• Tidak ada hasil yang ditemukan

buku petunjuk teknis penemuan pasien tb dm di fasilitas kesehatan rujukan tngkat lanjut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "buku petunjuk teknis penemuan pasien tb dm di fasilitas kesehatan rujukan tngkat lanjut"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan hidayah Nya sehingga Petunjuk Teknis Penemuan Pasien TB - DM di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut dapat diselesaikan tepat waktu.

Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan akan melemahkan sistem kekebalan tubuh sehingga menyebabkan penderitanya memiliki kemungkinan 3 kali lebih tinggi untuk menderita TB aktif. Hasil pengobatan TB pada penderita TB dengan komorbid DM akan lebih banyak mengalami kegagalan dibandingkan dengan yang tidak memiliki komorbid DM. Hal ini terjadi akibat adanya penundaan konversi dari kultur dahak, risiko kematian selama pengobatan TB dan risiko relaps paska pengobatan yang lebih tinggi pada penderita TB dengan komorbid DM.

Petunjuk Teknis ini direkomendasikan untuk menjadi pegangan petugas kesehatan di Fasililitas kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut agar dapat mempermudah petugas kesehatan dalam menemukan Pasien TB-DM. Kami berharap petunjuk teknis ini dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam menemukan pasien TB-DM di FKRTL. Kami juga menyadari bahwa Petunjuk Teknis ini masih jauh dari yang sempurna, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan dan penyempurnaan dimasa yang akan datang.

Akhirnya kami sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada tim penyusun, narasumber dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan Petunjuk Teknis Penemuan Pasien TB-DM di FKRTL.

Jakarta, Juli 2015 Direktur Jenderal PP dan PL

(2)

Tim Pengarah

Lily. S. Sulistyowati (direktur PPTM) Sigit Priohutomo ( direktur P2ML)

Editor

Christina Widaningrum (Kasubdit TB Kemenkes RI) Dyah Erti Mustikawati (Kasubdit DM Kemenkes RI)

Penyusun

Adi Rahmat (BUKR) Andra Aswar (PERKENI)

Ariin Nawas (PDPI) Benyamin Sihombing (WHO) Eka Sulistiany (Subdit TB Kemenkes RI)

Em Yunir (PERKENI) Fathiya Isbaniah (PDPI) Firza Asneli Putri (KNCV)

Frida Soesanti (IDAI)

Masitah Sari Dewi ( Subdit DM Kemenkes RI) Mery Panjaitan ( Subdit DM Kemenkes RI)

Muhadi (PAPDI)

Novayanti R. Tangirerung (Subdit TB Kemenkes RI) Raini Fathyah ( Subdit DM Kemenkes RI) Sylviana Andinisari (Subdit DM Kemenkes)

Sulistyo (Subdit TB Kemenkes RI) Suwandi ( Subdit TB Kemenkes)

Telly Kamelia (PERPARI) Vanda Siagian (Subdit TB Kemenkes)

(3)

KATA PENGANTAR ... i

TIM PENYUSUN ...ii

DAFTAR ISI ...iii

DAFTAR SINGKATAN ...iv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 3

C. Sasaran ... 4

D. Landasan Hukum ... 4

E. Ruang Lingkup ... 4

F. Pengertian ... 5

BAB II. STRATEGI DAN POKOK-POKOK KEGIATAN TB - DM ... 7

A. Strategi Penanggulangan TB ... 7

B. Strategi Penanggulangan DM ... 9

C. Kolaborasi TB - DM ... 10

BAB III. PENEMUAN KASUS TB - DM ... 11

A. Penemuan Kasus TB Pada Penyandang DM ... 11

B. Penemuan DM Pada Pasien TB ... 14

C. Tatalaksana TB – DM ... 18

BAB IV. JEJARING TB – DM ... 19

A. Konsep Jejaring TB-DM ... 19

B. Jejaring Internal TB-DM ... 19

C. Jejaring Eksternal ... 20

D. Tatalaksana Rujukan Pasien TB-DM ... 20

BAB V SURVAILANS TB- DM ... 23

A. Monitoring dan Evaluasi ... 23

B. Supervisi ... 31

BAB VI. PENUTUP ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33

LAMPIRAN 1 ... 34

LAMPIRAN 2 ... 35

(4)

Balitbangkes Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

BPOM Badan Pengawas Obat dan Makanan

BTA Basil/batang Tahan Asam

CNR Case Notiication Rate

DM Diabetes Mellitus

DMG Diabetes Mellitus Gestasional

DOTS Directly Observed Short-course Therapy

ECG Electrocardiography

e-TB Manager Electronic TB Manager (sistem pencatatan dan pelaporan TB Resistan Obat)

Faskes Fasilitas kesehatan

FKRTL Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan

FKTP Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

G 2 jam PP Gula Darah 2 jam Post Prandial

GDPT Glukosa Darah Puasa Terganggu

GDS Gula Darah Sewaktu

GFR Glomerulus Filtration Rate

HDL High Density Lipoprotein

HIV Human Immunodeiciency Virus

IDF International Diabetes Foundation

IDI Ikatan Dokter Indonesia

JKN Jaminan Kesehatan Nasional

KGB Kelenjar Getah Bening

KIA Kesehatan Ibu dan Anak

KIE Komunikasi Informasi dan Edukasi

LDL Low Density Lipoprotein

OAD Obat Anti Diabetes

OAT Obat Anti Tuberkulosis

Ormas Organisasi kemasyarakatan

PAPDI Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia

(5)

PPNI Persatuan Perawat Nasional Indonesia

PPOK Penyakit Paru Obstruktif Kronis

PSM Procurement and Supply Management

PTM Penyakit Tidak Menular

Riskesdas Riset Kesehatan Dasar

SIHA Sistem Informasi HIV-AIDS

SIKDA Sistem Informasi Kesehatan Daerah

SITT Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu

TB Tuberkulosis

TB RO Tuberkulosis Resistan Obat

TC Total Cholesterol

TemPO Temukan pasien TB, Pisahkan secara aman dan Obati dengan tepat

TG Trigliserida

TGT Toleransi Glukosa Terganggu

TIK Teknologi Informasi Komunikasi

TSR Treatment Success Rate

UKBM Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut WHO Tahun 2013 diperkirakan kasus Tuberkulosis (TB) didunia sejumlah

11 juta diantaranya 9 juta adalah kasus baru, dan sekitar 1,1 juta meninggal. Di

Indonesia, berdasarkan Global TB Report 2013, diperkirakan 680.000 kasus TB

(di antaranya 460.000 adalah kasus baru) atau sekitar 272 kasus TB/100.000

penduduk (diantaranya 183 kasus TB/100.000 penduduk) dan masih tingginya

angka kematian akibat TB yaitu 64.000 sebanding dengan 25/100.000 penduduk.

Saat ini jumlah penyandang Diabetes Mellitus (DM) di seluruh dunia diperkirakan

sebanyak 285 juta orang, dan jumlah ini akan terus mengalami peningkatan

hingga paling sedikit mencapai 438 juta orang pada tahun 2030. Menurut hasil

survei kesehatan nasional 2013 dan International Diabetes Foundation (IDF)

2015, diperkirakan jumlah penyandang DM di Indonesia sebanyak sekitar 9,1 juta

orang. Kasus DM di Indonesia sendiri pada tahun 2030 diperkirakan akan

mencapai angka 21.3 juta orang. Berdasarkan riset kesehatan dasar pada tahun

2013, baru sekitar 30% dari penderita DM yang terdiagnosis di Indonesia

(Riskesdas 2013).

Diabetes Melitus merupakan faktor risiko penting untuk perkembangan TB aktif

(Stevenson et al. 2007; Jeon & Murray 2008; Dooley & Chaisson 2009; Ruslami et

al., 2010). Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan

akan melemahkan sistem kekebalan tubuh sehingga menyebabkan penderitanya

memiliki kemungkinan 3 kali lebih tinggi untuk menderita TB aktif. Hasil

pengobatan TB pada penderita TB dengan komorbid DM akan lebih banyak

mengalami kegagalan dibandingkan dengan yang tidak memiliki komorbid DM.

Hal ini terjadi akibat adanya penundaan konversi dari kultur dahak, risiko kematian

selama pengobatan TB dan risiko relaps paska pengobatan yang lebih tinggi pada

penderita TB dengan komorbid DM. Hampir 90% pasien TB-DM adalah

(7)

Sebanyak lebih dari 10% penderita TB merupakan penderita DM, sehingga

dengan semakin meningkatnya jumlah penderita DM, jumlah penderita TB juga

akan mengalami peningkatan yang sangat tinggi. Mengingat tingginya prevalensi

TB di Indonesia, yaitu 660 per 100.000 orang menurut hasil Survei Prevalensi TB

2013, berbagai strategi dan upaya telah dilakukan untuk menurunkan prevalensi

tersebut. Walaupun demikian, upaya pengendalian TB di Indonesia dapat

terhambat akibat terus meningkatnya jumlah penderita DM di Indonesia.

Hasil survei register TB – DM oleh Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan (Balitbangkes) tahun 2014 di 7 rumah sakit di indonesia, dari 740

kasus TB terdapat 110 penyandang DM (14,9%). Hasil pemeriksaan mikrobiologi

dari 110 Pasien TB-DM menunjukkan hasil BTA positif 82,7%, hasil BTA positif

pasien TB non DM 49,2%. Hasil kultur positf pada TB-DM 41,8% sedangkan hasil

kultur positif pada pasien TB non DM 21,3%. Pada pemeriksaan X-pert MTB/RIF

pada pasien TB-DM menunjukkan hasil 27,3% TB resistan obat sedangkan pada

pasien TB non DM menunjukkan hasil 9,4% TB resistan obat. Alisjahbana dkk

dalam penelitian TANDEM tahun 2013 mendapatkan hasil yang sama dengan

survai diatas.

Tahun 2011 Oleh WHO merekomendasikan bahwa ada keterkaitan TB dengan

DM yaitu:

1. Orang dengan diabetes mellitus memiliki 2 - 3 kali lebih tinggi berisiko sakit TB

dibandingkan dengan orang tanpa diabetes

2. Orang yang menderita TB dan DM berisiko 4 kali lebih tinggi terjadi kematian

selama pengobatan TB

3. Konsentrasi Obat Anti Tuberkulosis dalam plasma pasien TB dengan DM lebih

rendah dibandingkan dengan pasien TB tanpa DM. Hal ini menyebabkan risiko

gagal pengobatan atau resistensi OAT

4. TB dapat memicu timbulnya diabetes, dan memperburuk kontrol glikemik pada

penderita diabetes dimana obat TB dapat mengganggu pengobatan diabetes

melalui interaksi obat, dan diabetes dapat mengganggu aktivitas tertentu obat

(8)

Dengan adanya keterkaitan TB dan DM telah dilakukan uji coba di 3 (tiga) rumah

sakit ( H. Adam Malik, RSUP Dr Karyadi dan RSUD Labuan Baji) tahun 2014

menunjukkan hasil sbb:

1. RSUP H. Adam Malik :

a. Dari 50 penyandang DM yang diskrining TB sebanyak 24 pasien yang

didiagnosis TB dan terdapat 20 (40%) terkonfirmasi secara bakteriologis.

b. Dari 50 pasien TB, yang diskrining DM sebanyak 41 pasien TB dan

terdiagnosis DM 21 pasien (52%).

2. RSUP dr. Karyadi :

a. Dari 50 penyandang DM yang diskrining TB sebanyak 25 pasien positif

dan dirujuk untuk penegakan diagnosis 7 orang dan semuanya terdiagnosis

TB

b. Dari 50 pasien TB, yang diskrining DM sebanyak 17 pasien dan dirujuk

untuk penegakan diagnosis dan hasilnya 12 penyandang DM (70,6%).

3. RSUD Labuang Baji :

a. Dari 17 penyandang DM yang diskrining TB sebanyak 17 pasien positif

dan dirujuk untuk penegakan diagnosis 2 orang dan semuanya bukan TB.

b. Dari 24 pasien TB, yang diskrining DM sebanyak 4 pasien dan dirujuk untuk

penegakan diagnosis dan hasilnya 2 penyandang DM (50%).

Berdasarkan informasi diatas maka perlu disusun petunjuk teknis penemuan

kasus TB-DM di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).

B. Tujuan

Sebagai acuan penemuan kasus TB – DM di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat

Lanjut (FKRTL)

C. Sasaran

1. Petugas kesehatan yang menangani pasien TB dan DM di FKRTL

2. Penanggung jawab program TB dan PTM di dinas Kesehatan provinsi, kab/kota

(9)

D. Landasan Hukum

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular

(Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 20, tambahan Lembar Negara Nomor

3273);

2. Undang-undang nomor 29/2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran

Negara RI Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Nomor

4431);

3. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara

Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5063);

4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial;

5. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan

Nasional (Lembaran Negara RI Tahun 2012 Nomor 193);

6. Peraturan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan

Nasional (Lembaran Negara RI Tahun 2013 Nomor 29);

7. Peraturan Menteri Kesehatan RI. Nomor 71 tahun 2013 tentang pelayanan

kesehatan pada jaminan kesehatan nasional;

8. Permenkes Nomor 82 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Penyakit

Menular;

9. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang

Pedoman Pengendalian Tuberkulosis (TB);

10. Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 270/Menkes/SK/III/2007 tentang

Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di RS dan

Fasyankes lainnya;

E. Ruang Lingkup

Dalam buku ini pembahasan meliputi :

1. Strategi dan pokok-pokok kegiatan TB-DM

2. Penemuan pasien TB-DM

3. Jejaring TB-DM

(10)

F. Pengertian

1. Penyakit TB

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman yaitu Mycobacterium tuberculosis.

Secara umum sifat kumanTB (Mycobacterium tuberculosis) antara lain adalah

sebagai berikut:

 Berbentuk batang dengan panjang 1–10 mikron, lebar 0,2–0,6 mikron.

 Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen.

 Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa.

 Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop.

 Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C

 Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet.

 Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan

mati dalam waktu beberapa menit.

 Dalam dahak pada suhu antara 30–37°C akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu.

 Kuman dapat bersifat dormant (”tidur”/tidak berkembang)

2. Penyakit DM

Diabetes Melitus adalah suatu penyakit gangguan metabolik menahun yang

ditandai oleh kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal yang terjadi

karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya.

Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi penyakit DM, yaitu:

a. Diabetes Melitus tipe 1

DM tipe 1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan metabolisme

glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini diakibatkan

oleh kerusakan sel-β pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik

(11)

Mycobacterium tuberculosis

Mycobacterium tuberculosis

  

 

β

b. Diabetes Melitus tipe 2

Diabetes Melitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai

oleh kenaikan kadar gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel

beta pankreas dan atau fungsi insulin (resistensi insulin), terutama pada

dewasa dan lansia.

c. Diabetes Melitus tipe lain

Diabetes Melitus tipe lain adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai

oleh kenaikan kadar gula darah akibat defek genetik fungsi sel beta, defek

genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat

atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom genetik lain

yang berkaitan dengan DM.

d. Diabetes Melitus Kehamilan (Gestasional)

Diabetes Melitus Gestasional (DMG) adalah suatu gangguan toleransi

karbohidrat (TGT, GDPT, DM) yang terjadi atau diketahui pertama kali pada

saat kehamilan sedang berlangsung (Perkeni, 2006).

(12)

BAB II

STRATEGI DAN POKOK-POKOK KEGIATAN TB - DM

A. Strategi Penanggulangan TB.

1. Menggalakkan kampanye pencegahan TB untuk memutus rantai penularan

TB di masyarakat;

a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang cara pencegahan TB,

gejala TB dan akses layanan.

b. Advokasi kepada lintas sektor dan lintas program untuk meningkatkan

komitmen terhadap penanggulangan TB.

2. Meningkatkan komitmen pemerintah daerah dan pemangku kepentingan

dalam penanggulangan TB;

a. Memastikan komitmen politis di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dengan

penegakan peraturan yang ada maupun membuat peraturan baru dan

pendanaan untuk mendukung penanggulangan TB.

b. Menginisiasi pendekatan inovatif untuk membangun interaksi yang

berkelanjutan di semua tingkatan, khususnya di tingkat kabupaten/kota

untuk menjamin hubungan yang kuat antara sektor publik dan swasta.

c. Meningkatkan koordinasi antara program penanggulangan TB terintegrasi

dengan HIV–AIDS dan Diabetes Melitus (DM) dengan lintas program dan

lintas sektor, di setiap jenjang untuk menurunkan beban TB di masyarakat.

d. Melibatkan cabang-cabang organisasi profesi tingkat provinsi dan

kabupaten/kota, khususnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan

organisasi profesi terkait, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI),

dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) untuk mempromosikan penggunaan

obat rasional, terstandar dan dukungan kepatuhan berobat pasien untuk

meningkatkan keberhasilan pengobatan TB dan mencegah terjadinya

resistensi obat.

e. Melakukan penelitian/riset operasional untuk mengetahui besarnya beban

(13)

3. Meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan penanggulangan TB;

a. Meningkatkan angka penemuan semua kasus TB melalui penjangkauan

dan edukasi mengenai TB terhadap masyarakat.

b. Meningkatkan keberhasilan pengobatan mencapai 90%.

c. Meningkatkan kualitas pelayanan TB di tingkat fasyankes.

d. Memperluas ketersediaan dari alat diagnostik baru untuk mendeteksi kasus

BTA negatif, TB ekstra paru, TB resisten obat pada dewasa maupun anak.

e. Melakukan ekspansi layanan pengobatan sesuai dengan peningkatan

kebutuhan termasuk penyediaan obat TB yang berkualitas, pengenalan

obat baru, sumber daya manusia terlatih, dan dukungan pengobatan yang

berpusat pada pasien.

f. Mengintegrasikan layanan skrining TB dengan layanan HIV-AIDS, DM, KIA,

Gizi, populasi rentan dan penyakit gangguan pernapasan lainnya (PPOK)

untuk intenstifikasi penemuan kasus TB.

g. Menerapkan strategi TemPO untuk penemuan kasus TB secepatnya di

fasyankes.

4. Mengembangkan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM)

untuk penemuan dan pengobatan pasien TB sebanyak mungkin serta

mencegah TB resistan obat;

a. Melakukan pelacakan kontak serumah kasus TB paru secara sistematis.

b. Melaksanakan pelacakan kasus mangkir.

5. Meningkatkan akses masyarakat pada pelayanan TB;

a. Memperluas layanan TB dan TB Resistan Obat sehingga mudah dijangkau

oleh masyarakat.

b. Memperluas layanan TB dan TB Resistan Obat dalam skema Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN) dengan menyediakan paket layanan

(14)

6. Meningkatkan kualitas manajemen penanggulangan TB.

a. Mengembangkan dan meningkatkan kualitas SDM untuk memastikan

kompetensi sehingga dapat melaksanakan penanggulangan TB dengan

baik.

b. Mengembangkan laboratorium rujukan nasional sesuai standar sertifikasi

WHO sehingga mampu membina laboratorium baik di tingkat fasyankes,

maupun Fasyankes laboratorium lainnya termasuk sistem pemantapan

mutu.

c. Pengadaan obat anti TB terutama obat lini kedua, reagen dan bahan

laboratorium dan perlengkapan lainnya dengan menggunakan proses PSM.

d. Melaksanakan pemantapan mutu obat anti TB secara nasional oleh BPOM.

e. Memperkuat sistem surveilens dengan mewajibkan semua Fasyankes

melaporkan kasus TB yang ditemukan termasuk untuk layanan praktik

mandiri (mandatory notification).

f. Mengintegrasikan Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu (SITT) dan

sistem pelaporan penyakit lainnya, termasuk Sistem Informasi HIV AIDS

(SIHA), Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA), e-TB manager,

sistem informasi organisasi berbasis masyarakat (Ormas), dan JKN ke

dalam sistem informasi manajemen kesehatan nasional berbasis Teknologi

Informasi Komunikasi (TIK).

B. Strategi Penanggulangan Diabetes Melitus

1. Meningkatkan advokasi, kemitraan, kepemimpinan dan manajemen dalam

diabetes melitus

2. Meningkatkan promosi kesehatan dalam penurunan faktor risiko

3. Penguatan sistim kesehatan untuk diagnosis dini dan tatalaksana Diabetes

Melitus termasuk faktor risikonya

4. Penguatan riset, surveilans, monitoring dan evaluasi terhadap penanggulangan

(15)

mandatory notification

C. Kolaborasi TB- DM

1. Tujuan kolaborasi TB-DM adalah penurunan beban pasien TB pada

penyandang DM dan menurunkan beban DM pada pasien TB melalui sistim

jejaring dan kemitraan

2. Kegiatan kolaborasi TB-DM

Kegiatan TB DM dilaksanakan dengan mengacu pada penanggulangan TB dan

DM yang berlaku saat ini meliputi:

a. Perencanaan bersama antara program TB dan DM dalam menetapkan

peran dan tanggung jawab masing- masing program ditingkat pusat dan

daerah termasuk layanan kesehatan.

b. Surveilans dilakukan dengan menggunakan data rutin yang didapat dari

layanan yang sudah melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-DM baik dari

layanan TB dan DM, maupun survey dan sentinel.

c. Penanganan pasien TB dan penyandang DM secara terpadu di dalam

fasilitas pelayanan kesehatan maupun antara fasilitas pelayanan kesehatan

dengan faslitas kesehatan lainnya.

d. KIE tentang TB-DM

e. Menerapkan prinsip-prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi.

f. Monitoring dan evaluasi dengan melibatkan kolaborasi kedua program

g. Supervisi kegiatan TB-DM secara terpadu oleh kedua program.

(16)

BAB III

PENEMUAN KASUS TB-DM

A. Penemuan Kasus TB Pada Penyandang DM

1. Dewasa

Penapisan TB pada penyandang DM bertujuan untuk menjaring terduga pasien

TB. Penjaringan pasien TB pada penyandang DM terdiri dari:

a. Segera setelah penegakan diagnosis DM

b. Setiap kunjungan penyandang DM ke fasyankes

Penemuan terduga TB pada penyandang DM yaitu dengan melakukan:

a. Menemukan gejala dan tandapada penyandang DM, antara lain:  Batuk, terutama batuk berdahak ≥ 2 minggu

 Demam hilang timbul, tidak tinggi (subfebris)  Keringat malam tanpa disertai aktivitas  Penurunan berat badan

 TB Ekstra paru antara lain; Pembesaran Kelenjar Getah Bening (KGB)  Sesak, nyeri saat menarik napas, atau rasa berat di satu sisi dada

b. Pemeriksaan foto toraks mencari abnormalitas paru. Indikasi pemeriksaan

foto toraks ulang ditentukan oleh klinisi.

Bila terdapat salah satu gejala TB dan atau foto toraks mendukung TB maka

penyandang DM dilakukan penegakan diagnosis TB (sesuai alur diagnosis TB

dewasa). Bila dinyatakan TB, penyandang DM dirujuk ke poli DOTS untuk

penatalaksaaan selanjutnya.

Penapisan TB pada penyandang DM selanjutnya dilakukan pada setiap

kunjungan berikutnya dengan mencari gejala dan tanda TB (tanpa foto toraks).

Lihat alur penemuan pasien TB pada DM dibawah ini.

 

(17)

 ≥

    

Gambar 1. Alur Penemuan Pasien TB Pada Penyandang DM

Gejala (+) Toraks (+)

Gejala (+) Toraks (-)

Gejala (-) Toraks (+) Penyandang DM

Skrining :

Gejala TB

Foto

Gejala (-) Toraks (-)

Skrining

Skrining gejala ulang setiap berkunjungan Rujuk untuk pemeriksaan lab.

penegakan diagnosis TB : Sesuai dengan alur Diagnosis TB pada orang dewasa

Rujuk ke poli DOTS TB untuk tatalaksana TB

(18)

2. Anak

Penemuan pasien TB pada penyandang DM adalah dengan menanyakan

beberapa kondisi di bawah ini, yaitu:

A. Riwayat kontak dengan pasien TB dewasa aktif

B. Gejala dan tanda sugestif TB, yaitu:

 Batuk lama atau persisten ≥ 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan penyebab

lain batuk telah disingkirkan.

 Demam lama (≥ 2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam

umumnya tidak tinggi (subfebris) dan dapat disertai keringat malam.

 Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive).

 Berat badan turun selama 2-3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas ATAU berat badan tidak naik dengan adekuat ATAU tidak naik dalam 1

bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.

 Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

 Keringat malam dapat terjadi, namun keringat malam saja apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain bukan merupakan gejala

spesifik TB pada anak.

 Gejala spesifik TB terkait organ, antara lain pembengkakan sendi dan tulang belakang, skrofuloderma, dan lain lain.

Bila menemukan salah satu kondisi di atas maka dilakukan pemeriksaan uji

tuberkulin, foto toraks, pemeriksaan sputum atau spesimen lain yang

relevan Xpert MTB/RIF untuk penegakan diagnosis.

(19)

 ≥

 ≥

failure to thrive

 

Gambar 2. Alur Penapisan TB Anak Pada Pasien DM

Keterangan:

Tatalaksana DM pada anak sesuai dengan konsensus DM tipe 1 dan DM tipe

2 IDAI, sedangkan tatalaksana TB pada anak sesuai dengan PNPK TB.

B. Penemuan DM Pada Pasien TB

1. Dewasa

Penapisan DM pada pasien TB di FKRTL adalah dengan pemeriksaan glukosa

plasma puasa (puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam)

atau pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral

(TTGO) dengan beban 75 gram pada semua pasien TB. Pemeriksaan glukosa

dengan menggunakan metode ensimatik dengan spesimen darah vena.

Penapisan DM pada pasien TB adalah dengan memeriksa Gula Darah Plasma

Puasa (GDP) yaitu kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam atau

pemeriksaan glukosa plasma sewaktu (GDS) atau 2 jam setelah Tes Toleransi

Glukosa Oral (TTGO) dengan beban 75 gram pada semua pasien TB dengan

spesimen darah vena.

Penegakkan Diagnosis DM dengan kriteria :

a. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl, atau

b. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan keluhan klasik, Pasien DM yang terdapat riwayat kontak TB

dewasa aktif dan/atau gejala sugestif TB

Lakukan pemeriksaan uji tuberkulin, foto toraks dan sputum atau spesimen lain yang relevan

untuk pemeriksaan Xpert MTB/Rif

TB Bukan TB

Hasil positif Hasil negatif

(20)

(keluhan klasik DM: Poliuria, polidipsi, polifagi, penurunan berat badan yang

tidak dapat dijelaskan sebabnya), atau

c. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl 2 jam setelah TTGO

dengan beban 75 gram, atau

d. Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metoda High Performance Liquid Chromatographi (HPLC) yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)

Catatan : Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard

NGSP , sehingga harus hati-hati dalam membuat interprestasi terhadap hasil

pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati,

riwayat tranfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi-kondisi yang mempengaruhi

umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai

sebagai alat diagnostik maupun evaluasi.

 

High Performance Liquid Chromatographi

National Glycohaemoglobin

Standarization Program

(21)

High

Performance Liquid Chromatographi

National Glycohaemoglobin Standarization Program

Gambar 3. Alur Dianosis DM Pada Pasien TB

Tatalaksana TB-DM sesuai panduan

Nasional Semua pasien yg

terdiagnosa TB

Pem. Gula Darah Puasa

Pem. Gula Darah Sewaktu (GDS)atau GD 2 jam pp 

Belum pasti DM GDP 100 – 125 mg/dl GDS 100 – 199 mg/dl

DM GDP <100 mg/dl

GDS <100 mg/dl GDPGDS ≥≥126 mg/dl 200mg/dl Hasil Pemeriksaan

Bukan DM

Evaluasi ulang setelah 3 bulan

Catatan :

Jika fasilitas Kesehatan mempunyai pemeriksaan HbA1C dengan

menggunakan metoda

High Performance Liquid Chromatographi

(HPLC) yang terstandarisasi oleh

National Glycohaemoglobin

Standarization Program

(NGSP) lakukan bersamaan

pemeriksaan lainnya

Hasil:

6,5 %

DM

(22)

2. Anak

Penapisan DM untuk pasien TB dilakukan 2 bulan setelah ditegakkan

diagnosis dan diterapi secara adekuat namun tidak ada perbaikan secara

klinis dan laboratoris pada TB dan DM.

Penemuan DM tipe 1 pada pasien TB anak adalah dengan menanyakan

gejala klasik DM yaitu :

‐ Buang air kecil yang sering (poliuria)

‐ Sering haus dan minum berlebihan (polidipsia)

‐ Penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya

‐ Lemas

‐ Sering lapar (polifagi)

Jika ditemukan gejala-gejala di atas maka dilakukan pemeriksaan gula darah

sewaktu dengan darah kapiler atau vena dan atau urin rutin. Jika kadar gula

darah sewaktu ≥ 200 mg/dl dan/atau urin reduksi positif maka pasien dirujuk

RS yang memiliki pelayanan untuk DM.

Gambar 4. Alur Penapisan DM Pada Pasien TB anak

Tatalaksana TB dan DM sesuai panduan

nasional

Pasien TB yang tidak menunjukkan respons klinis yang baik setelah 2 bulan terapi yang adekuat

Skrining gejala klasik DM

Ada Tidak

Pemeriksaan:

‐GDS

‐HbA1C

‐C-Peptide

‐Urin glukosa

‐Urin keton

TB-DM

(23)

‐ ‐ ‐ ‐ ‐

‐ ‐ ‐ ‐ ‐

C. Tatalaksana TB-DM

Pada Prinsipnya tatalaksana TB-DM sama dengan penatalaksanaan pasien TB

dan penatalaksanaan penyandang DM.

Penatalaksanaan DM sesuai dengan PNPK DM dan Penatalaksanaan TB sesuai

dengan PNPK TB.

(24)

BAB IV

JEJARING TB-DM

A. Konsep Jejaring TB-DM

1. Pengertian jejaring TB-DM adalah hubungan kerja timbal balik yang dibangun

baik di dalam maupun di luar Fasyankes dalam Tatalaksana TB-DM

2. Tujuan Jejaring TB-DM adalah agar setiap pasien TB maupun penyandang DM

mendapatkan kemudahan akses pelayanan TB dan DM yang berkualitas.

3. Jenis jejaring TB-DM

a. Jejaring internal TB-DM adalah hubungan kerja timbal balik antar semua unit

yang terkait dalam penanganan pasien TB dan DM di dalam Fasilitas

Kesehatan

b. Jejaring eksternal TB-DM adalah jejaring kerja yang dibangun antara

Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dengan Fasilitas Kesehatan

Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).

B. Jejaring Internal TB-DM.

Jejaring Internal di FKRTL melibatkan semua unit pelayanan dalam tata laksana

pengobatan penyakit TB maupun penyakit DM adalah sbb:

1. Kesiapan masing masing unit (poli) terkait menerapkan strategi penanganan TB

dan penanganan DM.

2. Membangun alur koordinasi dan komunikasi antar unit pelayanan terkait,

meliputi unit poli, laboratorium, rekam medik, logistik, farmasi dll.

3. Menetapkan penanggung jawab untuk jejaring kerja TB – DM di masing-masing

unit.

4. Kebijakan dari pihak manajemen untuk mendukung kelancaran pelayanan,

maupun dukungan sarana prasarana guna optimalisasi pelaksanaan jejaring

internal.

5. Pertemuan jejaring secara rutin untuk membahas perkembangan dan masalah

yang terjadi.

(25)

Gambar 5. Alur Jejaring Internal Dalam FKRTL

C. Jejaring Eksternal TB-DM.

Langkah-langkah membangun jejaring eksternal TB-DM, Institusi yang terkait

dalam penerapan jejaring kerja eksternal TB-DM meliputi: FKTP (DPM, PKM,

Klinik Pratama), FKRTL (Rumah Sakit, B/BKPM/BP4), yang dikoordinir dengan

Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota setempat.

D. Tatalaksana Rujukan Pasien TB-DM

1. Penyandang DM dengan TB

Untuk mencegah penularan infeksi TB pada penyandang DM sebaiknya

penemuan pasien TB pada penyandang DM dilakukan di poli penyakit dalam

atau poli Endokrin. Bila pasien dinyatakan sakit TB, pasien tersebut dirujuk ke

poli DOTS untuk penanganan TB selanjutnya dan penanganan DM dilakukan di

poli Endokrin atau penyakit Dalam.

Penyandang DM yang terduga TB resistan Obat segera dirujuk ke FKRTL

rujukan TB resistan Obat. UGD Poli Spesialis *

Poli Umum

UNIT DOTS

Patologi Anatomi/ Patologi Klinik Laboratorium

Radiologi

Farmasi

Rekam Medis Rawat Inap

P A S I E N

UNIT DM/ PENYAKIT

(26)

2. Pasien TB dengan DM

Penemuan DM pada pasien TB dilakukan di poli DOTS. Bila pasien dinyatakan

DM, pasien tersebut dirujuk ke poli penyakit dalam atau poli Endokrin untuk

penanganan TB selanjutnya dan penanganan DM dilakukan di poli Endokrin

atau Penyakit Dalam.

Pasien TB anak terduga DM tipe 1 penegakkan diagnosisnya di FKRTL yang

mempunyai fasilitas pemeriksaan C-peptide.

3. Hal – hal yang perlu dipantau pada pasien TB-DM

TB memerlukan pengobatan selama 6 – 8 bulan dan dipantau pengobatannya.

Sedangkan Diabetus Melitus (DM) memerlukan pengobatan seumur hidup

sehingga dalam perjalanannya penyandang DM memiliki risiko untuk

mengalami komplikasi, penurunan fungsi organ dan keadaan gawat darurat.

Oleh karena itu perlu dipantau secara terencana dan berkesinambungan seperti

yang ada dalam tabel dibawah ini.

 

  

follow

up

 

(27)

Tabel 1. Hal – hal Yang Perlu Dipantau

Yang Dipantau Waktu Pemeriksaan

Tinggi dan BB  Setiap kunjungan

BMI  Setiap kunjungan

Pemantauan  Setelah pengobatan TB bulan ke 2, ke 5 dan Akhir Pengobatan

Latihan jasmani  Setiap 3 bulan

Diet  Setiap kunjungan

HbA1 C  Awal diagnosis  Tiap 6 bulan sekali

Merokok  Setiap kunjungan

GDP  Setiap kunjungan

G 2 jam PP  Setiap kunjungan

Periksa profil lemak (TC, HDL, TG and calculated LDL)

 Awal diagnosis

 Bila belum ada kelainan diulangi setiap tahunnya.  Bila sudah ada dislipidemia dilakukan evaluasi ulang

setiap 3 bulan

Pemeriksaan mata

 DM tipe 2 dilakukan saat diagnosa bila tidak ada kelainan diulang setiap 1-2 tahun sekali.  Bila ditemukan kelainan maka interval follow up

ditentukan oleh spesialis mata sesuai dengan berat ringannya kelainan

Pemeriksaan proteinuria (mikroalbuminuria) dan serum kreatinin yg dikonversikan ke GFR.

 DMTipe 2dilakukan saat diagnosa ditegakan bila tidak ada kelainan diulangi setiap tahun sekali

 Ditemukan adanya kelainan interval follow up

ditentukan oleh spesialis penyakit dalam sesuai dengan berat ringannya kelainan

Pemeriksaan Neuropati

 DM tipe 2 dilakukan saat diagnosa ditegakan kemudian bila tidak ada kelainan diulangi tiap 1-2 tahun sekali.  Bila ditemukan adanya neuropati maka interval follow

up ditentukan oleh spesialis sesuai dengan berat ringannya kelainan

Pemeriksaan ECG  Pemeriksaan ECG awal dan diulang tiap 1 tahun sekali  Apabila ditemukan kelainan diulang setiap 6 bulan

(28)

BAB V

SURVEILANS

A. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi (monev) program TB DM merupakan salah satu fungsi

manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan kegiatan TB DM.

Monitoring dilakukan secara berkala sebagai deteksi awal masalah dalam

pelaksanaan kegiatan program sehingga dapat segera dilakukan tindakan

perbaikan. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana pencapaian tujuan,

indikator, dan target yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dalam rentang

waktu lebih lama, biasanya setiap 6 bulan sampai dengan 1 tahun.

Pelaksanaan monev merupakan tanggung jawab masing-masing tingkat

pelaksana program, mulai dari fasilitas pelayanan kesehatan, Dinas Kesehatan

kabupaten/ kota dan provinsi, pusat. Seluruh kegiatan program harus dimonitor

dan dievaluasi dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output)

dengan cara menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara ke

petugas kesehatan di fasilitas kesehatan maupun masyarakat.

1. Pencatatan dan Pelaporan

a. Pencatatan

Monitoring dan evaluasi dan kegiatan survailans, diperlukan suatu sistem

pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar,

dengan tujuan untuk mendapatkan data yang valid yang dapat diolah,

dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan

sebagai dasar perbaikan program. Data yang dikumpulkan harus memenuhi

standar yang meliputi:

 Lengkap, tepat waktu dan akurat.

 Data sesuai dengan indikator program

 Jenis, sifat, format, basis data yang dapat dengan mudah diintegrasikan dengan sistim informasi kesehatan yang generik.

Data untuk program pengendalian TB diperoleh dari sistem pencatatan

(29)

input output

  

didukung dengan sistem informasi secara elektronik. Jenis-jenis formulir dan

untuk penggunaanya seperti dalam tabel dibawah ini.

Tabel 2. Jenis Dan Penggunaan Formulir TB

No Formulir Penggunaan

1 Daftar terduga TB

(TB.06) Mencatat daftar terduga TB

2

Form permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05)

Permohonan pemeriksaan dahak TB ke Laboratorium. Formulir tersebut dapat

digunakan untuk pemeriksaan laboratorium TB, termasuk TB RO

3

Kartu pengobatan pasien TB (TB 01) dan Kartu Pengobatan pasien TB MDR

Memonitor pengobatan pasien yang sakit TB termasuk TB RO. Kartu pengobatan pasien TB RO hanya digunakan oleh fasyankes yang menjadi sub rujukan atau satelit TB RO

4

Kartu identitas pasien TB (TB.02)

Berisi informasi dasar identitas pasien TB dan jadwal perjanjian untuk mengambil OAT dan pemeriksaan dahak ulang

5 RegisterTB Fasyankes (TB.03 Fasyankes)

Rekapitulasi pasien TB yang diobati di fasilitas pelayanan kesehatan

6 Formulir rujukan/pindah pasien (TB 09)

Merujuk pasien TB untuk melanjutkan pengobatan TB ke fasyankes lain. Bagi fasyankes yang menerima pasien rujukan wajib mengirimkan bagian bawah formulir rujukan.

7

Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10)

Digunakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan bila menerima rujukan pasien TB dari tempat lain untuk memberikan informasi hasil

pengobatan TB DM kepada fasilitas pelayanan kesehatan asal pasien.

8

Register laboratorium TB (TB.04) dan/atau tes cepat

Digunakan oleh fasyankes yang melakukan pemeriksaan mikroskopis (PRM, PPM) atau tes cepat (memiliki GeneXpert)

(30)

b. Pelaporan

Fasilitas pelayanan kesehatan setiap triwulan melaporkan Laporan Triwulan

Program Pengendalian TB kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Laporan tersebut dikirmkan paling lambat tanggal 5 setiap awal triwulan.

Dinas Kesehatan kabupaten/ kota membuat rekapitulasi laporan tersebut

dan melaporkan penemuan dan pengobatan kasus TB paling lambat tanggal

10 setiap awal triwulan melalui SITT (Sistem Informasi Tuberkulosis

Terpadu) dan Sistem Informasi Surveilan PTM yang berbasis web, baik

dilakukan mandiri atau dibantu oleh Puskesmas dan pengelola program TB

kabupaten /kota. Provinsi dapat secara langsung mengakses laporan

kabupaten/ kota untuk memantau pelaporan.

Penerapan sistem informasi TB secara elektronik di fasilitas pelayanan

kesehatan dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan

ketersediaan sumber daya di wilayah tersebut.

2. Indikator

Indikator menjadi sebagai penanda sejauh mana program TB sudah

dilaksanakan oleh lapas dan rutan. Di Nasional, ada 2 indikator yang digunakan

untuk menilai kemajuan atau keberhasilan TB nasional, yaitu:

a. Angka notifikasi kasus TB (Case Notification Rate = CNR)

b. Angka keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR)

   

   

  

   

  

   

   

(31)

Tabel 3. Indikator Program TB Yang Digunakan

No Indikator Sumber Data Waktu Fasyankes Pemanfaatan Indikator kab/

Kota Prov. Pusat

1 Proporsi pasien terdiagnosis DM yang ditapisTB

Form survailans

2 Proporsi pasien TB yang ditapis DM

Proporsi TB-DM diantara pasien TB dan penyandang DM

Medical Record Triwulanan

Tahunan   

4 Proporsi pasien TB-DM yang menerima pengobatan TB

Form survailans PTM berbasis Fasyankes

Triwulanan

Tahunan    

5 Proporsi pasien TB-DM yang terkendali gula darah

Medical Record Triwulanan

Tahunan   

(32)

Formula dan Analisa Indikator

1. Proporsi pasien terdiagnosis DM yang dilakukan penapisan TB

Adalah prosentase penyandang DM yang dilakukan penapisan TB diantara

penyandang DM, angka ini diharapkan mencapai 100% yang artinya setiap

penyandang DM dilakukan penapisan TB.

Rumus :

2. Proporsi pasien TB yang dilakukan penapisan DM

Adalah prosentase pasien TB yang dilakukan penapisan DM diantara pasien TB,

angka ini diharapkan mencapai 100% yang artinya setiap pasien TB dilakukan

penapisan DM

Rumus :

3. Proporsi pasien TB-DM diantara pasien TB dan Penyandang DM yang

dilakukan penapisan

Adalah prosentase pasien yang terkonfirmasi TB-DM diantara pasien yang

dilakukan penapisan baik dari penapisan pasien TB maupun dari penapisan

penyandang DM.

Rumus:

4. Proporsi pasien TB-DM yang menerima pengobatanTB

Adalah prosentase pasien TB dengan DM yang menerima pengobatan TB, angka

ini diharapkan mencapai 100%

rtin 

Jumlah pasien Terdiagnosis DM yang dilakukan Penapisan TB

Jumlah Pasien Terdiagnosis DM X 100 %

rtin 

Jumlah pasien TB yang dilakukan Penapisan DM

Jumlah Pasien TB X 100 %

rtin  Jumlah pasien TB - DM

Jumlah Pasien Terdiagnosis TB dan BM yang dilakukan Penapisan X 100 %

High-Performance Liquid

Chromatography (HPLC) National

Glycohaemoglobin Standarization Program

 

Conversion Rate

 

(33)

 

 

 

Rumus :

5. Proporsi pasien TB-DM yang terkendali gula darah

Adalah prosentase pasien TB-DM yang terkendali gula darahnya, diantara semua

pasien TB-DM. Yang dimaksud terkendali gula darahnya adalah bila ke tiga

komponen dibawah ini terpenuhi yaitu:

 HbA1c < 6.5% (menggunakan metode High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP), saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP)

 Gula darah puasa (GDP) < 126 mg/dl  GDS < 200 mg/dl

Rumus:

6. Angka konversi (Conversion Rate)

Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi

Bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani

masa pengobatan tahap awal.

Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan

cara mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis

yang mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa

diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negative, setelah pengobatan tahap

awal (2 bulan/ 3 bulan).

Di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat dihitung

dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.

rtin 

Jumlah pasien TB – DM yang menerima pengobatan TB

Jumlah Pasien TB- DM X 100 %

rtin 

Jumlah pasien TB – DM yang terkendali gula darah

(34)

Rumus :

7. Angka Kesembuhan (Cure Rate)

Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB

Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang sembuh setelah selesai masa pengobatan,

diantara pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat.

Untuk kepentingan khusus (survailans), angka kesembuhan dihitung juga untuk

pasien Paru Terkonfirmasi Bakteriologis pengobatan ulang (kambuh dan dengan

riwayat pengobatan TB sebelumnya) dengan tujuan:

 Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat

terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan obat.

 Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat

baris kedua (second-line drugs).

 Menunjukkan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi

pada pasien dengan HIV.

 Untuk perhitungan, digunakan rumus yang sama dengan cara mengganti

sebutan numerator dan denominator dengan jumlah pasien TB paru

pengobatan ulang.

Rumus :

rtin 

Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang

hasil pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif

Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang diobati X 100 %

rtin 

Jumlah pasien baru TB Paru

Terkonfirmasi Bakteriologis yang sembuh

Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang diobati X 100 %

lost to follow-up

lost to follow-up

lost to follow-up

(35)

Cure Rate

second-line drugs

  f

 

Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan

cara mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis

yang mulai berobat dalam 9-12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa

diantaranya yang sembuh setelah selesai pengobatan.

Di Kabupaten, Provinsi dan Pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan triwulan

program TB di bagian IV tentang Hasil Pengobatan Pasien TB. Angka minimal

yang harus dicapai adalah 85%. Walaupun angka kesembuhan telah mencapai

85%, hasil pengobatan lainnya tetap perlu diperhatikan, yaitu berapa pasien

dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal, gagal, putus berobat (lost to follow-up), dan tidak dievaluasi.

 Angka pasien putus berobat (lost to follow-up) tidak boleh lebih dari 10%, karena akan menghasilkan proporsi kasus pengobatan ulang yang tinggi

dimasa yang akan datang yang disebabkan karena ketidak-efektifan dari

pengendalian Tuberkulosis.

 Menurunnya angka pasien putus berobat (lost to follow-up) karena peningkatan kualitas pengendalian TB akan menurunkan proporsi kasus

pengobatan ulang antara 10-20 % dalam beberapa tahun.

 Sedangkan angka gagal untuk pasien baru TB paru BTA positif tidak boleh

lebih dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak

boleh lebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi

obat.

8. Angka Keberhasilan Pengobatan (Treatment Success Rate = TSR)

Angka keberhasilan pengobatan adalah angka yang menunjukkan prosentase

pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang menyelesaikan

pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien

baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat. Dengan demikian angka

ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan

(36)

 

Rumus :

B. Supervisi

Supervisi merupakan bagian dari proses monitoring, yang bertujuan untuk

meningkatkan kinerja petugas, melalui suatu proses yang sistematis untuk

meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan motivasi petugas. Supervisi

dilakukan secara berjenjang oleh Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Pada

saat melakukan supervisi diperlukan pelibatan Kementerian Kesehatan dan Dinas

Kesehatan terkait. Setiap institusi dapat menggunakan panduan supervisi sesuai

dengan kebutuhan program yang akan dilihat.

Hal-hal yang dilakukan selama supervisi adalah:

 Observasi

 Interview dan diskusi, termasuk mendiskusikan permasalahan yang ditemukan

 Analisa pencatatan dan pelaporan

 Manajemen interview

 Stakeholder interview

 Bantuan teknis

 Mencari pemecahan permasalahan bersama-sama

 Memberikan temuan, rekomendasi dan saran perbaikan

Unit terkait memanfaatkan hasil supervisi sebagai bahan untuk refleksi

keberhasilan dan perbaikan program, oleh karena itu seluruh catatan proses

supervisi disimpan dengan baik.

rtin 

Jumlah pasien baru TB Paru

Terkonfirmasi Bakteriologis (sembuh + pengobatan lengkap)

Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi

Bakteriologis yang diobati

X 100 %

(37)

 

       

 

BAB VI

PENUTUP

Dengan tersusunnya Petunjuk Teknis Penemuan Pasien TB-DM di Fasilitas

Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut, dapat digunakan sebagai acuan bagi petugas

kesehatan di FKRTL dalam meningkatkan penemuan pasien TB dan DM.

Petunjuk teknis ini tidak dapat dipisahkan dengan pedoman atau petunjuk teknis

yang lainya yang terkait dengan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut

(FKRTL), Penanggulangan TB dan Penanggulangan DM.

Petunjuk Teknis ini akan terus disempurnakan dan diperbaharui sesuai dengan

perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(38)

DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan RI, 2014

2. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis, Kementerian Kesehatan RI, 2013

3. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, PB. PERKENI, Jakarta, 2011

4. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS), Badang Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Kesehatan RI, 2013

5. Alisjahbana, B., Van Crevel, R., Sahiratmadja, E., Den Heijer, M., Maya, A., Istriana, E., Van Der Meer, J. W. M. (2006). Diabetes mellitus is strongly associated with tuberculosis in Indonesia. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 10, 696–700

6. Lönnroth, K., Roglic, G., & Harries, A. D. (2014). Improving tuberculosis prevention and care through addressing the global diabetes epidemic: from evidence to policy and practice. The Lancet. Diabetes & Endocrinology, 2(9), 730–9. doi:10.1016/S2213-8587(14)70109-3

7. WHO and the Union (2011). Collaborative Framework for Care and Control of Tuberculosis and Diabetes

8. WHO, ATS, KNCV, the Union, FHI 360, RIT/JATA, MSH (2014). International Standard for Tuberculosis Care, Diagnosis, Treatment and Public Health, 3rd Edition.

9. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI dan PERKENI (2013). Deteksi dini dan penatalaksanaan tuberkulosis & diabetes mellitus; panduan untuk pelayanan primer.

10. The Union, World Diabetes Foundation (2014). The Looming Co-Epidemic Of Tb-Diabetes:A Call To Action.

11. Ruslami R, Aarnoutse RE, Alisjahbana B, et al. Implicationsof the global increase of diabetes for tuberculosis control and patient care. Tropical Medicine and International Health 2010; 15: 1289-1299.

12. Jeon CY, Murray MB. 2008. Diabetes mellitus increasesthe risk of active tuberculosis: a systematic reviewof 13 observational studies. PLOS Medicine. S:e152.

13. Stevenson CR, Critchley JA, Forouhi NG, et al. 2007. Diabetesand the risk of tuberculosis: a neglected threat topublic health. Chronic Illness; 3: 228-245

14. Dooley KE, Chaisson RE. 2009. Tuberculosis and diabetes mellitus: convergence of two epidemics. Lancet InfectiousDiseases. 9: 737-746.

(39)

 

Belum pernah / kurang dari 1 bulan

Pernah diobati / lebih dari 1 bulan

Nama Faskes : ...

Kab/Kota : ...

No. Reg. Faskes : ...

Nomer Identitas kependudukan (NIK) : ...

inisiatif Pasien/keluarga

A. Gejala Ktaik DM

B. Faktor Resiko DM

Buang air kecil terus menerus(poliuria) serins Kaus dan marxtfn berlebtfun (poicipsia) Mudah lapar (polifagia)

Penurunan BB yang tidak jelas sebabnya Catatan :

1. Bila ditemukan 4 dari 4 gejala klasik, rujuk pasien ke poli DM / poli Endokrin untuk pemeriksaan lebih lanjut tanpa pemeriksaan GDS

2. Buila tidak ditemukan 4 dari 4 gejala klasik, tanyakan faktor resiko DM

Catatan :

Jika ditemukan salah satu faktor resiko, lakukan pemeriksaan GDS dengan spesimen darah vena

Bulan Tanggal No. Reg Lab

Hasil Pemeriksaan Darah Vena

GDS GDP TGT TTGO GPT HbA1C

IMT>25 Usia>45Tahun Riwaayat Hipertensi

RiwayatGangguan Lemak darah (kolesterol, HDL, LDL. Trigliserid) Riwayat DM pada keluarga

Riwayat melahirkan bayi > 4 kg / DM Gestasional Riwayat melahirkan BBLR

Riwayat sakit kardiovaskular (Jantung/stroke)

Riwayat penyakit kista ovarium/PCOS (Polycystic Ovary Syndrome Riwayat gula darah

KARTU PENG0BATAN PASIEN DM

Dirujuk Oleh Klasiikasi Pasien Berdasarkan

Riwayat Pengobatan Sebelumnya

(40)
(41)

36

Alamat PMO : Nama Faskes :

Alamat Lengkap : Kab/Kota :

Jenis Kelamin : L P No. Reg TB.03 Faskes :

Jika wanita usia subur : Hamil  Tidak Hamil  Tahun : Tanggal lahir : __/__/____ Umur : tahun bulan Provinsi : Berat badan : kg Tinggi badan : cm No. Reg TB.03 Kab/Kota : Parut BCG : Tidak ada Ada

Jumlah Skoring TB Anak: ……….………….…………..……… Tipe Diagnosis Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi

……….. Terkonfirmasi bakteriologis TB Paru

Terdiagnosis klinis TB Ekstraparu, Lokasi………..

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

Baru Kambuh

Diobati setelah gagal Diobati setelah putus berobat (lost to follow up) Lain‐lain Riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui

Klasifikasi berdasarkan status HIV

Positif Negatif Tidak diketahui

Dirujuk oleh : Inisiatif Pasien/Keluarga Anggota Masyarakat/Kader ……… Faskes………. Dokter Praktek Mandiri………...….

*) Tulislah 1+, 2+, 3+, scanty, atau Neg sesuai hasil pemeriksaan dahak Poli Lain………. Lain‐lain……….….

Pemeriksaan Lain‐lain Pindahan dari:

● Uji Tuberkulin: ……….. mm (Indurasi bukan eritema) Nama Faskes : ……… Kab/Kota : ………

Terapi DM OHO Inj. Insulin

Hasil Pemeriksaan Contoh Uji (Sesuai dengan TB.05)

Hasil pemeriksaan kontak*)

1 0

2

No. Reg Lab BTA*) Biakan

Nomor Induk 

Kependudukan (NIK) :

Tes Cepat

Tipe Diagnosis dan Klasifikasi Pasien TB

(42)
(43)

Nama Faskes :_________________________ No. Telp. : _______________________ Nama Dokter Pengirim :_________________________

Nama Terduga / Pasien TB :_________________________ Umur : tahun Nomor Induk Kependudukan :

Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan

Alamat lengkap :___________________________________________________________ ___________________________________________________________

Jenis Terduga/ Pasien TB

Kabupaten/ Kota :____________________________ TB TB ANAK

Provinsi :____________________________ TB HIV TB RO

No. Identitas Sediaan (sesuai Daftar Terduga di TB.06 / TB 06 RO) Alasan Pemeriksaan :

……/………/………/……… Diagnosis TB Diagnosis TB RO

Tgl. Pengambilan contoh uji : ______________ Pemantauan Kemajuan pengobatan : Tanggal pengiriman contoh uji : ______________ Bulan ke :

Tanda tangan pengambil contoh uji : ______________ Pemeriksaan ulang pasca pengobatan :

Bulan ke :

Jenis & Jumlah Pemeriksaan Lokasi Anatomi

BTA x………. Paru No.Reg.TB/TB RO Faskes :

Tes cepat GX……… Ekstraparu No.Reg.TB/TB RO Kab/ Kota : ________ Tes Cepat LPA………. Lokasi :

Biakan x ……… Uji Kepekaan Lini 1…………..

Uji Kepekaan Lini 2………….. Secara visual dahak tampak (berilah √pada kotak)

Nanah lendir Bercak darah Air liur

Contoh Uji Sewaktu / Pagi

Dahak Sewaktu / Pagi

Lainnya ……… Sewaktu / Pagi

………, ………..20………..

(………..)

Nama jelas dokter pengirim

No. Register Lab. (sesuai Buku Register Lab TB.04/ TB.04 RO) : ………

Sewaktu/Pagi

Sewaktu/Pagi

Sewaktu/Pagi

Mengetahui

Tanda tangan pemeriksa Dokter PJ pemeriksaan Lab

(……….) (……….)

*) Diisi sesuai dengan kode huruf sesuai identitas sediaan/ waktu pengambilan dahak.

**) Beri tanda rumput pada hasil pemeriksaan/ tingkat positif yang sesuai. ***) Isi dengan jumlah BTA/ koloni yang ditemukan

****) Untuk kolom INH dan Rif diisi : R : resisten S : sensitif

Untuk kolom MTB diisi MTB:Mycobacterium Tuberculosis, NTM: Non TuberculKriteria Suspek MDR

Diisi R: resisten, S: Sensitif Sewaktu/Pagi

Neg Invalid Error No result

Hasil Biakan**)

HASIL PEMERIKSAAN BAKTERIOLOGIS TB

Contoh Uji*)

Hasil Pemeriksaan Mikroskopis (BTA/lainnya)**)

Hasil Tes Cepat Lain (LPA)****) Hasil Tes Cepat Xpert MTB/RIF**)

+++

Hasil Uji Kepekaan*****)

H

(44)

Gambar

Gambar 1. Alur Penemuan Pasien TB Pada Penyandang DM
Gambar 2. Alur Penapisan TB Anak Pada Pasien DM
Gambar 3. Alur Dianosis DM Pada Pasien TB
Gambar 4. Alur Penapisan DM Pada Pasien TB anak
+5

Referensi

Dokumen terkait