TRADISI STANDARISASI PENETAPAN MAHAR
PERNIKAHAN GADIS DAN JANDA DALAM KAJIAN
HUKUM ISLAM
(Studi Kasus Pernikahan Masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep)
SKRIPSI
Oleh :
Karmilasari
NIM : C01212020
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga
Surabaya
TRADISI STANDARISASI PENETAPAN MAHAR
PERNIKAHAN GADIS DAN JANDA DALAM
KAJIAN HUKUM ISLAM
(Studi Kasus Pernikahan Masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep)
SKRIPSI
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Untuk Memenuhi Salah Satu Pernyataan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Ilmu Syariah dan Ekonomi Islam
Oleh :
Karmilasari
NIM : C01212020
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga
Surabaya
v
ABSTRAK
Skripsi dengan judul “Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar Pernikahan
Gadis dan Janda dalam Kajian Hukum Islam (Studi Kasus Pernikahan Masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep)” merupakan hasil penelitian lapangan di Desa Gua-gua mengenai analisis kajian hukum Islam terhadap standarisasi mahar pernikahan gadis dan janda. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan, Bagaimana tradisi standarisasi penetapan mahar dalam pernikahan gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep, dan Bagaimana pandangan kajian Hukum Islam terhadap tradisi standarisasi penetapan mahar dalam pernikahan gadis dan janda.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, yang menggunakan pendekatan dan jenis penelitian kualitatif. Untuk mencapai tujuan penelitian ini, maka dipergunakan metode penelitian yang terdiri dari data yang dikumpulkan, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, serta teknik analisis data. Sumber data yang digunakan terdiri dari sumber primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi,
interview, dan dokumentasi. Sedangkan teknik pengolahan data dengan
menggunakan teknik editing, organizing dan analyzing.
Dalam penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa, Terjadinya tradisi standarisasi penetapan mahar dalam pernikahan gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep disebabkan oleh kebiasaan meninggikan mahar yang terjadi di Desa Gua-gua ini sudah berlangsung sejak dulu dan menjadi tradisi masyarakat yang terus dijalani sampai saat ini. Bagi masyarakat Desa Gua-gua mendapatkan mahar yang tinggi bagi anak perempuannya merupakan kebanggaan tersendiri, dan sebaliknya jika anak dari sebuah keluarga mendapatkan mahar yang murah maka akan mendapat gunjingan atau pembicaraan yang tidak enak dari tetangga. Dari itulah masyarakat berlomba-lomba meninggikan maharnya pada saat kedatangan lamaran dari keluarga laki-laki. Hingga terjadilah standarisasi mahar dalam pernikahan.
Tradisi standarisasi penetapan mahar yang terjadi di desa Gua-gsua ini sangat tidak sesuai dengan sabda Rasulullah Saw dan Alquran serta KHI, bukan meringankan jumlah mahar dalam sebuah pernikahan untuk mendapatkan keberkahan malah menstandarkan dengan ukuran jumlah yang relatif tinggi. Standarisasi ini malah memberikan beban baru utuk calon mempelai laki-laki, yang nantinya bukan kerelaan atau keikhlasan yang didapat tapi malah menjadi keterpaksaan.
v
viii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 5
C. Rumusan Masalah ... 6
D. Kajian Putaka ... 6
E. Tujuan Penelitian ... 10
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10
G. Definisi Oprasional ... 11
H. Metode Penelitian ... 12
I. Sitematika Pembahasan ... 15
BAB II MAHAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ... 18
A. Pengertian Mahar ... 18
B. Dasar hukum Mahar ... 20
C. Macam-macam Mahar ... 24
D. Batasan Jumlah Mahar ... 27
E. Fungsi Mahar ... 31
x
BAB III TRADISI STANDARISASI PENETAPAN MAHAR
PERNIKAHAN GADIS DAN JANDA DI DESA GUA-GUA
KECAMATAN RAAS KABUPATEN SUMENEP ... 35
A. Gambaran Umum Desa gua-gua ... 35
B. Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar Pernikahan Gadis dan Janda Di Desa gua-gua Kecamatan Raas ... 38
BAB IV ANALISI HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI STANDARISASI PENETAPAN MAHAR PERNIKAHAN GADIS DAN JANDA DI DESA GUA-GUA KECAMATAN RAAS KABUPATEN SUMENEP ... 49
A. Analisi Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar Dalam Pernikahan Gadis dan Janda Di Desa gua-gua ... 49
B. Analisi Kajian Hukum Islam terhadap Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar Dalam Pernikahan Gadis dan Janda di Desagua-gua... 51
BAB V PENUTUP ... 55
A. Kesimpulan ... 55
B. Saran ... 55
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
xii
DAFTARTRANSLITERASI
Di dalam naskah skripsi inibanyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fonem konsonan Arab, yang dalam sistem tulisan Arab seluruhnya dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasinya ke tulisan Latin sebagian dilambangkan dengan lambang huruf dan tanda sekaligus sebagai berikut:
ARAB LATIN
Kons. Nama Kons. Nama
ا
Alif Tidakdilambangkanب
Ba B BeTa T Te
Sa S\ Es (dengan titik di atas)
Jim J Je
Ha H} Ha (dengan titik di bawah)
Kha Kh Kadan ha
Dal D De
Zal Z\ Zet (dengan titik di atas)
xiii
Zai Z Zet
Sin S Es
Syin Sh Esdanha
Sad S} Es (dengantitik di bawah)
Dad D{ De (Dengantitik di bawah) Ta T} Te (dengantitik di bawah)
Za Z} Zet (dengantitik di bawah) Ain ‘ Komaterbalik (di atas)
Gain G Ge
Fa F Ef
Qaf Q Ki
Kaf K Ka
Lam L El
Mim M Em
Nun N En
Wau W We
Ha H Ha
ء
Hamzah ’ Aprostofي
Ya Y Ya2. Vokaltunggalataumonoftongbahasa Arab yang
xiv
a. Tanda fath}ah dilambangkan dengan huruf a, misalnya mas}lah{ah. b. Tanda kasrah dilambangkan dengan huruf i, misalnya Tirmiz|i.
c. Tanda d}ammah dilambangkan dengan huruf u, misalnya bulu>gual-mara>m. 3. Vokal rangkap atau diftong bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan
antara harakat dengan huruf, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan gabungan huruf sebagai berikut :
a. Vokal rangkap
ا
dilambangkan dengan gabungan huruf aw.b. Vokal rangkap
يا
dilambangkan dengan gabungan huruf ay misalnya sayyid. 4. Vokal panjang atau maddah yang lambangnya berupa harakat dan huruf,transliterasinya dilambangkan dengan huruf dan tanda macron (coretan horisontal) di atasnya, misalnya masa>’il fiqhiyah.
5. Syaddah atau tasydi>d yang dilambangkan dengan tanda syaddah atau tasydi>d, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang bertanda syaddah itu, misalnya illat.
6. Kata sandang dalam bahasa Arab yang dilambangkan dengan huruf alif-lam, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf yang sesuai dengan bunyinya dan ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan diberi tanda sempang sebagai penghubung. Misalnya al-ba>qarah dan al-h{alal.
7. Ta’marbut}ah mati atau yang dibaca seperti berharakatsukun, dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf “h”, sedangkan ta’ marbutah yang hidup dilambangkan dengan huruf “t”, misalnya al-maslah{ah al-mu‘tabarah.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada era modern ini, interaksi antara laki-laki dan perempuan semakin
sulit untuk dibatasi, dengan adanya jejaring sosial dan benda-benda lain yang
bisa menghubungkan satu sama lain tanpa perlu adanya tindakan yang terlihat
secara kasat mata. Dampak dari kemajuan itu sering kali kita jumpai seperti
pergaulan yang bebas dan pada akhirnya seorang perempuan menjadi korban
dari ketidak bertanggung jawaban. Maka dari itu sangat perlu aturan-aturan
yang mesti dipegang teguh baik dimasyarakat yang menjadi tradisi ataupun
agama.
Islam sangat menganjurkan bagi pemuda dan pemudi yang sudah siap
untuk menikah, karena di dalam suatu pernikahan mengandung nilai-nilai
keagamaan sebagai wujud ibadah kepada Allah Swt., dan mengikuti sunah
hadis Nabi disamping itu juga mempunyai nilai-nilai kemanusiaan untuk
memenuhi naluri hidup manusia guna untuk melestarikan keturunan,
mewujudkan ketentraman hidup, dan menumbuhkan rasa kasih sayang dalam
hidup bermasyarakat.1
Pernikahan merupakan salah satu sendi masyarakat yang tidak lepas
dari tradisi dan sudah termudifikasi sesuai dengan ajaran agama yang telah
dianut dan menjadi tradisi turun menurun. Dalam suatu pernikahan baik
1
2
sebelum, pada waktu prosesi dan sesudahnya, akan diikuti oleh
rangkaian-rangkaian adat berupa seserahan dan sesuguhannya baik dari penganting
laki-laki maupun pengantin perempuan.
Aturan-aturan yang menjadi pedoman pernikahan telah diatur dan
dijelaskan dalam Islam yang bersumber dari Alquran dan hadis. Dalam
Alquran Allah Swt., berfirman:
َنوُرّكَذَت ْمُكّلَعَل َِْْجْوَز اَْقَلَخ ٍءْيَش ّلُك ْنِمَو
Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, agar kamu mengingat (kebesaran Allah). (Qs. Al Dzariyat (51) : 49).2
Juga disebutkan dalam Alquran Surat Yasin ayat 36 yang berbunyi:
َنوُمَلْعَ ي ََ اَِِّو ْمِهِس ُفْ نَأ ْنِمَو ُضْرَْْا ُتِبُْ ت اِِّ اَهّلُك َجاَوْزَْْا َقَلَخ يِذّلا َناَحْبُس
Maha suci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Qs. Yasin (36) : 36).3
Dari akad pernikahan islam telah memberikan bentuk-bentuk
perlindungan terhadap kaum perempuan adalah dengan memberikan hak dan
kewajiban terhadapnya. Allah Swt., berfirman,
ِفوُرْعَمْلاِب ّنِهْيَلَع يِذّلا ُلْثِم ّنَََُو
2 Departemin Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, (Surabaya: Surya cipta aksara, edisi baru revisi terjemahan Januari 1993), 862.
3
Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. (Qs. Albaqarah: 228).4
Maksudnya, perempuan memiliki berbagai hak yang harus dipenuhi
oleh seorang laki-laki juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhi oleh
seorang perempuan. Dasar dari hak-hak dan kewajiban ini adalah tradisi yang
bersandarkan kepada fitrah masing-masing orang laki-laki dan perempuan.
Undang-undang Ahwal al-syakhsiyah Syariah telah menyebutkan
semua hak-hak dan keuangan terhadap perempuan oleh seorang suami, yaitu;
mahar, nafkah, dan tempat tinggal.
Terkait dengan pemberian mahar seorang laki-laki terhadap
perempuan yang akan dinikahinya, islam tidak menetapkan batasan terendah
secara rinci jumlahnya. Namun mayoritas ulama berpendapat bahawa bagi
maskawin tidak ada batasan terendahnya, segala sesuatu yang berharga dapat
dijadikan maskawin.5
Disunahkan meringankan mahar dan tidak terlalu tinggi dalam
menetapkannya. Berdasarkan sabda Rasulullah saw.6
ًةَنْؤُم ُُرَسْيَأ ًةَكَرَ ب ِحا َكّلا َمَظْعَأ ّنِإ
Sesungguhnya keberkahan pernikahan yang paling besar adalah orang yang maharnya paling rendah.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan disahihkan oleh al-Hakim dari
Uqban bin ‘Aamir hadis,
4 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 9, Penerjemah Abdul hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 230.
5 Ibnu Rusyd, Bida. Yatul Mujtahid wa Nihayatul Mujqtashid, Penerjemah Ghazali Said dan A. Zaidun (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 432.
4
ُُرَسْي َأ ِقاَدّصلا ُرْ يَخ
Mahar yang paling baik adalah yang paling mudah.
Dari beberapa aturan Islam dan sabda rasulullah sangat jelas bahwa
Islam tidak menetapkan batasan terendah secara rinci jumlahnya dan bahkan
Islam memberi aturan mahar dalam sebuah pernikahan sangatlah dipermudah.
Namun pada realita yang terjadi, sebagian masyarakat malah menyimpang
dari aturan dan anjuran tersebut. Mereka lebih menyukai tradisi yang lahir
karena keegoisan salah satu masyarakat yang akhirnya menjadi tradisi
keseluruhan masyarakat setempat. Seperti halnya yang terjadi pada
pernikahan masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas ini, yang
menggunakan aturan memilah dan membandingkan antara seorang gadis dan
janda dalam ukuran pemberian maharnya. Jika perempuan msih bersetatus
gadis akan sangat dihormati dan akan mendapatkan mahar yang tinggi dengan
patokan nilai 10 gram emas keatas atau yang senilai, namun sebaliknya jika
sudah status janda akan dianggap murah dengan nilai cukup menerima 5 gram
emas atau yang senilai.
Dari latar belakang wacana diatas, serta mengingat sangat pentingnya
pengetahuan tentang seperti apa mahar yang seharusnya dalam pernikahan.
Maka penulis akan meneliti dan mengkaji hal yang berkaitan dengan
penentuan mahar dalam pernikahan tersebut dengan judul “Tradisi
Standarisasi Penetapan Mahar Pernikahan Gadis dan Janda dalam Kajian
Hukum Islam (Studi Kasus Pernikahan Masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan
5
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, ada banyak hal yang dapat dikaji
dan menjadi identifikasi masalah diantaranya:
1. Seperti apa tradisi standarisasi penetapan mahar pernikahan gadis dan
janda masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep.
2. Penyebab tradisi terjadinya standarisasi penetapan mahar pernikahan gadis
dan janda masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten
Sumenep.
3. Pengaruh tradisi standarisasi penetapan mahar pernikahan gadis dan janda
terhadap mental kaum pemuda dan pemudi masyarakat Desa Gua-gua
Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep.
4. Pandangan masyarakat terhadap tradisi standarisasi penetapan mahar
pernikahan gadis dan janda masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas
Kabupaten Sumenep.
5. Kajian hukum Islam terhadap tradisi standarisasi penetapan mahar
pernikahan gadis dan janda masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas
Kabupaten Sumenep.
6. Kurangnya pendidikan agama di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan
Raas Kabupaten Sumenep.
7. Pengaruh adat turun menurun yang kental pada masyarakat Desa Gua-gua
Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep.
6
Dari masalah-masalah yang telah diuraikan dalam identifikasi
masalah, terdapat keluasan pembahasan. Untuk itu, agar dalam penelitian ini
nantinya lebih terfokus, maka perlu adanya pembatasan masalah, diantaranya:
1. Keadaan yang terjadi pada tradisi standarisasi penetapan mahar dalam
pernikahan gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas
Kabupaten Sumenep.
2. Meninjau dari Kajian Hukum Islam terhadap tradisi standarisasi penetapan
mahar dalam pernikahan gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua
Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep.
C. Rumusan Masalah
Agar lebih praktis persoalan ini maka dapat ditarik rumusan masalah
dalam bentuk petanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana tradisi standarisasi penetapan mahar pernikahan gadis dan
janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep?
2. Bagaimana pandangan kajian hukum Islam dalam tradisi standarisasi
penetapan mahar pernikahan gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua
Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/ penlitian yang
sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat
7
duplikasi dari kajian/ penelitian yang telah ada.7
Pertama, Luqman hakim, pada tahun 2014 melakukan penelitian
terhadap mahar pada masyarakat pelaut di Desa Sepulu Kecamatan Sepuluh
Kabupaten Bangkalan. Penelitian yang berjudul; Analisis Hukum Islam
Terhadap Kadar Mahar (Studi kasus bagi Pelaut di Desa Sepuluh Kecamatan
Sepuluh Kabupaten Bangkalan). Penelitian tersebut menitik beratkan pada
peningkatan kadar mahar bagi yang berprofesi sebagai pelaut, yang
berkesimpulan bahwa Penyebab terjadinya peningkatan kadar mahar bagi
pelaut yang terjadi di Desa Sepulu Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan
ini disebabkan oleh gaji pelaut yang relatif besar sehingga secara tidak
langsung peningkatan kadar mahar ini menjadi sebuah kebiasaan di tengah
masyarakat, dan berpengaruh kepada kehidupan sosial masyarakat, karena
bagi masyarakat kebiasaan ini lambat laun menimbulkan dampak yang kurang
baik bagi masyarakat Sepuluh.8
Kedua, Skripsi yang berjudul: “Analisis Hukum Islam Terhadap
Penentuan Mahar Oleh Orang Tua Di Dusun Air Mata Desa Campor
Kecamatan Proppo Kabupaten Pamekasan” karya Siti Zainab pada tahun
2014 merupakan hasil penelitian lapangan yang bertujuan untuk
menjawab pertanyaan tentang alasan penentuan mahar yang dilakukan
oleh orang tua dengan meniadakan hak anak perempuannya untuk ikut
7 Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015), 8.
8
serta menentukan maharnya sendiri di Dusun Air Mata Desa Campor
Kecamatan Proppo Kabupaten Pamekasan dan bagaimana tinjauan analisis
hukum Islam terhadap ihwal tersebut.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa adanya penentuan mahar
dilakukan oleh orang tua yang meniadakan hak anak perempuannya untuk
ikut serta menentukan maharnya sendiri di Dusun Air Mata disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain: terbangunnya sebuah asumsi para orang tua bahwa
mereka yang sudah membesarkan anak perempuannya, dengan demikian
mereka merasa mempunyai otoritas penuh tentang segala sesuatu yang
berkaitan dengan pernikahan anak perempuannya termasuk dalam hal
penentuan mahar. Di samping itu, Penentuan mahar yang dimonopoli oleh
orang tua adalah bias dari kurangnya pemahaman akan ekisistensi mahar
yang kaitannya dengan hak perempuan, hal ini tampak dari yang telah
penulis perhatikan dari hasil keterangan beberapa masyarakat setempat
bahwa yang hanya dianggap penting adalah akad nikahnya dan bukan mahar.
Kemudian, penentuan mahar yang dilakukan oleh orang tua secara penuh di
Dusun Air Mata, setelah dianalisis bisa dikatakan tidak dibenarkan dalam
Islam, karena dalam Islam perempuan juga mempunyai hak untuk ikut serta
menentukan maharnya sendiri dengan kata lain penentuan mahar harus
berdasarkan kerelaan dari istri.9
Ketiga, karya Muhammad Ihsan tahun 2014 dengan judul skripsi
9
“Studi Komparatif Pandangan Majelis Adat Aceh (MAA) dan Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Terhadap Penetapan Emas sebagai
Mahar pada Masyarakat Kota Langsa-Aceh” merupakan hasil studi lapangan
(field research) yang bertujuan untuk memberikan keterangan secara luas
akan pertanyaan tentang mahar perkawinan yang sering dijadikan problem
bagi kalangan anak muda yang akhir-akhir ini sering menjadi fenomena
yang seakan menjadi kendala untuk melangsungkan pernikahan, Penentuan
kualifikasi mahar yang ditetapkan majelis adat Aceh pada hakikatnya untuk
memuliakan wanita sehingga ada korelasi antara kebijakan adat dan
syari’at. Walaupun tidak ada ketentuan mahar yang ditetapkan dalam
Alquran dan hadis. Adanya penetapan mahar tidak bermaksud untuk
mempersulit proses pernikahan akan tetapi bermaksud untuk meningkatkan
kualitas dari pernikahan. Dan disatu sisi dengan jumlah mahar yang
ditentukan bisa memotifasi pasangan untuk meningkatkan taraf hidup,
karena dalam membangun bahtera rumah tangga suami merupakan tulang
punggung keluarga. Seringkali salah satu faktor penyebab tingginya
perceraian di era moderenisasi diakibatkan oleh lemahnya peranan suami
dalam menopang perekonomian rumah tangga. Apabila pemberian mahar
terlalu disederhanakan maka akan melemahkan mempelai pria dan sakralisasi
pernikahan menjadi kabur.10
Penulis merasa kajian tentang mahar ini masih perlu adanya penelitian
10
secara spesifik lagi khususnya yang terjadi di masyarakat Desa Gua-gua
Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep. Disini penulis menjumpai beberapa
persoalan tentang mahar untuk sebuah pernikahan salah satunya yaitu
pengklasifikasian yang menjadi standarisasi mahar dari seorang laki-laki yang
hendak menikah kepada seorang gadis atau seorang janda yang akan dinikahi.
E. Tujuan Penelitian
Dari dua permasalahan di atas yang menjadi tujuan dari penelitian ini
diantaranya:
1. Untuk mengetahui tradisi standarisasi penetapan mahar dalam pernikahan
gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten
Sumenep?
2. Untuk mngetahui tradisi standarisasi penetapan mahar dalam pernikahan
gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten
Sumenep dalam Kajian Hukum Islam?
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dari penelitian ini, penulis mengharapkan nilai guna baik secara
teoritis maupun praktis, seperti:
1. Kegunaan teoritis
a. Mengetahui tradisi standarisasi penetapan mahar dalam pernikahan
gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas
Kabupaten Sumenep.
b. Mengetahui pandangan kajian Hukum Islam dalam tradisi standarisasi
11
Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep.
2. Kegunaan praktis
Penelitian ini disamping memberikan nilai guna secara teoritis
juga diharapkan memberikan kegunaan secara praktis, manfaat praktis
yang dimaksudkan untuk:
a. Jurusan Hukum Islam Program Studi Ahwal al-syakhsiyah (AS)
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya,
sebagai sumbangsih pemikiran dan pedoman serta bahan bacaan para
mahasiswa untuk pengembangan intelektualnya.
b. Masyarakat, memberikan gambaran pengetahuan tentang penentuan
mahar yang benar dalam sebuah pernikahan di masyarakat, khususnya
masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep
c. Negara, persamaan dan pemersatuan masyarakat agar semua
mendapat keadilan dan lebih bertanggung jawab terhadap generasi
penerus bangsa.
G. Definisi Operasional
Untuk tidak terjadinya perbedaan pemahaman yang nantinya akan
dibahas, maka perlu dijelaskan makna yang terdapat dalam penelitian ini.
Definisi operasional dari judul penelitian ini adalah:
Standarisasi ; ukuran jumlah mahar yang menjadi ketentuan untuk
perempuan yang bersetatus gadis atau janda.
Kajian Hukum Islam; kajian dari ketentuan-ketentuan hukum islam yang
12
Jadi dapat dijabarkan dari judul penelitian ini adalah tradisi ukuran
penetapan mahar pernikahan gadis dan janda yang terjadi di masyarakat Desa
Gua-gua Kecamatan Raas kabupaten Sumenep ditinjau dari ketentuan Islam
baik Alquran dan KHI.
H. Metode penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, Penelitian ini
menggunakan pendekatan dan jenis penelitian kualitatif. Penelitian sosial
yang menggunakan format deskriptif-analisis.11
Pengumpulan data melalui observasi, interview, dan dokumentasi.
Selanjutnya dilakukan analisis menggunkan metode deskriptif analisis yaitu
memaparkan atau menjelaskan data yang diperoleh dan selanjutnya dianalisis
dengan metode deduktif, yaitu memaparkan hal-hal yang bersifat umum dalam
pemberian mahar dalam pernikahan dan kemudian menganalisanya terhadap
hal-hal yang bersifat khusus tentang pemberian mahar pernikahan untuk
perempuan yang masih gadis dan perempuan yang sudah janda.
1. Data yang dikumpulkan.
Yang dimaksud dengan data dalam penelitian ini adalah subjek
dari mana data dapat diperoleh, yaitu data baik secara tertulis maupun
lisan.12 Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini berupa:
a. Data tentang tradisi standarisasi penetapan mahar pada pernikahan
gadis dan janda di desa Gua-gua kecamatan Raas kabupaten Sumenep.
11
13
b. Data tentang pelaksanaan pemberian mahar pada pernikahan gadis dan
janda di desa Gua-gua kecamatan Raas kabupaten Sumenep.
2. Sumber data
Sumber data didalam suatu penelitian adalah dari mana data dapat
diperoleh.13 Karena penelitian ini bersifat kualitatif, maka penelitian ini
memiliki sumber data sebagai berikut:
a. Sumber primer
Data primer adalah data yang dihimpun atau diperoleh
langsung dari sumber utama melalui penelitian.14 Sumber primer
penelitian ini diantaranya:
1) Kepala desa Gua-gua kecamatan Raas kabupaten Sumenep.
2) Pasangan suami istri yang sudah menikah.
3) Calon pasangan yang akan menikah.
4) Masyarakat setempat yang terlibat didalamnya.
b. Sumber sekunder
Sumber sekunder dalam penelitian ini adalah data pelengkap
yang akan mendukung sumber primer, diantaranya:
1) Buku induk pencatatan pernikhan dan berkas model N7 di KUA
kecamatan Raas kabupaten Sumenep.
2) Alquran dan hadis.
3) Kompilasi Hukum Islam (KHI).
13
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), 129.
14
3. Teknik pengumpulan data.
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan beberapa metode
untuk menjawab problematika dalam mencapai tujuan dan membuktikan
hipotesis, diantaranya adalah :
a. Observasi, yaitu pengamatan langsung pada objek yang diteliti dengan
melihat langsung apa yang terjadi di lapangan, kemudian mencatat hasil
yang telah diperoleh di lapangan.
b. Interview, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan
informasi secara langsung dengan mengungkapkan
pertanyaan-pertanyaan pada para responden.15
c. Dokumentasi, yaitu mencari data yang bersumber dari catatan, transkip,
buku, majalah, jurnal, blog, dan sebagainya.
4. Teknik pengolahan data.
Setelah seluruh data terkumpul maka dilakukan analisis data secara
kualitatif dengan tahapan sebagai berikut:
a. Editing, pemeriksaan kembali data-data yang diperoleh yaitu tentang
standarisasi mahar penikahan gadis dan janda di Desa Gua-gua
Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep.
b. Organizing, menyusun dan mensistematiskan data yang diperoleh baik
dari data primer maupun sekunder.
15
c. Analizing, setelah editing dan organizing dilakukan maka proses
pengolahan data selanjutnya adalah menganalisis data-data yang telah
ada dengan metode yang telah ditentukan.16
5. Teknik analisis data.
Teknik yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam
penelitian ini menggunakan metode:
a. Deskriptif, yaitu menggambarkan status sekelompok manusia, kondisi
sosial, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa
sekarang, terutama yang berkaitan dengan objek penelitian.17
b. Verifikasi, yaitu konsep atau hipotesis atau teori kemudian dilakukan
pengumpulan data yang ada di lapangan dan selanjutnya dianalisis,
setelah itu ditarik kesimpulan.18
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan disini memuat uraian yang menggambarkan
alur dari struktur pembahasan dari isi penelitian19. Penelitian ini menjadi lima
bab dimana masing-masing bab akan memuat sub-sub bab sebagai penguat
pembahasannya. Secara umum, sistematika pembahasan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Bab pertama berupa pendahuluan yang berisikan latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,
16 Ibid.
17 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1988), 6.
16
tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode
penelitian, sitematika pembahasan, dalam bab ini deskripsi awal mengenai
titik tolak dan instrument penelitian dijelaskan. Urgensi dari bab ini terletak
pada rumusan masalah yang akan diteliti. Selain itu, metode yang digunakan
dalam penelitian ini juga menjadi bagian yang terpenting dalam memberikan
pandangan pemikiran dan kerangka kerja sebuah penelitian.
Bab kedua yang memuat landasan teori penelitian, dalam bab ini akan
dijelaskan mengenai landasan teori yang meliputi tentang syarat sahya
pernikahan diantaranya seperti pengertian mahar dalam hukum islam dan
dasar hukumnya, macam-macam mahar, dan batasan mahar, serta dampak
dari standarisasi mahar dalam sebuah pernikahan.
Bab ketiga yang akan memuat sekilas tentang keadaan Desa Gua-gua
Kecamatan Raas kabupaten Sumenep. Dari keadaan masyarakat serta
aturan-aturan yang menjadi tradisi disetiap pernikahan secara turun mnurun. Dari bab
ini nantinya akan dijumpai beberapa permasalahan yang jelas keberadaannya
dan menjadi bahan analisis.
Bab keempat, dalam bab ini penulis akan memberikan kajian Hukum
Islam terhadap tradisi standarisasi penetapan mahar pernikahan gadis dan
janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep.
Bagian terpenting yang berisi analisis terhadap fakta yang terjadi dilapangan
17
18
BAB II
MAHAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengertian Mahar
Dalam bahasa Arab mahar adalah bentuk mufrod sedang bentuk
jamaknya adalah mahurun yang secara etimologi berarti maskawin.1
Selanjutnya menurut Imam Ibnu al-Qasim mahar disebut juga dengan istilah
shadaq yang secara etimologi berarti sebutan suatu benda yang wajib
diberikan sebab adanya nikah. Kata shadaq dengan fathah dan dengan kasrah
(sidaq) diambil dari kata "sidqun" (kebenaran) untuk membenarkan cinta
suami terhadap calon istrinya. Shadaq (mahar) bisa juga diartikan
penghormatan kepada istri.
Pengarang kitab al-‘Inaayah ‘Alaa Haamisyi al-Fathi mendefinisikan
mahar sebagai harta yang harus dikeluarkan oeh seorang suami dalam akad
pernikahan sebagai imbalan persetubuhan, baik dengan penentuan maupun
dengan akad.2
Sedang sebagian mazhab mendefinisikannya sebagai berikut; Mazhab
Hanafi mendefinsikan sebagai suatu yang didapatkan oleh seorang
perempuan akibat akad pernikahan ataupun persetubuhan. Mazhab Maliki
mendefinisikannya sebagai suatu yang berikan kepada seorang istri sebagai
imbalan persetubuhan dengannya. Mazhab Syafi’i mendefinisikannya sebagai
sesuatu yang diwajibkan, sebab pernikahan atau persetubuhan atau lewatnya
1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), 431.
2
19
kehormatan perempuan dengan tanpa daya, seperti akibat susuan dan
mundurnya para saksi. Mazhab Hambali mendefinisikannya sebagai
pengganti dalam akad pernikahan, baik mahar ditentukan didalam akad, atau
ditetapkan setelahnya dengan keridhaan kedua belah pihak atau hakim. Atau
pengganti dalam kondisi pernikahan, seperti persetubuhan yang memiliki
syubhat, dan persetubuhan secara paksa.3
Sedangkan pengertian mahar dalam istilah adalah suatu pemberian
yang disampaikan oleh pihak mempelai putra kepada mempelai putri
disebabkan karena adanya ikatan perkawinan.6 Namun selain itu, ada yang
mendefinisikan mahar atau maskawin merupakan sesuatu yang wajib
diberikan oleh calon suami kepada calon istri sebagai rasa ketulusan hati
seorang suami untuk menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang seorang istri
kepada suaminnya.7
Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV Pustaka Setia,1999), 105.
5
Ibid., 106.
6
Mushthafa Kamal, Fiqih Islam, (Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002), 263.
7
20
calon mempelai pria kepada calon mempelai perempuan baik berbentuk
barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dr. Hamuda dalam bukunya The Family Structure in Islam menyatakan
bahwa mahar merupakan bentuk pembayaran yang bersifat simbolis.
Simbol tanggung jawab dari pihak laki-laki untuk menjamin kesamaan hak
dan kesejahteraan keluarga setelah perkawinan terwujud. Apabila
diperhatikan, pengertian-pengertian mahar di atas maka dengan disimpulkan
bahwa mahar adalah harta yang diberikan oleh suami kepada istri sebagai
pemberian wajib dalam ikatan perkawinan yang sah dan merupakan tanda
persetujuan serta kerelaan mereka untuk hidup sebagai suami istri.
B. Dasar Hukum Mahar
Perintah pembayaran mahar ini didasarkan atas firman Allah Swt.,
dalam surat An-Nisa’ ayat 4 yang berbunyi:
اًًيِرَم اًًئَِِ ُُوُُُكََ ا ًسْفَـن ُهِِْم ءْيَش ْنَع ْمُكَل َِْْط ْنِإََ
ۚ
ًةَُِِْ َنِِِاَقُدَص َءاَسِِلا اوُتآَو
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisa’ : 4).8
Ayat ini berpesan kepada semua orang khususnya para suami, dan wali
yang sering mengambil mahar perempuan yang berada pada perwaliannya.
Berikanlah maskawin (mahar), yakni mahar kepada wanita-wanita yang kamu
21
nikahi baik mereka yatim maupun bukan, sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Lalu jika mereka yakni wanita-wanita yang kamu nikahi itu
dengan senang hati, tanpa paksaan atau penipuan, menyerahkan untuk kamu
sebagian darinya atau seluruh maskawin itu, maka makanlah, yakni ambil
dan gunakanlah pemberian itu sebagai pemberian yang sedap, lezat tanpa
mudharat lagi baik akibatnya.9
Alquran telah menunjukkan pokok dasar dalam ayat tersebut di atas
adalah mahar disebut sebagai shadaqah dan tidak disebut mahar. Shadaqah
berasal dari kata shadaq, mahar adalah shadaq atau shadaqah karena ia
merupakan suatu pertanda kebenaran dan kesungguhan cinta kasih pria.
Menurut Ragih Isfahani dikitabnya "Mufrodat Garib Alquran" alasan
shadaqah ditulis shaduqah disini adalah karena ia merupakan tanda
keikhlasan rohani. Kedua kata ganti hunna (orang ketiga perempuan jamak)
dalam ayat ini berarti mahar itu menjadi hak milik perempuan itu sendiri,
bukan hak ayahnya atau ibunya. Mahar bukanlah upah atas pekerjaan
membesarkan dan memelihara si anak perempuan. Ketiga, nihlatan (dengan
sukarela, secara spontan, tanpa rasa enggan) menjelaskan dengan sempurna
bahwa mahar tidak mempunyai maksud lain kecuali sebagai pemberian
hadiah.10
Perintah pembayaran mahar juga tercantum dalam Alquran surah
an-Nisa' ayat 24 dan ayat 25, sebagai berikut:
9 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 346.
10
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.11 maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak)
11
23
itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik
bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.12
Mengenai status hukum mahar, para ulama berbeda pendapat.
Menurut Imam Malik mahar merupakan hukum nikah. Sebagai
konsekuensinya jika memakai sighat nikah, maka mahar harus disebut
ketika akad nikah, jika tidak maka nikahnya tidak sah. Sedangkan selain
Imam Malik dan ketiga Imam mazhab berpendapat bahwa mahar termasuk
syarat sahnya nikah. Oleh karena itu tidak boleh diadakan persetujuan
untuk meniadakannya. Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa mahar
bukanlah hukum dan syarat sahnya nikah, tetapi hanya merupakan
konsekuensi logis yang harus dibayarkan dengan adanya akad nikah.13
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mahar diatur dalam
beberapa pasal yaitu :
Pasal 30, menjelaskan bahwa calon mempelai pria wajib membayar
mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya
disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 31, menjelaskan bahwa penentuan mahar bedasarkan atas
kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh Islam.
Pasal 32, menjelaskan bahwa mahar diberikan langsung kepada
calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.
Pasal 33, menjelaskan bahwa penyerahan mahar dilakukan dengan
12
Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahannya, 121.
13
24
tunai. Apabila calon wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh
ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum
ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.14
C. Macam-macam Mahar
Masalah jenis barang yang dapat digunakan untuk mahar bisa berupa
sesuatu yang dapat dimiliki dan diambil manfaatnya. Selain itu juga
dapat dijadikan pengganti atau ditukarkan. Adapun untuk mengetahui
macam-macamnya, ulama Fikih sepakat bahwa mahar itu bisa dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1. Mahar Musamma
Mahar musamma adalah mahar yang sudah disebut atau dijanjikan
kadar dan besarnya ketika akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan
kadarnya pada waktu akad nikah.15
Ulama fikih sepakat bahwa, dalam pelaksanaannya, mahar
musamma harus diberikan secara penuh apabila:16
a) Telah bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah Swt.,
berfirman:
َطِِْق َنُاَدْحِإ ْمُتْئَـتآَو جْوَز َناَكَم جْوَز َلاَدْبِتْسا ُُُْدَرَأ ْنِإَو
اًًْئَش ُهِِْم اوُذُخْأَت ََََ اًرا
ۖ
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil
14
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Nuansa Aulia, 2011), 9-10.
15
M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 185
16
25
kembali dari padanya barang sedikitpun. (QS Al-Nisa [4] : 20)
b) Salah satu dari suami istri meninggal demikianlah menurut ijma’.
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah
bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab
tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan
ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi jika istri
dicerai sebelum bercamur, hanya wajib dibayar setengahnya,
berdasarkan firman Allah Swt.,:
َُل ْمُتْضَرَـَ ْدَقَو َنُوسَََ ْنَأ ِلْبَـق ْنِم َنُوُمُتْقََُط ْنِإَو
ْمُتْضَرَـَ اَم ُفْصََِِ ًةََيِرََ َن
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. (QS Al-Baqarah [2] : 237)
2. Mahar misil
Mahar misil adalah mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada
saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Bila terjadi demikian,
mahar itu mengikuti maharnya perempuan saudara pengantin perempuan,
bibinya dan sebagainya.17 Apabila tidak ada maka misil itu beralih
dengan acuan perempuan lain yang sederajat dengan dia. Dalam
menetapkan jumlah mahar yang sepadan (mahar misil) hendaknya juga
mempertimbangkan kedudukan seseorang dalam kehidupannya, status
sosial, pihak-pihak yang menikah dan dapat berbeda dari satu tempat ke
tempat yang lain, dari satu negeri ke negeri yang lain.
17
26
Dalam hal ini hendaknya tidak dianalogikan bahwa mahar adalah
harga yang harus dibayarkan untuk mendapatkan suatu ikatan
perkawinan sebagai bentuk jual beli. Dalam perkawinan, Islam
betul-betul memelihara hak istri atas suatu kedudukan ekonomi yang sesuai
dengan kedudukan sosialnya sendiri. Mahar misil dapat terjadi apabila
dalam keadaan sebagi berikut:18
a) Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad
nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri atau meninggal
sebelum bercampur.
b) Kalau mahar musamma belum dibayar, sedangkan suami telah
bercampur dengan istri, maka nikahnya tidak sah.
Dalam hal ini nikah tidak disebutkan dan tidak ditetapkan
maharnya, maka nikahnya tersebut disebut nikah tafwid. Hal ini
menurut jumhur ulama diperbolehkan. Karena berdasarkan firman Allah
dalam Surah al-Baqarah ayat 236. menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada
mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
18
27
orang-orang yang berbuat kebajikan.19
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan
istri sebelum digauli dan belum pula ditetapkan jumlah mahar tertentu
kepada istrinya itu. Dalam hal ini maka istri berhak menerima mahar
misil. Selain itu ayat di atas tidak dimaksudkan dalam suatu pernikahan.
Suami diperbolehkan untuk tidak menyebut kesediaan suami memberi
mahar pada istri saat ijab qabul. Bila seseorang menikah tanpa
menetapkann jumlah mahar terlebih dahulu bahkan mensyaratkan tanpa
adanya mahar tanpa sekali, maka ada orang yang menyatakan bahwa
pernikahan tersebut tidak sah.
D. Batasan Jumlah Mahar
Agama tidak menetapkan jumah minimum dan begitu pula jumlah
maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan
kemampuan manusia dalam member. Orang yang kaya mempunyai
kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada
calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu
memberinya.20
19
Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahannya, 58.
20
28
Oleh karena itu pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan
yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak
yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya, sesuai dengan sabda nabi:21
Dari Sahl bin Sa'ad, Sahl berkata: seorang perempuuan pernah datang kepada Rasulullah lalu berkata: "Sungguh aku berikan diriku untukmu", maka perempuan itu tetap saja. berdiri. dalam waktu yang lama, maka seorang lelaki berkata, "kawinkan dia denganku jika engkau tidak tidak berminat kepada dia," maka Rasulullah berkata "adakah engkau memiliki sesuatu yang dapat disedekahkan kepadanya?" Lelaki itu pun menjawab, "Saya tidak punya sesuatu pun kecuali kainku ini", maka Rasulullah saw berkata,"jika kain itu kau berikan kepadanya, maka kamu akan duduk tanpa memakai kain. Maka carilah sesuatu yang lain". Lelaki itu berkata,"Saya tidak mendapatkan sesuatu pun", maka Rasulullah berkata "carilah walau sebuah cincin dari besi", tetapi lelaki itu juga tidak mendapatkan sesuatu pun. Lalu Rasulullah bertanya, "apakah engkau hafal surat dari Alquran", laki-laki itu menjawab, "ya saya hafal surat ini, surat ini", beberapa ayat disebutkannya. Maka Rasulullah saw berkata,"telah kunikahkan kamu dengan mahar surat Alquran yang engkau halal".
Para fuqaha sepakat bahwa tidak ada batasan yang paling tinggi untuk
mahar, karena tidak disebutkan didalam syariat yang menunjukkan batasannya
yang paling tinggi, berdasarkan firman Allah Swt.,:
ََََ اًراَطِِْق َنُاَدْحِإ ْمُتْئَـتآَو جْوَز َناَكَم جْوَز َلاَدْبِتْسا ُُُْدَرَأ ْنِإَو
اًًْئَش ُهِِْم اوُذُخْأَت
ۖ
ُهَنوُذُخْأَتَأ
اًِئِبُم اًِْْإَو اًناَتُُْـب
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan
21
29
tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata. (QS Al-Nisa : 20).22
Ulama Syafi’iyah, Imam Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur berpendapat
tidak ada batas minimal mahar, tetapi sah dengan apa saja yang mempunyai
nilai materi, baik sedikit maupun banyak. Alasannya, karena beberapa teks
Alquran menjelaskan tentang mahar dengan jalan kebijaksanaan, layak
baginya sedikit dan banyak. Sebagaimana firman Allah Swt.,:23
ًةَُِِْ َنِِِاَقُدَص ءاَسَِلا ْاوُتآَو
Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa’ (4): 4)
ِفوُرْعَمْلاِب َنَُروُجُأ َنُوُتآَو
Dan berilah mahar mereka menurut yang patut.” (QS. An-Nisa’ (4): 25)24
Di antara sunnah, hadis yang diriwayatkan dari Amir bin Rabi’ah
bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah menikah atas sepasang dua sandal.
Rasulullah bertanya:
َُُزاَجَأََ ,مَعَـن : ْتَلاَقَـَ ؟ ِْنَُْعَـِِب ِكِلاَمَو ِكِسْفَـن ءْنَع ِتْئِظَر
Apakah kamu rela dari dirimu dan hartamu dengan sepasang dua sandal ?
Wanita itu menjawab: “Ya aku rela” maka beliau memperbolehkannya.
(HR. Ahmad, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi)
Dari Jabir bahwa Rasulullah Saw bersabda :
ًل َََح ُهَل ْتَناَك اًماَعَط ِهْيَدَيَءْلِم اَقاَدَص َةَأَرْما ىَطْعَأ ََُجَر َنَأْوَل
22
Ibid., 234
23 Departemin Agama RI, Alqur’an dan Terjemahnya…, 77
24
30
Jikalau bahwa seorang laki-laki memberi mahar kepada seorang wanita berbentuk makanan sepenuh dua tangannya, maka halal baginya. (HR. Ahmad)
Hadis di atas menunjukkan bahwa apa saja yang bernilai material
walaupun sedikit, sah dijadikan mahar. Demikian pula hadis yang
diriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda kepada seseorang yang ingin
menikah:
ْوَلَو ْرُظْنُأ
دْيِدَح ْنِم اَََاَخ
Lihatlah walaupun sebuah cincin dari besi. (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Teks-teks hadis di atas menunjukkan secara tegas bahwa tidak ada
batas minimal dalam mahar, tetapi segala sesuatu yang dinilai material patut
menjadi mahar.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa minimal sesuatu yang layak
dijadikan mahar adalah seperempat dinar emas atau tiga dirham perak. Karena
Abdurrahman bin ‘Auf menikah atas emas seberat biji kurma, yaitu
seperempat dinar dan ukuran itulah nishab pencurian menurut mereka.
Artinya, harta seukuran itu mempunyai arti nilai dan kehormatan berdasarkan
dipotong tangan pencurinya dan tidak dipotong di bawah ukuran itu, maka
itulah batas ukuran minimal mahar.
Ibnu Syabramah berpendapat, uluran minimal mahar adalah 5 dirham,
Said bin Jubair berpendapat bahwa minimal 50 dirham sedangkan An-Nukhai
31
kejadian yang diperkirakan pada ukuran tersebut dan dianalogikan dengan
nisab pencurian menurut masing-masing mereka.
Menurut madzhab Hanafiyah, yang diamalkan dalam ukuran minimal
mahar adalah 10 dirham. Ukuran ini sesuai dengan kondisi ekonomi yang
berlaku, yakni 25 Qursy. Dasar mereka adalah hadis yang diriwayatkan Jabir
dari Nabi SAW bersabda :
ِمِاَرَد ِةَرْشَع ْنِم َلَقَأَرَُْمَل
Tidak ada mahar yang kurang dari sepuluh dirham.
Hal yang terpenting adalah bahwa mahar tersebut haruslah sesuatu
yang bisa diambil manfaatnya, baik berupa uang atau sebentuk cincin yang
sangat sederhana sekalipun, atau bahkan pengajaran tentang alquran dan
lainnya, sepanjang telah disepakati bersama antara kedua belah pihak
khususnya istri.
E. Fungsi Mahar
Mahar adalah bagian penting pernikahan dalam Islam. Tanpa
mahar, sebuah pernikahan tidak dapat dinyatakan telah dilaksanakan dengan
benar. Mahar harus ditetapkan sebelum pelaksanaan akad nikah. Dan
merupakan hak mutlak seorang wanita untuk menentukan besarnya mahar.
Apabila mahar sudah ditentukan bentuk dan besar kecilnya, maka barang
itulah yang wajib dibayarkan. Tetapi bila tidak ada ketentuan sebelumnya,
32
harus membayar yang sesuai dengan tingkatan status istrinya.25
Musthafa Al Maraghi menambahkan bahwa mahar juga berfungsi
sebagai alat bukti atas kesungguhan atau kuatnya hubungan dan ikatan yang
dijalani oleh kedua belah pihak.26 Mahar juga bukan untuk menghargai atau
menilai perempuan, melainkan sebagai bukti bahwa calon suami sebenarnya
cinta kepada calon istrinya. Sehingga dengan sukarela hati ia mengorbankan
hartanya untuk diserahkan pada istrinya, sebagai tanda cinta dan sebagai
pendahuluan bahwa si suami akan terus menerus memberi nafkah kepada
istrinya, sebagai suatu kewajiban suami terhadap istrinya.27
Muhammad Amin Al Khurdi berpendapat bahwa kewajiban
membayar mahar bagi suami kepada istrinya hakikatnya sebagai suatu
penghormatan dan pemberian dari Allah agar tercipta cinta dan kasih
sayang. Kewajiban membayar mahar dibebankan kepada suami karena
suami lebih kuat dan lebih banyak bekerja dari pada istrinya.28
Para Imam mazhab (selain Imam Malik) sepakat bahwa mahar
bukanlah salah satu rukun akad, tetapi merupakan salah satu konsekuensi
adanya akad. Karena itu, akad nikah boleh dilakukan tanpa (menyebut)
mahar. Apabila terjadi percampuran, ditentukanlah mahar, dan jika kemudian
kemudian si istri ditalak sebelum dicampuri maka dia tidak berhak atas
mahar, tetapi harus diberi mut'ah yaitu pemberian sukarela dari suami
25
Al Utsaimin, M. Shaleh dan A. Aziz, Pernikahan Islam Dasar Hukum Hidup Berumah Tangga, (Surabaya : Risalah Gusti, 1992), 17
26
Ahmad Musthafa al Maraghi, Terjemah Tafsir Maraghi, (Semarang : Toha Putra, 1992), 330
27
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung , 1977), 82.
28
33
berdasarkan bentuk pakaian, cincin, dan sebagainya.29 Abdur Rahman
al-Jaziri mengatakan mahar berfungsi sebagai pengganti (muqabalah) istimta'
dengan istrinya. Sedangkan sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa
mahar berfungsi sebagai imbalan jasa pelayanan seksual dan Abu Hasan Ali
memposisikan mahar sebagai alat ganti yang wajib dimiliki perempuan
karena adanya akad nikah.
Dengan demikian mahar yang menjadi hak istri itu dapat diartikan
sebagai tanda bahwa suami sanggup untuk memikul kewajiban-kewajiban
suami dalam hidup berumah tangga. Jadi salah jika diartikan bahwa
1. Harta berharga, memang sudah seharusnya mahar itu merupakan sesuatu
yang dianggap baik, sebagaimana menurut pemahaman yang yang tertera
dalam surat al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi:
َرْخَأ اََِِو ْمُتْبَسَك اَم ِتاَبِئَط ْنِم اوُقِفْنَأ اوَُِمآ َنيِذَلا اَُـيَأ اَي
Wahai orang- orang yang beriman, infakkanlah sebagian hartamu
29
34
yang baik-baik dan sebagian dari apa yang telah kami keluarkan dari bumi untukmu, janganlah kamu pilih yang buruk untuk kamu
keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah Allah maha kaya, maha terpuji.30
Tidak sah mahar dengan sesuatu yang tidak memiliki nilai
harga, mahar itu harus berupa sesuatu yang boleh dimiliki dan dapat
dijual. Artinya mahar itu harus bermanfaat.
2. Barang suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar berupa Khamr,
babi, darah dan semacamnya, karena semua itu haram dan tidak
bermanfaat.
3. Barang yang dijadikan mahar harus sesuatu yang diketahui, karena
mahar adalah pengganti pada hak yang diberikan ganti. Kecuali dalam
pernikahan tafwidh, yaitu kedua belah pihak yang melakukan akad
diam-diam ketika ditetapkan mahar di dalam akad. Menurut pendapat mazhab
Maliki dan Hanafi, yang bertentangan dengan pendapat Shafi’i dan
Ahmad, tidak diwajibkan menyifati barang mahar. Jika diberikan mahar
yang tidak sesuai dengan yang disifati, maka si perempuan memiliki hak
untuk menengahi.31
4. Barang yang dijadikan mahar yaitu barang dengan kepemilikan yang
sempurna, hal ini dijelaskan oleh Wahbah Az-Zuhili Bahwa mahar itu
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan terjemahannya, 45. 31
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 9…, 259.
32
35
BAB III
STANDARISASI MAHAR PERNIKAHAN GADIS DAN JANDA DI DESA
GUA-GUA KECAMATAN RAAS KABUPATEN SUMENEP
A. Gambaran Umum Desa Gua-gua
1. Kondisi Geografis
Gua-gua adalah sebuah nama desa yang ada di pulau kecil yang bernama pulau Guwa-guwa dan berada tepat di antara gugusan pulau-pulau di sebelah timur Pulau Madura. Secara administratif, pulau-pulau ini termasuk wilayah Kecamatan Raas, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Di Pulau Guwa-guwa ini hanya ada satu desa yang terdiri dari dua dusun. Nama desa Gua-gua ini diambil mirip langsung dari nama pulaunya dan dusun didalamnya terdiri dari dusun Gua Utara dan dusun Gua Selatan. Penduduknya sebagian banyak merantau bekerja di Kalimantan, Jakarta, Bali, dan juga sebagai TKI di Luar Negeri seperti malaysia dan sebagainya.
36
Raas, hal ini memakan waktu ± 5 jam dari dermaga Kalianget menuju pulau Raas dan ± 3 jam dari pulau Raas menuju pulau Guwa-guwa.
2. Batas Wilayah Desa Gua-gua adalah: a. Sebelah Utara : Selat Kamoddi b. Sebalah Selatan : Laut Bali
c. Sebelah Barat : Selat Talango Aeng d. Sebelah Timur : Selat Kangean
Desa Gua-gua terdiri dari dari 2 dusun yaitu; Dusun Gua Utara dan Gua Selatan.
3. Keadaan Penduduk a. Jumlah Penduduk
Berdasarkan data Desa Gua-gua tahun 2015 jumlah penduduknya 1.064 orang. Dengan rincian jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 447 orang dan perempuan berjumlah 617 orang jumlah penduduk tersebut terbagi menjadi 293 kepala keluarga.
b. Mata Pencaharian
Berdasarkan data Desa Gua-gua tahun 2015 mata pencaharian di Desa Gua-gua terbagi atas tiga macam mata pencaharian sebagai berikut:
37
4) Sisanya 486 merantau (Kalimantan, Jakarta, Bali, dan juga sebagai TKI di Luar Negeri)
c. Pendidikan di Desa Gua-gua
Dalam memajukan tingkat SDM (Sumber Daya Manusia) Pendidikanlah yang merupakan suatu hal yang penting yang dapat berpengaruh dalam jangka panjang dan pada akhirnya peningkatan perekonomian ditempat tersebut. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi, maka akan mendongkrak tingkat kecakapan masyarakat yang pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya keterampilan, kewirausahaan dan lapangan kerja baru. Sehingga akan membantu program pemerintah dalam menuntaskan pengangguran dan kemiskinan. Karena Desa Gua-gua ini merupakan desa kepulaun untuk pendidikan disana masih sangatlah minim, yang ada hanyalah; 1 unit TK, 2 unit SD, 2 unit MI, 1 unit SMP cabang Raas, 1 unit MTs cabang Raas.
38
d. Agama
Di Desa Gua-gua terdapat bangunan ibadah di beberapa tempat, seperti masjid ataupun musolla kecil yang digunakan untuk perkumpulan ataupun acara-acara keagamaan.
e. Kelistrikan
Penerangan listrik di Desa Gua-gua ini belum menggunakan PLN, yakni masih menggunakan PLTD yang dikelola Swasta, yang hanya menyala selama 12 jam saja.
B. Praktek Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar Pernikahan Gadis dan
Janda Di Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep
1. Penyebab Terjadinya Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar
39
dari tetangga. Dari itulah masyarakat berlomba-lomba meninggikan maharnya pada saat kedatangan lamaran dari keluarga laki-laki. Kebiasaan ini mendapat respon pula oleh pihak calon suami, meskipun awalnya tidak semua menyanggupi. Tapi lama kelamaan sambil berjalannya waktu demi egoisme dan hasrat untuk saling meninggikan martabat masing-masing tanpa memikirkan hak kebersamaan khususnya keluarga yang tidak mampu. Hal meninggikan mahar ini menjadi tradisi dan menyebutkan angka patokan untuk masing-masing status, status disini antara perempuan yang masih gadis dan prempuan yang sudah janda.
2. Praktek Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar Penikahan Gadis dan Janda a. Prosesi Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar
Dalam prosesnya tradisi standarisasi penetapan mahar pernikahan gadis dan janda di desa Gua-gua ini, mempunyai rentetan acara yang berurutan, proses-prosesnya antara lain:
1) Prosesi kunjungan keluarga calon mempelai laki-laki
Seperti halnya banyak dijumpai mungkin ditempat lain ketika seorang laki-laki sudah siap menikah maka akan mencari pasangannya. Tidak terlepas dari pertemuan sendiri antara kedua calon atau perjodohan dari pihak keluarga, yang nantinya akan diteruskan ke proses kunjungan keluarga dari pihak laki-laki untuk membahas hari baik untuk dilakukan peminangan.
2) Prosesi peminangan
40
kunjungan keluarga sebelumnya. Dalam prosesi ini pihak keluarga datang dihari dan waktu yang sudah ditentukan bersama untuk membahas tindak lanjut keprosesi pernikahan. Inti dari prosesi peminangan ini adalah:
a) Bersedia atau tidaknya calon mempelai perempuan menjadi istri.
b) Mengetahui berapa jumlah mahar yang akan diminta oleh pihak mempelai perempuan pada saat pernikahan.
c) Tanggal dan hari baik untuk pernikahan.
Pada proses peminangan ini pihak keluarga perempuan mengundang kepala Desa untuk laporan sekaligus mewakili pihak keluarga perempuan dalam penyampaian poin-poinnya kepada pihak calon mempelai laki-laki.
3) Prosesi pernikahan
41
hanya itu saja, dalam hal jumlah mahar ini masyarakat juga berhak menegetahui dengan menyertakan surat pembelian dan diperlihatkan kemasyarakat yang hadir dalam pernikahan.
b. Jumlah Mahar dalam Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar
Sesuai data yang ditemukan dan terjadi dilapangan, serta melihat aturan dalam agama Islam mengenai mahar yang seharusnya tidak ada batasan minimal dan maksimal dalam pemberian terhadap calon istri apalagi sampai membuat bagian-bagian atau mengklasifikasikan. Selain itu seharusnya tidak ada paksaan dari pihak manapun karena mahar ini murni pemberian dari pihak suami sesuai dengan kehendak dan kemampuannya. Dalam hal ini antara kedua belah pihak harus dapat saling mengerti terhadap calon pengantinnya. Sikap saling mengerti dalam hal ini salah satunya adalah mengenai keadaan ekonomi calon pengantin laki-laki. Apabila terjadi paksaan maka akan memberatkan keluarga atau calon pengantin laki-laki. Jika hal ini terjadi maka akan mengakibatkan pada ketidakharomonisan kehidupan rumah tangga yang akan dijalani kedepan.
42
Dalam hal ini penulis mengambil beberapa sampel dari buku induk catatan pernikahan dan lampiran Model N7 dari KUA Raas yang digunakan masyarakat Desa Gua-gua untuk pemberitahuan nikah atau laporan terhadap KUA, diantaranya:
Tabel 1.1
Data sampel tradisi standarisasi penetapan mahar untuk perempuan yang bersetatus gadis
Dari data tabel diatas menunjukkan 8 pasangan yang menikah di desa Gua-gua kecamatan Raas yang berstatus gadis bagi calon istri rata-rata mendapatkan mahar sebesar 10 gram emas keatas.
Tabel 1.2
Data sampel tradisi standarisasi penetapan mahar untuk perempuan yang bersetatus janda
43
mendapatkan mahar sebesar kurang dari 10 gram emas.
Dapatlah kita ambil kesimpulan dari sampel-sampel diatas bahwa yang sangat berpengaruh dalam penentuan jumlah mahar di Desa Gua-gua ini adalah status calon istri, disini untuk status laki-laki tidak berpengaruh. Bahwasanya calon istri yang berstatus gadis rata-rata mendapatkan mahar 10 gram emas keatas, namun sebaliknya yang sudah berstatus janda hanya berkisar 5 gram emas.
Dalam tradisi standarisasi penetapan mahar ini penulis juga mengambil wawancara dari beberapa tokoh masyarakat dan penduduk di Desa Gua-gua yang berpendapat, diantaranya:
Pak. Sufuk (Mantan kepala Desa)1
Beliau memberikan penjelasan, Standarisasi mahar dalam pernikahan di desa Gua-gua ini sudah berjalan dari sebelum beliau menjabat jadi kepala desa. Jadi beliau menerima turunan tradisi dan tanggung jawab ini dari kepala desa sebelumnya. Pak. Sufuk sudah menjabat kepala desa selama dua pereode, pereode 1 tahun 2003-2008 dan pereode 2 tahun 2008-2013. Dalam hal pemutusan jumlah mahar kepala desa berperan penting didalamnya, karena calon mempelai perempuan yang akan menikah ketika nantinya akan menerima lamaran akan mengundang beliau untuk hadir didalamnya dan yang akan menyampaikan permintaan yang sudah sebelumnya dirembuk
1