• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Edisi 18 Desember 2017 Negara Islam di Kalimantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Laporan Edisi 18 Desember 2017 Negara Islam di Kalimantan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

K. Subroto

NEGARA-NEGARA ISLAM

DI KALIMANTAN

1425 1905 M

(2)

Negara-negara Islam di Kalimantan

1425 – 1905 M

K. Subroto

Laporan

Edisi 18 / Desember 2017

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,

kirimkan e-mail ke:

lk.syamina@gmail.com

Seluruh laporan kami bisa didownload di website:

(3)

3

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI — 3

EXECUTIVE SUMMARY — 4

Islamisasi Kalimantan 7

Negara Islam Kesultanan Brunei Darussalam (1425-1888) — 8

Hukum Islam di Kesultanan Brunei Darussalam — 10

Negara Islam Kesultanan Banjar (1526–1905) 12

Masa Keemasan Kesultanan Banjar — 14

Hukum Islam dan Peran Syekh Al Banjari di Kesultanan Banjar — 14

Penghapusan Hukum Islam dan Kedaulatan Banjar — 17

Jihad Sultan Hidayatullah dan Sultan Antasari Melawan Belanda — 18

Negara Islam Kesultanan Sambas (1671 -1855 M) 20

Hukum Islam di Sambas — 23

Kesultanan Kutai Karta Negara (1732-1844) 23

Islamisasi Kutai — 24

Hukum Islam di Kutai — 25

Penutup — 27

(4)

4

K

alimantan atau juga disebut Borneo pada jaman penjajahan (kolonial), adalah pulau terbesar ketiga di dunia yang terletak di sebelah utara Pulau Jawa dan di sebelah barat Pulau Sulawesi. Saat ini pulau Kalimantan masuk ke wiliyah tiga negara, Indonesia (73%), Malaysia (26%), dan Brunei (1%). Pulau Kalimantan terkenal dengan julukan "Pulau Seribu Sungai" karena banyaknya sungai yang mengalir di pulau ini.

Nama Borneo, yang berasal dari nama kesultanan Brunei (karena Brunei saat itu merupakan pelabuhan yang ramai dan strategis) adalah nama yang dipakai oleh penjajah Spanyol, Perancis, Inggris dan Belanda untuk menyebut pulau ini secara keseluruhan. Sedangkan Kalimantan adalah nama yang digunakan oleh penduduk kawasan timur pulau ini yang sekarang termasuk wilayah Indonesia. Jika ditilik dari bahasa Jawa, nama Kalimantan berarti "Sungai Intan”.

Negara-negara Islam muncul, berkembang dan berjaya di Kalimantan pada saat kekuatan Islam secara global sedang kuat dan berjaya. Terbukti tahun 1453 kekhilafahan Turki Utsmani berhasil menaklukkan Konstantinopel di Barat dan di ujung Timur, Islam berkembang di kepulauan Indonesia dan Filipina. Sebaliknya kekuatan Eropa (Barat) belum menjadi kekuatan yang diperhitungkan di tataran global maupun kawasan Asia Tenggara.

Sebelum abad ke-17 banyak umat Islam yang menulis sejarahnya sendiri. Namun setelah abad ke-17 penulisan sejarah didominasi oleh para penulis Barat (Eropa) yang mulai menancapkan kuku-kuku penjajahannya di dunia Islam. Pada masa penjajahan tersebut sejarah peradaban Islam ditulis oleh orang Barat yang kebanyakan menngunakan perspektif penjajah. Penulisan sejarah Islam oleh sejarahwan dari negara penjajah tersebut berusaha mengecilkan peran Islam dan politik Islam dengan berusaha memunculkan dan membesar-besarkan peran dan kejayaan politik pra Islam (nativisme).

Di Nusantara hal ini terjadi karena hampir di semua daerah, penjajah Belanda selalu berhadapan dengan orang Islam ketika mereka hendak mencapai tujuan penjajahannya. Para ulama dan pemimpin Islam memimmpin jihad untuk mempertahankan wilayah dan hak-hak mereka yang berusaha dirampas oleh penjajah kafir. Oleh sebab itu, seorang arsitek politik kolonial yang mashur, Snouck Hurgronje menyimpulkan bahwa Islam menjadi ancaman paling berbahaya bagi penjajah Belanda untuk mewujudkan dan melanggengkan misi penjajahannya (Gold, Glory and Gospel).

(5)

5

Para penjajah sadar bahwa sejarah menjadi sarana yang efektif untuk mempropagandakan idiologi dan peradaban selain Islam, yang lebih bisa kompromi dengan penjajah. Maka, tulisan-tulisan sarjana Belanda banyak sekali mengangkat sejarah era pra Islam. Bahkan De Graaf, seorang sejarahwan Belanda, menyebut bahwa terlalu banyak tulisan mengenai sejarah di abad 20 yang meneliti dan mengulas peradaban pra Islam yang merupakan peradaban yang datang dari India tersebut.

Perusakan sejarah yang didukung dengan teori nativikasi (kembali ke aslinya) yang dilakukan oleh penjajah adalah salah satu upaya mereka mencegah kebangkitan kembali institusi politik yang berdasarkan Islam yang bisa mengancam kepentingan dan keberlangsungan penjajahan.

Eksistensi negara Islam berusaha dikaburkan dalam penulisan sejarah Belanda di masa lalu, dan berlanjut di era kemerdekaan. Tegaknya negara yang berdasarkan Islam di Asia Tenggara dan khusunya di Kalimantan adalah sebuah fakta sejarah yang tidak bisa ditutup-tutupi, dan mulai terkuak seiring dengan berjalannya waktu. Kejayaan politik dan peradaban Islam tidak kalah dengan kejayaan peradaban pra Islam yang selalu berusaha dipromosikan oleh Penjajah.

Berdasar konvensi Montevideo 27 Desember 1933 mengenai hak dan kewajiban Negara (Rights and Duties of States) menyebutkan bahwa Negara sebagai subjek dalam hukum internasional harus memiliki empat unsur yaitu : penduduk yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang berdaulat dan kapasitas untuk berhubungan dengan Negara lain.

Dalam konteks Islam, sebuah negara bisa disebut sebagai sebuah negara Islam (Daarul Islam), bila memenuhi syarat-syarat sesuai ketentuan syar’i (hukum Islam). Ibnu Qayyim berkata, “Jumhur ulama telah bersepakat bahwa Daarul Islam adalah negeri yang dikuasai kaum muslimin dan ditegakan hukum-hukum Islam. Sedangkan negeri yang tidak berlaku padanya hukum-hukum Islam, maka ia bukan termasuk Daarul Islam meskipun ia berbatasan langsung (dengan Daarul Islam).”

Seiring dengan berjalannya waktu, keemasan masa kejayaan peradaban Islam di wilayah ini mulai terkuak sedikit demi sedikit. Emas tetaplah emas walaupun tertutup dengan lumpur penjajahan Eropa. Emas itu berusaha ditutupi dengan berbagai propaganda penjajah yang menyatakan bahwa masa Islam adalah masa yang penuh dengan kekerasan dan pertumpahan darah. Namun sejarah justru membuktikan sebaliknya, rakyat negara-negara Islam di kepulauan Nusantara hidup damai, aman, tentram dan penuh keadilan dengan syariat Islam, sebelum kedatangan penjajah.

(6)

6

Negara-negara kesultanan Islam yang banyak terdapat di pulau Kalimantan seperti, Kesultanan Samudera Brunei Darussalam, Banjar, Kutai serta negara-negara lainnya memenuhi syarat disebut sebagai sebuah negara dan negara Islam. Di negara-negara tersebut Islam menjadi agama resmi negara yang dianut oleh para pemimpinnya dan mayoritas rakyatnya. Kehidupan bermasyarakat dan bernegara juga dilandaskan pada aturan syariat Islam.

Negara Islam Kesultanan Brunei berdaulat dan menerapkan hukum Islam secara menyeluruh termasuk dalam hal jinayah (pidana). Brunei telah mempunyai Undang-undang tertulis yang menjadi pedoman hukum islam yang sudah dikodifikasi menjadi Hukum Kanun Brunei yang berdasarkan ketentuan hukum (syariat) Islam.

Demikian juga negara Islam kesultanan Banjar yang berdaulat dan berhasil memakmurkan rakyatnya serta menciptakan keadilan dengan menerapkan syariat Islam selama ratusan tahun. Hukum Islam yang yang dijalankan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits Nabi juga mengakomodasi adat setempat yang sudah mengalami proses islamisasi sehingga tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Di masa akhir Banjar baru dilakukan kodifikasi hukum Islam yang sebelumnya telah dilaksanakan.

Sebelum adanya campur tangan penjajah Belanda, Pengadilan Agama di Kesultanan Sambas secara turun-temurun melaksanakan hukum Islam yang juga menerapkan Qisas menurut hukum Islam. Misalnya membunuh dihukum bunuh, berzina dikenakan hukum rajam.

Setelah masa penjajahan hukum Islam berusaha dikebiri, hanya diberlakukan untuk masalah keluarga dan ibadah mahdhah saja. Sedangkan untuk perkara pidana tidak boleh lagi dilaksanakan dan diganti dengan hukum penjajah yang dibawa dari Eropa.

Rakyat di kesultanan Kutai dan Sambas serta negara-negara Islam lainnya di Kalimantan hidup dengan makmur, temtram dan damai sebelum kedatangan para penjajah Eropa. Para sultan di negara-negara Islam di Kalimantan tersebut semuanya muslim dan berusaha mengamalkan ajaran-ajaran Islam serta berusaha menerapkan aturan hukum syariat Islam. Adapun mengenai adanya unsur adat dalam kitab hukum yang ditemukan para sejarahwan bukan sesuatu yang mengejutkan, karena memang hukum islam bisa menerima dan mentolerir adat selama adat tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam atau telah mengalami proses Islamisasi.

(7)

7

A. Islamisasi Kalimantan

Islam masuk ke Kalimantan, semula lebih dikenal dengan nama Borneo, melalui tiga jalur. Jalur pertama melalui Malaka yang dikenal sebagai Kesultanan Islam setelah Perlak dan Pasai. Jalur kedua, Islam datang dan disebarkan oleh para mubaligh dari tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini mencapai puncaknya saat kerajaan Demak berdiri. Demak mengirimkan banyak Muballig ke negeri ini. Para da’i tersebut berusaha mencetak kader-kader yang akan melanjutkan misi dakwah ini. Maka lahirlah para ulama besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Jalur ketiga para da’i datang dari Sulawesi (Makasar) terutama da’i yang terkenal saat itu adalah Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan.1

Jatuhnya Kesultanan Malaka (1511) -sebagai bandar perdagangan terbesar dan teramai di Asia Tenggara saat itu- ke tangan Portugis, justru membawa berkah bagi penyebaran Islam. Sebagaimana jatuhnya Baghdad (1258), runtuhnya kota pelabuhan Malaka membuat perkembangan Islam lebih luas dan lebih jauh dari sebelumnya. Pedagang-pedagang muslim yang pindah dari Malaka kemudian mencari dan membuat pemukiman baru serta melakukan perdagangan ke daerah-daerah bagian Timur kepulauan Nusantara. Oleh sebab itu proses Islamisasi secara efektif di daerah-daerah kepulauan Nusantara bagian Timur baru terjadi pada dasawarsa kedua abad ke-16.

Di antara para pedagang muslim dari Malaka, banyak yang pindah dan menetap di Kalimantan. Sejak awal Kalimantan merupakan penghasil dan pusat perdagangan intan. Akhirnya di pesisir Kalimantan Barat bagian utara berdiri negara Islam yang

1 Puguh Prasetyo, Penyebaran Agama Islam Di Indonesia, Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian

Universitas Tanjungpura Ponianak 2012. h.10

Negara-negara Islam di

Kalimantan

(8)

8

masyhur, Kesultanan Brunei. Dan di bagian selatan pesisir Kalimantan Barat berdiri Kesultanan Sukadana.

Penyebaran Islam ke daerah-daerah Kalimantan Selatan dan Timur banyak dilakukan oleh orang-orang Islam yang datang dari Jawa. Para Mubaligh banyak dikirim oleh negara Islam Kesultanan Demak untuk berdakwah menyebarkan ajaran Islam di daerah tersebut. Pusat dakwah Islam di Kalimantan Selatan berada di Banjarmasin. Maka di daerah ini kemudian berdiri sebuah negara Islam, Kesultanan Banjar. Sedangkan di Kalimantan Timur juga berdiri sebuah negara Islam, Kesultanan Kutai, yang merupakan kelanjutan kerajaan Kutai yang bercorak Hindu.2

B. Negara Islam Kesultanan Brunei Darussalam (1425-1888)

Diperkirakan pada tahun 1425 M. penguasa Brunei Wang Alak Betatar pergi ke Malaka untuk mengunjungi Sultan Muhammad Syah,dan di sana ia masuk Islam. 3

2 A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, Penerbit Ombak Yogyakarta,

2012, h.193-194

3 Acep Zoni Saeful Mubarak, Hukum Keluarga Islam di Negara Brunei Darussalam, dalam Atho’ Mudzhar dan

(9)

9

Negara Brunei terletak di pesisir Barat Kalimantan bagian Utara. Pengaruh Islam di negara ini sampai ke Filipina. Banyak mubaligh dari Brunei yang dikirim ke pulau-pulau yang sekarang menjadi wilayah negara Filipina bagian Selatan.

Peran Brunei dalam perdagangan cukup penting. Itulah sebabnya Portugis pada tahun 1530 datang pada Sultan Brunei untuk memohon normalisasi perdagangan dengan Malaka yang putus karena ulah Portugis mengekspansi Malaka pada tahun 1511. Utusan Portugis juga meminta agar kapal-kapalnya diizinkan untuk berlayar ke wilayah Brunei. Permohonan itu dikabulkan oleh Sultan Brunei yang membuat lalu lintas perdagangan di Brunei semakin ramai.

Perdagangan Brunei-Filipina juga cukup ramai. Legapsi, seorang pelaut Spanyol yang mendarat di Filipina pada tahun 1565 menjumpai banyak agen sultan Brunei di sana. Komoditas yang diperjual-belikan antara lain; tembaga, timah, porselen Cina, kemenyan, katun India, besi dan baja. Brunei banyak mengekspor baja ke Filipina. Kekuasaan Sultan Brunei meluas sampai ke Serawak, Mindanao dan Luzon.

Melihat perkembangan kekuasaan Negara Brunei dan aktifitasnya dalam penyebaran Islam, membuat Spanyol khawatir dan berusaha membendungnya. Raja Spanyol Filip V kemudian memerintahkan De Sande, raja mudanya di Filipina untuk mengultimatum Sultan Brunei, Sultan Reksar agar menghentikan usaha untuk menyebarkan Islam di Filipina. Tuntutan itu dengan tegas ditolak sultan. De Sande kemudian dengan kekuatan militer yang tangguh menyerbu Brunei dan berhasil mengalahkan pasukan kesultanan tersebut dan menguasainya pada tahun 1578.4

Pada awal abad ke-16, Kesultanan Brunei merupakan Negara yang kuat dan memiliki otoritas tidak hanya meliputi seluruh pulau Borneo tetapi juga beberapa bagian pulau-pulau Sulu dan Filipina. Namun kemudian memasuki abad ke-17 hingga pada abad ke-18, kekuasaan Kesultanan Brunei mulai berkurang akibat adanya konsesi5

yang dibuat dengan Belanda, Inggris, Raja Serawak, British North Borneo Company dan juga serangan-serangan para pembajak. Namun kebijakan atas konsesi tersebut justru merugikan Brunei sendiri. Dan akhirnya memasuki abad ke-19, wilayah Negara Brunei Darussalam terreduksi menjadi sangat kecil sampai batas-batas yang ada sekarang.6

Pada tahun 1847 Sultan Brunei mengadakan perjanjian dengan Inggris Raya untuk memajukan hubungan dagang dan penumpasan para pembajak. Perjanjian berikutnya diadakan pada tahun 1881 yaitu perjanjian negara Brunei berada dibawah proteksi Inggris Raya. Pada tahun 1963 negara Brunei berbentuk negara Merdeka Melayu Inggris dengan tidak bergabung dengan federasi Malaysia. Sampai akhirnya tanggal 1 Januari 1984 Brunei Darusalam menjadi negara Kesultanan yang merdeka dan berdaulat.7

4 A. Daliman, op.cit. h.194-195

5 Konsesi adalah Pemberian izin untuk membuka tambang atau untuk menebang hutan, dsb. Lihat: Tim Penyusun

Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II (Jakarta: Balai

Pustaka, 1995), h. 520

6 Acep Zoni Saeful Mubarak, Hukum Keluarga Islam di Negara Brunei Darussalam, h. 178-179, dalam: Atho’

Mudzhar dan Khaeruddin Nasuion [Editor], Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,Jakarta: Ciputat Press,

2003.

(10)

10

Islam menjadi agama resmi negara semenjak Raja Awang Alak Betatar masuk Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Shah (1406-1408).8

Perkembangan Islam semakin maju setelah pusat penyebaran dan kebudayaan Islam di Malaka jatuh ke tangan portugis (1511) sehingga banyak ulama dan pedagang Islam pindah ke Brunei. Kemajuan dan perkembangan Islam semakian nyata pada masa pemerintahan Sultan Bolkiah (sultan ke-5), yang wilayahnya meliputi Suluk, Selandung, seluruh Pulau Kalimantan (Borneo), Kepulauan Sulu, Kepulauan Balakac, Pulau Banggi, Pulau Balambangan, Matanani, dan Utara Pulau Pallawan sampai ke Manila.

Pada masa Sultan Hassan, Sultan ke-9 (1605-1619 M) dilakukan penyempurnaan tata pemerintahan, yaitu : 1) menyusun institusi-institusi pemerintahan agama, karena agama memainkan peranan penting dalam memandu negara Brunei ke arah kesejahteraan. 2) menyusun adat-istiadat yang dipakai dalam semua upacara, baik suka maupun duka, disamping menciptakan atribut kebesaran dan perhiasan raja; 3) menguatkan undang-undang Islam, yaitu Hukum Qanun yang mengandung 46 pasal dan 6 bagian.9

Hukum Islam di Kesultanan Brunei Darussalam

Sebelum kedatangan penjajah Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Brunei ialah Undang-Undang Islam yang telah dikanunkan dengan Hukum Qanun Brunei. Hukum Qanun Brunei tersebut ditulis pada masa pemerintahan Sultan

8 Ibid

(11)

11

Hassan (1605-1619 M) yang disempurnakan oleh Sultan Jalilul jabbar (1619-1652 M).10

Pada tahun 1888-1983 Brunei di bawah jajahan Inggris. Brunei memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 31 Desember 1983.

Setelah campur tangan penjajah Inggris, Mahkamah Syari’ah Brunei hanya diberi wewenang melaksanakan undang-undang Islam yang berkaitan dengan perkara-perkara kawin, cerai, dan ibadat (khusus) saja. Sedangkan masalah yang berkaitan dengan jinayat (pidana) diserahkan kepada undang-undang Inggris yang berdasarkan Common Law England.

Pada tahun 1871 M., W.H Treacher, Pejabat Konsul General Inggris dalam lawatan ke Brunei dengan menggunakan kapal perang angkatan laut Inggris telah mencatat bahawa undang-undang Brunei pada waktu itu ialah undang-undang yang berasal dari al-Qur’an.11 Undang-undang yang dimaksudkan itu ialah beberapa

aturan hukum syarak yang terdapat di dalam Hukum Kanun Brunei. Hukum Kanun Brunei dan Undang-Undang serta Adat Brunei Lama (Old Brunei Law and Custom) merupakan dua naskah undang-undang Islam tertulis dan dikanunkan. Keduanya menjadi bukti pelaksanaan undang-undang Islam di Brunei Darussalam.12

H.R Hughes-Hallet juga berpendapat bahwa zaman perintahan Sultan Hassan merupakan zaman awal pemakaian Undang-Undang Hukum Kanun.13

Kenyataan ini mungkin berdasarkan beberapa faktor; pertama walaupun tidak tercatat tanggal dan tahun penulisannya tetapi naskah Hukum Kanun didapati di dalam pemerintahannya. Kedua; di zaman Sultan Hassan mungkin dilakukan penyesuaian Hukum Kanun yang dijalankan sebelum Islam pada undang-undang yang berdasarkan hukum Islam.14Ketiga di zaman Sultan Hasan mungkin dilakukan

penyusunan dan penulisan ulang Hukum Kanun supaya lebih teratur.

Pada zaman pemerintahan Sultan Abdul Jalilul Akbar (1598-1659), Undang-Undang Hukum Kanun Brunei telah dilaksanakan dengan baik.15

Sultan Abdul Jalilul Akbar juga berwasiat agar anaknya Sultan Jalilul Jabbar melaksanakan Undang-Undang Hukum Kanun Brunei dalam menjalankan pemerintahan negaranya.

Sebagai contoh pelaksanaan Undang-Undang Hukum Kanun Brunei ialah kasus pencurian. Perbuatan ini dilakukan oleh beberapa orang pencuri yang telah berhasil mencuri beberapa jenis barang termasuk sebuah jam tangan emas dan sebuah senapan dari kapal perang Inggris yang berlabuh di sungai Brunei. Tiga orang

10 Haji Mahmud Saedon Awang Othman, Mahkamah Syari’ah di Negara Brunei Darussalam dan Permasalahannya,

dalam Jurnal Mimbar Hukum No.22 Tahun VI, September-Oktober 1995, h. 41-42

11 W. H Treacher, “Briish Borneo : Sketches of Brunei, Sarawak, Labuan and North Borneo”, JMBRAS , Vol. 20,

1880, hlm. 39

12 Dato Dr. Haji Mahmud Saedon Awang Othman, Perlaksanaan Dan Pentadbiran Undang-undang Islam di Negara Brunei Darussalam : Satu Tinjauan, hlm. 21

13 H. R. Hughes-Hallet, A Sketch of the History of Brunei, JMBRAS, Vol. XV111, part 11, 1940, hlm. 31

14 Hajah Masnon bt. Haji Ibrahim, Perlaksanaan Undang-undang Keluarga Islam di Brunei dan Perbandingannya dengan Undang-Undang Keluarga Islam di Sarawak, Tesis MA, Universii Kebangsaaan Malaysia, 1988, hlm. 3 15 Dato Dr. Haji Mahmud Saedon Awang Othman, Perlaksanaan Dan Pentadbiran Undang-undang Islam di

Negara Brunei Darussalam : Satu Tinjauan, hlm. 2

(12)

12

yang terlibat dalam kejadian itu kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman potong tangan.16

Kasus lainnya ialah hukuman bunuh terhadap seorang nara pidana bernama Maidin. Kesalahannya ialah melakukan perampokan harta benda dan membunuh beberapa orang pedagang yang berdagang bolak-balik antara Brunei ke Labuan dan sepanjang pantai di bawah kekuasaan Brunei.17

Berdasarkan keterangan di atas, jelas sebelum kedatangan Inggris, Brunei telah diperintah berdasarkan Undang-Undang Hukum Kanun Brunei yang berasaskan hukum Islam yang telah dikanunkan. Pemakaian dan perlaksanaannya adalah meluas dan menyeluruh.18

Setelah diteliti dan dikaji tentang Hukum Kanun Brunei dan dibandingkan dengan ajaran Islam, maka didapati bahwa Hukum Kanun Brunei itu sebagian besarnya berdasarkan ajaran Islam, khususnya dalam masalah perkawinan dan perceraian, jenayah (pidana) dan mahkamah, demikian juga dalam hal jual beli dan riba. Sebagian isi yang lain berdasarkan adat, seperti yang dinyatakan dalam mukaddimah Hukum Kanun tersebut, yaitu adat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.19

C. Negara Islam Kesultanan Banjar (1526–1905)

Kesultanan Banjar merupakan kelanjutan dari sebuah kerajaan Hindu di Kalimantan Selatan yaitu Kerajaan Daha. Pada akhir abad ke-15 Kalimantan Selatan dibawah pengaruh Kerajaan Daha, yang pada saat itu dipimpin oleh Raja Sukarama, ia mempunyai tiga orang anak yaitu Pangeran Mangkubumi, Pangeran Tumenggung, dan Putri Galuh. Peristiwa kelahiran Kerajaan Banjar bermula dari konflik yang dimulai ketika terjadi pertentangan dalam keluarga istana. Konflik terjadi antara Pangeran Samudera dengan pamannya Pangeran Tumenggung, yang mana Pangeran Samudera adalah pewaris sah Kerajaan Daha sesuai keputusan dari Raja Sukarama sebelum meninggal.20

Pangeran Samudera adalah cucunya Raja Pangeran Sukarama. Mengetahui keputusan ayahnya ini, keempat puteranya tidak menyetujuinya, terlebih Pangeran Tumenggung yang sangat berambisi terhadap kekuasaan Kerajaan Daha.21 Setelah

Pangeran Sukarama meninggal, jabatan raja dipegang ole anak tertuanya yaitu

16 W. H Treacher, “Briish Borneo : Sketches of Brunei, Sarawak, Labuan and North Borneo”, JMBRAS , 1880, Vol. 20, hlm. 40

17 W. H Treacher, “Briish Borneo : Sketches of Brunei, Sarawak, Labuan and North Borneo”, JMBRAS, 1880, Vol. 20, hlm. 41.

18 Haji Mahmud Saedon Awang Othman, Perlaksanaan dan Pentadbiran Undang-Undang Islam di Negara Brunei Darussalam : Satu Tinjauan, hlm. 2

19 Dr. Hajah Saadiah, Pentadbiran Undang-Undang Islam Di Negara Brunei Darussalam Pada Zaman Briish,

Universii Brunei Darussalam, disampaikan dalam Seminar Sejarah Brunei III Sempena Sambutan Hari Kebangsaan Negara Brunei darussalam ke 22 Tahun 2006, pada 8-9hb March 2006M/ 8-9 Safar 1427H bertempat di Dewan Persidangan 2, Pusat Persidangan Antarabangsa, Berakas, Brunei. h.4-6 www. bruneiresources.com/pdf/nd06_saadiah.pdf

20 Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (Bandung: AlMa’arif, 1979),

386,

(13)

13

Pangeran Mangkubumi. Karena pada saat itu Pangeran Samudera masih berumur 7 tahun.

Pangeran Mangkubumi tidak lama berkuasa, ia dibunuh oleh seorang pegawai istana atas hasutan Pangeran Tumenggung. Dengan meninggalnya Pangeran Mangkubumi maka Pangeran Tumenggunglah yang menggantikannya sebagai raja Kerajaan Daha. Pada saat itu, Pangeran Samudera menjadi musuh besar Pangeran Tumenggung. Ia kemudian dibantu oleh Patih Masih yang menguasai Bandar Pelabuhan Banjar. Karena tidak mau menyerahkan upeti kepada Pangeran Tumenggung, maka Patih Masih ingin mengangkat Pangeran Samudera sebagai Raja.22

Patih Masih banyak bergaul dengan para Mubaligh yang datang dari Tuban dan Gresik. Dari para Mubaligh inilah ia mendengar kisah tentang Wali Songo dalam memimpin Kesultanan Demak dan membangun masyarakat yang adil dan makmur. Bagi Patih Masih, kisah tersebut sangat mengagumkan, seiring berjalannya waktu, ia akhirnya memeluk agama Islam.23

Atas bantuan Patih Masih Pangeran Samudera dapat menghimpun kekuatan perlawanan dan mulai menyerang Pangeran Tumenggung. Dalam serangan pertamanya Pangeran Samudera berhasil menguasai Muara Bahan, sebuah pelabuhan strategis yang sering dikunjungi para pedagang luar, seperti utara Jawa, Gujarat, dan Malaka.

Peperangan terus berlangsung, Patih Masih mengusulkan kepada Pangeran Samudera untuk meminta bantuan kepada Kerajaan Demak. Waktu itu Sultan Kerajaan Demak adalah Sultan Trenggono. Sultan Demak bersedia membantu dengan syarat Pangeran Samudera masuk Islam. Sultan Demak kemudian mengirimkan bantuan seribu orang tentara beserta seorang penghulu bernama Khatib Dayan untuk mengislamkan Pangeran Samudera beserta seluruh masyarakat Banjar.24

Dalam peperangan tersebut dengan bantuan dari Demak, Pangeran Samudera memperoleh kemenangan dan sesuai dengan janjinya, ia beserta seluruh kerabat kraton dan rakyat Banjar menyatakan diri masuk Islam.25

Jumlah orang yang masuk Islam saat itu mencapai 400.000 orang.26

Setelah masuk Islam pada tahun 1526 M, Kerajaan Daha berubah menjadi Kesultanan Islam Banjar dan Pangeran Samudera pun diberi gelar Sultan Suryanullah atau Sultan Suriansyah, yang dinobatkan sebagai raja pertama dalam Negara Islam Kesultanan Banjar.27

22 Harun Yahya, Kerajaan Islam Nusantara: Abad XVI Dan XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), h.72

23 Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia , 392

24 Zuhri, Op.Cit. h.220

25 J.J Ras, Hikayat Banjar a study in Malay Historiography (Leiden, 1968), 426, dalam: Nisa Ushulha, Kerajaan

Banjar Dan Perang Banjar (1859-18905 M), Fakultas Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 2016, h.17

26 Zuhri, Op.cit. h.389

(14)

14

Masa Keemasan Kesultanan Banjar

Puncak kejayaan Kerajaan Banjar terjadi di masa Sultan Mustain Billah, ia menggantikan ayahnya setelah ayahnya meninggal dunia, yaitu Sultan Hidayatullah. Pada masa ini, lada menjadi komoditas perdagangan utama di Kesultanan Banjar.

Banjarmasin sebagai ibukota Kerajaan Banjar mulai berkembang menjadi bandar perdagangan yang besar. Para pedagang dari berbagai suku datang ke Banjarmasin untuk mencari berbagai barang dagangan seperti lada hitam, rotan, damar, emas, intan, madu, dan kulit binatang.28

Khususnya lada hitam, komoditi yang satu ini menjadi primadona dalam perdagangan internasional. Sebagai bandar perdagangan, penduduk di Banjarmasin banyak yang berstatus sebagai pedagang. Mereka juga melakukan perdagangan sampai ke Pulau Jawa, tepatnya ke pelabuhan Banten.

Hukum Islam dan Peran Syekh Al Banjari di Kesultanan Banjar

Agama Islam merupakan agama resmi negara dan menempatkan kedudukan para ulama pada tempat yang terhormat dalam Kesultanan, tetapi selama berabad-abad lamanya hukum Islam belum melembaga dalam pemerintahan karena pada saat itu belum ada ulama yang mendampinginya. Setelah Sultan Tahmidullah II berkuasa pada tahun 1761 -1801 M, barulah hukum Islam melembaga di Negara Islam Banjar dengan didampingi oleh Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, salah seorang ulama besar yang telah berhasil membina masyarakat Banjar untuk mengamalkan ajaran Islam.29

Kehadiran Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari menimbulkan terjadinya perubahan dalam pemerintahan, terutama setelah beliau datang dari Mekah dan tiba di Martapura pada tahun 1772 M. 30

Dengan kebijakan Syeikh al-Banjari, perlahan-lahan hukum dan ajaran Islam masuk ke Istana Banjar. Hukum Islam dijadikan hukum pemerintahan sebagai sumber pokok dalam membuat undang-undang dan peraturan yang berdasarkan Al-qur’an dan Hadist berdasarkan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan madzhab Syafi’i. Di masyarakat Banjar ajaran fiqih madzab syafi’i sangat berpengaruh sehingga menjadi hukum adat rakyat. Hukum had (hukum pidana Islam) pernah diberlakukan di kesultanan Banjar bagi kasus pembunuhan, murtad dan perzinaan sebagai pengamalan hukum syariat Islam.

Syeikh Muhammad Arsyad menyadari bahwa pelaksanaan hukum Islam secara nyata tidak mungkin tanpa adanya lembaga hukum yang mengatur dan melaksanakannya. Oleh karena itu ia mengusulkan kepada Sultan untuk membentuk Mahkamah Syari’ah dan disetujui Sultan, yakni suatu lembaga pengadilan agama yang dipimpin seorang mufti sebagai ketua hakim tertinggi, pengawas pengadilan

28 Suriansyah Ideham, Urang Banjar dan Kebudayaannya (Banjarmasin: Badan Peneliian dan Pengembangan

Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dan Pustaka Benua, 2007), 20.

29 Yusuf Halidi, Syekh Muhammad Al-Banjari Ulama Besar Kalimantan Selatan Silsilah Raja -raja yang Berkuasa Pada Masa al-Banjari dari Lahir Hingga Wafat (Surabaya: Al-Ihsan, 1968), h.25.

(15)

15

umum. Lembaga ini bertugas mengurusi masalah-masalah keagamaan yang timbul dalam masyarakat agar senantiasa terbimbing dengan kebenaran hukum Islam.

Mufti sebagai ketua mahkamah syariah didampingi oleh seorang Qadhi yang bertugas sebagai pelaksana hukum dan mengatur jalannya pengadilan. Dengan kepastian hukum Islam yang diterapkan dalam Kerajaan, segala urusan dalam masyarakat dapat diselesaikan dalam pengadilan agama yang mendapat legitimasi dari Kerajaan.31

Dari sudut pandang Islam, otoritas sultan berasal dari perannya sebagai pelaksana hukum Islam (Syari’ah). Menurut teori tentang pemerintahan, sultan bertanggung jawab atas pelaksanaan syari’ah di negaranya, sedangkan rakyat bertanggung jawab kepadanya. Bahkan sebuah pemerintahan militer dipandang sebagi pemerintahan yang sah sepanjang ia mengakomodasi syari’ah dan memenuhi kebutuhan mendasar kaum muslim secara umum.32

Perkembangan Islam yang sangat berarti terjadi pada masa pemerintahan Sultan Tahmidullah II (Pangeran Nata Alam), sekitar tahun 1785-1808; dan Sultan Sulaiman (1808-1825), yang kedatangan seorang ulama besar yaitu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dari perantauannya, setelah menuntut ilmu di dua kota suci di Mekkah dan Madinah. Dalam menyebarkan agama Islam, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat dukungan dengan disediakannya segala sarana dan fasilitas dalam menyebarkan agama Islam oleh Sultan.33

Hasil-hasil pemikiran yang cermelang dari Syekh Muhammad Arsyad alBanjari menambah berkembangnya agama Islam di Banjarmasin, antara lain:

1. Mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat Banjarmasin;

2. Mengusulkan kepada Sultan agar diangkat Mufti dan Qadi di kesultanan Banjarmasin, serta diangkat pengurus mesjid seperti khatib, imam, muazzin, dan penjaga mesjid;

3. Mengusulkan kepada Sultan agar di kesultanan Banjarmasin diberlakukan hukum Islam, bukan hanya terbatas pada hukum perdata, tetapi juga hukum pidana Islam, misalnya, hukuman mati bagi pembunuh, potong tangan bagi pencuri, dicambuk bagi penzina, dan hukum mati bagi orang Islam yang murtad;

4. Untuk melaksanakan hukuman secara Islam tersebut, beliau mengusulkan dibentuk Mahkamah Syariah, semacam pangadilan tingkat banding, di samping lembaga qadi.34

5. Menulis beberapa kitab yang berisi ajaran-ajaran agama Islam sebagai pegangan dan pedoman bagi umat Islam. Di antara kitab-kitabnya yang terkenal dan menjadi rujukan dakwah adalah: (1) Ushuluddin, (2) Luqtatul

31 Yahya Harun, Kerajaan Islan Nusantara Abad XVI dan XVII, Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995, h.83-84

32 Ira Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: PT Raja Graindo Persada, 1999), 492.

33 Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichiar Baru Van Hoeve, 1992, h. 229

34 Zamzam, n.y.; Daudi, 1980; dan Ensiklopedi Islam, 1992, dalam: Ita Syamtasiyah Ahyat, Perkembangan Islam di Kesultanan Banjarmasin, SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan, 8(1) Mei

(16)

16

‘Ajlan, (3) Kitabul Faraid, (4) Kitabun Nikah, (5) Tuhfatur Raghibin, (6)

Sabilal Muhtadin, (7) Qawlul Mukhtasar, (8) Kanzul Ma’rifah, (9) Hasyiah

Fathil Jawad, dan (10) Mushaf al Quranil Karim.35

Untuk memimpin Mahkamah Syariah, maka ditunjuklah seorang Mufti. Dan Mufti pertama yang diangkat oleh Sultan adalah Syekh Muhamad As’ad, cucu dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari; dan bertindak sebagai Qadi pertama adalah Abu Zu’ud, anak dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Kemudian, Sultan mengangkat Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai Musytasyar (Mufti Besar) kesultanan Banjarmasin untuk mendampingi Sultan dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. 36

Kedudukan agama Islam sebagai agama Negara juga terlihat dengan jelas pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Wasik Billah yang memerintah pada tahun 1825-1857 M, ia mendapatkan gelar Sultan Muda sejak tahun 1782. Ia mengeluarkan Undang Negara pada tahun 1835 yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Sultan Adam, yang mana dalam Undang-Undang-Undang-Undang tersebut terlihat jelas bahwa sumber hukum yang dipergunakan adalah hukum Islam.37

Undang-Undang Sultan Adam adalah hukum Islam dalam bidang politik sebagai proses perkembangan perundangan Islam di dalam kesultanan Banjarmasin. Sebagai seorang penguasa, Sultan Adam dikenal sebagai Sultan yang shalih dan gemar dalam menjalankan ajaran Islam serta dihormati oleh rakyatnya. Beliau juga merupakan salah seorang Sultan yang sangat memperhatikan perkembangan Islam di Kalimantan.38

Undang-Undang Sultan Adam terdiri atas 31 pasal yang materinya dapat dikelompokkan kedalam enam masalah, sebagai berikut:

Pertama, masalah-masalah Agama dan Peribadatan, yang mencakup: pasal 1 tentang masalah kepercayaan; pasal 2 tentang mendirikan tempat ibadah dan sembahyang berjemaah; serta pasal 20 tentang kewajiban melihat awal Ramadhan atau awal bulan puasa.

Kedua, masalah-masalah Hukum dan Tata-Pemerintahan, yang mencakup: pasal 3 dan pasal 21 tentang kewajian tetuha kampung; serta pasal 31 tentang kewajiban lurah dan mantri-mantri.

Ketiga, masalah Hukum Perkawinan, yang mencakup: pasal 4 dan pasal 5 tentang syarat nikah; pasal 6 tentang perceraian; pasal 18 tentang barambangan; pasal 25 tentang mendakwa istri berzinah; serta pasal 30 tentang perzinahan.

Keempat, masalah Hukum Acara Peradilan, yang mencakup: pasal 7 dan pasal 9 tentang tugas mufti; pasal 10 tentang tugas hakim; pasal 11 tentang pelaksanaan putusan; pasal 12 tentang pengukuhan keputusan; pasal 13 tentang kewajiban bilal dan kaum; pasal 14 tentang surat dakwaan; pasal 15 tentang tenggang waktu

35 Shaghir Abdullah, H.W. Muhd. (1990). Syekh Muh. Arsyad al-Banjari: Matahari Islam. Banjarmasin: Seri Ulama Pengarang Asia Tenggara, Periode III. h. 41-42

36 Zamzam, n.y.; dan Daudi, 1980, dalam: Ita Syamtasiyah Ahyat, op.cit. h.15-16

37 Undang-Undang Negara, Undang-Undang Sultan Adam, 1835, dalam: Nisa Ushulha, op.cit. h.22

(17)

17

gugatmenggugat; pasal 19 tentang larangan raja-raja atau mantri-mantri campur tangan urusan perdata, kecuali ada surat dari hakim; serta pasal 24 tentang kewajiban hakim memeriksa perkara.

Kelima, masalah Hukum Tanah, yang mencakup: pasal 17 tentang gadai tanah; pasal 23 dan pasal 26 tentang masalah daluarsa; pasal 27 tentang sewa tanah; pasal 28 tentang pengolahan tanah; serta pasal 29 tentang menterlantarkan tanah.

Keenam, masalah Peraturan Peralihan, yang mencakup: pasal 16 tentang peraturan peralihan.

Undang-Undang Sultan Adam ditetapkan pada tahun 1251 Hijriah oleh Sultan Adam sendiri. Undang-undang ini dibuat oleh sebuah tim dengan pimpinan Sultan Adam, serta dibantu oleh para anggota, antara lain menantu Sultan Adam, Pangeran Syarif Hussein, Mufti H. Jamaluddin, dan lain-lain. Maksud dan tujuan dari Undang-Undang Sultan Adam itu dikeluarkan, seperti yang jelas tertulis, adalah: untuk menyempurnakan agama dan kepercayaan rakyat; untuk mencegah jangan sampai terjadi pertentangan di kalangan rakyat; serta untuk memudahkan bagi para hakim dalam menetapkan hukum, sehingga rakyatnya menjadi baik.39

Penghapusan Hukum Islam dan Kedaulatan Banjar

Kedaulatan Banjar sebenarnya telah berusaha digerogoti penjajah Belanda dengan adanya perjanjian pada tahun 1787 M. Pernjanjian antara Kerajaan Banjar yang diwakili oleh Sultan Tahmidillah II dan Belanda yang diwakili oleh Kapten Christoffel Hoffman ditandatangani pada tanggal 13 Agustus 1787. Dalam perjanjian itu, salah satu poin penting yang menunjukkan bahwa Belanda telah menanamkan pengaruh yang kuat di Kerajaan Banjar adalah pengalihan kedaulatan atas Kerajaan Banjar kepada Belanda dan penyerahan bagian-bagian penting dari Kerajaan Banjar kepada Belanda yang kemudian menjadi wilayah milik Belanda. 21 Daerah tersebut, menurut Pasal 6 perjanjian 13 Agustus 1787, membentang dari pantai Timur Kalimantan ke Barat, termasuk Pasir, Pulau Laut, Tabanio, Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kota Waringin dengan lingkungan sekitar dan daerah taklukannya, serta sebagian dari desa Tatas.40

Kedaulatan Banjar benar-benar telah lenyap pada tahun 1826 M ketika diadakan sebuah kontrak baru yang ternyata bertahan sampai penghapusan Kerajaan Banjar secara sepihak oleh Belanda pada tahun 1860 M.

Kontrak itu isinya antara lain adalah:

1. Pemilihan dan penetapan putra mahkota harus disetujui oleh pemerintah Hindia Belanda. Demikian pula penunjukan perdana menteri yang bertugas melaksanakan perintah Sultan atas seluruh daerah kekuasaan Kerajaan Banjar.

39 Kiaibondan, op.cit. h.151-155

(18)

18

2. Tidak ada seluruh wilayahpun yang diperintah Sultan bisa diserahkan kepada pihak lain tanpa seizin Gubernemen.

3. Sultan, anak-anaknya, dan keluarganya tidak diizinkan menerima surat atau duta dari negara-negara asing, raja-raja lain atau mengirimkannya kepada mereka tanpa memberitahu sebelumnya kepada Residen.

4. Mangkubumi dan masyarakat Banjar yang tinggal di daerah Sultan di Banjarmasin atau di tempat-tempat lain, bila berbuat kejahatan terhadap pemerintah Hindia Belanda atau pegawainya akan dihukum oleh pengadilan yang didirikan oleh Sultan dan Gubernemen wilayah Banjarmasin.

5. Semua orang Banjar yang tinggal dalam wilayah Kerajaan Banjar akan diadili oleh pengadilan yang diatur oleh Kerajaan Banjar itu sendiri.

6. Semua hukuman yang merusak badan misalnya memotong tangan, dan sebagainya dihapuskan.

7. Tiap orang diizinkan berdagang dan raja mempunyai hak untuk mengadakan cukai dan pajak yang adil, dan lain sebagainya.41

Jihad Sultan Hidayatullah dan Sultan Antasari Melawan Belanda

Pangeran Hidayatullah diangkat menjadi Sultan Banjar berdasarkan Surat Wasiat Kakek beliau Sultan Adam. Pengangkatan ini dilakukan karena ayah Pangeran Hidayatullah, Sultan Muda Abdurrahman wafat.

Penghapusan hukum Islam di Banjar dan campur tangan Belanda yang semakin mencengkeram kedaulatan negara Banjar membuat rakyat marah dan melakukan perlawanan, jihad, perang sabil melawan penjajah Belanda. Perlawanan rakyat terhadap Belanda mulai berkobar di daerah-daerah yang dipimpin oleh Pangeran Antasari yang berhasil menghimpun 3.000 orang dan menyerbu pos-pos Belanda. Pos-pos Belanda di Martapura dan Pangaron diserang oleh Pangeran Antasari pada tanggal 28 April 1859. Disamping itu, kawan-kawan seperjuangan Pangeran Antasari juga telah melakukan penyerangan terhadap pasukan-pasukan Belanda yang dijumpainya.

Pada saat Pangeran Antasari mengepung benteng Belanda di Pengaron, Kyai Demang Leman dengan pasukannya telah bergerak di sekitar Riam Kiwa dan mengancam benteng Belanda di Pengaron. Lalu bersama-sama dengan Haji Nasrun pada tanggal 30 Juni 1859 ia menyerbu pos Belanda yang berada di istana Martapura. Dalam bulan Agustus 1859 Kyai Demang Leman bersama Haji Buyasin dan Kyai Langlang berhasil merebut benteng Belanda di Tabanio.42

41 Naskah fotocopy Proklamasi Penghapusan Kerajaan Banjar oleh Belanda , 11 Juni 1860. h.3 dalam: Nisa Ushulha, Kerajaan Banjar Dan Perang Banjar (1859-18905 M), Fakultas Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 2016, h.36-37

42 Soeri Soeroto, Perang Banjar (Jakarta: Departemen Ketahanan dan Keamanan Pusat Sejarah ABRI, 1973),

(19)

19

Dengan meluasnya perlawanan rakyat ini pemerintah Hindia Belanda di Banjar menghadapi kesulitan. Meluasnya pengaruh perlawanan di kalangan rakyat diusahakan untuk dibatasi. Kepala-kepala daerah dan para ulama diberi peringantan, agar mereka menunjukkan sikap setia kepada pemerintah Belanda, dan agar mereka mengecam kaum pejuang. Peringatan tersebut dikemukakan dengan disertai suatu ancaman yang berat bagi siapa saja yang tidak mengindahkannya.

Kepala-kepala daerah dan para ulama menjadi cemas karena adanya pengumuman tersebut. Namun kebanyakan dari mereka tidak mau mengindahkan ancaman tersebut dan justru bergabung dengan para pejuang.43

Dalam perang ini, seperti juga perang di daerah lain, Belanda juga menerapkan strategi licik, belah bambu dan pecah belah (devide et empera), menggunakan pejabat Kerajaan yang memihak padanya untuk menindas perlawanan rakyaknya sendiri.44

Sebenarnya bagi para pengikut dan pemimpin-pemimpin perjuangan lainnya, Pangeran Hidayatullah lebih merupakan sebuah simbol perjuangan mereka daripada seorang yang aktif dalam pertempuran. Namanya digunakan sebagai sebuah titik tumpu untuk mendapatkan lebih banyak pengikut. Tampaknya Pangeran Antasari, Demang Lehman, Aminullah, dan lainnya, mula-mula melakukan perlawanan itu untuk kepentingannya. Pangeran Hidayatullah juga menganggap perang melawan Belanda adalah perang sabil atau jihad terhadap orang Belanda “kafir.” Untuk itu Belanda memberikan imbalan atas kepala Pangeran Hidayatullah seperti Pangeran Antasari sebesar 10.000,- gulden.45

Perlawanan semakin meluas, kepala-kepala daerah dan para ulama ikut memberontak, memperkuat barisan pejuang Pangeran Antasari bersama-sama pangeran Hidayat, langsung memimpin pertempuran di berbagai medan melawan pasukan kolonial Belanda. Tetapi karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap dan modern, pasukan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayat terus terdesak serta semakin lemah posisinya. Setelah memimpin pertempuran selama hampir tiga tahun, karena kondisi kesehatan, akhirnya Pangeran Hidayat menyerah pada tahun 1861 dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.

Setelah Pangeran Hidayat menyerah, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannyasebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: "Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah," seluruh rakyat, pejuang-pejuang,para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan

43 Idwar Saleh, Pangeran Antasari (Proyek Infentaris Dokumentasi Sejarah Nasional, 1993), h.9 dalam; Nisa

Ushulha, op.cit. h.41-42

44 A Gazali Usman, “Pangeran Hidayatullah” (Banjarmasin: Kalimantan Scienie, 1988), h.6

45 Rees, De Bandjermasinsche Krijg van 1859—1863, II, h. 161-162. Lihat juga; Happe, Memorie van over, ANRI, dalam; Ita Syamtasiyah Ahyat, Pangeran Hidayatullah Melawan Belanda: Kasus Perang Banjarmasin (1859-1863), Departemen Sejarah, Fakulras Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, makalah Prosiding The 5 th Internaional Conference on Indonesian Studies: “Ethnicity and Globalizaion”. h.298

(20)

20

suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi 'Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin'.46

Setelah Sultan Antasari wafat, kemudian digantikan putranya, Muhammad Seman untuk meneruskan perjuangan melawan penjajah Belanda. Muhammad Seman gugur pada 24 Januari 1905 ditembak Belanda yang mengakhiri Perang Banjar dan banyak para pahlawan pejuang yang tertangkap, Pangeran Aminullah (menantu Pangeran Prabu Anom) dibuang ke Surabaya, Ratu Zaleha diasingkan ke Bogor, keturunan Tumenggung Surapati yang tertangkap diasingkan ke Bengkulu, dan sebagai penerus Sultan Muhammad Seman adalah Gusti Berakit. Negeri Banjar menjadi sepenuhnya di bawah pemerintahan Residen Belanda dilanjutkan Gubernur Haga, Pimpinan Pemerintahan Civil, Pangeran Musa Ardi Kesuma (Ridzie Zaman Jepang), Pangeran Muhammad Noor (Gubernur Kalimantan I), sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Selatan.

D. Negara Islam Kesultanan Sambas (1671 -1855 M)

Wilayah Kesultanan Sambas, saat ini terletak di ibukota Sambas, tepatnya di antara pertemuan tiga anak sungai yakni, sungai Sambas Kecil, sungai Sungai Subah, dan sungai Teberau. Istana Kesultanan Sambas berada di daerah Muara Ulakan, sekarang di Desa Dalam Kaum, Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Saat ini wilayah tempat Kesultanan Sambas lebih dikenal dengan masyarakat Melayu Sambas. Melayu Sambas merupakan etnoreligius Muslim yang berbudaya Melayu, berbahasa Melayu dan menempati sebagian besar wilayah Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kota Singkawang dan sebagian kecil Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.47

Jauh sebelum agama Islam masuk dan berkembang di Kalimantan Barat, tepatnya di Sambas, Islam sudah berkembang di daerah Kalimantan bagian lain seperti Banjarmasin. Agama Islam dibawa oleh para pedagang dari Arab yang kemudian diperkenalkan lagi oleh para pedagang dari Banjarmasin dan Brunei Darussalam. Agama Islam masuk di Kalimantan Barat sekitar abad ke-15 Masehi. Daerah yang pertama kali bersentuhan dengan agama Islam adalah Pontianak pada tahun 1741, Matan pada tahun 1743, dan Mempawah pada tahun 1750.

Berdasarkan perkembangan agama Islam yang terjadi di Kalimantan Barat, turut berdiri juga Kesultanan Pontianak pada tanggal 23 Oktober 1771 Miladiah (14 Rajab 1185 H) dengan raja yang bernama Sultan Syarif Abdurahman Al Qadrie. Dengan semakin berkembangnya agama Islam di Kesultanan Pontianak, semakin memudahkan terjadinya proses Islamisasi terhadap daerah-daerah pedalaman yang memiliki akses ke Kesultanan Pontianak dan berada di daerah aliran sungai Kapuas. Proses ini banyak dilakukan oleh para pedagang dari Banjarmasin dan Brunei Darussalam yang datang dengan tujuan berniaga. Kebanyakan dari para pedagang

46 Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil Versus Perang Salib Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis Dan Belanda, Penerbit: Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah Jakarta 1420 H / 1999 M h.52

47 Mario Inirgo Oki Menes Belo, Islam Di Kesultanan Sambas Kalimantan Barat 1600 – 1732, Skripsi Program

Studi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2016. h.30

(21)

21

ini melakukan perjalanan melalui aliran sungai Kapuas. Para pedagang masuk ke Sambas dimulai sejak abad ke-14 M yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan kerajaan Hindu. Dengan melakukan proses perdagangan dan hidup cukup lama di Sambas, para pedagang ini mendapat izin dari raja untuk menetap.

Penyebaran agama Islam bermula dari lingkungan kerajaan, seperti melakukan pernikahan campuran yang kemudian diikuti oleh raja. Ketika raja memeluk agama Islam, sebagian besar penduduk ikut memeluk agama Islam. Kebanyakan yang ikut memeluk agama Islam adalah para pribumi yang berada di sekitar kerajaan dan berada di daerah aliran lalu lintas perdagangan sungai. Namun ada juga yang tidak masuk agama Islam dengan melakukan perpindahan ke daerah pedalaman atau ke wilayah lain khususnya suku Dayak yang sebagian menolak agama Islam.48

Masuk dan semakin berkembangnya Islam di Sambas dimulai ketika kedatangan Raja Tengah di Kota Bangun. Raja Tengah adalah seorang Raja Serawak yang selama 40 tahun tinggal di daerah Sukadana/Matan dan Sambas. Raja Tengah yang pernah tinggal di Sukadana menikah dengan adik Sultan Matan, Sultan Muhammad Syafiuddin yakni Ratu Surya Kesuma yang dikaruniai seorang anak bernama Raden Sulaiman. Raden Sulaiman kemudian menjadi cikal bakal pendiri Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin I yang berkuasa dari tahun 1631-1668 merupakan Sultan pertama Sambas.49

Raden Sulaiman yang bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin I merupakan Sultan pertama yang memeluk Islam dan membuat Islam semakin berkembang di Sambas. Hal ini dibuktikan dengan diikuti oleh keluarga besar maupun kerabat Kesultanan. Oleh karena melihat dan terdorong keluarga Kesultanan yang memeluk Islam, banyak rakyat yang berada di sekitar daerah dan di bawah pemerintahan Kesultanan ikut serta memeluk Islam. Selain itu, terdapat juga masyarakat yang sudah memeluk Islam jauh sebelum Sultan dan keluarga Kesultanan memeluk Islam. Masyarakat ini kebanyakan memeluk Islam karena sudah menikah dan hidup berbaur dengan para pedagang dari Arab, Gujarat, Brunei, dan Banjar.

Berkembangnya Islam di daerah Sambas sangat mempengaruhi perkembangan Islam di daerah lainnya. Saat Islam mulai masuk di daerah Sambas, Kerajaan Hindu masih berkuasa dan masih di perintah oleh seorang Ratu dengan gelar Ratu Sepudak. Ratu Sepudak merupakan keturunan Majapahit terakhir yang berkuasa sebelum menyerahkan kerajaan kepada Raja Tengah. Raja Tengah merupakan anak dari Sultan Brunei, Sultan Muhammad Hasan (1582-1598) yang dikeluarkan dari negeri Brunei oleh abangnya Sultan Abdul Jalilul Akbar karena perebutan kekuasaan ke daerah Serawak dengan ditemani seribu orang Sakai (hulubalang, prajurit yang berasal dari suku Kedayan dan pulau Bunut). Selain para Sakai, Raja Tengah juga ditemani oleh orang-orang pembesar dan pemuda-pemuda yang akan menjadi pejabat penting, serta yang sudah menikah berangkat beserta keluarga mereka. Para

48 Mario Inirgo Oki Menes Belo, Islam Di Kesultanan Sambas Kalimantan Barat 1600 – 1732, Skripsi Program

Studi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2016. h.30

49 Ansar Rahman, dkk, Kabupaten Sambas – Sejarah Kesultanan dan Pemerintah Daerah. Ponianak:

(22)

22

pengikut Raja Tengah ini kemudian menjadi cikal bakal dari orang Melayu di Serawak dan membaur dengan orang Melayu dari keturunan Abang Gulam.50

Pada periode awal berdirinya Kerajaan Sambas, negeri Sambas sering disebut dengan “Negeri Kebenaran” yang masa itu dikuasai oleh raja-raja dari keturunan Majapahit. Raja yang terakhir berkuasa di Kerajaan Sambas ialah Ratu Sepudak dan Ratu Anom Kesuma Yuda selama periode tahun 1300-1631.

Masuk dan berkembangnya Islam di Sambas tidak terlepas dari adanya peran penting para da’i dan ulama dari Arab, Gujarat, Brunei, dan Banjar yang telah menganut Islam membawa Islam masuk baik melalui jalur laut maupun jalur darat dengan cara berdagang serta adanya pernikahan campuran baik dengan masyarakat lokal maupun kaum bangsawan kerajaan. Selain itu, pengaruh dari Raja Tengah yang melakukan pengembangan ajaran Islam di Sambas semakin membuat Islam diterima dengan baik oleh masyarakat. Hal ini terjadi dikarenakan baik para pedagang maupun Raja Tengah melakukan proses integrasi yang kemudian menghasilkan akulturasi dengan masyarakat Sambas. Puncaknya Ratu Anom Kesuma Yuda yang merupakan raja terakhir kerajaan Hindu Sambas menyerahkan pemerintahan dan negeri Sambas kepada Raden Sulaiman dan istri.51

Setelah mendapatkan negeri dan pemerintahan Sambas melalui upacara serah terima yang dilakukan oleh Ratu Anom Kesuma Yuda, Raden Sulaiman kemudian pindah dari Kota Bandir ke daerah Lubuk Madung. Di daerah Lubuk Madung inilah pada tanggal 9 Juli 1631, Raden Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin I. Lubuk Madung merupakan suatu daerah di sebelah hulu sungai Teberau, anak sungai dari sungai Sambas Kecil simpang kanan yang di bagian hilirnya terdapat sebuah desa yang bernama Lubuk Lega.

Sultan Muhammad Syafiuddin I merupakan raja pertama di Kerajaan Islam Sambas yang menggunakan gelar Sultan. Gelar ini kemudian diteruskan sampai Sultan Sambas ke-15. Sultan Muhammad Syafiuddin I merupakan orang yang pertama menerapkan tata pemerintahan yang berlandaskan Islam di Kesultanan Sambas. pada pemerintahan Sultan Muhammad Tajuddin, Kesultanan Sambas semakin mengalami kemajuan baik dalam hal ekonomi maupun agama. Di setiap desa didirikan surau dan tempat pengajian untuk memperdalam Islam.

Dari sejak berdirinya Kesultanan Sambas pada tahun 1671 dengan Sultan pertama Kesultanan Sambas yaitu Sultan Muhammad Shafiuddin I hingga tahun 1818 yaitu dimasa pemerintahan Sultan Sambas ke-8 yaitu Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I (Pangeran Anom), Kesultanan Sambas pada rentang masa itu (1671 M - 1818 M) adalah dalam kondisi berdaulat penuh yaitu pada rentang masa itu tidak ada satu pun kekuasaan asing yang menduduki atau mendirikan perwakilan pemerintahan di Kesultanan Sambas dan pada rentang masa itu Kesultanan Sambas tidak ada tunduk atau mengantarkan upeti apapun kepada pihak kekuasaan asing manapun.

50 Abang Gulam adalah seorang pedagang Melayu dari Minangkabau, Sumatera Barat yang bermukim di

Kampung Beladin, Saribas, Ansar Rahman, dkk.,op.cit. h. 28-29.

51 Ansar Rahman, dkk, Kabupaten Sambas – Sejarah Kesultanan dan Pemerintah Daerah. Ponianak:

(23)

23

Belanda mulai menanamkan kekuasaannya di Kesultanan Sambas pertama kali pada tahun 1818 M dan saat itu posisi Hindia Belanda di Kesultanan Sambas itu masih sebagai mitra bagi Kesultanan Sambas (belum mengendalikan pemerintahan Kesultanan Sambas) di mana saat itu Hindia Belanda hanya sebatas menangani / mengatur Kongsi-Kongsi pertambangan emas yang ada di wilayah Kesultanan Sambas. Hindia Belanda mulai mengendalikan pemerintahan Kesultanan Sambas sejak tahun 1855 M yaitu di masa pemerintahan Sultan Sambas ke-12 yaitu Sultam Umar Kamaluddin (Raden Tokok) Tahun 1855, Sultan Abubakar Tadjuddin II dipaksa turun takhta dan diasingkan ke Jawa oleh penjajah Belanda, dan mengakhiri kedaulatan Kesultanan Sambas.

Hukum Islam di Sambas

Para Sultan Sambas yang dimulai dari Sultan Muhammad Syafiuddin I sampai wafatnya Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin, selama 312 tahun telah mengembangkan Islam. Selain mendirikan Istana Kesultanan, para Sultan juga mendirikan masjid dan menganjurkan kepada masyarakat untuk membangun surau dan masjid di setiap perkampungan. Masjid Sambas pertama diperkirakan didirikan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Tajuddin dengan bentuk yang sederhana.52

Sebelum adanya campur tangan penjajah Belanda, Pengadilan Agama di Kesultanan Sambas secara turun-temurun melaksanakan hukum Islam yang berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits Nabi yang juga menerapkan Qisas menurut hukum Islam. Misalnya membunuh dihukum bunuh, berzina dikenakan hukum rajam.53

E. Kesultanan Kutai Karta Negara (1732-1844)

Ada beberapa versi yang menerangkan tentang asal kata Kutai. Pertama, Kutai berasal dari bahasa Hindu (Sansekerta) quetairy yang berarti hutan lebat atau hutan raya. Kemungkinan pemunculan kata ini karena tanah Kutai memiliki kekayaan alam yang Kesultanan Sambas berlimpah ruah, diantaranya hutan. Versi kedua, berdasarkan monografi Kutai tahun 1968, kata Kutai berasal dari bahasa Cina yaitu Kho dan Thaiyang artinya Negara Besar, argumentasi pendapat kedua ini setidaknya dilihat dari beberapa peninggalan benda-benda antik yang berasal dari negeri Cina dan hal ini terjalin karena hubungan dagang dan kontak budaya.54

Terlepas dari perbedaan versi asal penamaan Kutai, setidaknya penyebutan kata Kutai mengingatkan bahwa kesultanan Kutai adalah sebuah imperium yang telah menaklukan kerajaan Hindu tertua di Indonesia pada tahun 1605, yaitu kerajaan Martadipura/Martapura yang lebih dikenal sebagai kerajaan Mulawarman. Dinasti Kudungga yang kemudian lebih dikenal dengan dinasti Mulawarman sebagai

52 Ibid., h. 88.

53 Ansar Rahman, dkk. Kabupaten Sambas – Sejarah Kesultanan dan Pemerintah Daerah. Taurus-Semar Karya,

Ponianak 2001, h. 78j

54 Dep. Pendidikan dan Kebudayaan Kalim, Wujud Ari dan Fungsi Puncak-puncak Kebudayaan Lama dan Asli di Kalimantan Timur, Kanwil Dikbud Prov. Kalimantan Timur, 1995/1996, hal. 9

(24)

24

dinasti tertua di Nusantara berkuasa selama 12 abad dengan rajanya yang terakhir Mulawarman Dharma Setia. Kekuasaannya meliputi kerajaan Pasir, kerajaan Sambaliung dan kerajaan kecil yang terletak di hulu sungai Mahakam seperti kerajaan Sendawar, Pantun, Seri Muntai, dan Seri Bangun.

Nama lengkap Kesultanan Kutai adalah Kesultanan Kutai Karta Negara Ing Martadipura (Martapura), hal ini menunjukan bahwa kesultanan ini bermula dari dua kerajaan yang berbeda yang kemudian disatukan dalam bentuk penaklukan atas kerajaan Martadipura pada abad ke-17 yaitu semasa pemerintahan Pangeran Sinum Panji Mendapa (1635–1650). Kerajaan Martadipura adalah kerajaan yang hidup sejak abad ke-4 dengan Kudungga sebagai rajanya yang pertama, terletak di pedalaman (hulu) aliran sungai Mahakam. Sedangkan kerajaan Kutai adalah kerajaan melayu yang pada awal berdirinya merupakan koloni dari kerajaan Majapahit55

yang setelah menerima pengaruh ajaran Islam merubah nama menjadi kesultanan Kutai, dan pusat pemerintahan kesultanan Kutai ini di muara sungai Mahakam. Istilah kesultanan diambil karena raja yang berkuasa bergelar sultan, hal ini dimulai sejak raja kutai yang ke 14 yaitu Sultan Aji Muhammad Idris (1732-1739).56

Suku asli kesultanan Kutai terbagi dari dua kelompok suku besar yaitu pertama, Kelompok suku Melayu (Melayu Muda); terdiri dari puak pantun, Puak Punang, Puak Pahu, puak Tulur Dijangkat dan puak Melani. Yang selanjutnya puak-puak ini berkembang menjadi suku Kutai yang memiliki bahasa yang sama tetapi dealek yang berbeda. Kedua, Kelompok suku Dayak (Melayu Tua); terdiri dari suku Tunjung, Bahau Benuaq Penihing Busang dan Modang.57

Islamisasi Kutai

Mayoritas penulis kesejarahan Islam di Kalimantan Timur menyimpulkan bahwa Islam berkembang di kerajaan Kutai dibawa oleh para Mubaligh dari Sulawesi Selatan. Namun ada dua teori lain yang dikemukakan yaitu pertama, Islam dibawa oleh para pedagang dari Brunei di Kalimantan Utara dan Moro Filipina Selatan yang Islamnya sudah ada sejak awal abad 16 melalui kerajaan Bulungan atau Berau mengingat lalu lintas pelayaran diperairan Kalimantan Timur ini sudah terbuka sejak berabad-abad lamanya. Kedua, Islam masuk dari Kalimantan Selatan.58

Konstruksi pengembangan dan Islamisasi Nusantara secara umum berlaku pula untuk proses Islamisasi Kutai. Seorang raja memiliki peranan yang sangat strategis dalam mengemban misi tersebut. Peran dan fungsi raja dalam di Kesultanan Nusantara yaitu fungsi pemerintahan umum, pertahanan keamanan, dan penata bidang agama. Untuk fungsi yang terakhir ini seorang raja atau sultan diberi gelar seperti, sayidin Panatagama Khlaifatullah – khalifah Allah pengatur agama, di samping jabatan para raja, ada juga gelar-gelar yang menunjukan adanya pengaruh

55 Setwilda TI II Kutai, Gelora Mahakam dalam Cuplikan Tulisan, Setwilda, Tenggarong, 1999, hal. 9

56 Depdikbud, Wujud Ari … , Op. Cit., hal. 71.

57 Setwilda TK II Kutai, Kutai Perbendaharaan Kebudayaan Kalimantan Timur, Humas Pemkab Tk II Kutai, 1999,

hal. 41-44

(25)

25

dan watak ketatanegaraan dari pelaksanaan syari’at Islam di Nusantara, yaitu, gelar Kanjeng Penghulu, Penghulu Tuanku Mufti, Modin, Lebai dan sebagainya.59

Hal demikian dibuktikan dengan strategi yang diterapkan oleh Datuk Ditiro (Tunggang Parangan) yang bernama asli Abdul Kadir Khatib, seorang mubaligh yang berasal dari Minangkabau. Sebelumnya menyebarkan Islam di Goa Tallo Makasar dan selanjutnya mengIslamkan raja Aji Mahkota (1565-1607).

Raja Kutai pertama yang menerima ajaran Islam adalah Raja Mahkota (1545-1610) bergelar Aji Mahkota Mulia Islam adalah raja ke – 6 kerajaan Kutai, yang diIslamkan oleh Datu Ditiro. Selanjutnya Islam berkembang melalaui beberapa jalur, yaitu perdagangan, perkawinan, pendidikan dan seni budaya.60

Pada abad pertengahan dikenal sebuah adagium Cuius regio illius est religi yang berarti rakyat yang tinggal di wilayah seorang raja, diwajibkan memeluk agama raja. Dengan kata lain, agama raja agama rakyat. Hal demikianpun terjadi dalam kehidupan sejarah bangsa Nusantara, pada masa kerajaan Majapahit dikenal pula pola “mengagamakan” rakyat di dalam kerajaan mengikuti agama ageming ratu (agama raja).

Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Kutai banyak dipengaruhi oleh nila-inilai agama, karena nilai (agama) bagi masyarakat Kutai (Melayu) merupakan kriteria untuk memilih tujuan hidup, yang terwujud dalam prikelakuan, yaitu keagamaan. Agama menjadi suatu penunjuk identitas dan status seseorang pada kehidupan masyarakat di tanah Kutai.

Hukum Islam di Kutai

Pada masa pemerintahan Pangeran Aji Sinum Panji Mendapa (1605-1635) raja Kutai yang ke- 8, fungsi pimpinan keagamaan yang sebelumnya melekat pada diri raja, dikuasakan kepada seorang pejabat di bidang keagamaan yang disebut mas penghulu.61

Dan pada perkembangan selanjutnya, lembaga mas penghulu ini menjadi cikal bakal lahirnya institusi Mahkamah Agama pada tahun 1854 pada masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899).

Pangeran Aji Simum Paji Mendapa mengambil kebijakan hukum dengan memberlakukan produk hukum tertulis pertama bagi kerajaan yaitu Undang-Undang Panji Selaten.62 Produk undang-undang ini menggunakan aksara arab melayu tanpa

mencantumkan tanggal dan tahun diterbitkannya.

Secara politis, dinamika pemerintahan kesultanan kutai telah mengalami pasang surut. Kondisi ini pun turut mempengaruhi kebijakan hukum kesultanan. Panji Selaten dan Berajaniti semenjak diundangkannya terus diberlakukan secara penuh sampai ditandatanganinya perjanjian pengakuan kekuasaan Gubernemen Hindia

59 Ahmad Roiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 2001, hlm. 55-56.

60 Murjani, Interaksi Agama Dan Poliik Hukum Kesultanan Kutai Kartanegara: Studi Keagamaan Etnis Dayak – Kutai. h.4-5

61 Dahlan Syahrani, Sejarah Masuknya Agama Islam di Kalimanatan Timur, Makalah, disampaiakan dalam

Seminar sejarah masuknya Islam di Kalimantan Timur, Samarinda, 26-28 Nopember 1981, hal. 27.

62 Edwar Jamaris, dkk, Naskah Undang-Undang dalam Sastra Indonesia Lama, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan

(26)

26

Belanda atas kesultanan Kutai oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin pada tanggal 11 Oktober 1844.

Selanjutnya, pada tahun 1846 pada masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Belanda menempatkan Asisten Residen – H. van Dewall - yang berkedudukan di Samarinda. Maka pemberlakuan perundang-undangan kerajaan diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan pemerintah Hindia Belanda.63

Dalam perjalanan selanjutnya, penerapan hukum Islam yang sebelumnya berada ditangan sultan, sejak tahun 1845 atau semasa kesultanan berada di bawah Dewan Perwalian (1845 – 1850) telah dibentuk sebuah institusi peradilan sebagai wadah penyelesaian problematika keagamaan masyarakat. Institusi ini diberi nama Mahkamah Agama (mahkamah syar’iyah).

Kewenangan Mahkamah agama ini meliputi semua aspek kehidupan masyarakat. Dari persoalan al-ahwal al-syakhsiyah – hukum kekeluargaan Islam – sampai persoalan jinayat dan bughot (menetang kekuasaan). Di samping itu Mahkamah agama ini diberikan kewenangan mengeluarkan izin dakwah para da’i, dan izin mendirikan lembaga pendidikan.64

Pada tanggal 8 Agustus 1825 Sultan Aji Muhammad Salehuddin – sultan ke 17 - mengadakan suatu kontrak atau MoU dengan Gubernemen Hindia Belanda yang diwakili Gerge Muller. MoU ini dilakukan oleh kesultanan Kutai sebagai upaya melepaskan diri dari kekuasaan kesultanan Banjar yang menaklukan kerajaan Kutai Kartanegara dengan bantuan pasukan kerajaan Demak pada masa pemerintahan Pangeran Samudera (1595-1620) dan Kutai saat itu diperintah oleh Aji di Langgar (1610-1635).

Dalam MOU ini kesultanan Kutai berada di bawah protektorat Pemerintah Belanda. Dan pihak gubernemen diberi hak atas: 1) pengaturan hukum; 2) mengatur bea cukai; 3) menaksir pajak kepala terhadap orang cina; dan hak eksploitasi tambang emas dan lahan pertambangan lainnya. Kompensasinya kesultanan akan mendapat ganti kerugian sebesar 8.000 real.65

Selanjutnya, akibat lemahnya pertahanan keamanan dan politis, maka kesultanan Kutai pada akhirnya tepat tanggal 11 Oktober 1844 Sultan Aji Muhammad Salehuddin harus menanda tangani perjanjian baru dengan pemerintah Hindia Belanda yang isinya Sultan mengakui pemerintahan Belanda sebagai yang dipertuan, dan tunduk kepada Gubernemen Hindia Belanda yang diwakili oleh Residen Borneo Selatan dan Timur (Zuiden Oostkust van Borneo) yang berkedudukan di Banjarmasin.66

63 Pemkab. Kutai, Salasilah Kutai II, Pemkab Kutai, Tenggarong, 1979, hal 63

64 Murjani dkk, Eksistensi Agama Islam di Kabupaten Kutai, Laporan Peneliian, P3M STAIN, Tidak diterbitkan,

2001/2002, hal. 40

65 Gelora Mahakam …, Op.Cit., hal. 10

(27)

27

Penutup

Selain negara-negara Islam yang di bahas di atas masih ada beberapa negara Islam yang tidak di bahas dalam tulisan ini. Diantaranya adalah Kesultanan Pontianak, Kesultanan Sukadana, Kesultanan Pasir, Kesultanan Kotawaringin, Kesultanan Berau, Kesultanan Sambaliung, Kesultanan Bulungan dan Kesultanan Gunung Tabur. Kesultanan Pontianak didirikan oleh Pangeran Syarif Abdul Rahman al Qadri, yang berasal dari Mempawah, pada Januari 1772.

Sedangkan Sukadana awalnya adalah kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh dan digantikan Demak, maka kerajaan Sukadana menjadi bagian dari Negara Islam Kesultanan Demak. Pada masa kekuasaan Demak inilah Islam mulai masuk dan berkembang di Sukadana dan dipeluk oleh penduduknya. Pada tahun 1600 an daerah sepanjang pantai telah diislamkan semuanya. Perkembangan Islam yang begitu pesat tidak lepas dari peran seorang ulama yang bernama syekh Syamsudin. Saat itu Sukadana dipimpin oleh Sultan Muhammad Safiudin (w.1677).

Sebelum penjajah Eropa datang ke Kalimantan, Negara-negara Islam yang berbentuk kesultanan eksis di bumi Borneo, Kalimantan. Negara-negara tersebut berdaulat, memiliki wilayah, rakyat dan membina hubungan dengan negara lain -yang paling kelihatan adalah hubungan dagang.

Setelah meningkatnya kekuatan dan pengaruh bangsa Eropa dengan misi kolonialismenya di wilayah Asia Tenggara, negara-negara di wilayah ini tidak mampu mengimbangi tekanan yang di terima. Negara-negara tradisional tidak mampu menghadapi kekuatan raksasa dunia dengan program penjajahan dan eliminasi terhadap dunia Islam khususnya. Para elit gagal mengikuti perkembangan zaman untuk mempertahankan eksistensi dan kedaulatan negaranya dari rongrongan penjajah, terutama dalam hal militer dan strategi militernya. Karena sifat penjajahan Eropa klasik saat itu lebih menekankan pada aspek penjajahan fisik, menundukkan dengan kekuatan militer.

(28)

28

Daftar Pustaka

A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2012

A. Gazali Usman, “Pangeran Hidayatullah”(Banjarmasin: Kalimantan Scientie, 1988

A. Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, dalam Jurnal

Al-Qad฀u Volume 2 Nomor 2/2015. http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/ al-qadau/article/view/2638/2489

Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil Versus Perang Salib Ummat Islam Melawan

Penjajah Kristen Portugis Dan Belanda, Penerbit: Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah Jakarta 1420 H/1999 M

Acep Zoni Saeful Mubarak, Hukum Keluarga Islam di Negara Brunei Darussalam, dalam Atho’ Mudzhar dan Khaeruddin Nasution [Editor], Hukum Keluarga di Dunia Islam Moderen (Jakarta: Ciputat Press, 2003)

Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 2001

Ansar Rahman, dkk, Kabupaten Sambas – Sejarah Kesultanan dan Pemerintah

Daerah. Pontianak: Taurus-Semar Karya, 2001

Azzumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII dan XVIII, Penerbit Mizan Bandung, 1994

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Rajawali Press Jakarta, 1997)

Dahlan Syahrani, Sejarah Masuknya Agama Islam di Kalimanatan Timur, Makalah, disampaiakan dalam Seminar sejarah masuknya Islam di Kalimantan Timur, Samarinda, 26-28 Nopember 1981.

Dato Dr. Haji Mahmud Saedon Awang Othman, Perlaksanaan Dan Pentadbiran Undang-undang Islam di Negara Brunei Darussalam : Satu Tinjauan

Dep. Pendidikan dan Kebudayaan Kaltim, Wujud Arti dan Fungsi Puncak-puncak Kebudayaan Lama dan Asli di Kalimantan Timur, Kanwil Dikbud Prov. Kalimantan Timur, 1995/1996

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengamatan berupa pertumbuhan dan hasil panen tanaman sawi menunjukkan bahwa setelah dilakukan analisis ragam ternyata pemberian pupuk organik PETROGANIK

Kandungan K pada kontrol lebih besar dibandingkan dengan P2 dan P3 dikarenakan K dimakan oleh mikroorganisme yang terdapat pada limbah tomat dan kotoran sapi

[r]

Hasil yang sama dilaporkan beberapa peneliti, antara lain Curtobacterium flaccumfaciens meningkatkan ketahanan jeruk terhadap Xylella fastidiosa (Araujo et al. 2002),

Sediaan sabun transparan akan memberikan peningkatan aktivitas antioksidan seiring dengan peningkatan konsentrasi perasan/sari buah labu kuning (Cucurbita moschata) (2%,

Bahwa malam hari pada tanggal 31 November 2012, menantu saksi yang bernama Bagus Candra Kartika menjemput Terdakwah dari tempatnya bekerja dan saat di rumah saksi dan menantu

Ketiga asumsi tersebut oleh peneliti juga akan digunakan untuk menganalisis proses informasi yang terjadi di PT KAI (Persero) berkaitan dengan konstruksi kebijakan

GANGGUAN GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN KESEIMBANGAN CAIRAN dan dan ELEKTROLIT ELEKTROLIT Dr.. Syaiful Azmi, SpPd