• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volume 15 Nomor 2 Desember 2014 ISSN:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Volume 15 Nomor 2 Desember 2014 ISSN:"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 15 Nomor 2 Desember 2014

ISSN: 1411-8823

Perbandingan Karakteristik

Scanner

Vidar Dosimetrypro Advantage dan Epson Perfectio

V700 Berbasis Dosimetri Film Radiochromic EBT2

A.S. Miharja, S.A. Pawiro

Perbandingan Dosis Radiasi di Permukaan Kulit pada Pasien

Thorax

Terhadap Dosis Radiasi

di Udara dengan Sumber Radiasi Pesawat Sinar-X

D. Milvita, N.L. Gemi, H. Prasetio, D.D. Kusumawati, H. Yuliati, Suyati

Karakterisasi Masker Termoplastik Sebelum dan Sesudah Radiasi

Y. Nurhamiyah, Dr Ariadne L. Juwono Ph.D, Prof Dr. Djarwani S. Soejoko

Karakterisasi Material Bahan Fiksasi

A. Ramadhan, A.L. Juwono, D.S. Soejoko

Verifikasi Perhitungan

Partial Wave

untuk Hamburan K

+

p

K. Trisnayadi

Asimetri Isospin pada Materi Quark

A.I. Qauli, A. Sulaksono

Bound State Solution of Dirac Equation for Scarf Potential with New Tensor Coupling

Potential for Spin and Pseudospin Symmetries Using Nikiforov-Uvarov Method

U.A. Deta, A. Suparmi, C. Cari

Tortuositas pada Model 3D Batuan Berpori

Firmansyah, S. Feranie, F.D.E. Latief, P.F.L. Tobing

Sifat Magnetik Sedimen Sungai sebagai Indikator Pencemaran (Studi Kasus: Sungai Citarum

Kabupaten Karawang)

K.H. Kirana, D. Fitriani, E. Supriyana, E. Agustine

Karakterisasi Reservoar Batupasir pada Lapangan “SG” Menggunakan Inversi Acoustic

Impedance (AI) dan Elastic Impedance (EI)

F. Akbar, S. Rosid

Penyesuaian Kurva Model Dinamis Landau-Khalatnikov Pada BZT

M. Hikam, Septian Rahmat Adnan, Bambang Soegijono, Arief Sudarmaji, Ganis Sanhaji

dan La Ode Husein ZT

Fotoproduksi η-Meson Pada Nukleon Dengan Model Isobar

Maya Puspitasari Izaak, Agus Salam

(2)

JURNAL FISIKA DAN APLIKASINYA

Volume 15 Nomor 2 Desember 2014

ISSN: 1411 – 8823

____________________________________________________________________________________________________

Perbandingan Karakteristik

Scanner

Vidar Dosimetrypro Advantage dan

Epson Perfectio V700 Berbasis Dosimetri Film Radiochromic EBT2

A.S. Miharja, S.A. Pawiro

61 - 65

Perbandingan Dosis Radiasi di Permukaan Kulit pada Pasien

Thorax

Terhadap Dosis Radiasi di Udara dengan Sumber Radiasi Pesawat Sinar-X

D. Milvita, N.L. Gemi, H. Prasetio, D.D. Kusumawati, H. Yuliati, Suyati

66 - 70

Karakterisasi Masker Termoplastik Sebelum dan Sesudah Radiasi

Y. Nurhamiyah, Dr Ariadne L. Juwono Ph.D, Prof Dr. Djarwani S.

Soejoko

71 – 75

Karakterisasi Material Bahan Fiksasi

A. Ramadhan, A.L. Juwono, D.S. Soejoko

76 - 79

Verifikasi Perhitungan

Partial Wave

untuk Hamburan K

+

p

K. Trisnayadi

80 – 84

Asimetri Isospin pada Materi Quark

A.I. Qauli, A. Sulaksono

85 - 88

Bound State Solution of Dirac Equation for Scarf Potential with New Tensor

Coupling Potential for Spin and Pseudospin Symmetries Using

Nikiforov-Uvarov Method

U.A. Deta, A. Suparmi, C. Cari

89 – 93

Tortuositas pada Model 3D Batuan Berpori

Firmansyah, S. Feranie, F.D.E. Latief, P.F.L. Tobing

(3)

Sungai Citarum Kabupaten Karawang)

K.H. Kirana, D. Fitriani, E. Supriyana, E. Agustine

Karakterisasi Reservoar Batupasir pada Lapangan “SG” Menggunakan

Inversi Acoustic Impedance (AI) dan Elastic Impedance (EI)

F. Akbar, S. Rosid

102 – 107

Penyesuaian Kurva Model Dinamis Landau-Khalatnikov Pada BZT

M. Hikam, Septian Rahmat Adnan, Bambang Soegijono, Arief

Sudarmaji, Ganis Sanhaji dan La Ode Husein ZT

108 – 111

Fotoproduksi η-Meson Pada Nukleon Dengan Model Isobar

Maya Puspitasari Izaak, Agus Salam

112 - 118

Diterbitkan oleh:

Jurusan Fisika FMIPA

(4)

JURNAL FISIKA DAN APLIKASINYA

Volume 15 Nomor 2 Desember 2014

ISSN: 1411 – 8823

____________________________________________________________________________________________________

Penanggung jawab

Ketua Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Jakarta

Dewan Redaksi

Ketua

: Prof. Dr. Agus Setyo Budi, M.Sc

Sekretaris

: Teguh Budi Prayitno, M.Si

Anggota

: Hadi Nasbey, M.Si

Drs. Anggoro Budi Susilo, M.Si

Dr. I Made Astra, M.Si

Dr. Sunaryo, M.Si

Penyunting ahli

: Dr. Erlan Rosyadi (BPPT)

Dr. Artoto Arkundato (UNEJ)

Dr. Yudiakto Pramudya (UAD)

Dr. Supriyanto (UI)

Dr. Yoga Divayana (NTU)

Prof. Agus Setyo Budi, M.Sc (UNJ)

Dr. Mangasi A. Marpaung, M.Si (UNJ)

Dr. rer nat. Bambang Heru Iswanto, M.Si (UNJ)

Dr. Iwan Sugihartono, M.Si, Dipl.Sc (UNJ)

Dr. Esmar Budi (UNJ)

Dr. Erfan Handoko (UNJ)

Penyunting pelaksana

: Dr. Iwan Sugihartono, M.Si, Dipl.Sc

Teguh Budi Prayitno, M.Si

Sekretariat

: Umiatin, M.Si

Pengantar redaksi

Spektra merupakan jurnal Fisika dan aplikasinya terbit setahun dua kali dan dibuat untuk

mewadahi dan mempublikasikan hasil riset dan review yang belum pernah

dipublikasikan di terbitan lain.

Penerbit:

Jurusan Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Negeri Jakarta

Kampus B Jl. Pemuda No. 10 Rawamangun Jakarta 13220

Telp. 021-29266285

(5)

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Spektra: Jurnal Fisika

dan Aplikasinya, Volume 15 Nomor 2 Desember 2014 dapat diterbitkan. Spektra

diterbitkan dua kali dalam setahun dan berisi artikel-artikel ilmiah di bidang Fisika

antara lain teori, material, medis, geofisika, optik, instrumentasi serta hasil-hasil

penelitian lain yang berhubungan dengan fisika.

Kehadiran Spektra merupakan wadah publikasi hasil penelitian di bidang ilmu

fisika dan aplikasinya yang diharapkan mampu memberikan sumbangsih bagi

perkembangan di bidang fisika.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh penulis artikel sehingga Spektra:

Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Volume 15 Nomor 2 Desember 2014 dapat diterbitkan.

(6)

61

PERBANDINGAN KARAKTERISTIK

SCANNER

VIDAR

DOSIMETRYPRO ADVANTAGE DAN EPSON PERFECTIO V700

BERBASIS DOSIMETRI FILM RADIOCHROMIC EBT2

Ari Surya Miharja

1*)

,

Supriyanto Ardjo Pawiro

1

1Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424

*) Email: ari.surya@ui.ac.id

Abstrak

Telah dilakukan penelitian untuk menentukan karakteristik dasar dari scanner yang digunakan untuk dosimetri film radiochromic EBT2.Dalam penelitian ini digunakan scanner Vidar DosimetryPro Advantage dan Epson Perfection V700. Pengujian yang dilakukan meliputi uji konsistensi scanner, uji variasi film to film, uji uniformitas scanner, uji efek orientasi film, uji suhu ruang penyimpanan film, uji fading film dan uji noise film/scanner. Scanner diuji menggunakan film EBT2 yang telah dipapar radiasi menggunakan Linac dengan modalitas foton 6 MV. Film mempunyai 8 buah lapangan berukuran 3 cm x 3 cm dengan dosis dari 31,31 – 250,48 cGy. Software yang digunakan untuk menganalisa hasil bacaan scanner adalah ImageJ dan FilmQA Pro. Dari hasil pengujian didapatkan konsistensi Vidar mode Logarithmic lebih baik dengan standar deviasi (SD) kurang dari 0,06%, sedangkan standar deviasi Epson mencapai 0,40%. Uniformitas Vidar juga lebih baik dengan SD kurang dari 0,76% dibandingkan Epson yang mencapai 1,16%. Orientasi film cukup berpengaruh terhadap hasil bacaan, terutama pada Epson, sehingga orientasi film harus konstan selama pemindaian.Performa Vidar secara keseluruhan lebih bagus daripada Epson terutama saat red channel saja yang dianalisa.

Kata kunci

:

film radiochromic EBT2 , film scanner, Vidar DosimetryPro Advantage, Epson Perfection V700, film dosimetri.

1. Pendahuluan

Film GafChromic EBT2 (GAF-EBT2: International Speciality Products, Wayne, NJ) sebagai film radiochromic sering digunakan untuk radioterapi dan memiliki rentang dosis serap mencapai 0,01 – 40 Gy. Film ini dapat diukur dengan densitometer transmisi, pemindai film, atau spektrofotometer. Ketika bagian komponen aktif film terpapar radiasi, maka akan terbentuk polimer berwarna biru dengan absorpsi maksimum sekitar 636 nm dan 585 nm. Akibatnya tanggapan dari film dosimetri ditingkatkan oleh pengukuran dengan sinar merah karena sinar warna merah memiliki panjang gelombang dengan jangkauan sekitar 630 – 760 nm. Tanggapan terbaik terhadap film akan didapatkan jika film dipindai dengan mode transmisi. Selain itu tanggapan spektral dari alat pindai harus cocok dengan absorbansi dari film [1].

Saat ini ada dua tipe alat pindai yang biasa digunakan untuk dosimetri film, scanner khusus film radiochromic dan flatbed document scanner. Salah satu contoh alat pindai khusus film radiochromic adalah Vidar DosimetryPro Advantage (RED) dengan sumber cahaya LED merah. Bila dibandingkan dengan alat pindai lain, salah satu kelebihannya yaitu LED pada alat ini memiliki emisi maksimum dengan panjang gelombang mendekati 630 nm sehingga sangat cocok dengan spectral maksimum film EBT2 (Lewis). Meskipun tidak dirancang secara khusus

untuk dosimetri film radiochromic, flatbed document scanner sebelumnya sudah sering digunakan untuk pengukuran di berbagai aplikasi dosimetri film. Salah satu jenis flatbed document scanner yang menangkap warna dengan rinci dan presisi yaitu scanner EPSON dengan tipe Perfection V700. Alat pindai ini menghasilkan akurasi dan reprodusibilitas yang bagus sehingga sangat direkomendasikan untuk digunakan [2].Hasil yang didapatkan dari kedua scanner tersebut dapat diolah dengan menggunakan beberapa software seperti Image processing and analysis in Java (ImageJ) dan FilmQA Pro.Kedua software tersebut dapat menampilkan pixel value yang dibutuhkan untuk menganalisa hasil pemindaian film yang dilakukan.

2. Metode Penelitian

2.1. Scanner

Scanner yang diuji pada penelitian ini adalah Vidar DosimetryPro Advatage dan Epson Perfection V700 seperti terlihat pada Gambar 1. Meskipun tidak dirancang khusus untuk dosimetri film radiochromic seperti Vidar, menurut beberapa penelitian performa Epson untuk kebutuhan dosimetri cukup memuaskan sehingga dapat menggantikan fungsi dari scanner

khusus film radiochromic seperti Vidar [2,3]. Vidar menggunakan detektor CCD linier dan sumber cahaya LED dengan emisi maksimum 627 nm. Sumber cahaya ini sangat cocok dengan absorpsi puncak dari film EBT 2 yakni 635 nm [1].

(7)

62

Gambar 1.Scanner Vidar DosimetryPro Advantage

(kiri) dan Epson Perfection V700.

Scanner Vidar mampu memindai film dengan dimensi maksimum 35,6 cm x 43,2 cm. Film yang dipindai nantinya akan bergerak, sehingga film harus dipindahkan lagi secara manual untuk melakukan pemindaian ulang. Hal ini menyebabkan pemindaian ulang film pada posisi yang persis sama tidak bisa dilakukan.Vidar memiliki kemampuan untuk melakukan pemanasan secara otomatis dan rutin untuk memastikan bahwa sumber cahaya selalu siap dan stabil untuk setiap pemindaian. Epson V700 menggunakan sumber cahaya fluoresens dengan spektrum emisi broadband dan detektor CCD linier.Untuk dosimetri film, mode yang digunakan adalah mode transmisi.Epson V700 tidak memiliki kemampuan untuk melakukan kalibrasi secara otomatis seperti Vidar.Namun, sumber cahaya pada V700 diasumsikan telah stabil setelah dilakukan beberapa pemindaian awal tersebut [3].

2.2. Film Uji

Film GafChromic EBT2 yang telah disiapkan akan dipapar dengan mengadaptasi teknik kalibrasi film yang dilakukan oleh Childress et. al.. Lapangan yang dibentuk ada delapan buah kotak dengan ukuran masing – masing lapangan 3 cm x 3 cm dengan variasi dosis antara 30, 60, 90, 120, 150, 180, 210 dan 240 MU seperti terlihat pada Gambar 3.8. Penyinaran dilakukan menggunakan Varian CLINAC RapidArc dengan modalitas foton berenergi 6 MV.Film diletakkan tegak lurus dengan arah datangnya sinar pada jarak 100 cm source to axis

distance (SAD) dan pada kedalaman 10 cm solid water seperti yang terlihat pada Gambar 3. Keluaran energi yang dikeluarkan oleh Linac tersebut pada foton 6 MV adalah 1,0 cGy/MU. Oleh karena itu, pada dosis yang diterima masing – masing lapangan bervariasi antara 31,31 – 250,48 cGy.

Skema penyinaran yang lebih jelas terlihat pada Gambar 2. Penyinaran yang dilakukan adalah sama untuk tiap film. Penambahan 10 cm solid water lagi di bawah film bertujuan untuk menciptakan hamburan balik (backscatter). Penyinaran dilakukan dalam hari yang sama dan dengan selang waktu penyinaran tiap film tidak terlalu lama.

Gambar 2. Skema penyinaran film

2.3. Pemindaian Film

Film yang diuji (lihat Gambar 3) berukuran 20,3 cm x 25,4 cm dan lebih kecil daripada ukuran maksimum film yang dapat dipindai oleh kedua

scanner yang digunakan. Pada Vidar, posisi film yang dipindai diletakkan di pojok kiri agar didapatkan posisi film yang lebih stabil saat dilakukan pemindaian. Ada sedikit perbedaan sekitar kurang dari dua persen saat film dipindai di bagian pinggir dan di bagian tengah [1].Jika pada Vidar posisi film diletakkan di bagian pinggir, pada Epson V700 film yang dipindai diletakkan di bagian tengah bed scanner.Resolusi yang digunakan adalah 150 dpi untuk kedua scanner.Hal ini dilakukan untuk menyeimbangkan ukuran piksel yang kecil dengan peningkatan waktu pemindaian dan keseluruhan ukuran dari citra yang dihasilkan [3].

Pada saat memindai dengan Epson V700, dilakukan sepuluh pemindaian awal tanpa film untuk setiap sesi pemindaian.Hal ini dilakukan untuk menstabilkan sumber cahaya pada scanner.Selain itu juga, semua fitur terkait peningkatan gambar pada Epson dimatikan agar didapatkan data yang sesuai. Keseluruhan orientasi film saat pemindaian adalah

portrait dan akan dianalisa menggunakan dua buah software yaitu ImageJ dan FilmQA Pro.

(8)

63

Gambar yang diperoleh dari kedua scanner

kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak ImageJ dan FilmQA Pro. Untuk setiap film yang telah dipapar akan diukur nilai piksel dengan area 5 mm x 5mm dari delapan lapangan radiasi yang ada. Area pengukuran tersebut sudah mampu memberikan statistik yang cukup bagus dan cukup kecil untuk menghindari efek penumbra yang ada di sekitar lapangan radiasi.Data yang sudah didapatkan kemudaian nantinya diolah untuk dicari nilai standar deviasi dari tiap pengukuran menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel.

3.

Pengujian

Scanner

3.1. Uji Konsistensi

Dalam pengujian konsistensi untuk masing – masing scanner dilakukan pemindaian terhadap satu buah film yang telah dipapar dan satu buah film yang belum dipapar. Proses pengujian ini dilakukan sekali tiap harinya dan berlangsung selama ± 3 bulan. Selain itu, pada salah satu hari juga dilakukan pengukuran terhadap film yang telah dipapar tersebut sebanyak sepuluh kali secara berurutan. Hal ini dilakukan untuk melihat konsistensi dari hasil pemindaian scanner pada film yang sama. Untuk setiap wilayah dosis akan diambil nilai rata – rata pikselnya. Pengujian ini juga akan melibatkan kesalahan yang dilakukan saat menentukan area ROI karena satu buah film yang sama digunakan untuk seluruh pemindaian sehingga standar deviasi yang didapatkan merupakan hasil dari pengukuran konsistensi scanner dan pemilihan lokasi dari ROI. 3.2. Uji Uniformitas

Satu buah film EBT2 yang belum terpapar radiasi dipindai dengan orientasi portrait menggunakan kedua buah scanner.Profil horisontal dan vertikal diambil dari bagian tengah film dan rata – rata nilai piksel dihitung sepanjang profil tersebut.Tes ini mengasumsikan bahwa film yang belum dipapar memiliki densitas optik yang seragam pada seluruh bagian.Profil horisontal menggambarkan uniformitas dari kombinasi cahaya dan sistem detektor sepanjang daerah pemindaian.Profil vertikal dari film yang belum dipapar mengukur uniformitas dari tanggapan detektor dalam sebuah pemindaian dan stabilitas dari sumber cahaya berlawanan dengan bagian tertentu dari detektor.

3.3. Uji Efek Orientasi Film

Densitas optik dari sebuah film EBT yang dipindai menggunaka scanner Vidar dan Epson mengalami perbedaan nilai ketika pemindaian dilakukan dengan orientasi film yang berbeda (Matney, 2010). Film EBT2 yang merupakan pengembangan dari film EBT pun perlu diperhatikan terkait efek orientasi film saat dipindai secara portraitmaupun landscape. Orientasi portrait

didefinisikan sebagai bagian panjang film yang tegak lurus dengan sumber cahaya dari scanner. Di sisi lain, orientasi landscape ditentukan sebagai bagian panjang dilm yang paralel dengan sumber cahaya scanner. Tanggapan film pada area yang dipapar dalam kedua orientasi tersebut dibandingkan dalam perbedaan persen.Orientasi portrait digunakan sebagai referensi karena seluruh pemindaian lainnya dilakukan dengan orientasi ini.

3.4. Uji Suhu Ruang Penyimpanan

Film EBT2 yang sudah dipapar sebaiknya disimpan dalam ruangan yang sama seperti saat sebelum dipapar. Namun, dalam penelitian kali ini akan dilihat perbedaan tanggapan film yang disimpan dalam ruangan berbeda selama ± 1 bulan. Perbedaan suhu diamati pada suhu ruangan 22ºC dan 24ºC.Pemindaian ini melibatkan dua buah film yang disimpan pada suhu ruangan 22 ºC dan 24 ºC. 3.5. Uji Variasi Film to Film

Variasi diantara film dalam batch yang sama diukur untuk mengevaluasi sensitivitas scanner terhadap variasi film. Lima film yang digunakan ini sebelumnya dipapar secara berurutan dalam satu sesi untuk mengurangi variasi dari output Linac yang digunakan. Oleh karena itu, tiap film akan menerima dosis yang sama dalam tiap area lapangan yang sudah ditentukan. Untuk delapan lapangan yang ada, dilakukan pengukuran rata – rata tanggapan film dan standar deviasi dari tanggapan film.Perbandingan bacaan terhadap kelima buah film tersebut yang dijadikan acuan pengujian ini.

3.6. Uji Fading Film

Fading dalam bahasa indonesia diartikan sebagai pemudaran. Dalam penelitian ini, fading film dimaksudkan sebagai proses pengaburan warna dari film yang belum terpapar sebagai akibat dari pengaruh sumber cahaya yang dikeluarkan oleh scanner yang mengenail film tersebut. Dua buah film yang belum dipapar digunakan dengan masing – masing dipindai oleh Vidar dan Epson selama satu bulan.

3.7. Uji Noise Film/Scanner

Lima buah film yang telah dipapar yang digunakan untuk menguji konsistensiscannerdan variasi film to film digunakan untuk pengukuran keseluruhan noise.Pengukuran noise ini menggabungkan variasi scanner, film dan penyinaran dan memberikan presisi dari pengukuran nilai piksel sebagai fungsi dosis.Pengukuran noise dari film/scanner diambil untuk menjadi standar deviasi dari seluruh piksesl yang ada di pusat wilayah ROI 5 mm x 5 mm.

(9)

64

Dosis

(MU)

ImageJ FilmQA Pro

Log Sqrt Epson Log Sqrt Epson

Standar

Deviasi (%) Deviasi (%) Standar Deviasi (%) Standar Deviasi (%) Standar Deviasi (%) Standar Deviasi (%) Standar

30 0.05 0.21 0.27 0.05 0.21 0.27 60 0.05 0.15 0.30 0.05 0.16 0.30 90 0.04 0.24 0.28 0.04 0.24 0.28 120 0.06 0.20 0.29 0.06 0.20 0.29 150 0.06 0.26 0.38 0.06 0.26 0.38 180 0.06 0.19 0.40 0.06 0.19 0.40 210 0.04 0.21 0.37 0.03 0.38 0.37 240 0.05 0.21 0.29 0.04 0.20 0.29

4. Hasil dan Pembahasan

4.1. Uji Konsisten

Hasil uji konsistensi dapat dilihat pada Tabel 1 menyatakan bahwa scanner Vidar dengan mode Logarithmic menghasilkan nilai standar deviasi yang lebih kecil yaitu sebesar 0,06% dibandingkan Vidar dengan mode SQRT dan Epson yang menghasilkan masing – masing nilai standar deviasi maksimum sebesar 0,38% dan 0,40%. Penurunan nilai piksel pada Vidar saat mode Logarithmic lebih sedikit dibandingkan dengan Vidar dengan mode SQRT dan Epson.Dapat disimpulkan bahwa antara Vidar SQRT dan Epson menghasilkan nilai bacaan yang mirip meskipun berbeda hasil bacaan nilai piksel. Pada Vidar, hal ini juga menandakan bahwa penggunaan mode yang berbeda menghasilkan pengaruh penurunan nilai piksel yang berbeda. Hal ini terjadi pada evaluasi terhadap film yang sudah dipapar dan film yang belum dipapar.

4.2. Uji Uniformitas

Dari hasil analisa yang didapat menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro pada profil horisontal film terlihat ada artefak yang muncul terutama di bagian ujung kanan dan kiri film.Pada Vidar terlihat adanya non-uniformitas di bagian kiri film saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Hal ini terjadi karena proses pemindaian film yang dilakukan terhadap bagian sisi kiri Vidar. Rata – rata nilai pikselnya mencapai 40.243,25 dan 40.209,74 dengan menghasilkan standar deviasi sebesar 0,76 % dan 0,64 % saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Hal berbeda pada Epson terlihat adanya non-uniformitas di bagian kanan dan kiri film tetapi tidak di bagian tengah. Nilai rata – rata piksel yang didapatkan sebesar 37.939,89 dan 37.949,75 dengan standar deviasi sebesar 1,16 % dan 1,14 % saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro.

Pada uji uniformitas ini, dengan mengabaikan uniformitas dari film yang digunakan, terdapat non-uniformitas yang dihasilkan oleh scanner yang digunakan.Dari hasil didapatkan bahwa daerah pemindaian yang terbaik adalah bagian tengan

scanner. Non-uniformitas terbesar yang dihasilkan Vidar sebesar 0,76% sedangkan pada Epson sebesar 1,16%. Keduanya didapatkan dari profil horisontal.Hasil ini masih cukup baik karena menurut pabrik pembuatnya, film EBT2 memiliki variasi uniformitas sebesar ± 1%.Epson sebaiknya digunakan untuk memindai film dengan ukuran yang tidak terlalu besar sehingga dapat memaksimalkan bagian tengah dari bed scanner.

4.3. Uji Efek Orientasi Film

Efek dari orientasi film ditunjukkan pada Tabel 2.Tabel tersebut menunjukkan persentase perbedaan bacaan yang didapatkan karena perbedaan orientasi film saat dipindai. Nilai terbesar terdapat pada Epson dengan nilai suseptibilitas mencapai 10,65% saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Nilai suseptibilitas maksimum dari Vidar dengan mode Logarithmic dan SQRT mencapai 0,67% dan 3,02%. Nilai yang lebih besar pada Epson bisa terjadi karena proses analisa film hanya menyertakan red channel saja sehingga channel lain tidak dianalisa [3].

Pada pengujian efek orientasi film, Vidar memunculkan hasil yang jauh lebih bagus dibandingkan Epson, hal ini kemungkinan terjadi karena hanya dilakukan analisa terhadap red channel

saja.Film hasil pemindaian menggunakan Epson menghasilkan gambar RGB yang berarti memiliki tiga buah channel yaitu red, green dan blue.Oleh karena itu, saat dilakukan single channel dosimetry, hasil yang maksimal tidak bisa didapatkan dari Epson.

Dosis (MU)

ImageJ FilmQA Pro Epson (%) Vidar Sqrt (%) Epson (%) Vidar Sqrt (%) 30 6.83 -0.14 6.83 0.62 60 8.77 -0.37 8.77 0.78 90 6.40 -0.20 6.40 1.43 120 8.83 1.89 8.83 2.70 150 7.18 1.09 7.18 0.83 180 9.37 0.04 9.37 0.59 210 7.50 1.08 7.50 1.77 240 10.65 3.02 10.65 3.48

(10)

65

Nilai penurunan terbesar pada film yang

dipindai dengan Vidar pada suhu 22 ºC sebesar 881 dan 879 saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro, sedangkan pada Epson terjadi penurunan maksimum sebesar 955 dan 971. Lalu, pada suhu 24 ºC terjadi penurunan maksimum sebesar 1393 dan 1379 saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Hal lain terjadi pada Epson dimana penurunan maksimum yang didapatkan sebesar 1435 dan 1327. Secara keseluruhan, perbedaan yang terbesar dihasilkan saat menggunakan Vidar, yaitu terdapat perbedaan sebesar ± 514 nilai piksel, sedangkan pada Epson terdapat perbedaan ± 500 nilai piksel. Hal ini menandakan bahwa suhu ruang penyimpanan film cukup berpengaruh terhadap hasil pemindaian meskipun masih berada pada rentang suhu yang disarankan. 4.5. Uji Variasi Film to Film

Pengujian ini mirip dengan pengujian terhadap konsistensi scanner, hanya saja kali ini dilakukan pemindaian yang berulang dengan lima buah film yang berbeda. Hasil yang didapatkan sedikit berbeda, kali ini standar deviasi yang dihasilkan Vidar mencapai 0,22% dan 0,20% saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Di sisi lain, pada Epson mencapai 0,71% dan 0,73%. Hal ini menunjukkan bahwa bacaan terhadap tiap film pada batch yang sama juga memiliki perbedaan. Nilai ini akan berpengaruh terhadap penentuan kurva kalibrasi film yang berasal dari batch yang sama.

4.6. Uji Fading Film

Pengujian fading film ini memunculkan nilai penurunan rata – rata piksel yang diakukan terhadap dua buah scanner.Penurunan nilai pada Epson mencapai 700 piksel sedangkan pada Vidar mencapai hampir 900 piksel.Hal ini menunjukkan bahwa Vidar Sqrt memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap film yang belum dipapar. Pada Vidar Sqrt didapatkan rata – rata penurunan nilai piksel sebesar 251,84 dan 312,46 nilai piksel per pekan saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Nilai yang lebih kecil dihasilkan Epson dengan penurunan sebesar 193,93 dan 205,28 nilai piksel per pekan. Penurunan yang terjadi per pekannya pun semakin lama semakin berkurang, sehingga waktu pemindaian film memang cukup berpengaruh terhadap hasil bacaan nilai piksel film.

4.7. Uji Noise Film/Scanner

Vidar menghasilkan nilai standar deviasi maksimum mencapai 0,33% dan 0,28% saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro, sedangkan pada Epson hanya mencapai 0,09% dan 0,10%. Nilai yang didapat pada Epson cukup berbeda dengan yang didapatkan pada penelitian sebelumnya yang juga menggunakan Epson V700, yaitu sebesar 0,30% [3]. Noise yang lebih besar pada Vidar kemungkinan besar disebabkan karana pada saat pemindaian film bergerak sehingga memungkinkan bergesernya posisi

film saat dipindai. Secara keseluruhan, noise yang didapatkan pada penelitian kali ini tentunya juga termasuk kepada kesalahan pada saat menentukan ROI sebesar 5 mm x 5 mm pada ImageJ dan FilmQA Pro. Penentuan area yang berbeda dapat menghasilkan bacaan nilai piksel yang berbeda sehingga akan menetukan nilai dosis yang ditentukan melalui kurva kalibrasi

5. Kesimpulan dan Saran

Secara keseluruhan Vidar DosimetryPro Advantage unggul dalam pengujian ini.Hasil yang didapatkan terkait uji konsistensi, uji variasi film to film, uji uniformitas dan uji efek orientasi film pada Vidar lebih bagus dibandingkan Epson Perfection V700.Epson hanya unggul pada uji noise filmdengan menghasilkan noise dengan standar deviasi yang jauh lebih kecil. Pada uji fading film, Vidar DosimetryPro Advantage menghasilkan penurunan nilai piksel film sebesar 205,28 per pekan, sedangkan Epson V700 sebesar 193,93 nilai piksel per pekan. Hal ini diakibatkan pengaruh sumber cahaya yang dikeluarkan oleh scanner.Suhu ruang penyimpanan film juga cukup berpengaruh terhadap penurunan hasil bacaan nilai piksel film.

Untuk selanjutnya diperlukan pengujian menggunakan film EBT3 yang memiliki komposisi lapisan yang seimbang agar tidak menimbulkan ketidakpastian orientasi film saat dipindai.Selain itu juga berikan rentang dosis yang lebih besar lagi dari 250 cGy, bila perlu sampai 10 Gy serta lakukan pengujian dengan dpi yang berbeda.Variasi suhu ruang penyimpanan juga perlu dilakukan untuk melihat perbedaan hasil bacaan.

Daftar Acuan

[1] Lewis, D. F. Performance of the Vidar ® Red LED Dosimetry Pro Advantage™: A scanner optimized for use with GAFCHROMIC ® EBT Dosimetry Film. (2007). International Speciality Products: Wayne, NJ.

[2]

Alnawaf, H., Yu, P. K . N. & Butson, M. Comparison of Epson scanner quality for radiochromic film evaluation. Journal of Applied Clinical Medical Physics (2012), 13 (5), 314-321.

[3]

Matney, J. E., et al. Evaluation of a commercial flatbed document scannerand radiographic film scanner for radiochromic EBT film dosimetry. Vol 11, No 2.Medical Physics (2010).

(11)

66

PERBANDINGAN DOSIS RADIASI DI PERMUKAAN KULIT PADA

PASIEN

THORAX

TERHADAP DOSIS RADIASI DI UDARA DENGAN

SUMBER RADIASI PESAWAT SINAR-X

Dian Milvita

1*)

, Nola Leona Gemi

1

, Heru Prasetio

2

, Dyah Dwi Kusumawati

2

,

Helfi Yuliati

2

, Suyati

2

1Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas, Kampus UNAND Limau manis, Padang dan 25163 2PTKMR BATAN, Jakarta Selatan

*)Email: d_milvita@yahoo.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil pengukuran dosis radiasi permukaan kulit yang diterima pasien thorax terhadap dosis radiasi di udara dari penyinaran pesawat sinar-X.Penelitian ini menggunakan TLD-100 sebagai alat ukur radiasi. Pengambilan data dilakukan di salah satu rumahsakit di Kota Padang dengan cara mengumpulkan 18 orang data pasien yang menjalani pemeriksaan thorax untuk pengukuran dosis radiasi di permukaan kulit dan styrofoam untuk pengukuran dosis radiasi di udara dengan menvariasikan tegangan mulai dari 40 kV sampai 70 kV, Hasil penelitian untuk pengukuran dosis radiasi di permukaan kulit (Entrance Surface Dose / ESD), minimum adalah 0,268 mGy dan maksimum adalah 0,736 mGy dengan ESD rata-rata adalah 0,497 mGy. Selanjutnya, untuk pengukuran dosis radiasi di udara untuk kondisi thorax, nilai minimum adalah sebesar 0,333 mGy dan nilai maksimum adalah sebesar 0,532 mGy dengan rata-rata 0,455 mGy.Dari perbandingan kedua dosis radasi ini, didapatkan nilai backscatter factor yang bervariasi, tetapi nilai ini tidak berbeda jauh dengan data TRS (Technical Reports Series) IAEA No. 457.

Kata kunci :Backscatter factor, dosis radiasi di permukaan kulit, dosis radiasi di udara,

Entrance Surface Dose.

1. Pendahuluan

Sejak pesawat sinar-X ditemukan oleh W. C. Rontgen, telah banyak manfaat yang diterima manusia. Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan menggunakan pesawat sinar-X seperti pemeriksaan

femur, skull, lungs, abdomen, cervic, pelvis dan thorax. Pemeriksaan menggunakan pesawat sinar-X tidak hanya memberikan efek positif tetapi juga efek negatif terhadap tubuh pasien. Jika pasien menerima paparan radiasi melebihi nilai batas dosis radiasi maka dikhawatirkan akan mengakibatkan kerusakan sel-sel tubuh. Oleh karena itu banyak penelitian yang berhubungan dengan pesawat sinar-X dilakukan, diantaranya: pengukuran keluaran pesawat sinar-X untuk estimasi dosis radiasi pada pemeriksaan thorax, abdomen dan skull [1], perbandingan karakterisasi keluaran pesawat sinar-X Toshiba model DRX-1824 B dan Toshiba model DRX-1603 B [2] dan perbandingan dosis radiasi di udara terhadap dosis radiasi di permukan fantom [3]. Perbandingan dosis radiasi di permukaan kulit pasien thorax terhadap dosis radiasi di udara juga perlu dilakukan, hal ini sebagai tujuan proteksi radiasi terhadap pasien.

2. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan pada pesawat sinar-X

merek Toshiba pada salah satu rumah sakit di kotaPadang. Pesawat sinar-X merek Toshiba Unit DRX-1824B ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Pesawat sinar-X merek Toshiba Unit DRX-1824B.

TLD-100 digunakan untuk mengukur dosis radiasi yang dipancarkan oleh pesawat sinar-X untuk pemeriksaan thorax, baik dipermukaan kulit pasien maupun di udara.TLD-100 diitunjukkan pada Gambar 2.

(12)

67

Gambar 2.TLD-100

TLD - reader digunakan untuk membaca TLD-100, ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. TLD- Reader

Pada penelitian ini dilakukan dua pengukuran dosis radiasi, yaitu dipermukaan kulit pasien dan di udara. Persiapan serta pembacaan TLD-100 dilaksanakan diPTKMR BATAN Jakarta.Skema

pengukuran dosis radiasi dipermukaan kulit pasien ditunjukkan pada Gambar.4. Skema pengukuran dosis radiasi di udara ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 4. Skema pengukuran dosis radiasi pada Gambar 5. Skema pengukuran dosis radiasi di udara menggunakan TLD-100 pasien menggunakan TLD-100

3. Hasil dan Pembahasan

Gambar 6 menunjukkan hubungan dosis radiasi di permukaan kulit pasien thorax terhadap tegangan tabung sinar-X.

Gambar 6. Hubungan dosis radiasi di permukaan kulit pasien terhadap tegangan tabung sinar-X y = 0.0281x - 1.038 R² = 0.4782 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0 20 40 60 80 D o si s rad iasi d i p e rm u kaan ku lit (m Gy) tegangan (kv) dosis radiasi Tabung sinar-X Styrofoam TLD-100

(13)

68

Gambar 7 menunjukkan hubungan dosis radiasi di

udara terhadap tegangan tabung sinar-X. Gambar 8 menunjukkan hubungan radiasi dipermukaan kulit terhadap dosis radiasi di udara. Gambar 9

menunjukkan perbandingandosis radiasi di permukaan kulit pada pasien thorax dan dosis radiasi di udara terhadap tegangan tabung sinar-X.

Gambar 7. Hubungan dosis radiasi di udara terhadap tegangan tabung sinar-X

Gambar 8. Hubungan dosis radiasi di permukaan kulit terhadap dosis radiasi di udara

Gambar 9.Perbandingan nilai dosis radiasi di permukaan kulit pasien dan dosis radiasi di udara terhadap tegangan. y = 0.0178x - 0.4915 R² = 0.9826 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0 20 40 60 80 D o si s rad iasi d i u d ar a (m Gy) Tegangan (kV)

Dosis radias di udara

y = 1.3187x - 0.1714

R² = 0.7482

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0

0.2

0.4

0.6

D o si s rad iasi d i p e rm u kaan ku lit (m Gy)

Dosis radiasi di udara (mGy)

dosis radiasi pada tegangan berbeda Linear (dosis radiasi pada tegangan berbeda)

0

0.2

0.4

0.6

Dos

is

ra

d

ia

si

(m

G

y)

Tegangan (kV)

Dosis radiasi di permukaan kulit Dosis radiasi di udara

47 52 53 55

56 57 58

(14)

69

Gambar 6 menunjukkan bahwa dosis radiasi

yang diterima pasien bervariasi. Hal ini disebabkan oleh tegangan yang diberikan, massa dan tinggi pasien yang bervariasi, karena dengan bertambah tinggi badan dan massa badan maka tegangan akan semakin tinggi dan dosis yang diterima semakin besar. Pernyataan tersebut diperkuat oleh hubungan linier antara dosis radiasi yang dipancarkan oleh pesawat sinar-X terhadap tegangan yang berikan sehingga membentuk persamaan garis lurus dengan y = 0,028x – 1,308 dan rasio R2 = 0,478. Nilai rata-rata dari dosis radiasi yang terserap oleh TLD-100 adalah 0,497 mGy dengan dosis radiasi minimum 0,268 mGy dan dosis radiasi maksimum 0,736 mGy.

Gambar 7 menunjukkan bahwa besarnya tegangan sangat berpengaruh terhadap dosis radiasi yang dipancarkan oleh pesawat sinar-x. Hal ini terlihat jelas dari persamaan garis lurus dari dosis radiasi di udara dan tegangan yang mendekati nilai 1, dimana y= 0,017x – 0,491 dan R2 = 0,982. Nilai

rata-rata radiasi yang terserap TLD-100 adalah 0,47 mGy dengan dosis radiasi minimum adalah 0,345 mGy dan dosis radiasi maksimum adalah 0,537 mGy.

Gambar 8 menunjukkan bahwa dosis radiasi di permukaan kulit pasien akan semakin besar seiring meningkatnya dosis radiasi di udara. Hal ini terjadi karena variasi tegangan pada pesawat sinar-X yang diberikan semakin meningkat.

Gambar 9 menunjukkan bahwa pada tegangan 47 kV hingga 53 kV nilai dosis radiasi pada pengukuran di udara lebih besar daripada nilai dosis radiasi pada pengukuran di permukaan kulit.Namun, pada tegangan 55 kV dan 57 kV nilai dosis radiasi pada pengukuran di permukaan kulit melebihi nilai dosis radiasi pada pengukuran di udara.Hal ini disebabkan karena pada saat pengukuran dengan tegangan tinggi, dosis radiasi semakin besar dan mengakibatkan terjadinya hamburan balik (backscatter factor).Radiasi yang terhambur tersebut kembali terserap oleh TLD.-100. Nilai backscatter factor diperoleh dari perbandingan antara Entrance Surface Dose terhadap Incident Air Kerma. Dalam kajian ini nilai dosis radiasi di permukaan kulit merupakan nilai Entrance Surface DoseatauEntrance Surface Air Kermadan nilai dosis radiasi di udara merupakan Incident Air Kerma. Backscatter factor ditunjukkan pada persamaan (1) Nilai backscatter factor pada setiap tegangan ditunjukkan pada Tabel 1.

𝐾𝑒 = 𝐾𝑖 × 𝐵 (1) dimana :

Ke= Entrance Surface Air Kerma

(ESAK) (Gy)

Ki = Incident Air Kerma (INAK) (Gy) B =Backscatter factor

Tabel 1. Nilai backscatter factor pada setiap Tegangan

Tabel 1 menunjukkan nilai backscatter factor hasil penelitian, dimana nilai tersebut berada dibawah nilai yang direkomendasikan TRS IAEA No. 457. Hal ini dapat dilihat pada tegangan (47, 53, 56, dan 58) kV, sedangkan pada tegangan 55 kV dan 57 kV nilai backscatter factormendekati TRS IAEA No. 457. Hal ini disebabkan pada tegangan 47 kV, 53 kV, 56 kV dan 58 kV nilai dosis radiasi pada pasien lebih kecil dari nilai dosis radiasi di udara sehingga nilai backscatter factor yang didapatkan bernilai kurang dari 1, sedangkan pada tegangan 55 kV dan 57 kV nilai dosis radiasi pada pasien lebih besar dari nilai dosis radiasi di udara, sehingga nilai

backscatter factor yang didapatkan lebih dari 1 dan mendekati nilai backscatter TRS IAEA No.457 [4].

4. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai backsatter factor (BSF) pada tegangan 47kV, 53 kV, 56 kV, dan 58 kV berada dibawah nilai BSF yang direkomendasikan oleh TRS IAEA No. 457 sedangkan pada tegangan 55kV dan 57kV, nilai backscatter factor mendekati nilai BSF TRS IAEA No.457.

No. Tegangan (kV) Backscatter factor

1 47 0,804 2 53 0,914 3 55 1,126 4 56 0,967 5 57 1,049 6 58 0,934

(15)

70

Ucapan Terimakasih

Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.

Daftar Acuan

[1] D. Milvita, V. Edriani, H. Prasetio, N. Nuraini, H. Yuliati, D.D. Kusumawati, Suyati, Pengukuran keluaran pesawat sinar-X untuk estimasi dosis radiasi pada pemeriksaan

thorax, abdomen dan skull, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan 2012, Palembang (2012), hal 88-94.

[2] D. Milvita, A. Rahayu, H. Prasetio, N. Nuraini, H. Yuliati, Perbandingan karakterisasi keluaran pesawat sinar-X Toshiba model DRX-1824 B dan Toshiba model DRX-1603 B, Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas, Padang (2013), hal 60-70.

[3] Y.M. Zega, D. Milvita, N. Nuraini, Perbandingan dosis radiasi di udara terhadap dosis radiasi di permukan fantom pada pesawat sinar-X Konvensional, Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas, Padang (2011), hal 203-209.

[4] International Atomic Energy Agency.

Dosimetry In Diaaagnostic Radiology: An International Code of Practice, Technical Reports Series No. 457, Vienna (2007), p 331.

(16)

71

KARAKTERISASI MASKER TERMOPLASTIK SEBELUM DAN

SESUDAH RADIASI

Yeyen Nurhamiyah*, Dr Ariadne L Juwono Ph.D dan Prof Dr. Djarwani S. Soejoko

Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok

*) Email: yeyen.nurhamiyah@ui.ac.id

Abstrak

Masker fiksasi dipakai pada radioterapi sebagai salah satu alat bantu agar pasien tidak bergerak selama proses radioterapi. Masker fiksasi ini biasanya diimpoor dari luar negeri tanpa tahu kandungan bahan di dalamnya.Oleh karena itu, pada penelitian ini, bahan masker fiksasi bekas pasien radioterapi dianalisa untuk diketahui jenis polimer penyusunnya. Dengan melakukan serangkaian pengujian yakni pengukuran massa jenis, X-Ray Diffraction (XRD), Differential Scanning Calorimetry (DSC),

Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), Energy Dispersive X-Ray Spectrometry (EDAX) diketahui bahwa bahan masker fiksasi adalah polimer termoplastik Polycaprolactone. Dari hasil pengujian XRD didapat jika masker fiksasi memiliki system Kristal ortorombik dengan parameter kisi yang sedikit berbeda pada bahan yang terkena radiasi dan yang tidak terkena radiasi. Selain itu dari hasil pengujian diketahui bahwa pemakaian terus-menerus pada masker fiksasi tidak begitu mempengaruhi sifat fisik material ini. Walaupun demikian pada pengujian FTIR menunjukkan jika pada bagian bahan yang mendapat radiasi secara terus menerus akan membuat gugus –CH3 menghilang dan membentuk gugus =CH2.

Kata Kunci : Fiksasi, Radioterapi, Polycaprolactone.

1. Pendahuluan

Kebutuhan akan radioterapi sebagai salah satu metode penyembuhan kanker semakin meningkat seiring dengan semakin banyaknya penderita kanker di dunia. Radioterapi adalah salah satu teknik dalam penyembuhan kanker. Dalam proses radioterapi posisi pasien sangatlah penting. Oleh karena itu, keakuratan penyinaran radiasi bergantung dari posisi pasien saat terapi.Hal ini digunakan agar dosis radiasi yang mengenai jaringan tubuh yang sehat dibuat seminimal mungkin dan dosis radiasi yang mengenai sel kanker semaksimal mungkin. Ketika akan melakukan terapi pasien akan diposisikan menggunakan laser atau pena dan nantinya akan dibantu oleh sebuah alat bantu bernama fiksasi. Fiksasi adalah alat bantu untuk membantu pasien agar tidak bergerak saat akan dilakukan terapi karena jika pasien bergerak maka sel-sel tubuh yang sehat akan terpapar radiasi dan ini akan lebih membahayakan pasien lagi. Fiksasi sendiri beragam tergantung dari bagian tubuh mana yang akan mendapatkan radiasi. Namun, untuk penelitian kali ini fiksasi yang dipakai adalah fiksasi yang diperuntukkan bagi pasien kanker di daerah kepala. Fiksasi jenis ini adalah material termoplastik berbentuk lembaran dimana nanti akan dilenturkan air hangat dengan suhu ±40oC kemudian setelah melunak akan dipasangkan ke bagian tubuh pasien yang akan disinari oleh radiasi elektromagetik [1].

Fiksasi ini semakin lama akan semakin mengeras dan mengikuti bentuk tubuh pasien. Hal ini mengakibatkan tubuh pasien tidak bergerak dalam proses penyinaran.

Pasien yang mendapatkan terapi radiasi akan memakai masker termoplastik untuk 30 kali pemakaian. Oleh karena itu material akan mengalami perubahan sifat fisik dan setelah beberapa kali pemakaian, fiksasi ini tidak dapat dipakai secara maksimal. Untuk itu pada penelitian ini penulis mencoba untuk mengetahui beberapa perubahan sifat pada material fiksasi setelah mengalami radiasi berkali-kali melalui serangkaian pengujian

Rumah sakit yang menyediakan jasa pelayanan radioterapi biasanya akan mengimpor fiksasi dari Eropa ataupun Cina. Sebab di Indonesia belum ada perusahaan yang memproduksi massal fiksasi. Dengan mengetahui komposisi penyusun fiksasi diharapkan Indonesia mampu memproduksi sendiri fiksasi sehingga akan mengurangi beban keluarga pasien karena biaya untuk radioterapi akan berkurang. pasien.

Untuk itu dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat diketahui komponen penyusun material fiksasi serta didapat perbedaan material fiksasi sebelum dan sesudah mendapatkan radiasi.Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi industri kesehatan dalam negeri untuk memproduksi fiksasi secara massal sehingga tidak perlu mengimpor dari luar negeri lagi.Hal ini

(17)

72

ditujukan untuk mengurangi beban keluarga pasien

penderita kanker terutama untuk pasien dari kalangan menengah ke bawah.Selain itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan menjadi awal pengembangan penelitian material medis di Departemen Fisika Universitas Indonesia.

2. Metode Penelitian

Bahan yang digunakan pada penelitian ini merupakan bahan fiksasi penderita kanker nasofaring dengan fokus penelitian pada bagian yang terkena radiasi dan bagian yang tidak terkena radiasi secara langsung.Bahan kemudian dipotong sesuai dengan kebutuhan masing-masing pengujian. Untuk menetukan jenis dan komposisi bahan dilakukan beberapa karakterisasi yakni pengukuran massa jenis bahan, FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy), XRD (X-Ray Diffraction),

SEM (Scanning Electron Miscrocopy) + EDAX (Energy Dispersive X-Ray Spectrometry) dan DSC (Differential Scanning Calorimetry) .

3. Hasil dan Pembahasan

Pengukuran Massa Jenis Bahan

Berdasarkan pengukuran massa sampel dan perhitungan dengan rumus (3.1) didapatkan bahwa massa jenis bahan adalah 1.113 gr/cm3. Angka ini masih masuk dalam kisaran massa jenis Polycaprolactone yang berkisar antara 1.071-1.200 gr/cm3 [8] [10] [11]. Hasil pengukuran massa jenis bahan dapat dilihat pada tabel 1.

Karakterisasi dengan DSC

Karakterisasi dengan menggunakan DSC berfungsi untuk mengetahui suhu transisi masker fiksasi.Selain itu juga untuk mengetahui perubahan titik leleh pada sampel radiasi dan non-radiasi.Gambar 1 dan 2 adalah hasil pengujian DSC yang diperoleh dari kedua sampel.

Tabel 1.Hasil Pengukuran Massa Jenis Bahan

Berat di Udara

(g) Berat di air (g) Massa Jenis

1.661 0.231 1.16

1.071 0.117 1.12

Rata-rata 1.14

Gambar 1 Grafik Suhu Transisi pada Sampel Radiasi Nilai suhu puncak leleh pada sampel radiasi adalah 56.27oC. Suhu transisi gelas (Tg) tidak terdapat

dalam grafik dikarenakan nilainya kurang dari 0oC.

Sementara itu entalpi perubahan (ΔHf) pada sampel ini adalah 66.4515 J/g. ΔHf adalah selisih antara entalpi solid dan likuid atau panas yang dibutuhkan untuk mengubah sampel padat menjadi cair

Suhu transisi dan entalpi perubahan (ΔHf) pada sampel non-radiasi tidak berbeda jauh dengan sampel radiasi seperti yang ditunjukkan Gambar 1. Nilai titik leleh puncak pada sampel non-radiasi adalah 56.11oC sementara untuk nilai entalpi perubahan (ΔHf) nilainya sebesar 66.3097 J/g.

Nilai titik leleh pada sampel radiasi sedikit lebih besar bisa dikarenakan masih adanya panas yang terperangkap pada sampel akibat pemanasan saat radiasi. Walaupun pada pengujian DSC telah dilakukan pemansan yang berfungsi untuk menghilangkan perilaku panas yang telah dialami bahan sebelumnya.

Hasil ini sama dengan yang ditunjukkan pada percobaan C. Pereira-Loch dkk dimana nilai Tm materal fiksasi sebelum dan sesudah mendapat radiasi tidak mengalami peubahan yang signifikan [2]. Nilai ini masih berada kisaran titik leleh yang berkisar antara 56-65oC.

Karakterisasi dengan FTIR

Gambar 3 Hasil Karakterisasi dengan FTIR pada Sampel Radiasi

(18)

73

mengetahui perubahan gugus fungsi pada masker

fiksasi sebelum dan sesudah mendapatkan radiasi. Selain itu karakterisasi dengan FTIR juga berguna untuk mengidentifikasi material. Gambar 1 dan 2 masing masing menunujukkan grafik FTIR pada sampel radiasi dan non-radiasi.

Pada sampel radiasi seperti yang ditunjukkan Gambar 1 terdapat beberapa serapan pada bilangan gelombang tertentu. Serapan pada bilangan gelombang 1721 cm-1 adalah milik ikatan rangkap

C=O yang terdapat pada rantai karbon utama. Puncak-puncak yang berkisar diantara 1000 cm-1 -1330 cm-1 adalah milik C-O-C. Sementara itu gugus

CH2 terlihat pada bilangan gelombang 2942 cm-1 dan

2865 cm-1.

Untuk sampel non-radiasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 ternyata memiliki pita serapan pada bilangan gelombang yang hampir sama dengan sampel radiasi. Hanya saja pada sampel non-radiasi terdapat gugus yang menyerap radiasi infra merah pada bilangan gelombang 1396.71 cm-1 namun tidak

terlihat lagi pada sampel radiasi. Gugus yang menyerap radiasi infra merah pada bilangan gelombang 1396.71 cm-1 adalah CH3 dengan mode

vibrasi bending. Ini artinya peristiwa pemberian radiasi secara terus menerus pada bahan membuat vibrasi bending CH3 hilang.

Sebaliknya, pada bilangan gelombang 933.66 cm-1

terdapat gugus yang menyerap radiasi infra merah pada sampel radiasi, dapat terlihat pada Gambar 3 namun tidak menyerap radiasi infra merah pada sampel non radiasi. Gugus yang menyerap radiasi infra merah pada bilangan gelombang 933.66 cm-1

adalah =CH2 atau CH2 dengan ikatan rangkap yang

mempunyai mode vibrasi bending.

Ini berarti bahwa gugus fungsi pada CH3 pada

bilangan gelombang 1396.71 cm-1 hilang telah

membentuk =CH2 pada bilangan gelombang 933.66 cm-1.

Gambar 4 Hasil Karakterisasi dengan FTIR pada Sampel Non-Radiasi

Gambar 9 Hasil Karakterisasi dengan XRD pada Sampel Radiasi

Hasil FTIR kedua sampel menunjukkan karakter suatu polimer yang bernama Polycaprolactone (PCL). Karakterisasi dengan XRD

Hasil karakterisasi XRD dari masing-masing sampel ditunjukkan pada Gambar 5 dan 6. Gambar 5 menunjukkan hasil XRD sampel radiasi sementara itu untuk sampel non-radiasi ditunjukkan oleh Gambar 6. Pada kedua gambar terlihat jika bahan masker fiksasi adalah material semi kristal yakni gabungan kristal murni dan amorf. Terdapat bagian melebar khas amorf pada grafik dan puncak-puncak tajam khas kristal. Selain itu pola difraksi sampel mirip dengan pola difraksi yang dimiliki oleh Polycaprolactone. Pada gambar 5 puncak-puncak utama difraksi sampel radiasi terdapat pada posisi 21.6o dan 23.8o namun pada sampel non-radiasi seperti yang ditunjukkan Gambar 6 puncak-puncak utama berada pada posisi 21.5o dan 23.8o. Dapat dikatakan jika sesudah

mendapat radiasi puncak difraksi bertambah 0.1o. Polycaprolactone (PCL) memiliki struktur kristal ortorombik dengan parameter kisi a = 7.496 Å, b = 4.974Å, c = 17.297Å [11]. Parameter kisi yang ditunjukkan kedua sampel tidak jauh berbeda dengan parameter kisi PCL. Dengan bantuan perangkat lunak MAUD diperoleh nilai parameter kisi masing-masing sampel. Perangkat lunak MAUD menghitung pergeseran parameter kisi sampel dengan data kristalografi Polycaprolactone.

Gambar 10 Hasil Karakterisasi dengan XRD pada Sampel Non-Radiasi

Parameter kisi sampel radiasi sedikit lebih kecil dibandingkan dengan parameter kisi pada sampel non-radiasi. Sampel radiasi mempunyai parameter kisi a = 7.45 Å b = 4.94 Å c =16.62 Å dengan kesalahan a = 0.6% b = 0.4 % c = 4 %. Sementara itu

(19)

74

untuk parameter kisi sampel non-radiasi adalah a =

7.46 Å b = 4.96 Å c =16.82 Å dengan kesalahan a = 0.4 % b = 0.3 % c = 3.4 %

Karakterisasi dengan SEM dan EDAX

Gambar 7 memperlihatkan citra SEM pada sampel radiasi dan non-radiasi pada perbesaran 1000 kali. Citra SEM pada sampel non-radiasi relatif sama dengan citra SEM Polycaprolactone pada Gambar 2. Pada gambar terlihat perbedaan material fiksasi, sebelum dan sesudah mendapat radiasi. Sampel radiasi (a) permukaanya cenderung lebih rusak dibanding dengan sampel non-radiasi (b). Hal ini dapat terjadi akibat perlakuan yang diterima oleh sampel radiasi. Radiasi yang mengenai sampel secara berkala akan merusak morfologi bahan. Ditambah lagi, masker fiksasi akan dipakai secara terus menerus sampai kurang lebih 30 kali sehingga wajar jika ada perubahan secara morfologis pada masker fiksasi ini.

Gambar 8 menunjukkan hasil EDAX sampel radiasi dan sampel non radiasi .Berdasarkan grafik, dapat dilihat bahwa karbon dan oksigen mendominasi daerah yang dibatasi garis merah. Pada sampel radiasi, karbon memiliki komposisi berat hingga 69.02 wt% sementara oksigen mencapai 29.53 wt%. Unsur lain yang dapat ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit adalah silikon (0.8 wt%),dan magnesium (0.6 wt%).

Sementara itu untuk sampel non radiasi komposisi karbon dan oksigen berbeda dengan sampel radiasi. Pada sampel non-radiasi jumlah karbon lebih sedikit yakni 63.71 wt% sementara jumlah oksigen lebih besar dibanding sampel radiasi yakni 33.13 wt%. Unsur lain yang dapat ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit adalah silikon (0.2 wt%),dan magnesium (0.1 wt%).

Gambar 7Hasil Karakterisasi dengan SEM pada (a) Sampel Radiasi (b) Sampel Non-Radiasi

Gambar 8Hasil Karakterisasi dengan EDAX pada (a) Sampel Radiasi (b) Sampel Non-Radiasi

4. Kesimpulan

Setelah melalui pengujian untuk mengidentifikasi material penyusun masker fiksasi diperoleh kesimpulan jika material penyusun fiksasi adalah suatu polimer termoplastik yang bernama

Polycaprolactone (PCL). Pengujian FTIR, XRD dan

massa jenis menunjukkan „sidik jari‟

Polycaprolactone.

Dari serangkaian pengujian yang berguna untuk membandingkan masker fiksasi sebelum dan sesudah radioterapi didapat kesimpulan jika material penyusun fiksasi adalah suatu material yang stabil. Ini berarti tidak ada perubahan yang signifikan ketika material ini mendapat paparan radiasi.

Hanya saja pada pengujian FTIR terlihat jika peristiwa pemberian radiasi secara terus menerus pada bahan mengakibatkan hilangnya satu gugus yang kemudian membentuk gugus baru.

Daftar Referensi

[1] Wawancara dengan Prof Djarwani S.Soedjoko. 2 Mei 2014.

[2] Pereira-Loch C, dkk. 2012. Radiation and thermal effects on polymeric immobilization devices used in patients submitted to radiotherapy. Journal of Radiotherapy in Practice 11. p.101-106

[3] Elzubair, A., dkk. The physical characterization of a thermoplastic polymer for endodontic

obturation. Journal of dentistry 34. 2006. p. 784 – 789

[4] Labet, M., Thielmans, W. Synthesis of Polycaprolactone : a review. Chemical Society Review. 2009. pp 3484-3504

[5] Chih-Chang Yeh, dkk. 2011. The Effect of Polymer Molecular Weight and UV Radiation on Physical Properties and Bioactivities. Cellular Polymers Vol 30. pp 227-242

[6] Bittiger, H dan Marchessault, R. H. 1970. Crystal Structure of Poly-ε-caprolactone. Acta Cryst. (1970). B26, pp 1923-1927

[7] Ahluwalia, V.K, Mishra,A. 2008. Polymer Science: A Textbook. Taylor & Francis. [8] K. Van de Velde and P. Kiekens. 2002.

(20)

75

Biopolymers: overview of several properties and

consequences on their applications Polymer Testing vol. 21. pp 433–442

[9] Y. Ikada and H. Tsuji. 2000. Biodegradable polyesters for medical and ecological applications Macromolecule Rapid Communicaton vol. 21. Pp 117–132.

[10] R. A. Gross and B. Kalra. 2002. Biodegradable Polymers for the Environment. Science vol 297. pp 803–807.

[11] J. O. Iroh. 1999. Polymer Data Handbook. New York: Oxford University Press.

(21)

76

KARAKTERISASI MATERIAL BAHAN FIKSASI

Agie Ramadhan, Ariadne L. Juwono, Djarwani S. Soejoko

Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia

Kampus UI, Depok 16424 Indonesia

ramadhanagie@rocketmail.com, ariadne@fisika.ui.ac.id

Abstrak

Alat fiksasi sebagai alat bantu radioterapi merupakan alat penentu posisi pasien pada saat pasien kanker mendapat terapi dengan penyinaran (radioterapi). Alat fiksasi ini berbahan dasar polimer dan merupakan salah satu alat yang di-import. Dengan bertambahnya jumlah penderita kanker di Indonesia dan penderita memerlukan radioterapi maka kebutuhan akan alat ini juga semakin bertambah. Telah dilakukan penelitian melalui serangkaian pengujian untuk mengetahui jenis material dari polimer pembentuk alat fiksasi.Dengan melakukan pengujian sifat fisik dan kimia dari bahan polimer alat fiksasi, dapat ditentukan bahwa bahan dasar alat fiksasi adalah polimer polycaprolactone (PCL).Dengan mengetahui jenis bahan polimer, sifat fisik, dan sifat kimia bahan fiksasi, diharapkan Indonesia dapat memiliki kebijakan untuk memproduksi alat fiksasi sehingga ketergantungan bahan import untuk keperluan radioterapi dapat dikurangi di masa mendatang.

Kata kunci: polimer, alat fiksasi, polycaprolactone (PCL)

Abstract

Fixation device as radiotherapy tools is a tool to determine the position of the patient when cancer’s patient has a therapy with radiation (radiotherapy). This fixation device is polymer-based and is one tool which imported.With the increasing number of cancer patients in Indonesia and cancer’s patients need radiotherapy sothe need for these tools is also increasing. Research has been conducted through a series of tests to determine the type of material from polymer of fixation device.By doing test the chemical and physical properties of polymer material fixation devices, it can be determined that the polymer polycaprolactone (PCL) is the basic ingredient fixation device.By knowing the type of polymeric materials, physical properties, and chemical properties from material fixation, Indonesia is expected to have a policy to produce fixation device so that the dependence of materials imported for radiotherapy can be reduced in the future.

Keywords: polymers, fixation device, polycaprolactone (PCL)

1. Pendahuluan

Kanker merupakan salah satu masalah kesehatan yang mendapatkan perhatian di Indonesia.Kanker dapat menyerang bagian manapun dari anggota tubuh manusia. Selain itu, kemungkinan untuk terkena penyakit kanker tidak memandang usia. Apabila dibandingkan dengan penyakit-penyakit non-kanker yang mengakibatkan kematian, kanker menempati posisi ke-7.Data Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007, menempatkan stroke, TBC, hipertensi, cedera, perinatal dan diabetes melitus di atas jumlah kematian akibat kanker. [1]

Pengobatan kanker selalu menjadi kalimat yang sangat menakutkan bagi setiap orang yang mendengar maupun bagi mereka yang terpaksa menjalaninya.Pengobatan kanker secara medis yang selama ini dilakukan adalah melalui pembedahan (operasi), penyinaran (radiasi), dan terapi kimia (kemoterapi). Dalam proses radioterapi diperlukan alat fiksasi untuk melindungi bagian luar tubuh dari

pasien. Alat fiksasiberfungsi sebagai media penggambaran lokasi penyinaran dalam proses radioterapi. [2] Mengingat harga alat fiksasi yang sangat mahal dan harus di-impor dari luar Indonesia, material penyusun bahan fiksasitersebut akan diteliti, dengan harapan suatu saat alat fiksasi ini dapat diproduksi di dalam negeri dengan harga yang terjangkau.

Pada proses radioterapi alat fiksasi memegang peranan penting untuk mengatur posisi pasien agar tidak berubah-ubah selama proses penyinaran. Hingga kini belum ada perusahaan di Indonesia yang memproduksi bahan dan alat ini sehingga kita masih harus mengimport dari Amerika, Jerman, Perancis ataupun Cina.Oleh karena itu, diperlukan penelitian awal untuk mengetahui material peyusun bahan fiksasi tersebut dengan harapan suatu saat nanti Indonesia dapat memproduksi sendiri alat fiksasi dengan biaya yang lebih ekonomis agar dapat dijangkau oleh semua kalangan. [3]

(22)

77

2. Metode Penelitian

Bahan sampel adalah polimer termoplastik yang merupakan alat untuk fiksasi pada proses radioterapi. Untuk mengetahui jenis polimernya, dilakukan serangkaian pengujian yang meliputi pengukuran densitas, FTIR, DSC, SEM, XRD dan VST.

Uji densitas dilakukan untuk menentukan massa jenis dari bahan fiksasi.Pada percobaan ini, penentuan massa jenis dari bahan fiksasi akan dilakukan dengan alat densitometer. Jenis alat yang digunakan adalah densitometerGDM.Cara kerja alat ini adalah dengan menghitung berat benda pada saat di udara dan berat benda pada saat di air. Massa jenis yang didapatkan nantinya adalah massa jenis rata-rata hasil dari perhitungan massa jenis pada 2 buah sampel.

Pengujian FTIR dengan merk Bruker, dilakukan di Sentra Teknologi Polimer (STP) Puspitek, Serpong.Sampel yang digunakan untuk uji FTIR ini berbentuk serbuk.Sampel terlebih dahulu digerus sehingga dapat berupa serbuk.Dengan mengetahui panjang bilangan gelombang pada puncak dari grafik FTIR maka kita dapat mengetahui ikatan kimia yang terdapat pada sampel.Sampel diuji dengan FTIR menggunakan metode ATR (Attenuated Total Reflectance) dengan mengacu pada standar uji ASTM E 1252-07.Spektrometer dijalankan pada bilangan gelombang 4000-400 cm-1.

Untuk analisa termal pengujian dilakukan dengan menggunakan Differential Scanning Calorimetry, tipe Perkin Elmer Pyris 8000.Pengujian DSC ini dilakukan di Sentra Teknologi Polimer (STP) Puspitek, Serpong, mengacu pada ASTM D3418-08.Sampel yang digunakan berupa serbuk.Sampel kemudian dimasukkan ke dalam crucible. Analisa DSC dilakukan dengan program temperatur heating-cooling-heating dengan kecepatan -(-30)oC/min –

10oC/min. Purge gas yang digunakan yaitu gas

nitrogen dengan kecepatan aliran 20 ml/min.

Pengujian dengan menggunakan SEM dilakukan untuk melihat bagian samping dari alat fiksasi tersebut.Pengujian SEM yang dilengkapi dengan EDX, dilakukan di Fakultas Teknik UI.Alat yang digunakan yaitu FE-SEM FEI INSPECT F50 dan EDAX EDS Analyzer.

Pengujian XRD dengan Merk Philips dilakukan di Laboratorium XRD PSTBM-BATAN PUSPITEK, Serpong.Sampel yang digunakan berupa serbuk. Sumber XRD adalah Cu (Kα1= 1.54060,

Kα2=1.54443), dengan sudut pengamatan (2θ) = 5-70o

dan suhu pengukuran 25oC. Analisa dilakukan

dengan menggunakan alogaritma le-bail fit dengan software HSP 3.0 dari PANalytical yang dapat menentukan unit cell, space group, dan parameter kisi bahan fiksasi. Pada penelitian ini pengamatan XRD digunakan untuk menghitung kristalinitas bahan fiksasi.

Pengujian Vicat Softening Temperature dilakukan untuk menentukan titik lunak dari bahan

fiksasi.Pengujian ini dilakukan di Sentra Teknologi Polimer (STP) Puspitek, Serpong dengan menggunakan HDT Vicat Apparatus.Sampel disiapkan dengan ukuran 1 x 1 cm lalu dikondisikan pada suhu 23oC dan relative humidity 50% selama 48 jam.Pengujian VST dilakukan dengan menggunakan beban 10 N dengan kecepatan pemanasan 120oC/jam.Pengujian ini mengacu pada standar uji

ASTM D1525.

3. Hasil dan Pembahasan

Tabel 1. Hasil Pengukuran Rapat Massa

Sampel Berat di Udara (gram) Berat di Air (gram) Densitas (gram/cm3) 1 2,15 0,22 1,11 2 3,17 0,33 1,12 Rata-Rata 1,12

Hasil yang didapatkan dari pengukuran densitas merupakan berat bahan fiksasi di udara dan berat bahan fiksasi di dalam air yang tercantum pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 diperoleh densitas bahan fiksasi adalah sebesar 1,12 gram/cm3.

Gambar 1.Grafik hasil pengujian FTIR

Gambar 1 menunjukkan hasil pengujian FTIR bahan fiksasi. Terlihat adanya ikatan C=O yang merupakan puncak tajam dari grafik tersebut pada bilangan gelombang 1724 cm-1. Dari grafik

penyerapan IR juga dapat dilihat adanya ikatan -CH2

pada bilangan gelombang 2867 dan 2947 cm-1. Terdapat puncak lain selain ikatan C=O, yaitu ikatan -CH2, memang puncak yang ditunjukkan oleh ikatan

ini tidak setinggi pita serapan C=O pada bilangan gelombang 1724 cm-1 yang merupakan ciri khas pita

serapan PCL, tetapi terlihat pada grafik yang kita peroleh.

Dari semua data yang terlihat, maka ikatan pada bahan fiksasi, jelas terlihat adanya ikatan -CH2 dan

ikatan C=O. Selain itu terdapat juga ikatan C-O dan C-C pada bilangan gelombang 1294 cm-1, ikatan

C-O-C terdapat pada bilangan gelombang 1241 dan 1170 cm-1, dan 1185 cm-1 yang pita serapannya terlihat agak lebar. Ikatan -CH terdapat padabilangan gelombang 841 cm-1.

(23)

78

Gambar 2.Grafik hasil pengujian DSC

Gambar 2 menunjukan hasil pengujian dengan metode differential scanning calorimetry memperlihatkan titik leleh dari bahan fiksasi adalah 54,94 oC. Nilai referensi titik leleh polycaprolactone adalah pada suhu 59,5 oC dan hasil yang diperoleh

dari pengujian DSC bahan fiksasi diperoleh titik leleh yaitu pada suhu 54,94 oC sehingga dapat disimpulkan

bahwa material bahan fiksasi tersebut adalah polycaprolactone. Titik leleh material memang tidak akan sama persis dengan nilai referensi, hal ini dimungkinkan karena ada perbedaan proses pembuatan atau bahan fiksasi sudah dipakai.

Gambar 3.Grafik kristalinitas bahan fiksasi

Gambar 3 menunjukan kristalinitas bahan fiksasi. Diperoleh kristalinitas dari bahan fiksasi yaitu sebesar 56,04%. Dengan mengetahui kristalinitas dari bahan fiksasi maka kita dapat mengetahui kandungan kristal dan amorf yang terdapat pada sampel. Fase amorf dari bahan fiksasi ditunjukan oleh panah yang memiliki puncak di sekitar sudut 20o.

Gambar 4.Grafik hasil uji VST

Dari hasil pengujian VST bahan fiksasi tidak mengalami pelunakan namun langsung pecah pada suhu 43,6oC yang dapat dilihat pada Gambar 4.

Karena material dari bahan fiksasi tersebut bersifat getas, material tidak mengalami proses pelunakan secara bertahap tidak seperti material termoplastik secara umum. Hal tersebut dikarenakan material dari bahan fiksasi ini sudah terkena radiasi dan berubah sifat fisiknya dari bahan ulet menjadi getas.

Gambar 5.Citra SEM bahan fiksasi

Dari Gambar 5 dapat disebutkan bahwa citra SEM bahan fiksasi memilki pola “aliran sungai”. Terdapatnya pola “aliran sungai” merupakan salah satu karakteristik dari bahan getas.

4. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa material penyusun bahan fiksasi adalah Polycaprolactone (PCL) yang merupakan polimer semikristalin. Bahan fiksasi tersebut memiliki titik leleh pada 54,94oC, densitasnya adalah sebesar 1,12

gram/cm3, dan memiliki titik lunak pada suhu 43,6 oC.

Ucapan Terimakasih

Terimakasih kepada Dra. Ariadne L. Juwono, M.Eng, Ph.D, Prof. Djarwani S. Soejoko dan Dr. Maykel T.E Manawan yang telah membantu saya dalam diskusi.

Daftar Acuan

[1] Deherba. 2012. Statistik Penderita Kanker di Indonesia. http://www.deherba.com/statistik-penderita-kanker-di-indonesia.html.20 Agustus 2013.

[2] Rasjidi Imam, Nana Supriana, Kristanus Cahyono. Radiotrapi Pada Keganasan

Gambar

Gambar 6. Hubungan dosis radiasi di permukaan kulit pasien terhadap tegangan tabung sinar-X
Gambar 8. Hubungan dosis radiasi di permukaan kulit terhadap dosis radiasi di udara
Gambar  6  menunjukkan  bahwa  dosis  radiasi  yang diterima pasien bervariasi. Hal ini disebabkan  oleh  tegangan  yang  diberikan,  massa  dan  tinggi  pasien  yang  bervariasi,  karena  dengan  bertambah  tinggi badan dan massa badan maka tegangan akan
Gambar 1 Grafik Suhu Transisi pada Sampel Radiasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Latihan olahraga aerobik merupakan aktivitas yang bergantung terhadap ketersediaan oksigen untuk membantu proses pembakaran sumber energi, sehingga bergantung pula terhadap kerja

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah langkah-langkah penerapan pendekatan saintifik untuk meningkatkan kemampuan mengapresiasi cerpen pada siswa

a. Aturan dibuat dengan jelas, dan dinyatakan dalam bentuk kalimat positif tentang apa yang seharusnya dilakukan, bukan apa yang tidak boleh dilakukan. Aturan

Gambar 4.50 Streamline Kecepatan Model XI DF 40° Besar kecilnya stall yang terjadi pada sebuah sayap pesawat dapat dilihat dari titik kondisi separasi yang

Refleksi kritis pada diri (mengembangkan perbaikan diri secara terus menerus). Refleksi kritis dapat dianggap sebagai proses analisis, mempertimbangkan kembali dan

Responden pakar dilibatkan untuk menentukan dan menilai tingkat kepentingan antar atribut mutu produk, menentukan aktivitas proses dan hubungannya, menentukan hubungan antar

Dari hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nurmah tentang faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka pada post SC diperoleh hasil bahwa ada

Berbeda dengan Subangun dan Mulyani, Nirmala (2012) mengkaji metafora yang terdapat dalam wacana surat pembaca dengan judul “Metafora dalam Wacana Surat Pembaca