• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KOMPARASI PROSES AWAL ISLAMISASI DI JAWA DAN DI ACEH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDI KOMPARASI PROSES AWAL ISLAMISASI DI JAWA DAN DI ACEH."

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KOMPARASI PROSES AWAL ISLAMISASI DI JAWA DAN DI ACEH

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh: Ukhro NIM: A0.22.12.099

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Studi Komparasi Proses Awal Islamisasi di Jawa dan di Aceh”. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini yaitu (1) Bagaimana proses awal Islamisasi di Jawa? (2) Bagaimana proses awal Islamisasi di Aceh ? (3) Bagaimana perbandingan proses awal Islamisasi di Jawa dan di Aceh?.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan pendekatan sejarah dengan metode heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Tehnik pengumpulan datanya mengacu pada sumber-sumber tertulis yaitu buku-buku yang berhubungan dengan proses awal Islamisasi di Jawa dan di Aceh. Teori yang digunakan meminjam dari teori kebudayaan yaitu teori difusi. Teori ini digunakan dalam mengungkap bahwa proses awal Islamisasi di Jawa dan di Aceh disebabkan adanya penyebaran para pedagang dari Arab, Persia, India. Mereka berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam.

(7)

ABSTRACT

The title of this paper is "A Comparative study with the initial process of Islamisation in Java and in Aceh". The problems discussed in this paper is (1) How is the initial prosess of Islamisation in Jawa (2) How is the initial process of Islamisation in Aceh (3) How do compare the initial prosess of Islamisation in Jawa and in Aceh.

To answer these problems the author uses historical approach with heuristic, critism, interpretation, and historiography. The data collection technique refers to written sources, such as books related to about the initial process of Islamisation in Java and in Aceh. While the theories used borrowed culture theory, namely the theory of diffusion. This diffusion theory used in revealing that the initial process of Islamisation in Java and in Aceh due to the spread of the traders of Arab, Persian, India. They trade at a time of spreading the religion of Islam.

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 7

C.Tujuan Penelitian ... 7

D.Manfaat/ kegunaan penelitian... 8

E. Pendekatan dan Kerangka Teori ... 8

F. Penelitian Terdahulu ... 9

G.Metode Penelitian ... 11

H.Sistematika Pembahasan ... 13

BAB II : PROSES ISLAMISASI DI JAWA A. Kondisi Jawa Menjelang Datangnya Islam ... 15

B. Teori Masuknya Islam di Jawa ... 19

(9)

1. Walisongo ... 21

D. Saluran-Saluran Islamisasi di Jawa ... 30

1. Sarana Perdagangan ... 30

2. Sarana Perkawinan ... 30

3. Sarana Kebudayaan/ Kesenian ... 31

a. Seni Ukir/ Seni Pahat ... 31

b. Seni Bangunan ... 31

c. Seni Sastra ... 34

4. Sarana Pendidikan ... 37

5. Sarana Tasawuf ... 38

a. Syekh Siti Jenar (Penyebar Tasawuf di Jawa ... 39

BABIII : PROSES ISLAMISASI DI ACEH A.Kondisi Aceh Menjelang Datangnya Islam ... 50

B.Teori Masuknya Islam di Aceh ... 50

C.Penyebar Islam di Aceh ... 53

D.Saluran-Saluran Islamisasi di Aceh ... 54

1. Sarana Perdagangan ... 54

2. Sarana Perkawinan ... 55

3. Sarana Pendidikan ... 56

4. Sarana Kebudayaan/ Kesenian ... 56

a. Seni Ukir/ Seni Pahat ... 56

b. Seni Bangunan ... 57

c. Seni Sastra ... 57

5. Sarana Tasawuf ... 58

(10)

BAB IV : KOMPARASI PROSES AWAL ISLAMISASI DI JAWA

DAN DI ACEH

A. Persamaan Proses Awal Islamisasi di Jawa dan di Aceh ... 65

B.Perbedaan Proses Awal Islamisasi di Jawa dan di Aceh ... 66

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 69 B.Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum periode Indonesia Madya (Jaman Pengaruh Islam) di wilayah

Indonesia (Nusantara) telah terbentuk pola-pola kehidupan rohaniyah.

Masing-masing adalah pola kehidupan asli dengan landasan spiritual kepercayaan asli

dan pola kehidupan India sentris yang bercirikan budaya maupun agama Hindu

dan Budha. Munculnya kehidupan demikian tidak lepas dari jati diri bangsa ini

yang memang sejak awal telah menempatkan agama/ kepercayaan pada posisi

terhormat dalam kehidupan mereka. Peninggalan-peninggalan artefaktual

maupun mindefaktual di Nusantara (Indonesia) menunjukkan betapa

masyarakat dalam kehidupannya tidak terpisahkan dari pola kehidupan

berkepercayaan kepada Tuhan, atau setidaknya kekuatan supranatural.1

Kepercayaan tersebut adalah Animisme dan Dinamisme. Animisme yaitu

kepercayaan terhadap roh-roh halus. Dinamisme adalah kepercayaan terhadap

benda-benda yang memiliki kekuatan gaib.

Kondisi politik Indonesia menjelang datangnya Islam sangat

memprihatinkan. Pada saat itu kondisi kerajaan-kerajaan Hindu maupun Budha

mengalami kekacauan, baik karena faktor ekstern maupun intern. Hal ini

berdampak pada kondisi keagamaan dan sosial budaya masyarakatnya. Agama

Hindu dan Budha mengalami kemunduran, sedangkan kepercayaan asli

semakin berkembang. Pihak kerajaan berusaha untuk mengembalikan pamor

(12)

2

agama Hindu dan Budha yang merupakan agama resmi kerajaan. Namun, tetap

tidak dapat mengoptimalkannya. Hal ini karena berkembangnya kepercayaan

asli dan mulai tersebarnya agama Islam.

Demikianlah kondisi agama dan politik Nusantara menjelang datangnya

Islam. Islam dapat diterima oleh masyarakat karena di dalam ajaran Islam tidak

mengenal sistem kasta seperti dalam agama Hindu dan Budha.

Tentang kapan dan dimana Islam pertama kali masuk ke Indonesia

(Nusantara), masih terdapat perbedaan diantara para ilmuwan karena sedikitnya

sumber yang valid mengenai Islamisasi di Indonesia.

Menurut A. Hasymi dalam Sejarah Kebudayaan Islam, tentang masanya,

ada yang mengatakan pada abad pertama Hijriyah, kedua Hijriyah, dan

sebagainya. Mengenai dimana para ahli sejarah sependapat yaitu di Pesisir

Sumatera bagian Utara, hanya perbedaannya ada yang mengatakan di Perlak

atau di Pase, ada yang mengatakan di Aceh Besar atau di Jaya, dan ada pula

yang mengatakan di Barus.2

Menurut Hasanu Simon, sebenarnya Islam sudah mulai menyentuh

Indonesia, juga pulau Jawa, sejak abad ke-8. Namun, sampai 7 abad kemudian,

tatkala kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaan yang menguasai

kepulauan Nusantara, Islam masih tetap menjadi agama minoritas. Pada waktu

itu di Sumatera telah berdiri kerajaan Islam yang beritanya sampai jauh ke

Timur Tengah dan Eropa, yaitu Samodera Pasai di Aceh. Di Jawa sendiri

pemeluk Islam baru mulai berkembang pesat mulai awal abad ke-15, pada saat

(13)

3

Majapahit sedang dilanda perang saudara yang menyebabkan runtuhnya

kerajaan besar itu.3

Pada umumnya ada kemungkinan berlangsungnya dua proses. Pertama,

penduduk pribumi berhubungan langsung dengan agama Islam dan kemudian

menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia (Arab, India, Cina, dll) yang

telah memeluk agama Islam bertempat tinggal secara permanen di suatu

wilayah Indonesia, melakukan perkawinan campuran, dan mengikuti gaya

hidup lokal sampai sedemikian rupa, sehingga sebenarnya mereka itu sudah

menjadi orang Jawa atau Melayu atau anggota suku lainnya.4 Kedua kemungkinan ini bisa saja terjadi mengingat Indonesia merupakan wilayah

yang strategis dan sering disinggahi pedagang-pedagang dari luar negeri.

Menurut Snouck Hurgonje, Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 M

sebagaimana disebutkan dalam karyanya Islam di Hindia Belanda yang

menyatakan bahwa Baghdad yang selama lima abad menjadi pusat agama

Islam dihancurkan oleh raja Mongol, Hulagu, pada tahun 1258. Penyebaran

agama yang berlangsung berangsur-angsur ke negara-negara pantai Sumatra,

Jawa, dan juga negara-negara pesisir Kalimantan dan Sulawesi, dan

pulau-pulau kecil yang demikian banyaknya itu, pertama-tama adalah usaha

saudagar-saudagar Islam.5

3Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 1.

4M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 2007), 3.

5Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, Terj. S. Gunawan (Jakarta: Bharata Karya Aksara,

(14)

4

Alasan senada tentang Islamisasi Indonesia abad ke 13 M juga dinyatakan

oleh A.H. Johns, seorang guru besar Australia. Bahkan ia menambahkan bahwa

para ulama dan para dai yang bermigrasi tersebut kebanyakan adalah kaum

pedagang Alawiyyun dan sekaligus kaum sufi.6

Sarana atau saluran-saluran Islamisasi di Nusantara menurut Uka

Tjandrasasmita dalam Badri Yatim, disebutkan bahwa ada enam

saluran-saluran Islamisasi yang berkembang, yaitu: Saluran perdagangan, saluran-saluran

perkawinan, saluran tasawuf, saluran pendidikan, saluran kesenian, dan saluran

politik.7

Dari beberapa pendapat di atas dapat kita simpulkan bahwa sebagian para

ahli berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia antara abad ke 7 M sampai

dengan abad 13 M dan dibawa oleh para saudagar sekaligus kaum sufi. Selain

itu, yang dapat kita garis bawahi adalah Islam masuk ke Indonesia dengan cara

damai atau yang lebih dikenal dengan Penetration Pacifique.

Islam mudah diterima oleh masyarakat karena strategi para penyebar Islam

yang sangat komunikatif dalam menyebarkan agama Islam, terutama di Jawa.

Tersebarnya Islam di Jawa tidak terlepas dari jasa para mubaligh yang biasa

kita kenal dengan Walisongo. Dalam menyebarkan agama Islam, mereka

bersifat luwes dan berdakwah tanpa kekerasan.

Snouck Hurgronje dalam tulisannya Islam di Hindia Belanda,

Mengemukakan pengamatannya bahwa agama Islam, sebagaimana yang telah

diterima oleh bangsa Indonesia, sebelumnya sudah mengalami proses

6Mukarrom, Sejarah Islamisasi Nusantara, 63.

(15)

5

penyesuaian dengan agama Hindu, sehingga amat mudah menyelaraskan diri

dengan agama Hindu campuran yang ada di Jawa dan Sumatra. Agama Islam

di Hindia Timur masih tetap memperlihatkan bekas-bekas negeri (asalnya)

yang tak dapat disangkal, yaitu India Muka.8 Dengan demikian, tampak bahwa sebelum datangnya Islam, peran mistik yang berkembang pada masa Hindu dan

Budha masih sangat berpengaruh hingga Islam itu datang.

Justru dengan warna Islam yang sudah bercampur dengan mistik inilah

menurut Syamsul Wahidin yang dikutip oleh Ajid Tohir, lebih sesuai dengan

kondisi Indonesia pada waktu itu. Oleh karena itu, para penyebar Islam seperti

Walisongo di Jawa menggunakan media yang komunikatif dalam dakwahnya

misalnya dengan menggunakan wayang meskipun pada akhirnya menimbulkan

efek yang seolah-olah melestarikan nilai-nilai tradisional pra-Islam.9

Hingga saat ini kepercayaan Animisme dan Dinamisme masih tetap

melekat, meskipun masyarakat Jawa sudah banyak yang memeluk Islam.

Sehingga Clifford Geertz memilah masyarakat Jawa kedalam tiga tipe

kebudayaan yaitu abangan, santri, dan priyayi.10

Berdasarkan pemaparan di atas, yang ingin penulis kaji adalah

perbandingan tentang proses awal Islamiasasi di Jawa dan di Aceh. Meskipun

Jawa dan Aceh merupakan bagian dari Nusantara, tetapi dalam proses dan awal

Islamisasinya berbeda. 8Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, 13.

9Syamsul Wahidin dan Abdurrahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:

Akademia Presindo, 1984). Sebagaimana dikutip oleh Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di

Kawasan Dunia Islam; Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 290.

10 Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Budaya Jawa, Terj. Aswab

(16)

6

Penulis memilih judul “Studi Komparasi Proses Awal Islamisasi di Jawa

dan di Aceh”, karena menurut penulis proses awal Islamisasi di Jawa dan di

Aceh ini sangat menarik untuk dikaji. Dengan perbedaan proses Islamisasinya

maka berbeda pula dalam hal penetapan pranata kehidupan dan tradisinya.

Sebagian besar Islam di Jawa masih berpegang teguh oleh tradisi nenek

moyangnya dan kebudayaan pada masa Hindu Budha yang tidak serta merta

dapat dihapus. Sedangkan di Aceh masih tetap berpegang teguh pada tradisi

Islam fikihnya. Sehingga peraturan yang berlaku pada masyarakat Aceh adalah

Hukum Syariat Islam.

Jawa dan Aceh disini yang dimaksudkan adalah dalam hal kebudayaannya,

dimana masyarakat Jawa yang masih kental dengan tradisi nenek moyangnya,

dan di Aceh yang masih tetap memegang teguh ajaran Islam. Sedangkan yang

dimaksud dengan awal Islamisasi di Jawa dan di Aceh yaitu mulai awal

Kerajaan Aceh hingga pertengahan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda, dan

di Jawa pada periode Mataram.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dibuat rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses awal Islamisasi di Jawa?

2. Bagaimana proses awal Islamisasi di Aceh?

3. Bagaimana komparasi proses awal Islamisasi di Jawa dan di Aceh?

C. Tujuan

(17)

7

1. Untuk mengetahui proses awal Islamisasi di Tanah Jawa.

2. Untuk mengetahui proses awal Islamisasi di Aceh.

3. Untuk mengetahui perbandingan proses awal Islamisasi di Jawa

dan di Aceh.

D. Manfaat/ Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Akademis

a. Hasil penelitian ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang

perbandingan proses awal Islamiasi di Jawa dan di Aceh.

b. Hasil dari penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan

informasi pada penelitian yang akan datang.

2. Kegunaan praktis

a. Bagi jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, penelitian ini diharapkan

dapat dijadikan sebagai informasi dan bahan pembelajaran mengenai

perbandingan proses awal Islamisasi di Jawa dan di Aceh.

b. Dengan penelitian ini diharapkan penulis dapat memenuhi sebagian

syarat memperoleh gelar sarjana dalam program Strata Satu (S-1)

Sarjana Humaniora pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam.

E. Pendekatan dan Kerangka Teori

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

historis. Pendekatan ini digunakan dalam mengungkapkan sejarah proses awal

Islamisasi di Jawa dan di Aceh.

Penelitian ini meminjam teori dari kebudayaan yaitu Teori Difusi. Difusi

(18)

8

manusia. Sejarah dalam proses penyebaran unsur kebudayaan yang disebut

difusi dari unsur kebudayaan yang diakibatkan oleh migrasi bangsa-bangsa

yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Penyebaran unsur kebudayaan

dapat juga terjadi tanpa perpindahan kelompok manusia, tetapi karena unsur

kebudayaan itu memang sengaja dibawa oleh individu-individu tertentu,

seperti para pedagang dan pelaut yang menyebarkan agama-agama besar.11 Menurut Sidi Gazalba dalam Kebudayaan sebagai Ilmu, bahwa Teori

Difusi masuk dalam aliran histormus dalam ilmu kebudayaan. Historismus

dalam kebudayaan beranggapan, waktu manusia muncul terdapat satu

kebudayaan disuatu tempat (tempat dimana manusia muncul itu). Kebudayaan

asal dan kebudayaan pokok itu berkembang, menyebar dan pecah dalam

berbagai kebudayaan baru karena pengaruh ruang dan waktu. Manusia makin

lama makin berkembang, pecah membentuk bangsa-bangsa. Bangsa-bangsa

pendukung kebudayaan yang sudah pecah-pecah itu bergerak dan

pindah-pindah. Mereka pengaruh mempengaruhi.12

Dalam penelitian ini, Teori Difusi digunakan dalam mengungkapkan

bahwa proses Islamisasi disebabkan adanya penyebaran manusia dan

kebudayaan. Saluran Islamisasi di Nusantara yang paling dominan adalah

perdagangan dan pelayaran laut yang dilakukan oleh saudagar-saudagar dari

Persia, India, maupun Arab. Mereka berdagang sekaligus menyebarkan agama

Islam.

11Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan (Jakarta: Djambatan, 1997), 110.

(19)

9

Selain itu, dalam masyarakat tradisional, rural kepercayaan dan

keberagaman seorang raja akan menjadi panutan bagi masyarakat umum di

wilayah itu. Dalam perspektif sosiologi agama, hal ini dikatakan: Al-nasu ‘ala

dini mulukihim” yang artinya: “Keberagaman rakyat selalu mengikuti agama

raja/ rajanya”.13 Hal ini berlaku juga pada masyarakat Jawa dan Aceh, mereka mengikuti rajanya jika rajanya masuk Islam maka rakyatnya juga mengikuti

agama rajanya.

F. Penelitian Terdahulu

Studi tentang masuknya Islam di Jawa dan di Aceh sangat menarik dikaji.

Sehingga banyak sekali karya-karya yang dihasilkan dari para ahli.

Adapun karya yang membahas tentang Islamisasi Jawa dan Aceh adalah

sebagai berikut:

1. Olthof, W. L. Alih bahasa Sumarsono. Babad Tanah Jawi; Mulai dari Nabi

Adam Sampai Tahun 1647 yang terbit tahun 2013. Karya ini membahas

tentang sejarah Tanah Jawa. Dalam karya ini disebutkan bahwa yang

menulis Babad ini adalah Mataram dan isinya tentang silsilah raja-raja

Mataram. Silsilahnya ditarik dari garis silsilah Nabi Adam, dan dilengkapi

dengan silsilah dewa-dewa agama Hindu, Tokoh Mahabarata, cerita Panji

di Kediri, hingga berakhir pada masa Kartasura, tepatnya saat terjadi

perselisihan antara Raja Kartasura dengan Pangeran Purabaya dan Sultan

Blitar yang masih sedarah. Menurut perkiraan penyusun Babad ini,

peristiwa ini terjadi di sekitar tahun 1647.

(20)

10

2. Snouck Hurgonje, Islam di Hindia Belanda yang diterjemahkan oleh S.

Gunawan dan diterbitkan pada tahun 1983. Karya ini membahas tentang

Islam yang ada di Nusantara atau yang lebih dikenal dengan Hindia

Belanda, Awal mula masuknya Islam dan perkembangannya.

3. Ahwan Mukarrom, Sejarah Islamisasi Nusantara yang terbit tahun 2009.

Karya ini membahas tentang Periodisasi sejarah Indonesia dari Jaman

Prasejarah, Jaman Purba, Jaman Madya, Jaman Modern. Tentang sejarah

Islam Indonesia, penulis menjelaskan kondisi sosial menjelang datangnya

Islam, waktu masuknya Islam ke Indonesia, pembawa atau penyebarnya,

dan sarana (cara) Islamisasi Islam ke Indonesia.

4. Hasanu Simon, Misteri Syeh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam

Mengislamkan Tanah Jawa yang terbit tahun 2004. Karya ini membahas

tentang tokoh-tokoh penyebar Islam di Indonesia, situasi pemerintahan dan

masyarakat Jawa sebelum abad ke-15, pertumbuhan Islam, metode-metode

yang digunakan Wali Songo dalam menyebarkan Islam, kisah Syek Siti

Jenar. Karya ini juga membahas perkembangan Islam paska Wali Songo.

5. A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam yang terbit tahun 1990. Karya ini

membahas tentang awal Islam masuk ke Indonesia, berdirinya kerajaan-

kerajaan Islam di Indonesia. Dalam karya ini banyak membahas tentang

sejarah Aceh, jatuh bangunnya Aceh.

6. M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara yang terbit tahun 1961. Karya

ini membahas tentang sejarah Aceh dari jaman purbakala hingga masa

(21)

11

Karya-karya di atas menginspirasi penulis untuk mengetahui perbandingan

proses awal Islamisasi di Jawa dan di Aceh. Penelitian kali ini, penulis

menekankan penelitian mengenai persamaan dan perbedaan proses awal

Islamisasi di Jawa dan di Aceh.

G. Metode Penelitian

Metode adalah seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang sistematis

untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya

secara kritis dan menyajikan sintesa dari hasil yang dicapai dalam bentuk

tulisan.14

Tahapan-tahapan metode penelitian sejarah yang penulis lakukan meliputi

empat langkah yaitu heuristik, kritik, interprestasi dan historiografi, yang akan

dijelaskan sebagai berikut:

1. Heuristik atau pengumpulan sumber

Heuristik atau pengumpulan sumber yaitu suatu proses yang

dilakukan oleh penulis untuk mengumpulkan sumber-sumber, data-data

atau jejak sejarah.15 Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (Library Research) yakni dengan menelusuri dan mengkaji bahan-bahan pustaka

yang secara khusus menyangkut tentang proses awal Islamisasi di Jawa dan

di Aceh.

Dalam hal ini penulis mengalami kesulitan dalam memperoleh

sumber-sumber asli atau sumber primer. Sehingga sumber yang digunakan

dalam penelitian ini sebagian besar merupakan sumber sekunder yang

14Lilik Zulaicha, Metodologi Sejarah 1 ( Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2005), 16.

(22)

12

terdiri dari buku-buku sejarah, khususnya yang berhubungan dengan proses

awal Islamisasi di Jawa dan di Aceh. Baik yang ditulis oleh orang-orang

asing maupun yang ditulis oleh orang-orang Indonesia sendiri. Namun

penulis merujuk pada hasil karya-karya para peneliti terdahulu.

2. Kritik sumber

Kritik sumber adalah satu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber

yang diperoleh agar memperoleh kejelasan apakah sumber tersebut kredibel

atau tidak, dan apakah sumber tersebut autentik apa tidak. Pada proses ini

dalam metode sejarah biasa disebut dengan istilah kritik intern dan kritik

ekstern. Kritik intern adalah suatu upaya yang dilakukan oleh sejarawan

untuk melihat apakah isi sumber tersebut cukup kredibel atau tidak,

sedangkan kritik ekstern adalah kegiatan sejarawan untuk melihat apakah

sumber yang didapat autentik ataukah tidak.16 Pada tahap ini penulis tidak dapat melakukan kritik karena data yang dimiliki merupakan beberapa

kumpulan referensi atau buku-buku. Hal ini dikarenakan sulitnya

mendapatkan sumber primer.

3. Intepretasi atau penafsiran

Interprestasi atau penafsiran adalah suatu upaya sejarawan untuk

melihat kembali tentang sumber yang didapatkan apakah sumber-sumber

yang didapatkan dan yang telah diuji autentitasnya terdapat saling

hubungan atau yang satu dan yang lain.17 Jadi dalam hal ini penulis merasa analisa yang penulis lakukan terhadap sumber yang didapatkan kesemuanya

16Zulaicha, Metodologi Sejarah 1, 16.

(23)

13

dapat menghubungkan pada satu kesimpulan dan kesinambungan untuk

menjelaskan proses awal Islamisasi di Jawa dan di Aceh.

4. Historiografi

Historiografi merupakan tahap akhir dari metode sejarah, dimana

histrografi itu sendiri merupakan usaha untuk merekonstrksikan kejadian

masa lampau degan memaparkan secara sistematis, terperinci, untuh dan

komunikatif.18 Sejarah dalam penelitian ini ditulis dalam bentuk laporan penelitian yang berupa skripsi.

H. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan penulisan, pemahaman, dan pembahasan dalam

penelitian ini, maka penulis membagi skripsi ini menjadi beberapa bab.

Berikut sistematika pembahasan skripsi penelitian ini:

Bab pertama ialah pendahuluan, terdiri atas latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat atau kegunaan penelitian, pendekatan atau

kerangka teori, penelitian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika

pembahasan.

Bab kedua ialah proses awal Islamisasi di Jawa. Pada bab ini akan

dipaparkan mengenai kondisi Jawa menjelang datangnya Islam, teori

masuknya Islam di Jawa, penyebar Islam di Jawa, sarana/ cara Islamisasi di

Jawa yang meliputi seni ukir atau seni pahat, seni bangunan, seni sastra,

sarana pendidikan, sarana tasawuf, Syekh Siti Jenar (Penyebar Tasawuf di

Jawa).

(24)

14

Bab ketiga ialah proses awal Islamisasi di Aceh. Dalam bab ini akan

dipaparkan kondisi Aceh menjelang datangnya Islam, teori masuknya Islam

di Aceh, penyebar Islam di Aceh, Sarana/ cara Islamisasi di Aceh yang

meliputi seni ukir atau seni pahat, seni bangunan, seni sastra, sarana

pendidikan, sarana tasawuf, Hamzah Fansuri (Penyebar Tasawuf di Aceh).

Bab keempat ialah komparasi proses awal Islamisasi di Jawa dan di Aceh.

Pada bab ini akan penulis paparkan mengenai persamaan dan perbedaan

proses awal Islamisasi di Jawa dan di Aceh.

Bab kelima merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

Pada bab ini akan disimpulkan hasil penelitian yang merupakan jawaban dari

(25)

BAB II

PROSES ISLAMISASI DI JAWA

A. Kondisi Jawa Menjelang Datangnya Islam

Sebelum datangnya Islam, masyarakat Jawa sudah menganut agama Hindu-Budha, dan kepercayaan terhadap nenek moyang. Hal ini terbukti dengan adanya peninggalan-peninggalan sejarah seperti candi-candi, patung, maupun prasasti.

Adapun di Jawa, Kerajaan Hindu terakhir sebelum datangnya Islam adalah Majapahit di Jawa Timur. Kerajaan ini merupakan kelanjutan Singhasari yang juga memiliki ambisi perluasan daerah. Ambisi ini terwujud saat raja keempat Majapahit. Hayam Wuruk memegang pemerintahan. Wilayahnya bukan hanya meliputi Jawa dan beberapa pulau sekitarnya saja, akan tetapi melampaui wilayah Nusantara (Indonesia) yakni Malaya dan Filipina. Kerajaan Majapahit yang didirikan pada tahun 1293 M oleh Raden Wijaya, menantu raja terakhir Singhasari, tenggelam pada tahun 1522 M itulah kerajaan Hindu terakhir yang kemudian disusul dengan munculnya negara-negara Islam di Nusatara.19

Sebenarnya embrio yang menyebabkan kekacauan politik Kerajaan Majapahit sudah ada sejak kerajaan tersebut mulai dibangun. Bahwasanya Raden Wijaya dengan gelar Abhiseka Sri Kertarajasa Jayawardhana sebagai pendiri kerajaan ini ternyata tidak memiliki putra mahkota. Dari

(26)

16

pemaisuri, Raden Wijaya hanya memiliki keturunan perempuan. Justru keturunan laki-laki diperoleh dari istri ampil, Dara Pethak atau Indreswari. Seorang istri yang didapat dari hasil ekspedisi Pamalayu sebagaimana tersebut di atas. Putera tersebut bernama Raden Kalagemet, dengan Abhiseka Raden Jayanegara.yang kemudian menggantikan kedudukan ayahnya.20

Setelah Raden Jayanegara meninggal dunia, maka yang menggantikan adalah putri Raden Wijaya yaitu Tribuwanatunggadewi, karena Raden Jayanegara tidak mempunyai keturunan. Kemudian dilanjutkan pemerintahan Hayam Wuruk dengan patihnya Patih Gajah Mada. Kerajaan Majapahit semakin berkembang pesat bahkan mengalami perluasan wilayah hingga Malaya dan Filipina.

Seperti halnya pada masa Raden Wijaya, Hayam Wuruk tidak memiliki keturunan laki-laki. Keturunan laki-laki diperoleh dari istri selirnya. Anaknya tersebut bernama Wirabumi dan diberi kekuasaan di ujung Timur Pulau Jawa, Blambangan. Sedangkan Kusumawardani yang merupakan anak dari permaisurinya, diberi kewenangan di pusat Kerajaan bersama suaminya Wikramawardhana.

Pernikahan antara Kusumawardani dan Wikramawardhana tidak dikaruniai keturunan. Keturunan Wikramawardhana diperoleh dari istri selirnya. Rani Suhita kemudian menjadi Ratu sebagai pengganti ayahnya.

(27)

17

Wirabumi tidak terima dengan pengangkatan Rani Suhita. Sehingga terjadilah perebutan kekuasaan antara Wirabumi dan Rani Suhita. Perang tak dapat dielakkan, perang saudara ini terjadi pada tahun 1401-1404. Perang ini dinamakan Perang Paregreg.

Perang ini mengakibatkan berkurangnya esistensi Kerajaan Majapahit dan terpecahnya keluarga besar Majapahit. Selain itu, banyaknya wilayah yang ingin melepaskan diri dengan Kerajaan Majapahit.

Dengan keadaan yang demikian, berdampak pada kondisi keagamaan di Majapahit. Dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit, maka Agama Hindu Budha yang merupakan Agama Resmi kerajaan juga mengalami kemunduran. Sedangkan kepercayaan nenek moyangnya justru semakin berkembang.

Dengan keadaan kerajaan yang mulai diambang keruntuhan, Islam dapat diterima oleh masyarakat luas. Bagi mereka, Islam memberi warna yang baru. Islam dapat diterima, karena di dalam Islam tidak mengenal kasta seperti dalam Hindu Budha. Meskipun jauh sebelumnya Islam sudah ada di Jawa. Namun, masih menjadi agama minoritas. Islam dapat berkembang di Jawa karena adanya jasa dari para penyebar Islam.

(28)

18

Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan, bahwa umat Islam dikumpulkan lengkap beserta senjata-senjatanya di Bintara. Bupati di Madura, Arya Teja di Cirebon, Bupati di Sura Pringga serta Pandita di Giri sudah berkumpul di Bintara bersama bala-pasukannya. Apalagi para wali dan para mukmin juga sudah berkumpul. Semuanya lalu bersama berangkat ke Majapahit. Banyaknya barisan tak terhitung. Kota Majapahit dikepung. Orang Majapahit banyak takluk kepada Adipati Bintara, tak ada yang berani menyambut perang. Adipati Bintara, Adipati Terung lalu masuk alun-alun. Adipati Bintara duduk di dampar yang ada di pagelaran di hadapan prajurit.21

Hal ini sangat bertolak belakang dengan teori yang menyatakan bahwa Islam masuk dengan cara damai. Sedangkan menurut Ridin Sofwan dalam Islamisasi di Jawa, bahwa ketika Sunan Ampel atau Raden Rahmat sesampainya di Majapahit, ia disambut baik oleh raja dan permaisuri dari Campa, yaitu putri Darawati yang merupakan bibinya Raden Rahmat sendiri. Meskipun raja menolak masuk Islam, namun ia sangat menghargai usaha Raden Rahmat, malah mengangkatnya menjadi Gubernur di Wilayah Ampel Denta dan memberikan kebebasan penuh kepadanya untuk menyiarkan agama Islam.22

21W.L Olthof, Babad Tanah Jawi: Mulai Nabi Adam Sampai Tahun 1674, Terj. H. R. Sumarsono

(Yogyakarta: Narasi, 2013), 54-55.

(29)

19

B. Teori Masuknya Islam di Jawa

Tentang kapan Islam masuk di Jawa masih terdapat perbedaan pendapat diantara para ahli. Hal ini disebabkan tidak adanya sumber yang pasti mengenai kedatangan Islam di Jawa. Namun, menurut beberapa ahli diperkirakan Islam masuk Jawa sekitar abad ke-11 dengan bukti adanya makam Fatimah Binti Maimun di Desa Leran Kabupaten Gresik yang berangka tahun 475 H (1085 M). Makam tersebut juga menunjukkan bahwa pada abad ke-11 pantai Utara Jawa sudah mulai didatangi orang-orang Timur Tengah. Bentuk huruf yang terdapat pada tulisan batu nisan adalah Kufik Ornamental yang berkembang di Timur Tengah abad 11-13 M. Sebaliknya para pedagang Jawa pun sudah banyak yang berlayar ke Malaka, Cina dan Gujarat.

(30)

20

memuat angka tahun Ś 1290 (1368-1369 M). Di Troloyo ada beberapa batu nisan yang angka tahunnya berkisar antara Ś 1298 sampai Ś 1533 (1376-1611 M). Batu-batu itu memuat kutipan-kutipan dari Quran dan formula-formula yang saleh. Berdasarkan rumitnya hiasan yang terdapat pada beberapa batu nisan itu dan lokasinya yang dekat dengan situs Ibukota Majapahit, maka Damais menarik kesimpulan bahwa batu-batu nisan itu mungkin untuk menandai kuburan-kuburan orang Jawa yang sangat terhormat, bahkan ada kemungkinan anggota-anggota keluarga raja.23

Berdasarkan pendapat M. C. Ricklefs tersebut dapat disimpulkan bahwa ada kemungkinan pada masa Kerajaan Majapahit berkuasa, Islam sudah ada di Jawa hanya saja masih belum berkembang. Bahkan anggota keluarga kerajaan pun sudah ada yang memeluk Islam.

Pada tahun 1416, seorang Muslim Cina Ma-Huan mengunjungi daerah pesisir Jawa dan memberikan suatu laporan di dalam bukunya yang berjudul Ying-yai Sheng-lan (peninjauan tentang pantai-pantai Samudra yang disusun pada tahun 1451) bahwa ada tiga macam penduduk Jawa: Orang-orang Muslim dari Barat, orang Cina (beberapa diantaranya beragama Islam), dan orang Jawa yang menyembah berhala.24

Batu nisan kuno yang bertarikh 822 H (1419 M) telah ditemukan di Gresik, salah satu pelabuhan yang terpenting di Jawa Timur. Batu nisan yang menjadi tanda makam seorang yang bernama Malik Ibrahim, tetapi

(31)

21

orang ini jelas bukan orang Jawa, maka batu nisan ini hanya menegaskan kehadiran orang Muslim asing di Jawa, dan tidak menjelaskan lebih persoalan tentang masuknya penduduk pesisir Jawa dalam agama Islam. Akan tetapi, tradisi-tradisi lokal, tradisi yang tidak memiliki bukti tertua menyebutkan bahwa Malik Ibrahim adalah salah satu seorang dari Sembilan wali Islam yang pertama di Jawa (Walisongo).25

Dari beberapa hasil penemuan, baik berupa batu nisan maupun catatan-catatan dari para musafir bahwa Islam masuk ke Jawa sekitar abad 11 Masehi tepatnya di Pesisir Pulau Jawa yaitu Tuban dan Gresik. Tuban dan Gresik merupakan wilayah yang strategis.Sehingga banyak disinggahi oleh para saudagar dari mancanegara. Para saudagar ini mereka berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam.

C. Penyebar Islam di Jawa 1. Walisongo

Perkembangan Islam di Jawa tidak terlepas dari jasa para

Walisongo. Perkataan wali berasal dari bahasa Arab wala, atauz waliya

yang berarti qaraba yaitu dekat. Menurut pemahaman yang berkembang dalam ‘urf (tradisi) di Jawa, perkataan wali menjadi sebutan bagi orang yang dianggap keramat. Dalam kaitan ini ditemuilah istilah Walisongo atau Sembilan orang Waliyullāh, penyiar terpenting agama Islam di Tanah Jawa. Mereka memiliki kelebihan dari masyarakat yang waktu itu masih menganut agama lama. Karena

(32)

22

mereka dipandang sebagai orang-orang yang terdekat bahkan para kekasih Allah, mereka diyakini memperoleh karunia tenaga-tenaga gaib. Para wali itu mempunyai kekuatan batin yang sangat berlebih, berilmu sangat tinggi, sakti Berjaya-kawijayaan. Sedangkan kata

songo angka hitungan Jawa yang berarti Sembilan.26

Menurut K.H.R. Moh. Adnan sebagaimana dikutip oleh Widjisaksono, berpendapat bahwa kata songo merupakan perubahan atau kerancuan dari pengucapan kata sana. Kata itu dipungut dari bahasa Arab thana (mulia) yang searti dengan Mahmud (terpuji), sehingga pengucapan yang betul adalah Wali thana yang berarti wali-wali terpuji.

Sedangkan menurut R. Tajono, kata sana berasal dari kata Jawa Kuno, sana yang artinya tempat, daerah, atau wilayah. Dengan interpretasi ini Wali Sana berarti wali bagi suatu tempat, penguasa daerah, atau penguasa wilayah. Dalam kapasitas tersebut mereka disebut pula sebagai sunan, kependekan dari susuhunan, atau sinuhun, dengan disertai atau tidak disertai sebutan kanjeng sebagai kependekan dari kata kang jumeneng, pangeran, atau sebutan lain yang biasa diterapkan bagi para raja atau penguasa pemerintahan daerah di Jawa. Pembenaran interpretasi ini antara lain dapat dijelaskan melalui kenyataan sejarah, misalnya Sunan Gunung Jati sangat berkuasa di daerah Cirebon dan Banten, dan Sunan Giri berkuasa di daerah Giri

(33)

23

bahkan pengaruhnya meluas sampai jauh di luar Jawa, yaitu sampai ke Makasar, Hitu (Ambon) dan Ternate.27

Selama ini yang kita ketahui Walisongo adalah Maulana Malik Ibrahim (Gresik), Maulana Ali Rahmatullah (Sunan Ampel), Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri), Raden Qosim (Sunan Drajat), Raden Umar Said (Sunan Muria), Sayyid Ja’far Shodiq (Sunan Kudus), Raden Said (Sunan Kalijogo), dan Sayyid Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Sebenarnya

Walisongo itu terdiri dari beberapa angkatan, dari angkatan I sampai

dengan angkatan ke VI.

Pembentukan Walisongo merupakan inisiatif dari Sultan Turki Muhammad I yang memerintah tahun 1394-1421. Berdasarkan laporan dari seorang saudagar India yang mengatakan bahwa di Jawa sudah terdapat komunitas Islam, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Oleh karena itu Sultan Muhammad I membentuk Tim 9 yang beranggotakan orang-orang yang memiliki kemampuan di berbagai bidang, yang diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim. Tim diberangkatkan ke Pulau Jawa pada tahun 1404. Kedatangan Tim 9 tersebut diterima dengan baik oleh pihak kerajaan, karena tujuannya bukan untuk menjajah melainkan untuk menyebarkan agama Islam.

(34)

24

a. Walisongo angkatan pertama

Walisongo angkatan pertama merupakan bentukan dari Sultan

Turki Muhammad I. Diantara anggota Walisongo angkatan pertama, yaitu:28

1) Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli irigasi dan mengatur negara. Menetap di Gresik sampai wafat tahun 1419. 2) Maulana Ishaq, berasal dari Samarkan, Rusia Selatan, ahli

pengobatan. Maulana Ishaq berdakwah di Jawa Timur dan menjelang usia senja lalu pindah ke Singapura, pindah lagi ke Pasai dan meninggal disana.

3) Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.

4) Maulana Muhammad al-Maghrobi, berasal dari Maroko

(Maghribi). Wafat tahun 1465 dan dimakamkan di Jatinom,

Klaten.

5) Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.

6) Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.

7) Maulana Hasanuddin, dari Palestina. Wafat tahun 1462 dimakamkan di samping Masjid Banten Lama.

8) Maulana Aliyuddin, dari Palestina. Wafat tahun 1462 dimakamkan di samping Masjid Banten Lama.

(35)

25

9) Syeh Subakir, dari Iran, ahli me-numbali daerah angker yang dihuni jin jahat. Maksud dari menumbali disini adalah bukan mengusir roh jahat. Melainkan menyadarkan masyarakat untuk menerima nilai agama baru yang lebih rasional.

b. Walisongo angkatan kedua

Menurut Hasanu Simon, dengan wafatnya Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1419, maka pada tahun 1421 datang seorang penyebar Islam baru. Orang yang dimaksudkan adalah Ahmad Ali Rahmatullah dari Champa, sering hanya disebut dengan Raden Rahmat (Sunan Ampel). Anggota Walisongo angkatan II, yaitu:29 1) Raden Rahmat.

2) Maulana Ishaq.

3) Maulana Ahmad Jumadil Kubro. 4) Maulana Muhammad al-Maghrobi. 5) Maulana Malik Isro’il.

6) Maulana Muhammad Ali Akbar. 7) Maulana Hasanuddin.

8) Maulana Aliyuddin. 9) Syekh Subakir.

c. Walisongo angkatan ketiga

Pada tahun 1435 ada dua orang wali yang wafat, yaitu Maulana Malik Isro’il dan Maulana Muhammad Ali Akbar.

(36)

26

Kemudian Walisongo mengajukan kepada Kesultanan Turki untuk mengirimkan 2 orang lagi sebagai pengganti. Saat itu Turki dipimpin oleh Murad II yang memerintah Turki hingga tahun 1451. Pada tahun 1436 datang dua orang juru dakwah, yaitu:30

1) Sayyid Ja’far Shodiq dari Palestina, tinggal di Kudus sehingga kelak terkenal dengan Sunan Kudus.

2) Syarif Hidayatullah dari Palestina. Seusia dengan Ja’far Shodiq, Syarif Hidayatullah merupakan ahli perang. Beliau menggantikan kedudukan Maulana Muhammad Ali Akbar. Dengan begitu, Walisongo angkatan ketiga beranggotakan:

1) Sunan Ampel sebagai ketua, yang berkedudukan di Ampel, Surabaya.

2) Maulana Ishaq.

3) Maulana Ahmad Jumadil Kubro. 4) Ja’far Shodiq.

5) Syarif Hidayatullah. 6) Maulana Hasanuddin. 7) Maulana Aliyuddin. 8) Syeh Subakir.

d. Walisongo angkatan keempat

Pada tahun 1462 dua orang anggota Walisongo wafat, yaitu Maulana Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin. Sebelum itu ada dua

(37)

27

orang anggota Walisongo yang pergi meninggalkan Jawa yaitu Syekh Subakir pulang ke Persia dan Maulana Ishaq pindah ke Pasai. Dengan kejadian itu maka pada tahun 1463 diadakan Sidang

Walisongo keempat. Dalam sidang itu diputuskan ada empat orang

yang masuk menjadi anggota Walisongo, yaitu Raden Makhdum Ibrahim (putera Sunan Ampel), Raden Paku (putra Maulana Ishaq), Raden Qosim (putra Sunan Ampel), dan Raden Mas Sahid (putra Adipati Tuban).31 Dengan demikian anggota Walisongo angkatan keempat, yaitu:

1) Sunan Ampel.

2) Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang). 3) Maulana Ahmad Jumadil Kubro. 4) Maulana Muhammad al-Maghrobi. 5) Ja’far Shodiq (Sunan Kudus).

6) Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati). 7) Raden Paku (Sunan Giri).

8) Raden Qosim (Sunan Drajat). 9) Raden Mas Sahid (Sunan Kalijogo).

Menurut Hasanu Simon, bahwa mulai Angkatan Keempat ini banyak Walisongo yang merupakan putra-putra bangsawan pribumi. Bersamaan dengan itu, orientasi ajaran Islam mulai berubah dari Arab-sentris menjadi Islam kompromistis. Pada saat

(38)

28

itulah tubuh Walisongo mulai terbelah antara kelompok futi’ah dan

aba’ah. Barangkali pada saat itu pula mulai muncul istilah

Walisongo. Kitab Walisana karya Sunan Giri II ditulis beberapa

tahun sesudah itu, yaitu kira-kira pada awal abad ke-16. Kitab

Walisana sangat berbeda dengan buku-buku Sunan Mbonang yang

masih menjelaskan ajaran Islam yang murni.32

e. Walisongo angkatan kelima

Pada tahun 1466 diadakan sidang Walisongo kelima. Sidang kelima ini memutuskan Sunan Giri untuk menjadi ketua baru menggantikan Sunan Ampel. Keputusan memilih Sunan Giri sebagai ketua adalah karena Sunan Giri merupakan keturunan Adipati Blambangan (keturunan bangsawan). Selain itu, karena di daerah ujung Timur Pulau Jawa masih banyak yang masih memeluk agama Hindu.

Dengan demikian, anggota Walisongo angkatan kelima adalah: 1) Sunan Giri

2) Sunan Ampel 3) Sunan Mbonang 4) Sunan Kudus 5) Sunan Gunung Jati 6) Sunan Drajad 7) Sunan Kalijogo

(39)

29

8) Raden Fattah

9) Fathullah Khan, berkedudukan di Cirebon

f. Walisongo angkatan keenam

Pada tahun 1478 diadakan Sidang Walisongo keenam, setelah Raden Fattah dinobatkan menjadi Sultan Demak. Dengan demikian anggota Walisongo angkatan keenam, adalah:33

1) Sunan Giri 2) Sunan Ampel 3) Sunan Mbonang 4) Sunan Kudus 5) Sunan Gunung Jati 6) Sunan Drajad 7) Sunan Kalijogo 8) Sunan Muria

9) Sunan Pandanaran, berkedudukan di Tembayat, Klaten. D. Saluran-saluran Islamisasi di Jawa

1. Sarana Perdagangan

Nusantara merupakan wilayah yang sangat strategis, sehingga banyak disinggahi oleh para saudagar dari mancanegara. Di Jawa, pelabuhan yang banyak disinggai oleh para saudagar adalah Tuban dan Gresik karena letaknya yang strategis yaitu di tengah jalur pelayaran dari Selat Malaka ke Maluku dan Banda. Lagipula yang memperkuat

(40)

30

kedudukannya ialah bahwa ada daerah pedalaman yang mempunyai produksi beras dan bahan makanan lain, sehingga memberi daya tarik kepada kapal-kapal untuk singgah disana.34

Setiap kapal yang berlayar bergantung pada arah mata angin. Ketergantungan pada sistem angin tersebut membuat para pedagang untuk singgah. Selain berdagang, mereka juga bersosialisasi dengan penduduk setempat sekaligus mendakwahkan agamanya.

2. Sarana Perkawinan

Para penyebar agama Islam di Jawa mayoritas merupakan para pedagang. Ketika berdagang, mereka tidak membawa serta istrinya. Kemudian mereka menikah dengan wanita pribumi yang berasal dari keluarga bangsawan, dan sebagai syaratnya wanita tersebut harus terlebih dahulu memeluk Islam.

Di Jawa kita dapati misalnya Syekh Maulana Ishaq, ulama dari mancanegara yang juga disebut Syekh Wali Lanang yang memperistri Dewi Sekardadu, putri pembesar Blambangan, keturunan Majapahit, Jawa Timur; yang kemudian menurunkan Prabu Satmata (Sunan Giri I). Sayyid (Raden) Rahmat memperistri Nyai Ageng Manila, putri pembesar Majapahit yang berdomisili di Tuban. Sunan Gunung Jati di Cirebon yang memperistri Kawungaten. Syekh Nagbdurrahman dari Arab memperistri Raden Ayu Teja, putri Aria Dikara di Tuban, dsb.35

34Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium, Jilid I(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), 3-4.

(41)

31

Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya timbul kampung-kampung, daerah-daerah, dan kerajaan Muslim.36 Perkawinan dengan keluarga para bangsawan ini diharapkan mampu mempercepat proses Islamisasi di Jawa.

3. Sarana Kebudayaan/ Kesenian a. Seni Ukir atau Seni Pahat

Adapun seni ragam hias yang dipergunakan sebagai sarana Islamisasi periode awal adalah berupa seni ukir yang bermotif bunga-bunga dan sebagainya. Sebagaimana diketahui bahwa Islam melarang pembuatan patung secara natural, baik berupa binatang apalagi manusia. Oleh karena itu kebiasaan dan kemampuan dalam ukir/ seni pahat diteruskan dan dialihkan untuk memahat atau mengukir gambar-gambar bunga, tulisan-tulisan, angka tahun peringatan atau kematian dengan huruf Arab dan juga kaligrafi Arab, baik yang mengutip ayat-ayat Alquran, Hadis ataupun kata-kata baik lainnya.37

b. Seni Bangunan

Seni bangunan di Jawa sebagian besar masih dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Salah satunya adalah Masjid. Masjid yang dalam hal seni bangunannya masih terpengaruh oleh kebudayaan Hindu adalah Masjid Demak, Kudus, Cirebon, Banten, dan Ampel.

(42)

32

Ciri-ciri model seni bangunan lama yang merupakan peniruan dari seni bangun Hindu-Budha itu adalah:38

1) Atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin atas semakin kecil dan yang paling atas biasanya mahkota. Selalu bilangan atapnya ganjil, kebanyakan jumlah atapnya tiga atau lima. Atap tumpang ini juga terdapat uga di Bali pada upacara ngaben atau relief candi di Jawa Timur.

2) Tidak ada menara karenanya pemberitahuan waktu shalat dilakukan dengan memukul bedug. Dari masjid-masjid yang tertua, hanya di Kudus dan Banten yang ada menaranya. Kedua menara inipun tidak seragam. Menara Kudus tidak lain adalah sebuah candi Jawa Timur yang telah diubah, disesuaikan penggunaannya dan diberi atap tumpang, sedangkan menara Masjid Banten adalah tambahan dari jaman kemudian yang dibangun oleh Cordell, pelarian Belanda yang masuk Islam, yang bentuknya seperti mercusuar.

3) Masjid-masjid tua, bahkan Masjid yang dibangun di dekat Istana Raja Yogya dan Solo mempunyai letak yang tetap. Di depan istana selalu ada lapangan besar dengan pohon beringin kembar, sedangkan Masjid selalu terletak di tepi Barat lapangan. Di belakang masjid sering terdapat makam-makam.

38Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2012),

(43)

33

Rangkaian makam dan masjid ini pada hakikatnya adalah kelanjutan fungsi candi pada jaman Hindu Indonesia.

Selain itu, tata letak masjid di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa pada periode kerajaan-kerajaan Islam, biasanya selalu saja pusat pemerintahan memiliki lima unsure pokok yang menggambarkan kosmis. Masing-masing adalah: 1) sebuah lapangan atau halaman luas, disebut dengan alun-alun yang berada di tengah-tengah dari lima unsure tersebut, 2) pusat pemerintahan dan pendopo terletak di sebelah utara yang menghadap ke Selatan atau mengahadap alun-alun, 3) gedung penjara yang terletak di sebelah Timur alun-alun, 4) pusat perekonomian (pasar) biasanya terletak di Selatan alun-alun, sedangkan 5) masjid berlokasi di sebelah Barat alun-alun. 39

Penentuan tata letak dari masjid ini juga terpangaruh oleh kebudayaan Hindu Budha. Kebudayaan ini tetap dilestarikan meskipun mereka sudah beragama Islam. Dengan masih lestarinya kebudayaan tersebut, menyebabkan konversi agama yang terjadi pada masyarakat tidak menimbulkan semacam goncangan budaya

(cultural shock) di kalangan masyarakat.40 Sehingga masyarakat

banyak yang tertarik dengan Islam, dan memeluk agama Islam.

(44)

34

c. Seni Sastra

Seni sastra yang ada di Jawa salah satunya adalah Babad.

Babad merupakan cerita sejarah. Pada masing-masing wilayah

biasanya juga terdapat Babad. Misalnya Babad Tanah Jawi, Babad

Gresik, Babad Demak.

Saluran Islamisasi melalui kesenian juga banyak digunakan oleh para wali seperti wayang, seni gamelan, karya sastra sebagai media dakwah. Media dakwah ini digunakan untuk mengundang minat masyarakat agar memeluk Islam, karena saat itu kesenian sangat diminati. Sehingga para wali menggunakan media ini, tetapi di dalamnya disisipkan ajaran-ajaran Islam.

Menurut Badri Yatim, saluran Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. 41

Seni Gamelan digunakan oleh Sunan Bonang dan Sunan Drajat dalam dakwahnya. Salah satu tembang yang diciptakan oleh Sunan Bonang yang terkenal hingga saat ini adalah Tombo Ati.

(45)

35

“Tombo ati iku lima warnane”

“Moco Qur’an angen-angen sak maknane”

“Kaping pindo Salat wengi lakonono”

“Kaping telu wong kang soleh kumpulono”

“Kaping papat dzikir wengi ingkang suwe”

“Kaping limo kudu weteng ingkang luwe”

Tembang ini menceritakan tentang obat hati, bahwasanya kita

sebagai umat Islam harus berpegang teguh pada Alquran dan Hadis. Obat hati menurut Islam adalah dengan membaca Alquran dan maknanya, kedua yaitu dengan Sholat malam, ketiga yaitu berteman dengan orang Soleh, keempat yaitu banyak berdzikir, kelima yaitu puasa.

(46)

36

berpendapat, bahwa karena bentuk karya sastra tersebut kebanyakan bercorak sloka, maka kemudian pada masa Islam dilestarikan sedemikan rupa dan sedikit mengalami perubahan dialek menjadi suluk.42

Suluk Sukarsa, isinya cerita tentang seseorang (Ki Sukarsa)

yang mencari ilmu sejati untuk mendapatkan kesempurnaan. Dalam uraiannya tentang Tuhan nampak banyaknya persamaan dengan cerita Dewa Ruci (Bima berguru pada Drona).43 Suluk

Wujil, isinya wejangan-wejangan Sunan Bonang kepada Wujil,

yaitu seorang kerdil bekas abdi raja Majapahit. Suluk Malang

Sumirang, isinya mengagungkan orang yang telah mencapai

kesempurnaan, telah lepas dari ikatan-ikatan syariat dan berhasil bersatu dengan Tuhan.44

Sarana Islamisasi dengan kesenian ini diharapkan oleh para wali dapat mempercepat proses Islamisasi terutama di Jawa, karena di Jawa pengaruh Hindu Budha masih sangat kental dan tidak dapat serta merta dihapus, tetapi mereka mengisinya dengan ajaran-ajaran Islam. Hal inilah yang menimbulkan perdebatan diantara para wali. Sehingga muncullah istilah kelompok putihan

dan abangan.

42Mukarrom, Sejarah Islamisasi Nusantara, 85.

43Serat Dewa Ruci merupakan karya dari Sunan Kalijogo. Simon, Misteri Syekh Siti Jenar, 129. 44R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid III(Jakarta: Yayasan Kanisius,

(47)

37

Kelompok abangan tidak setuju dengan upaya kelompok

putihan kalau tradisi dan kesenian Jawa dihilangkan sama sekali.

Kelompok abangan khawatir kalau hal itu dilakukan, seperti yang dikehendaki oleh kelompok putihan, orang Jawa yang belum masuk Islam akan enggan memeluk agama baru itu. Oleh karena itu, kelompok abangan ingin memasukkan warna Islam ke dalam tradisi dan kesenian orang Jawa. Kelompok ini yakin bahwa di kemudian hari akan ada penyebar yang agama Islam di Jawa yang mampu membersihkan tradisi dan kesenian yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid. Oleh karena itu para anggota Walisongo kelompok abangan giat menciptakan tembang-tembang Jawa yang isinya penuh dengan warna dan filosofi Islam. 45

4. Sarana Pendidikan

Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama, dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing kemudian berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan

(48)

38

Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam.46

Salah seorang alumni Pusat Pendidikan Ampel yang sangat masyhur yaitu Raden Patah, putra Brawijaya Majapahit, Ibundanya putrid dari Istana Kerajaan Islam Samudra/ Pase. Zawiyah (Pondok Pesantren) Ampel memberi kuasa kepada Raden Patah untuk mendirikan pusat-pusat pendidikan Islam dimana saja di Pulau Jawa. Salah satu Zawiyah terkenal yang didirikan Raden Patah yaitu Pondok Glagah Arum.47

Sekitar tahun 1476, dibentuk sebuah organisasi yang bernama

Bayangkara Ishlah (Angkatan Pelopor Perbaikan), yang bertugas

meningkatkan pendidikan dan pengajaran Islam. Bayangkara Ishlah mendirikan masjid-masjid sebagai pusat ibadah dan kebudayaan Islam.48 Dengan sarana pendidikan inilah Islam dapat berkemang hingga saat ini.

5. Sarana Tasawuf

Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan Teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan. Diantara mereka ada juga yang mengawini putri-putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai

46Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 203.

(49)

39

persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Diantara para ahli tasawuf memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam Indonesia pra-Islam adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syaikh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.49

a. Syekh Siti Jenar (Penyebar Tasawuf di Jawa)

Puncak dari ajaran tasawwf adalah yang dibawa oleh Al-Hallaj, Ibnu Arabi dan Al-Ghazali yang berkembang sekitar abad ke-10 M. Ajaran tasawuf tersebut juga berkembang di Indonesia. Misalnya tasawuf yang diikuti oleh Syekh Siti Jenar yang terpengaruh oleh tasawuf Mansur Al-Hallaj dengan paham

wujudiahnya (Wahdatul wujud).

Menurut Masyhudi, kebathinan Islam di Indonesia bermula di Sumatera. Kemudian berkembang samapai ke Jawa dan Indonesia Timur. Pada abad ke 16 dan 17 M. Islam di Indonesia di warnai oleh aspek kebatinan. Selanjutnya kebatinan Islam terbagi atas tasawuf dan kebatinan lokal. Tasawuf lebih banyak mengambil budaya Islam, sedang kebatinan lokal lebih banyak mengambil budaya setempat.50 Di Jawa, tokoh tasawuf sekaligus kebatinan

49Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 202-203.

50Masyhudi, Tasawuf Aliran Kiri dalam Naskah Kuno dari Giri Kedaton (Surabaya: t.p. 1999),

(50)

40

lokal salah satunya adalah Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang)..

Sebagian para ahli sejarah mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar merupakan salah satu dari anggota Walisongo, tetapi sebagian juga mengatakan bukan termasuk anggota Walisongo. Namun, dengan ditemukannya dokumen Kroprak Ferara51, maka sudah jelas bahwa Syekh Siti Jenar memang benar-benar ada dan termasuk dalam anggota Walisongo. Meskipun dalam dokumen tersebut tidak dijelaskan secara menyeluruh tentang asal-usulnya.

Pemikiran dan ajaran Syekh Siti Jenar masih banyak diikuti oleh masyarakat hingga saat ini. Para penganutnya dikenal dengan penganut paham kebatinan atau kejawen. Dalam pembahasan ini yang difokuskan adalah tentang asal-usul dan inti ajaran Syekh Siti Jenar.

Nama Syekh Siti Jenar kadang-kadang disebut Syekh Siti

51Kroprak Ferrara yang merekam sarasehan Walisongo di Giri Kedaton Gresik. Kroprak adalah

nama lain untuk pohon siwalan atau pohon tal yang daunnya digunakan untuk menulis dokumen. Dalam bahasa Jawa daun tal disebut ron-tal, yang sering juga terbalik dengan lontar. Dokumen

Koprak Ferrara belum lama diketemukan dan tersimpan di Perpustakaan Umum Ariostea di Ferrara, Italia. Naskah tersebut tertulis dengan bahasa Jawa di atas lontar yang berjumlah 23 lembar, masing-masing berukuran 40*3,4 cm. Fotocopy naskahnya dikirim ke Leiden untuk dialih bahasakan dan kemudian berhasil diterbitkan di Belanda dengan Bahasa Belanda. Pada tahun 2002 berhasil diterjemahkan oleh Wahyudi, S. Ag., dan berhasil diterbitkan di Surabaya dengan judul

(51)

41

Brit atau Syekh Lemah Abang. Dalam bahasa Jawa, jenar berarti kuning, sedangkan Brit berasal dari abrit artinya merah, sama dengan abang yang juga berarti merah.52

Menurut Mohammad Zazuli bahwa selain dikenal dengan nama Syekh Siti Jenar, ia dikenal dengan banyak nama, antara lain Syekh Lemah Abang, Syekh Sitibrit, Syekh Jabaranta, Syekh Abdul Jalil, Syekh Siti Luhung, dan Susuhunan Kajenar. Nama Jenar konon berasal dari kata “Siddi Jinnar”, yang berarti “Tuan Yang Kekuatannya Seperti Api”. Ada juga yang mengatakan Siti Jenar atau Lemah Abang berasal dari nama dukuh atau padepokan yang pernah ia pimpin.53

Tentang asal-usulnya dan riwayat hidup Syekh Siti Jenar masih sangat misteri, karena kurangnya sumber yang valid mengenai Syekh Siti Jenar. Sebagian sumber mengatakan, berdasarkan catatan Purwaka Tjaruban Nagari, Syekh Siti Jenar lahir pada 829 H/ 1426 M di lingkungan Pakuwunan Caruban. Pakuwunan Caruban adalah pusat kota Caruban Larang saat itu, yang sekarang terletak di sebelah Tenggara Cirebon, Jawa Barat. Nama aslinya San Ali atau Hasan Ali Anshar. Dia kadang juga dipanggil dengan nama Abdul Jalil.54

52Ibid., 364.

53Mohammad Zazuli, Syekh Siti Jenar: Mengungkap Misteri dan Rahasia Kehidupan (Jakarta:

Serambi, 2011), 18.

(52)

42

Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Hasanu Simon, bahwa di dalam Serat Syekh Siti Jenar karya Ki Panji Notoroto disebutkan bahwa Syekh Siti Jenar adalah keturunan elit Hindu-Budha dari Jawa Barat (Cirebon). Asal usul Syekh Sti Jenar ini adapula yang mengkaitkan bahwa orang tua Syekh Siti Jenar adalah keturunan penguasa di daerah Jabar yang sedang runtuh. Runtuhnya penguasa tersebut barangkali oleh kekuatan baru, yaitu Islam.55

Ada yang mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang raja pendeta bernama Resi Bungsu. Ada juga yang mengatakan bahwa dia putra seorang Ulama asal Malaka bernama Syekh Datuk Shaleh bin Syekh Isa Alawi. Ada lagi yang mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari Baghdad, tapi ada juga yang mengatakan bahwa ia berasal dari Persia. Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa ia seorang ulama keturunan Timur Tengah tapi sempat berguru pada para pertapa Hindu.56

Namun, jika ditilik dari ajarannya yang khas Jawa, besar kemungkinan ia berasal dari Tanah Jawa alias pribumi asli. Lagi pula, dahulu memang ada ada sebutan daerah yang bernama Jenar yang terletak di daerah Sragen, Jawa Tengah.57

Menurut Widjisaksono, bahwa tentang diri Syekh Siti Jenar dalam cerita yang dinukil Rinkes kita dapati silsilah Syekh Siti

55Simon, Misteri Sykeh Siti Jenar, 366. 56Zazuli, Syekh Sti Jenar,17.

(53)

43

Jenar berasal dari Muhammad Saw. Melalui Fatimah, Imam Kusen (Husayn), Said Jenal Ngabidin (Zaynal ‘Abidin), Muhammad Bakir (Al-Baqir), Datuk Ngisa Tuwu, Malakkam Seh Datuk Salek, Seh Lemah Bang. Tentang penisbahan beliau dengan Nabi Muhammad Baqir ini, Rinkes menyatakan sebagai hal yang menggelikan dan sangat ganjil termaktub dalam karya Rinkes yang dinukil dari naskah tulisan tangan Raden Ngabehi Soeradipoera (Surakarta) yang tersebut dalam buku Dr. G. A. J. Hazeu, bahwa Siti Jenar ialah Abduljalil bin Sunan Gunung Jati yang demikian besar minatnya, dan tekun mengaji berbagai ilmu keIslaman, terutama mistik. Ia berguru kepada Sunan Ampel. Demikian cintanya pada pelajaran, sampai-sampai ia tidak suka kawin lagi. Setelah tamat studinya, ia menetap di Kediri, di Siti Jenar.58

Dari sekian banyak pendapat tentang asal usul Syeh Siti Jenar, semuanya memiliki pendapat yang berbeda sehingga sulit bagi kita untuk mengetahui secara pasti tentang asal-usul Syekh Siti Jenar. Namun, yang dapat kita simpulkan dari beberapa pendapat tersebut adalah sebagian besar berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari Jawa. Jika dilihat dari ajarannya yang identik dengan kejawen. Tetapi mengenai Syekh Siti Jenar ini hingga saat ini masih menjadi misteri.

(54)

44

Tidak hanya tentang asal-usulnya saja, mengenai kematiannyapun banyak sekali versinya. Sebagian mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh Walisongo, tetapi sebagian lagi mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar tidak dihukum mati oleh Walisongo.

Suatu ketika Sunan Giri mengutus dua orang santri pilihan untuk menyampaikan hasil keputusan Walisongo itu kepada Syekh Siti Jenar. Ketika dua utusan itu tiba di tempat tinggal Syekh Siti Jenar, Syekh Siti Jenar menanyakan bagaimana sebutan bagi dirinya dalam undangan Sunan Giri. Kedua utusan itu mengatakan bahwa yang diundang adalah Syekh Lemah Abang, maka Syekh Siti Jenar menjawab bahwa Syekh Lemah Abang tidak ada disini, yang ada ialah Pangeran Sejati (Allah), yaitu jatining Pangeran

Mulya. Dengan kesal kedua utusan itu kembali tanpa hasil.59

Ketika mendengar laporan tersebut, Sunan Giri marah sekali, tetapi masih dapat disabarkan oleh wali yang lain. Kedua utusan disuruh kembali untuk memanggil Pangeran Sejati . Dipanggil dengan sebutan itu, Syekh Siti Jenar menyarankan agar utusan kembali ke Giri karena disitu tidak ada Pangeran Sejati, yang ada Syekh Lemah Abang. Utusan kembali lagi dengan tangan hampa dan kesal. Sesampai di Giri, utusan disuruh kembali untuk mengundang Pangeran Sejati alias Syekh Lemah Abang, atau

(55)

45

Syekh Lemah Abang alias Pangeran Sejati. Dengan panggilan itu barulah Syekh Lemah Abang mau memenuhi undangan Sunan Giri atas Walisongo. Setelah Walisongo berkumpul semua, forum terpecah menjadi dua kubu, yaitu Walisana (delapan orang) berhadapan dengan Syekh Siti Jenar seorang diri. Setelah nyata dan yakin bahwa Syekh Siti Jenar tersesat dan bid’ah, maka para wali berusaha untuk menginsafkannya, tetapi ajakan itu ditolak.60

Oleh karena itu, para wali bersepakat untuk mejatuhi hukuman mati agar ajarannya tidak berkembang di masyarakat yang ketika itu masih baru memeluk Islam.

Berdasarkan penelitian Masyhudi terhadap naskah yang berasal dari Giri. Nama asli dalam naskah itu tertulis Buku Kitab-Kitab Sarupane Barang Ing Kitab-Kitab Ingkang Kejawen Miwah Suluk

Miwah Kitab Sarto Barqoh Ing Giri Pura Kedaton. Kemudian

disingkat Naskah Sarupane Barang Ing Giri Pura Kedaton.61 Pemilik aslinya adalah kyai Syarif. Dalam naskah tersebut disebutkan bahwa Syekh Siti Jenar meninggal dengan ditanggali dengan candra sengkala badan sirna sukma langgeng (mungkin berangka 1401 Ś atau 1479 M).62

Dalam tasawuf, ilmu untuk mencapai Tuhan dibagi ke dalam

60Ibid.

61Naskah ini ditulis pada akhir abad ke-17 M di Giri Prapen yang merupakan salinan dari Giri

Kedaton.Naskah ini berisi tentang ajaran tasawuf kiri dan kanan, dimana tasawuf kiri dianut oleh Syekh Siti Jenar sedangkan tasawuf kanan dianut oleh walisongo. Masyhudi, Tasawuf Aliran Kiri dalam Naskah Kuno dari Giri Kedaton, 35.

(56)

46

empat tahapan atau tingkatan, yaitu: shariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Shariat berarti praktik formal hukum dan tata cara keagamaan, tarikat berarti jalan atau metode untuk mencapai Tuhan, hakikat berarti makna sejati ilmu agama itu sendiri, dan makrifat berarti pengetahuan mengenai segala sesuatu yang bersumber langsung dari ilmu Tuhan.63

Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontversional adalah tentang Manunggaling Kawulo Gusti yang dianggap dapat menyesatkam umat. Menurut Syekh Siti Jenar, Tuhan memiliki hubungan dengan manusia dan alam ciptaan-Nya, hubungan itu dapat berbentuk kehadiran Sang Tuhan dalam diri manusia sebagaimana diterangkan dengan konsepsi Wihdatul Wujud yang nantinya memunculkan konsepsi ittihad. Dalam konsepsi Wihdatul

Wujud dinyatakan bahwa yang maujud atau segala yang ada ini

hanyalah “satu” dan “tunggal” yang tidak dapat dibagi atau diduakan. Dengan prinsip itu tidak ada yang maujud dan ada, kecuali Allah belaka, sehingga segala yang tampak ada dalam semesta ini hanyalah gambaran dan penampakan semata-mata yang ada itu, yakni Allah.64

Dengan konsepsi tersebut, menurut Abdul Munir Mulkhan bahwa Syekh Siti Jenar berpandangan bahwa mereka yang melakukan salat, puasa, serta amalan syariat adalah orang awam,

63Zazuli, Syekh Siti Jenar, 54.

64Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam Jawa (Yogyakarta: Yayasan

(57)

47

penuh kepalsuan. Inti syariat adalah “menyembah” kepada Allah. Menurut mereka, Allah itu menampak dalam eksistensi makhluk (manusia) dan sebaliknya setiap makhluk atau manusia adalah kenyataan dari Allah. Karena itu tidak ada yang perlu disembah, sebab yang disembah menyatu dan menampak dalam diri yang menyembah. Segala bentuk penyembahan hanyalah kebohongan dan kepalsuan belaka yang tidak perlu, kecuali bagi orang awam.65

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menerapkan metode pembelajaran yang terintegrasi dengan teknologi komputer (seperti SPC) akan memberikan suatu model yang berbasis unjuk kerja, hal ini

Dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan media bahan sisa dan bahan alam dalam mengembangkan motorik halus peserta didik pada Area

Minna Latifah, dengan skripsi yang berjudul Upaya Guru PAI DalamMeningkatkan Kompetensi Beragama Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Pringsewu Tahun Ajaran 2015 / 2016. Peranan

Dengan telah bertambahnya fasilitas di Laboratorium Kesehatan Daerah dalam rangka menunjang peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, maka pengaturan retribusi

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “Penerapan model Cooperative Learning Tipe jigsaw pada mata pelajaran Akidah Akhlak materi iman kepada kitab-kitab Allah

Simpulan yang didapat dari data yang ada adalah latihan sirkuit training pola 1 lebih berpengaruh signifikan dari pada latihan sirkuit training pola 2

PTFI bekerjasama dengan para mitra dalam berinvestasi di infrastruktur air bersih berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Papua khususnya pemilik tanah

Dalam pengadaan bahan baku kedelai Industri Tahu Mitra Cemangi sebaiknya melakukan pembelian kedelai dalam jmlah yang besar dan dengan frekuensi yang rendah per