• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peraturan Bupati Lombok Timur Nomor 1 Tahun 20131

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peraturan Bupati Lombok Timur Nomor 1 Tahun 20131"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

BUPATI LOMBOK TIMUR

PERATURAN BUPATI LOMBOK TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013

TENTANG

KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH

KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17 ayat (6), Pasal 21, Pasal 24 ayat (3), Pasal 25 ayat (7), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (4) Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;

Mengingat : 1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655 );

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3029);

(2)

5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189);

6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

7. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);

8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4049);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);

(3)

14. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kabupaten Lombok Timur (Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 1);

15. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 7 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah di Kabupaten Lombok Timur (Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 4);

16. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Tahun 2012 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 11).

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Bupati ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Lombok Timur.

2. Bupati adalah Bupati Lombok Timur.

3. Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset yang selanjutnya disebut Dinas adalah Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset Kabupaten Lombok Timur atau Dinas yang tugas pokok dan fungsinya di bidang pendapatan dan pengelolaan keuangan Daerah.

(4)

5. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan peraturan perundang-undangan, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

6. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

7. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.

8. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat SPPT PBB adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak. 9. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD,

adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas umum daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.

10. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-udangan perpajakan.

11. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah dokumen yang digunakan sebagai dasar pencairan dana yang diterbitkan oleh Bendahara Umum Daerah berdasarkan Surat Perintah Membayar.

12. Tempat Pembayaran adalah tempat yang ditetapkan Bupati sebagai tempat pembayaran untuk menerima pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.

(5)

14. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Bupati untuk menerima dan menatausahakan setoran penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.

15. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.

16. Pemeriksa Pajak adalah Pegawai Negeri Sipil pemerintah Kabupaten Lombok Timur atau Tenaga Ahli yang ditunjuk oleh Bupati yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan pajak.

17. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir.

18. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (Closing Conference) adalah pembahasan yang dilakukan antara Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak atas temuan selama pemeriksaan, dan hasil bahasan temuan tersebut baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui dituangkan dalam Berita Acara Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak.

19. Kertas Kerja Pemeriksaan adalah catatan secara rinci dan jelas yang diselenggarakan oleh Pemeriksa Pajak mengenai prosedur pemeriksaan yang ditempuh, pengujian yang dilakukan, bukti dan keterangan yang dikumpulkan dan kesimpulan yang diambil sehubungan dengan pelaksanaan pemeriksaan.

20. Bukti permulaan adalah keadaan dan/atau bukti-bukti, baik berupa keterangan, tulisan, perbuatan, atau benda-benda yang dapat memberikan petunjuk bahwa suatu tindak pidana sedang atau telah terjadi yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang dapat menimbulkan kerugian pada Negara/Daerah. 21. Pemeriksaan bukti permulaan adalah pemeriksaan pajak

(6)

22. Tim Pembahas adalah tim yang dibentuk oleh Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Lombok Timur, bertugas untuk membahas perbedaan antara pendapat Wajib Pajak dengan Hasil Pembahasan atas Tanggapan Wajib Pajak oleh Tim Pemeriksa Pajak.

23. Surat Ketetapan Pajak Daerah Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat SKPD PBB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.

24. Surat Tagihan Pajak Daerah Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan,yang selanjutnya disingkat STPD PBB, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.

25. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, Surat Tagihan Pajak Daerah Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.

26. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.

(7)

BAB II

RUANG LINGKUP

Pasal 2

Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Bupati ini yaitu: a. tata cara pendataan dan pelaporan Objek Pajak;

b. Tata cara penerbitan SPPT, SKPD, SKPDN;

c. tata cara pengisian dan penyampaian SPOP, SPPT, SKPD, SKPDN;

d. tata cara pembayaran, penyetoran, angsuran dan penundaan pembayaran pajak;

e. tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan;

f. tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak;

g. tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak;

h. tata cara penghapusan piutang Pajak yang sudah kadaluwarsa; dan

i. tata cara pemeriksaan Pajak.

BAB III

TATA CARA P E N D A F T A R A N , PENDATAAN DAN PENILAIAN OBJEK PAJAK DAN SUBJEK PAJAK

Bagian kesatu

Pendaftaran

Pasal 3

(1) Pendaftaran objek pajak PBB-P2 dilakukan oleh subjek Pajak dengan cara mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dan Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak (LSPOP). (2) SPOP dan LSPOP diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta

ditandatangani dan disampaikan ke Dinas, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak atau kuasanya.

(3) Formulir SPOP disediakan dan dapat diperoleh di Dinas atau ditempat-tempat lain yang ditunjuk.

Bagian kedua Pendataan

Pasal 4

(8)

a. setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPOP dan LSPOP;

b. SPOP dan LSPOP sebagaimana pada huruf a, harus diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya disertai dengan lampiran-lampiran yang diperlukan dan disampaikan kepada Dinas; c. sepanjang tidak ada perubahan data objek pajak, subjek

pajak maupun Wajib Pajak maka data SPOP dan LSPOP dapat digunakan untuk penetapan PBB-P2 tahun selanjutnya; dan

d. bentuk, isi formulir, dan petunjuk pengisian SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagamana tercantum dalam lampiran I (satu) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan Bupati ini;

(2) Pendataan subjek dan objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam ayat dapat dilakukan dengan alternatif :

a. penyampaian dan pemantauan pengembalian SPOP, adalah pendataan yang hanya dilaksanakan pada wilayah desa yang belum mempunyai peta, merupakan wilayah terpencil dan mempunyai potensi PBB-P2 relatif kecil, penyebaran SPOP dilakukan alternatif secara perseorangan berdasarkan sket/ peta blok yang ada kepada wajib pajak atau kuasanya atau secara kolektif melalui aparat desa dengan terlebih dahulu membuat sket / peta blok;

b. identifikasi objek pajak, adalah pendataan yang dilaksanakan pada wilayah desa, sudah mempunyai peta yang dapat menentukan posisi relatif objek pajak dan merupakan hasil pendataan secara lengkap tiga tahun terakhir tetapi belum mempunyai data administrasi PBB-P2;

c. verifikasi data objek pajak, adalah pendataan yang dilakukan pada wilayah desa yang sudah mempunyai peta dan data administrasi PBB-P2 secara lengkap dalam tiga tahun terakhir; dan

d. pengukuran bidang objek pajak, adalah pendataan yang dilakukan pada wilayah desa yang hanya mempunyai sket peta desa dan atau peta tetapi tidak dapat digunakan untuk menentukan posisi relatif objek pajak.

Pasal 5

(1) Setiap objek pajak diberi NOP.

(2) Struktur NOP terdiri dari 18 (delapan belas) digit, dengan urutan :

(9)

b. digit ke-3 dan ke-4 merupakan kode kabupaten;

c. digit ke-5 sampai dengan digit ke-7 merupakan kode kecamatan;

d. digit ke-8 sampai dengan digit ke-10 merupakan kode kelurahan/ desa;

e. digit ke-11 sampai dengan digit ke-13 merupakan kode nomor urut blok;

f. digit ke-14 sampai dengan digit ke-17 merupakan kode urut objek pajak; dan

g. digit ke-18 merupakan kode tanda khusus;

(3) Pemberian NOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Pasal 6

(1) Pendataan terhadap mutasi utuh tidak menghilangkan NOP induk.

(2) Pendataan terhadap mutasi pecah, masing-masing penerima pecahan mendapatkan NOP baru, sisa tanah tetap menggunakan NOP lama.

(3) Pendataan terhadap mutasi pecah tanpa ada sisa maka NOP diberikan kepada salah satu penerima mutasi pecah.

(4) Terhadap NOP yang hilang diberikan NOP baru.

Pasal 7

Persyaratan dikeluarkannya NOP :

a. melampirkan copy bukti kepemlikan (sertifikat) dan atau penguasaan atau pemanfaatan;

b. surat keterangan kepemilikan, warisan, hibah dan sejenisnya dari desa/ kelurahan yang diketahui oleh Camat; dan

c. mengisi formulir SPOP dan LSPOP disertai tanda tangan Wajib Pajak atau kuasanya.

Bagian ketiga Penilaian

Pasal 8

(1) Penilaian adalah kegiatan Dinas terhadap Objek PBB-P2 untuk menetapkan NJOP.

(2) Kegiatan penilaian dapat dilaksanakan melalui :

(10)

b. Penilaian individu diterapkan pada objek umum yang bernilai tinggi atau objek pajak khusus.

(3) Objek Pajak yang dinilai dalam kegiatan penilaian terdiri atas:

a.

Objek Pajak standar yaitu Objek Pajak dengan kriteria luas

tanah paling banyak 5.000 m2 (lima ribu meter persegi), jumlah lantai bangunan paling banyak 3 dan luas bangunan paling banyak 1.000 m2 (seribu meter persegi);dan

b.

Objek Pajak non standar adalah Objek Pajak dengan kriteria luas tanah lebih dari 5.000 m2 (lima ribu meter persegi), jumlah lantai bangunan lebih dari 3 dan luas bangunan lebih dari 1.000 m2 (seribu meter persegi).

(4) Kegiatan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tiga pendekatan penilaian, meliputi :

a. pendekatan data pasar; b. pendekatan biaya; dan/ atau

c. pendekatan kapitalisasi pendapatan.

(5) Penilaian dengan pendekatan data pasar dilakukan dengan objek pajak lain yang sejenis yang nilai jualnya sudah diketahui dengan melakukan beberapa penyesuaian.

(6) Penilaian dengan pendekatan biaya dilakukan untuk penilaian bangunan dengan cara memperhitungkan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membangun baru dikurangi dengan penyusutan.

(7) Pendekatan kapitalisasi pendapatan dilakukan pada objek-objek yang menghasilkan (komersil) dengan cara menghitung atau memproyeksikan seluruh pendapatan atau sewa dalam satu tahun terhadap objek pajak dikurangi dengan kekosongan, biaya operasional, dan hak pengusaha.

(8) Pelaksanaan kegiatan teknis penilaian menjadi kewenangan Kepala Dinas.

(9) Dalam melakukan kegiatan pendaftaran, pendataan, dan penilaian Objek dan Subjek Pajak dalam rangka pembentukan dan/atau pemeliharaan basis data, Dinas dapat bekerja sama dengan Kantor Pertanahan, dan/atau instansi lain yang terkait.

(11)

BAB IV

TATA CARA PENERBITAN SPPT, SKPD, DAN SKPDN

Pasal 9

(1) SPPT diterbitkan pada setiap tahun pajak.

(2) Penerbitan SPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada SPOP.

(3) SPOP disampaikan oleh wajib pajak kepada Bupati melalui Kepala Dinas paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh wajib pajak.

(4) Penerbitan SPPT dilakukan oleh Kepala Dinas.

Pasal 10

(1) Penerbitan SPPT dilakukan secara massal atau secara individual.

(2) Penerbitan SPPT secara massal dilaksanakan pada awal tahun pajak untuk semua objek pajak.

(3) Penerbitan SPPT secara individual dilakukan atas permohonan wajib pajak.

Pasal 11

SPPT secara individual dapat berbentuk: a. salinan SPPT;

b. SPPT Objek Pajak Baru; c. SPPT Mutasi; atau d. SPPT Pembetulan.

Pasal 12

SPPT bukan merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah dan/ atau bangunan.

Pasal 13

Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, isi, dan petunjuk pengisian SPPT diatur oleh Kepala Dinas.

Pasal 14

Salinan SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a diterbitkan apabila SPPT wajib pajak rusak atau hilang.

Pasal 15

(12)

(2) Kondisi Objek Pajak belum terdaftar pada administrasi Dinas disebabkan karena:

a. adanya perubahan alam;

b. adanya perubahan peruntukan objek pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat; atau

c. adanya perubahan administrasi pemerintahan.

Pasal 16

SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) diterbitkan sesuai dengan tahun perolehan hak.

Pasal 17

(1) SPPT mutasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c diterbitkan apabila terdapat perubahan data objek pajak dan/atau subjek pajak.

(2) Perubahan data objek pajak disebabkan adanya pemecahan dan/atau penggabungan objek pajak.

(3) Perubahan data subjek pajak disebabkan adanya peralihan hak antara lain karena waris, jual beli, atau hibah.

Pasal 18

SPPT pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d diterbitkan apabila terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.

Pasal 19

Kepala Dinas atas permohonan wajib pajak dapat menerbitkan Surat Keterangan NJOP apabila SPPT dalam tahun pajak berjalan belum diterbitkan.

Pasal 20

(1) Kepala Dinas atas permohonan wajib pajak dapat membatalkan ketetapan SPPT sebagai akibat dari penerbitan SPPT yang tidak benar.

(2) Penerbitan SPPT yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan antara lain:

a. SPPT ganda;

b. objek pajak tidak ada;

c. objek pajak/subjek pajak yang dinyatakan batal demi hukum; dan/atau

(13)

Pasal 21

(1) SPPT ditandatangani Kepala Dinas dalam bentuk: a. tanda tangan basah;

b. cap tanda tangan; atau c. cetakan tanda tangan.

(2) Penandatanganan SPPT yang diterbitkan secara massal dilakukan dengan:

a. cap tanda tangan atau cetakan tanda tangan untuk objek pajak dengan ketetapan pajak sampai dengan Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah); dan

b. tanda tangan basah untuk objek pajak dengan ketetapan pajak lebih dari Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).

(3) Penandatanganan SPPT yang diterbitkan secara individual dapat dilakukan dengan:

a. cap tanda tangan atau cetakan tanda tangan untuk objek pajak dengan ketetapan pajak sampai dengan Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah); dan

b. tanda tangan basah untuk objek pajak dengan ketetapan pajak lebih dari Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 22

(1) SPPT yang diterbitkan disampaikan secara langsung kepada Wajib Pajak atau dapat melalui petugas tingkat kecamatan, desa/kelurahan, dusun/ lingkungan.

(2) Wajib pajak menandatangani tanda bukti penerimaan SPPT dan mencantumkan tanggal diterimanya SPPT tersebut.

Pasal 23

(1) Tanggal jatuh tempo pembayaran pajak yang terutang ditentukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya SPPT.

(2) Tanggal jatuh tempo pembayaran pajak yang terutang dituangkan dalam SPPT.

BAB V

TATA CARA PENGISIAN DAN PENYAMPAIAN SPOP, SPPT, SKPD, DAN SKPDN

Pasal 24

(14)

Pasal 25

Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilampiri dengan persyaratan administrasi sebagai berikut:

a. penerbitan SPPT secara indiviual: 1. salinan SPPT:

a) fotokopi identitas pemohon;

b) surat kuasa bagi yang diberi kuasa; c) Fotokopi SPPT tahun sebelumnya;

d) Surat keterangan SPPT rusak atau hilang dari Kepala Desa setempat;

e) Bukti pembayaran PBB 5 (lima) tahun sebelumnya. 2. SPPT objek pajak baru:

a) fotokopi identitas pemohon;

b) surat kuasa bagi yang diberi kuasa;

c) SPOP yang telah diisi dengan benar, jelas, lengkap dan ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya;

d) fotokopi bukti kepemilikan hak atas tanah;

e) denah lokasi objek pajak yang berbatasan langsung; f) surat keterangan dari pihak yang berwenang mengenai

alasan/penyebab pendaftaran objek pajak baru; g) surat pengantar dari Kepala Desa setempat. 3. SPPT mutasi objek/subjek pajak:

a) fotokopi identitas pemohon;

b) surat kuasa bagi yang diberi kuasa;

c) SPOP yang telah diisi dengan benar, jelas, lengkap dan ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya;

d) fotokopi SPPT tahun pajak yang bersangkutan dan bukti pelunasan pajak 5 (lima) tahun terakhir;

e) fotokopi bukti kepemilikan hak atas tanah; f) fotokopi dokumen perolehan hak;

g) denah lokasi objek pajak yang berbatasan langsung; h) SSPD BPHTB yang sudah divalidasi.

4. SPPT pembetulan:

a) fotokopi identitas pemohon;

b) surat kuasa bagi yang diberi kuasa;

c) SPOP yang telah diisi dengan benar, jelas, lengkap dan ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya;

d) SPPT asli tahun pajak yang bersangkutan dan bukti pelunasan pajak 5 (lima) tahun terakhir; dan

(15)

b. surat keterangan NJOP:

1. fotokopi identitas pemohon;

2. surat kuasa bagi yang diberi kuasa;

3. fotokopi bukti kepemilikan hak atas tanah;

4. fotokopi SPPT tahun sebelumnya dan bukti pelunasan pajak 5 (lima) tahun terakhir.

c. pembatalan ketetapan SPPT: 1. fotokopi identitas pemohon;

2. surat kuasa bagi yang diberi kuasa; 3. SPPT asli tahun yang bersangkutan;

4. surat pengantar dari Kepala Desa setempat.

Pasal 26

(1) Dinas melakukan pemeriksaan berkas permohonan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

(2) Dinas dalam melaksanakan pemeriksaan berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan peninjauan ke lokasi dan/atau meminta dokumen penunjang selain yang dipersyaratkan.

(3) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaskud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan Kepala Dinas untuk mengabulkan atau menolak permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

(4) Keputusan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan:

a. paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap dan benar bagi permohonan salinan SPPT dan surat keterangan NJOP;

b. paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap dan benar bagi permohonan pendaftaran objek pajak baru;

c. paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap dan benar bagi

permohonan mutasi objek pajak/subjek pajak, dan pembetulan SPPT;

d. paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap dan benar bagi permohonan pembatalan SPPT.

(16)

Pasal 27

(1) Dalam hal Keputusan Kepala Dinas mengabulkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) digunakan sebagai dasar:

a. pembenahan/pemutakhiran basis data pajak pada Dinas; b. penerbitan SPPT secara individual.

(2) Keputusan Kepala Dinas mengabulkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) huruf a, diwujudkan dalam bentuk penerbitan salinan SPPT atau surat keterangan NJOP.

(3) Kepala Dinas mengabulkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan dengan keputusan Kepala Dinas.

Pasal 28

Kepala Dinas dapat menerbitkan SKPD dalam hal-hal sebagai berikut:

a. SPOP tidak disampaikan wajib pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dan setelah wajib pajak ditegur secara tertulis oleh Kepala Dinas; atau

b. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak.

Pasal 29

(1) Penerbitan SKPD dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal surat teguran diterima wajib pajak.

(2) Penerbitan SKPD dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 uruf b didasarkan laporan hasil pemeriksaan kantor atau lapangan yang dilakukan oleh Dinas.

Pasal 30

Penandatanganan SKPD dilakukan oleh Kepala Dinas dengan tanda tangan basah.

Pasal 31

SKPD disampaikan kepada wajib pajak secara langsung atau dapat melalui petugas tingkat kecamatan, desa/kelurahan, dusun/lingkungan.

Pasal 32

(1) Tanggal jatuh tempo pembayaran pajak yang terutang ditentukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan SKPD.

(17)

BAB VI

TATA CARA PEMBAYARAN, PENYETORAN ANGSURAN, DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK

Bagian Kesatu Pembayaran

Pasal 33

Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak.

Pasal 34

(1) Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

(2) Hari libur nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah, termasuk pula hari libur dalam rangka penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Pasal 35

Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dapat dilakukan ke Kas Umum Daerah, melalui Petugas Pemungut, Petugas Penerima Setoran (PPS) PBB Kecamatan, Bendahara Penerimaan Dinas, Petugas Online Payment System (OPS), atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk dengan menggunakan SPPT, SKPD dan STPD.

Pasal 36

(1) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran melalui Petugas Pemungut memperoleh Tanda Terima Sementara (TTS) dan pembayaran diangap sah apabila Wajib Pajak telah menerima SSPD sebagai pengganti TTS dari petugas pemungut.;

(2) SSPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) divalidasi/ dicap oleh pejabat yang berwenang, aslinya disertai SPPT dikembalikan ke Wajib Pajak yang bersangkutan.

(3) SSPD dibuat rangkap 4 (empat) yang terdiri dari : a. lembar ke-1 diberikan kepada Wajib Pajak;

(18)

Bagian Kedua

Penyetoran

Pasal 37

(1) Petugas Pemungut dalam waktu 1 x 24 jam wajib menyetorkan hasil pungutan PBB-P2 kepada Petugas Penerima Setoran Kecamatan.

(2) Penyetoran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan oleh Petugas Penerima Setoran Kecamatan dilakukan ke Kas Umum Daerah paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterima dari Petugas Pemungut maupun dari Wajib Pajak dengan menggunakan Daftar Penerimaan Harian (DPH). (3) Apabila waktu penyetoran bertepatan dengan hari libur, maka

penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya.

(4) Bank pemegang Kas Umum Daerah mencatat penerimaan PBB-P2 dalam rekening penerimaan daerah.

(5) Bank pemegang Kas Umum Daerah melaporkan penerimaan PBB-P2 kepada Pemerintah Daerah melalui Dinas setiap hari Senin pada minggu berikutnya setelah PPS Kecamatan menyetor penerimaan PBB-P2 dengan melampiri SSPD lembar ke-3.

Bagian Ketiga Angsuran

Pasal 38

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan Surat Permohonan Angsuran Pembayaran secara tertulis untuk mengangsur pembayaran pajak yang masih harus dibayar kepada Bupati melalui Kepala Dinas.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diajukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah SPPT diterima Wajib Pajak disertai alasan dan jumlah pembayaran yang dimohon untuk diangsur.

(3) Apabila batas waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaannya, permohonan Wajib Pajak masih dapat dipertimbangkan oleh Kepala Dinas sepanjang Wajib Pajak dapat membuktikan kebenaran keadaan di luar kuasanya tersebut.

(19)

Pasal 39

(1) Atas dasar Surat Permohonan Angsuran dari Wajib Pajak, Kepala Dinas menugaskan Staf terkait untuk melakukan penelitian sebagai bahan pertimbangan disetujui atau tidaknya permohonan angsuran.

(2) Berdasarkan hasil pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas atas nama Bupati menerbitkan Keputusan berupa menerima seluruhnya, sebagian atau penolakan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak berkas permohonan diterima dengan lengkap.

(3) Terhadap utang pajak yang telah diterbitkan Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tidak dapat lagi diajukan permohonan untuk mengangsur pembayaran. (4) Wajib Pajak yang masih punya tunggakan utang pajak tahun

sebelumnya, tidak dapat mengajukan angsuran pembayaran. (5) Masa angsuran utang pajak tidak melebihi jangka waktu 12

(dua belas) bulan.

(6) Bentuk format Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran V dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Bagian Keempat Penundaan Pembayaran

Pasal 40

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan Surat Permohonan Penundaan Pembayaran secara tertulis untuk menunda pembayaran pajak yang masih harus dibayar kepada Bupati melalui Kepala Dinas.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diajukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah SPPT diterima Wajib Pajak dengan disertai alasan penundaan.

(3) Apabila batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaannya, permohonan Wajib Pajak masih dapat dipertimbangkan oleh Kepala Dinas sepanjang Wajib Pajak dapat membuktikan kebenaran keadaan di luar kekuasaannya tersebut.

(20)

Pasal 41

(1) Atas dasar Surat Permohonan Penundaan, Kepala Dinas menugaskan Staf terkait untuk melakukan penelitian sebagai bahan pertimbangan disetujui atau tidaknya permohonan penundaan;

(2) Berdasarkan hasil pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas menerbitkan Keputusan berupa menerima atau penolakan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak berkas permohonan diterima dengan lengkap.

(3) Terhadap utang pajak yang telah diterbitkan Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat lagi diajukan permohonan untuk menunda pembayaran.

(4) Wajib Pajak yang masih punya tunggakan utang pajak tahun sebelumnya, tidak dapat mengajukan penundaan pembayaran.

(5) Masa penundaan utang pajak tidak melebihi jangka waktu 12 (dua belas) bulan.

(6)

Bentuk format Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran VI dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

BAB VII

TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN

Pasal 42

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Bupati melalui Kepala Dinas atas:

a. SPPT PBB; b. SKPD PBB; dan c. SKPDLB PBB.

Pasal 43

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 jika:

a. wajib pajak berpendapat bahwa luas objek pajak bumi dan/atau bangunan atau nilai jual objek pajak bumi dan/atau bangunan tidak sebagaimana mestinya; dan/atau

b. terdapat perbedaan penafsiran peraturan perundang-undangan PBB.

(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan secara :

(21)

Pasal 44

(1) Pengajuan keberatan SPPT PBB secara kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf a dilakukan untuk setiap SPPT PBB yang bernilai sampai dengan Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) diajukan secara tertulis kepada Bupati melalui Kepala Dinas dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut:

a. asli SPPT PBB, SKPD PBB, SKPDLB PBB yang diajukan keberatan; dan

b. surat keterangan Lurah/ Kepala Desa setempat.

(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT PBB, SKPD PBB, dan SKPDLB PBB, kecuali apabila Wajib Pajak atau kuasanya dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.

(3) Surat Keberatan yang diajukan harus ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa yang ditunjuk.

(4) Dalam hal surat keberatan ditandatangani oleh Kuasa yang ditunjuk Wajib Pajak, maka harus dilampiri dengan:

a. surat kuasa, untuk Wajib Pajak orang pribadi dengan PBB yang terutang lebih dari Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);

b. surat kuasa, untuk Wajib Pajak Badan.

Pasal 45

(1) Pengajuan keberatan untuk SPPT PBB secara perorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf a dilakukan untuk setiap SPPT PBB lebih dari Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

(2) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Bupati melalui Kepala Dinas dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut :

a. asli SPPT PBB yang diajukan keberatan;

b. penghitungan jumlah PBB yang terutang menurut Wajib Pajak disertai dengan alasan yang mendukung pengajuan keberatannya;

c. fotocopy identitas Wajib Pajak dan fotocopy identitas kuasa Wajib Pajak dalam hal dikuasakan;

d. fotocopy bukti kepemilikan tanah dan sejenisnya;

e. fotocopy Izin Mendirikan Bangunan atau surat keterangan dari Lurah/ Kepala Desa setempat; dan

(22)

(3) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT PBB, kecuali apabila Wajib Pajak melalui Lurah/ Kepala Desa setempat dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. (4) Tanggal Penerimaan surat keberatan yang dijadikan dasar

untuk memproses surat keberatan adalah :

a. tanggal terima surat keberatan, dalam hal disampaikan secara langsung oleh Wajib Pajak atau kuasanya kepada Dinas; atau

b. tanggal tanda pengiriman surat keberatan, dalam hal disampaikan melalui pos dengan bukti pengiriman surat.

Pasal 46

(1) Pengajuan keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 atau Pasal 45, dianggap bukan sebagai surat keberatan sehingga tidak dapat dipertimbangkan.

(2) Dalam hal pengajuan keberatan tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak masih dapat mengajukan keberatan kembali sepanjang memenuhi jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) atau Pasal 45 ayat (3).

Pasal 47

Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar PBB yang terutang dan pelaksanaan penagihannya.

Pasal 48

Keputusan atas pengajuan keberatan SPPT PBB, SKPD PBB, dan SKPDLB PBB diberikan oleh :

a. Kepala Dinas, dalam hal jumlah PBB yang terutang bernilai sampai dengan Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); dan b. Bupati, dalam hal jumlah PBB yang terutang lebih dari

Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 49

(1) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ditetapkan berdasarkan hasil penelitian pada Dinas dan apabila diperlukan, dapat dilanjutkan dengan penelitian di lapangan. (2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

berdasarkan surat tugas dan hasilnya dituangkan dalam laporan hasil penelitian.

(23)

(4) Dalam hal kewenangan memberikan keputusan berada pada Kepala Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a, penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Dinas.

Pasal 50

(1) Keputusan Kepala Dinas atas pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a disertai laporan hasil penelitian keberatan diberikan paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Keberatan.

(2) Kepala Dinas meneruskan berkas pengajuan Keberatan kepada Bupati a ta s p e nga ju an k eb e rat a n sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 8 huruf b dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya Surat Keberatan.

Pasal 51

(1) Bupati sesuai k ewenangannya dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat keberatan, harus memberikan keputusan atas pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf b .

(2) Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah PBB yang terutang.

(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Keputusan belum diterbitkan, pengajuan Keberatan dianggap dikabulkan dan diterbitkan Keputusan sesuai dengan pengajuan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu dimaksud berakhir.

(4) Dalam hal Keputusan keberatan menyebabkan perubahan data dalam SPPT PBB, SKPD PBB, dan SKPDLB PBB, Dinas menerbitkan SPPT PBB, SKPD PBB, SKPDLB PBB baru berdasarkan keputusan Keberatan tanpa mengubah saat jatuh tempo pembayaran.

(5) SPPT PBB, SKPD PBB, SKPDLB PBB baru sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak bisa diajukan Keberatan.

Pasal 52

(24)

BAB VIII

TATA CARA PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRATIF DAN PENGURANGAN ATAU

PEMBATALAN KETETAPAN PAJAK

Pasal 53

(1) Bupati karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangi atau membatalkan SPPT PBB, SKPD PBB atau STPD PBB.

(2) Pengurangan atau pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal penerbitan SPPT PBB, SKPD PBB atau STPD PBB memang tidak benar. (3) Permohonan pembatalan SPPT PBB, SKPD PBB atau SPTD

PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diajukan secara perseorangan, kecuali SPPT PBB dapat juga diajukan secara kolektif.

(4) Permohonan pengurangan atau pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:

a. Surat permohonan pengurangan atau pembatalan;

b. Fotocopy identitas Wajib Pajak, atau kuasa Wajib Pajak dalam hal dikuasakan;

c. nama dan alamat wajib pajak;

d. dokumen pendukung yang dapat menunjukkan bahwa objek pajak tersebut termasuk objek pajak yang dapat dibatalkan; dan

e. dokumen pendukung lainnya.

Pasal 54

Tanggal penerimaan surat permohonan pengurangan atau pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) adalah: a. tanggal terima surat permohonan, dalam hal permohonan disampaikan langsung oleh Wajib Pajk atau kuasanya kepada petugas Tempat Pelayanan Terpadu atau petugas yang ditunjuk;

b. tanggal tanda pengiriman surat permohonan, dalam hal permohonan disampaikan melalui pos dengan bukti pengiriman surat.

Pasal 55

(25)

Pasal 56

Kepala Dinas atas nama Bupati berwenang memberikan Keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan SPPT PBB, SKPD PBB, atau STPD PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1).

Pasal 57

(1) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ditetapkan berdasarkan hasil penelitian di kantor, dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan dengan penelitian di lapangan;

(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) dilakukan berdasarkan surat tugas dan hasilnya dituangkan dalam laporan hasil penelitian;

(3) Dalam hal dilakukan penelitian di lapangan, pejabat serendah-rendahnya setingkat eselon III terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis waktu pelaksanaan penelitian di lapangan kepada Wajib Pajak.

Pasal 58

(1) Kepala Dinas dalam jangka waktu paling lama 6 (enam ) bulan sejak tanggal penerimaan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, harus memberi keputusan atas permohonan Wajib Pajak.

(2) Keputusan Kepala Dinas atas permohonan pengurangan atau pembatalan SPPT PBB, SKPD PBB, atau STPD PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa mengabulkan sebagian atau seluruhnya, atau menolak permohonan Wajib Pajak.

(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Kepala Dinas tidak memberi suatu keputusan, permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Kepala Dinas harus menerbitkan keputusan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu dimaksud berakhir.

(4) Atas permintaan tertulis dari Wajib Pajak, Kepala Dinas harus memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian atau seluruhnya permohonan Wajib Pajak sebagimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 59

(26)

(2) Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal sanksi administrasi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak.

(3) Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:

a. surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi;

b. fotocopy identitas Wajib Pajak, atau kuasa Wajib Pajak dalam hal dikuasakan;

c. nama dan alamat wajib pajak;

d. alasan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi; dan

e. dokumen pendukung lainnya yang dapat menunjukkan bahwa pengenaan sanksi administrasi bukan karena kesalahan Wajib Pajak.

Pasal 60

Tanggal penerimaan surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) adalah :

a. tanggal terima surat permohonan, dalam hal permohonan disampaikan langsung oleh Wajib Pajk atau kuasanya kepada petugas Tempat Pelayanan Terpadu atau petugas yang ditunjuk;

b. tanggal tanda pengiriman surat permohonan, dalam hal permohonan disampaikan melalui pos dengan bukti pengiriman surat.

Pasal 61

Ketentuan mengenai bentuk formulir pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi PBB atas SKPD PBB atau STPD PBB ditetapkan oleh Kepala Dinas.

Pasal 62

(1) Kepala Dinas atas nama Bupati dapat memberikan Keputusan atas permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2),

(27)

(2) Bupati dapat memberikan Keputusan atas permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2), dalam hal besarnya sanksi administrasi lebih dari Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

Pasal 63

(1) Dalam hal kewenangan memberikan keputusan berada pada Kepala Dinas sebagimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), Kepala Bidang Pajak dan Bagi Hasil meneruskan berkas permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKPD PBB atau STPD PBB kepada Kepala Dinas dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan surat permohonan.

(2) Dalam hal kewenangan memberikan keputusan berada pada Bupati sebagimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2), Kepala Dinas meneruskan berkas permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKPD PBB atau STPD PBB kepada Bupati dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan surat permohonan.

Pasal 64

(1) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ditetapkan berdasarkan hasil penelitian di kantor, dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan dengan penelitian di lapangan.

(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat tugas dan hasilnya dituangkan dalam laporan hasil penelitian.

(3) Dalam hal dilakukan penelitian di lapangan, pejabat serendah-rendahnya setingkat Eselon III terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis waktu pelaksanaan penelitian di lapangan kepada Wajib Pajak.

Pasal 65

(1) Bupati dalam jangka waktu paling lama 6 (enam ) bulan sejak tanggal penerimaan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, harus memberi Keputusan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.

(28)

(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Bupati tidak memberikan suatu Keputusan, permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Bupati harus menerbitkan Keputusan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu dimaksud berakhir.

(4)

Atas permintaan tertulis dari Wajib Pajak, Bupati harus memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian atau seluruhnya permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

BAB IX

TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

Pasal 66

Kelebihan pembayaran PBB terjadi apabila:

a. PBB yang dibayar ternyata lebih besar dari yang seharusnya terutang; dan

b. dilakukan pembayaran PBB yang tidak seharusnya terutang.

Pasal 67

(1) Untuk memperoleh pengembalian kelebihan pembayaran PBB, Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bupati melalui Kepala Dinas dalam Bahasa Indonesia disertai alasan yang jelas dengan mencantumkan besarnya pengembalian yang dimohon.

(2) Tanda terima surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diberikan oleh Dinas atau Pejabat yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman surat permohonan melalui pos tercatat, menjadi tanda bukti penerimaan surat permohonan.

Pasal 68

(1) Kelebihan pembayaran PBB diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pajak.

(2) Atas dasar persetujuan Wajib Pajak yang berhak atas kelebihan pembayaran PBB, kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan pajak yang akan terutang atau dengan utang pajak atas nama Wajib Pajak lain.

(29)

Pasal 69

(1) Berdasarkan hasil penelitian atau pemeriksaan terhadap surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, maka dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya surat permohonan secara lengkap, Kepala Dinas atas nama Bupati menerbitkan :

a. SKPDLB PBB, apabila jumlah PBB yang dibayar ternyata lebih besar dari yang seharusnya terutang;

b. Surat Pemberitahuan, apabila jumlah PBB sama dengan jumlah PBB yang seharusnya terutang;

c. SKPD PBB, apabila jumlah PBB yang dibayar ternyata kurang dari jumlah PBB yang seharusnya terutang.

(2) Apabila setelah jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Dinas atas nama Bupati tidak memberikan Keputusan, m a k a dalam waktu p aling lama 1 (satu) bulan sejak berakhirnya jangka waktu tersebut, Kepala Dinas atas nama Bupati menerbitkan SKPDLB PBB.

Pasal 70

(1) Kelebihan pembayaran PBB yang masih tersisa dikembalikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya S K P D L B PBB hasil pemeriksaan Dinas atas nama Bupati.

(2) SKPDLB dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut :

a. lembar ke-1 untuk Wajib Pajak yang bersangkutan; b. lembar ke-2 untuk Bidang Perbendaharaan; dan c. lembar ke-3 untuk Arsip.

(3) Kepala Dinas atas nama Bupati wajib menerbitkan SP2D paling lama 5 (lima) hari kerja sejak SKPDLB diterima.

(4) Bentuk SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Dinas.

(5) Jika pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan setelah lewat waktu 2 (dua) bulan, Bupati memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas keterlambatan pengembalian.

Pasal 71

(30)

(2) SP2D dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut :

a. lembar ke-1 untuk Kas Umum Daerah;

b. lembar ke-2 untuk bidang yang menerbitkan SKPDLB; dan c. lembar ke-3 untuk Arsip.

(3) Kas Umum Daerah melakukan pengurangan penerimaan PBB tahun berjalan untuk dikembalikan ke Wajib Pajak dengan pemindahbukuan.

BAB X

TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK YANG SUDAH KADALUWARSA

Pasal 72

(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang Perpajakan Daerah.

(2) Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:

a. diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa; atau

b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung.

(3) Dalam hal diterbitkannya Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa. (4) Pengakuan utang Pajak secara langsung sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.

(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.

Pasal 73

(1) Bupati dapat menghapuskan Piutang Pajak Daerah dikarenakan tidak bisa tertagih dan sudah kedaluwarsa.

(2) Penghapusan Piutang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bupati berdasarkan permohonan penghapusan piutang pajak oleh Kepala Dinas.

(31)

a. nama dan alamat wajib pajak; b. jumlah piutang pajak;

c. tahun pajak;

d. alasan penghapusan piutang pajak .

(4) Piutang Pajak yang dapat dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

a. SPPT PBB; b. SKPD PBB; c. STPD PBB;

d. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah; atau

e. Obyek pajak yang berdasarkan penelitian tidak termasuk kriteria Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.

(5) Piutang Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi yang menurut data tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi disebabkan karena:

a. wajib pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan atau meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak dapat ditemukan;

b. wajib pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi;

c. tidak ditemukan alamat pemiliknya karena objek pajak sudah tutup dan alih manajemen;

d. hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa; atau e. wajib pajak tidak dapat ditagih lagi karena sebab lain, seperti wajib pajak yang tidak dapat ditemukan lagi atau dokumen-dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak lengkap atau tidak dapat ditelusuri lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindarkan seperti bencana alam, kebakaran dan lain sebagainya; dan

f. sebab lain sesuai hasil penelitian.

(6) Piutang pajak Wajib Pajak Badan yang menurut data tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi disebabkan karena:

a. Wajib Pajak bubar, likuidasi atau pailit dan pengurus, direksi, komisaris, pemegang saham, pemilik modal atau pihak lain yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator atau kurator tidak dapat ditemukan;

(32)

c. penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian Salinan Surat Paksa kepada pengurus, direksi, likuidator, kurator, pengadilan negeri, pengadilan niaga, baik secara langsung maupun dengan menempelkan pada papan pengumuman atau media massa;

d. hak untuk melakukan penagihan pajak sudah kedaluwarsa; atau

e. sebab lain sesuai hasil penelitian.

Pasal 74

Untuk memastikan keadaan Wajib Pajak atau piutang pajak yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73, wajib dilakukan penelitian setempat atau penelitian administrasi oleh Dinas yang hasilnya dilaporkan dalam Laporan Hasil Penelitian.

(1) Laporan Hasil Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat(1) harus menggambarkan keadaan Wajib Pajak atau piutang pajak yang bersangkutan sebagai dasar untuk menentukan besarnya piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi dan diusulkan untuk dihapus.

Pasal 75

Piutang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 hanya dapat diusulkan untuk dihapus setelah adanya Laporan Hasil Penelitian.

Pasal 76

(1) Dinas menyusun daftar usulan penghapusan piutang pajak berdasarkan Laporan Hasil Penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 setiap akhir tahun takwin.

(2) Daftar usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Dinas setiap awal tahun berikutnya.

(3) Kepala Dinas menyampaikan daftar usulan yang telah diteliti kepada Bupati.

Pasal 77

(1) Formulir yang dipergunakan untuk pelaksanaan usulan penghapusan piutang pajak adalah daftar rekapitulasi piutang pajak yang diperkirakan tidak dapat atau tidak mungkin lagi untuk dilakukan penelitian setempat atau penelitian administrasi tentang kedaluwarsa penagihan pajak.

(2) Buku yang dipergunakan untuk pelaksanaan usulan penghapusan piutang pajak adalah buku register usulan penghapusan piutang pajak.

(33)

Pasal 78

(1) Berdasarkan permohonan penghapusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (5) dan ayat (6), dengan persetujuan Bupati, Kepala Dinas menetapkan penghapusan

piutang pajak yang besarannya sampai dengan Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2)

Penghapusan piutang pajak Wajib Pajak Badan sebagaimana

dalam Pasal 73 ayat (6) yang besarannya lebih dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) ditetapkan oleh

Bupati.

BAB XI

TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK

Pasal 79

(1) Bupati berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.

(2) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Kepala Dinas.

Pasal 80

(1) Tujuan Pemeriksaan adalah untuk:

a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada Wajib Pajak; dan

b. tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan dalam hal Wajib Pajak:

a. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak;

b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi;

c. tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Surat Teguran;

(34)

e. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil analisis risiko (risk based selection) mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang tidak dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka:

a. Wajib Pajak mengajukan keberatan;

b. pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;

c. pencocokan data dan/atau alat keterangan;

d. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil; e. pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;

f. penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/atau

g. memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.

Pasal 81

(1) Ruang lingkup Pemeriksaan terdiri dari:

a. pemeriksaan lapangan yang dilakukan di tempat Wajib Pajak;

b. pemeriksaan kantor yang dilakukan di Dinas.

(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilaksanakan dengan Pemeriksaan Lengkap atau Pemeriksaan Sederhana Lapangan.

(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilaksanakan dengan Pemeriksaan Sederhana Kantor atau Pemeriksaan dengan korespondensi.

(4) Apabila dalam pelaksanaan Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditemukan indikasi transaksi yang mengandung unsur transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan, maka pelaksanaan Pemeriksaan Kantor diubah menjadi Pemeriksaan Lapangan.

Pasal 82

(1) Pemeriksaan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a, dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor atau Pemeriksaan Lapangan.

(35)

(3) Dalam hal tertentu, Pemeriksaan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, dapat dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor.

Pasal 83

(1) Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 6 (enam) bulan yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan. (2) Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling

lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.

(3) Apabila dalam Pemeriksaan Lapangan ditemukan indikasi transaksi yang terkait dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan yang memerlukan pengujian yang lebih mendalam serta memerlukan waktu yang lebih lama, Pemeriksaan Lapangan dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.

(4) Dalam hal Pemeriksaan dilakukan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a, jangka waktu pemeriksaan harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

Pasal 84

(1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 harus dilaksanakan sesuai dengan standar pemeriksaan.

(2) Standar Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi standar umum, standar pelaksanaan Pemeriksaan, dan standar pelaporan hasil Pemeriksaan.

Pasal 85

(1) Standar umum Pemeriksaan merupakan standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa Pajak dan mutu pekerjaannya.

(2) Pemeriksaan dilaksanakan oleh Pemeriksa Pajak yang :

(36)

b. jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan kepentingan negara; dan

c. taat terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk taat terhadap batasan waktu yang ditetapkan.

(3) Dalam hal diperlukan, Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan oleh tenaga ahli dari Dinas yang ditunjuk oleh Bupati.

Pasal 86

Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilakukan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan, yaitu :

a. pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, dan mendapat pengawasan yang seksama;

b. luas Pemeriksaan (audit scope) ditentukan berdasarkan petunjuk yang diperoleh yang harus dikembangkan melalui pencocokan data, pengamatan, permintaan keterangan, konfirmasi, teknik sampling, dan pengujian lainnya berkenaan dengan Pemeriksaan;

c. temuan Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;

d. pemeriksaan dilakukan oleh suatu tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari seorang supervisor, seorang ketua tim serta seorang atau lebih anggota tim;

e. tim Pemeriksa Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d dapat dibantu oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian tertentu yang bukan merupakan Pemeriksa Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2), baik yang berasal dari Dinas maupun yang berasal dari instansi di luar Dinas yang telah ditunjuk oleh Bupati sebagai tenaga ahli seperti penerjemah bahasa, ahli di bidang teknologi informasi, dan pengacara;

f. apabila diperlukan, Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan tim pemeriksa dari instansi lain;

g. pemeriksaan dapat dilaksanakan di kantor Dinas, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, tempat tinggal Wajib Pajak, atau ditempat lain yang dianggap perlu oleh pemeriksa Pajak;

(37)

i. pelaksanaan Pemeriksaan didokumentasikan dalam bentuk Kertas Kerja Pemeriksaan;

j. laporan Hasil Pemeriksaan digunakan sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak.

Pasal 87

Kegiatan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus didokumentasikan dalam bentuk Kertas Kerja Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf i dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Kertas Kerja Pemeriksaan wajib disusun oleh Pemeriksa Pajak dan berfungsi sebagai :

1) bukti bahwa Pemeriksaan telah dilaksanakan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan;

2) bahan dalam melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak mengenai temuan Pemeriksaan;

3) dasar pembuatan Laporan Hasil Pemeriksaan;

4) sumber data atau informasi bagi penyelesaian keberatan atau banding yang diajukan oleh Wajib Pajak; dan

5) referensi untuk Pemeriksaan berikutnya.

b. Kertas Kerja Pemeriksaan harus memberikan gambaran mengenai:

1) prosedur Pemeriksaan yang dilaksanakan;

2) data, keterangan, dan/atau bukti yang diperoleh; 3) pengujian yang telah dilakukan; dan

4) simpulan dan hal-hal lain yang dianggap perlu yang berkaitan dengan Pemeriksaan.

Pasal 88

Kegiatan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilaporkan dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan yang disusun sesuai standar pelaporan hasil Pemeriksaan yaitu :

(38)

b. laporan Hasil Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan antara lain mengenai: 1) penugasan Pemeriksaan;

2) identitas Wajib Pajak;

3) pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak; 4) pemenuhan kewajiban perpajakan;

5) data/informasi yang tersedia; 6) buku dan dokumen yang dipinjam; 7) materi yang diperiksa;

8) uraian hasil Pemeriksaan; 9) ikhtisar hasil Pemeriksaan;

10) penghitungan pajak terutang; dan 11) simpulan dan usul Pemeriksa Pajak.

Pasal 89

(1) Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa Pajak wajib :

a. menyampaikan pemberitahuan secara tertulis tentang akan dilakukan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;

b. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan;

c. menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;

d. memperlihatkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila susunan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;

e. menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;

f. memberikan hak hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam batas waktu yang telah ditentukan;

g. melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; h. mengembalikan buku atau catatan, dokumen yang menjadi

dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan; dan

(39)

(2) Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak wajib :

a. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Wajib Pajak pada waktu Pemeriksaan;

b. menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa;

c. memperlihatkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila susunan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;

d. memberitahukan secara tertulis hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;

e. melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan apabila Wajib Pajak hadir dalam batas waktu yang telah ditentukan;

f. memberi petunjuk kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya agar pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahun-tahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;

g. mengembalikan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan;dan

h. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.

Pasal 90

(1) Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa Pajak berwenang:

a. melihat dan/atau meminjam buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;

b. mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang : bahwa dalam rangka efektifnya pelaksanaan tugas dan kegiatan Badan Promosi Pariwisata Daerah Kabupaten Lombok Timur serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Dalam melaksanakan tugas, Kepala Dinas, Sekretaris, Kepala Bidang, Kepala Subbagian, Kepala Seksi, Kepala UPT, dan Ketua Kelompok Jabatan Fungsional wajib

Surat Setoran Pajak Daerah untuk BPHTB, yang selanjutnya disingkat SSPD BPHTB, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk untuk melakukan pembayaran atau penyetoran

(1) Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk Daerah atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur pajak terutang

(1) Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika dan instansi terkait lainnya wajib melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan Peraturan Daerah

(1) Kepala Dinas Pendapatan Daerah atas nama Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur Pajak terutang dalam kurun waktu tertentu, dengan

bagi yang tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Tahun Pajak sebelum tahun pelaporan pajak-pajak pribadi dilakukan, termasuk

Kepala Dinas Pendapatan Daerah atas nama Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur pajak terutang dalam kurun waktu tertentu, dengan