• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Pasar Mingguan ke Kota Dagang Perke

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dari Pasar Mingguan ke Kota Dagang Perke"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah Sejarah Eropa

Dari Pasar Mingguan ke Kota Dagang:

Perkembangan Sistem Ekonomi Abad Pertengahan

800-1300

Disusun Oleh

Yuanita Wahyu Pratiwi

13/347932/SA/16946

Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Gadjah Mada

(2)

dengannya. Namun pada kenyataannya, dunia Eropa ketika itu bukanlah dunia yang steril dari perdagangan. Bagaimanapun, manusia tak pernah bisa swasembada atas kebutuhannya sendiri. Ia membutuhkan orang lain, dan kecenderungan untuk bertransaksi akan selalu ada. Meski harus dimulai dari titik terendah, perdagangan Eropa akhirnya kembali hidup, dan pada masa-masa Pencerahan, pondasi dari abad pertengahan tinggi ini mengantarkan Eropa kembali menguasai perdagangan sebagaimana Romawi pernah melakukannya.

Masa Feodal dan Manorial

Ketika Frankish terbagi tiga lewat perjanjian Verdun, Eropa kembali mengulang sejarah kelamnya. Serangan di sana-sini oleh orang Magyar, Muslim, dan Viking membuat ‘negara’ tak bisa lagi bertahan dan memberi perlindungan kepada orang-orang kecil. Mereka yang tak punya kekuatan untuk melindungi diri menjual kebebasan kepada orang-orang kaya yang sanggup membayar tentara. Sekali lagi setelah pasca runtuhnya Romawi, ruralisasi terjadi dan feodalisme menjadi sistem yang umumnya berlaku.

Feodalisme adalah praktik alamiah yang daripada sebuah sistem terencana lebih merupakan respon seadanya terhadap tantangan yang diajukan oleh ketidak-efektivan otoritas pusat. Dalam sistem ini kaum tani menjual kebebasan mereka kepada orang-orang kaya, para tuan tanah yang sanggup memberi mereka perlindungan yang tak lagi bisa mereka dapatkan dari otoritas legal yang lebih tinggi. Di wilayah yang cukup aman, seorang tuan tanah akan membangun unit desa baginya dan para petaninya yang terdiri dari kediaman tuan tanah, rumah-rumah keluarga petani, lahan pertanian, dan situs peribadatan. Komunitas desa yang terdiri dari para budak pengolah yang terikat pada tanah ini dikenal sebagai manor.

Sistem manorial ini terkesan memberi lebih banyak keuntungan kepada tuan tanah karena membebankan pekerjaan mengolah lahan, pekerjaan pertukangan dan pembangunan, praktik sederhana pengolahan pangan, serta kewajiban atas pembayaran pajak kepada petani. Akan tetapi pada masa itu, hal tersebut dilakukan dengan sedikit protes karena sekedar perlindungan yang diberikan sang tuan amat berarti bagi mereka. Orang-orang yang tinggal dalam sistem Manor tak akan banyak melihat dunia luar. Mereka butuh izin dari sang Tuan untuk bepergian, dan tak pernah terlalu jauh. Kebanyakan dari orang-orang ini sampai tutup usia tak pernah pergi lebih dari 25 mil dari desanya.1

Karena manor hanya merupakan kesatuan masyarakat kecil yang maksimal terdiri dari 50an keluarga, mereka tak pernah sepenuhnya swasembada.2 Barang-barang yang terutama dalam produksinya membutuhkan keahlian khusus atau kebutuhan yang tak mereka dapat dari produksi lokal mereka akan didatangkan dari luar manor. Ketika produksi manor telah melimpah dan mereka membutuhkan barang lain untuk meningkatkan taraf hidup mereka yang sederhana atau peralatan-peralatan demi peningkatan produktivitas mereka, mereka akan bertransaksi di

(3)

pasar kecil yang biasa diadakan setiap seminggu. Namun pasar mingguan semacam ini bukan hanya ada di desa-desa manor. Di saat yang sama ada kota-kota kecil, sebagian kecil kolompok petani merdeka, wilayah yang tak memiliki hasil gandum, wilayah yang tak punya wol, dan sebagainya. Sistem pasar memastikan semua wilayah tak kelaparan, tak kekurangan, dan mendorong pertanian maju karena tiap wilayah akan terdorong untuk mengembangkan komoditi andalan.

Pasar mingguan ini berada dibawah tanggung jawab seorang penguasa dan tentunya juga gereja. Seorang tuan akan menjamin keamanan pedagang baik ketika kedatangan maupun kepergian, memungut pajak dari mereka, dan turut menjual hasil pertanian dari desa manorialnya. Pasar berbentuk sebagaimana pasar sekarang dengan stan-stan yang terdiri dari atap-atapan sederhana dan meja pamer. Yang diperdagangkan antara lain roti, daging, bir, gandum, garam, tekstil, kerajinan kayu, dan alat-alat logam.

Masa Revolusi Pertanian

Meski jika menggunakan konteks berpikir kekinian, sistem yang mengharuskan petani bekerja keras sementara para tuan dan pendeta hidup makmur diatas penderitaan mereka ini memiliki ketimpangan, sistem ini pernah mengecap masa keemasan. Saat serangan dari luar mereda, perekonomian mulai kembali berkembang. Dalam pertanian di desa-desa manor, ditemukan inovasi-inovasi yang banyak meningkatkan produktivitas mereka seperti bajak berat, ban leher kuda, kincir air, serta sistem tiga lahan. Sementara bajak berat dan ban leher kuda membantu pertanian, kincir air menciptakan solusi masalah penggilingan, sistem tiga lahan menggantikan sistem dua lahan untuk produktivitas dan diversifikasi tanaman yang lebih tinggi.

Produktivitas yang meningkat mengurangi kelaparan dan kekurangan nutrisi, sehingga kematian menurun dan jumlah populasi meningkat. Karena orang manor semakin banyak, para tuan tanah mengarahkan ekspansi lahan pertanian. Orang-orang manor didorong untuk membuka lahan yang lebih luas, kadang dengan diiming-imingi semi kebebasan berupa pengawasan dan kewajiban membayar iuran untuk mengganti kontrol yang tidak lagi sepenuhnya atas kehidupan mereka.3 Akhirnya terciptalah desa-desa manor super luas, dan beberapa golongan petani yang semi bebas. Bersamaan dengan ini, pasar mingguan tumbuh lebih besar untuk melayani permintaan dari masyarakat yang lebih banyak dan beragam. Pada abad ke sebelas, pasar-pasar kecil ini menemui bentuk barunya yakni semacam bazar yang diadakan setahun sekali atau dua kali selama 3-6 minggu dan berpindah-pindah di regional yang lebih luas. Meskipun ada bazar, pasar mingguan tidak mati. Bazar ini masih berada dalam tanggung jawab seorang Tuan, dan campur tangan gereja yang banyak menempatkannya di momen peringatan hari-hari suci, serta pengawasan dari keduanya.

Dalam sebuah bazar yang diantaranya masih banyak bertahan dan menjadi nilai jual pariwisata Eropa sampai saat ini, rombongan pedagang yang datang bukan hanya pengrajin dan

(4)

penjual seperti di pasar mingguan, tapi juga pedagang hewan dan pedagang nomaden dari jauh yang menjajakan barang-barang antik seperti sutera dan batu-batu mulia. Dalam sebuah bazar, selain stan-stan penjual yang menawarkan semakin banyak jenis barang, terdapat juga hiburan dari para badut, akrobat, penari-penari, dan sandiwara para aktor yang ikut datang bersama rombongan pedagang. Hal ini membuat bazar menjadi kegiatan yang ditunggu-tunggu oleh semua orang.

Karena sistem bazar tergolong besar, melibatkan banyak orang dan berpindah, ia membentuk urat-urat nadi perdagangan yang salah satunya terbentang diantara Mediterania timur dan kota-kota di Italia. Kegiatan ekonomi jenis ini juga menyebabkan banyak inovasi dalam teknik perniagaan. Karena para pedagang berperjalanan jauh, mereka rawan terhadap perampokan. Dalam hal ini, terdapat pihak-pihak asuransi yang menjamin barang. Terdapat pula perbankan dan instrumen kredit yang memungkinkan saudagar bepergian tanpa membawa uang tunai banyak. Karena melibatkan juga pedagang-pedagang nomaden dari wilayah-wilayah jauh, biasanya kota yang disinggahi bazar memiliki tempat penukaran uang. Selain itu, untuk menanggulangi kekurangan modal yang menghambat pertumbuhan bisnis, mereka mulai membentuk kemitraan.

Meski membawa angin segar dalam perekonomian Eropa, bazar juga memiliki banyak sisi yang kurang menguntungkan. Perpindahan pedagang nomaden memungkinkan penyebaran penyakit dari satu wilayah ke yang lainnya. Selain itu, dalam sebuah bazar di mana banyak orang berkumpul, kriminalitas juga banyak terjadi. Pada akhirnya, menurut Introduction to Middle Ages di www.Medieval-Faire.com sistem ini mengalami kemunduran oleh penyakit-penyakit dan kriminalitas. Tapi saya rasa, pendapat tentang penetapan pajak oleh penguasa yang kian tinggi, juga masuk akal mengingat nantinya, kelompok pedagang akan ditemukan mendirikan komunitas-komunitas semi menetap diluar tembok kota, sehingga, lain mundur, sistem hanya berganti. Ketika para pedagang menemukan posisi menetap yang menguntungkan, mereka akan lebih memilih menetap karena dari segi biaya operasional dan keamanan lebih terjamin.

Masa Perang Salib dan Sesudahnya

Ketika pajak yang dipungut oleh tuan tanah terhadap pedagang kian tinggi, mereka yang mulai keberatan untuk memasuki tembok berkumpul di persimpangan jalan terdekat dengan pintu tembok, atau di situs keramaian lainnya seperti di dekat gereja dan monastri untuk melayani kebutuhan orang-orang disekitar situ atas barang-barang. Semakin lama, pedagang yang berkumpul semakin banyak. Dari berpindah, mereka kemudian lebih berorientasi menetap demi alasan keamanan.

(5)

mulai mengalir deras ke Italia, begitupula sebaliknya. Selain itu port-port penting Italia juga banyak digunakan untuk pemberangkatan pasukan, memasok senjata, dan mendistribusikan ransum. Oleh kegiatan-kegiatan ini, mereka menjadi titik pancar pencerahan-pencerahan ekonomi di abad 12 sampai 14 ke berbagai penjuru daratan Eropa.

Perang Salib tak bisa lepas dari propaganda kepausan. Sebelum Perang Salib, stabilitas desa-desa manor mulai terganggu oleh benturan antara tentara-tentara satu manor dengan milik manor yang lain. Mereka kadang tak memiliki alasan yang begitu jelas dibalik sebuah pertarungan. Selain itu di kalangan penguasa masa feodal, berdagang dan bertani adalah pekerjaan memalukan, karenanya bangsawan-bangsawan muda lebih memilih untuk bertarung. Kepausan melihat ini sebagai sebuah bahaya, akhirnya mereka membuat keputusan: daripada saling menghancurkan, kekuatan ini lebih baik digunakan untuk melawan kaum kafir.

Ketika mereka berada ditengah kobaran api Perang Salib dan tak lagi bisa mundur, sementara perang selalu membutuhkan ongkos besar, propaganda menjalari golongan orang-orang kaya. Para bangsawan akhirnya banyak menyumbang dalam perang suci. Segala golongan yang mendukung perang, apapun caranya, dianggap pahlawan dalam merebut daerah suci, dan aksi ini dikatakan sebagai tindakan penebusan dosa. Motif lain berasal dari kerajaan-kerajaan atau manor besar yang bermimpi akan taklukan di Timur Tengah. Mereka berekspedisi dan turut dalam perang, meminjam uang dari kreditor dengan jaminan tanah mereka. Ketika mereka tak kembali, kreditor-kreditor ini akan muncul sebagai orang-orang teratas kelas menengah.4

Setelah Perang Salib usai, kegiatan di Italia tidak turut reda. Ia malah semakin menjadi pintu bagi warna baru untuk masuk ke ekonomi Eropa. Setelah masa-masa Romawi, akhirnya perdagangan laut kembali aktif di wilayah ini. Peta-peta jalur perdangangan menunjukan garis-garis intens yang melintangi laut Tengah, laut Hitam, laut Utara, hingga ke teluk Biscay, lalu menyebar ke seluruh daratan Eropa.5 Oleh sebab perdagangan laut ini, barang yang diperdagangkan semakin beragam. Barang-barang mengalir dari luar lalu menyebar kedalam. Pendistribusian dilakukan lewat persinggahan-persinggahan baru komunitas pedagang di luar tembok kota tadi.

Komunitas pedagang segera membesar, dan oleh kebutuhan terhadap keamanan, mereka membangun tembok di sekeliling mereka. Disinilah kota baru terbentuk, bukan kota feodal tempat raja atau bangsawan tinggal, tapi kota transaksional yang berisikan para pedagang dengan arus perekonomian yang padat. Selain membentuk tembok baru, kota-kota semacam ini seringkali merevitalisasi sisa kota atau kamp tentara masa Romawi yang memang strategis posisinya, misal dalam kasus situs-situs di Inggris bagian Utara dan Cologne.

Awalnya kota pedagang ini berada penuh dibawah penguasa dan gereja, tapi lama kelamaan, mereka mulai membeli kebebasan mereka dengan uang kepada raja. Awalnya,

(6)

kebebasan hanya dalam hal berdagang, tapi lama kelamaan, dengan terjadinya perubahan besar di desa-desa sumber pendapatan para bangsawan, porsi kebebasan yang dijual semakin besar. Dengan ini, orang kota menganggap diri mereka orang bebas, dan kota segera menjadi simbol atas hal itu. Hal ini menyebabkan perubahan besar terjadi di desa-desa. Para petani baik yang merdeka maupun bertuan mulai tergiur oleh kemilau kota.

Di kota orang memiliki kesempatan untuk lebih kaya, para budak memiliki kesempatan untuk bebas, dan siapapun bisa menjadi warga kota setelah menatap satu tahun lebih sehari di kota tersebut. Sebagai akibatnya, terjadi mobilisasi sosial dari kelas petani yang difasilitasi oleh kota. Mobilisasi sosial ini menghancurkan feodalisme dan menciptakan kelompok masyarakat baru yakni kelas menengah. Mereka adalah orang-orang yang bukan petani, bukan pula agamawan atau bangsawan. Mereka orang-orang yang secara finansial berkedudukan tinggi, namun tak memiliki nama. Kelas menengah ini di masa berikutnya akan menjadi agen perubahan bagi Eropa.

Kota yang dikelilingi benteng memiliki kapasitas maksimal penduduk, namun urbanisasi tak bisa dibendung. Akibatnya, kehidupan di dalam benteng semakin padat dan tak sehat. Pedagang dan pengerajin yang telah cukup bepengalaman dalam berkarir tak sudi tersaingi oleh orang-orang baru. Persoalan harga dan kualitas barang dan perlindungan hak kelompok mereka juga menjadi masalah, oleh karenanya banyak dibentuk serikat-serikat pekerja. Serikat pengerajin menentukan harga dan kualitas barang yang berlaku bagi semuanya, dan memberi jaminan hidup bagi janda-janda pengerajin. Serikat pedagang mengumpulkan modal serta melindungi dan mengambil tanggung jawab atas anggota keluarga yang ditinggal berdagang. Modal yang terkumpul banyak memungkinkan perdagangan merambah level intenasional. Perdagangan lintas benua pada masa itu paling tidak mencapai Timur Tengah dan bagian barat Timur Jauh lewat Jalur Sutera.

Meski urbanisasi menimbulkan asumsi atas kota abad pertengahan yang kumuh, sebuah diskusi di buku Medieval Life oleh David Nicolle, menganggap anggapan ini tak sepenuhnya benar. Pada tahap selanjutnya, kepedulian dan kecintaan masyarakat terhadap wahana penghidupan barunya ini membuat mereka berkumpul dan mencari penanggulangan atas masalah ini. Tembok-tembok eksternal dibangun untuk menambah ruang, jalan-jalan secara berkala dibersihkan, dan fasilitas-fasilitas umum mulai dibangun. Pembangunan paling besar biasanya adalah pembangunan gedung gereja. Orang-orang kaya kota menyumbang banyak untuk membuat katedral mewah di kotanya yang menjadi simbol kota mereka, sekaligus bakti dan pengagungan mereka terhadap Tuhan. Kebangkitan kota-kota telah menjadi penanda bahwa dalam hal ekonomi, Eropa telah meraih pencapaian luar biasa dalam melalui masa gelapnya.

Sumber

(7)

Chambers, Mortimer, dkk., The Western Experience, New York: McGraw-Hill, 2003.

Hunt, S. Edwin, dkk., A History of Business in Medieval Europe 1200-1550, Cambridge: Cambridge University Press, 1999.

McKay P. John, dkk., A History of World Societies, Boston: Houghton Mifflin, 1992.

Nicolle, David. A History of Medieval Life, London: Chancellor Press, 2000.

Perry, Marvin, Peradaban Barat, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2012.

Scott, A. Robert, Miracle Cures: Saints, Pilgrimage, and the Healing Powers of Belief, Berkeley: University of California Press, 2010.

Wood, Diana, Medieval Economy Thought, Cambridge: Cambridge University Press, 2004.

B. Internet

Referensi

Dokumen terkait