BAB II
PROFIL KOTA MEDAN DAN SEJARAH ETNIS TIONGHOA DI KOTA MEDAN
2.1Kota Medan
Gambar 2.1 Peta Kota Medan
Kota Medan secara geografis terletak di antara 2 27'-2 47' Lintang Utara dan 98 35'-98
44' Bujur Timur. Posisi Kota Medan ada di bagian Utara Propinsi Sumatera Utara dengan
topografi miring ke arah Utara dan berada pada ketinggian tempat 2,5-37,5 m di atas permukaan
laut. Luas wilayah Kota Medan adalah 265,10 km2 secara administratif terdiri dari 21
Kecamatan dan 151 Kelurahan. Sarana dan prasarana perhubungan di Kota Medan terdiri dari
juga telah tersedia prasarana listrik, gas, telekomunikasi, air bersih dan Kawasan Industri Medan
(KIM) I. Sebagai daerah yang berada pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Kota Medan
sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara memiliki posisi strategis.
Sebagai salah satu derah otonom berstatus kota di Propinsi Sumatera Utara, kedudukan, fungsi
dan peran Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota
Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan
dan penyelenggaraan pemerintah daerah.
Secara umum ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi kinerja pembangunan kota,
(1) faktor geografis, (2) faktor demografis dan (3) faktor sosial ekonomi. Ketiga faktor tersebut
biasanya terkait satu dengan lainnya, yang secara simultan mempengaruhi daya guna dan hasil
guna pembangunan kota termasuk pilihan-pilihan penanaman modal (investasi)39
39
http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/12/name/sumatera-utara/detail/1271/kota-medan diakses pada tanggal 14 Januari 2015 pada pukul 14.44 WIB
.
2.1.1 Kota Medan Secara Geografis
Secara geografis Kota Medan terletak pada 30 30’-30 43’ Lintang Utara dan 980 35’-980
44’ Bujur Timur dengan luas wilayah 265,10 km2. Kota medan berapda pada ketinggian 2,5 –
37,5 meter di atas permukaan laut. Wilayah Kota Medan sebagian besar secara topografi
cenderung miring ke utara dan menjadi tempat pertemuan 2 sungai penting, yaitu sungai Babura
dan sungai Deli. Secara administratif Kota Medan terbagi menajdi 21 Kecamatan dan batas
wilayah Kota Medan adalah sebagai berikut :
Utara : Selat Malaka
Selatan : Kabupaten Deli Serdang
Timur : Kabupaten Deli Serdang
Kota Medan mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum menurut Stasiun Polonia
berkisar antara 22,70 C – 24,10 C dan suhu maksimum berkisar antara 31,00 C – 33,70 C serta
menurut stasiun Sampali suhu minimumnya berkisar antara 23,30C – 24,40C dan suhu
maksimum berkisar antara 30,90C – 33,60C.
Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat
Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota / negara yang lebih maju seperti
Pulau Penang Malaysia, Singapura dan lain-lain. Demikian juga secara demografis Kota Medan
diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari
jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai
2.121.053 jiwa. Secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan
sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan
regional/nasional.
Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah
melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan
Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi
5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan
menyusul dikeluarkannya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21
September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat. Melaui Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota Medan kemudian mengalami
Berdasarkan luas administrsi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam
Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran
Kelurahan menjadi 144 Keluarahan. Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September
1996 tentang pendefitipan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa
Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan
dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan
perkembangan administrative ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis
dan sosial ekonomis.
Secara administratif, wilayah kota medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan
Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan dan Timur. Sepanjang wilayah
Utara nya berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur
lalu lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya
dengan Sumber Daya alam (SDA), Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya
secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber daya alam seperti
Deli Serdang , Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal,
Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu
mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling
memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.
Di samping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Maka
Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan
geografis Kota Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan
secara fisik , yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.
2.1.2 Kota Medan Secara Demografis
Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku
etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar
penduduk Kota Medan bersifat terbuka. Secara Demografi, Kota Medan pada saat ini juga
sedang mengalami masa transisi demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran
dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat
kelahiran dan kematian semakin menurun. Berbagai faktor yang mempengaruhi proses
penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fikir masyarakat dan perubahan sosial
ekonominya.
Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi
tingkat kematian. Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk. Istilah ini mengacu
pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke
keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian rendah. Penurunan pada tingkat kelahiran ini
disebabkan oleh banyak faktor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan
yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan
tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan
pendapatan masyarakat.
Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun. Pada akhir proses transisi ini, baik
tingkat kelahiran maupun tingkat kematian sudah tidak banyak berubah, kecuali disebabkan
berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun cultural. Menurut
tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan
antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang balik (cummuters)
mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.
Tabel: 2.1
Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk di Kota Medan Tahun 2005-2009.
Tahun
Jumlah Penduduk
Luas Wilayah
Kepadatan Penduduk (KM²) (Jiwa/KM²)
2005 2.036.185 265,10 7.681
2006 2.067.288 265,10 7.798
2007 2.083.156 265,10 7.858
2008 2.102.105 265,10 7.929
2009 2.121.053 265,10 8.001
Sumber : BPS Kota Medan
Keanekaragaman yang ada di Kota Medan membuat Kota Medan dinobatkan menjadi kota
multikultural yang damai dan berjalan harmonis (Waspada, 2007). Tidak heran, pengukuhan
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dilakukan di Kota Medan pada tanggal 31 Juli 2007
Tabel 2.2
Perbandingan Suku Bangsa di Kota Medan pada Tahun 1930, 1980, 2000
Suku bangsa Tahun 1930 Tahun 1980 Tahun 2000
Jawa 24,9% 29,41% 33,03%
Batak 10,7% 14,11% --
Tionghoa 35,63% 12,8% 10,65%
Mandailing 6,43% 11,91% 9,36%
Minangkabau 7,3% 10,93% 8,6%
Melayu 7,06% 8,57% 6,59%
Karo 0,12% 3,99% 4,10%
Aceh -- 2,19% 2,78%
Sunda 1,58% 1,90% --
Lain-lain 16,62% 4,13% 3,95%
Sumber: 1930 dan 1980; 2000: BPS Sumut
Dari data diatas dapat dilihat bahwa ditahun 1930-an etnid Tionghoa di Kota Medan
merupakan etnis terbesar bahkan melebihi etnis asli Kota Medan yaitu Melayu. Selanjutnya
seiiring perkembangan zaman etnis Tionghoa di Koa Medan mengalami penurunan walaupun
tetap menjadi salah satu etnis terbesar di Kota Medan.
Selanjtnya adalah jumlah penduduk pada tiap kecamatan berdasarkan jenis kelamin (gender).
Tabel 2.3
Jumlah penduduk per kecamatan berdasarkan jenis kelamin
No Kecamatan
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-Laki Perempuan
1 Medan Tuntungan 40. 097 42. 437 82. 534
2 Medan Selayang 49. 525 51. 532 101. 057
3 Medan Johor 62. 331 64. 336 126.667
4 Medan Amplas 57. 918 59. 004 116. 922
5 Medan Denai 71. 750 71. 100 142. 850
6 Medan Tembung 65. 761 68. 882 134. 643
7 Medan Kota 35. 422 37. 700 73. 122
8 Medan Area 48. 054 49. 200 97. 254
9 Medan Baru 17. 667 22. 150 39. 817
10 Medan Polonia 26. 321 27. 231 53. 552
11 Medan Maimun 19. 524 20. 379 39. 903
12 Medan Sunggal 55. 717 57.927 113. 644
13 Medan Helvetia 71. 586 74. 805 146. 391
14 Medan Barat 34. 931 36. 406 71. 337
15 Medan Petisah 29. 526 32. 701 62. 227
16 Medan Timur 52. 906 56. 539 109. 445
17 Medan Perjuangan 45. 405 48. 683 94. 088
19 Medan Labuhan 57. 635 55. 679 113. 314
20 Medan Marelan 75. 064 73. 133 148. 197
21 Medan Belawan 48. 917 46. 792 95. 709
Sumber: BPS Medan
Penduduk Kota Medan memiliki beragam pekerjaan, dapat dilihat pada Tabel 2.4 :
Tabel 2.4.
Jumlah penduduk Kota Medan menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2009
No Jenis pekerjaan Jumlah jiwa Presentase
1 Pegawai Negeri 18.670 4,88
2 Pegawai Swasta 14.570 3,81
3 TNI/ POLRI 3.562 0,93
4 Tenaga Pengajar 43.551 11,38
5 Tenaga Kesehatan 2.399 0,63
6 Lain-lain 300.000 78,37
Sumber : BPS Medan Dalam Angka, 2009
Penduduk Kota Medan berdasarkan tingkat pendidikan terdiri dari tamat SD,SLTP, SLTA,
dan Perguruan Tinggi. Untuk mengetahui lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5.
Jumlah Penduduk Kota Medan menurut Tingkat Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)
1 SD 412.893 21,51
3 SLTA 670.597 34,94
4 Perguruan Tinggi 209.246 10,90
Sumber : BPS Medan Dalam Angka, 2009.
Tabel 2.5 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk Kota Medan paling besar berada
pada tingkat pendidikan menengah yaitu Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebesar
670.597 orang (34,94%), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebesar 626.617 orang
(32,65%), Sekolah Dasar (SD) berjumlah 412.893 orang (21,51%), dan perguruan tinggi (PT)
209.246 orang (10,90%).
2.1.3 Kota Medan dalam Dimensi Sejarah
Keberadaan Kota Medan saat ini tidak terlepas dari dimensi historis yang panjang,
dimulai dari dibangunnya Kampung Medan Puteri tahun 1590 oleh Guru Patimpus, berkembang
menjadi Kesultanan Deli pada tahun 1669 yang diproklamirkan oleh Tuanku Perungit yang
memisahkan diri dari Kesultanan Aceh. Perkembangan Kota Medan selanjutnya ditandai dengan
perpindahan ibukota Residen Sumatera Timur dari Bengkalis Ke Medan, tahun 1887, sebelum
akhirnya statusnya diubah menjadi Gubernemen yang dipimpin oleh seorang Gubernur pada
tahun 1915.
Secara historis, perkembangan Kota Medan sejak awal memposisikan nya menjadi jalur
lalu lintas perdagangan. Posisinya yang terletak di dekat pertemuan Sungai Deli dan Babura,
serta adanya Kebijakan Sultan Deli yang mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal
perkembanganya, telah mendorong berkembangnya Kota Medan sebagai Pusat Perdagangan
medorong kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintahan. Sampai saat ini, di samping
merupakan salah satu daerah Kota, juga sekaligus ibukota Propinsi Sumatera Utara.
2.1.4 Kota Medan Secara Kultural
Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal Kota Medan
telah memiliki keragaman suku (etnis), dan agama. Oleh karenanya, budaya masyarakat yang
ada juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya nilai – nilai budaya tersebut tentunya
sangat menguntungkan, sebab diyakini tidak satupun kebudayaan yang berciri menghambat
kemajuan (modernisasi), dan sangat diyakini pula, hidup dan berkembangnya nilai-nilai budaya
yang heterogen, dapat menjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan. Keragaman suku, tarian
daerah, alat musik, nyanyian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya, justru memberikan
kontribusi besar bagi upaya pengembangan industri pariwisata di Kota Medan.
Adanya prularisme ini juga merupakan peredam untuk munculnya isu-isu primordialisme
yang dapat mengganggu sendi-sendi kehidupan sosial. Oleh karenanya, tujuannya, sasarannya,
strategi pembangunan Kota Medan dirumuskan dalam bingkai visi, dan misi kebudayaan yang
harus dipelihara secara harmonis.
2.1.5 Kota Medan Secara Sosial
Kondisi sosial yang terbagi atas pendidikan, kesehatan, kemiskinan, keamanan dan
ketertiban, agama dan lainnya, merupakan faktor penunjang dan penghambat bagi pertumbuhan
ekonomi Kota Medan. Keberadaan sarana pendidikan kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya,
merupakan sarana vital bagi masyarakat untuk mendapat pelayanan hak dasarnya yaitu hak
memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya .
utama pengembangan kota yang sifatnya kompleks dan multi dimensional yang penomenanya di
pengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain : tingkat pendapatan, kesehatan,
pendidikan, lokasi, gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan bukan lagi dipahami hanya
sebatas ketidak mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan
perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara
martabat.
Data SUSENAS tahun 2004, memperkirakan penduduk miskin di kota medan tahun 2004
berjumlah 7,13% atau 32.804 rumah tangga atau 143.037 jiwa. Dilihat dari persebarannya,
Medan bagian Utara (Medan Deli, Medan Labuhan, Medan Marelan dan Medan Belawan)
merupakan kantong kemiskinan terbesar (37,19%) dari keseluruhan penduduk miskin.
2.1.6 Kota Medan Secara Ekonomi
Pembangunan ekonomi daerah dalam periode jangka panjang (mengikuti pertumbuhan
PDRB), membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional ke
ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor non primer, khususnya industri pengolahan
dengan increasing retunrn to scale (relasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan
produktivitas) yang dinamis sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Ada kecenderungan,
bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi membuat semakin cepat proses peningkatan
pendapatan masyarakat per kapita, dan semakin cepat pula perubahan struktur ekonomi, dengan
asumsi bahwa faktor-faktor penentu lain mendukung proses tersebut, seperti tenaga kerja, bahan
baku, dan teknologi, relatif tetap.
Perubahan struktur ekonomi umumnya disebut transformasi struktural dan didefinisikan
sebagai rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan lainnya dalam komposisi
modal) yang diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan. Berdasarkan perbandingan peranan dan kontribusi antar lapangan usaha terhadap
PDRB pada kondisi harga berlaku tahun 2005-2007 menunjukkan, pada tahun 2005 sektor tertier
memberikan sumbangan sebesar 70,03 persen, sektor sekunder sebesar 26,91 persen dan sektor
primer sebesar 3,06 persen. Lapangan usaha dominan yaitu perdagangan, hotel dan restoran
menyumbang sebesar 26,34 persen, sub sektor transportasi dan telekomunikasi sebesar 18,65
persen dan sub sektor industri pengolahan sebesar 16,58 persen.
Kontribusi tersebut tidak mengalami perubahan berarti bila dibandingkan dengan kondisi
tahun 2006. Sektor tertier memberikan sumbangan sebesar 68,70 persen, sekunder sebesar 28,37
persen dan primer sebesar 2,93 persen. Masing-masing lapangan usaha yang dominan yaitu
perdagangan, hotel dan restoran sebesar 25,98 persen, sektor transportasi dan telekomunikasi
sebesar 18,65 persen, industri jasa pengolahan sebesar 16,58 persen dan jasa keuangan 13,41
persen. Demikian juga pada tahun 2007, sektor tertier mendominasi perekonomian Kota Medan,
yaitu sebesar 69,21 persen, disusul sektor sekunder sebesar 27,93 persen dan sektor primer
sebesar 2,86 persen. Masing masing lapangan usaha yang dominan memberikan kontribusi
sebesar 25,44 persen dari lapangan usaha perdagangan/hotel/restoran, lapangan usaha
transportasi/telekomunikasi sebesar 19,02 persen dan lapangan usaha industri pengolahan
sebesar 16,28 persen.
Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan tahun 2009 berdasarkan Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 terjadi peningkatan sebesar 6,56 persen terhadap
tahun 2008. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor pengangkutan dan komunikasi 9,22
persen. Disusul oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran 8,47 persen, sektor bangunan 8,22
pertanian 4,18 persen, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan tumbuh sebesar 2,94
persen, sektor industri 1,71 persen, dan penggalian tumbuh 0,46 persen. Besaran PDRB Kota
Medan pada tahun 2009 atas dasar harga berlaku tercapai sebesar Rp.72,67 triliun, sedangkan
atas dasar harga konstan 2000 sebesar Rp. 33,43 triliun.
Terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Medan tahun 2009 sebesar 6,56 persen, sektor
perdagangan, hotel, dan restoran menyumbang perumbuhan sebesar 2,20 persen Disusul oleh
sektor pengangkutan dan komunikasi 1,85 persen, sektor bangunan 0,91 persen, sektor jasa-jasa
0,76 persen, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 0,43 persen, sektor industri 0,25
persen, sektor pertanian 0,10 persen, sektor listrik ,gas dan air bersih 0,07 persen dan sektor
pertambangan dan penggalian menyumbang pertumbuhan 0,00 persen.
Dari sisi penggunaan, sebagian besar PDRB Kota Medan pada tahun 2009 digunakan
untuk memenuhi konsumsi rumah tangga yang mencapai 36,20 persen, disusul oleh ekspor neto
30,53 persen (ekspor 50,82 persen dan impor 20,29 persen), pembentukan modal tetap bruto
20,61 persen, konsumsi pemerintah 9,54 persen dan pengeluaran konsumsi lembaga nirlaba 0,64
persen. PDRB per Kapita atas dasar harga berlaku pada tahun 2009 mencapai Rp. 34,26 juta,
2.1.7 Lambang Kota Medan
Gambar 2.2 Lambang Kota Medan
Pengertian lambang kota Medan adalah 17 biji padi berarti tanggal 17 dari hari
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. 8 bunga kapas berati bulan 8 dari tahun
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. 4 tiang dan 5 bahagian dari perisai berarti tahun
45 dari Proklamasi Indonesia. Satu bambu runcing yang terletak dibelakang perisai adalah
lambang perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, dan lima bahan-bahan pokok yang
terpenting dihadapan bambu runcing berarti Kemakmuran serta Keadilan Sosial yang merata ada
dihadapan kita. Bintang yang bersinar lima adalah Bintang Nasional yang berarti bahwa hidup
penduduk Kota Medan khususnya dan Indonesia umumnya akan bersinar-sinar bahagia dan lepas
dari kemiskinan dan kemelaratan. Lima sinar bintang berarti lima bahan pokok terpenting yang
diekspor dari Kota Medan dan lima bahagian perisasi berarti Pancasila yang menjadi Dasar
Negara Republik Indonesia. Kota Medan juga mempunyai motto yaitu : BEKERJA SAMA DAN
SAMA-SAMA BEKERJA UNTUK KEMAJUAN DAN KEMAKMURAN MEDAN KOTA
Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal Kota Medan
telah memiliki keragaman suku (etnis), dan agama. Oleh karenanya, budaya masyarakat yang
ada juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya nilai – nilai budaya tersebut tentunya
sangat menguntungkan, sebab diyakini tidak satupun kebudayaan yang berciri menghambat
kemajuan (modernisasi), dan sangat diyakini pula, hidup dan berkembangnya nilai-nilai budaya
yang heterogen, dapat menjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan. Keragaman suku, tarian
daerah, alat musik, nyanyian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya, justru memberikan
kontribusi besar bagi upaya pengembangan industri pariwisata di Kota Medan. Adanya
prularisme ini juga merupakan peredam untuk munculnya isu-isu primordialisme yang dapat
mengganggu sendi-sendi kehidupan sosial. Oleh karenanya, tujuannya, sasarannya, strategi
pembangunan Kota Medan dirumuskan dalam bingkai visi, dan misi kebudayaan yang harus
dipelihara secara harmonis40
2.2Sejarah etnis Tionghoa .
Istilah “Cina” dalam pers Indonesia tahun 1950-an telah diganti menjadi “Tionghoa” (sesuai
ucapannya dalam bahasa Hokkian) untuk merujuk pada orang Cina dan “Tiongkok” untuk
negara Cina dalam pers Indonesia 1950-an. Etnis Tionghoa menurut Purcell adalah seluruh
imigran negara Tiongkok dan keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup budaya Indonesia
dan tidak tergantung dari kewarganegaraan mereka dan bahasa yang mereka gunakan41
40
http://pemkomedan.go.id/new/hal-lambang-kota-medan.html diakses pada tanggal 15 Januari 2015 pada pukul 14.44
41
Leo Suryadinata. 2002. Negara dan Etnis Tionggghoa. Jakarta: LP3ES
. Etnis
Tionghoa adalah individu yang memandang dirinya sebagai “Tionghoa” atau dianggap demikian
perantauan lain atau negara Tiongkok secara sosial, tanpa memandang kebangsaan, bahasa, atau
kaitan erat dengan budaya Tiongkok. Menurut Liem, etnis Tionghoa di Indonesia yaitu orang
Indonesia yang berasal dari negara Tiongkok dan sejak generasi pertama/kedua telah tinggal di
negara Indonesia, dan berbaur dengan penduduk setempat, serta menguasai satu atau lebih
bahasa yang dipakai di Indonesia42
Orang Tionghoa Indonesia merupakan kelompok minoritas terbesar di Indonesia. Pada
tahun 1961, mereka diperkirakan berjumlah sekitar 2,45 juta orang atau kurang lebih dari
2,5 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia pada waktu itu .
43
. Stereotip yang
beredar di Indonesia seringkali menggambarkan orang Tionghoa Indonesia sebagai kelompok
yang berada, khususnya bila dibandingkan dengan orang-orang Indonesia lainnya. Jika
sebagian besar orang Indonesia hidup sebagai masyarakat agraris di pedesaan, maka orang
Tionghoa Indonesia sebaliknya hidup terkonsentrasi sebagai pedagang menengah44
Para pendatang ini memiliki keahlian di bidangnya masing-masing seperti berdagang
barang-barang yang umumnya berupa keramik, alat rumah tangga dan kain sutra, dan juga
menjadi pengrajin ataupun menjadi pekerja perkebunan
.
Orang-orang Tionghoa mulai berdatangan ke Indonesia pada abad IX, yaitu pada zaman Dinasti
Tang untuk berdagang dan mencari kehidupan baru.
45
42
Liem, Dr. Yusiu. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina. Jakarta: Djambatan, hal. x
43Ibid.,
hal. 99
44
Ibid., hal. 87
45 Ibid.
, hal. 97
. Migrasi orang Tionghoa ke
Nusantara (kini disebut Indonesia) secara besar-besaran, yang mencapai puncaknya pada
abad XIX dan permulaan abad XX, merupakan bagian dari migrasi orang Tionghoa ke
seluruh dunia. Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan
Nusantara telah berhubungan erat dengan dinastidinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah
yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke
Nusantara dan sebaliknya. Awal mula kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia berawal pada
masa kejayaan Kerajaan Kutai di pedalaman kalimantan, atau Kabupaten Kutai, yang daerahnya
kaya akan hasil tambang emas itulah mereka dibutuhkan sebagai pandai perhiasan (Emas).
Karena kebutuhan akan pandai emas semakin meningkat, maka didatangkan emas dari Cina
daratan, di samping itu ikut dalam kelompok tersebut adalah para pekerja pembuat bangunan dan
perdagangan46
Karena runtuhnya Singosari dan Majapahit, serta munculnya kerajaan baru yaitu Demak
sebagai sebuah kerajaan Islam, maka keberadaan Etnis Cina ini dipakai sekutu Demak di dalam
rangka menguasai tanah Jawa dan penyebaran agama Islam. Hal itu dimungkinkan karena . Mereka bermukim menyebar mulai dari Kabupaten Kutai, Sanggau Pontianak
dan daerah sekitarnya. Gelombang kedua kedatangan Etnis Cina (Tionghoa) ke Indonesia ialah
pada masa kerajaan Singosari di daerah Malaka Jawa Timur sekarang.
Kedatangan mereka di bawah armada tentara laut Khubilaikan (Jhengiskan) dalam rangka
ekspansi wilayah kekuasaannya. Namun utusan yang pertama ini tidaklah langsung menetap, hal
ini dikarenakan ditolaknya utusan tersebut oleh Raja. Pada Ekspedisi yang kedua tentara laut
Khubilaikan ke-tanah Jawa dengan tujuan membalas perlakuan raja Singasari terhadap utusan
mereka terdahulu, namun mereka sudah tidak menjumpai lagi kerajaan tersebut, dan akhirnya
mendarat di sebuah pantai yang bernama Loa sam (sekarang Lasem) sebagai armada mereka
menyusuri pantai dan mendarat di suatu tempat yang Sam Toa Lang Yang kemudian menjadi
Semarang. Masyarakat etnis Cina ini kemudian mendirikan sebuah tempat ibadat (Kelenteng)
yang masih dapat dilihat sampai masa sekarang.
46
panglima armada laut yang mendarat di Semarang, seoarang yang beragama Islam, yaitu Cheng
Ho. Penyebaran Islam di Jawa oleh etnis Tionghoa ini ternyata berhubungan dengan tokoh-tokoh
penyebar agama Islam di Jawa yaitu wali songo. Empat dari sembilan wali songo merupakan
orang Cina atau masih keturunan Cina, yaitu Sunan Ampel, Sunan Bonang (anak dari Ampel dan
seorang wanita Cina), Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunungjati. Selain menyebarkan agamaIslam,
Etnis Cina ini juga diberi wewenang untuk menjalankan Bandar atau pelabuhan laut di Semarang
dan Lasem. Hal ini oleh Demak dimaksudkan untuk melumpuhkan Bandar-bandar laut yang lain,
yang masih dikuasai oleh sisa-sisa Singasari dan Majapahit seperti bandar laut Tuban dan
Gresik47
Beberapa peninggalan zaman dahulu yang menyebutkan tentang kedatangan etnis
Tionghoa ada baik di Indonesia maupun di negeri Cina . Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang
Cina disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama suku bangsa dari
Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anak benua India. Beberapa catatan tertua ditulis oleh para
agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-9. Fa Hien melaporkan
suatu kerajaan di Jawa (“To lo mo”) dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama
Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia
berguru pada seseorang bernama Janabahadra Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari
Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang
Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat
pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok .
48
Orang-orang Tionghoa di Indonesia pada masa kolonial menerima berbagai .
47Ibid.,
hal. 143-144
48
kemudahan dan fasilitas dari pemerintah Hindia Belanda. Hal ini karena orang Tionghoa
waktu itu digunakan oleh pemerintah kolonial sebagai perantara dagang dengan penduduk
lokal yang menyebabkan terjadinya monopoli perdagangan oleh orang-orang Tionghoa
dan seringkali menghambat orang-orang Indonesia dalam bidang tersebut. Maka timbulah
kemarahan dan sikap yang kurang bersahabat di kalangan orang Indonesia terhadap orang
Tionghoa Indonesia. Sikap kurang bersahabat ini muncul dalam bentuk kekerasan
terhadap orang Tionghoa. Beberapa kasus yang cukup dikenal antara lain adalah
pembantaian orang Tionghoa di Batavia pada tahun 1740 dan pada masa perang Jawa
1825-183049
Namun terlepas dari adanya kemarahan dan kekerasan yang mereka alami, orang
Tionghoa Indonesia juga memiliki peran di Indonesia dalam berbagai bidang. Contohnya,
Tionghoa Hwee Koan, yang terbentuk di Batavia tanggal 17 Maret 1900, turut mendirikan
sekolah-sekolah guna memajukan pendidikan (jumlahnya 54 buah tahun 1908 dan mencapai
450 sekolah tahun 1934)
. Kasus-kasus di atas hanyalah sebagian dari berbagai kasus kekerasan terhadap orang
Tionghoa Indonesia yang pernah terjadi, khususnya pada periode kolonial Hindia
Belanda.
50
Beberapa tokoh masyarakat Tionghoa juga pernah berjasa bagi kemajuan
Indonesia. Contohnya, So Beng Kongdan Phoa Beng Gan yang membangun kanal pada awal
abad ke 17 di Batavia. Di Yogyakarta, kapiten Tionghoa Tan Djin Sing sempat menjadi
Bupati Yogyakarta.Orang Tionghoa Indonesia juga turut memfasilitasi tercetusnya Sumpah
.Selain di bidang pendidikan, Orang Tionghoa juga turut berperan
dalam pengembangan ekonomi Indonesia, yaitu dengan mendirikan Siang Hwee (kamar
dagang orang Tionghoa) tahun 1906 di Batavia.
49
Peter Carey. 1986. Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825, Jakarta: Pustaka Azet, hal. 74
50
Pemuda dengan penghibahan gedung Sumpah Pemuda oleh Sie Kong Liong. Selain itu ada pula
tokoh lain seperti Djiauw Kie Siong yang memperkenankan rumahnya dipakai sebagai
tempat rapat persiapan kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 16
Agustus 1945. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa selain orang-orang Tionghoa
Indonesia sering menerima perlakuan yang kurang bersahabat dari masyarakat Indonesia,
namun pada momen-momen penting seperti di atas, mereka cukup memiliki keterlibatan
dalam kegiatan masyarakat Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, ketika Indonesia mulai
menangani masalah status hukum orang-orang Tionghoa Indonesia, terdapat kesukaran
untuk membujuk pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) guna mengizinkan orang-orang
Tionghoa Indonesia dalam memilih kewarganegaraannya sendiri yakni kewarganegaraan RI
atau RRC. Pada tahun 1955, diumumkan bahwa semua orang Tionghoa Indonesia dapat
memilih kewarganegaraannya. Dan Pemerintah RI juga mengumumkan suatu Undang-Undang
Kewarganegaraan yang menyatakan bahwa semua orang Tionghoa yang lahir di
Hindia-Belanda dan telah tinggal di Indonesia selama 5 tahun berturut-turut secara otomatis
dianggap warganegara Indonesia. Namun yang terjadi adalah masyarakat Tionghoa
Indonesia pada saat itu justru lebih berpegang pada kebangsaan Cina sesuai asas Ius
Sanguinis dan menolak kebangsaan Indonesia. Sebagai akibatnya munculah keragu-raguan
mengenai kesetiaan orang-orang Tionghoa Indonesia terhadap negara RI dan bangsa
Indonesia. Ditambah dengan munculnya kelompok Sin Po yang berpendirian bahwa orang
Tionghoa Indonesia lebih baik berorientasi ke negara Cina dan memilih warganegara RRC51
51Ibid.,
hal. 83
.
Partisipasi politik masyarakat etnis Tionghoa telah ada bahkan dari sejak pemerintahan kolonial
perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang
pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat
tinggal.
Sedangkan pada masa revolusi atau pra-kemerdekaan RI marjinalisasi warga Tionghoa
tampak pada berita politik yang dimuat dalam media massa seperti dalam perjuangan fisik ada
beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan
diberitakan. Salah seorang yang dikenali ialah Tony Wen, yaitu orang yang terlibat dalam
penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya. Pada Orde Lama, terdapat beberapa
menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw
Giok Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah satu “tangan kanan” Ir.
Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa
tokoh dari kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat
beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959
yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan
kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya
menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya. Pada jaman
orde lama hubungan antara Indonesia dengan Cina sangat mesra, sampai-sampai tercipta
hubungan politik Poros Jakarta-Peking.
Pada tahun 1946 Konsul Jendral Pem. Nasionalis Tiongkok, Chiang Chia Tung (itu
waktu belum ada RRT) dengan Bung Karno datang ke Malang dan menyatakan Tiongkok
sebagai salah satu 5 negara besar (one of the big five) berdiri di belakang Republik Indonesia.
Internasional atas pengakuannya52
Namun etnis Tionghoa yang begitu dihargai pada masa orde baru, justru menjadi sasaran
pelampiasan massa yang dipolitisir, karena peristiwa G30S/PKI yang didalangi oleh Partai
Komunis Indonesia, ada anggapan bahwa komunis pasti orang Cina, padahal anggapan seperti
itu belum tentu benar. Peristiwa G30S/PKI menjadi salah satu peristiwa yang sangat membuat
trauma etnis Tionghoa selain kerusuhan Mei 1998
. Orang Tionghoa mendapat sorakan khalayak ramai sebagai
kawan seperjuangan. Di stadion Solo olahragawan Tony Wen dengan isterinya (bintang film
Tionghoa) menyeruhkan untuk membentuk barisan berani mati (cibaku-tai, kamikaze) melawan
Belanda dan sesuai contoh batalyon Nisei generasi ke-2 Jepang di USA yang ikut dalam perang
dunia ke-2, di Malang ingin didirikan batalyon Tionghoa berdampingan dengan lainlain kesatuan
bersenjata seperti Laskar Rakyat, Pesindo, Kris (golongan Menado), Trip (pelajar). Pimpinan
Tionghoa kwatir provokasi kolonial dapat menimbulkan bentrokan bersenjata dengan kesatuan
Pribumi. Mereka menolak pembentukan batalyon tersebut. Orang-orang Tionghoa yang ingin
ikut melawan Belanda dianjurkan untuk masing-masing masuk kesatuankesatuan Pribumi
menurut kecocokan pribadi.
53
Pada 16 september 1998 Presiden B.J Habibie mengeluarkan Inpres No. 26/1998 yang .
Pemerintah orde baru, Soeharto (1966-1998) mempunyai beberapa kebijakan eksplisit
bagi kelompok-kelompok etnis melalui cara-cara terselubung dan tidak langsung yang
penyebarluasannya didukung oleh media dan kaum intelektual, sehingga masyarakat non-etnis
Indonesia menghindari beberapa etnik yang disebutkan. Salah satu etnis minoritas adalah para
imigran Cina yang memiliki kisaran jumlah sekitar 3 (tiga) persen dari populasi.
52
J. Babari dan Albertus Sugeng. 1999. Diskriminasi Rasial Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Gandi, hal. 71-72
53Ibid.,
menghapuskan penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi, memberikan arahan agar semua
pejabat pemerintah memberikan layanan yang sama kepada setiap warga negara serta
menginstruksikan dilakukan peninjauan kembali dan penyelesaian seluruh produk hukum
perundang-undangan, kebijakan, program dan kegiatan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan.
Selain itu Presiden B.J Habibie juga mengeluarkan Inpres No. 4 tahun 1999 yang menghapuskan
Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan izin perayaan tahun baru imlek
sebagai Hari Nasional. Namun dalam keppresnya tidak konsisten dengan penjelasan UUD 1945
dan pernyataannya ketika menjadi tamu negara di RRT beberapa bulan sebelumnya54
Keberadaan etnis Tionghoa di kota Medan bervariasi dan juga dalam jangka waktu yang
berbeda. Gelombang pertama dimulai pada abad ke-15, ketika armada perdagangan Tiongkok
datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur dan melakukan hubungan dagang dengan sistem
barter. Hubungan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sehingga sebagian para
pedagang tersebut ada yang menetap di Sumatera Timur
.
2.2.1 Etnis Tionghoa di kota Medan a. Sejarah etnis Tionghoa di kota Medan
55
Gelombang kedua berlangsung pada tahun 1863. Pada saat itu, Belanda mulai bergerak di
bidang perkebunan tembakau. Usaha ini terus berkembang, tenaga kerja yang cukup banyak juga
semakin dibutuhkan. Pihak Belanda merasa tidak cocok dengan buruh Pribumi. Karena itu,
pengusaha perkebunan mencoba mendatangkan tenaga kerja dari negeri Tiongkok. Pada abad ke
19, dengan bantuan pemerintah Hindia Belanda dan kaum pengusaha di tanah Deli, orang
Tionghoa dapat memonopoli seluruh sektor pengangkutan di kawasan tanah Deli. Banyak .
54
Benny G. Setiono. 2003. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Hal. 1074
55
pemilik perkebunan yang memberi kesempatan pada orang Tionghoa untuk menjadi penyalur
bahan makanan dan bekerja sebagai kontraktor di perkebunan56
Pada akhirnya, Kehidupan ekonomi etnis Tionghoa mulai meningkat. Hal ini
menyebabkan adanya perbedaan mencolok atara etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi.
Kemudian, etnis Tionghoa yang mulai mempunyai ekonomi yang meningkat ini mendatangkan
isteri anggota keluarga dan kerabatnya di negara Tiongkok dengan kapal (pada saat itu
transportasi kapal sudah ada). Kedatangan mereka dari berbagi sub etnik menyebabkan mereka
berkumpul di antara mereka sendiri, membuat perkampungan sendiri, memakai bahasa sendiri.
Inilah titik awal ekslusivime orang Tionghoa
.
57
Sikap eksklusif ini tidak lepas dari pengaruh yang juga diberikan oleh pemerintah
kolonial Belanda. Sejalan dengan dibukanya usaha perkebunan karet sepanjang jalur
Medan-Labuhan Batu pada tahun 1870, pemerintah kolonial membuat blok-blok pemukiman terpisah
menurut etnik. Sehingga terbentuklah hunian dengan nama Kampung Cina, Kampung Arab,
kampung Keling, serta kawasan milik “Tuan Kebon” asal Eropa, sedangkan kaum Pribumi dan
pendatang lain tinggal di luar blok yang disebut Pemukiman Rakyat Sultan .
58
56Ibid., 57
Suwardi Lubis. 1999. Komunikasi antarbudaya : Studi kasus etnik Batak Toba dan etnik Cina. Medan : USU PRESS.
58
Sofyan Tan. 2004. Jalan Menuju Masyarakat Anti Kekerasan. Medan : KIPPAS.
Pada perkembangannya, kota Medan dengan masyarakat heterogen menjadi kota yang
memiliki pola pemukiman segretif. Kota Medan memperlihatkan proses penguatan rasa kesatuan
etnik sebagai suatu komunitas baru. Setiap kelompok etnik mempergunakan norma, aturan serta
ideologi tradisional daerah asal mereka, sehingga terjadilah suatu proses penguatan ikatan
primordial pada setiap kelompok etnik. Setiap etnis mulai membentuk gaya hidup
b. Sosial-ekonomi etnis Tionghoa di kota Medan
Etnis Tionghoa di kota Medan berasal dari berbagai suku. Menurut data Etnis Tionghoa
yang paling banyak di kota Medan adalah suku Hokkian (82,11%). Walaupun etnis Tionghoa di
kota Medan terdiri dari berbagai suku, namun dalam kehidupan sehari-hari keberagaman suku
tersebut tidak menonjol karena yang tampak hanyalah suatu kesatuan etnik sebagai etnis
Tionghoa59
Sebagian besar etnis Tionghoa yang berada di kota Medan berprofesi sebagai pedagang.
Sesuai dengan jenis pekerjaan mereka, maka untuk mereka terbuka kesempatan seluas-luasnya
untuk memperoleh penghasilan yang besar. Posisi sosio-ekonomi etnik Tionghoa di Medan
rata-rata berada di atas level menengah ke atas. Etnis Tionghoa dikota Medan termasuk kelompok
masyarakat yang berhasil menguasai industri, pertokoan, perhotelan, perbankan dan perdagangan
umum serta distribusi. Etnis Tionghoa dianggap kelompok masyarakat lain sebagai kelompok
yang memiliki banyak uang. Etnis Tionghoa di kota Medan tidak jarang dijadikan sasaran
pemerasan oleh para preman setempat tempat mereka tinggal dan membuka usaha .
60
Kelompok masyarakat Tionghoa dikota Medan cenderung bertempat tinggal di pusat kota
atau pusat perdagangan. Mereka lebih senang tinggal di tempat usahanya yang cukup ramai dan
dekat dengan keluarganya. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa pemukiman eksklusif
kelompok-kelompok etnik di kota berfungsi sebagai “kepompong” atau yang dimanfaatkan oleh
mereka sebagai benteng etnik. Orang Tionghoa yang keluar dari pemukiman Cina (Chinese
Qurter) tersebut dianggap sebagai pembelotan dari jaringan sosial mereka. Dengan demikian
suasana etnik dan ras (ethnic race-spaces) di perkampungan etnik tersebut menguatkan .
59
Suwardi Lubis. Op.cit., 60
kecendrungan segresi atau pemisah diri dari kelompok lain. Sekolah dan pusat-pusat rekreasi
kelompok etnis Tionghoa lebih banyak didirikan di tengah perkampungan Tionghoa di kota
Medan. Gejala segretif ini sangat terlihat terutama dalam kawasan-kawasan pemukiman elit
dengan suasana komersial yang pekat dan dengan tingkat homogenitas yang tinggi61
Etnis Tionghoa di kota Medan pada umumnya tidak bisa berbicara bahasa Indonesia,
sebab dari kecil mereka hidup di lingkungan etnisnya dan bersekolah di lingkungannya juga .
Etnis Tionghoa di kota Medan masih dominan menganut agama Budha (sekitar 80%).
Sedikit sekali dari mereka yang menganut agama Kristen, Hindu, maupun Islam. Namun,
persoalan agama pada etnis Tionghoa di kota Medan perlu diberi catatan kritis. Umumnya
masyarakat etnis Tionghoa di kota Medan (ibukota Sumatera Utara) mencantumkan agama
Budha di KTPnya, namun pada kenyataannya sebagian besar dari mereka adalah penganut ajaran
Kong Hu Cu.
62
Dalam masyarakat etnik Tionghoa dikota Medan, ada peraturan tak tertulis bahwa
mereka diharapkan untuk menikah dengan sesama etnis Tionghoa. Motif sosial etnik Tionghoa
di kota Medan hanya dominan pada motif berprestasi. Jika pun mereka memiliki motif
persahabatan itu adalah dalam rangka memenuhi motif berprestasi. Motif persahabatan lebih
diarahkan pada sesama etnik Cina sendiri. Hal ini terlihat melalui interaksi etnis Tionghoa di
kota Medan. Interaksi etnis Tionghoa hanya berputar pada teman sesama etnis Tionghoa. Etnis
Tionghoa pergi dan mengelompok di tempat duduk tertentu hanya dengan teman-teman sesama
etnis Tionghoa, baik di pusat-pusat belajar maupun di keramaian.
.
Etnis Tionghoa di Medan masih dominan menggunakan bahasa Cina (67-77%), baik di rumah
maupun di luar rumah dengan sesama etnis Tionghoa.
61Ibid.,
hal.
62