalam memahami agama, menggunakan ayat-ayat mutasyabihat dan juga jarang menggunakan hadis. Di awal-awal ia menulis, kritikan begitu datang secara sporadic. Namun belakangan mulai mereda dan menurutnya jauh lebih banyak menerima.

Selama ini, ia tidak mengalami keberatan atau menerima protes secara kelembagaan. Lembaga-lembaga otoritatif seperti NU, Muhammadiyah, MUI dan sebagainya tidak bersuara mengenai buku-bukunya. Hanya saja, para individu pengurus dari lembaga-lembaga keagamaan itu satu dua ada yang bersuara. Kebanyakan mereka terbelah menyikapi buku-bukunya.

“Saya pernah mengalami penolakan di Palembang. Salah seorang pengurus

MUI di kota itu pernah memprotes keras dan dia akan menolak kalau saya datang lagi. Ditanya oleh panitia, sudah membaca bukunya belum? Ternyata ia belum membaca buku saya. Kemudian dia membaca. Nah, setelah membaca ia baru

terbuka dan saya boleh datang lagi. Hahaha.”35

Ia tidak setuju dirinya dikatakan liberal. Sejarawan Australia Merle C. Ricklef pernah menemuinya di kantornya dan menggolongkan dirinya pada kelompok liberal. Ia membantahnya bahwa dirinya bukan liberal. Dalam pemahamannya, liberal itu lebih kuat konteks dan cenderung lepas dari teks. Sebalinya, dirinya mencoba untuk tetap menggunakan teks untuk berbicara mengenai konteks.

Selain menulis buku-buku dengan judul kontroversial di atas, Agus Mustofa juga menulis buku-buku tasawwuf seperti buku dengan judul Bersatu dengan Allah, Ma’rifat di Padang Arafah dan seterusnya. Buku-buku seperti itu menurutnya masih jarang orang menulisnya.

Ia mengakui 80 persen bukunya best seller di pasaran. Buku Akhirat Tidak Kekal

telah naik cetak sebanyak 20 kali, sedangkan buku pertamanya Energi Pusaran Ka’bah

telah naik cetak sebanyak 25 kali. Pembaca terbesar berusia di antara 30-40 tahun. Mereka rata-rata berpendidikan tinggi, berkarakter Islam perkotaan dan kurang mendalami agama. Rata-rata mereka adalah para professional.

Ia menerbitkan dan memasarkan buku-buku tulisannya sendiri dengan bendera Padma Press. Berkat jerih payahnya itu, ia telah memperolah miliaran rupiah. Kini, dua anak pertamanya kuliah di Australia dengan biaya sendiri. Di kantornya di kawasan Menanggal, Surabaya selatan, nangkring Nissan Juke dan Suzuki Ertiga.36

35 Agus Mustofa, Ibid.

(18)

18

Kasus lain tentang buku liberal bernuansa kiri yang mengandung kontroversi, hal ini pernah terjadi di IAIN Sunan Ampel Surabaya di tahun 2009. Waktu itu diselenggarakanlah bedah buku berjudul “Fiqh Lintas Agama” yang disusun oleh tim Paramadina yang di dalamnya antara lain ahli tafsir seperti Kautsar Azhari Noer dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada acara bedah buku itu, Kautsar sendiri datang dan menyampaikan paparannya. Saat itu ruangan bedah buku penuh, sampai tidak muat. Bukunya sendiri juga laris terjual pada acara bedah buku itu.

Seperti di tempat lain, buku ini cukup menghebohkan karena mengganggu pemahaman keIslaman kelompok mainstream. Karena khawatir akan ekses buku ini kepada mahasiswa IAIN Sunan Ampel, maka muncul himbauan secara tidak tertulis dari Depag kepada pengurus kampus agar buku itu ditarik dari kampus tersebut. Walhasil, sekarang ini, buku tersebut tidak lagi tersedia di Perpustakaan IAIN Sunan Ampel, baik di tingkat sarjana maupun Pascasarjana.37

Informasi yang disampaikan oleh staf perpustakaan kampus ini, beberapa dosen di kampus IAIN Sunan Ampel juga produktif menulis buku, namun lebih banyak menulis buku-buku yang berkaitan dengan hikmah ibadah. Bukan yang mengarah pada polemik di masyarakat.

B.2.2. Buku-Buku Radikal (Tuduhan Bid’ah dan Syirik)

Salah satu penulis lain yang buku-bukunya sempat menimbulkan keresahan warga masyarakat adalah Mahrus Ali. Penulis ini berdomisili di Sidoarjo. Selama ini, buku-bukunya banyak menyinggung kelompok tertentu terkait dengan amalan ibadah yang dipraktikkan oleh kelompok tersebut. Lebih menghebohkan lagi karena ia membuat

predikat dirinya dalam cover bukunya selalu dengan sebutan “Mantan Kyai NU”. Buku

-bukunya dengan judul yang menghebohkan antara lain, “Mantan Kyai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik”, “Mantan Kyai NU Membongkar Praktik Syirik Kiai, Habib dan

Gus Ahli Bid’ah”, “Amaliyah Sesat di Bulan Ramadhan (Kesyirikan Ngalap Berkah Kubur, Ruwahan, Megengan, dan Kesesatan Dzikir Berjamaah di Sela-Sela Shalat Tarawih)”, dan lain-lain. Buku-bukunya diterbitkan oleh Penerbit Laa Tasyuk! Press, Surabaya.

Penulis ini sebenarnya telah menawarkan ke sebuah penerbit besar di Surabaya, penerbit Bina Ilmu, namun penerbit tersebut menolak begitu mengetahui isi dari buku tersebut. Pertimbangannya karena menghindari dampak di masyarakat. Akhirnya diterbitkan oleh penerbit La Tasyuk Press yang dianggap memiliki kesamaan pemahaman dengan Mahrus Ali.38

Mahrus Ali diketahui pernah belajar di Pesantren Langitan Tuban, di bawah pengasuhan alm. KH. Abdullah Fakih. Setelah itu, ia melanjutkan studi di Mekah selama beberapa tahun. Perubahan sikapnya itu ia tunjukkan sekembalinya dari belajar di Mekah

37 Wawancara dengan Sirojul Arifin (Kepala Perpustakaa IAIN Sunan Ampel Surabaya), tanggal 27 Oktober 2013.

(19)

19

ini. Ia termasuk penulis yang produktif. Sebelum bukunya diterbitkan ia telah menyiapkan 70 naskah buku.

Buku-buku Mahrus Ali menjadi masalah karena ia menggunakan sebutan “Mantan Kyai NU”. Kontan istilah ini menimbulkan gejolak karena menyinggung kelompok nahdliyyin. Setelah didesak, ia mengaku ternyata sebutan itu datang dari pihak penerbit, dan bukan dirinya.39

Penulis ini juga mempunyai jamaah yang disebutnya Daarul Quran. Berbeda dengan kebanyakan kaum Muslim, sholat berjamaah di jamaah ini berlantaikan tanah. Musholla yang dulunya diberi ubin, ubinnya pun dikelupas. Sholat pun memakai sandal. Alasannya, praktik ini mengikuti Rasulullah.

Pada awal kemunculan buku itu, sekitar tahun 2008 ia pernah dipanggil ke almamaternya, yaitu Pesantren Langitan, Tuban, untuk mempertanggung jawabkan keyakinannya yang telah berubah. Begitu pula, forum diskusi bedah bukunya disiapkan oleh IAIN Sunan Ampel Surabaya. Namun, pada hari yang ditentukan, Mahrus Ali tidak datang ke acara bedah buku tersebut. Kepada panitia, ia minta jaminan uang 3 miliar dan juga pengawalan satu kompi CPM dan satu truk polisi. Permintaan ini dianggap mengada-ada oleh pihak panitia bedah buku tersebut.40 Selain di IAIN Sunan Kalijaga, Universitas Brawijaya juga mengundangnya untuk bedah buku, namun lagi-lagi ia tidak bersedia datang.

Waktu acara bedah bukunya di IAIN Sunan Ampel, penyelenggaranya adalah Pusat Pengembangan Intelektual (P2I) Pascasarjana IAIN Sunan Ampel. Ahmad Zahro, pimpinan pascasarjana saat itu sangat mendukung diadakannya bedah buku tersebut. Alasan paling kuat karena buku itu sudah meresahkan masyarakat dan layak diangkat dalam forum akademik. Saat itu juga, anak-anak muda Anshor sudah siap mengambil aksi dengan menggrebek rumah Mahrus Ali. Namun banyak kyai moderat yang melarang. Kyai-yyai itu mengatakan, bahwa buku harus dibalas dengan buku.

Mahrus Ali adalah pribadi yang temperamental sekaligus konsisten dalam keyakinannya. Ia juga terkenal loman, suka memberi sesuatu kepada orang lain, terutama pengikutnya. Meski ia mengikuti istrinya di wilayah itu, namun keluarga istrinya adalah keluarga terpandang. Ayah mertuanya adalah murid Hadratussyaikh Hasyim Asyari. Kakak iparnya, Kyai Hasyim juga tokoh NU di daerah Sidoarjo.41 Menurut penurutan salah seorang informan yang mengenalnya secara dekat, penulis ini mempunyai 16 anak dari perkawinan dengan istrinya selama 18 tahun.42

39 Wawancara dengan Abdurrahman Nafis, Pengurus PWNU Jawa Timur, 8 Oktober 2013.

40 Wawancara dengan Aldo Usman Maulana (Ketua panitia bedah buku), tanggal 8 Oktober 2013. Lih. “Me geruk U tu g Di Balik Retak ya U at, Majalah AULA, Ju i 2008.

41 Aula, Ibid.

(20)

20

Menyikapi tindakan Mahrus Ali seperti itu, pengurus PWNU Jawa Timur, pihak yang sepantasnya terusik dengan sebutan Mantan Kyai NU yang melekat pada Mahrus Ali tidak pernah mempersoalkan.

“Bukunya sudah dijawab dengan buku oleh LBM Bahsul Masail PCNU

Jember. Dia diajak debat juga tidak mau datang. Bahkan untuk supaya hadir, pura-pura diundang musholla di dekat rumahnya di Tambak Sumur (Waru, Sidoarjo) juga tidak hadir. Padahal teman-teman sudah siap berdebat. Kalau membaca buku Mahrus Ali harus diimbangi dengan buku dari LBM itu. Jadi supaya berimbang. Baca Mahrus Ali bisa terpengaruh kalau pengetahuan agamanya tidak cukup”.43

Lagi pula, buku-buku Mahrus Ali hanyalah jiplakan dari buku-buku yang banyak beredar di Arab Saudi. Informan ini malah mencurigai ada dana besar dari asing di balik keberanian Mahrus Ali dan penerbitnya menerbitkan buku seperti itu. Ketika diminta keterangan lebih lanjut mengenai kemungkinan dana asing ini, informan yang juga alumni Mekkah ini mengelak.

Reaksi PWNU Jawa Timur sendiri tidak terlalu risau dengan tulisan seperti seperti yang disusun Mahrus Ali. PWNU Jawa Timur berpandangan tidak perlu ada sikap resmi karena penulis juga tidak resmi membawa lembaga. Apa yang ditulis oleh Mahrus Ali, mantan Kyai NU, itu juga dianggap hanya mengulang perdebatan lama. Selain itu, juga sudah dijawab oleh Lembaga Bahsul Masail Jember yang menulis sanggahan terhadap serangan Mahrus Ali. Adapun buku Agus Mustofa juga sudah dijawab oleh penulis dari Pesantren Sidogiri.44

Pihak PWNU sendiri selain mendirikan TV9 juga mendirikan Aswaja NU centre. Lembaga ini untuk membentengi paham aswaja versi NU yang belakangan banyak dijadikan sasaran penyesatan dari beberapa kelompok. Program riil dari lembaga ini adalah melakukan training dai-dai tentang aswaja dan sudah melakukan kegiatan itu di kota-kota di Jawa Timur.

Ditambahkan bahwa ajaran Mahrus Ali itu tidak akan berkembang. Alasannya karena pertama, Mahrus Ali bukanlah asli orang situ. Jamaahnya juga kebanyakan pendatang, buruh pabrik di sekitar tempat tinggalnya. Hanya 3 atau empat orang asli situ.

Kedua, ajarannya terlalu berat untuk diamalkan. Misalnya sholat berjamaah di tanah, di mushollanya yang bekas dicabuti keramiknya, berlangsung lama. Adalah sungguh menyiksa dengan melakukan amalan semacam itu. Ketiga, juga larangan dia memakan telur dan ayam. Alasannya memutus mata rantai kehidupan. Ada yang menyebut karena tidak ada di jaman Rasulullah.45

43 Wawancara dengan Abdurrahman Navis (pengurus PWNU Jawa Timur), tanggal 8 Oktober 2013 44 Wawancara dengan Abdurrahman Navis, Ibid.

(21)

21

Buku-buku lain yang mengandung pemahaman radikal juga berbedar di toko-toko buku di Surabaya. Di toko buku Toga Mas misalya, ditemukan buku-buku yang tergolong radikal dari segi judul, seperti terjemahan al Warra wal Barra’ yang cukup tebal 447

halaman ini, Buku terbitan Penerbit Ummul Quro Jakarta (Juli 2013) ini tergolong

“radikal/Islamis” karena mengkritik toleransi antaragama yang kebablasan dan mengajak

untuk membenci keyakinan orang lain, seiring dengan arti doktrinnya, al warra wal barra

yang berarti loyalitas dan permusuhan. Buku senada dengan buku ini cukup tersedia di toko buku ini, namun disampaikan kurang laris di pasar.

B.2.3. Buku-Buku Moderat (Bantahan dari Liberal dan Radikal)

Untuk membantah buku-buku dengan kecenderungan di atas, maka dimunculkanlah buku balasan dari serangan tersebut. Misalnya buku berjudul

Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kyai NU Menggugat Sholawat & Dzikir” H.

Mahrus Ali yang ditulis oleh Abdullah Syamsul Arifin et all dari LBM PCNU Jember dan Khalista Surabaya. Buku ini terbit pertama pada bulan Januari 2008. Abdullah Syamsul Arifin juga kebetulan menjabat Wakil Katib Syuriah PWNU Jatim.

Dalam resensinya di Majalah Aula yang ditulis Imo Sulaiman yang terbit pada Februari 2008, buku tersebut digolongkan mengganggu kehidupan kaum muslimin. Buku ini mengulas tentang risalah perjalanan dan perilaku Mahrus Ali yang menyerang amaliah NU dan memojokkan NU. Buku ini juga menyanggah pandangan Mahrus Ali dan menyatakan bahwa ubudiyah warga Nahdliyyin, kelompok tradisi Islam ini bersumber dari dalil aqly dan dalil naqly yang sesuai dengan syariat Islam.

Dalam menangkis buku Mahrus Ali yang menyatakan bahwa semua bid’ah itu pasti

sesat dan perbuatan sesat pasti masuk neraka. Semua perbuatan bid’ah yang baik harus

ditolak, sebab bid’ah akan membawa kejelekan, kerusakan dan merubah ajaran. Segala

ajaran yang tidak dianjurkan Nabi dan sahabatnya tidak boleh dianjurkan setelahnya. Bila masalah ini dibuka, maka urusan agama akan rusak, lalu banyak masalah yang akan dimasukkan ke dalam agama. Akhirnya kaum Muslimin akan mirip dengan kaum Yahudi dan Nashrani yang mempermainkan agama, mengubah sesuai dengan hawa nafsunya.

Menanggapi pernyataan Mahrus Ali tersebut, buku ini melihat pendapat itu mengandung faham wahabi, seperti Ibn Bin Baz, al Utsaimin dan al-Albani. Bid’ah menurut ulama terkemuka dibagi menjadi dua; pertama bid’ah mahmudah (terpuji) dan bidah

madzmumah (tercela). Bid’ah yang sesuai ajaran Rasul dihukumi terpuji dan bid’ah yang menyalahi sunnah dianggap tercela. Perbuatan bid’ah yang berada di garis ketentuan

Allah SWT dan Rasul-Nya seperti kedermawanan dan perbuatan kebajikan tentu tergolong

perbuatan terpuji dan mustahil menyimpang dari ajaran syara’ (73).46

Pemikiran Agus Mustofa juga menemui tentangan yang muncul dalam bentuk

buku. Adalah buku berjudul, “Menelaah Pemikiran Agus Mustofa. Koreksi terhadap Serial

(22)

22

Buku Diskusi Tasawwuf Modern” yang disusun oleh A. Qusyairi Ismail dan Moh. Achyat

Ahmad, terbitan Pustaka Sidogiri Pasuruan. Buku ini terbit pertama Bulan Desember 2009.

Dalam Aula Edisi Januari 2010, muncul resensi buku tersebut yang ditulis oleh Fathul Qodir. Buku tersebut menyanggah pemikiran Agus Mustofa. Satu hal yang paling mencolok adalah sinyalemen Agus Mustofa bahwa akhirat tidak kekal ditentang dengan tuduhan Agus Mustofa hanya mengeksplorasi ayat-ayat al Quran, dan penafsirannya disesuaikan dengan persepsinya sendiri. Bahkan, Agus Mustofa dianggap menghindari hadits yang menjadi sumber hokum Islam kedua, yang kedudukannya diakui oleh Nabi sendiri maupun para ulama lintas zaman.47

B.2.4. Faktor-faktor Kemunculan Buku-Buku Kontroversial

Beredarnya buku-buku kontroversial di Surabaya tidak dapat dilepaskan dari beberapa factor berikut. Pertama, terbitnya buku-buku yang kontroversial ini didorong karena kemajuan teknologi. Proses penerbitan buku sekarang menjadi lebih sederhana. Era sekarang memasuki era digital printing, yang mana setiap orang dapat mencetak buku sendiri, bahkan tanpa harus diperiksa atau dibaca ulang oleh ahli atau reviewer. Dampaknya, banyak kelompok masyarakat termasuk komunitas pengajian menerbitkan buku-buku sendiri sebagai ganti dari buletin yang biasanya disebar secara sederhana dan hanya beberapa lembar saja. Sekarang buletin kajian itu diganti buku dengan jilid dan cetakan yang menarik, juga disertai sampul yang tidak kalah menarik. Lalu, para peserta pengajian membeli buku tersebut. Kelompok pengajian yang dicurigai agak radikal sering menjalankan penerbitan dan penjualan buku secara internal ini. Di Surabaya sendiri, ada salah satu penerbit yang khusus menerbitkan buku-buku yang berpaham agak radikal ini.48

Kedua, lemahnya pengawasan baik dari asosiasi dalam hal ini Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) maupun dari pemerintah. Di Jawa Timur terdapat 100 penerbit buku yang terdaftar sebagai anggota. Namun, asosiasi seperti IKAPI sendiri tidak mampu untuk melakukan pengawasan terhadap isi buku, karena merupakan kumpulan para penerbit. Karenanya, sesama penerbit tidaklah pada posisi untuk mengawasi satu sama lain. Keanggotaan Ikapi juga sangat longgar. Usulannya, peran pengawasan ini dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementrian Agama bisa menyontoh seperti apa yang dilakukan di Brunei. Di Negara itu, buku-buku yang beredar di pasaran diberi label khusus dari pemerintah yang menandakan bahwa buku tersebut aman dibaca khalayak. Bahkan, proses pengajuan untuk mendapat pengesahan dari pemerintah itu sampai menunggu 1 tahun lamanya. Barulah buku boleh diterbitkan. Usulan berikutnya adalah pemerintah menyediakan website pengaduan yang membuka diri terhadap laporan mengenai buku-buku yang dianggap controversial dari masyarakat.

(23)

23

Ketiga, adanya peluang bisnis bagi penerbit dan penulis. Judul semakin sensasional dan bombastis, akan semakin laris. Begitu pula, buku semakin ditentang akan semakin dicari orang. Sekelumit kisah dari Mahrus Ali yang dituturkan pimpinan redaksi Majalah Aula menyebut bahwa sebelum bukunya terbit Mahrus Ali memiliki 70 naskah dan menawarkannya kepada berbagai penerbit. Hal ini seperti disebutkan pada bagian sebelumnya di laporan ini, penerbit keIsalaman sekelas PT Bina Ilmu tidak mau menerima tulisannya karena sangat tendensius. Akibatnya naskahnya tidak laku-laku. Kemudian ada penerbit La Tasyuk! Press yang juga dari keluarga NU sebenarnya, membeli putus terhadap naskah tersebut. Setelah dibeli putus, maka penulisnya tidak ikut campur, termasuk judulnya seperti apa. Bagi penulis, yang penting adalah naskahnya laku dibeli oleh perbit. Karena itu yang memainkan sebutan “Mantan Kyai NU” itu adalah pihak penerbit. Setelah meledak di pasaran, penerbit untung besar, sementara yang terkena imbas adalah penulisnya. Majalah Aula pun belakangan tidak bersedia lagi memberitakan kiprah Mahrus Ali karena justru akan menguntungkan penulis dan penerbitnya.49

Keempat, terfragmentasinya dan tersegmentasinya pembaca buku keIslaman ke

dalam komunitas-komunitas yang mendukung wacana keislaman yang diyakininya. Komunitas penyuka buku gerakan, maka akan memilih membeli buku-buku bernafaskan gerakan Islam yang cenderung Islamis dan radikal. Sebaliknya, pembaca yang menyukai buku-buku ketenangan, sufistik, ia akan menyerbu buku-buku yang menyajikan tema-tema seperti itu. Karena itu sekarang ini sulit untuk menentukan keakuratan buku yang disebut best seller. Ini disebabkan tergantung pada pembaca dari komunitas mana terkait dengan paham keagamaan Islamnya. Dicontohkan pada saat Islamic Book Fair di Surabaya lalu, buku-buku terbitan HTI malah paling laris di sini. Ternyata di Surabaya, HTI punya massa. Waktu pameran di-drop dari Bogor beberapa kali. Selesai pameran malah perebit kebanjiran order. 50

Keempat factor inilah yang setidak-tidaknya mempengaruhi maraknya buku-buku controversial di Surabaya. Meski tidak saling berurutan dan terkesan tumpang tindah, namun beberapa sebab tersebut dapat dirasakan ketika mendalami maraknya buku-buku controversial di kota ini. Karena itu, hingga saat ini menurut penuturan pihak Ikapi Jawa Timur, belum pernah ada demo yang terjadi untuk menyampaikan keberatan atas sebuah buku di kota pahlawan ini.

D. Analisis; Surabaya Sebagai Kota Toleran

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat dikatakan masyarakat kota ini sebenarnya sangat terbuka terhadap perbedaan pemikiran kegamaan. Sekalipun mereka berdekatan tempat tinggal dengan lawan pemikirannya, namun tidak lantas menghalalkan segala cara untuk meredam pemikiran keagamaan dari orang yang berbeda paham

49 Wawancara dengan Subhan. Ibid.

(24)

24

keagamaannya. Setidaknya pernyataan ini dapat merujuk pada sikap warga Surabaya yang sekalipun tidak sependapat dengan pemikiran Agus Mustofa maupun Mahrus Ali di atas, namun tetap memberikan ruang kepada individu dan kelompok yang berbeda pemikirannya untuk tetap hidup bersama dan berdampingan di kota ini.

Oleh sebab itu, jika pernah mendengar salah satu kampanye Kota Yogyakarta yang menyebut dirinya sebagai the city of tolerance di tahun 2006, maka sebenarnya gelar ini juga layak disematkan kepada Kota Surabaya. Apalagi, warga Surabaya juga sangat plural baik dari segi agama, ras, dan etnis. gelar seperti itu perlu untuk mencerminkan bahwa warga kota Surabaya ini siap hidup berdampingan dengan warga yang berbeda pemikiran dan paham keagamaannya.

Untuk paham keagamaan Islam, di kota ini dan juga di Jawa Timur umumnya, sebenarnya telah lama mengenal perbedaan, khususnya dalam khazanah pemikiran dan aliran. Selama beberapa decade hingga saat ini, warga Jawa Timur telah mengenal keberadaan Pesantren Yapi di Bangil, Pasuruan, yang banyak dikaitkan sebagai pesantren Syiah. Pesantren ini tetap eksis hingga kemudian akhirnya mendapat gangguan pada Bulan Februari 2011, beberapa hari setelah pembunuhan warga Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Agak mengherankan mengapa lantas pesantren ini diganggu, padahal sebelumnya suasana kondusif telah terpelihara sejak lama.

Belum lagi aliran dan paham keIslaman yang berkembang misalnya yang berpusat di Kediri. Setidaknya terdapat dua kelompok aliran atau paham keIslaman yang dapat disampaikan di sini yang berkembang dari kota kecil ini, yaitu kelompok Sholawat Wahidiyah dan Lemkari atau LDII. Warga Jawa Timur mengenal keberadaan dua kelompok keIslaan ini dan juga pusat kegiatannya yang terletak di Kota Tahu, Kediri. Namun, sejauh ini pusat kegiatan ini tidak mendapat gangguan. Bahkan hingga kini, pengikutnya telah menyebar ke seluruh Indonesia, bahkan hingga ke luar negeri.

Dalam kasus keragaman yang lain, yaitu keragaman agama misalnya, di Surabaya juga tumbuh kelompok litas iman yang rutin mengadakan kegiatan. Beberapa tahun yang lalu, di kota ini tumbuh kelompok seperti Forum Lintas Agama (FLA) yang cukup aktif mengadakan dialog antarumat beragama. Begitu pula keragaman berdasarkan orientasi seksual misalnya, di Surabaya terdapat figure seperti Dede Oetomo yang dikenal sebagai dosen Universitas Airlangga, namun sekaligus sebagai tokoh gay yang aktif mengampanyekan hak-hak kaum gay di Indonesia.

Melihat kondisi demikian ini, maka tidak mengherankan jika munculnya perbedaan paham keagamaan Islam belakangan ini, yang terekspresikan lewat buku-buku controversial yang ditulis oleh orang Surabaya sendiri tidak menjadi persoalan besar warga warga kota ini. Masyarakat melalui tokoh-tokohnya telah siap untuk menerima

perbedaan. Sebaliknya, para pemikir dan penulis yang “menghebohkan” itu juga tetap

merasa nyaman untuk hidup di kota ini, sekalipun ia tahu gagasan dan pemikirannya banyak menimbulkan kontroversi dan penentangan dari warga yang lain.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu bahan ajar juga dapat dimanfaatkan oleh guru sebagai bahan ajar dalam pembelajaran matematika khususnya materi bangun ruang sisi datar.Desain awal pembuatan bahan

Penelitian ini betujuan untuk menguji pengaruh baik secara parsial maupun secara simultan dari jiwa wirausaha dalam variabel percaya diri, orientasi tugas dan

1) Gangguan libido (gairah seksual). Disfungsi ini meliputi gairah seksual hipoaktif, yaitu berkurang atau tidak munculnya fantasi seksual dan hasrat untuk melakukan aktivitas

Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih karuniaNya dan berkat-berkatNya yang berupa pimpinanNya, penyertaanNya, perlindunganNya, sehingga penulis dapat

Peneliti pemula atau penelitian pembinaan/Kapasitas merupakan kegiatan penelitian yang dilakukan dalam rangka membina dan mengarahkan para peneliti pertama/peneliti

penerimaan sumber pendapatan negara yang diperoleh dari kontribusi wajib pajak.. rakyat, dimana peraturan pungutannya diatur dalam undang-undang

Pada sisi lain kita liat bahwa meski kualitas teknis layanan antenatal care lebih rendah di banding di puskesmas/polindes, namun fasilitas kesehatan swasta justru

Neuropati kusta adalah neuropati perifer kronis yang terjadi pada seorang pasien kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae.. Neuropati kusta melibatkan proses patologis yang