Penanggung Jawab:
Kapuslit Metalurgi – LIPI
Dewan Redaksi :
Ketua Merangkap Anggota:
Ir. Ronald Nasoetion, MT
Anggota:
Dr. Ir. Rudi Subagja Dr. Ir. F. Firdiyono Dr. Agung Imadudin Dr. Ika Kartika, MT Ir. Yusuf
Ir. Adil Jamali, M.Sc (UPT BPM – LIPI) Prof. Riset. Dr. Ir. Pramusanto (Puslitbang TEKMIRA)
Prof. Dr. Ir. Johny Wahyuadi, DEA (UI) Dr. Ir. Sunara, M.Sc (ITB)
Sekretariat Redaksi:
Pius Sebleku, ST Tri Arini, ST
Arif Nurhakim, S.Sos
Penerbit:
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan PUSPIPTEK, Serpong, Gedung 470
Telp: (021) 7560911, Fax: (021) 7560553
Alamat Sekretariat:
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan PUSPIPTEK, Serpong, Gedung 470
Telp: (021) 7560911, Fax: (021) 7560553 E-mail Majalah ilmu dan teknologi terbit berkala setiap tahun, satu volume terdiri atas 3 nomor.
VOLUME 26 NOMOR 1, APRIL 2011 ISSN 0126 – 3188
AKREDITASI : SK 187/AU1/P2MBI/08/2009
Pengantar Redaksi ………. iii Metoda FZ pada Pembuatan Kristal Tunggal La
Abstrak ……….. v
2-2xSr1+2xMn2O7
Kendala dan Kemungkinan Pengembangan Proses Caron untuk Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah Indonesia
Agung Imaduddin ………. 1
Konsentrasi Pasir Besi Titan dari Pengotornya dengan Cara Magnetik Arifin Arif dan Edi Herianto……….……..… 7
Deddy Sufiandi ……….………. 5 Pengaruh Penambahan Serat
Polyvinyl Alcohol dan
Superplastisizer Polycarboxylate Ethers terhadap Sifat Mekanik Material ECC
Percobaan Peningkatan Kadar
Mangan Menggunakan Magnetic
Separator
Harsisto, dkk………... 21
Masih Terbukanya Peluang
Penelitian Proses Caron untuk
Mengolah Laterit Kadar Rendah di Indonesia
Immanuel Ginting dan Deddy Sufiandi…27
Adsorpsi Nikel dan Kobalt pada
Resin Penukar Ion Lewatit
Monoplus TP 207 XL dalam
Beberapa Larutan Sulfat
Puguh Prasetiyo dan Ronald Nasoetion.... 35
Pengantar Redaksi | iii
PENGANTAR REDAKSI
Syukur Alhamdulillah Majalah Metalurgi Volume 26 Nomor 1, April 2011 kali ini menampilkan 6 buah tulisan.
Tulisan pertama hasil penelitian disampaikan oleh Agung Imaduddin berjudul “Metoda FZ pada Pembuatan Kristal Tunggal La2-2xSr1+2xMn2O7.” Selanjutnya Arifin
Arif dan Edi Herianto tentang ”Kendala dan Kemungkinan Pengembangan Proses Caron untuk Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah Indonesia”. Harsisto dan Kawan-Kawan juga
menulis tentang ”Pengaruh Penambahan Serat Polyvinyl Alcohol dan Superplastisizer Polycarboxylate EthersTerhadap Sifat Mekanik Material ECC”. Immanuel Ginting dan Dedy
Sufiandi menulis tentang ”Percobaan Peningkatan Kadar Mangan Menggunakan Magnetik Separator”. Berikutnya Puguh P dan Ronald Nasoetion MT menulis tentang ”Masih Terbuka Peluang Penelitian Proses Caron untuk Mengolah Laterit Kadar Rendah di Indonesia”.
Pada bagian berikutnya ada 1 buah makalah terbaik pada Seminar Metalurgi 2009 yaitu “
Adsorpsi Nikel Dan Kobalt pada Resin Penukar Ion Lewatit Monoplus TP 207 XL dalam Beberapa Larutan Sulfat“ yang disampaikan oleh Frideni GF dan Kawan-Kawan.
Semoga penerbitan Majalah Metalurgi volume ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia penelitian di Indonesia.
Abstrak | v
METALURGI (Metallurgy)
ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 1 April 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya.
UDC (OXDCF) 548
Agung Imaduddin (Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI)
Metoda FZ pada Pembuatan Kristal Tunggal La2-2xSr1+2xMn2O
Metalurgi, Volume 26 No.1 April 2011
7
La2-2xSr1+2xMn2O7 (x=0,4) mempunyai CMR (Colossal Magnetoresistance) terbesar dibandingkan bahan
Mn oxide lainnya[1]. Untuk menyelidiki sifat CMR ini, kita harus dapat membuat kristal tunggalnya.
Untuk itu kami telah membuat kristal tunggal La2-2xSr1+2xMn2O7 (x=0,4) atau disebut LSMO 327. Kristal
tunggal kami buat dengan metoda FZ (Floating Zone). Sebelum pembuatan kristal tunggal dengan
memakai metoda FZ, kami telah menganalisa hubungan suhu dan konsentrasi x dengan memakai
thermo-couple dan analisa EPMA (Electron Probe Microanalysis). Setelah penumbuhan dengan memakai metoda
FZ, analisa struktur kristal dan sifat kristalisasinya pada hasil kristal tunggalnya dilakukan dengan
memakai XRD dan rocking curve, kemudian kami juga memakai EPMAuntuk mengetahui komposisi
unsur yang terbentuk. Dari hasil metoda FZ ini diketahui bahwa permukaan cleave (permukaan kelupas)
nya adalah bidang ab, dan memiliki nilai half full value width nya 0,115° , yang menunjukkan kualitas
kristal tunggal yang tinggi. Dari EPMA diketahui bahwa nilai x pada La2-2xSr1+2xMn2O7 adalah 0,409.
Kata kunci : CMR, Kristal tunggal, LSMO 327, Metoda floating zone
La2-2xSr1+2xMn2O7 (x=0.4) has the most large CMR (Colossal Magnetoresistance)[1]. In order to research
on CMR effect, we have to prepare high quality single crystals. We have grown La2-2xSr1+2xMn2O7 single
crystal of x = 0.4 (or LSMO 327). We have grown single crystals with FZ (Floating Zone) method. Before growing single crystals using the FZ method, we have analyzed the relation of temperature and concentration x by using thermo-couple and analysis of EPMA (Electron Probe Microanalysis). After growing using the FZ method, analysis of crystal structure and its crystallization properties were carried out using XRD and Rocking curve, then we were also using EPMA to determine its elemental composition. From the results of the FZ method, we know that the cleaved surface is the ab plane, and has
a half full value width of 0.115° , which indicates a high quality single crystal. From the EPMA result, we
know that the value of x at the LA2-2xSr1 +2 xMn2O7 is 0.409.
vi | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188
METALURGI (Metallurgy)
ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 1 April 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya.
UDC (OXDCF) 546.6
Arifin Arif dan Edi Herianto (Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI)
Kendala dan Kemungkinan Pengembangan Proses Caron untuk Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah Indonesia Metalurgi, Volume 26 No.1 April 2011
Bagian terbesar dari bijih nikel laterit Indonesia yang cadangannya lebih dari 1 milyar ton termasuk pada klasifikasi bijih berkadar rendah. Komposisi bijih kadar rendah tersebut sangat bervariasi, dari bijih saprolit yang tinggi kandungan oksida magnesium dan silikatnya serta bijih limonit yang tinggi kandungan oksida besi dan aluminiumnya. Selain itu bijih limonit juga berpotensi mengandung silikat yang cukup tinggi. Oleh karena itu selalu ada kemungkinan dari suatu cebakan bijih, kandungan total magnesium dengan aluminium dan atau silikat dari bijih campuran tersebut masih melampaui dari batas kritis olahan proses HPAL. Oleh karena itu pengolahan optimal tidak dapat diharapkan hanya dari proses HPAL. Seperti diketahui walaupun kinerjanya tinggi tetapi proses HPAL cocok hanya untuk bijih yang kandungan magnesium dan atau silikatnya rendah seperti limonit murni. Untuk itu perlu disiapkan alternatif berupa proses yang komposisi bijih umpannya dapat lebih fleksibel. Kalau pilihannya adalah proses Caron tampaknya masih diperlukan langkah pendekatan terhadap beberapa kendala yang harus dihadapi oleh proses tersebut bila akan dikembangkan kedepan.
Kata kunci : Bijih nikel, Laterit, Saprolit, Limonit, Proses HPAL, Proses Caron
The largest portion of more than 1 billion ton Indonesian nickel laterite ore deposits can be classified as low grade. It is informed that the compositions of the ores varies in wide range, with high magnesium oxide and silicates contents for saprolite and high iron and aluminium oxides for limonite. The limonit ores are also potential in containing high enough silicate. Due to it always possible that the total magnesium and aluminium and or silicates contents of the mixed ores deposits are higher than the ore feed compositions critical limits of HPAL, so it is predicted that the optimal treatment would not be achieved if based only on HPAL process. As have been known even HPAL is high in performance but just only suitable for certain ores with low magnesium and low silicates contents such likes pure limonite. For that it requires to provide alternative processes which are more flexible toward ore feed compositions. If the selected process is Caron, still it needs some steps of problems approach that have to be faced for the future process development.
Abstrak | vii
METALURGI (Metallurgy)
ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 1 April 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya.
UDC (OXDCF) 620.18
Deddy Sufiandi (Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI)
Konsentrasi Pasir Besi Titan dari Pengotornya dengan Cara Magnetik Metalurgi, Volume 26 No.1 April 2011
Pasir besi titan Indonesia cadangannya cukup besar terutama di daerah sekitar pantai Selatan Jawa. Salah satu potensi pasir besi titan yang akan di teliti adalah pasir besi dari daerah Tegal Buleud Pantai Selatan Sukabumi. Pemanfaatan pasir besi titan merupakan alternatif yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri baja yang dalam perkembangan dan kebutuhannya semakin meningkat dengan terbatasnya cadangan bijih besi konvensional. Tujuan penelitian untuk mendapatkan kualitas pasir besi titan yang memenuhi persyaratan peleburan, perlu dilakukan konsentrasi untuk meningkatkan kadar besi dengan cara magnetik. Metode percobaan adalah melakukan identifikasi pasir besi titan dengan mengunakan analisa XRD. Kemudian dilakukan proses preparasi sampel dan pengayakan sebelum dimasukan kedalam peralatan pemisah magnetik dan dari pemisah magnet akan dihasilkan produk konsentrat, middling, dan tailing. Hasil percobaan
menunjukkan produk konsentrat pasir besi titan mempunyai kandungan Fe203 80 % dan TiO2 20 %. Dan
pemisahan pasir besi titan dengan kondisi optimum diperoleh pada kondisi arus 3,5 ampere dan fraksi - 100 mesh dengan perolehan konsentrat rata-rata 90 %.
Kata kunci : Pasir besi titan, Magnetic separator, Tegal Buleud - Sukabumi Selatan, Industri baja
Titan iron sand has been found a lot in Indonesia especially around west coast of Java. One of titan iron sand used in this research is iron sand from Tegal Buleud area at Sukabumi west coast. The utilization of iron sand is an alternative to fill-up the rising demand of raw material for steel industry development due to limited amount of conventional iron ore. To obtain the quality of titan iron sand which is suitable with the requirement for smelting, it is needed to have concentration process by magnetic separator to increase iron content. The step of experiment were identification of titan iron sand composition, preparation of sample and sampling processes, and material separation using magnetic separator to get concentrate, middling, and tailing products. The result
of experiment shown concentrate product of titan iron sand has Fe2O3 and TiO2 with weight composition 80 %
and 20 % respectively. And also The optimum condition in magnetic separator was 3.5 Ampere current and fraction -100 mesh got average concentrate yield about 90 %.
viii | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188
METALURGI (Metallurgy)
ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 1 April 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya.
UDC (OXDCF) 620
Harsisto, Hartati, Yulinda Lestari, Ari Yustisia Akbar (Pusat Penelitian Metalurgi - LIPI)
Pengaruh Penambahan Serat Polyvinil Alcohol dan Superplastisizer Polycarboxylate Ethers terhadap Sifat Mekanik Material ECC
Metalurgi, Volume 26 No.1 April 2011
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh penambahan serat PVA dan superplastisizer tipe polycarboxylate ethers (tipe P) terhadap sifat mekanik material ECC. Tujuan dari penggunaan PVA adalah untuk meningkatkan kekuatan beton sehingga apabila dikenai beban, tipe retakan yang terjadi adalah retak rambut (microcrack). Superplasticizer ditambahkan untuk meningkatkan kelecakan (workability) ECC sehingga mudah dipadatkan dan didapatkan mutu yang lebih baik. Pengujian material ECC dilakukan dengan mengukur kuat tekan dan kuat lentur menggunakan universal testing machine. Dari variasi komposisi sampel ECC yang dilakukan, komposisi paling efektif terdapat pada perbandingan semen : air : pasir : fly ash : SP : PVA = 1 :
0,68 : 0,94 : 1,6 : 0,01 : 0,02 dengan kuat tekan 196 kg/cm2 dan kuat lentur 145,3 kgf.
Kata kunci : Self healing concrete, Engineered cement composite, Polyvinyl alcohol, Superplastisizer, Fly ash
This research was conducted to study the effect of PVA fiber and polycarboxylate ethers typed superplastisizer (type P) to the mechanical properties of ECC materials. The purpose of the use of PVA is to increase the strength of the concrete so that when subjected to load, type of fracture is microcrack. Superplasticizer was added to enhance ECC workability so it was easily compressed and get better quality. ECC material testing was conducted by measuring the compressive and flexural strength using a universal testing machine. The most effective composition of ECC material on the ratio of cement: water: sand: fly ash: SP: PVA = 1 : 0.68 : 0.94 :
1.6 : 0.01 : 0.02 has compressive and flexural strength of 196 kg/cm2 and 145.3 kgf respectively.
Abstrak | ix
METALURGI (Metallurgy)
ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 1 April 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya.
UDC (OXDCF) 620.1
Imanuel Ginting dan Deddy Sufiandi (Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI) Percobaan Peningkatan Kadar Mangan Menggunakan Magnetic Separator Metalurgi, Volume 25 No.2 Agustus 2010
Percobaan pemisahan besi dari mangan dengan magnetik seperator telah dilakukan terhadap bijih mangan dari
daerah Trenggalek Jawa Timur dengan variabel percobaan yaitu rapat arus 2,5 ampere dengan tegangan atau
voltage yang disesuaikan dengan kondisi alat. Umpan percobaan yang digunakan dalam pemisahan ini adalah
bijih mangan yang telah melalui proses roasting sebelumnya. Kondisi optimal proses pemisahan diperoleh pada
kuat arus 2,5 ampere dengan kandungan 50,99 % Mn dan kandungan besi 0,27 %.
Kata kunci : Mangan, Pemanggangan, Magnetik separator, Produk
The separation tests of roasted manganese ore by magnetic separator have been carried out. The test variables were the current densities such like 2,5 ampere and the voltage which suitable to the tool condition. The optimal condition of 50.99 % content of Mn and 0.27 % Fe content achieved is current density 2.5 ampere.
x | Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188
METALURGI (Metallurgy)
ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 1 April 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya.
UDC (OXDCF) 620.1
Puguh Prasetiyo dan Ronald NNasoetion
Masih Terbuka Peluang Penelitian Proses Caron untuk Mengolah Laterit Kadar Rendah di Indonesia (Pusat Penelitian Metalurgi - LIPI)
Metalurgi, Volume 26 No.1 April 2011
Indonesia memiliki cadangan nikel pada peringkat dua dunia. Cadangan tersebut berupa bijih nikel oksida yang lazim disebut laterit, berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) terutama di Sulawesi Tenggara dan Halmahera. Adapun laterit terdiri dari limonit berkadar Ni<1,5 % dan saprolit berkadar Ni > 1,5 %. Laterit kadar tinggi saprolit berkadar Ni > 1,8 % sudah diolah di Sulawesi Tenggara dengan jalur pyrometalurgi oleh PT Antam (Aneka Tambang) untuk memproduksi FeNi (ferro nikel) di Pomalaa, dan PT INCO Canada untuk memproduksi nikel mattte (Ni-matte) di Soroako. Laterit kadar rendah yang terdiri dari limonit dan saprolit
dengan kandungan Ni < 1,8 %, belumdiolah di dalam negeri. Secara komersial untuk mengolah laterit kadar
rendah digunakan proses Caron yang pertama kali dibangun di Nicaro Cuba oleh Freeport USA pada tahun 1942. Atau proses HPAL (High Pressure Acid Leaching) juga pertama kali dibangun di Moa Bay Cuba oleh Freeport USA pada tahun 1959. Kedua proses tersebut tergolong dalam jalur hydrometalurgi, dan pemilihan proses tergantung dari kondisi bijih terutama pada kandungan Mg (magnesium). Laterit kadar rendah dengan kandungan Mg (magnesium) rendah (Mg < 6 % atau MgO < 10 %) lebih sesuai untuk diolah dengan proses HPAL, dan magnesium tinggi (Mg > 6 % atau MgO > 10 %) diolah dengan proses Caron. Dalam perkembangannya setelah tahun 1990-an, proses Caron mulai ditinggalkan karena mengkonsumsi energi tinggi dengan perolehan yang rendah untuk nikel (Ni : 70 – 80 %) maupun kobal (Co maks 50 %). Selanjutnya beralih ke proses HPAL karena proses ini mengkonsumsi energi rendah dengan perolehan tinggi untuk nikel (Ni > 90 %) maupun kobal (Co > 90 %). Dengan melihat kenyataan kegagalan tiga HPAL plant generasi kedua di Australia (Bulong tutup 2003, Cawse tutup 2008, dan Murrin Murrin berpindah kepemilikan ke Minara pada 2003/2004 dan beralih ke heap leach tahun 2007). Serta masih berlangsungnya Caron plant di Cuba (Nicaro dan Punta Gorda), Queensland Nickel di Yabulu Australia, dan Tocantin Brasilia. Maka proses Caron masih punya peluang untuk mengolah laterit kadar rendah di Indonesia. Peluang tersebut semakin terbuka apabila perolehan metal (recovery Ni dan Co) pada proses Caron bisa ditingkatkan setara dengan perolehan metal (recovery Ni dan Co) pada proses HPAL, dan ekonomis konsumsi energinya.
Kata kunci : Laterit kadar rendah, Limonit, Saprolit, Hidrometalurgi, Proses Caron, Proses HPAL, Magnesium (Mg)
Indonesia had the resources of nickel at the second in the world. The resources are nickel oxide which said laterite. The abundant of laterite locate at Sulawesi Tenggara (South-East Sulawesi) and Halmahera. There are two main mineral in laterite, limonit contains Ni<1,5% and saprolit contains Ni>1,5%. The high grade nickel saprolit contains Ni>1,8% has been processed in Sulawesi Tenggara to produce FeNi (ferro nickel) in Pomalaa by PT Antam, and to produce Ni-matte (nickel matte) in Sorowako by PT INCO Canada. The low grade laterite
(limonit and saprolit contains Ni<1,8%) not yet processed in Indonesia. To process the low grade laterite are
used Caron’s process or HPAL’s process (High Pressure Acid Leaching). The condition of laterite’s ores are used to choice the process. The Caron’s process is remained after 1990’s because it consume high energy with low metal recovery (Ni : 70 – 80 % Co max 50 %). The choice to process low gradelaterite is HPAL because it consume low energy wiyh high recovery of metal (Ni > 90 % and Co > 90 %). The fact three HPAL plant in Australia unsuccessful (Bulong closed on 2003, Cawse closed on 2008, and Murrin Murrin taked over by Minara and change to heap leach on 2007) and the Caron plant still exist in Cuba (Nicaro and Punta Gorda), Queensland Nickel di Australia, and Tocantin Brasilia. Then Caron’s process still have opportunity to process the low grade laterite in Indonesia if the recovery of metal can be increase as same as HPAL and the consume of energy can be decreased.
Abstrak | xi
METALURGI (Metallurgy)
ISSN 0126 – 3188 Vol 26 No. 1 April 2011 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya.
UDC (OXDCF) 669.7
Frideni G. F, A. Wisma, M.Z. Mubarok, S. Purwadaria (Program Studi Sarjana Teknik Metalurgi, FTTM-ITB) Adsorpsi Nikel dan Kobal pada Resin Penukar Ion Lewatit Monoplus TP 207 XL dalam Beberapa Larutan Sulfat
Metalurgi, Volume 26 No.1 April 2011
Resin penukar ion Lewatit Monoplus TP 207 XL adalah salah satu resin untuk memisahkan logam dari larutan hasil pelindian bijih nikel laterit. Resin ini tahan terhadap abrasi, dapat digunakan pada suhu diatas suhu kamar, memiliki kelarutan yang rendah dalam larutan hasil leaching sehingga dapat digunakan berulang-ulang. Tulisan ini membahas kinetika proses adsorpsi nikel dan kobalt pada resin penukar ion Lewatit Monoplus TP 207 XL dalam beberapa larutan nikel dan kobalt sintetik dengan pH 3, 4, dan 5 pada suhu kamar, 40 °C, dan 50 °C. Hasil dari percobaan menunjukkan bahwa dalam larutan nikel sulfat dan kobalt sulfat sintetik pH 5, persen adsorpsi nikel dan kobalt masing-masing dapat mencapai 92,19% dan 97,12% bila adsorpsinya dilakukan pada
suhu 50 °C. Berdasarkan studi kinetika yang telah dilakukan, laju adsorpsi pada resin saat awal proses (≤ 2 j am)
cenderung terkendali oleh laju difusi ion-ion melalui lapis difusi dalam fluida. Hasil percobaan menunjukkan pH dan suhu larutan berpengaruh pada persen adsorpsi nikel dan kobalt dan resin lebih sesuai untuk adsorpsi logam-logam ini secara bersamaan, karena tidak cukup selektif untuk memisahkan keduanya. Kemungkinan penggunaan resin ini untuk mengadsorpsi nikel dan kobalt dari beberapa larutan hasil pelindian nikel laterit kadar rendah yang telah dikurangi kandungan ion besinya juga disajikan dalam tulisan ini.
Kata kunci : Resin, Lewatit Monoplus TP 207 XL, Laterit, Pelindian, Difusi
Lewatit Monoplus TP 207 XL ion exchange resin has a function to separate metal from nickel ore laterite in leaching solution. This resin has good wear ability and low solubility inside of solution after leaching process, therefore can be used at elevated temperature frequently. This study concern on kinetic of nickel and cobalt absorption of Lewatit Monoplus TP 207 XL ion exchange resin in nickel solution and synthetic cobalt, with potential hydrogen various around 3,4 and 5 at room temperature of 40 °C and 50 °C. Result shows that nickel and cobalt adsorption percentage can be obtained approximately around 92.19% and 97.12%, respectively, in nickel sulfide solution and 5 potential hydrogen of synthetic cobalt at temperature 50 °C. Based on kinetic
study which has been done, absorption rate of resin at the first process (≤ 2 h) effected by ions diffusion rate
through diffusion layer in the fluid. Result shows that potential hydrogen and solution temperature affect in nickel and cobalt absorption percentages, and also resin more appropriate to absorb these metals simultaneously, due to difficulty to separate of them. This study also shows possibility to using this resin for absorption nickel and cobalt in various solutions which is obtained from low nickel laterite with low ferrous ions after leaching process.
METODA FZ PADA PEMBUATAN KRISTAL TUNGGAL
La
2-2xSr
1+2xMn
2O
7Agung Imaduddin
Puslit Metalurgi – LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15314
E-mail:
Intisari
La2-2xSr1+2xMn2O7 (x=0,4) mempunyai CMR (Colossal Magnetoresistance) terbesar dibandingkan
bahan Mn oxide lainnya[1]. Untuk menyelidiki sifat CMR ini, kita harus dapat membuat kristal tunggalnya.
Untuk itu kami telah membuat kristal tunggal La2-2xSr1+2xMn2O7 (x=0,4) atau disebut LSMO 327. Kristal
tunggal kami buat dengan metoda FZ (Floating Zone). Sebelum pembuatan kristal tunggal dengan
memakai metoda FZ, kami telah menganalisa hubungan suhu dan konsentrasi x dengan memakai
thermo-couple dan analisa EPMA (Electron Probe Microanalysis). Setelah penumbuhan dengan memakai metoda
FZ, analisa struktur kristal dan sifat kristalisasinya pada hasil kristal tunggalnya dilakukan dengan memakai
XRD dan rocking curve, kemudian kami juga memakai EPMAuntuk mengetahui komposisi unsur yang
terbentuk. Dari hasil metoda FZ ini diketahui bahwa permukaan cleave (permukaan kelupas) nya adalah
bidang ab, dan memiliki nilai half full value width nya 0,115° , yang menunjukkan kualitas kristal tunggal
yang tinggi. Dari EPMA diketahui bahwa nilai x pada La2-2xSr1+2xMn2O7 adalah 0,409.
Kata kunci : CMR, Kristal tunggal, LSMO 327, Metoda floating zone
Abstract
La2-2xSr1+2xMn2O7 (x=0.4) has the most large CMR (Colossal Magnetoresistance) [1]
. In order to research on CMR effect, we have to prepare high quality single crystals. We have grown La
2-2xSr1+2xMn2O7 single crystal of x = 0.4 (or LSMO 327). We have grown single crystals with FZ (Floating Zone) method. Before growing single crystals using the FZ method, we have analyzed the relation of temperature and concentration x by using thermo-couple and analysis of EPMA (Electron Probe Microanalysis). After growing using the FZ method, analysis of crystal structure and its crystallization properties were carried out using XRD and Rocking curve, then we were also using EPMA to determine its elemental composition. From the results of the FZ method, we know that the cleaved surface is the ab plane, and has a half full value width of 0.115° , which indicates a high quality single crystal. From the EPMA result, we know that the value of x at the LA2-2xSr1 +2 xMn2O7 is 0.409.
Keywords : CMR, Single crystal, LSMO, Floating zone method
PENDAHULUAN
Sejak penemuan bahan oksida Cu superkonduktor yang mempunyai suhu kritis TC yang tinggi, perhatian dunia
terhadap struktur perovskite ini juga
semakin meningkat. Bahan oksida Mn yang mempunyai struktur perovskite juga
mendapat perhatian untuk dilakukan penelitiannya. Bahan oksida Mn memiliki rumus umum (La, Sr)1+nMnnO3n+1 (n = 1,
2, ∞), dimana n adalah jumlah layer Mn-O
pada tiap molekulnya. Layered Mn oxide
yang memiliki n = 2 (atau disebut LSMO 327) mempunyai sifat MR
(magnetoresistance) yang tertinggi
dibanding bahan lainnya[2]. Selain
memiliki sifat MR yang tinggi, LSMO 327 juga memiliki sifat insulator pada suhu di
atas TC dan sifat logam pada suhu di
bawah TC[3]. Sampai saat ini, pembuatan
2 |Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 1-6
dibandingkan bahan lainnya, hal ini disebabkan pembuatan kristal tunggal yang relatif lebih sulit dibandingkan bahan lainnya [4]. Untuk dapat menyelidiki sifat fisika pada elektron Mn ini, diperlukan kristal tunggal yang memiliki kualitas yang tinggi. Sampel LSMO 327 mempunyai struktur tetragonal dimana elektron bergerak pada permukaan ab atau pada
lapisan Mn-O nya dan pada permukaan ab
ini kelupas (cleave) nya terjadi (Gambar
1).
Gambar 1. Struktur Kristal pada (La,
Sr)1+nMnnO3n+1 (n = 2) atau disebut LSMO 327,
(a=b=3,87Å, c=20,14 Å)
Untuk itu pada tulisan ini, kami akan menyampaikan pembuatan kristal tunggal La2-2xSr1+2xMn2O7 (dengan nilai x = 0,4), yang kami laksanakan di Universitas Iwate, Jepang.
PROSEDUR PERCOBAAN
Pembuatan kristal tunggal LSMO 327 dibuat berdasarkan alur seperti dibawah ini (Gambar 2).
Gambar 2. Alur pembuatan kristal tunggal
dengan metoda FZ
Pembuatan rod material (batang pelet)
pada sampel ini kami jelaskan pada tulisan kami yang lain[4]
Kelebihan metoda FZ ini antara lain ialah karena tidak memakai bejana sehingga dapat menghindari pencemaran sampel oleh bejana, dapat memakai lingkungan gas/ atmosphere apa saja.
Kelemahannya ialah karena hanya mengandalkan daya adhesi cair sampel, apabila bagian cairnya panjang, akan mudah terputus. Gambar 3 memperlihatkan skema alat metoda FZ yang kami pergunakan.
. Pemanasan dengan cahaya lampu halogen pada metoda FZ ini sangat efektif bagi pembuatan kristal tunggal pada bahan oksida. Pada salah satu titik pusat cermin elip, terletak lampu halogen dan pada titik pusat lainnya terletak rod material yang akan
dipanaskan.
Pembuatan Rod Material[4]
Persiapan Metoda FZ (pembuatan grafik hubungan
suhu dan konsentrasi x)
Metoda FZ
Analisa XRD,
Rocking curve
Metoda FZ Pada Pembuatan…../ Agung Imaduddin | 3
Gambar 3. Skema metoda FZ yang memakai
halogen lampu untuk memanaskan
Kami memakai alat metoda FZ yang diproduksi perusahaan Crystal System, tipe
FZ-T-10000-H. Alat FZ ini tidak dilengkapi sensor suhu. Untuk itu kami melakukan juga percobaan untuk mengetahui hubungan output lampu
halogen dan suhu.
Gambar 4 menunjukkan grafik kondisi konsentrasi x pada garis kondisi padat dan garis kondisi cair [5]. Pada sumbu vertikalnya untuk mengetahui hubungan
output lampu dan suhu, kami mula-mula
mengukur hubungan suhu dan output
lampu dengan memakai thermal-couple.
Untuk sumbu horizontalnya, kami mengukur dengan EPMA pada sampel. Untuk membuat garis kondisi padat (solid
phase line), kami mengukur dengan
EPMA pada bagian selain ujung atas sample. Sedangkan untuk membuat garis kondisi cair (liquid phase line), kami
mendinginkan secara tiba-tiba di bagian ujung sampel, setelah itu kami ukur dengan EPMA. Dari hasil pengamatan terlihat ketika sampel tumbuh pada FZ,
melt zone-nya terdiri atas jumlah Sr yang
berlebihan dan ketika suhunya turun jumlah Sr nya mengkristal mengikuti garis kondisi padat. Dari gambar tersebut kita dapat mengatur output lampu halogen,
untuk mencapai konsentrasi x yang seharusnya.
Gambar 4. Grafik kondisi padat dan cair terhadap
temperatur
Gambar 5. Kondisi kristal tunggal saat
penumbuhan dengan metoda FZ (berdasarkan pengamatan dengan kamera)
Kondisi penumbuhan kristal tunggal dengan metoda FZ dapat dilihat di Gambar 5. Rod material digantung lurus kemudian
diletakkan pada pusat panas sehingga mencair sebagian (melt-zone) yang
kemudian diturunkan sedikit demi sedikit.
Shaft (batang) atas dan bawah kami putar
berlawanan, dengan masing-masing putaran 50 rpm dan 6 rpm. Kami turunkan
melt-zone nya hingga mendingin perlahan
lahan dengan kecepatan 1,0 mm/h dan kemudian mengkristal. Ketika melt-zone
Melt-zone
Upper material (rod material)
Lower material
4 |Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 1-6
nya sudah mencapai ujung atas, maka rod materialnya menjadi kristal tunggal. Untuk
mempertahankan kondisi bentuk melt-zone
ini, maka gaya adhesi, kerapatan, suhu, kecepatan pindah akan sangat mempengaruhi.
Alat FZ ini menggunakan 4 cermin elip dengan 4 halogen lampu dengan kekuatan masing-masing 1 kW sehingga cahaya panas dapat dipusatkan ke melt-zone dari
hampir semua arah sehingga dapat menghindari perbedaan suhu pada melt-zone.
Untuk melihat keadaan melt-zone nya,
dipergunakan kamera monitor. Dari kamera langsung ke monitor televisi. Ketika pertumbuhan, dengan melihat melt-zone nya, suhu (output lampu), kecepatan
pengisian (kecepatan turun upper material)
dan kecepatan penumbuhan (kecepatan turun lower material) dapat dicocokkan.
Lingkungan gas (pada riset ini memakai gas O2) dialirkan dari bawah ke atas.
Ketika kristalisasi terjadi, kami mengamati kondisi melt-zone nya melalui monitor
televisi. Apabila suhu terlalu tinggi, melt-zone nya akan semakin panjang sehingga
mudah putus. Apabila suhu terlalu rendah,
melt zone nya akan mengecil dan akhirnya
rod material atas dan bawah akan
berbenturan. Setelah penumbuhan awal sekitar 5 mm, melt-zone akan stabil dan
pengontrolan suhunya akan semakin tidak diperlukan. Kecepatan shaft atas dan
bawah untuk turun masing-masing 1,5 mm/jam dan 1,0 mm/jam. Hal ini disebabkan kerapatan atom kristal tunggal (sampel dibagian bawah melt-zone) lebih
tinggi dibandingkan rod material (sampel
dibagian atas melt-zone).
Gambar 6. Foto kristal tunggal yang telah dibuat
dengan metoda FZ (diameter sekitar 5 mm )
Gambar 6 memperlihatkan foto kristal tunggal yang telah ditumbuhkan dengan metoda FZ. Bagian kanan yang lebih pendek adalah sisa upper material (rod
material), sedangkan bagian kiri yang
lebih panjang adalah kristal tunggal yang telah ditumbuhkan (bagian kiri dari batang ini adalah rod material yang dipakai
sebagai bibit kristal tunggal).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah pengkritalisasi dengan FZ, sampel kristal tunggal yang diperoleh mempunyai panjang sekitar 30 mm. Kemudian kami potong dengan panjang sekitar 5 mm dengan diamond cutter. Pada
bidang yang terpotong terlihat adanya
grain yang banyak pada bagian bawah
sampel. Grain ini semakin berkurang pada
bagian atas sampel menandakan kristalisasi yang terjadi. Setelah kami kelupas permukaannya, kami analisa permukaan kelupasnya dengan XRD (Gambar 6 )[5-6]. Pada Gambar 7 itu
terlihat bahwa peak untuk sumbu c terlihat
semuanya. Disini kami melihat permukaan kelupasnya tegak lurus terhadap sumbu c. Pada peak (0 0 10), kami melihat rocking
curve nya. Rocking curve pada XRD
adalah metoda untuk mengetahui kualitas kristal tunggal suatu bahan, dimana pada
peak tertinggi suatu permukaan kristal
tunggal, sudut detektor sinar-X nya dibuat tetap, tapi sudut permukaan sampel
di-scanning pada sekitar sudut peak tersebut.
Semakin kecil lebar (derajat) pada setengah tinggi peak (full half value
width), maka hal itu menandakan semakin
tingginya kualitas kristal tunggalnya. Dari hasil rocking curve nya terlihat nilai full
half value width nya, sebesar 0,115°
(Gambar 7), yang merupakan angka yang kecil bagi bahan kristal tunggal oksida. Disini kami melihat bahwa sampel ini memiliki kualitas yang tinggi[5]
Setelah memastikan bahwa permukaan kelupasnya itu sumbu c, kami analisa
dengan Back Reflection Laue Photograph
untuk menentukan sumbu a dan b. Metoda
Metoda FZ Pada Pembuatan…../ Agung Imaduddin | 5
penentuan arah sumbu kristal dengan
Back-Reflection Laue ini kami jelaskan di
tulisan kami yang lain[7]. Setelah sumbu a
dan b ditemukan, kami potong
berdasarkan sumbu-sumbunya. Berdasarkan karakterisasi dengan EPMA, diketahui bahwa sampel La
2-2xSr1+2xMn2O7 ini memiliki perbandingan
Kami telah mempergunakan metoda FZ untuk membuat kristal tunggal La
2-2xSr1+2xMn2O7 (x=0,4). Ketika
penumbuhan kristal dengan FZ, kami memakai lingkungan gas O2 dan kecepatan
tumbuhnya kami kontrol sangat lambat yaitu 1,0 mm/h. Sampel yang kami peroleh kami lihat permukaan kelupasnya, yang
setelah dianalisa dengan XRD permukaan kelupasnya adalah bidang ab. Dan dari
hasil EPMA, diketahui bahwa nilai x pada La2-2xSr1+2xMn2O7
UCAPAN TERIMAKASIH
adalah 0,409. Dari grafik rocking curve nya, kami lihat nilai half full value width nya yaitu 0,115° yang
menandakan bahwa sampel ini memiliki kualitas yang tinggi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Prof.Yoshizawa dan seluruh anggota Yoshizawa lab. di Universitas Iwate Jepang, yang telah banyak membantu riset saya pada program doctoral ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] T. Kimura, Y. Tomioka, H. Kuwahara, A. Asamitsu, M. Tamura, Y. Tokura. 1996. Interplane Tunneling Magnetoresistance in a Layered Mangaite Crystal: 1698. Science, 274.
[2] A. Urushibara, Y. Moritomo, T, Arima, A. Asamitsu, G. Kido, Y. Tokura. 1995. Insulator-metal
transition and giant magnetoresistance in La1-xSrxMnO3
[3] J.A.M. van Roosmalen, P. van Vlaanderen, E.H.P. Cordfunke. 1995.
“Phase in the perovskite-Type LaMnO3+ Solid Solution and the
La2O3-Mn2O3 Phase Diagram:
516-523. Journal of Solid State Chemistry 114.
”,
Physical Review B, vol 51, 20: 14103.
[4] Imaduddin Agung. 2011. Pembuatan Batang Pelet La2-2xSr1+2xMn2O7
[5] Imaduddin Agung. 2011. Pemakaian Metoda Back-Reflection Laue Untuk Menentukan Arah Sumbu Kristal Tunggal pada La
Sebagai Bahan Penumbuhan Kristal Tunggal. Preprint .
2-2xSr1+2xMn2O7.
[6] Imaduddin Agung. 2001. Growth and Physical Properties of La
Preprint.
6 |Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 1-6
Doctoral Thesis: Iwate University. [7] Imaduddin Agung, H. Kanazawa, N.
Yoshimoto, M. Yoshizawa. 2000.
Crystal Growth and Physical
Properties of La2-2xSr1+2xMn2O7:
502-504. Physica B, 281&282.
RIWAYAT PENULIS
Agung Imaduddin lahir di Bandung pada
KENDALA DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGAN PROSES
CARON UNTUK BIJIH NIKEL LATERIT KADAR RENDAH
INDONESIA
Arifin Arif dan Edi Herianto
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Serpong-Tangerang 15314 E-mail : arifin.arif@lipi.go.id
Intisari
Bagian terbesar dari bijih nikel laterit Indonesia yang cadangannya lebih dari 1 milyar ton termasuk pada klasifikasi bijih berkadar rendah. Komposisi bijih kadar rendah tersebut sangat bervariasi, dari bijih saprolit yang tinggi kandungan oksida magnesium dan silikatnya serta bijih limonit yang tinggi kandungan oksida besi dan aluminiumnya. Selain itu bijih limonit juga berpotensi mengandung silikat yang cukup tinggi. Oleh karena itu selalu ada kemungkinan dari suatu cebakan bijih, kandungan total magnesium dengan aluminium dan atau silikat dari bijih campuran tersebut masih melampaui dari batas kritis olahan proses HPAL. Oleh karena itu pengolahan optimal tidak dapat diharapkan hanya dari proses HPAL. Seperti diketahui walaupun kinerjanya tinggi tetapi proses HPAL cocok hanya untuk bijih yang kandungan magnesium dan atau silikatnya rendah seperti limonit murni. Untuk itu perlu disiapkan alternatif berupa proses yang komposisi bijih umpannya dapat lebih fleksibel. Kalau pilihannya adalah proses Caron tampaknya masih diperlukan langkah pendekatan terhadap beberapa kendala yang harus dihadapi oleh proses tersebut bila akan dikembangkan kedepan.
Kata kunci : Bijih nikel, Laterit, Saprolit, Limonit, Proses HPAL, Proses Caron
Abstract
The largest portion of more than 1 billion ton Indonesian nickel laterite ore deposits can be classified as low grade. It is informed that the compositions of the ores varies in wide range, with high magnesium oxide and silicates contents for saprolite and high iron and aluminium oxides for limonite. The limonit ores are also potential in containing high enough silicate. Due to it always possible that the total magnesium and aluminium and or silicates contents of the mixed ores deposits are higher than the ore feed compositions critical limits of HPAL, so it is predicted that the optimal treatment would not be achieved if based only on HPAL process. As have been known even HPAL is high in performance but just only suitable for certain ores with low magnesium and low silicates contents such likes pure limonite. For that it requires to provide alternative processes which are more flexible toward ore feed compositions. If the selected process is Caron, still it needs some steps of problems approach that have to be faced for the future process development.
Keywords : Nickel ore, Laterite, Saprolite, Limonite, HPAL process, Caron process
PENDAHULUAN
Bijih nikel laterit Indonesia yang depositnya mencapai lebih dari 1 milyar ton bagian terbesarnya adalah bijih yang berkadar rendah. Dalam pemanfaatannya sampai saat ini masih terbatas pada bijih saprolit kadar tinggi yang diolah untuk produk ferro nikel [Ni > 2%] di Pomala dan Nikel matte [ Ni > 1,85 %] di Soroako, keduanya di Sulawesi. Untuk bijih saprolit
dibawahnya (Ni < 1,85%) dan bijih limonit yang disebut sebagai bijih kadar rendah sampai saat ini belum ada yang diolah. Seperti diketahui untuk pengolahan bijih kadar rendah ada dua proses yang sudah dioperasikan secara komersial saat ini yaitu proses Caron dan HPAL.
8 |Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 7-14
relatif rendah, mendorong arah pengembangan beberapa proyek baru dengan berbasis proses ini. Hal ini didukung pula oleh perkembangan teknologi pada bagian hilir dari proses yang dapat dikatakan telah mencapai optimal. Tetapi setelah timbulnya permasalahan yang dihadapi dalam awal pengoperasiannya di tiga tempat di Australia pada awal 2000 an, dimana diketahui adanya keterbatasan proses terhadap kandungan silikat dari bijih pada skala komersial, maka perlu dikaji lagi pemanfaatannya untuk bijih campuran limonit dan saprolit yang juga masih tinggi silikatnya. Informasi dari hasil litbang terakir yang menyangkut masalah tersebut mengindikasikan masih belum diperolehnya jalan keluar terbaik untuk mengatasi permasalahan. Oleh karena itu tampaknya proses ini tidak akan dapat diandalkan untuk pengolahan bijih kadar rendah Indonesia yang berupa campuran saprolit dan limonit tersebut secara optimal[1]
Untuk alternatif dicoba kembali mencermati proses Caron, walaupun sejak terjadinya krisis minyak dunia para
pengamat sudah kurang memperhatikannya. Dibandingkan dengan
proses HPAL yang perolehan nikel dan kobalnya dapat mencapai 90 %, kinerjanya memang lebih rendah dengan capaian perolehan hanya 70 – 80 % untuk nikel dan 40 – 50 % untuk kobal. Selain itu kebutuhan energinya juga relatif lebih tinggi dari HPAL yang terutama diperlukan untuk pengeringan dan pemanggangan reduksi dari bijih. Tetapi proses ini juga mempunyai kelebihan, yaitu fleksibilitasnya terhadap komposisi bijih umpan serta dapat diperoleh kembalinya bagian komponen reagen larutan pelindian seperti ammonia dan CO
.
2
yang keluar
Saat ini proses ini di dunia dioperasikan di empat lokasi yaitu di Nicaro (Kuba),
Greenvalle/Yabulu (Australia), Niquelandia (Brazil dan Punta Gorda
(Kuba). Kedepan tampaknya sudah tidak ada lagi rencana pengembangan baru dari proses yang berbasis Caron ini. Pada hal dengan lebih akomodatif terhadap komposisi bijih umpan diperkirakan proses ini lebih sesuai dengan kondisi bijih kadar rendah Indonesia yang variatif tersebut. Tulisan ini mencoba secara singkat melihat lebih jelas kendala yang dihadapi dan pendekatan yang mungkin dapat dilakukan bila ingin mengembangkan proses Caron untuk pengolahan bijih kadar rendah Indonesia ke depan.
dari larutan pakai secara optimal.
Keberadaan Proses Caron
Proses Caron merupakan gabungan dari dua langkah utama yaitu pereduksian oksida logam nikel dan kobal dari bijih yang diharapkan secara selektif terhadap oksida besi, dilanjutkan dengan pelindian logam hasil reduksi dengan larutan
Ammonia Ammonium Carbonate [AAC].
Selanjutnya logam berharga tersebut dapat diambil dari larutan dengan berbagai metoda tergantung pada produk yang diinginkan (Gambar1). Secara operasional setelah tahap penyiapan bijih untuk umpan maka ada beberapa tahapan lagi yang harus dilalui sampai mendapatkan masing masing produk seperti uraian berikut:
1. Pemanggangan reduksi
Pada tahap ini terjadi reaksi reduksi sederhana terhadap oksida nikel dan kobal yang menghasilkan logam nikel (Ni) dan kobal (Co) oleh gas pereduktor seperti CO, H2, atau campurannya dan
dengan kandungan gas terbang (volatile matter) bila reduktannya berupa batubara. Oksida besi (Fe2O3) akan
tereduksi secara bertahap diawali dengan dengan terbentuknya Fe3O4,
selanjutnya FeO dan terakir menjadi logam besi.
2. Pelindian dengan larutan AAC untuk memperoleh larutan kaya
Kendala dan Kemungkinan…../ Arifin Arif | 9
Ni(NH3)6++ dan Co(NH3)6++. Demikian
juga dengan logam besi (Fe) terlarut lebih dahulu yang juga membentuk senyawa amin komplek Fe(NH4)2++ dan
selanjutnya akan teroksidasi menjadi Fe(OH)3 yang berupa endapan
berbentuk gel.
3. Pengambilan logam nikel dan kobal dari larutan kaya
Rangkaian proses pengambilan logam dari larutan kaya akan tergantung pada produk yang dipilih. Pilihan terhadap produk yang akan dihasilkan pada dasarnya adalah tergantung pada pertimbangan ekonomis. Secara umum ada beberapa pilihan produk diantaranya seperti oksida dan katoda logam. Bisa juga produk tersebut masih sebagai produk antara (intermediate product)
seperti suflida logam dan BNC (Basic Nickel Carbonate).
4. Perolehan kembali amonia dan CO
Amonia dan CO2 yang keluar dari 2
larutan dari setiap tangki pelindian, pemekatan (thickener) dan pencucian (washing) ditangkap kemudian dialirkan
ke dalam sistem unit pengelolaan reagen. Di dalam sistem semua amonia dan CO2 dilarutkan kembali untuk
kemudian ditambahkan amonia dan CO2 yang baru sehingga larutan telah
kembali mencapai standar konsentrasi yang telah ditentukan sebelum dialirkan kedalam tanki pemekatan dari unit pencucian. Demikian juga halnya dengan amonia dan CO2 yang
dihasilkan dari alat stripper untuk pembuatan BNC dan lumpur hasil pencucian terakir sebelum lumpur dibuang ketempat penampungan.
Kendala yang Dihadapi untuk Proyek Komersial Baru
Ada pengamat yang berpendapat bahwa proses Caron sudah tidak ekonomis lagi untuk pembangunan projek baru dengan kadar umpan bijih dan kinerjanya
(perolehan nikel – kobalnya) serta harga nikel yang rendah, bila dikaitkan dengan tingginya biaya operasional untuk energi dan reagen reagen kimia yang dibutuhkan oleh proses. Selanjutnya disebutkan tidak terpikirkan akan ada lagi projek baru berbasis proses Caron[2]. Pendapat lainnya mengatakan dengan kinerjanya yang rendah serta tingginya biaya modal untuk membangun projek baru maka proses Caron sudah merupakan teknologi yang ketinggalan dan tidak lagi punya masa depan[3]. Caron dikembangkan sebelum krisis minyak dunia, dan sejak itu tidak ada lagi pengembangan baru dan sepertinya tidak juga dimasa depan[4]
Berdasarkan fakta operasional dari proses serta pendapat yang berkembang seperti disebutkan diatas tampak setidaknya ada tiga masalah yang menonjol yang dihadapi untuk pengembangan projek baru proses Caron seperti uraian berikut :
.
1. Kebutuhan serta biaya energi dari proses yang tinggi
Kebutuhan energi proses relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang dibutuhkan oleh proses HPAL. Hal ini disebabkan terutama untuk keperluan pengeringan dan pemanggangan reduksi bijih yang diperkirakan menyita bagian proses terbesar dari energi total yang dibutuhkan. Kebutuhan energi yang yang tinggi ini akan terkait pada tingginya biaya untuk operasional, dan juga karena masih sangat tergantung pada sumber energi yang berasal dari bbm maka harus siap sewaktu waktu untuk menghadapi gejolak harga bahan bakar minyak.
2. Tingginya biaya modal
Biaya modal/lb nikel yang dihasilkan untuk pembangunan pabrik pengolahan baru (greenfield project) yang berbasis
10 |Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 7-14
untuk biaya fasilitas dari preparasi sampai pemanggangan reduksi bijih[5].
AIR
LEACHING 400C
COBALT
Gambar 1. Proses Caron[5]
3. Kinerja proses yang rendah
Perolehan nikel dan kobal dari proses sampai saat ini masih rendah 70 – 80 % untuk nikel 40 - 50 % untuk kobal. Pada dasarnya kinerja dari bagian proses pada tahap lanjutan dari proses pelindian sudah mencapai titik optimalnya. Perolehan yang rendah tersebut diperkirakan terkait erat dengan tingkat selektifikasi dari oksida nikel dan kobal terhadap oksida besi pada saat reduksi, yang berpengaruh langsung terhadap perolehan pada tahap pelindian. Oleh karena itu, selektifikasi masih harus dipertajam untuk lebih menekan logam besi dan endapan FeO aktif yang terbentuk agar diperoleh hasil pelindian yang optimal. Seperti telah diketahui logam besi hasil dari reduksi akan terlindi lebih dahulu pada saat pelindian dan akan membentuk endapan Fe(OH)3
yang diperkirakan dapat melapisi partikel yang nikel dan kobalnya belum sempat terlarutkan sehingga menghambat pelarutan dari keduanya. Selain itu ada kemungkinan lain sebagaimana endapan dari oksida besi (FeO) aktif demikian pula Fe(OH)3
%, Co 0,07 %, Mg 15,97 % dan diperoleh hasil seperti berikut
juga dapat meng-adsorp ion nikel dan
terutama kobal. Pentingnya selektifikasi reduksi terhadap oksida besi ini dan pengaruhnya terhadap perolehan nikel dan kobal dapat dilihat dari hasil percobaan reduksi dan pelindian sederhana pada Tabel 1 dan 2. Percobaan sederhana tersebut dilakukan terhadap bijih saprolit dari daerah Obi (Halmahera) dengan komposisi Ni 1,71
[6] :
Tabel 1. Pengaruh penahanan waktu reduksi pada
temperatur 850 °C terhadap pelet dengan batubara 12 %
Tabel 2. Hasil pelindian dari setiap kondisi reduksi
Gambar 2. Difraksi sinar X dari pelet dengan
penahanan 0 menit
Kendala dan Kemungkinan…../ Arifin Arif | 9
Gambar 3. Difraksi sinar X dari pelet dengan
penahanan 60 menit
Terlihat dari Gambar 2 pada temperatur reduksi 850 °C tanpa penahanan waktu seluruh Fe2O3 telah tereduksi menjadi
FeO. Dengan perpanjangan waktu reduksi menjadi 60 menit pada temperatur tersebut menyebabkan hampir seluruh FeO telah direduksi menjadi logam besi. Dari perhitungan perolehan total menunjukkan bahwa perolehan nikel yang 13,03 % dan kobal 14,80 % pada metalisasi besi 9,75%, turun menjadi 9,70 % untuk nikel dan hanya 6,94 % untuk kobal dengan kenaikan metalisasi besi menjadi 22,75%. Dari data ini tampak peningkatan metalisasi besi cukup berpengaruh pada hasil pelindian nikel dan terutama terhadap kobal.
Beberapa Faktor Pendukung untuk Pengembangan
1…Kemampuan proses untuk mengoptimalkan pengambilan kembali ammonia dan CO2. Kemampuan proses
yang optimal untuk pengambilan kembali komponen ammonia dan CO2
2. Fleksibilitasnya terhadap komposisi umpan bijih
yang keluar dari larutan pakai pada sistem operasi, residu dan air buangan tentu saja dapat menekan biaya operasional dengan mengurangi kebutuhan pasokan reagen baru untuk larutan AAC dan meminimalkan masalah serta biaya lingkungan. Seperti diketahui masalah lingkungan merupakan salah satu faktor yang penting untuk dipertimbangkan dalam setiap pemilihan proses yang akan dikembangkan kedepan apalagi bagi Indonesia yang beriklim tropis.
Komposisi umpan bijihnya lebih bebas sehingga proses dapat lebih fleksibel untuk digunakan terhadap umpan yang berupa bijih campuran limonit dan saprolit yang variatif.
3. Adanya empat pabrik komersial yang terus beroperasi sebagaimana telah disebutkan di depan saat ini ada empat pabrik komersial berbasis Caron yang masih terus beroperasi meski keempatnya telah beberapa kali menghadapi gejolak harga minyak (bbm).
4. Kebutuhan (demand) akan nikel dan
kobal kedepan
12 |Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 7-14
Bulong serta beberapa lainnya yang direncanakan akan dibangun kemudian. Tetapi dengan adanya permasalahan yang menimpa ketiga pabrik diatas maka pabrik lainnya yang sudah masuk dalam rencana tersebut tampaknya harus dikaji ulang yang waktunya tidak dapat ditentukan.
5. Pendapat dari MTG (Metallurgical
Technology Group)
Metallurgical Technological Group
yang merupakan gabungan dari Noranda dan Falconbridge Technology Centre menyebutkan ada beberapa kenyataan yang harus dipertimbangkan dalam pengolahan laterit yaitu[11]
- Sejak teknologi HPAL pertama dikembangkan sekitar 60 tahun yang lalu tidak ada lagi pabrik berbasis HPAL beroperasi secara menguntungkan, tiga di Australia telah gagal secara komersial.
:
- Dua pabrik berbasis Caron masih beroperasi secara komersial dengan menguntungkan.
Perlu juga dicatat pendapat dari pengamat Alan Taylor dalam suatu kajiannya bahwa semua proses yang telah komersial maupun yang masih tahap litbang mempunyai peluang yang sama untuk mendapatkan tempat dalam pengembangan bijih nikel kadar rendah kedepan[12]. Beberapa faktor tersebut diatas menunjukkan bahwa proses Caron juga masih punya peluang sebagai salah satu proses alternatif yang potensial.
Langkah Pendekatan yang Diperlukan
Perlu diperhatikan agar maksud tersebut diatas dapat dilaksanakan masih diperlukan beberapa langkah pendekatan untuk mengantisipasi beberapa permasalahan yang telah disebutkan yang diantaranya:
1. Masalah Energi
Untuk masalah kebutuhan energi perlu dicermati kemungkinan penurunan temperatur pemanggangan reduksi untuk bijih saprolit agar sama atau
setidaknya harus mendekati temperatur reduksi untuk bijih limonit yang sekitar 700 °C. Juga perlu dicermati usaha untuk mendapatkan sumber energi yang lebih murah setidaknya sebagai substitusi sebagian dari kebutuhan energi yang saat ini masih sangat tergantung pada bahan bakar minyak (bbm). Salah satu kandidat untuk itu tampaknya adalah batubara seperti misalnya untuk pengeringan bijih, walaupun menurut O’kane pemakaian batubara ini akan memerlukan tambahan biaya modal lagi sehingga posisi dari langkah ini menjadi marginal.
2. Tingginya Biaya Modal
Selama ini perhitungan biaya modal untuk proses Caron adalah berbasis pada pemanggangan reduksi yang menggunakan dapur Multi Hearth
Furnace (MHF), jenis dapur yang
digunakan oleh keempat pabrik berbasis Caron yang beroperasi saat ini. Ke depan tampaknya Selama ini perhitungan biaya modal untuk proses Caron adalah berbasis pada pemanggangan reduksi yang menggunakan dapur Multi Hearth
Furnace (MHF), jenis dapur yang
digunakan oleh keempat pabrik berbasis Caron yang beroperasi saat ini. Ke depan tampaknya sudah perlu dilakukan perubahan mendasar berupa penggantian dapur reduksi MHF tersebut dengan dapur alternatif lainnya seperti tanur putar (rotary kiln) atau
bentuk tanur lainnya yang diperkirakan dapat menurunkan biaya modal. Sebagai contoh disebutkan penggunaan satu tanur putar dapat menggantikan 12 atau lebih tungku MHF yang dapat mengurangi biaya modal dan operasional untuk tahapan reduksi [13]
Seperti telah diungkapkan biaya modal dan operasional terbesar untuk pengembangan proses adalah untuk tahap preparasi bijih sampai tahap reduksi. Oleh karena itu penurunan biaya untuk fasilitas reduksi dan
Kendala dan Kemungkinan…../ Arifin Arif | 9
penyederhanaan pengoperasian diperkirakan akan berdampak besar
terhadap usaha menurunkan biaya modal dan operasional yang dibutuhkan untuk pengembangan pabrik komersial baru. Penurunan biaya modal tersebut akan membuka kemungkinan lebih besar untuk pengembangan batubara sebagai subtitusi sebagian dari bbm seperti untuk pengeringan bijih, dengan menepis kekuatiran O’Kane akan terjadi peningkatan biaya modal apabila itu dilakukan seperti yang telah disebutkan diatas. Secara teknis hal ini sudah tidak lagi menjadi masalah karena pengeringan bijih menggunakan batubara telah dikembangkan di pabrik berbasis Caron di Yabulu Australia[14]. Diperkirakan langkah subtitusi sebagian bbm dengan batubara ini memberi dampak yang cukup berarti bagi ekonomi proses.
3. Peningkatan Peroleha Nikel dan Kobal Peningkatan perolehan nikel dan kobal
juga merupakan hal yang sangat penting dan tampaknya juga sulit untuk ditawar dalam membicarakan pengembangan proses ini kedepan. Seperti telah dibicarakan kinerja pada bagian hilir proses setelah pelindian dapat dikatakan telah optimal, jadi inti permasalahan sebenarnya adalah terletak pada masih belum optimalnya kinerja total dari proses reduksi dan pelindian yang terkait erat dengan selektifikasi reduksi terhadap oksida besi. Kemampuan untuk menekan FeO dan logam besi hingga seminimal mungkin diperkirakan pada akhirnya akan dapat meningkatkan perolehan nikel dan terutama kobal saat pelindian. Tentu saja hal ini serta juga penurunan temperatur reduksi dari bijih saprolit dan usaha untuk menekan pemakaian reagen/aditif seperti yang disebutkan diatas masih memerlukan penelitian, yang pengembangannya sudah diarahkan untuk tidak lagi menggunakan dapur jenis MHF. Keberhasilan dari litbang ini
diperkirakan akan sangat bermanfaat dalam membantu menyangga akibat dari naiknya harga BBM ataupun turunnya harga nikel sewaktu waktu sehingga peluang pengembangan proses kedepan lebih terbuka.
KESIMPULAN
1. Proses Caron dapat merupakan proses alternatif yang masih potensial untuk pengolahan bijih nikel laterit kadar rendah Indonesia yang optimal.
2. Dalam mendukung hal tersebut masih diperlukan penelitian untuk lebih meningkatkan selektifikasi terhadap oksida besi saat proses reduksi, penurunan temperatur reduksi saprolit mendekati temperatur reduksi bijih limonit dan usaha meminimalkan pemakaian reagen/aditif. Selain itu pengembangannya sudah diarahkan untuk tidak lagi menggunakan dapur MHF tetapi dapur lainnya yang biaya modal dan pengoperasiannya diperkirakan dapat lebih murah. Hal ini memperbesar peluang penggunaan batubara sebagai subtitusi sebagian bahan bakar minyak setidaknya untuk pengeringan bijih, yang juga berarti memperbesar peluang pengembangan proses kedepan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Arif, A. 2007. Prospek Penggunaan Proses HPAL untuk Pengolahan Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah
Indonesia. Metalurgi Volum 22
Nomor 1 Juni.
[2] Dalvi, A.D., dkk. 2004. The Past and the Future of Nickel Laterite. PDAC
2004 International Convention, Trade Show & Investors Exchange, March: Ontario Canada.
[3] Robson, T. 1998. Caron Process
Technical Description. Nickel
14 |Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 7-14
[4] Elias, M. 2002. Nickel laterite
deposits- Geological Overview,
Resources and Explotation. CODES
Special Publication 4, Centre for Ore Deposit, Research: University of Tasmania.
[5] O’Kane. 1979. Energy Consumption and Economic Trend in the Production of Laterites. International
Laterite Symposium.
[6] Prasetyo, P., dkk. 2002. Pengolahan Bijih Nikel Laterit dengan Cara Hidrometalurgi untuk Menghasilkan Logam Nikel (Ni) dan Produk
Samping Kobal (Co). Laporan RUT
VI. DRN.
[7] Wang, Y. 2005. The status of Nickel Resources in the World and the Development of Mineral Resources
in MCC. China Metallurgical
Construction Group Corporation September.
[8] International Stainless Steel Forum. 2011. Bisnis Indonesia Maret.
[9] Kuck, H.P. 2002. Nickel. U. S.
Geological Survey Minerals Year Book.
[10] Matheson, P. 2000. Cobalt Is it the Key to the Profitability of the New
Australian Nickel Producers?.
Outlook 2000. Proceedings of the National Outlook Conference, Vol. Three: Canberra.
[11] Metallurgical Technology Group. 2004. Investors Presentation.
Falconbridge Technology Centre: Canada.
[12] Taylor, A. 2009. Trends in Nickel –
Cobalt Processing. ALTA
Metallurgical Services.
[13] Francis, Boyd Ramon. dkk. 2004.
Process for Nickel and Cobalt
Extraction from Laterite Ores. WIPO
Patent Application WO/2004/067787.
[14] Reid, G., John. dkk. 2004. Yabulu 25
Years On. PDAC 2004 International
Convention, Trade Show & Inventors Exchange, March: Ontario Canada.
RIWAYAT PENULIS
Arifin Arif lahir di Bandar Khalifah 19
KONSENTRASI PASIR BESI TITAN DARI PENGOTORNYA
DENGAN CARA MAGNETIK
Deddy Sufiandi
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Serpong-Tangerang 15314
Intisari
Pasir besi titan Indonesia cadangannya cukup besar terutama di daerah sekitar pantai Selatan Jawa. Salah satu potensi pasir besi titan yang akan di teliti adalah pasir besi dari daerah Tegal Buleud Pantai Selatan Sukabumi. Pemanfaatan pasir besi titan merupakan alternatif yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri baja yang dalam perkembangan dan kebutuhannya semakin meningkat dengan terbatasnya cadangan bijih besi konvensional. Tujuan penelitian untuk mendapatkan kualitas pasir besi titan yang memenuhi persyaratan peleburan, perlu dilakukan konsentrasi untuk meningkatkan kadar besi dengan cara magnetik. Metode percobaan adalah melakukan identifikasi pasir besi titan dengan mengunakan analisa XRD. Kemudian dilakukan proses preparasi sampel dan pengayakan sebelum dimasukan kedalam peralatan pemisah magnetik
dan dari pemisah magnet akan dihasilkan produk konsentrat, middling, dan tailing. Hasil percobaan
menunjukkan produk konsentrat pasir besi titan mempunyai kandungan Fe203 80 % dan TiO2 20 %. Dan
pemisahan pasir besi titan dengan kondisi optimum diperoleh pada kondisi arus 3,5 ampere dan fraksi - 100 mesh dengan perolehan konsentrat rata-rata 90 %.
Kata kunci : Pasir besi titan, Magnetic separator, Tegal Buleud - Sukabumi Selatan, Industri baja
Abstract
Titan iron sand has been found a lot in Indonesia especially around west coast of Java. One of titan iron sand used in this research is iron sand from Tegal Buleud area at Sukabumi west coast. The utilization of iron sand is an alternative to fill-up the rising demand of raw material for steel industry development due to limited amount of conventional iron ore. To obtain the quality of titan iron sand which is suitable with the requirement for smelting, it is needed to have concentration process by magnetic separator to increase iron content. The step of experiment were identification of titan iron sand composition, preparation of sample and sampling processes, and material separation using magnetic separator to get concentrate, middling, and tailing products. The result of experiment shown concentrate product of titan iron sand has Fe2O3 and TiO2 with weight composition 80 % and 20 % respectively. And also The optimum condition in magnetic separator was 3.5 Ampere current and fraction -100 mesh got average concentrate yield about 90 %.
Keywords : Titans iron sand, Magnetic separator, Tegal Buleud- South Sukabumi, Steel industry
PENDAHULUAN
Pasir besi titan merupakan sumber logam besi yang dapat menggantikan kedudukan bijih besi konvensional, karena di Indonesia cadangannya cukup besar dengan kandungan Fe sekitar 38 % dan mineral ikutan seperti Titan berkisar antara 10 - 20 %. Sampai saat ini, pasir besi titan
16 |Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 15-20
selayaknya untuk mempertimbangkan pemanfaatan pasir besi titan sebagai bahan baku alternatif untuk industri besi baja.
Permasalahan yang timbul dari pengolahan pasir besi titan ialah adanya pengotor seperti unsur titanium yang cukup besar, sehingga tidak tepat untuk digunakan sebagai bahan baku industri yang memakai proses konvensional seperti
Blast Furnace. Untuk mengatasi
permasalahan ini perlu dicarikan proses yang tepat dan teruji sehingga baik besi maupun titan dapat dimanfaatkan[1]
Pada penelitian ini dilakukan proses peningkatan konsentrasi dengan menggunakan magnetic separator untuk
meningkatkan kadar besi hingga 55 - 65 % Fe, serta menurunkan logam ikutan titanium karena titanium mengganggu dalam proses peleburan , sehingga kadar besi dapat memenuhi persyaratan sebagai bahan baku untuk proses peleburan. Dengan demikian kesulitan bahan baku industri baja secara bertahap dapat teratasi.
.
Latar Belakang Teori
Pemisahan secara magnetik terjadi karena adanya perbedaan sifat fisik antar mineral magnetik dan mineral nonmagnetik yang dipengaruhi oleh kuat arus, sehingga mineral yang magnetic dan bersifat non magnetik dapat terpisah. Sedangkan mineral semi magnetik akan berada diantara mineral magnetik dan nonmagnetik sebagai middling. Kedudukan
magnet permanen yang tetap pada posisinya, menyebabkan medan magnet selama proses akan ikut tetap[2]. Sebaliknya, perbedaan arus dapat menyebabkan perubahan jarak medan magnet terhadap daerah aliran muatan sehingga akan terjadi perubahan pemisahan antara mineral magnetik (konsentrat), semi magnetik (middling) dan
nonmagnetik (tailing). Mineral semi
magnetik yang keluar akan diumpankan kembali sehingga diperoleh peningkatan konsentrat yang magnetik. Proses pemisahan pada magnetik separator terjadi
karena adanya perbedaan sifat magnetis dari mineral[3]
Mekanisme pemisahannya seperti pada Gambar 1 berikut:
. Dimana mineral yang bersifat ferromagnetik akan tertarik ke daerah medan magnetnya paling besar (produk C) untuk mineral magnetik, kemudian para magnetik (produk D) untuk mineral semi magnetik dan diamagnetik (produk E) untuk mineral non magnetik.
Keterangan:
A. Hopper (wadah umpan) B. Magnit
C. Produk : magnetik D. Produk : semi magnetik E. Produk non magnetic
Gambar 1. Mekanisme proses pemisahan
Mekanisme pemisahan adalah bijih pasir besi yang sudah dipreparasi masuk pada cover A, dengan adanya pemisahan
secara magnetik sedemikian mineral terbagi dalam mineral yang bersifat magnetik ( konsentrat C) pada posisi dekat medan magnet ( B), semi magnetik berada pada posisi diantara magnetik dan non magnetik ( D) sedang nonmagnetik ( E) jauh dari posisi magnet dan lepas sebagai
tailling.
PROSEDUR PERCOBAAN
Percobaan yang dilakukan adalah pengujian pasir besi titan secara fisik dan kimia, dilanjutkan dengan konsentrasi dengan menggunakan magnetik separator untuk mendapatkan konsentrat, middling dan tailing.
Konsentrasi Pasir Besi…../ Deddy Sufiandi | 17
-100 (mesh) dan rapat arus yaitu 2,5; 3,5; 4,5 dan 5,5 A, dengan voltase 50 - 60 volt . Dari variabel rapat arus dicari kondisi optimal untuk menghasilkan produk yang diharapkan.
Adapun langkah pengerjaan terlihat pada diagram alir dalam Gambar 2.
Gambar 2. Bagan alir proses konsentrasi pasir besi
titan
Proses pengolahan awal dilakukan dengan mengidentifikasi komposisi pasir besi titan yang di ambil dari daerah Tegal Buleud sekitar pantai selatan Sukabumi Jawa Barat. Kemudian dilakukan preparasi
dan sampling, yaitu pengadukan dan
pengayakan sesuai ukuran mesh sebelum
masuk pemisah magnet (magnetic
separator). Dalam pemisah magnet
dihasilkan 3 bagian produk yaitu konsentrat, middling, dan tailing. Mineral
magnetik (konsentrat) ini merupakan hasil pengolahan bahan galian yang mempunyai kadar mineral berharga paling tinggi.
Middling merupakan hasil pengolahan
yang kadar mineral berharganya diantara konsentrat dan tailing. Sedangkan tailing
merupakan hasil pengolahan yang kadar mineral berharganya paling rendah,atau sudah tidak mengandung mineral berharga. Pada Gambar 2 menunjukkan juga fraksi semi magnetik (middling) hasil
proses pemisahan pertama diumpankan kembali ke pemisah magnit untuk mendapatkan konsentrat, kemudian hasil konsentratnya digabung dengan konsentrat pertama. Proses ini dilakukan terus-menerus sampai tidak dihasilkan lagi konsentrat dan dianggap sebagai final
tailing.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Pasir Besi Titan
Identifikasi pasir besi titan dilakukan dengan mengggunakan X-RD, yaitu difraksi sinar X untuk mengetahui mineral-mineral yang ada di dalam pasir besi titan, seperti berikut:
Keterangan:Mg :Magnetik IL:Ilmenit
Gambar 3. Analisa XRD pasir besi titan asal
Sukabumi
Mineral-mineral dominan yang terdapat pada pasir besi Titan dari Tegal Buleud (Sukabumi Selatan) adalah magnetik, ilmenit dan hematit titano dan gangue mineral seperti SiO2, CaO, MgO, Cr2O3,
Al2O3 dan lain sebagainya. Data diperoleh
dari interpretasi XRD dan mineralogi untuk pasir besi titan umumnya mengandung mineral-mineral tersebut pada basis batuan plagioklas, kwarsa, diopsid dalam hal ini penulis menginterpretasikan hanya pada mineral penting yaitu besi dan titan.
Tabel 1. Hasil analisa komposisi kimia pasir besi
titan Sukabumi Selatan
% SR DTB PTB
Contoh pasir besi titan
18 |Majalah Metalurgi, V 26.1.2011, ISSN 0126-3188/ hal 15-20
Gambar 4. Grafik hasil analisa ayak sample pada
berbagi fraksi
Hasil Analisis Ayak Pasir Besi Titan Tegal Buleud Sukabumi Selatan
Dari hasil analisis ayak pasir besi titan Tegal Buleud Sukabumi Selatan, didapatkan hasil seperti dijelaskan pada Gambar 4 di atas. Dari hasil analisa ayak diperoleh hasil distribusi ukuran yang paling dominan adalah pada fraksi mesh -60 + 80 (37,97 % berat) dan fraksi - 100 mesh (55,07 % berat). Dengan mempertimbangkan hasil analisa kimia unsur titan dan besi oksida dari fraksi ketiga jenis sample yaitu SR, PTB, DTB sehingga dapat ditentukan fraksi tersebut yang paling baik kandungan mineralnya, maka dipakai untuk penelitian pemisahan dengan cara magnetik untuk mendapatkan produk konsentrat yang diharapkan. Hasil seperti pada Tabel 2 dan Gambar 5 berikut:
Hasil analisa ayak sampel SR, PTB, DTB
0
Gambar 5. Grafik hubungan % Ti/Fe oksida
terhadap fraksi
Tabel 2. Hasil analisa ayak sampel SR, PTB, DTB
Fraksi