• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

Akhir tahun 70-an dan awal 80-an, Pemerintahan Orde Baru menggalakkan program transmigrasi dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa, seperti Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Artikulasi transmigrasi secara sepintas dapat dilihat dari kebijakan populis Pemerintahan Orde Baru yang mendistribusikan atau membagikan lahan kepada petani gurem dan tunakisma di luar Pulau Jawa. Namun sebenarnya yang terjadi adalah transmigrasi merupakan alat kapitalisme yang efektif di daerah tujuan di luar Pulau Jawa. Kondisi seperti ini dapat dijelaskan pada kasus komunitas transmigran di Wanaraya.

Penelitian yang telah dilakukan pada komunitas transmigran di Wanaraya, diperoleh gambaran bahwa program transmigrasi mempunyai implikasi terhadap dua hal, pertama, transmigrasi berhasil memberikan akses lahan sebagai faktor produksi (alat produksi) utama yang dibutuhkan oleh komunitas transmigran yang sebagian besar sebagai petani gurem atau tunakisma di daerah asal, dan kedua, menggeser sekaligus menyingkirkan sistem produksi behuma yang ekstensif dan menggantikannya dengan sistem produksi sawah pasang surut yang intensif. Berkaitan dengan implikasi terakhir, menyebabkan terjadinya jurang metabolik (metabolic gap) yang mendorong penetrasi kapitalisme di daerah tujuan. Penetrasi kapitalisme ini diawali dengan disubsidinya komunitas transmigran dalam bentuk lahan produksi behuma oleh komunitas lokal untuk melakukan sistem produksi sawah pasang surut.

Dikarenakan lahan bertekstur histosol (ekologi lahan gambut berawa) yang mempunyai tingkat kesuburan relatif kurang menyebabkan tidak sedikit diantara mereka –komunitas transmigran– meninggalkan daerah tujuan. Sebaliknya, mereka yang tetap bertahan di daerah tujuan disebabkan bekal pengalaman bertani yang dimiliki sewaktu di daerah asal dan kemauan belajar menyebabkan terjadinya “revolusi” berproduksi. Akan tetapi dominasi kapital dalam usaha produksi menyebabkan terjadinya perbedaan penguasaan atas faktor-faktor produksi antara sesama anggota komunitas transmigran.

(2)

Uraian di atas, dapat dilihat dari kesejarahan yang berlangsung di Wanaraya. Sebelum kedatangan komunitas transmigran hingga tahun 1977, terdapat komunitas lokal yang melakukan behuma dengan ciri moda produksi subsisten yang berorientasi pemenuhan kebutuhan keluarga atau nilai-guna (use-value). Sementara itu, untuk memperoleh uang tunai, komunitas lokal melakukan kegiatan produksi membatang yang mengikuti siklus sistem produksi behuma. Lahan yang digunakan untuk produksi behuma dan membatang adalah lahan komunal yang kepemilikannya di bawah penguasaan pembekal desa yang secara tidak langsung menunjukkan ciri khas moda produksi asiatik.

Selanjutnya kedatangan komunitas transmigran menandai periode “pasang” yang berlangsung dalam kurung waktu 1978 sampai dengan 1983, dimana usahatani sawah pasang surut dan usaha produksi ternak sapi tampil sebagai cerminan moda produksi komersil. Meskipun demikian, tampilnya usaha produksi ternak sapi tidak mengalami perkembangan sebagaimana usahatani sawah pasang surut dikarenakan komoditas tersebut tidak diusahakan secara serius sebagaimana usahatani sawah pasang surut. Sebagian besar komunitas transmigran pada periode ini sebagai petani pemilik-penggarap, dimana organisasi (unit) produksinya berbasis keluarga inti, namun tenaga kerja di luar keluarga inti tetap dibutuhkan yang diperoleh melalui pertukaran tenaga kerja.

Terjadinya pertukaran tenaga kerja tersebut, didasarkan atas kepentingan kebutuhan tenaga kerja antar sesama anggota komunitas transmigran atau dengan kata lain tolong menolong merupakan basis terbentuknya pertukaran tenaga kerja tersebut. Pertukaran tenaga kerja pada periode “pasang” menunjukkan belum teralienasinya anggota komunitas transmigran terhadap faktor-faktor produksi sehingga arti komunitas sebagai kesatuan solidaritas antar sesama anggotanya belum memudar disebabkan belum terdapatnya lapisan sosial yang dirugikan atau dengan kata lain komunitas transmigran masih terstruktur ke dalam satu kelas sosial.

Berbeda dengan dua periode sebelumnya, periode “surut” (1984–2005) ditandai dengan hadirnya dua moda produksi secara bersamaan, yaitu moda moda produksi komersil dan moda produksi kapitalis. Periode ini pula ditandai dengan hadirnya dua kelas sosial komunitas transmigran, yaitu petani pemilik modal

(3)

(periferi capitalism) dan petani pemilik-penggarap. Komoditas pertanian seperti sayuran dan kacang tanah dan ternak sapi mencirikan moda produksi komersil yang berorientasi pasar domestik dibandingkan pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Organisasi produksinya sudah melibatkan pihak di luar keluarga inti, dimana struktur hubungan produksinya adalah struktur yang terhierarki antara petani pemilik modal sebagai “majikan” dengan petani pemilik-penggarap sebagai “buruh”. Berarti, artikulasi hubungan produksi kedua usaha produksi tersebut bersifat eksploitatif.

Sementara itu, moda produksi komersil lainnya merujuk pada usaha selain pertanian seperti transportasi klotok dan bengkel elektronik/sepeda motor. Alat produksi utama dua usaha produksi tersebut adalah jasa transportasi dan perbaikan elektronik atau sepeda motor yang organisasi produksinya sudah melibatkan orang di luar keluarga inti. Meskipun diantara kedua usaha produksi tersebut mempunyai perbedaan dalam batas sosial hubungan produksi. Jika usaha transportasi klotok melibatkan tenaga kerja di luar keluarga inti adalah kerabat terdekat, maka tidak demikian halnya usaha bengkel elektronik/sepeda motor yang melibatkan orang luar di luar keluarga inti berdasarkan keterampilan atau kemampuan yang dimiliki oleh tenaga kerja tersebut. Dengan demikian, struktur hubungan produksi untuk usaha produksi pertama menunjukkan pseudo-hierarki antara anggota keluarga inti dengan keluarga luas, sedangkan usaha produksi kedua lebih kepada struktur hubungan produksi pemilik usaha sebagai “atasan” dan tenaga kerja di luar keluarga inti sebagai “bawahan”. Artikulasi dua usaha produksi tersebut merujuk pada sifat hubungan yang eksploitatif, dimana surplus produksi diserap oleh pemilik usaha.

Hal yang sama dengan komoditas sebelumnya, usahatani sawah pasang surut pada periode “surut” tampil sebagai komoditas yang organisasi produksinya sudah melibatkan tenaga kerja di luar keluarga inti. Namun perbedaannya terletak pada modal (kapital) dalam pengusahaan komoditas padi-sawah pasang surut yang lebih besar sehingga alat produksi utamanya terletak pada modal. Peranan petani pemilik modal tidak hanya dalam bentuk pemilikan lahan yang memberi upah kepada petani pemilik-penggarap, akan tetapi juga bertindak sebagai pengusaha distribusi pupuk dan kapur, serta pemilik traktor tangan. Dengan demikian,

(4)

surplus produksi padi-sawah pasang surut oleh petani pemilik modal diserap melalui beberapa bentuk, seperti tenaga kerja kerja, pembayaran pupuk, kapur, dan traktor. Artikulasi usahatani sawah pasang surut menunjukkan berlangsung-nya moda produksi kapitalis, dimana peranan modal cukup penting.

Moda produksi kapitalis lainnya dicirikan oleh kegiatan produksi membatang yang dilakukan oleh komunitas transmigran seusai tahap panen. Kegiatan produksi ini dilakukan selama 2–3 bulan di luar Wanaraya melalui organisasi produksi berupa perusahaan berskala kecil dan tidak berbadan hukum di bawah pimpinan bos batang. Alat produksi utama dalam kegiatan membatang adalah modal untuk memberi upah kepada tenaga kerja membatang. Dengan demikian, struktur hubungan produksi yang tercipta adalah hierarki antara bos batang sebagai “majikan” dan pembatang sebagai “buruh” dengan sifat hubungannya yang eksploitatif.

Apa yang hendak dijelaskan dari uraian di atas adalah bahwa tampilnya dominasi peran kelas petani pemilik modal atau kelas kapitalis pinggiran (periferi capitalism class) di Wanaraya karena terjadinya jurang metabolik (metabolic gap) yang menampilkan watak kapitalismenya di Wanaraya dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) mewujudkan “jurang yang tidak dapat dipulihkan kembali” berupa gejala “behuma hilang, sawah terancam” dan mengancam keberadaan dua komunitas di Wanaraya; (2) penerapan teknologi intensif merupakan saluran yang terus membesar bagi penetrasi kekuatan kapitalis ke dalam sistem produksi padi-sawah pasang surut; (3) petani menjadi sekedar operator yang memperoleh manfaat tidak sebanding dengan rantai kapitalis; dan (4) terkonsolidasinya kapitalis atau dengan kata lain terjadinya kerjasama antara periferi capitalism dengan central capitalism

Dalam kondisi seperti itu, komunitas transmigran yang tergolong kelas petani pemilik-penggarap teralienasi terhadap faktor-faktor produksi sehingga solidaritas sosial antar sesama anggota komunitas semakin menurun. Arti komunitas semakin memudar karena petani pemilik-penggarap sebagai lapisan bawah dalam sistem sosial komunitas transmigran tereksploitasi dalam usaha produksi oleh petani pemilik modal sebagai lapisan atas. Atau dengan kata lain,

(5)

petani pemilik-penggarap dalam setiap usaha produksi yang berlangsung di Wanaraya selalu dirugikan oleh petani pemilik modal.

Selanjutnya, merujuk pada tiga moda produksi di atas dipastikan bahwa moda produksi kapitalis mendominasi dua moda produksi lainnya, yaitu moda produksi subsisten dan moda produksi komersil sehingga membentuk formasi sosial kapitalis. Produksi subsisten komunitas lokal secara tidak langsung telah mensubsidi lahan produksi yang digunakan oleh komunitas transmigran untuk melakukan usahatani sawah pasang surut yang berorientasi nilai guna (use-value) sekaligus nilai tukar (exchange-value) untuk mendapatkan uang tunai.

Orientasi produksi padi-sawah pasang surut sebagai nilai-guna dan nilai tukar tersebut, kemudian mensubsidi pelaku –sebagian besar kelas petani pemilik modal atau kelas kapitalis pinggiran– usaha produksi komersil selain pertanian yang sebagian besar berasal dari anggota keluarga. Kebutuhan pangan harian pelaku tersebut bersumber dari hasil produksi padi-sawah pasang surut, bukan dari hasil penjualan barang atau jasa yang diproduksi dan ditawarkannya. Sehingga kebutuhan pangan harian tidak pernah diperhitungkan sebagai komponen biaya produksi atau dengan kata lain biaya reproduksi pelaku usaha produksi komersil tidak ditanggung oleh perusahaan keluarga tersebut, melainkan dari usaha produksi padi-sawah pasang surut.

Untuk produksi kapitalis, baik pemilik usaha maupun tenaga kerja atau “buruh” pemenuhan kebutuhan pangan tetap bersumber pada produksi padi-sawah pasang surut. Dalam usaha produksi padi-sawah pasang surut, petani pemilik modal mempunyai pola ganda usaha atau pada satu sisi bertindak sebagai pengusaha distribusi pupuk dan kapur sebagai perpanjangan tangan industri-industri pupuk dan kapur berskala sedang hingga besar (central capitalism), namun pada sisi yang lainnya memperoleh sumber kebutuhan pangan dari pengusahaan padi-sawah pasang surut. Sementara itu, petani pemilik-penggarap dari hasil produksi sawah pasang surut yang diperoleh diperuntukkan membayar utang pupuk dan kebutuhan pangan keluarga. Meskipun demikian, kebutuhan pangan keluarga tersebut sebenarnya tidak mencukupi kebutuhan pangan keluarga petani pemilik-penggarap.

(6)

Selanjutnya kekurangan kebutuhan pangan keluarga petani pemilik-penggarap, hanya dapat dipenuhi dengan cara menggarap lahan petani pemilik modal dan menjadi buruh dalam kegiatan produksi membatang. Akan tetapi sebagai tenaga kerja upah pada lahan milik petani pemilik modal, untuk sarapan pagi, makan siang, dan makan malam dilakukan di rumah petani pemilik-penggarap. Demikian pun dengan kegiatan produksi membatang yang dilakukan petani pemilik-penggarap diperuntukkan mensubsidi usahatani sawah pasang surut, membayar utang, dan mencukupi kebutuhan keluarga. Selama membatang yang sebagian besar dilakukan oleh laki-laki dalam keluarga komunitas transmigran disubsidi oleh kebutuhan pangan yang dihasilkan dari usahatani sawah pasang surut.

Meskipun demikian, penulis sangat sadari bahwa apa yang telah diuraikan sebelumnya merupakan hasil penelitian yang mempunyai keterbatasan (kekurangan) dan perlu lebih lanjut dilakukan penelitian yang lebih komprehensif. Dikarenakan penelitian ini menggunakan perspektif materialistik dan hanya membatasi pada keberadaan komunitas transmigran selama berada di daerah tujuan, maka dapat dipastikan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan nilai atau etos kapitalistik yang melekat pada anggota komunitas transmigran sewaktu di daerah asal tidak tergali lebih jauh oleh penulis yang dimungkinkan mempunyai relevansi ketika di daerah tujuan.

Demikianpun dengan keberadaan komunitas lokal dalam penelitian ini hanya dilihat sebagai faktor histori usaha produksi yang dilakukan oleh komunitas transmigran di Wanaraya. Untuk itu, diperlukan penelitian lebih lanjut dengan pendekatan yang berlainan, seperti apakah formasi sosial kapitalis yang terbentuk di daerah tujuan merupakan bentuk lain dari formasi sosial kapitalis komunitas transmigran yang sudah inheren di daerah asal dan sejauhmana transmigrasi dapat dikatakan sebagai bentuk program “Jawanisasi”, melanggar HAM, dan sebagainya. Ini tidak lain dimaksudkan untuk menjawab berbagai persoalan yang hadir ketika program transmigrasi dijadikan sebagai kebijakan pemerintah Indonesia.

(7)

Implikasi Kebijakan

Terhitung semenjak tahun 1950 hingga sekarang –kurang lebih lima puluh enam tahun– ketika kata “transmigrasi” digunakan sebagai kebijakan Pemerintahan Indonesia mempunyai tujuan yang sangat beragam. Namun, tujuan tersebut dapat dibagi ke dalam tiga hal, yaitu (1) menyebarkan penduduk; (2) sarana pengembangan sumberdaya manusia demi pembangunan di pulau-pulau lain (di luar Pulau Jawa); dan (3) kenaikan tingkat hidup, pertambahan produksi pertanian, keamanan nasional, dan integrasi nasional (Heeren 1979, MacAndrew dan Rahardjo 1979, dan Levang 2003,).

Dari ketiga tujuan di atas, mungkin hanya tujuan pertama yang dapat dikatakan berhasil karena dua tujuan lainnya memberikan “segudang” pertanyaan apakah transmigrasi sudah mencapai tujuan sebagaimana yang telah dirumuskan tersebut? Penelitian yang mengambil tema tentang “Transmigrasi Sebagai Pembentuk Formasi Sosial Kapitalis di Daerah Tujuan: Studi Kasus Komunitas Transmigran di Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Propinsi Kalimantan Selatan” menyampaikan beberapa informasi yang mempunyai implikasi bagi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan program transmigrasi dikemudian hari. Setidaknya implikasi kebijakan ini dapat dirumuskan ke dalam beberapa catatan penting kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Penelitian ini memperoleh gambaran bahwa meskipun program transmigran berhasil memberikan akses kepemilikan lahan kepada para transmigran yang dulunya petani gurem atau tunakisma, namun bukan berarti dengan sendirinya menunjukkan terjadinya perubahan struktur ekonomi para transmigran ke arah yang lebih baik. Determinasi lahan bertekstur histosol (ekologi lahan gambut berawa) yang dipaksakan oleh penetrasi sistem produksi sawah pasang surut yang intensif meyebabkan terjadinya jurang metobalik (metabolic gap), sehingga watak kapitalisme dengan ciri khasnya tampil di Wanaraya. Selanjutnya, watak kapitalisme ini menciptakan berbagai persoalan baru berupa kesenjangan struktur sosial komunitas transmigran antara kelas kapitalis pinggiran (perifer capitalism class) diwakili oleh petani pemilik modal dengan kelas pekerja yang diwakili oleh petani pemilik-penggarap. Semua ini

(8)

dapat dilihat dari berlangsungnya formasi sosial kapitalis pada komunitas transmigran di Wanaraya.

Dapat dipastikan bahwa ujung dari kesenjangan sosial ini adalah lahirnya kemiskinan yang dialami oleh komunitas transmigran. Untuk itu, berkaitan dengan kebijakan pemerintah tentang pemberian lahan kepada petani gurem atau tunakisma dalam bentuk program transmigran, maka seyogyanya tidak hanya melihat dari dimensi teknis (lahan yang belum teroptimalkan penggarapannya). Akan tetapi lebih memperhatikan kelayakan bentuk program yang akan diterapkan nantinya sehingga dapat terhindar dari efek atau dampak sosial yang tidak diharapkan dari program yang memindahkan penduduk dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa, sebagaimana yang terjadi pada komunitas transmigran di Wanaraya.

Selain itu, penetrasi teknologi dalam bentuk bantuan atau pinjaman oleh pihak pemerintah atau lembaga lainnya untuk membantu perubahan struktur ekonomi komunitas transmigran harus memperhatikan struktur sosial yang berlangsung dalam suatu komunitas atau masyarakat. Merujuk pada kasus komunitas transmigran di Wanaraya sebagai lokasi berlangsungnya penelitian ini, ditemukan bahwa kelas petani pemilik-penggarap cenderung teralienasi dalam kepemilikan faktor-faktor produksi, seperti ketidakmampuan atau ketergantungan dalam penydiaan atau pemenuhan teknologi usahatani, ketidakmampuan menyediakan modal, dan ketidakmampuan memiliki ternak sapi.

Teralienasinya petani pemilik-penggarap terhadap faktor-faktor produksi yang utama tersebut menyebabkan terciptanya eksploitasi surplus produksi oleh kelas petani pemilik modal (kelas kapitalis pinggiran) terhadap petani pemilik-penggarap. Untuk itu, dikemudian hari diharapkan bantuan atau bentuk pinjaman yang diberikan oleh pemerintah, lembaga donor, dan lain sebagainya sebaiknya lebih diorientasikan kepada lapisan kelas sosial terendah (misalnya petani pemilik-penggarap), bukan malah sebaliknya kepada kelas kapitalis pinggiran dengan kemampuannya mengakumulasi kapital. Merujuk pada kasus penelitian ini, terlihat bahwa jenis bantuan atau pinjaman yang diberikan oleh beberapa pihak –termasuk bantuan dari pemerintah– lebih diorientasikan kepada kelas petani pemilik modal daripada kelas petani pemilik-penggarap. Terakhir, agar tidak terciptanya eksploitasi surplus pro-duksi oleh kelas sosial tertentu terhadap

(9)

kelas sosial lainnya di komunitas transmigran, maka diperlukan distribusi usaha produksi yang memperhatikan kondisi lingkungan (ekologi dominan), ekonomi (modal), dan teknologi lokasi transmigran dan lebih diorientasikan kepada kelas sosial terendah dalam komunitas transmigran.

Referensi

Dokumen terkait

Makusudi ya kufanya utafiti huu, ni kutathmini dhima ya nyimbo katika kukuza nakuimarisha Malezi,mfano wa kabila la Wakaguru,Utafiti huu umefanyika Wilayani Kilosa,kata

Transliterasi Arab-Latin memang dihajatkan oleh bangsa Indonesia karena huruf Arab dipergunakan untuk menuliskan kitab agama Islam berikut penjelasannya (Al-Qur’an dan

Gordon dan Milakovich (1995:6), mendefinisikan pentadbiran awam sebagai segala proses, organisasi, dan individu yang terlibat dalam perlaksanaan undang-undang dan peraturan

Untuk menganalisis variabel independen (X) yang terdiri dari variabel suku bunga kredit, kualitas pelayanan, terhadap variabel dependen (Y) yakni loyalitas nasabah maka

Berita.. Formula Penyuntingan Bahan yang Berdaya Maju untuk Berita Surat Khabar  Bahasa Melayu

Contoh implikasinya dalam perusahaan adalah jika perusahaan memiliki keunggulan bersaing di bidang harga dan kualitas, karena perusahaan dapat membuat produk dengan harga

Definisi operasional menjelaskan cara tertentu yang digunakan oleh peneliti dalam mengoperasionalkan construct , sehingga memungkinkan bagi peneliti yang lain untuk

Sedangkan menurut Munadi (2008: 8) media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber secara terencana sehingga tercipta