• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERSEPSI PANGGILAN UMMI KEPADA ISTERI SEBAGAI ZIHAR DALAM KAJIAN SITUS MEDIA SOSIAL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERSEPSI PANGGILAN UMMI KEPADA ISTERI SEBAGAI ZIHAR DALAM KAJIAN SITUS MEDIA SOSIAL."

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERSEPSI

PANGGILAN

“UMMI<”

KEPADA ISTERI SEBAGAI Z{IHA<R

DALAM KAJIAN SITUS MEDIA SOSIAL

SKRIPSI

Oleh Nurul Hidayah NIM. C01212047

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Ahwalus Syakhsiyah Prodi Hukum Perdata Islam Surabaya

(2)
(3)
(4)

   

(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap Persepsi Panggilan ‘Ummi>’ Kepada Isteri Sebagai Z}iha>r Dalam Kajian Situs Media Sosial” ini merupakan hasil penelitian pustaka yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana persepsi panggilan “ummi>” kepada isteri sebagai z}iha>r dalam kajian situs media sosial dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap persepsi panggilan “ummi>” kepada isteri sebagai z}iha>r dalam kajian situs media sosial.

Data penelitian dihimpun dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi dokumentasi. Selanjutnya data yang telah dihimpun dianalisis dengan metode deskriptif analitis yaitu suatu metode yang memaparkan dan menggambarkan data yang telah terkumpul dengan menggunakan pola pikir induktif.

Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa di dalam beberapa situs media sosial, yang berupa berita online, forum online, jejaring sosial facebook, dan tulisan blog terdapat tulisan yang menuliskan bahwa panggilan “ummi>” yang biasanya digunakan oleh seorang suami kepada isterinya adalah panggilan yang bisa berakibat fatal dan diharamkan. Akibat fatal tersebut dikarenakan panggilan “ummi>” adalah panggilan yang mengandung unsur dan atau merujuk pada kata-kata yang bermakna z}iha>r. Hal ini dikarenakan kata “ummi>” sendiri memiliki penekanan makna “ibuku atau ibu saya”. Tulisan dalam situs-situs tersebut didasarkan atas pendapat ulama dari kalangan madhhab Hambali yang mengemukakan bahwa memanggil isteri dengan sebutan “ummi>” adalah sesuatu yang dibenci oleh Rasulullah berdasarkan hadith yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Namun setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata hadith tersebut adalah hadith d}a’i>f sehingga tidak bisa dijadikan hujjah yang mutlak dalam menghukumi haram suatu hal. Sehingga, secara umum dapat disimpulkan bahwa dari beberapa pernyataan yang tertulis dalam situs-situs media sosial seperti berita online, forum online, jejaring sosial facebook, dan tulisan blog tersebut mengenai panggilan “ummi>” kepada isteri sebagai z}iha>r ini tidak sesuai dengan hukum Islam.

(7)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK... . v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Kajian Pustaka ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12

G. Definisi Operasional ... 13

H. Metode Penelitian ... 15

I. Sistematika Pembahasan ... 19

BAB II Z}IHA<R DALAM HUKUM ISLAM A. Z}iha>r dan Dasar Hukumnya ... 21

1. Pengertian Z}iha>r ... 21

a. Z}iha>r Secara Etimologi ... 21

b. Z}iha>r Secara Terminologi ... 22

2. Dasar Hukum Z}iha>r ... 24

a. Dasar Hukum Z}iha>r Menurut al-Quran ... 24

b. Dasar Hukum Z}iha>r Menurut Hadith ... 26

(8)

ix

B. Konsep Z>}iha>r Menurut Pendapat Ulama’ Fikih 4 (Empat)

Madhhab ... 31

1. Konsep Z}iha>r Menurut Ulama Madhhab Syafi’i ... 32

2. Konsep Z}iha>r Menurut Ulama Madhhab Maliki ... 33

3. Konsep Z}iha>r Menurut Ulama Madhhab Hanafi ... 34

4. Konsep Z}iha>r Menurut Ulama Madhhab Hambali ... 35

BAB III PERSEPSI PANGGILAN “UMMI<” KEPADA ISTERI SEBAGAI Z}IHA<R DALAM KAJIAN SITUS MEDIA SOSIAL A. Kajian Z}iha>r Dalam Berita Online ... 40

B. Kajian Z}iha>r Dalam Forum Online ... 43

C. Kajian Z}iha>r Dalam Jejaring Sosial Facebook ... 44

D. Kajian Z}iha>r Dalam Tulisan Blog ... 45

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERSEPSI PANGGILAN “UMMI<” KEPADA ISTERI SEBAGAI Z}IHA<R DALAM KAJIAN SITUS MEDIA SOSIAL A. Analisis Deskripsi Persepsi Panggilan “Ummi>” kepada Isteri sebagai Z}iha>r dalam Kajian Situs Media Sosial ... 48

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Persepsi Panggilan “Ummi>” kepada Isteri sebagai Z}iha>r dalam Kajian Situs Media Sosial ... 54

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 63

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di zaman yang modern ini, media sosial telah menjadi sarana atau

kebutuhan masyarakat yang tidak bisa disepelekan keberadaanya. Karena

melalui media sosial, masyarakat bisa melakukan segala hal, mulai dari

berjualan online, membaca berita sampai belajar berbagai ilmu yang

sekarang menjadi sangat mudah didapatkan dengan hanya mendownload

bahan atau kitab dan atau buku yang ingin didownload. Berbagai kemudahan

yang diberikan oleh media sosial ini mampu membius masyarakat yang pada

mulanya gaptek untuk kemudian memilih belajar menggunakan media

internet. Selain itu berbagai situs jejaring sosial juga memudahkan pengguna

untuk berbagi ide, saran, pandangan, aktivitas, informasi, acara, ajakan dan

ketertarikan di dalam jaringan individu masing-masing orang.1 Karena tidak

dapat dipungkiri juga, jika ada seseorang yang masih buta akan media

internet, maka persepsi masyarakat pun akan menganggap orang itu sebagai

orang yang kolot atau ketinggalan zaman.

Kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh media internet online ini

sangat memanjakan para penggunanya, diantaranya adalah bagi para penulis

blog atau sejenisnya dan juga situs-situs berita media online. Hal ini tentu

sangat menguntungan, karena tulisan-tulisan yang di dalamnya berisi

(10)

2

berbagai macam informasi tersebut bisa langsung dibaca hanya dengan

meng-klik situs media yang diinginkan, setelah itu akan langsung muncul isi

berita atau informasi yang diinginkan tersebut. Para pembaca tinggal

membaca informasi atau berita tersebut tanpa perlu repot untuk membeli

koran atau majalah. Sedangkan untuk para penulis berita maupun para

penulis blog, ada keuntungan sendiri juga. Hal ini di karenakan dalam sistem

jurnalisme online informasi-informasi yang diterima di lapangan bisa

langsung ditulis dan diupdate beritanya tanpa harus melalui proses yang

panjang seperti pada media-media surat kabar dan sejenisnya, selain itu user

media sosial pun bebas untuk menulis apapun informasi yang diterima,

mengedit seperti mengurangi dan menambahkan, menyebarkan, serta

memodifikasi baik tulisan, gambar, video, grafis, maupun berbagai bentuk

konten lain.2

Dalam hal ini, berita-berita maupun tulisan-tulisam online yang

tersebar di dunia maya kurang tersaring, dengan kata lain para penulis

kurang maksimal dalam mengedit berita dan terkadang juga hanya bermodal

copy-paste dari tulisan yang lebih dahulu update. Hal ini dikarenakan para

pengguna sosial media mempunyai hak kebebasan yang sangat luas dalam

meng-up load berbagai informasi. Namun di balik cepatnya mekanisme

publikasi media online ini, al-Quran memiliki pandangan sendiri yang

dijelaskan dalam surah al-H}ujura>t ayat 6 (enam) sebagai berikut:

(11)

3

          

  

   

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. al-H{ujura>t: 6).3

Ayat di atas menjelaskan bahwa untuk sekalian kaum mukminin

supaya berhati-hati dalam menerima berita, terutama jika bersumber dari

orang yang fasik.4 Ayat di atas merupakan salah satu dasar yang ditetapkan

agama Islam dalam kehidupan sosial sekaligus ia merupakan tuntunan yang

sangat logis bagi penerimaan dan pengamalan suatu berita. Kehidupan

manusia dan interaksinya haruslah didasarkan hal-hal yang diketahui dan

jelas. Manusia sendiri tidak dapat menjangkau seluruh informasi, karena itu

ia membutuhkan pihak lain. Pihak lain itu ada yang jujur dan memiliki

integritas sehingga hanya menyampaikan hal-hal yang benar, dan ada pula

sebaliknya. Karena itu pula berita harus disaring khawatir jangan sampai

seseorang melangkah tidak dengan jelas.5

Berangkat dari ayat di atas, maka sudah selayaknya kita sebagai

kaum yang beriman untuk meneliti dulu kebenaran suatu berita. Terutama

bagi masyarakat media sosial, berita atau informasi yang dibaca harus

benar-benar diteliti dulu darimana sumber berita berasal, hal itu guna menghindari

3Kementrian Agama RI, Al Quran Dan Tafsirnya, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 401. 4Ibid., 403.

(12)

4

taqli>d buta atau asal ikut-ikutan dan atau asal melakukan sesuatu hal tanpa

mengetahui terlebih dahulu sumber-sumbernya.

Mengenai berita di sosial media, baru-baru ini marak sekali

postingan-postingan mengenai larangan panggilan suami kepada isteri

dengan sebutan “ummi>”. Pertama kali membaca tulisan tersebut, saya

sebagai penulis juga sempat bertanya-tanya mengapa hal tersebut dilarang.

Hal ini juga yang mungkin dirasakan oleh masyarakat media sosial ketika

pertama kali membaca postingan tersebut. Banyak sekali

pertanyaan-pertanyaan yang pada intinya adalah, “Benarkah hal tersebut dilarang?

Kemudian adakah dalil nash maupun hadi>th yang dengan jelas melarang hal

tersebut dan mengapa hal tersebut dilarang?”.

Pertama kali, penulis melihat postingan berita tersebut di facebook.

Postingan tersebut berasal dari media dengan alamat

http://myquran.or.id/forum/archive/index.php/t-79643.html. Tidak lama setelah postingan tersebut dishare, ada banyak situs-situs media lain yang

menuliskan berita berisikan hal serupa, yang dishare juga di facebook.

Seperti dalam

https://saif1924.wordpress.com/2010/06//23/hukum-seputar-zhihar/,

http://kekandang.blogspot.com/2015/06/warning-memanggil-abi-dan-ummi-terhadap.html,

www.ummi-online.com/mengapa-sebaiknya-tidak-memanggil-ummi-abi-pada-pasangan.html, dan masih banyak lagi yang

lainnya. Dari postingan tersebut, banyak sekali komentar-komentar dari

masyarakat media sosial mengenai berita tersebut, yang paling banyak

(13)

5

mereka adalah mereka yang memanggil isteri mereka dengan sebutan

“ummi>”.

Dari beberapa situs yang telah disebutkan di atas dijelaskan bahwa

panggilan “ummi>” dilarang karena panggilan tersebut dikategorikan sebagai

z}iha>r. Hal itu dikarenakan panggilan-panggilan tersebut menyerupai

panggilan kepada mahra>m abadi (orang yang diharamkan untuk dinikahi

selamanya) dari suami isteri tersebut. Dalam kitab al-Mughni> juz 11

diterangkan bahwa:

َ و

َِهْي ل عَُمُر ََْن َُِِهُت رْمِاَُلُجَرلاَىَم سُيَْن اَُ رْكُي

َ,

َِهِمُا ك

َ,

َِهِتْخُأَْو أ

َ,

َِهِتِْبَْو أ

َ...

Artinya: “Dan dimakruhkan seorang suami memanggil isterinya dengan panggilan nama seseorang yang diharamkan atasnya, seperti ‘ibunya’, ‘saudarinya’ atau anaknya.”6

Selain itu dalam postingan-postingan tersebut juga dituliskan bahwa

panggilan tersebut bisa tidak hanya dibenci tapi juga bisa dihukumi haram

seperti halnya z}iha>r. Mereka yang menuliskan seperti itu juga di karenakan

Rasulullah tidak pernah menyebut isteri-isteri beliau dengan sebutan

“ummi>>”, melainkan dengan panggilan-panggilan khusus yang mesra seperti

ya> khumairah.

Z>}iha>r sendiri berarti ucapan seorang suami kepada isterinya: “Kamu

seperti punggung ibuku.”7 Z>}iha>r termasuk macam cerai zaman jahiliyah,

agama Islam mengubah hukumnya menjadi haram dan wajib membayar

kafarah serta tetap menjadi suami isteri. Dalam keadaan z}iha>r tidak boleh

6 Ibnu Qudamah, al-Mughni> Juz 11, (Riyadh: Da>r A>lim al-Kutub, 1997), 66.

(14)

6

melakukan senggama. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat

al-Muja>dalah ayat 2 (dua):

                          

Artinya: “Orang-orang yang men-z}iha>r isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (Q.S. al-Muja>dalah: 2).8

Dalam ayat ini, dengan tegas dijelaskan bahwa perbuatan

menyerupakan punggung isteri dengan punggung ibu adalah suatu perbuatan

yang munkar, yang dicela dan tidak patut, lagi dusta atau bohong. Dengan

demikian jelas pula bahwa perbuatan ini haram hukumnya menurut hukum

ilmu fikih. Oleh sebab itu maka tidaklah layak bagi seorang yang beriman

berbuat perbuatan jahiliyah itu.9

Ucapan seorang suami kepada isterinya yang mengatakan: “kamu

untukku seperti punggung ibuku.” Ucapan tersebut menunjukkan ungkapan

z}iha>r yang jelas. Termasuk dalam z}iha>r, menyerupakan dengan anak saudara

perempuan, para ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat termasuk

z}iha>r, dan sebagian yang lain tidak termasuk z}iha>r.10

Siapa yang men-z}iha>r isterinya dengan mengatakan: “Anti ‘alaiyya

kaz}ahri ummi>” (engkau atasku adalah laksana punggung ibuku), kemudian

8 Hamka, Tafsir al-Azha>r, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), 5. 9 Ibid., 12.

(15)

7

bermaksud hendak mencabut omongannya itu dan kembali kepada yang

dihalalkan Allah SWT terhadap isterinya, maka dia harus memerdekakan

seorang hamba sahaya sebelum isteri itu disentuh. Tetapi, bagi orang yang

tidak mendapatkan hamba sahaya, maka haruslah diganti dengan berpuasa

selama dua bulan berturut-turut. Namun, jika ia tidak kuat berpuasa, maka

harus diganti dengan memberi makan enam puluh orang miskin.11 Hal ini

dijelaskan dalam Q.S. al-Muja>dalah ayat 3 (tiga) dan 4 (empat) sebagai

berikut:                                                       

Artinya: “Orang-orang yang men-z{iha>r isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (Q.S. al-Muja>dalah: 3-4).12

Fuqaha>’ telah sependapat bahwa apabila seorang suami berkata

kepada isterinya, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku”, maka kata-kata

tersebut adalah z}iha>r. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang apabila

11Mu’ammal Hamidy, Tafsir Ahkam al-Shabuni 3, (Surabaya: Bina Ilmu, 1998), 157-158.

12

(16)

8

suami tersebut menyebutkan sesuatu anggota tubuh selain punggung, atau

menyebutkan orang-orang perempuan selain ibu yang selamanya haram

dikawini olehnya. Imam Malik berpendapat bahwa penyebutan kata-kata

tersebut adalah z}iha>r. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa z}iha>r hanya

terjadi dengan menyebutkan anggota tubuh yang haram dilihat. Silang

pendapat ini disebabkan oleh adanya pertentangan antara pengertian z}iha>r

dengan lahir kata-kata tentang z}iha>r. Demikian itu karena ibu maupun

orang-orang perempuan selain ibu yang haram dikawin itu sama dalam

pengertian keharaman, dan demikian pula punggung maupun

anggota-anggota tubuh lainnya.13

Berdasarkan pemaparan di atas, timbul suatu permasalahan mengenai

mengapa panggilan “ummi>” kepada isteri itu tidak diperbolehkan dan bisa

dikategorikan sebagai z}iha>r. Hal inilah yang kemudian mendorong peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian dan membahasnya melalui skripsi dengan

judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Persepsi Panggilan ‘Ummi>’ Kepada

Isteri Sebagai Z}iha>r Dalam Kajian Situs Media Sosial”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Latar belakang masalah yang telah disampaikan menunjukkan bahwa

terdapat beberapa masalah yang berhubungan dengan skripsi yang berjudul

“Analisis Hukum Islam Terhadap Persepsi Panggilan ‘Ummi>’ Kepada Isteri

Sebagai Z}iha>r Dalam Kajian Situs Media Sosial”, yaitu:

13

(17)

9

1. Kelebihan dan kekurangan berita dari situs media online.

2. Sikap seorang muslim dalam menerima suatu berita online.

3. Dasar hukum z}iha>r.

4. Pendapat ulama’ mengenai panggilan ummi> sebagai z}iha>r.

5. Kafarah dari penjatuhan kalimat z}iha>r.

6. Persepsi panggilan “ummi>” kepada isteri sebagai z}iha>r dalam kajian

situs media sosial.

Dari identifikasi masalah tersebut, peneliti membatasi masalah yaitu:

1. Persepsi panggilan “ummi>” kepada isteri sebagai z}iha>r dalam kajian

situs media sosial

2. Pendapat ulama’ mengenai panggilan ummi> sebagai z}iha>r.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada identifikasi masalah yang telah dipaparkan di atas

maka dapat dikemukakan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas

dalam penelitian ini. Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana deskripsi mengenai persepsi panggilan “ummi>” kepada isteri

sebagai z}iha>r dalam kajian situs media sosial?

2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap persepsi panggilan “ummi>”

(18)

10

D. Kajian Pustaka

Sepanjang pengetahuan peneliti, ditemukan beberapa penelitian yang

judulnya masih berhubungan dengan penelitian ini. Penelitian yang

dimaksud di antaranya adalah:

Pertama, thesis yang berjudul “Rekonstruksi Konsep Z>}iha>r

(Perspektif Madhhab Sunni)”, oleh Eka Suriansyah (UIN Sunan Kalijaga,

2010). Thesis ini menerangkan bahwa memepertimbangkan budaya ketika

ayat maupun hadi>th yang mengangkat isu z}iha>r, substansinya adalah

mengangkat harkat dan martabat kaum wanita dari kez}aliman pria di masa

itu atau dengan bahasa lain guna menghilangkan budaya kemungkaran

jahiliyah, penistaan pada ibu dan memperbaharui adat yang buruk. Perbedaan

budaya Indonesia heterogen dengan budaya Arab empat belas abad yang lalu,

menjadikan bentuk z}iha>r harus ala fikih Indonesia.14

Kedua, skripsi berjudul “Z>}iha>r Perspektif Mufassir Indonesia”, oleh

Sonia Dora (IAIN Walisongo Semarang, 2014). Dalam skripsi ini

menerangkan bahwa menurut mufassir Indonesia (Hasbi As-Shiddi>qi>,

Hamka, dan M.Quraish Shihab), z}iha>r merupakan suatu perkataan munkar

dan kebiasaan yang sangat ganjil dan buruk di zaman jahiliyah di tanah

Arab. Namun di sini M.Quraish Shihab lebih luas dalam memberikan

penafsiran mengenai z}iha>r, beliau menekankan keharaman menggauli

isterinya dengan menggunakan dua macam penekanan. Yang pertama

menjadikannya seperti ibunya dan kedua menggaulinya dari punggung atau

(19)

11

belakang, hal ini dilarang karena dapat mengakibatkan lahirnya anak yang

cacat. Karena kata z}iha>r menggunakan istilah z}ahr atau punggung yakni

bagian belakang isteri. Selain itu secara normatif z}iha>r bisa terjadi di

Indonesia, namun secara positif kasus z}iha>r belum pernah terjadi di

Indonesia. Karena melihat ketentuan talak dan cerai dalam

perundang-undangan hukum perkawinan di Indonesia jelas bahwa z}iha>r ini bukan

termasuk alasan perceraian. Kesimpulannya, talak cerai di Arab jahiliyah dan

di Indonesia berbeda.15

Ketiga, thesis yang berjudul “Status Hukum Z>}iha>r Kifarat Ditinjau

Dari Hukum Islam”, oleh Darmawansyah Putra (Fakultas Hukum UNIB,

2009). Dalam thesis ini dijelaskan bahwa secara normatif di dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara aturan tentang perkawinan diatur dalam

suatu bentuk kodifikasi hukum yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan. Namun di dalam ketentuan UndangUndang Perkawinan

menyatakan perkawinan sah apabila sesuai dengan ketentuan agama yang

dianut. Di dalam perkawinan seringkali terjadi perselisihan antara suami

isteri, dalam perselisihan ini suami kadangkala berucap hal-hal tidak baik,

yang dapat menyebabkan kefatalan dalam kehidupan berumah tangga di

antaranya ucapan atau kata-kata suami yang menyamakan isterinya dengan

ibunya, di dalam Islam kata-kata ini disebut dengan z}iha>r. Tujuan penelitian

(20)

12

ini adalah untuk mengetahui status dan akibat hukum z}iha>r kifarat ditinjau

dari hukum Islam.16

Penelitian ini mempunyai titik perbedaan mendasar dengan penelitian

sebelumnya. Titik perbedaan penelitian ini adalah pada fokus bahasan.

Pembahasan dalam penelitian ini membahas tentang persepsi masyarakat

media sosial mengenai panggilan “ummi>” kepada isteri sebagai z}iha>r, serta

analisisnya secara hukum Islam mengenai panggilan “ummi>” kepada isteri

tersebut.

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui deskripsi mengenai persepsi panggilan “ummi>”

kepada isteri sebagai z}iha>r dalam kajian situs media sosial.

2. Untuk mengetahui analisis hukum Islam terhadap persepsi panggilan

“ummi>” kepada isteri sebagai z}iha>r dalam kajian situs media sosial

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari tujuan diadakannya penelitian tadi, maka peneliti berharap agar

penelitian yang kami lakukan ini mempunyai manfaat. Adapun manfaat yang

kami harapkan adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, yaitu bisa dijadikan sumber diskusi dalam mengkaji

hukum mengenai z}iha>r. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan

(21)

13

informasi yang dikhususkan kepada penulis sendiri dan bagi pembaca

atau masyarakat luas pada umumnya, serta dapat dijadikan barometer

dalam penelitian lebih lanjut pada bidang yang sama.

2. Secara praktis (terapan), yakni dapat digunakan sebagai acuan atau

pijakan bagi masyarakat dan pembaca dalam memahami hukum

mengenai panggilan “ummi>” kepada isteri. Selain itu, diharapkan juga

agar pola pikir masyarakat bisa lebih terarah dan terbuka mengenai z}iha>r

dan bagaimana perkataan dari seorang suami bisa dijatuhi hukum z}iha>r.

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahan dalam memahami judul skripsi ini

yaitu “Analisis Hukum Islam Terhadap Persepsi Panggilan ‘Ummi>’ Kepada

Isteri Sebagai Z}iha>r Dalam Kajian Situs Media Sosial”, maka perlu kiranya

untuk memperjelas maksud dari judul tersebut dengan pengertian sebagai

berikut:

1. Hukum Islam

Pembahasan mengenai z}iha>r yang didasarkan pada al-Quran dan hadith

dan disertai juga dengan pandangan atau pendapat para 4 (imam) empat

imam madhhab, yang meliputi: Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam

Maliki dan Imam Hambali.

2. Persepsi

Pandangan para pembahas dalam kajian bebagai situs media sosial

(22)

14

3. Ummi>

Panggilan yang biasanya digunakan oleh seorang suami untuk

memanggil isterinya.

4. Sebagai Z}iha>r

Sebagai z}iha>r maksudnya adalah perkataan yang dikategorikan sama

atau yang bermakna sama dengan z}iha>r. Z}iha>r sendiri berasal dari kata

z{ahr yang artinya punggung. Maksudnya: Suami berkata kepada

isterinya: Engkau dengan aku seperti punggung ibuku.17 Kata-kata

tersebut tidak dilanjutkan dengan talak, boleh kembali tapi harus dengan

membayar kafarah. Z}iha>r termasuk macam cerai zaman jahiliyah.

Agama Islam mengubah hukumnya menjadi haram dan wajib membayar

kafarah serta tetap menjadi suami isteri.18

5. Kajian situs media sosial

Tulisan atau bahasan dan atau berita online dimana para penggunanya

bisa dengan mudah berpartisipasi, menyampaikan sikap atau pandangan

atau pendapat mengenai panggilan ummi> sebagai z}iha>r yang meliputi

tulisan blog, jejaring sosial, forum online, maupun berita online.

Berdasarkan definisi operasional di atas maka penelitian yang

berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap Persepsi Panggilan ‘Ummi>’

Kepada Isteri Sebagai Z}iha>r Dalam Kajian Situs Media Sosial” terbatas pada

pembahasan mengenai persepsi panggilan “ummi>” kepada isteri sebagai

(23)

15

z}iha>r dalam kajian media sosial yang nantinya akan dianalisa secara hukum

Islam.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang termasuk ke dalam

jenis penelitian kualitatif, hal ini dikarenakan data yang akan dianalisis

berupa data yang didapat dengan cara pendekatan kualitatif.19 Di samping

itu jika dilihat dari karakteristik masalah berdasarkan kategori

fungsionalnya, penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (Library

Research) yakni sumber data di peroleh melalui penelusuran kepustakaan.20

1. Data yang Dikumpulkan

Sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan, maka dalam

penelitian ini data yang akan dikumpulkan adalah tentang persepsi

penulis atau pembahas kajian dalam situs media sosial yang berpendapat

bahwa panggilan “ummi>” kepada isteri mempunyai akibat hukum dan

atau dihukumi sebagai z}iha>r . Beberapa situs media sosial tersebut

adalah sebagai berikut:

a. Persepsi panggilan “ummi>” sebagai z}iha>r dalam berita online.

b. Persepsi panggilan “ummi>” sebagai z}iha>r dalam forum online.

c. Persepsi panggilan “ummi>” sebagai z}iha>r dalam tulisan blog.

d. Persepsi panggilan “ummi>” sebagai z}iha>r dalam jejaring sosial

facebook.

(24)

16

2. Sumber Data

Data yang dihimpun dalam skripsi ini adalah bersumber dari:

a. Berita Online

1.

http://www.topikterhangat.com/2016/01/stop-mulai-hari-ini-jangan-pernah.html

2.

http://m.dailymoslem.com/inspiration/enlightment/hindari-menggunakan-panggilan-ummi-abi-pada-pasangan

3.

http://www.ummi-online.com/mengapa-sebaiknya-tidak-memanggil-ummi-abi-pada-pasangan.html

4. http://musmus.me/?s=panggilan+abi+ummi

b. Forum Online

http://myquran.or.id/forum/archive/index.php/t-79643.html

c. Jejaring Sosial (Facebook)

https://www.facebook.com/notes/detty-meriyanti/panggilan-

abang-adik-umi-abi-kepada-pasangan-suamiistri-adalah-zihar/10154883910750131

d. Tulisan Blog

1.

https://saif1924.wordpress.com/2010/06//23/hukum-seputar-zhihar/

2.

(25)

17

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, maka metode yang

penulis gunakan adalah dokumentasi. Studi dokumentasi adalah teknik

pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan pada subjek penelitian,

namun melalui dokumen.21 Dokumen yang dimaksud adalah

kajian-kajian yang ada dalam situs media online mengenai z}iha>r, dalam hal ini

penulis mengambil beberapa situs media online yakni, berita online yang

berjumlah 4 (empat) artikel, 1 (satu) artikel dari forum online dan

jejaring sosial facebook, dan terakhir 2 (dua) tulisan yang diambil dari

tulisan blog.

4. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data yang akan digunakan oleh peneliti dalam

penelitian ini adalah:22

a. Reduksi Data

Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan

mengorganisasi data dengan cara tertentu sehingga simpulan akhir

dapat ditarik.

b. Penyajian Data

Penyajian data adalah menampilkan informasi tersusun yang

memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

21 Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Cet I, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2002), 87.

(26)

18

pengambilan tindakan. Data-data yang telah tersusun kemudian

disajikan dalam bentuk analisis sehingga akan tergambar

permasalahan yang menjadi objek kajian.

c. Penarikan Simpulan

Teknik penarikan simpulan adalah langkah yang esensial dalam

proses penelitian. Penarikan simpulan ini didasarkan atas

pengorganisasian informasi yang diperoleh dalam analisis data.

5. Teknik analisis data

Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan,

dan dokumentasi.23 Dalam skripsi ini, analisis data akan diperoleh dari

hasil dokumentasi melalui media sosial seperti berita online, forum

online, jejaring sosial facebook, dan tulisan blog. Metode analisis data

yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Metode deskriptif konten analitis

Metode deksriptif konten analitis adalah metode analisis yang

dimaksudkan untuk menyelidiki keadaan, kondisi atau hal-hal lain

yang sudah disebutkan yang hasilnya dipaparkan dalam bentuk

laporan penelitian secara lugas, seperti apa adanya.24 Dalam hal ini

konten yang akan dianalisis adalah persepsi pembahas kajian dalam

(27)

19

situs media sosial mengenai panggilan “ummi>” kepada isteri sebagai

z}iha>r.

b. Pola pikir induktif

Pola pikir induktif yaitu metode yang diawali dengan

mengemukakan tentang beberapa isu z}iha>r yang berkenaan dengan

masalah panggilan “ummi>” kepada isteri sebagai z}iha>r yang ada

dalam kajian situs-situs media sosial untuk selanjutnya

disinkronkan dengan pendapat para ulama’ fikih 4 (empat) madhhab

yang kemudian akan ditarik kesimpulan yang bersifat umum.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah dan memahami apa yang ada dalam skripsi ini,

maka sitematikanya dapat dibagi menjadi lima bab, yang masing-masing bab

terdiri dari sub-sub yang satu sama lainnya saling berkaitan, sehingga

terperinci sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar

belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, kegunaan hasil

penelitian, definisi operasional, metode penelitian (meliputi data yang

dikumpulkan, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan

data dan teknik analisa data) dan sistematika pembahasan.

Pada bab kedua penulis melandasi konsep dan kerangka tentang z}iha>r

dalam hukum Islam, yang membahas pengertian z}iha>r, dasar hukum z}iha>r,

dan akibat hukum z}iha>r serta bagaimana pandangan atau pendapat ulama’

(28)

20

Pada bab ketiga penulis mendeskripsikan data penelitian mengenai

persepsi z}iha>r dalam kajian situs media sosial. Data yang dimaksud adalah

data berupa tulisan-tulisan online mengenai persepsi panggilan “ummi>”

kepada isteri sebagai z}iha>r, baik tulisan yang ada dalam berita online, forum

online, jejaring sosial facebook maupun blog.

Pada bab keempat penulis menganalisis dengan menggunakan hukum

Islam terhadap persepsi panggilan “ummi>” kepada isteri sebagai z}iha>r dalam

kajian situs media sosial. Bab ini mengemukakan tentang mengapa tidak

diperbolehkan menggunakan panggilan “ummi>” kepada isteri, untuk

kemudian disesuaikan dengan hukum Islam yang dalam hal ini adalah

pendapat para ulama fikih 4 (empat) madhhab.

Penulis akhiri dengan bab kelima sebagai penutup yang terdiri dari

(29)

BAB II

Z{IHA<R DALAM HUKUM ISLAM

A. Z{iha>r dan Dasar Hukumnya

1. Pengertian Z{iha>r

a. Z{iha>r Secara Etimologi

Z{iha>r berasal dari bahasa arab z{ahr yang berarti punggung.25

Dalam kitab Fathul Ba>ri> dikatakan, khusus disebut punggung saja dan

bukan anggota badan lainnya, karena umumnya punggunglah tempat

tunggangan, lalu perempuan kemudian diserupakan dengan punggung

sebab ia jadi tunggangan laki-laki.26

Di dalam z{iha>r, memakai kata-kata atau kalimat ibarat. Ibarat

ini erat kaitannya dengan masyarakat Arab. Dalam artian, dahulu

apabila masyarakat Arab marah kepada isterinya, maka dia akan

mengucapkan “anti ‘alayya kaz{ahri ummi>”. Apabila hal tersebut

diucapkan oleh suami kepada isteri, maka berarti suami tersebut tidak

akan menggauli isterinya. Menurut hukum Islam apabila suami telah

menz{iha>r isterinya, maka ucapan z{iha>r tersebut dapat menyebabkan

terjadinya perceraian apabila suami tidak sanggup membayar kafarah

sesuai yang telah ditentukan Allah SWT dalam al-Quran.

25

M. Quraish Sihab, Tafsir al-Mishba>h, (Tangerang: Lentera Hati, 2002), 63. 26

(30)

22

b. Z{iha>r Secara Terminologi

Z{iha>r di zaman Jahiliyah berarti talak. Namun ketika Islam

datang, hukum z}iha>r yang berarti talak tersebut dihapus, dan

menggantikan z}iha>r ini sebagai penyebab haramnya seorang isteri bagi

suaminya, namun tidak menetapkan sebagai talak sebagaimana yang

berlaku di zaman Jahiliyah sehingga suaminya hanya diwajibkan untuk

membayar kafarah terlebih dahulu ketika ingin menggauli isterinya

kembali.27

Dalam keterangan lain juga dijelaskan bahwa z{iha>r adalah

suatu ungkapan suami yang menyatakan kepada isterinya, “Bagiku

kamu seperti punggung ibuku”, ketika ia hendak mengharamkan

isterinya itu bagi dirinya.28 Karenanya diwajibkan bagi suami tersebut

sebelum mencampuri isterinya lagi untuk membayar kafarah yaitu

memerdekakan budak. Jika tidak bisa mendapatkan budak, maka ia

harus memberikan makan kepada enam puuh orang miskin dan jika ia

tidak mampu pula, maka dalam hal ini ia harus berpuasa selama dua

bulan berturut-turut.

27Mu’ammal Hamidy, et al., Tafsir Ahkam al-Shabuni 3..., 165.

28Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita (Edisi Lengkap), (Jakarta Timur: Pustaka

(31)

23

Imam Syafi’i rahimahulla>h berkata, “Z}iha>r itu ialah ucapan

seseorang laki-laki kepada isterinya: anti ‘alayya kaz{ahri ummi>.”29

Melakukan z{iha>r terhadap isteri ialah menyamakan kedudukan isteri itu

dengan kedudukan mahram seperti ibu, dengan maksud hendak

membuang isteri, dan perkataan yang biasa dipakai ialah

menyamakannya dengan punggung ibunya. Pada zaman jahiliyyah cara

tersebut adalah cara untuk menceraikan isteri.

Ibnu Manshur mengatakan: Orang Arab di zaman jahiliyyah

biasa mempergunakan kalimat “anti ‘alayya kaz{ahri ummi>” untuk

mencerai isteri. Adapun tekanannya pada “z{ahr” (punggung) bukan

bat{n (perut), fakhidzun (paha) dan farj (kemaluan). Hal itu dikarenakan

punggung itu tempat untuk dinaiki. Sedang perempuan adalah juga

dinaiki apabila sedang bergumul dengan suami.30

Sementara Imam Fakhrur Razi mengatakan: Z{iha>r itu bukan

berasal dari kata z{ahrun (punggung) yang merupakan salah satu

anggota tubuh manusia, karena punggung di sini tidak lebih penting

untuk disebut dalam kasus ini daripada anggotanya yang lain yang juga

tempat kemaluan dan tempat merasakan nikmat, tetapi “z{ahr” atau

29 Imam Syafi’i. RA, Al-Umm (Kitab Induk) IX, Terjemahan Ismail Yakub, (Jakarta Selatan,

Cilandak: CV. Faizan, 1985), Cet. I, 47.

(32)

24

“z{iha>r” di sini berarti tinggi, seperti dalam firman Allah SWT Q.S

al-Kahfi ayat 87:

           

Artinya: “Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya.” (Q.S. al-Kahfi: 87).31

Ayat di atas menerangkan bahwa setiap orang yang

mengungguli atau menaiki sesuatu itu disebut z{ahara. Karena itu

kendaraan yang dinaiki disebut z{ahran (punggung atau diatasi) karena

si penunggangnya itu berada di atasnya. Begitu juga halnya seorang

isteri adalah punggung suami, karena suaminya itu berada di atasnya

sebagai pemilik alat kelamin. Jadi, seolah-olah perempuan itu adalah

kendaraan yang dinaiki.32

2. Dasar Hukum Z{iha>r

a. Dasar Hukum Z{iha>r Menurut al-Quran

Dalam al-Quran telah ada penjelasan yang sudah sangat jelas

sekali mengenai z{iha>r. Dalam al-Quran Surat al-Muja>dalah ayat 2 (dua)

tertulis:                                            31

Usman el-Qurtuby, Al-Quran Cordoba Special For Muslimah, (Bandung: PT. Cordoba Internasional Indonesia, 2012), 542.

(33)

25

Artinya: “Orang-orang yang menz}iha>r isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (Q.S. al-Muja>dalah: 2).33

Selanjutnya, dalam surat yang sama, yakni surat al-Muja>dalah

ayat 3 (tiga) dan 4 (empat) juga dijelaskan tentang bagaimana hukum

dari seseorang yang menjatuhkan z{iha>r kepada isterinya. Dalam ayat ini

juga dijelaskan apa saja kafarah yang harus dilakukan dari penjatuhan

z{iha>r oleh suami jika suami ingin kembali lagi untuk menggauli

isterinya.                                                                                      

Artinya: “Orang-orang yang menz{iha>r isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya)

(34)

26

memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (Q.S. al-Muja>dalah: 3-4).34

b. Dasar Hukum Z{iha>r Menurut Hadith

Z{iha>r berawal dari kisah Aus bin Ash-Shamit yang menz{iha>r

isterinya Khuwailah binti Malik bin Tsa’labah. Yang kemudian oleh

Khuwailah peristiwa z{iha>r yang dilakukan oleh suaminya tersebut

diadukan kepada Rasulullah SAW. Dia berkata, “Wahai Rasulullah,

sesungguhnya Aus bin Ash-Shamit menikahiku selagi aku masih remaja

putri yang layak untuk dicintai. Tapi setelah gigi-gigiku copot dan

perutku mengendor dia menyamakan diriku dengan ibunya.”35 Namun

pada saat itu Rasulullah SAW tidak bisa memutuskan pengaduan

tersebut, dan kemudian Khuwailah pun mengadu kepada Allah SWT.

Setelah itu turunlah surat al-Muja>dalah ayat 1 (satu):

                                 

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah mendengar Perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. al-Muja>dalah: 1).36

34 Ibid., 542.

35 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Za>dul Ma’ad, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2007), 405. 36

(35)

27

Redaksi hadith di atas secara lengkapnya adalah sebagai berikut:

ْنَع َقَحْسِإ ِنْب ِدمَُُ ْنَع َسيِرْدِإ ُنْبا اََ ثدَح َمَدآ ُنْب ََََْ اََ ثدَح ٍيِلَع ُنْب ُنَسَْْا اََ ثدَح

للا ِدْبَع ِنْب َفُسوُي ْنَع َةَلَظَْح ِنْب ِهللا ِدْبَع ِنْب ِرَمْعَم

ِكِلاَم ِتِْب َةَلْ يَوُخ ْنَع م َََس ِنْب ِه

ْتَلاَق َةَبَلْعَ ث ِنْب

ِهْيَلَع ُهللا ىلَص ِهللا َلوُسَر ُتْئِجَف ِتِماصلا ُنْب ُسْوَأ يِجْوَز ِِِم َرَاَظ

ُِِلِداَُُ َملَسَو ِهْيَلَع ُهللا ىلَص ِهللا ُلوُسَرَو ِهْيَلِإ وُكْشَأ َملَسَو

ُنْبا ُهنِإَف َهللا يِقتا ُلوُقَ يَو ِهيِف

ُنآْرُقْلا َلَزَ ن تَح ُتْحِرَب اَمَف ِكِمَع

{

اَه ِجْوَز ِِ َكُلِداَُُ ِِلا َلْوَ ق ُهللا َعَِْ ْدَق

}

ََِإ

َتَتُم ِنْيَرْهَش ُموُصَيَ ف َلاَق ُدَُِ َِ ْتَلاَق ًةَبَ قَر ُقِتْعُ ي َلاَقَ ف ِضْرَفْلا

ِهللا َلوُسَر اَي ْتَلاَق َِْْعِبا

ءْيَش ْنِم َُدِْع اَم ْتَلاَق اًيِكْسِم َِْتِس ْمِعْطُيْلَ ف َلاَق ماَيِص ْنِم ِهِب اَم ِْبَك خْيَش ُهنِإ

ِِّإَف ِهللا َلوُسَر اَي ُتْلُ ق رََْ ْنِم قَرَعِب ذِئَتَعاَس َ ُِِأَف ْتَلاَق ِهِب ُقدَصَتَ ي

َرَخآ قَرَعِب ُهُيِعُأ

ِكِمَع ِنْبا ََِإ يِع ِجْراَو اًيِكْسِم َِْتِس ُهَْع اَِِ يِمِعْطَأَف َِِْذا ِتَْسْحَأ ْدَق َلاَق

َلاَق

اًعاَص َنوتِس ُقَرَعْلاَو

(36)

28

kemudian pada saat itu ia diberi satu 'araq kurma. Aku katakan; wahai Rasulullah, aku akan membantunya dengan satu 'araq yang lainnya. Berkata Nabi saw, ‘Engkau telah melakukan suatu kebajikan. Pergilah, dan beri makanlah atas namanya enam puluh orang miskin’.” (H.R. Abu Dawud: 2214).37

Selain hadith di atas, terdapat juga hadith yang diriwayatkan

dari Salamah bin Shakhr r.a., bahwasanya dia berkata:

اََ ثدَح

ُناَمْثُع

ُنْب

ِبَأ

َةَبْيَش

ُدمََُُو

ُنْب

ِء َََعْلا

َنْعَمْلا

َِاَق

اََ ثدَح

ُنْبا

َسيِرْدِإ

ْنَع

ِدمَُُ

ِنْب

َقَحْسِإ

ْنَع

ِدمَُُ

ِنْب

وِرْمَع

ِنْب

ءاَطَع

َلاَق

ُنْبا

ِء َََعْلا

ِنْبا

َةَمَقْلَع

ِنْب

شايَع

ْنَع

َناَمْيَلُس

ْب ِن

راَسَي

ْنَع

َةَمَلَس

ِنْب

رْخَص

َلاَق

ُنْبا

ِء َََعْلا

يِضاَيَ بْلا

َلاَق

ُتُْك

ًأَرْما

ُبيِصُأ

ْنِم

ِءاَسِلا

اَم

َِ

ُبيِصُي

يَِْْغ

امَلَ ف

َلَخَد

ُرْهَش

َناَضَمَر

ُتْفِخ

ْنَأ

َبيِصُأ

ْنِم

َِِأَرْما

اًئْيَش

ُعَباَتُ ي

ِب

تَح

َحِبْصُأ

اَظَف

ُتْرَ

اَهْ ِم

تَح

َخِلَسَْ ي

ُرْهَش

َناَضَمَر

اَْ يَ بَ ف

َيِ

ُِِمُدََْ

َتاَذ

ةَلْ يَل

ْذِإ

َفشَكَت

ِِ

اَهْ ِم

ءْيَش

ْمَلَ ف

ْثَبْلَأ

ْنَأ

ُتْوَزَ ن

اَهْ يَلَع

امَلَ ف

ُتْحَبْصَأ

ُتْجَرَخ

ََِإ

يِمْوَ ق

ْمُهُ تْرَ بْخَأَف

َرَ بَْْا

ُتْلُ قَو

اوُشْما

ِعَم

ي

ََِإ

ِلوُسَر

ِهللا

ىلَص

ُهللا

ِهْيَلَع

َملَسَو

اوُلاَق

َِ

ِهللاَو

ُتْقَلَطْناَف

ََِإ

ِِِ لا

ىلَص

ُهللا

ِهْيَلَع

َملَسَو

ُهُتْرَ بْخَأَف

َلاَقَ ف

َتْنَأ

َكاَذِب

اَي

ُةَمَلَس

ُتْلُ ق

اَنَأ

َكاَذِب

اَي

َلوُسَر

ِهللا

َِْْ ترَم

َنَأَوا

رِباَص

ِرْمَِِ

ِهللا

ْمُكْحاَف

ِِ

اَم

َكاَرَأ

ُهللا

َلاَق

ْرِرَح

ًةَبَ قَر

ُتْلُ ق

يِذلاَو

َكَثَعَ ب

ِقَْْاِب

اَم

ُكِلْمَأ

ًةَبَ قَر

اََرْ يَغ

ُتْبَرَضَو

َةَحْفَص

َِِبَ قَر

َلاَق

ْمُصَف

ِنْيَرْهَش

َِْْعِباَتَتُم

َلاَق

ْلََو

ُتْبَصَأ

يِذلا

َأ

ُتْبَص

ِِإ

ْنِم

ِماَيِصلا

َلاَق

ْمِعْطَأَف

اًقْسَو

ْنِم

رََْ

ََْْ ب

َِْتِس

اًيِكْسِم

ُتْلُ ق

يِذلاَو

َكَثَعَ ب

ِقَْْاِب

ْدَقَل

اَْ تِب

َِْْشْحَو

اَم

اََل

ماَعَط

َلاَق

ْقِلَطْناَف

ََِإ

ِبِحاَص

ِةَقَدَص

َِِب

قْيَرُز

اَهْعَ فْدَيْلَ ف

َكْيَلِإ

ْمِعْطَأَف

َِْتِس

اًيِكْسِم

اًقْسَو

ْنِم

رََْ

ْلُكَو

َتْنَأ

َكُلاَيِعَو

اَهَ تيِقَب

ُتْعَجَرَ ف

ََِإ

يِمْوَ ق

ُتْلُقَ ف

ُتْدَجَو

ْمُكَدِْع

َقيِضلا

َءوُسَو

ِيْأرلا

(37)

29

ُتْدَجَوَو

َدِْع

ِِِ لا

ىلَص

ُهللا

ِهْيَلَع

َملَسَو

َةَعسلا

َنْسُحَو

لا

ِيْأر

ْدَقَو

َِّرَمَأ

ْوَأ

َرَمَأ

ِِ

ْمُكِتَقَدَصِب

َداَز

ُنْبا

ِء َََعْلا

َلاَق

ُنْبا

َسيِرْدِإ

ُةَضاَيَ ب

نْطَب

ْنِم

َِِب

قْيَرُز

.

(38)

30

kembali kepada kaumku dan berkata, ‘Aku dapatkan di sisi kalian kesempitan serta pendapat yang buruk, dan aku dapatkan di sisi Rasulullah saw kelapangan dan pendapat yang baik, beliau telah memerintahkan agar aku diberi shadaqah kalian’.” (H.R. Abu Dawud: 2213).38

3. Akibat Hukum Z}iha>r

Seperti yang telah dibahas di atas, z{iha>r memiliki pengertian

perkataan suami yang menyamakan seorang isteri dengan ibunya, seperti

kalimat “anti ‘alayya kaz{ahri ummi>” yang artinya dari kamu bagiku adalah

seperti punggung ibuku. Pada masa Jahiliyah dulu, z{iha>r digunakan oleh

orang-orang Arab untuk menceraikan isterinya, namun kemudian hukum itu

dirubah oleh Islam.

Ketika Islam datang ucapan z{iha>r tidak lagi membuat seorang

perempuan dicerai, namun hanya haram untuk digauli saja. Z}iha>r yang telah

memenuhi rukun dan syarat, mempunyai akibat hukum sebagai berikut:39

a. Suami tidak boleh menggauli isterinya sebelum membayar kafarat,

bahkan menurut jumhur ulama (selain madhhab Syafi’i) termasuk

diharamkan mencium, merayu, dan memandang isterinya dengan nafsu.

Akan tetapi menurut ulama madhhab Syafi’i, yang diharamkan

38 Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani, et al., Sunan Abi Dawud…, 1386.

(39)

31

hanyalah hubungan seksual saja. Tidak termasuk mencium, memeluk,

dan lain sebagainya.

b. Isteri berhak menuntut untuk digauli dan berhak juga menolak untuk

digauli suaminya sampai kafarat telah dibayar oleh suaminya. Di

samping itu, hakim berhak memaksa suami untuk membayar kafaratnya

atau menceraikan isterinya. Apabila suami menceraikan isteri yang ia

z{iha>r, sedangkan kafarat z{iha>rnya belum dibayar oleh suami, dan

kemudian ia ingin merujuk isterinya, maka ia wajib membayar kafart

z{iha>r sebelum menggauli. Dalam keterangan lain, dijelaskan bahwa

seorang suami setelah menz{iha>r isterinya, ia diberi waktu tempo oleh

pihak yang berwajib selama 4 (empat) bulan untuk berfikir, seperti

dalam kasus ila>’. Jika dalam waktu tempo tersebut ia tidak menebus

kesalahannya, maka pernyataan z{iha>rnya itu bisa mengakibatkan

perceraian yang tak bisa dirujuk.40

B. Konsep Z{iha>r Menurut Pendapat Ulama’ Fikih 4 (empat) Madhhab

Pembahasan tentang z{iha>r tentunya tidak luput dari perbedaan

pendapat dari para ulama’ fikih. Hal itu dikarenakan cara pandang tiap ulama’

untuk menafsirkan suatu ayat al-Quran atau hadith adalah melalui sudut

pandang yang berbeda. Jumhur Ulama’ berpendapat z{iha>r khusus dengan ucapan

(40)

32

ibu, seperti yang tersebut dalam al-Quran dan Sunnah, dalam arti andaikata

suami berkata kepada isterinya, “Engkau denganku seperti punggung ibuku”,

maka ini namanya z{iha>r. Tetapi kalau ia berkata, “Engkau denganku seperti

punggung saudara perempuanku, maka ini bukanlah z{iha>r. Namun sebagian

ulama’ dari golongan Hanafi, Auza’i, Tsauri, Syafi’i dalam satu qaul nya

berpendapat bahwa dapat dikiaskan dengan ibu semua perempuan yang jadi

mahram seorang suami. Karena menurut mereka ini bahwa z{iha>r berarti seorang

suami menyamakan isterinya dengan mahramya sedang mahram itu haram

selamanya untuk dikawini.41 Oleh karenanya, di bawah ini akan dijelaskan lebih

lanjut tentang perbedaan pendapat ulama’ mengenai z{iha>r.

1. Konsep Z}iha>r Menurut Ulama Madhhab Hanafi

Ulama Madhhab Hanafi mendefinisikan z{iha>r dengan ungkapan

seorang suami kepada isterinya yang menyerupakan isterinya dengan

wanita yang haram dinikahinya untuk selamanya, seperti ungkapan, “Bagi

saya kamu sama dengan punggung ibuku atau saudara perempuanku.” Dari

definisi ini, ulama madhhab Hanafi mengatakan, jika yang disamakan itu

adalah anggota tubuh orang yang haram dinikahi untuk sementara waktu

(bukan untuk selamanya), seperti saudara perempuan isteri atau bibinya,

(41)

33

maka hal itu tidak termasuk z{iha>r, karena bibi atau saudara perempuan

boleh dinikahi apabila isteri tersebut sudah meninggal atau dicerai.42

Imam Abu Hanifah juga berpendapat bahwa z}iha>r hanya terjadi

dengan menyebutkan anggota tubuh yang haram untuk dilihat.43 Jadi, jika

penyamaan yang diucapkan oleh seorang suami kepada isterinya

menggunakan anggota tubuh (dalam hal ini anggota tubuh perempuan)

selain yang diharamkan untuk dilihatkan seperti mata, telapak tangan, maka

perkataan yang diucapkan suami tersebut tidaklah dijatuhi hukum z}iha>r.

2. Konsep Z}iha>r Menurut Ulama Madhhab Maliki

Ulama Malikiyah mendefinisikan z{iha>r dengan ungkapan seorang

lelaki muslim (mukallaf) yang menyerupakan isterinya dengan wanita yang

haram dinikahi. Menyamakan isteri dengan ibu, tanpa menyebutkan bagian

anggota tubuh tertentu termasuk z{iha>r bagi mereka, contoh: “Kamu ini

seperti ibuku.” Demikian juga apabila yang disamakan itu bagian anggota

tubuh orang yang haram dinikahi dengan anggota tubuh isteri, seperti

ungkapan, “tangan, punggung, paha, dan kakimu”.44

Imam Malik juga berpendapat bahwa jika seorang suami

menyamakan isterinya dengan menyebutkan orang-orang perempuan selain

ibu yang selamanya haram untuk dinikahi oleh suami tersebut, maka hal itu

(42)

34

juga akan dijatuhi hukum sebagaimana hukum z{iha>r yang menyamakan

isteri dengan ibunya.45

3. Konsep Z}iha>r Menurut Ulama Madhhab Syafi’iyah

Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang hampir sama

mengenai z}iha>r dengan madhhab Hanafi. Yakni, menyamakan isteri dengan

wanita yang haram dinikahi untuk selamanya, baik dari jalur nasab, seperti

ibu dan saudara perempuan, maupun dari jalur susuan, seperti ibu dan

saudara perempuan sepersusuan.46 Asy-Syafi’i menjelaskan sebagai berikut:

“Kalau seorang laki-laki berkata kepada isterinya: ‘Engkau atasku

adalah seperti punggung saudara perempuanku’, atau seperti

punggung wanita yang diharamkan menikah dengannya dengan

sebab nasab atau rad}a’ (susuan), yang demikian itu (menyamakan

isterinya dengan wanita yang diharamkan dinikahi) adalah

bertempat pada tempat ibu kandung (sama hukumnya). Adapun

rahim (yang haram karena nasab) maka yang diharamkan atasnya

dari ibunya haram pula atasnya dari wanita itu.”47

Selain itu, menurut Imam Syafi’i kalau seorang laki-laki berkata

kepada isterinya, “Kemaluanmu atau kepalamu atau badanmu atau

punggungmu atau kulitmu atau tanganmu atau kakimu atasku seperti

(43)

35

punggung ibuku, atau seperti badan ibuku, atau seperti tangannya atau

seperti kakinya”, adalah ini disebut z}iha>r. Karena berenak-enakan dengan

setiap anggota tubuh ibunya adalah diharamkan atasnya seperti

berenak-enakan dengan punggungnya.48

4. Konsep Z}iha>r Menurut Ulama Madhhab Hambali

Sama seperti konsep z}iha>r menurut madhhab Hanafi dan madhhab

Syafi’i, konsep z}iha>r menurut madhhab Hambali juga menyamakan isteri

dengan wanita yang haram dinikahi untuk selamanya, baik dari jalur nasab,

seperti ibu dan saudara perempuan, maupun dari jalur susuan, seperti ibu

dan saudara perempuan sepersusuan.49

Selanjutnya, dalam salah satu pendapat ulama dari kalangan

madhhab Hambali, beliau menuliskan dalam kitabnya mengenai z{iha>r yang

dalam pembahasannya nanti menyebutkan bahwa akan jatuh hukum makruh

atau dibenci panggilan suami kepada isterinya dengan sebutan “ummi>, ukhti>

dan binti>”. Pemakruhan ini disebabkan karena panggilan-panggilan tersebut

menyerupai panggilan kepada seseorang yang diharamkan untuk dinikahi

oleh suami tersebut. Kutipan tulisan dalam kitab yang dtulis oleh salah

satu ulama kalangan madhhab Hambali tersebut adalah seperti yang tertulis

di bawah ini:

48 Ibid., 47. 49

(44)

36

ِهْيَلَع ُمُر ََ ْنَِِ ُهُتَرْمِا ُلُجرلا ىمَسُي ْنَا َُرْكُيَو

,

ِهِمُاَك

,

ِهِتْخُأ ْوَأ

,

ِهِتِْب ْوَأ

...

Artinya: “Dan dimakruhkan seorang suami memanggil isterinya dengan panggilan nama dari seseorang yang diharamkan atasnya, seperti ‘ibunya’, ‘saudarinya’ atau anaknya.”50

Selain tulisan tersebut, dalam kitab lain yang juga masih ditulis

oleh salah satu ulama kalangan madhhab Hambali, disebutkan pula kutipan

yang isinya hampir serupa dengan tulisan kitab di atas. Isi kutipan tulisan

dari kitab yang lain tersebut adalah seperti yang akan dipaparkan di bawah

ini:

َا

ِهِمَراَُُ ِمْسِاب ِهِتَجْوَز يِداَُ ي ْنَأ ِلُجَرلِل َُرْكُي ُهن

,

ُلْوُقَ ي َََف

:

ِتْخُأ اَي

,

ىِمُأ اَي

,

ِتِْب اَي

,

اَمَو

َكِلَذ ُهُبْشَأ

....

Artinya: “Sesungguhnya dibenci seorang laki-laki yang memanggil isterinya dengan nama mahramnya (orang yang haram untuk dinikahi), maka janganlah berkata kepada isteri: ‘wahai saudariku’,’wahai ibuku’, ‘wahai anakku’, dan apa-apa yang serupa dengan panggilan tersebut.”51

Dari beberapa pendapat ulama di atas, dapat diambil garis besarnya

bahwa menurut jumhur ulama, z{iha<r memiliki banyak lafaz{ yang berbeda,

termasuk diantaranya adalah jika seorang suami berkata kepada isterinya,

“Engkau bagiku seperti punggung ibuku atau saudara perempuanku atau seperti

punggung anakku atau seperti punggung saudara sesusuanku.” Penyerupaan

50

Ibnu Qudamah, et al., al- Mughni> Juz 11..., 66.

(45)

37

isteri dengan mahram selain ibu itu menjadi z{iha<r sekalipun penyerupaannya

dengan mahram sepersusuan. Dalil mereka adalah qiyas, sesungguhnya ilatnya

adalah pengharaman yang abadi, dan pengharaman yang abadi itu hanya ada

pada mahram seperti ibu itu.52

Selain itu, menurut pendapat mayoritas ulama, apabila seorang suami

menyamakan isteri dengan anggota bagian tubuh wanita (selain punggung) yang

haram dinikahi untuk selamanya, seperti jika seorang suami berkata kepada

isterinya, “Engkau bagiku seperti perut atau tangan ibuku.”53 maka hal itu juga

menjadikan jatuhnya z}iha>r kepada isteri. Akan tetapi yang jelas bahwa nash

al-Quran itu hanya menyebutkan ibu dan punggung. Apa saja yang disebutkan

berupa penyamaan ibu dengan selainnya itu dan atau dengan anggota tubuh

selain punggung itu hanya berdasarkan qiyas dan dengan memperhatikan

maknanya saja.54

52 As-Shan’ani, Subu>l al-Salam III, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), 671.

53 Muhammad Ustman Al- Khasyt, Kitab Fikih Empat Wanita 4 Mazhab untuk Seluruh Muslimah, (Jakarta: Kunci Iman, 2014), Cet. I, 404-405.

54

(46)

38 BAB III

PERSEPSI PANGGILAN “UMMI<” KEPADA ISTERI SEBAGAI Z{IH<AR DALAM KAJIAN SITUS MEDIA SOSIAL

Berita tentang z{{iha>r akhir-akhir ini menjadi isu yang hangat untuk

diperdebatkan. Hal ini dikarenakan adanya persepsi atau pandangan sebagian

masyarakat mengenai panggilan suami kepada isteri yang sudah familiar

digunakan dalam masyarakat kita bisa dijatuhi hukum z{iha>r. Panggilan yang

dimaksudkan dalam hal ini adalah panggilan suami kepada isteri dengan sebutan

“ummi>”.

Perbincangan seputar panggilan “ummi>” sebagai z{iha>r ini ramai sekali

diperbincangkan dalam situs-situs media sosial. Banyak komentar-komentar

yang pro dan kontra mengenai pemberitaan seputar z{iha>r ini. Karena sangat tidak

bisa dipungkiri bahwa panggilan “ummi>” sudah mendarah daging dalam

masyarakat kita, dalam artian panggilan tersebut adalah panggilan yang umum

digunakan suami untuk memanggil isterinya.

Isu tentang panggilan “ummi>” sebagai z{iha>r ini muncul dikarenakan

ada salah satu pendapat dari kalangan ulama’ Hambali yang memakruhkan

seorang suami menggunakan panggilan “ummi>” kepada isterinya. Hal ini

dikarenakan panggilan tersebut menyerupai panggilan kepada mahram yang tidak

boleh untuk dinikahi. Sehingga seolah-olah jika suami memanggil isterinya

dengan sebutan “ummi>” maka suami tersebut sama saja dengan menyamakan

(47)

39

“kamu atasku adalah seperti punggung ibuku” atau dengan kata lain disebut

dengan z{iha>r.

Pemberitaan dalam situs-situs media sosial yang mengenai z{iha>r ini

dikemas sangat bagus, berita atau artikel yang ditulis tidak asal berfatwa, mereka

yang menuliskan berita juga menuliskan sumber hukum mengapa panggilan

“ummi” kepada isteri sebaiknya tidak digunakan. Sebagian besar masyarakat kita

yang sudah familiar dengan panggilan “ummi>”, selain karena ikut-ikutan trend

saja ada pula yang diniatkan untuk mengajari anaknya agar terbiasa memanggil

ibunya dengan sebutan tersebut. Dengan adanya pemberitaan seperti ini,

tentunya membuat para pembaca berita menjadi bingung dan was-was karena

ternyata selama ini mereka menggunakan panggilan kepada isteri yang ternyata

bisa dihukumi z{iha>r.

Berangkat dari isu tersebut, maka berita-berita yang ada sangat perlu

sekali digali lebih dalam mengenai panggilan “ummi” yang dijatuhi hukum

haram serupa dengan z{iha>r. Dimana penulis ingin mengetahui sumber hukum

atau dasar hukum yang digunakan oleh penulis berita dalam pemberitaan media

online mengenai penjatuhan hukum z{iha>r terhadap panggilan “ummi>”. Apakah

sumber yang digunakan tersebut benar-benar bersumber dari al-Quran dan

Hadith, dan bukan didapatkan dari hasil pemikiran pribadi semata. Karena

seperti yang telah kita ketahui, bahwa di dalam masyarakat kita panggilan

(48)

40

A. Kajian Z}iha>r Dalam Berita Online

Dalam tulisan yang berupa artikel-artikel yang telah tersebar

mengenai isu tentang z{iha>r yang telah dijelaskan di atas, salah satunya

adalah artikel yang ditulis melalui media berita online. Dalam berita online

tersebut dituliskan bahwa panggilan “ummi>” kepada isteri oleh suami adalah

tergolong dalam bentuk perkataan yang dijatuhkan hukum sebagai perkataan

yang mengandung z{iha>r. Ada empat tulisan dari berita online yang penulis

paparkan dalam skripsi ini. Isi tulisan dalam berita online tersebut kurang

lebihnya seperti ini:

Ada berbagai macam panggilan sayang yang dapat kita berikan pada pasangan. Panggilan seperti “honey”, “hubby”, atau “cinta” adalah beberapa jenis panggilan yang palin

Referensi

Dokumen terkait

Nama Barang/ Jenis Barang Nomor Kontruksi Panjang (Km) Lebar (M) Luas (M2) Letak/Lokasi Alamat Dokumen Status Tanah Nomor Kode

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan hasil simulasi komputasi dinamika fluida untuk profil temperatur kondensasi uap air pada posisi circumferential di dalam pipa

(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag RI., 2004), h.. Thus, the one should became the all people awareness are all side responsible for the effort of realization and

Seperti yang diungkapkan oleh Kotler (2009,) bahwa kegiatan pemasaran terdiri atas lima aspek, yaitu product (menjelaskan tentang barang/ jasa yang akan ditawarkan

[r]

, investor merespon sebagai sinyal negatif pengumuman dividen meningkat yang diberikan oleh perusahaan tidak bertumbuh (terima Ha 5 ). Kata kunci

Tiga kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap individu tersebut diharapkan mampu untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam masyarakat dan dalam dunia pendidikan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah rasio keuangan berpengaruh terhadap tingkat profitabilitas pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek