ETNOGRAFI
dalam Penelitian Sastra Lisan
Oleh: Suhariyadi
ABSTRAK. Tulisan ini hendak mengungkapkan sebuah model analisis etnografi yang dikemukakan oleh James Spradley bagi studi sastra lisan. Selama ini studi sastra lisan lebih terfokus pada inventarisasi dan diskripsi. Sementara kognisi sosial yang melandasi praktik-praktik sosiokultural masyarakat pemilik dalam kaitannya dengan sastra lisan tersebut belum banyak tersentuh. Hal itulah menjadi titik berangkat studi yang bersifat teoritis dalam tulisan ilmiah ini dilakukan. Model Analisis Etnografi yang dikemukakan oleh James Spradley menjadi kasus untuk ditawarkan dalam penelitian sastra lisan tersebut.
Kata Kunci : etnografi, sastra lisan, kognisi sosial, wawancara etnografi, alur maju bertahap, Spradley.
A. Pendahuluan
penelitiannya, bukan terfokus pada sastra lisan itu. Sastra lisan hanyalah simbol, ritualritual yang ada hanyalah fakta permukaan, tetapi yang terpenting adalah organisasi pikiran masyaraktnya yang melandasi tindakan dan peristiwa kultural itu.
Sastra lisan dalam konteks ini digolongkan dalam folklore lisan sebagaimana dikemukakan Dananjaya (1994:21). Folklore lisan adalah folklore yang bentuknya memang murni lisan. Bentukbentuk folklore yang termasuk ke dalam kelompok lisan ini antara lain: (1) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan, (2) ungkapan tradisional seperti peribaqhasa, pepatah, dan pemeo; (3) pertanyaan tradisional, seperti teks teks; (d) puisis rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (f) nyanyian rakyat. Sastra lisan merupakan puisi rakyat dan cerita prosa rakyat dalam jenisjenis folklore lisan tersebut.
Definisi folklore secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turuntemurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Dananjaya,1994:2). Lebih lanjut dikatakan Dananjaya, mengutip pendapat Jan Harold, folklore digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya: (1) folklore lisan (verbal folklore); (2) folklore sebagian lisan (partly verbal folklore); dan (3) folklore bukan lisan (non verbal folklore) (1994:21).
keagamaan, maupun adat dan tradisi lainnya. Sukatman menggolongan sastra lisan itu ke dalam tradisi lisan (2009:3). Sedangkan ciriciri tradisi lisan menurut Dananjaya meliputi: (1) penyebaran dan pewarisannya biasa dilakukan dengan lisan, yakni dari mulut ke mulut; (2) bersifat tradisional, yakni berbentuk relatif atau standard; (3) bersifat anonim; (4) mempunyai varian atay versi yang berbeda; (5) mempunyai pola bentuk; (6) mempunyai kegunaan bagi kolektif tertentu; (7) menjadi miliki bersama suatu kolektif; dan (8) bersifat polos dan lugu sehingga sering terasa kasar atau terlalu sopan (dalam Sukatman,2009:5).
Menurut William R. Bascom, bahwa secara umum tradisi lisan mempunyai empat fungsi penting. Pertama, tradisi lisan berfungsi sebagai sistem proyeksi (cerminan) anganangan suatu kolektif. Kedua, tradisi lisan berfungsi sebagai alat legitimasi pranatapranata kebudayaan. Ketiga, tradisi lisan berfungsi sebagai alat pendidikan. Dan, keempat, tradisi lisan berfungsi sebagai alat pemaksa atau pengontrol agar normanorma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya (dalam Sukatman,2009:78). Sastra lisan sebagai bagian dari tradisi lisan juga memiliki fungsifungsi tersebut. Sastra lisan dengan demikian bukan semata sebagai karya seni, tetapi juga sebagai nilainilai yang mengatur kehidupan sosial masyarakatnya.
Sastra lisan tersebut membentuk pola pikir, tindakan, dan kesadaran masyarakat dalam berinteraksi dengan Tuhan, alam sekitar, dan sesamanya. Sastra lisan semenjak dulu telah melandasi hidup masyarakat dalam hubungan sarwa tersebut.
Fenomena dan noumena masyarakat dalam kaitannya dengan sastra lisan itulah yang menandai wilayah bagi penelitian etnografi. Fenomena adalah dunia yang terlihat, konkrit, fisikal, empiris, dan rasional, sedangkan noumena adalah dunia abstrak, tak terlihat, gaib, dan tak rasional. Keduanya melingkari keberadaan sastra lisan sebagai warisan budaya masa lalu yang diwariskan secara turuntemurun. Keduanya menjadi wilayah kajian ilmuilmu sosial seperti: antropologi budaya, bahasa, filsafat, sastra, dan ekologi budaya. Di dalamnya etnografi menjadi bagiannya sebagai metode analisisnya. Pertanyaannya adalah, bagaimana implementasi metode etnografi dalam penelitian sastra lisan?
Strategi dan model analisis etnografi beragam bentuknya. Dalam tulisan ini, sekali lagi, menggunakan strategi dan model yang dikemukakan oleh James P. Spradley (2007). Spradley menyebutnya sebagai strategi Wawancara Etnografi. Strategi ini bertumpu pada apa yang dikatakan orang, atau dalam istilah penelitian lapangan disebut informan. Melalui informan yang baik dan sudut pandang penduduk asli, diharapkan penelitian etnografi mengasilkan diskripsi etnografis tentang kebudayaan suatu masyarakat. Sastra lisan sebagai bagian kebudayaan yang memiliki fungsi melampaui fungsi dalam konteks kebahasaan dan kesastraan, dapat menjadi fokus penelitian. Namun, yang diteliti bukan sastra lisan itu sendiri, tetapi suasana budaya yang melingkupinya. Suasana budaya merupakan tindakan yang berlandaskan pada pola pemikiran dalam kaitannya dengan sastra lisan tersebut.
mendikripsikan sastra lisan dalam rangka pendokumentasian dan pelestarian sastra dan kearifan lokal. Kedua, mendikripsikan kebudayaan lokal dalam rangka pembangunan nasional.
B. Studi Kepustakaan
1. PrinsipPrinsip Dasar Etnografi
Spradley dalam bukunya berjudul Metode Etnografi
(2007) sangat gamblang dan sistematis menjelaskan tentang empat tipe analisis etnografi, yaitu analisis domain, analisis taksonomik, analisis komponen, dan analisis tema. Empat tipe analisis tersebut menempatkan metode etnografi yang dikemukakan Spradley itu dikenal sebagai Etnografi Baru. Etnografi baru berusaha menemukan keunikan dari masyarakat yang ditelitinya. Keunikan itu terletak pada persepsi dan organisasi pikiran masyarakat atas fenomena material yang ada di sekelilingnya. Bukan fenomena material yang menjadi fokus kajian, melainkan persepsi dan struktur pikiran terhadap fenomea material tersebut, yang dihadapinya seharihari.
Menurut Spradley etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuannya, untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, sebagaimana dikemukakan Bronislaw Malinowski. Bronislaw Malinowski (dalam Spradley,2007:4) mengemukakan bahwa tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunia. Dengan demikian, etnografi bukan semata mempelajari masyarakat, tetapi juga belajar dari masyarakat.
terdapat jarak, di dalam etnografi seorang etnograf masuk menjadi bagian dari masyarakat dan menggunakan sudut pandang penduduk asli untuk memplajari masyarakat tersebut. Kedua, seorang etnograf yang menggunakan sudut pandang penduduk asli dimungkinkan manakala ia belajar menjadi bagian dari masyarakat tersebut.
Spradley mengemukakan, inti etnografi adalah upaya untuk memperhatikan maknamakna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin ia pahami. Beberapa makna tersebut terekspresi secara langsung dalam bahasa, dan di antara makna yang diterima, banyak disampaikan hanya secara tidak langsung melalui katakata dan perbuatan. Namun demikian, setiap masyarakat tetap menggunakan sistem makna yang kompleks untuk mengatur tingkah lakunya, untuk memahami dirinya sendiri dan orang lain, serta untuk memahami dunia tempat mereka hidup. Sistem makna inilah merupakan kebudayaan masyarakat tersebut. Oleh karena itu, etnografi hendak mempelajari sistem makna yang disebut dengan kebudayaan suatu masyarakat. Etnografi tentunya menggunakan teori kebudayaan untuk mempelajarinya.
a. Kebudayaan sebagai Fokus dan Tujuan Etnografi
Terdapat berbagai definisi dan perspektif untuk memandang kebudayaan. Tetapi bagi etnografi, pengertian kebudayaan dikonsepsikan sesuai dengan tujuannya: “untuk memahami sudut pandang penduduk asli”. Pengertian kebudayaan yang sesuai untuk itu menurut Spradley adalah,
dalam pikiran masyarakat; sistem organisasi pikiran apakah yang menuntun masyarakat tersebut menafsirkan dan berperi laku dan memandang dunia tempat mereka hidup.
Pengertian kebudayaan dalam sudut pandang etnografi adalah sebagai suatu simbol yang mempunyai makna. Konsep ini memiliki persamaan dengan pandangan teori Interaksionisme Simbolik, yaitu suatu teori yang berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan makna. Teori ini memiliki tiga premis sebagai landasan teorinya.
1. Manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Artinya, orang bertidak memiliki makna dibalik tindakan itu.
2. Makna dari berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interasi sosial seseorang dengan orang lain.
3. Makna ditangani atau dimodivikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dihadapi orang tersebut. Orang bukanlah robot yang dikendalikan oleh kebudayaannya, melainkan menggunakan, menginterpretasikan, dan mendefinisikan kebudayaannya itu untuk situasi yang terjadi dalam tindakan orang itu.
Menurut Spradley, kebudayaan dengan demikian dipandang sebagai suatu peta yang dalam kehidupan sehari hari manusia merujuk pada peta itu. Sebagai sebuah peta, kebudayaan mengemukakan prinsipprinsip untuk digunakan dalam menginterpretasikan dan memberikan respon terhadap suatu kejadian. Etnografi menurut teori Interaksionisme Simbolik perlu secara cermat mempelajari makna. Untuk itu etnografi membutuhkan teori mengenai makna dan metodologis khusus yang dirancang untuk menyelidiki makna. Etnografi menggunakan berbagai pendekatan yang berbeda dalam antropologi dan sosiologi.
masyarakatnya. Etnografer melihat dan mendengar kemudian membuat kesimpulan tentang hal yang diketahui orang. Kesimpulan itu dibuat berdasarkan tiga sumber, yaitu: (1) dari yang dikatakan orang; (2) dari cara orang yang bertindak; dan (3) dari berbagai artefak yang digunakan orang. Pada mulanya kesimpulan itu hanya merupakan hipotesis mengenai hal yang diketahui orang. Oleh karena itu, kesimpulan tersebut harus diuji secara berulangulang sampai etnografer memiliki kepastian bahwa orangorang itu samasama memiliki sistem makna budaya yang khsus. Kesimpulan akhir yang diperoleh merupakan sebuah deskripsi budaya. Kemudian, etnografer mengevaluasi dan menguji ketepatan deskripsi itu. Pengevaluasian dan pengujian dilakukan dengan jalan menggunakan statetemn etnografi dalam diskripsi tersebut ke dalam kondisi masyarakat itu. Deskripsi etnografi tersebut merupakan pengetahuan mengenai sistem budaya suatu masyarakat.
Apa yang dikemukakan oleh Spradley di atas dapat disimpulan dalam beberapa pernyataan berikut.
1. Etnografi menggunakan sudut pandang penduduk asli untuk mempelajari sistem kebudayaan suatu masyarakat. 2. Kebudayaan dalam pandangan etnografi bukanlah apa
yang dilihat dan didengar (secara material), tetapi alam pikiran mereka (secara kognitif).
3. Sistem kebudayaan dipandang sebagai sistem makna atau peta yang mengandung prinsipprinsip untuk digunakan dalam menginterpretasikan dan memberikan respon terhadap suatu kejadian.
4. Prose kerja penelitian etnografi berdasarkan sumber data yang berupa: apa yang dikatakan orang, apa yang dilakukan orang, dan artefak yang digunakan orang.
6. Hasil penelitian etnografi adalah diskripsi kebudayaan sebagai sebuah pengetahuan mengenai makna, prinsip, dan peta yang dirujuk oleh masyarakat untuk menginterpretasikan kondisi tindakan yang dihadapi setiap hari.
Dalam konteks keilmuan, etnografi menawarkan suatu strategi yang sangat baik untuk menemukan grounded theory. Grounded teori disebut juga dengan teori substantif adalah teori didasarkan atas data empiris; suatu teori yang dirumuskan berdasarkan abstraksi datadata penelitian. Etnografi bukan menggunakan teoriteori formal, yaitu teori teori yang sudah tersedia sebelumnya. Seorang etnografer ketika terjun ke dalam masyarakat tidak membawa cara pandang tertentu, karena penelitian etnografi hanya menggunakan satu cara pandang, yaitu yang dimiliki oleh penduduk asli dari masyarakat yang akan diteliti. Ketiadaan teori untuk menemukan teori.
Salah satu strategi etnografi yang sering digunakan adalah wawancara etnografis. Wawancara etnografis merupakan suatu strategi untuk membuat orang berbicara mengenai hal yang mereka ketahui. Sedangkan prosedur penelitiannya disebut oleh Spradley sebagai “Alur Penelitian Maju Bertahap” (The Developmental Research Sequence).
b. Langkah Kerja Penelitian Etnografi
Langkah kerja penelitian etnografi disebut sebagai “Alur Penelitian Maju Bertahap” (The Developmental Research Sequence). Sebagaimana dijelaskan Spradley dalam bukunya
informan yang tepat dan relevan bagi penelitian etnografi. Secar garis besar, “Alur Penelitian Maju Bertahap” tersebut dapat diskemakan sebagai berikut.
Bagan Alur Penelitian Maju Bertahap
Tahapan tersebut sengaja dimodivikasi secara sederhana dari pendapat Spradley bagi penelitian pemula
M enetapkan O byek, Fokus
Penelitian, dan
m erancang penelitian
M eneta
pkan
inform a
n
M ew aw a
ncara
Inform a
n
M em buat
C atatan
Etnografis
M elakukan
A nalisis H asil
W aw ancara
M enarik Kesim pulan dari hasil
A nalisis W aw ancara dan
m enjadikannya sebuah hipotesis
M enguj
i
hipotes
is
M em buat deskripsi
etnografis sebagai
c. Menetapkan Subjek, Objek Penelitian, dan Merancang Penelitian
Sebagaimana dalam penelitian pada umumnya, penelitian etnografi diawali dengan menetapkan subjek, objek sebagai fokus penelitian, dan merancang penelitian. Subjek penelitian, sebagaimana dikemukakan di muka adalah masyarakat pemilik kebudayaan di mana penelitian etnografi akan dilakukan. Sedangkan objek atau fokus penelitian etnografi adalah aspek kebudayaan suatu masyarakat yang akan dipelajari dan dikaji secara etnografis. Keduanya sesungguhnya dapat dikatakan sebagai objek penelitian, yaitu objek formal dan meterial. Fokus penelitian hendaknya menunjuk pada satu fenomena tindakan masyarakat sebagai peristiwa kultural, yang secara bersamasama dilakukan dalam masyarakat itu. Namun demikian, yang akan dituju bukanlah peristiwa yang tampak, tetapi sistem makna di balik permukaan peristiwa tersebut. Artinya, fokus penelitian menunjuk pada alam pikiran atau organisasi pikiran yang melandasi masyarakat dalam bertindak dalam peristiwa kultural tersebut. Bagaimanakah sistem makna yang digunakan masyarakat untuk menginterpretasikan dan mendefinisikan situasi tindakannya dalam konteks interaksi sosial.
dijelaskan di atas, sedangkan sumber data dalam etnografi terdiri atas tiga macam, yaitu: (1) dari yang dikatakan orang; (2) dari cara orang yang bertindak; dan (3) dari berbagai artefak yang digunakan orang. Ketiga sumber data tersebut akan menentukan metode dan teknik yang akan dipakai untuk menggali data penelitian. Dari sumber data (1) diterapkan metode wawancara; dari sumber data (2) diterapkan metode observasi; dan dari sumber data (3) diterapkan metode observasi dan dokumentasi. Dengan demikian, teknik pemerolehan data didasarkan pada sumber data mana yang digunakan.
Sedangkan hal yang berhubungan dengan bagunan teori yang digunakan, studi etnografi menggunakan gounded theory, sebagaimana dikemukan di muka. Gounded theory
merupakan teori yang didasarkan atau disusun dari kumpulan data dalam suatu penelitian. Dengan demikian, bangunan teori dalam studi etnografi disusun dalam proses penelitian berdasarkan datadata yang dihimpun, bukan menggunakan teori yang sudah ada. Teori semacam itu disebut juga dengan teori substantif. Oleh karena itu, model penelitian etnografi bersifat induktif.
d. Menetapkan Informan
Sebagaimana dikemukan di bagian awal, tulisan tentang model penelitian etnografi ini menggunakan strategi wawancara etnografi. Dengan demikian, sumber data yang digunakan adalah apa yang dikatakan orang, sehingga metode penelitian yang digunakan adalah wawancara. Wawancara etnografi merupakan upaya menggali data dari informan. Namun demikian, ada beberapa aturan yang harus dilakukan etnografer untuk menetapkan informan yang bagaimana yang layak sebagai sumber data.
orang dapat menjadi informan yang baik dan layak. Ada lima syarat minimal bagi seorang informan yang baik dan layak badi penelitian etnografi, sebagaimana berikut ini.
a. Enkulturasi penuh; informan yang baik adalah yang mengetahui secara baik budayanya tanpa harus memikirkannya. Informan semacam ini melakukan segala hal secara otomatis berdasarkan pengalamannya. Salah satu cara untuk memperkirakan seberapa dalam seseorang telah mempelajari suatu suasana budaya adalah dengan menentukan rentang waktu (lamanya) orang itu dalam situasi budaya itu. Seorang yang telah 25 tahun tinggal di masyarakat tertentu misalkan, lebih baik dari pada orang yang baru 5 tahun. Seorang yang telah menjadi gelandangan 5 tahun lebih baik dari pada seorang yang baru menjadi gelandangan. Syarat inilah yang dipakai sebagai salah satu kriteria menetapkan seorang informan. b. Keterlibatan langsung. Seorang yang telah terenkulturasi
penuh dapat saja bukan seorang informan yang baik apabila telah meninggalkan atau tidak terlibat lagi dalam suasana budaya. Oleh karena itu, seorang yang baik untuk menjadi informan apabila masih terlibat langsung dalam suasana budaya itu. Seorang yang telah 15 tahun menjadi gelandangan atau menjadi pawang di suatu masyarakat misalkan, tetapi karena profesi itu tidak lagi dilakukan, ia sesungguhnya telah mengalami ketidakterlibatan langsung. Ia mungkin telah melupakan detildetilnya, sehingga yang diingat hanya garis besarnya saja. Dengan begitu, orang tersebut meskipun telah terenkulturasi, tetapi tidak baik menjadi informan karena sudah tidak terlibay langsung lagi.
kadangkala tidak terjadi kalau antara kedua samasama telah mengenal kebudayaan itu. Seorang informan akan enggan menjawab pertanyaan etnografer karena menganggap percuma saja pertanyaan itu dijawab lantaran etnografernya sudah mengenal apa yang ditanyakan itu. Bahkan kadangkala informan beranggapan kalau etnografer menguji mereka. Oleh karena itu, wawancara etnografi akan terjadi dalam hubungan yang produktif apabila etnografer tidak mengenal budaya yang akan ditanya kepada informan. Dengan demikian, etnografer tidak terenkulturasi penuh dan informan terenkulturasi penuh.
d. Cukup waktu. Karena wawancara etnografis selalau diselingi dengan analisis hasil wawancara yang cerman, maka dibutuhkan beberapa kali wawancara. Untuk itu, perlu kiranya diperkirakan apakah seorang calon informan mempunyai cukup waktu untuk berpartisipasi. Apabila terjadi permasalahan dalam kaitan dengan ketercukupan waktu wawancara, salah satu cara yang bisa digunakan adalah informan ganda. Informan ganda merupakan seorang yang direkomendasikan oleh informan lain yang mempunyai permasalahan dalam waktu wawancara.
e. NonAnalitik. Informan yang baik sesuai dengan kriteria ini adalah, informan yang menggunakan perspektif
penduduk asli untuk menganalisis dan
tindakan atau suasana budaya yang ditanyakan oleh etnografer.
Kelima kriteria di atas merupakan kriteria minimal. Seorang etnografer dapat menggunakan kriteria lain, tetapi tetap juga menggunakan kelima kriteria tersebut, sebagai tambahan. Keterpenuhan lima kriteria tersebut selanjutnya penelitian dapat dilaksanakan. Informan yang mana yang relevan dengan lima kriteria tersebut. Dalam penelitian etnografi terdapat informan utama dan informan tambahan atau pun informan ganda.
e. Mewawancarai informan
Spradley mengemukakan bahwa wawancara etnografis merupakan jenis peristiwa percakapan yang khusus. Artinya, peristiwa wawancara etnografis berlangsung dalam konteks persahabatan, menggunakan sudut pandang penduduk asli, dan memperhatikan tujuan etnografis dan pertanyaan etnografis. Tujuan etnografis beserta penjelasannya harus diberikan sejak awal wawancara dilaksanakan agar wawancara dapat terarah. Seorang informan harus mengetahui persis apa tujuan wawancara dan apa yang harus dilakukan pada saat wawancara beserta alatalat apa yang akan digunakan dalam wawancara, misalnya perekaman, demontrasi atau permintaan untuk memperagakan, dan pencatatan. Satu hal yang terpenting adalah, penjelasan bahasa asli. Seorang etnografer harus mendorong informan menggunakan cara yang sama ketika mereka berbicara dengan orang lain dalam suasana budaya mereka sendiri, termasuk bahasa aslinya.
a. Pertanyaan deskripsi. Tipe pertanyaan ini memungkinkan seseorang mengumpulkan satu sampel yang terjadi dalam bahasa informan. Bisanya pertanyaan deskripsi berupa pertanyaan tentang apa saja yang dilakukan informan dalam realitas seharihari. Apa yang dilakukan hendaknya dalam hubungannya dengan apa yang hendak dipelajari etnografer terhadap informannya. b. Pertanyaan struktural. Pertanyaan jenis ini
memungkinkan etnografer untuk menemukan informasi mengenai domain unsurunsur dasar dalam pengetahuan budaya seorang informan. Bagaimana seorang informan mengorganisir pengetahuannya tentang apa saja yang dilakukan setiap harinya.
c. Pertanyaan kontras. Pertanyaan tipe ini memungkinkan etnografer menemukan berbagai hal yang dimaksudkan oleh informan dengan berbagai istilah yang digunakan dalam bahasa aslinya. Biasanya pertanyaan tipe ini menanyakan tentang perbedaan tentang sesuatu hal dengan hal lain yang terkandung dalam jawaban informan yang disampaikan sebelumnya.
Tipetipe pertanyaan itulah yang perlu diterapkan dalam wawancara etnografis. Dengan tipetipe pertanyaan tersebut dapat mengarahkan jawabanjawaban informan secara terarah sesuai dengan tujuan wawancara.
f. Membuat Catatan Etnografis
yang diperluas segera ditulis setelah wawancara selesai. Menunggu terlalau lama akan mengakibatkan etnografe melupakan halhal yang sebenarnya sangat penting yang tidak sempat dicatat ketika wawancara berlangsung. Ketiga, jurnal penelitian lapangan seperti buku harian yang memuat semua hal yang terjadi pada saat penelitian berlangsung. Oleh karena itu, jurnal perlu dicatat berdasarkan tanggal. Keempat, catatan analisis dan interpretasi sesungguhnya etnografi akhir tentang budaya yang dipelajari dalam suatu penelitian. Catatan inilah sebagai deskripsi makna budaya yang diteliti secara etnografi.
Namun demikian catatan analisis dan interpretasi itu masih dalam tarf hipotetis, sehingga perlu dibuktikan atau diuji ketepatannya. Pengujiannya dilakukan dengan diterapkan di lapangan, apakah hasil analisis dan interpretasinya tersebut telah menunjukkan ketetapannya di lapangan. Di dalam proses ini bisa terjadi terjadi penambahan dan penyempurnaan terhadap catatan analisis dan interpretasi tersebut. Bisa juga hasil analisis dan interpretasi tersebut dikonfirmasikan kepada seseorang di dalam masyarakat yang diteliti tentang kebenaran apa yang diungkapkan dalam catatan tersebut. Hasil dari pembuktian dan pengujian itu merupakan temuan dari penelitian etnografi.
g. Menulis suatu Etnografi
Deskripsi inilah yang menjadi hasil dalam penelitian etnografi. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menulis deskripsi etnografi tersebut.
a. Memilih khalayak, Seorang etnografer harus menentukan untuk siapakah deskripsi etnografi yang akan ditulis itu. Menulis untuk sebuah jurnal ilmiah atau laporan penelitian ilmiah, jelas berbeda dengan apabila tulisan tersebut untuk dibaca masyarakat umum. Jurnal ilmiah dan laporan penelitian ilmiah memiliki aturan tersendiri. Demikian juga apabila tulisan deskripsi etnografi untuk majalah atau koran, jelas berbeda dengan bentuk buku yang akan dibaca oleh pelajar atau mahasiswa. Seorang etnografer harus selalu mengingat untuk siapa dan untuk apa tulisan deskripsi etnografi itu akan dibuat.
b. Memilih tesis. Tesis merupakan tematema yang akan ditulis dalam tulisan deskripsi etnografi. Tematema tersebut diperoleh selama penelitian berlangsung. Dengan demikian, menulis deskripsi etnografi terbagi atas tesis tesis atau tematema tersebut. Ada satu tema utama dan beberapa tema bawahan. Tesis biasanya diungkapkan dalam bentuk rumusan yang berisi petunjuk atau instruksi untuk melaksanakan aktivitasaktivitas atau tindakan dalam kehidupan seharihari. Tentunya aktivitas dan tindakan dalam kaitannya dengan sistem budaya yang diteliti.
c. Membuat topik dan garis besar. Topik dan garis besar sesungguhnya semacam kerangka tulisan yang berisi tentang tesistesis yang akan diuraikan dalam tulisan. d. Menulis Naskah. Tahap ini adalah pengembangan garis
besar menjadi uraian berdasarkan catatan analisis dan interpretasi yang telah dibuat sebelumnya. Lihat jenis catatan lapangan.
revisi bagian mana yang harus dirubah, disempurnakan, ditambahi berdasarakan catatan penelitian di lapangan.
f. Menuliskan pengantar dan kesimpulan. Pada tahap ini tulisan yang telah direvisi dan diedit diberikan pengatar dan kesimpulan.
C. Pembahasan
1. Model Analisis Etnografi terhadap Sastra Lisan
Pada bagian awal tulisan ini telah dikemukakan prinsip prinsip dasar bagi analisis etnografi dengan mengambil strategi Wawancara Etnografi dan Alur Penelitian Maju Bertahap. Strategi dan prosedur penelitian etnografi Spradley itulah yang akan diacu untuk merumuskan sebuah model penelitian etnografi terhadap sastra lisan. Beberapa prinsip yang bisa dan relevan diambil dari pemikiran Spradley untuk penelitian sastra lisan adalah sebagai berikut.
a. Hasil akhir dari penelitian etnografi adalah suatu deskripsi verbal mengenai situasi budaya yang dipelari.
b. Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang penduduk asli.
c. Sumber data utama adalah informan dan didukung oleh data yang berupa apa yang dilihat dan artefak.
d. Metode wawancara merupakan metode utama untuk menggali data dari informan tentang suasana budaya yang hendak dipelajari.
e. Prosedur penelitiannya menggunakan Alur Penelitian Maju Bertahap, yang terdiri atas: menetapkan informan, mewawancarai informan, membuat catatan etnografis, melakukan analisis wawancara, membuat analisis domain, membuat analisis komponen, menemukan tematema budaya, dan diakhiri dengan menulis suatu etnografi.
Namun demikian, perlu diadakan modivikasi sesuai dengan kebutuhan analisis dan hakikat obyek penelitian. Model analisisnya akan berupa rangkaian analisis termodivikasi sebagaimana skema berikut ini.
Menentukan subyek dan obyek penelitian
Membuat rancangan penelitian
Deskripsi sastra lisan
Melakukan analisis hasil wawancara
Menetapkan informan
Melakukan wawancara
Suasana budaya
Skema Model Analisis Etnografi Spradley Termodivikasi terhadap Sastra Lisan
a. Menentukan Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek penelitian adalah masyarakat di mana suatu sastra lisan berada. Dalam kasuskasus tertentu, wilayah subyek penelitian hanya terbatas pada suatu lingkungan tertentu sebagai bagian dari suatu masyarakat. Cerita prosa rakyat berbentuk mite atau legenda tentang suatu tempat keramat atau makam misalnya, penyebarannya hanya terbatas di lingkungan sekitar tempat itu, tidak sampai menyebar ke wilayah yang lebih luas. Radius penyebarannya hanya terbatas tidak sampai satu komunitas desa. Banyak contoh dalam masyarakat di Indonesia, satu desa memiliki banyak tempat semacam itu dengan cerita rakyat yang berbedabeda. Dalam kasus seperti ini penentuan subyek penelitiannya hanya terbatas pada masyarakat di lingkungan sekitarnya.
b. Membuat Rancangan Penelitian
Setiap penelitian pada umumnya diawali dengan menyusun rancangan penelitian atau disebut dengan desain penelitian. Tujuannya, memberikan pedoman dan arah yang jelas bagi peneliti dalam melaksanakan proses penelitiannya. Rancangan penelitian meliputi bangunan teori, metode, dan teknik pemerolehan data dan analis data, dan prosedur penelitian. Sebagaimana dikemukakan Spradley, bangunan teori dalam penelitian etnografi adalah grounded theory, yaitu teori berdasarkan sekumpulan data. Dalam istilah lain disebut sebagai teori substantif, yaitu teori sebagai hasil abstraksi data dalam proses penelitian (baca: Ratna,2011). Oleh karena itu, seorang peneliti dituntut menganlisis secermat mungkin terhadap datadata yang telah dikumpulkannya dan membangun konsepkonsep dan proposisiproposisi sebagai sebuah teori berdasarkan data (substantif). Meskipun hal itu sulit dan memakan waktu, kemungkinan untuk itu tetap ada, baik sebagai proses pembelajaran maupun pembentukan pengalaman penelitian.
atau domain. Dengan demikian, sistematika analisis data akan tercapai berdasarkan tematema, aspekaspek, atau domaindomain tentang fokus penelitian.
Yang tak kalah penting adalah merencanakan prosedur penelitian. Prosedur penelitian berupa langkahlangkah yang harus dilalui dalam proses penelitian. Bagan tentang model penelitian etnografi di atas sebenarnya telah mencerminkan langkahlangkah apa yang harus dilakukan dalam proses penelitian tersebut.
c. Menetapkan Informan
Penetapan seorang informan juga sangat penting dalam proses penelitian. Dari informan itulah data penelitian diperoleh. Informan dalam penelitian ini terdiri atas informan utama dan informaninforman lain sebagai pendukung atau pelengkap. Bahkan dalam konteks pendeskripsian dan penginventarisasian satu versi sastra lisan dibutuhkan beberapa informan untuk dibandingkan satu sama lain sehingga dapat ditentukan satu versi yang sama. Dalam penelitian filologi dikenal dengan metode stema. Namun demikian, dalam penelitian ini bukan bertujuan menemukan hyperchetyp dan archetyp sebagaimana dalam kerja filologi. Oleh karena itu, proses pendeskripsian dan inventariasi tidak semendalam kerja filologi tersebut.
Penetapan seorang informan menurut Spradley berdasarkan pertimbanganpertimbangan yang telah dikemukakan terdahulu. Peneliti dapat mengunakannya untuk menetapkan mana calon informan yang baik dan mana yang tidak.
d. Melakukan Wawancara
jawaban atas pertanyaan itu memunculkan pertanyaan pertanyaan lainnya hingga semua aspek yang dibutuhkan terpenuhi. Wawancara etnografi memiliki waktu yang panjang dan berulangulang. Setiap satu kali wawancara akan dianalisis dan diinterpretasikan, yang selanjutnya akan dilengkapi dan direncanakan wawancara selanjutnya. Pembagian waktu wawancara dapat menggunakan tipetipe wawancara etnografi yang telah dikemukakan di muka. Wawancara pertama diawali dengan bentukbentuk pertanyaan diskripsi, dilanjutkan wawancara selanjutnya dengan tipe pertanyaan struktural dan kontras. Masing masing tipe pertanyaan tersebut dilakukan lebih dari sekali. Itulah kenapa wawancara dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan berulangulang sehingga terkumpul data yang lengkap.
e. Melakukan Analisis Wawancara
Sebagaimana dikemukakan di atas, setiap kali wawancara selesai dilakukan, peneliti melakukan analisis hasil wawancara. Analisis tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah datadata yang terkumpul dalam wawancara tadi telah memenuhi tujuan dan konsep wawancara. Oleh karena itu, sebelum dilakukan wawancara, peneliti merumuskan halhal apakah yang hendak dicapai dalam wawancara tersebut. Apabila dirasa datadata masih ada kekurangan, dicatat sebagai bahan wawancara selanjutnya. Di samping itu, analisis tersebut diarahkan untuk menemukan konsepkonsep dan proposisiproposisi sebagai temuan penelitian. Secara akumulatif dalam setiap hasil wawancara, temuan tersebut akan melahirkan teori berdasarkan data. Dan setiap wawancara, sistem snow ball
menjadi model wawancara.
dalam analisis etnografi adalah struktur pengetahuan budaya informan sebagai bagian dari pengetahuan budaya keseluruhan; masyarakat. Analisis etnografi memiliki urutan atau sistematika berikut ini.
1. Memilih masalah; masalah penelitian etnografi adalah apa makna budaya yang digunakan oleh masyarakat untuk mengatur tingkah laku dan menginterpretasikan pengalamannya. Dapat disempitkan berdasarkan aspek aspek pengalaman budaya masyarakat.
2. Mengumpulkan data kebudayaan; data kebudayaan diperoleh dari hasil wawancara maupun datadata yang lain yang terkumpul dari sumber data yang lain.
3. Menganalisis data kebudayaan; yang dilakukan dalam tahap ini adalah menemukan simbolsimbol budaya; biasanya digunakan istilah asli penduduk setempat; serta mencari hubungan antara simbolsimbol tersebut.
4. Menuliskan etnografi; tahapan ini, dalam konteks penelitian etnografi terhadap sastra lisan, dilakukan dalam tahap membuat kesimpulan berikut ini.
f. Membuat Kesimpulan
dan proposisiproposisi sebagai teori berdasarkan data (teori grounded atau sustantif).
DAFTAR PUSTAKA
Dananjaya, James. 1994. Foklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lainlain. Jakarta: Grafiti Press.
. 1997. Folklore Jepang Dilihat dari Kacamata Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Salim, Agus (peny.). 2001. Teori dan Paradigma Penelitian
Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
. 2006. Bangunan Teori untuk Bidang Sosial, Psikologi, dan Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Spradley, James P., 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.