• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETNOGRAFI dalam Penelitian Sastra Lisan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ETNOGRAFI dalam Penelitian Sastra Lisan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

ETNOGRAFI

dalam Penelitian Sastra Lisan

Oleh: Suhariyadi

ABSTRAK. Tulisan ini hendak mengungkapkan sebuah model analisis etnografi yang dikemukakan oleh James Spradley bagi studi sastra lisan. Selama ini studi sastra lisan lebih terfokus pada inventarisasi dan diskripsi. Sementara kognisi sosial yang melandasi praktik-praktik sosiokultural masyarakat pemilik dalam kaitannya dengan sastra lisan tersebut belum banyak tersentuh. Hal itulah menjadi titik berangkat studi yang bersifat teoritis dalam tulisan ilmiah ini dilakukan. Model Analisis Etnografi yang dikemukakan oleh James Spradley menjadi kasus untuk ditawarkan dalam penelitian sastra lisan tersebut.

Kata Kunci : etnografi, sastra lisan, kognisi sosial, wawancara etnografi, alur maju bertahap, Spradley.

A. Pendahuluan

(2)

penelitiannya,   bukan   terfokus   pada   sastra   lisan   itu.   Sastra lisan hanyalah simbol, ritual­ritual yang ada hanyalah fakta permukaan, tetapi yang terpenting adalah organisasi pikiran masyaraktnya yang melandasi tindakan dan peristiwa kultural itu.

Sastra   lisan   dalam   konteks   ini   digolongkan   dalam folklore lisan sebagaimana dikemukakan Dananjaya (1994:21). Folklore lisan adalah folklore yang bentuknya memang murni lisan.   Bentuk­bentuk   folklore   yang   termasuk   ke   dalam kelompok lisan ini antara lain: (1) bahasa rakyat (folk speech) seperti   logat,   julukan,   pangkat   tradisional,   dan   titel kebangsawanan, (2) ungkapan tradisional seperti peribaqhasa, pepatah, dan pemeo; (3) pertanyaan tradisional, seperti teks­ teks; (d) puisis rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (f) nyanyian   rakyat.   Sastra   lisan   merupakan   puisi   rakyat   dan cerita prosa rakyat dalam jenis­jenis folklore lisan tersebut. 

Definisi   folklore   secara   keseluruhan   adalah   sebagian kebudayaan   suatu   kolektif,   yang   tersebar   dan   diwariskan turun­temurun,   di   antara   kolektif   macam   apa   saja,   secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu   pengingat   (Dananjaya,1994:2).   Lebih   lanjut dikatakan Dananjaya, mengutip pendapat Jan Harold, folklore digolongkan   ke   dalam   tiga   kelompok   besar   berdasarkan tipenya: (1) folklore lisan (verbal folklore); (2) folklore sebagian lisan (partly verbal folklore); dan (3) folklore bukan lisan (non verbal folklore) (1994:21). 

(3)

keagamaan,   maupun   adat   dan   tradisi   lainnya.   Sukatman menggolongan sastra lisan itu ke dalam tradisi lisan (2009:3). Sedangkan ciri­ciri tradisi lisan menurut Dananjaya meliputi: (1)   penyebaran   dan   pewarisannya   biasa   dilakukan   dengan lisan, yakni dari mulut ke mulut; (2) bersifat tradisional, yakni berbentuk   relatif   atau   standard;   (3)   bersifat   anonim;   (4) mempunyai   varian   atay   versi   yang   berbeda;   (5)   mempunyai pola bentuk; (6) mempunyai kegunaan bagi kolektif tertentu; (7)   menjadi   miliki   bersama   suatu   kolektif;   dan   (8)   bersifat polos dan lugu sehingga sering terasa kasar atau terlalu sopan (dalam Sukatman,2009:5).

Menurut   William   R.   Bascom,   bahwa   secara   umum tradisi   lisan   mempunyai   empat   fungsi   penting.  Pertama, tradisi   lisan   berfungsi   sebagai   sistem   proyeksi   (cerminan) angan­angan   suatu   kolektif.  Kedua,   tradisi   lisan   berfungsi sebagai   alat   legitimasi   pranata­pranata   kebudayaan.  Ketiga, tradisi lisan berfungsi sebagai alat pendidikan. Dan, keempat, tradisi lisan berfungsi sebagai alat pemaksa atau pengontrol agar   norma­norma   masyarakat   selalu   dipatuhi   anggota kolektifnya (dalam Sukatman,2009:7­8). Sastra lisan sebagai bagian dari tradisi lisan juga memiliki fungsi­fungsi tersebut. Sastra   lisan   dengan   demikian   bukan   semata   sebagai   karya seni, tetapi juga sebagai nilai­nilai yang mengatur kehidupan sosial masyarakatnya.

(4)

Sastra   lisan   tersebut   membentuk   pola   pikir,   tindakan,   dan kesadaran   masyarakat   dalam   berinteraksi   dengan   Tuhan, alam   sekitar,   dan   sesamanya.   Sastra   lisan   semenjak   dulu telah   melandasi   hidup   masyarakat   dalam   hubungan   sarwa tersebut.

Fenomena   dan  noumena   masyarakat  dalam  kaitannya dengan   sastra   lisan   itulah   yang   menandai   wilayah   bagi penelitian   etnografi.   Fenomena   adalah   dunia   yang   terlihat, konkrit,   fisikal,   empiris,   dan   rasional,   sedangkan   noumena adalah   dunia   abstrak,   tak   terlihat,   gaib,   dan   tak   rasional. Keduanya melingkari keberadaan sastra lisan sebagai warisan budaya   masa   lalu   yang   diwariskan   secara   turun­temurun. Keduanya   menjadi   wilayah   kajian   ilmu­ilmu   sosial   seperti: antropologi   budaya,   bahasa,   filsafat,   sastra,   dan   ekologi budaya.   Di   dalamnya   etnografi   menjadi   bagiannya   sebagai metode   analisisnya.   Pertanyaannya   adalah,   bagaimana implementasi metode etnografi dalam penelitian sastra lisan?

Strategi   dan   model   analisis   etnografi   beragam bentuknya.   Dalam   tulisan   ini,   sekali   lagi,   menggunakan strategi dan model yang dikemukakan oleh James P. Spradley (2007).   Spradley   menyebutnya   sebagai   strategi   Wawancara Etnografi.   Strategi   ini   bertumpu   pada   apa   yang   dikatakan orang,   atau   dalam   istilah   penelitian   lapangan   disebut informan.   Melalui   informan   yang   baik   dan   sudut   pandang penduduk   asli,   diharapkan   penelitian   etnografi   mengasilkan diskripsi   etnografis   tentang   kebudayaan   suatu   masyarakat. Sastra lisan sebagai bagian kebudayaan yang memiliki fungsi melampaui fungsi dalam konteks kebahasaan dan kesastraan, dapat  menjadi   fokus   penelitian.   Namun,   yang   diteliti  bukan sastra   lisan   itu   sendiri,   tetapi   suasana   budaya   yang melingkupinya.   Suasana   budaya   merupakan   tindakan   yang berlandaskan  pada  pola  pemikiran  dalam  kaitannya  dengan sastra lisan tersebut.

(5)

mendikripsikan sastra lisan dalam rangka pendokumentasian dan   pelestarian   sastra   dan   kearifan   lokal.  Kedua, mendikripsikan   kebudayaan   lokal   dalam   rangka pembangunan nasional.

B. Studi Kepustakaan

1. Prinsip­Prinsip Dasar Etnografi

Spradley   dalam   bukunya   berjudul  Metode   Etnografi

(2007) sangat gamblang dan sistematis menjelaskan tentang empat tipe analisis etnografi, yaitu analisis domain, analisis taksonomik, analisis komponen, dan analisis tema. Empat tipe analisis   tersebut   menempatkan   metode   etnografi   yang dikemukakan   Spradley   itu   dikenal   sebagai  Etnografi   Baru. Etnografi   baru   berusaha   menemukan   keunikan   dari masyarakat   yang   ditelitinya.   Keunikan   itu   terletak   pada persepsi   dan   organisasi   pikiran   masyarakat   atas   fenomena material yang ada di sekelilingnya. Bukan fenomena material yang menjadi fokus kajian, melainkan persepsi dan struktur pikiran terhadap fenomea material tersebut, yang dihadapinya sehari­hari.

Menurut   Spradley   etnografi   merupakan   pekerjaan mendeskripsikan   suatu   kebudayaan.   Tujuannya,   untuk memahami   suatu   pandangan   hidup   dari   sudut   pandang penduduk   asli,   sebagaimana   dikemukakan   Bronislaw Malinowski.   Bronislaw   Malinowski   (dalam   Spradley,2007:4) mengemukakan   bahwa   tujuan   etnografi   adalah   memahami sudut   pandang   penduduk   asli,   hubungannya   dengan kehidupan,   untuk   mendapatkan   pandangannya   mengenai dunia. Dengan demikian, etnografi bukan semata mempelajari masyarakat, tetapi juga belajar dari masyarakat. 

(6)

terdapat   jarak,   di   dalam   etnografi   seorang   etnograf   masuk menjadi   bagian   dari   masyarakat   dan   menggunakan   sudut pandang   penduduk   asli   untuk   memplajari   masyarakat tersebut.  Kedua, seorang etnograf yang menggunakan sudut pandang   penduduk   asli   dimungkinkan   manakala   ia   belajar menjadi bagian dari masyarakat tersebut.

Spradley   mengemukakan,   inti   etnografi   adalah   upaya untuk memperhatikan makna­makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin ia pahami. Beberapa makna tersebut   terekspresi   secara   langsung   dalam   bahasa,   dan   di antara   makna   yang   diterima,   banyak   disampaikan   hanya secara   tidak   langsung   melalui   kata­kata   dan   perbuatan. Namun   demikian,   setiap   masyarakat   tetap   menggunakan sistem   makna   yang   kompleks   untuk   mengatur   tingkah lakunya,   untuk   memahami   dirinya   sendiri   dan   orang   lain, serta untuk memahami dunia tempat mereka hidup. Sistem makna   inilah   merupakan   kebudayaan   masyarakat   tersebut. Oleh karena itu, etnografi hendak mempelajari sistem makna yang disebut dengan kebudayaan suatu masyarakat. Etnografi tentunya   menggunakan   teori   kebudayaan   untuk mempelajarinya.

a. Kebudayaan sebagai Fokus dan Tujuan Etnografi

Terdapat   berbagai   definisi   dan   perspektif   untuk memandang   kebudayaan.   Tetapi   bagi   etnografi,   pengertian kebudayaan dikonsepsikan sesuai dengan tujuannya: “untuk memahami   sudut   pandang   penduduk   asli”.   Pengertian kebudayaan yang sesuai untuk itu menurut Spradley adalah,

(7)

dalam pikiran masyarakat; sistem organisasi pikiran apakah yang menuntun masyarakat tersebut menafsirkan dan berperi laku dan memandang dunia tempat mereka hidup.

Pengertian kebudayaan dalam sudut pandang etnografi adalah sebagai suatu simbol yang mempunyai makna. Konsep ini   memiliki   persamaan   dengan   pandangan   teori Interaksionisme   Simbolik,   yaitu   suatu   teori   yang   berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan makna.   Teori   ini   memiliki   tiga   premis   sebagai   landasan teorinya.

1. Manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan   oleh   berbagai   hal   itu   kepada   mereka.   Artinya, orang bertidak memiliki makna dibalik tindakan itu. 

2. Makna dari berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interasi sosial seseorang dengan orang lain. 

3. Makna   ditangani   atau   dimodivikasi   melalui   suatu   proses penafsiran yang digunakan orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dihadapi orang tersebut. Orang bukanlah robot   yang   dikendalikan   oleh   kebudayaannya,   melainkan menggunakan,   menginterpretasikan,   dan   mendefinisikan kebudayaannya   itu   untuk   situasi   yang   terjadi   dalam tindakan orang itu. 

Menurut   Spradley,   kebudayaan   dengan   demikian dipandang sebagai suatu peta yang dalam kehidupan sehari­ hari   manusia   merujuk   pada   peta   itu.   Sebagai   sebuah   peta, kebudayaan mengemukakan prinsip­prinsip untuk digunakan dalam menginterpretasikan dan memberikan respon terhadap suatu   kejadian.   Etnografi   menurut   teori   Interaksionisme Simbolik perlu secara cermat mempelajari makna. Untuk itu etnografi   membutuhkan   teori   mengenai   makna   dan metodologis khusus yang dirancang untuk menyelidiki makna. Etnografi   menggunakan   berbagai   pendekatan   yang   berbeda dalam antropologi dan sosiologi.

(8)

masyarakatnya. Etnografer melihat dan mendengar kemudian membuat   kesimpulan   tentang   hal   yang   diketahui   orang. Kesimpulan itu dibuat berdasarkan tiga sumber, yaitu: (1) dari yang dikatakan orang; (2) dari cara orang yang bertindak; dan (3) dari berbagai artefak yang digunakan orang. Pada mulanya kesimpulan itu hanya merupakan hipotesis mengenai hal yang diketahui orang. Oleh karena itu, kesimpulan tersebut harus diuji   secara   berulang­ulang   sampai   etnografer   memiliki kepastian bahwa orang­orang itu sama­sama memiliki sistem makna budaya yang khsus. Kesimpulan akhir yang diperoleh merupakan   sebuah   deskripsi   budaya.   Kemudian,   etnografer mengevaluasi   dan   menguji   ketepatan   deskripsi   itu. Pengevaluasian   dan   pengujian   dilakukan   dengan   jalan menggunakan statetemn etnografi dalam diskripsi tersebut ke dalam   kondisi   masyarakat   itu.   Deskripsi   etnografi   tersebut merupakan   pengetahuan   mengenai   sistem   budaya   suatu masyarakat. 

Apa   yang   dikemukakan   oleh   Spradley   di   atas   dapat disimpulan dalam beberapa pernyataan berikut.

1. Etnografi   menggunakan   sudut   pandang   penduduk   asli untuk mempelajari sistem kebudayaan suatu masyarakat. 2. Kebudayaan   dalam   pandangan   etnografi   bukanlah   apa

yang   dilihat   dan   didengar   (secara   material),   tetapi   alam pikiran mereka (secara kognitif).

3. Sistem kebudayaan dipandang sebagai sistem makna atau peta   yang   mengandung   prinsip­prinsip   untuk   digunakan dalam   menginterpretasikan   dan   memberikan   respon terhadap suatu kejadian.

4. Prose kerja penelitian etnografi berdasarkan sumber data yang   berupa:   apa   yang   dikatakan   orang,   apa   yang dilakukan orang, dan artefak yang digunakan orang.

(9)

6. Hasil   penelitian   etnografi   adalah   diskripsi   kebudayaan sebagai   sebuah   pengetahuan   mengenai   makna,   prinsip, dan   peta   yang   dirujuk   oleh   masyarakat   untuk menginterpretasikan kondisi tindakan yang dihadapi setiap hari. 

Dalam konteks keilmuan, etnografi menawarkan suatu strategi yang sangat baik untuk menemukan grounded theory. Grounded   teori   disebut   juga   dengan   teori   substantif   adalah teori   didasarkan   atas   data   empiris;   suatu   teori   yang dirumuskan   berdasarkan   abstraksi   data­data   penelitian. Etnografi bukan menggunakan teori­teori formal, yaitu teori­ teori   yang   sudah   tersedia   sebelumnya.   Seorang   etnografer ketika   terjun   ke   dalam   masyarakat   tidak   membawa   cara pandang   tertentu,   karena   penelitian   etnografi   hanya menggunakan   satu   cara   pandang,   yaitu   yang   dimiliki   oleh penduduk asli dari masyarakat yang akan diteliti. Ketiadaan teori untuk menemukan teori.

Salah   satu   strategi   etnografi   yang   sering   digunakan adalah   wawancara   etnografis.   Wawancara   etnografis merupakan   suatu   strategi   untuk   membuat   orang   berbicara mengenai   hal   yang   mereka   ketahui.   Sedangkan   prosedur penelitiannya  disebut   oleh   Spradley   sebagai  “Alur  Penelitian Maju Bertahap” (The Developmental Research Sequence). 

b. Langkah Kerja Penelitian Etnografi

Langkah kerja penelitian etnografi disebut sebagai “Alur Penelitian   Maju   Bertahap”   (The   Developmental   Research Sequence). Sebagaimana dijelaskan Spradley dalam bukunya

(10)

informan   yang   tepat   dan   relevan   bagi   penelitian   etnografi. Secar   garis   besar,   “Alur   Penelitian   Maju   Bertahap”   tersebut dapat diskemakan sebagai berikut.

Bagan Alur Penelitian Maju Bertahap

Tahapan tersebut sengaja dimodivikasi secara sederhana dari pendapat Spradley bagi penelitian pemula

M enetapkan O byek, Fokus

Penelitian, dan

m erancang penelitian

M eneta

pkan

inform a

n

M ew aw a

ncara

Inform a

n

M em buat

C atatan

Etnografis

M elakukan

A nalisis H asil

W aw ancara

M enarik Kesim pulan dari hasil

A nalisis W aw ancara dan

m enjadikannya sebuah hipotesis

M enguj

i

hipotes

is

M em buat deskripsi

etnografis sebagai

(11)

c. Menetapkan Subjek, Objek Penelitian,  dan Merancang Penelitian

Sebagaimana   dalam   penelitian   pada   umumnya, penelitian etnografi diawali dengan menetapkan subjek, objek sebagai fokus penelitian, dan   merancang penelitian. Subjek penelitian,   sebagaimana   dikemukakan   di   muka   adalah masyarakat pemilik kebudayaan di mana penelitian etnografi akan   dilakukan.   Sedangkan   objek   atau   fokus   penelitian etnografi   adalah   aspek   kebudayaan   suatu   masyarakat   yang akan   dipelajari   dan   dikaji   secara   etnografis.   Keduanya sesungguhnya dapat dikatakan sebagai objek penelitian, yaitu objek   formal   dan   meterial.   Fokus   penelitian   hendaknya menunjuk pada satu fenomena tindakan masyarakat sebagai peristiwa   kultural,   yang   secara   bersama­sama   dilakukan dalam   masyarakat   itu.   Namun   demikian,   yang   akan   dituju bukanlah peristiwa yang tampak, tetapi sistem makna di balik permukaan   peristiwa   tersebut.   Artinya,   fokus   penelitian menunjuk   pada   alam   pikiran   atau   organisasi   pikiran   yang melandasi   masyarakat   dalam   bertindak   dalam   peristiwa kultural   tersebut.   Bagaimanakah   sistem   makna   yang digunakan   masyarakat   untuk   menginterpretasikan   dan mendefinisikan   situasi  tindakannya  dalam  konteks  interaksi sosial.

(12)

dijelaskan   di   atas,   sedangkan   sumber   data   dalam   etnografi terdiri atas tiga macam, yaitu: (1) dari yang dikatakan orang; (2)   dari   cara   orang   yang   bertindak;   dan   (3)   dari   berbagai artefak  yang  digunakan  orang.  Ketiga  sumber  data  tersebut akan   menentukan   metode   dan   teknik   yang   akan   dipakai untuk   menggali   data   penelitian.   Dari   sumber   data   (1) diterapkan   metode   wawancara;   dari   sumber   data   (2) diterapkan   metode   observasi;   dan   dari   sumber   data   (3) diterapkan   metode   observasi   dan   dokumentasi.   Dengan demikian, teknik pemerolehan data didasarkan pada sumber data mana yang digunakan. 

Sedangkan hal yang berhubungan dengan bagunan teori yang   digunakan,   studi   etnografi   menggunakan  gounded theory,   sebagaimana   dikemukan   di   muka.  Gounded   theory

merupakan   teori   yang   didasarkan   atau   disusun   dari kumpulan   data   dalam   suatu   penelitian.   Dengan   demikian, bangunan teori dalam studi etnografi disusun dalam proses penelitian   berdasarkan   data­data   yang   dihimpun,   bukan menggunakan   teori   yang   sudah   ada.   Teori   semacam   itu disebut juga dengan teori substantif. Oleh karena itu, model penelitian etnografi bersifat induktif. 

d. Menetapkan Informan

Sebagaimana dikemukan di bagian awal, tulisan tentang model   penelitian   etnografi   ini   menggunakan   strategi wawancara   etnografi.   Dengan   demikian,   sumber   data   yang digunakan adalah apa yang dikatakan orang, sehingga metode penelitian   yang   digunakan   adalah   wawancara.   Wawancara etnografi   merupakan   upaya   menggali   data   dari   informan. Namun demikian, ada beberapa aturan yang harus dilakukan etnografer untuk menetapkan informan yang bagaimana yang layak sebagai sumber data.

(13)

orang dapat menjadi informan yang baik dan layak. Ada lima syarat   minimal   bagi   seorang   informan   yang   baik   dan   layak badi penelitian etnografi, sebagaimana berikut ini.

a. Enkulturasi   penuh;   informan   yang   baik   adalah   yang mengetahui   secara   baik   budayanya   tanpa   harus memikirkannya. Informan semacam ini melakukan segala hal   secara   otomatis   berdasarkan   pengalamannya.   Salah satu cara untuk memperkirakan seberapa dalam seseorang telah   mempelajari   suatu   suasana   budaya   adalah   dengan menentukan   rentang   waktu   (lamanya)   orang   itu   dalam situasi budaya itu. Seorang yang telah 25 tahun tinggal di masyarakat tertentu misalkan, lebih baik dari pada orang yang   baru   5   tahun.   Seorang   yang   telah   menjadi gelandangan   5   tahun   lebih   baik   dari   pada   seorang   yang baru   menjadi   gelandangan.   Syarat   inilah   yang   dipakai sebagai salah satu kriteria menetapkan seorang informan. b. Keterlibatan langsung. Seorang yang telah terenkulturasi

penuh   dapat   saja   bukan   seorang   informan   yang   baik apabila telah meninggalkan atau tidak terlibat lagi dalam suasana budaya. Oleh karena itu, seorang yang baik untuk menjadi   informan   apabila   masih   terlibat   langsung   dalam suasana budaya itu. Seorang yang telah 15 tahun menjadi gelandangan   atau   menjadi   pawang   di   suatu   masyarakat misalkan, tetapi karena profesi itu tidak lagi dilakukan, ia sesungguhnya   telah   mengalami   ketidak­terlibatan langsung.   Ia   mungkin   telah   melupakan   detil­detilnya, sehingga yang diingat hanya garis besarnya saja. Dengan begitu,   orang   tersebut   meskipun   telah   terenkulturasi, tetapi   tidak   baik   menjadi   informan   karena   sudah   tidak terlibay langsung lagi.

(14)

kadangkala   tidak   terjadi   kalau   antara   kedua   sama­sama telah   mengenal   kebudayaan   itu.   Seorang   informan   akan enggan   menjawab   pertanyaan   etnografer   karena menganggap percuma saja pertanyaan itu dijawab lantaran etnografernya   sudah   mengenal   apa   yang   ditanyakan   itu. Bahkan   kadangkala   informan   beranggapan   kalau etnografer   menguji   mereka.   Oleh   karena   itu,   wawancara etnografi   akan   terjadi   dalam   hubungan   yang   produktif apabila   etnografer   tidak   mengenal   budaya   yang   akan ditanya   kepada   informan.   Dengan   demikian,   etnografer tidak   terenkulturasi   penuh   dan   informan   terenkulturasi penuh. 

d. Cukup   waktu.   Karena   wawancara   etnografis   selalau diselingi   dengan   analisis   hasil   wawancara   yang   cerman, maka   dibutuhkan   beberapa   kali   wawancara.   Untuk   itu, perlu kiranya diperkirakan apakah seorang calon informan mempunyai   cukup   waktu   untuk   berpartisipasi.   Apabila terjadi   permasalahan   dalam  kaitan  dengan  ketercukupan waktu   wawancara,   salah   satu   cara   yang   bisa   digunakan adalah   informan   ganda.   Informan   ganda   merupakan seorang   yang   direkomendasikan   oleh   informan   lain   yang mempunyai permasalahan dalam waktu wawancara. 

e. Non­Analitik. Informan yang baik sesuai dengan kriteria ini   adalah,   informan   yang   menggunakan   perspektif

penduduk   asli   untuk   menganalisis   dan

(15)

tindakan   atau   suasana   budaya   yang   ditanyakan   oleh etnografer.

Kelima   kriteria   di   atas   merupakan   kriteria   minimal. Seorang   etnografer   dapat   menggunakan   kriteria   lain,   tetapi tetap   juga   menggunakan   kelima   kriteria   tersebut,   sebagai tambahan.   Keterpenuhan   lima   kriteria   tersebut   selanjutnya penelitian   dapat   dilaksanakan.   Informan   yang   mana   yang relevan   dengan   lima   kriteria   tersebut.   Dalam   penelitian etnografi   terdapat   informan   utama   dan   informan   tambahan atau pun informan ganda.

e. Mewawancarai informan

Spradley   mengemukakan   bahwa   wawancara   etnografis merupakan jenis  peristiwa percakapan  yang khusus. Artinya, peristiwa   wawancara   etnografis   berlangsung   dalam   konteks persahabatan,  menggunakan  sudut  pandang penduduk  asli, dan     memperhatikan   tujuan   etnografis   dan   pertanyaan etnografis.   Tujuan   etnografis   beserta   penjelasannya   harus diberikan   sejak   awal   wawancara   dilaksanakan   agar wawancara   dapat   terarah.   Seorang   informan   harus mengetahui persis apa tujuan wawancara dan apa yang harus dilakukan   pada   saat   wawancara   beserta   alat­alat   apa   yang akan   digunakan   dalam   wawancara,   misalnya   perekaman, demontrasi   atau   permintaan   untuk   memperagakan,   dan pencatatan.   Satu   hal   yang   terpenting   adalah,   penjelasan bahasa   asli.   Seorang   etnografer   harus   mendorong   informan menggunakan   cara   yang   sama   ketika   mereka   berbicara dengan   orang   lain   dalam   suasana   budaya   mereka   sendiri, termasuk bahasa aslinya.

(16)

a. Pertanyaan   deskripsi.   Tipe   pertanyaan   ini memungkinkan   seseorang   mengumpulkan   satu   sampel yang terjadi dalam bahasa informan. Bisanya pertanyaan deskripsi   berupa   pertanyaan   tentang   apa   saja   yang dilakukan   informan   dalam   realitas   sehari­hari.   Apa   yang dilakukan   hendaknya   dalam   hubungannya   dengan   apa yang hendak dipelajari etnografer terhadap informannya. b. Pertanyaan   struktural.   Pertanyaan   jenis   ini

memungkinkan   etnografer   untuk   menemukan   informasi mengenai domain unsur­unsur dasar dalam pengetahuan budaya   seorang   informan.   Bagaimana   seorang   informan mengorganisir   pengetahuannya   tentang   apa   saja   yang dilakukan setiap harinya. 

c. Pertanyaan kontras. Pertanyaan tipe ini memungkinkan etnografer   menemukan   berbagai   hal   yang   dimaksudkan oleh   informan   dengan   berbagai   istilah   yang   digunakan dalam   bahasa   aslinya.   Biasanya   pertanyaan   tipe   ini menanyakan   tentang   perbedaan   tentang   sesuatu   hal dengan hal lain yang terkandung dalam jawaban informan yang disampaikan sebelumnya.

Tipe­tipe pertanyaan itulah yang perlu diterapkan dalam wawancara   etnografis.   Dengan   tipe­tipe   pertanyaan   tersebut dapat mengarahkan jawaban­jawaban informan secara terarah sesuai dengan tujuan wawancara.

f. Membuat Catatan Etnografis

(17)

yang   diperluas   segera   ditulis   setelah   wawancara   selesai. Menunggu   terlalau   lama   akan   mengakibatkan   etnografe melupakan hal­hal yang sebenarnya sangat penting yang tidak sempat dicatat ketika wawancara berlangsung.  Ketiga, jurnal penelitian lapangan  seperti buku harian yang memuat semua hal yang terjadi pada saat penelitian berlangsung. Oleh karena itu,   jurnal   perlu   dicatat   berdasarkan   tanggal.  Keempat, catatan analisis dan interpretasi sesungguhnya etnografi akhir tentang   budaya   yang   dipelajari   dalam   suatu   penelitian. Catatan inilah sebagai deskripsi makna budaya yang diteliti secara etnografi. 

Namun   demikian   catatan   analisis   dan   interpretasi   itu masih   dalam   tarf   hipotetis,   sehingga   perlu   dibuktikan   atau diuji   ketepatannya.   Pengujiannya   dilakukan   dengan diterapkan   di   lapangan,   apakah   hasil   analisis   dan interpretasinya tersebut telah menunjukkan ketetapannya di lapangan. Di dalam proses ini bisa terjadi terjadi penambahan dan   penyempurnaan   terhadap   catatan   analisis   dan interpretasi tersebut. Bisa juga hasil analisis dan interpretasi tersebut   dikonfirmasikan   kepada   seseorang   di   dalam masyarakat   yang   diteliti   tentang   kebenaran   apa   yang diungkapkan dalam catatan tersebut. Hasil dari pembuktian dan   pengujian   itu   merupakan   temuan   dari   penelitian etnografi.

g. Menulis suatu Etnografi

(18)

Deskripsi inilah yang menjadi hasil dalam penelitian etnografi. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menulis deskripsi etnografi tersebut.

a. Memilih khalayak, Seorang etnografer harus menentukan untuk siapakah deskripsi etnografi yang akan ditulis itu. Menulis   untuk   sebuah   jurnal   ilmiah   atau   laporan penelitian   ilmiah,   jelas   berbeda   dengan   apabila   tulisan tersebut   untuk   dibaca   masyarakat   umum.   Jurnal   ilmiah dan   laporan   penelitian  ilmiah   memiliki   aturan  tersendiri. Demikian   juga   apabila   tulisan   deskripsi   etnografi   untuk majalah   atau   koran,   jelas   berbeda   dengan   bentuk   buku yang   akan   dibaca   oleh   pelajar   atau   mahasiswa.   Seorang etnografer harus selalu mengingat untuk siapa dan untuk apa tulisan deskripsi etnografi itu akan dibuat.

b. Memilih   tesis.   Tesis   merupakan   tema­tema   yang   akan ditulis   dalam   tulisan   deskripsi   etnografi.   Tema­tema tersebut diperoleh selama penelitian berlangsung. Dengan demikian,   menulis   deskripsi   etnografi   terbagi   atas   tesis­ tesis atau tema­tema tersebut. Ada satu tema utama dan beberapa   tema   bawahan.   Tesis   biasanya   diungkapkan dalam bentuk rumusan yang berisi petunjuk atau instruksi untuk   melaksanakan   aktivitas­aktivitas   atau   tindakan dalam   kehidupan   sehari­hari.   Tentunya   aktivitas   dan tindakan   dalam   kaitannya   dengan   sistem   budaya   yang diteliti.

c. Membuat topik dan garis besar. Topik dan garis besar sesungguhnya   semacam   kerangka   tulisan   yang   berisi tentang tesis­tesis yang akan diuraikan dalam tulisan. d. Menulis   Naskah.   Tahap   ini adalah   pengembangan   garis

besar   menjadi   uraian   berdasarkan   catatan  analisis   dan interpretasi   yang   telah   dibuat   sebelumnya.   Lihat   jenis catatan lapangan.

(19)

revisi   bagian   mana  yang  harus   dirubah,   disempurnakan, ditambahi berdasarakan catatan penelitian di lapangan. 

f. Menuliskan pengantar dan kesimpulanPada tahap ini tulisan   yang   telah   direvisi   dan   diedit   diberikan   pengatar dan kesimpulan.

C. Pembahasan

1. Model Analisis Etnografi terhadap Sastra Lisan

Pada bagian awal tulisan ini telah dikemukakan prinsip­ prinsip   dasar   bagi   analisis   etnografi   dengan   mengambil strategi   Wawancara   Etnografi   dan   Alur   Penelitian   Maju Bertahap. Strategi dan prosedur penelitian etnografi Spradley itulah   yang   akan   diacu   untuk   merumuskan   sebuah   model penelitian   etnografi   terhadap   sastra   lisan.   Beberapa   prinsip yang bisa dan relevan diambil dari pemikiran Spradley untuk penelitian sastra lisan adalah sebagai berikut.

a. Hasil akhir dari penelitian etnografi adalah suatu deskripsi verbal mengenai situasi budaya yang dipelari.

b. Sudut   pandang   yang   digunakan   adalah   sudut   pandang penduduk asli.

c. Sumber   data   utama   adalah   informan   dan   didukung   oleh data yang berupa apa yang dilihat dan artefak.

d. Metode   wawancara   merupakan   metode   utama   untuk menggali data dari informan tentang suasana budaya yang hendak dipelajari.

e. Prosedur penelitiannya menggunakan Alur Penelitian Maju Bertahap,   yang   terdiri   atas:   menetapkan   informan, mewawancarai   informan,   membuat   catatan   etnografis, melakukan analisis wawancara, membuat analisis domain, membuat   analisis   komponen,   menemukan   tema­tema budaya, dan diakhiri dengan menulis suatu etnografi.

(20)

Namun   demikian,   perlu   diadakan   modivikasi   sesuai   dengan kebutuhan   analisis   dan   hakikat   obyek   penelitian.   Model analisisnya   akan   berupa   rangkaian   analisis   termodivikasi sebagaimana skema berikut ini.

Menentukan subyek dan obyek penelitian

Membuat rancangan penelitian

Deskripsi sastra lisan

Melakukan analisis hasil wawancara

Menetapkan informan

Melakukan wawancara

Suasana budaya

(21)

Skema Model Analisis Etnografi Spradley Termodivikasi terhadap Sastra Lisan 

a. Menentukan Subyek dan Obyek Penelitian

Subyek   penelitian   adalah   masyarakat   di   mana   suatu sastra   lisan   berada.   Dalam   kasus­kasus   tertentu,   wilayah subyek   penelitian   hanya   terbatas   pada   suatu   lingkungan tertentu sebagai bagian dari suatu masyarakat. Cerita prosa rakyat   berbentuk   mite   atau   legenda   tentang   suatu   tempat keramat   atau   makam   misalnya,   penyebarannya   hanya terbatas   di   lingkungan   sekitar   tempat   itu,   tidak   sampai menyebar ke wilayah yang lebih luas. Radius penyebarannya hanya   terbatas   tidak   sampai   satu   komunitas   desa.   Banyak contoh   dalam   masyarakat   di   Indonesia,   satu   desa   memiliki banyak   tempat   semacam   itu   dengan   cerita   rakyat   yang berbeda­beda.   Dalam   kasus   seperti   ini   penentuan   subyek penelitiannya hanya terbatas pada masyarakat di lingkungan sekitarnya. 

(22)

b. Membuat Rancangan Penelitian

Setiap   penelitian   pada   umumnya   diawali   dengan menyusun rancangan penelitian atau disebut dengan desain penelitian. Tujuannya, memberikan pedoman dan arah yang jelas bagi peneliti dalam melaksanakan proses penelitiannya. Rancangan   penelitian  meliputi  bangunan   teori,   metode,   dan teknik   pemerolehan   data   dan   analis   data,   dan   prosedur penelitian.   Sebagaimana   dikemukakan   Spradley,   bangunan teori dalam penelitian etnografi adalah grounded theory, yaitu teori berdasarkan sekumpulan data. Dalam istilah lain disebut sebagai   teori   substantif,   yaitu   teori   sebagai   hasil   abstraksi data dalam proses penelitian (baca: Ratna,2011). Oleh karena itu, seorang peneliti dituntut menganlisis secermat mungkin terhadap   data­data   yang   telah   dikumpulkannya   dan membangun   konsep­konsep   dan   proposisi­proposisi   sebagai sebuah teori berdasarkan data (substantif). Meskipun hal itu sulit dan memakan waktu, kemungkinan untuk itu tetap ada, baik   sebagai   proses   pembelajaran   maupun   pembentukan pengalaman penelitian.

(23)

atau   domain.   Dengan   demikian,   sistematika   analisis   data akan   tercapai   berdasarkan   tema­tema,   aspek­aspek,   atau domain­domain tentang fokus penelitian. 

Yang tak kalah penting adalah merencanakan prosedur penelitian. Prosedur penelitian berupa langkah­langkah yang harus   dilalui  dalam  proses  penelitian.  Bagan  tentang model penelitian   etnografi   di   atas   sebenarnya   telah   mencerminkan langkah­langkah   apa   yang   harus   dilakukan   dalam   proses penelitian tersebut. 

c. Menetapkan Informan

Penetapan seorang informan juga sangat penting dalam proses   penelitian.   Dari   informan   itulah   data   penelitian diperoleh. Informan dalam penelitian ini terdiri atas informan utama  dan informan­informan lain sebagai pendukung atau pelengkap.   Bahkan   dalam   konteks   pendeskripsian   dan penginventarisasian   satu   versi   sastra   lisan   dibutuhkan beberapa   informan   untuk   dibandingkan   satu   sama   lain sehingga   dapat   ditentukan   satu   versi   yang   sama.   Dalam penelitian   filologi   dikenal   dengan   metode   stema.   Namun demikian, dalam penelitian ini bukan bertujuan menemukan hyperchetyp   dan   archetyp   sebagaimana   dalam   kerja   filologi. Oleh karena itu, proses pendeskripsian dan inventariasi tidak semendalam kerja filologi tersebut.

Penetapan   seorang   informan   menurut   Spradley berdasarkan   pertimbangan­pertimbangan   yang   telah dikemukakan   terdahulu.   Peneliti   dapat   mengunakannya untuk menetapkan mana calon informan yang baik dan mana yang tidak. 

d. Melakukan Wawancara

(24)

jawaban   atas   pertanyaan   itu   memunculkan   pertanyaan­ pertanyaan   lainnya   hingga   semua   aspek   yang   dibutuhkan terpenuhi. Wawancara etnografi memiliki waktu yang panjang dan   berulang­ulang.   Setiap   satu   kali   wawancara   akan dianalisis   dan   diinterpretasikan,   yang   selanjutnya   akan dilengkapi   dan   direncanakan   wawancara   selanjutnya. Pembagian   waktu   wawancara   dapat   menggunakan   tipe­tipe wawancara   etnografi   yang   telah   dikemukakan   di   muka. Wawancara   pertama   diawali   dengan   bentuk­bentuk pertanyaan   diskripsi,   dilanjutkan   wawancara   selanjutnya dengan   tipe   pertanyaan   struktural   dan   kontras.   Masing­ masing tipe pertanyaan tersebut dilakukan lebih dari sekali. Itulah kenapa wawancara dilakukan dalam jangka waktu yang lama   dan   berulang­ulang   sehingga   terkumpul   data   yang lengkap.

e. Melakukan Analisis Wawancara

Sebagaimana   dikemukakan   di   atas,   setiap   kali wawancara   selesai   dilakukan,   peneliti   melakukan   analisis hasil   wawancara.   Analisis   tersebut   bertujuan   untuk mengetahui   apakah   data­data   yang   terkumpul   dalam wawancara   tadi   telah   memenuhi   tujuan   dan   konsep wawancara. Oleh karena itu, sebelum dilakukan wawancara, peneliti   merumuskan   hal­hal   apakah   yang   hendak   dicapai dalam   wawancara   tersebut.   Apabila   dirasa   data­data   masih ada   kekurangan,   dicatat   sebagai   bahan   wawancara selanjutnya.   Di   samping   itu,   analisis   tersebut   diarahkan untuk   menemukan   konsep­konsep   dan   proposisi­proposisi sebagai   temuan   penelitian.   Secara   akumulatif   dalam   setiap hasil   wawancara,   temuan   tersebut   akan   melahirkan   teori berdasarkan  data.  Dan   setiap  wawancara,   sistem  snow ball

menjadi model wawancara. 

(25)

dalam analisis etnografi adalah struktur pengetahuan budaya informan   sebagai   bagian   dari   pengetahuan   budaya keseluruhan; masyarakat. Analisis etnografi memiliki urutan atau sistematika berikut ini.

1. Memilih masalah; masalah penelitian etnografi adalah apa makna   budaya   yang   digunakan   oleh   masyarakat   untuk mengatur   tingkah   laku   dan   menginterpretasikan pengalamannya.   Dapat   disempitkan   berdasarkan   aspek­ aspek pengalaman budaya masyarakat.

2. Mengumpulkan   data   kebudayaan;   data   kebudayaan diperoleh   dari   hasil   wawancara   maupun   data­data   yang lain yang terkumpul dari sumber data yang lain. 

3. Menganalisis   data   kebudayaan;   yang   dilakukan   dalam tahap   ini   adalah   menemukan   simbol­simbol   budaya; biasanya digunakan istilah asli penduduk setempat; serta mencari hubungan antara simbol­simbol tersebut.

4. Menuliskan   etnografi;   tahapan   ini,   dalam   konteks penelitian etnografi terhadap sastra lisan, dilakukan dalam tahap membuat kesimpulan berikut ini.

f. Membuat Kesimpulan

(26)

dan proposisi­proposisi sebagai teori berdasarkan data (teori grounded atau sustantif). 

DAFTAR PUSTAKA

Dananjaya,   James.   1994.  Foklore   Indonesia:   Ilmu   Gosip, Dongeng, dan lain­lain. Jakarta: Grafiti Press.

­­­­­­­­­­­­­­.   1997.  Folklore   Jepang   Dilihat   dari   Kacamata Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Ratna,   Nyoman   Kutha.   2011.  Teori,   Metode,   dan   Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Salim,   Agus   (peny.).   2001.  Teori   dan   Paradigma   Penelitian

Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

­­­­­­­­­­­­­­.   2006.  Bangunan   Teori  untuk   Bidang   Sosial, Psikologi,   dan   Pendidikan.   Yogyakarta:   Tiara Wacana.

Spradley, James P., 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Referensi

Dokumen terkait

DALAM TEKS CERITA SASTRA LISAN DI KABUPATEN SUMEDANG.. SUMBER DANA DIPA UNPAD TAHUN

Sisi positif transformasi sastra lisan ke dalam seni pertunjukan adalah sastra lisan lebih dikenal dan dicintai oleh masyarakat, khususnya generasi muda Bali

Selain menggambarkan mitologi dan kosmologi keblat papat lima pancer, dalam batas-batas tertentu, sastra lisan Jawa menyimpan pengetahuan ekologi yang dapat

Dengan adanya penelitian ini, sastra lisan Sunda diharapkan akan menjadi suatu bahan ajar pembelajaran yang memiliki kelengkapan pembahasan mengenai struktur,

dikembangkan dan dilestarikan oleh orang tua kepada anak-anak. Padahal jika masyarakat setempat mampu mengembangkan sastra lisan maupun tradisi lisan masyarakat Kepulauan Banda

Implementasi nilai pendidikan karakter dalam sastra lisan di IKIP PGRI Pontianak ditemukan 9 pilar pendidikan karakter yang dapat ditemukan pada sastra lisan yaitu

Di awal tahun 2000 tersebut, rekaman VCD masih diproduksi berdampingan dengan kaset.Hingga saat ini, Salawat Dulang masih menjadi salah satu sastra lisan

Rumusan Masalah Yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk motif yang ada padaa sastra lisan yang ada Provinsi Kalimantan Barat, dengan membatasi sumber data