• Tidak ada hasil yang ditemukan

FUNGSI BANJAR DALAM BUDAYA SUKU SASAK TE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FUNGSI BANJAR DALAM BUDAYA SUKU SASAK TE"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

FUNGSI BANJAR DALAM BUDAYA SUKU SASAK TERHADAP SOLIDARITAS SOSIAL MASYARAKAT DI DESA WATUMELEWE

KECAMATAN TINANGGEA KABUPATEN KONAWE SELATAN

Oleh: Juhaepa dan Sarpin9

Abstract

This research aims at knowing the form and function of Banjar and the factors affecting the change of social solidarity of Sasak ethnic in Watu Melewe Village, Tinanggea District, South Konawe Regency. To deepen the phenomenon happened employed qualitative descriptive approach. The data were collected through interview technique, observation, and the tracing of document. The analysis of data took place through the phases of data collection, data reduction, and conclusion drawing. The findings showed that there were two functional Banjar forms in the culture of Sasak ethnic, namely Merarig and Mate Banjar. The economical and social function of Banjar were realized through the obligation of Banjar members in giving both the material and non material aid towards Banjar members that wanted to do the thanksgiving and had the calamity. The positive change was this Banjar membership is not only from the community of Sasak ethnic but also from the other communities. The negative change was cooperative and togetherness value that began down because of the shortage of the care of several Banjar members towards the Banjar members who required the help.

Key Words: Banjar Function, Culture, Sasak Ethnic, and Social Solidarity.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan fungsi banjar serta faktor-faktor yang memengaruhi perubahan solidaritas sosial Suku Sasak kaitannya di Desa Watumelewe Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan. Dalam rangka mendalami fenomena yang terjadi digunakan pendekatan kualitatif deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan melalui teknik wawancara, observasi, dan penelusuran dokumen. Analisa data berlangsung melalui tahapan koleksi data, reduksi, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua bentuk banjar yang fungsional dalam budaya Suku Sasak, yakni banjar merarig dan banjar mate. Fungsi ekonomi dan sosial banjar diwujudkan melalui kewajiban anggota banjar memberikan bantuan materiil maupun non materiil kepada anggota banjar yang hendak melaksanakan hajatan dan terkena musibah. Perubahan yang bersifat positif adalah keanggotaan banjar ini tidak hanya dari kalangan komunitas Suku Sasak, tetapi juga dari komunitas lain. Perubahan yang bersifat negatif adalah nilai kerjasama dan kebersamaan yang mulai menurun akibat sudah kurangnya kepudulian beberapa anggota banjar kepada anggota banjar yang membutuhkan bantuan.

Kata Kunci: Fingsi banjar, Budaya, Suku Sasak, dan Solidaritas Sosial.

PENDAHULUAN

Suku Sasak dengan tradisi dan bahasa Sasaknya merupakan suatu kelompok suku bangsa dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia yang mempunyai keunikan dan tradisi dalam menjalani kehidupannya. Tradisi yang dibangun oleh Suku Sasak

9 Drs. Juhaepa, M.Si. dan Sarpin, S.Sos., M.Si. adalah dosen Sosiologi FISIP Universitas Halu Oleo

(2)

90

sebagai cermin dari sebuah peradaban masyarakat. Pola konsepsi mereka bangun melalui perjalanan yang cukup panjang melalui interaksi dengan suku-suku bangsa lain, di samping melalui perenungan dan pengamatan yang tajam terhadap fenomena alam, sehingga Suku Sasak memiliki banyak ragam adat dan budaya yang khas, diantaranya adalah budaya banjar. Budaya banjar pada komunitas Suku Sasak di daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi sesuatu yang sangat penting, karena termasuk salah satu wadah sosial yang digunakan dalam berbagai upacara adat dan kegiatan kemasyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa banjar sebagai salah satu karakteristik kebersamaan masyarakat Suku Sasak.

Sekitar Tahun 1980-an, masyarakat Suku Sasak di daerah NTB banyak yang mengikuti program transmigrasi dan tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Salah satu daerah tujuan dari program transmigrasi tersebut adalah Provinsi Sulawesi Tenggara. Sampai sekarang komunitas Suku Sasak masih tetap melestatikan budaya Banjar. Banjar adalah suatu kelompok adat yang anggotanya terdiri dari penduduk di suatu kampung, dusun, dasan, atau berasal dari beberapa desa, keanggotaannya berdasarkan kepentingan dan tujuan yang sama. Anggota banjar terdiri dari satu keturunan, agama ataupun satu perkumpulan adat yang keanggotaannya terjadi karena adanya hubungan emosional.

Banjar sebagai salah satu wadah sosial Suku Sasak, terdiri dari beberapa krame

yaitu krame banjar subag (banjar petani sawah), krame banjar merariq (banjar perkawinan), krame banjar mate (banjar kematian) dan krame banjar haji (banjar perkumpulan haji). Masih banyak lagi bentuk dari krame banjar yang pada prinsipnya terbentuk berdasarkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat Suku Sasak itu sendiri. Sebagai sebuah perkumpulan atau persekutuan, di dalam banjar terdapat hal yang menarik yang membuat setiap anggotanya secara spontan dan bersama-sama membangun solidaritas sosial dan kebersamaan. Dalam arti, bahwa masalah yang dihadapi oleh seorang anggota banjar menjadi masalah bagi semua anggota banjar.

Komunitas Suku Sasak di Desa Watumelewe Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan berjumlah 140 jiwa dengan 35 Kepala Keluarga. Fenomena yang terjadi adalah aktivitas banjar menjadi sesuatu yang sangat signifikan bagi mereka dalam melakukan berbagai hajatan. Namun sebagai masyarakat minoritas yang hidup dalam adat dan budaya heterogen di daerah transmigrasi, budaya banjar ini mulai mengalami perubahan dalam hal kebersamaan dan persatuan di antara mereka. Anggota masyarakat yang melakukan banjar perkawinan ini tidak sepenuhnya mendapat bantuan dari anggota komunitas Suku Sasak yang lain dalam mengumpulkan iuran dan ketidakkompakan dalam memberikan bantuan tenaga..

Asumsi yang muncul dari fenomena di atas adalah fungsi banjar pada masyarakat Suku Sasak di Desa Watumelewe Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan telah mengalami perubahan, bukan hanya pada banjar merariq

(3)

91

memengaruhi perubahan solidaritas sosial masyarakat Suku Sasak dalam kaitannya sebagai anggota banjar.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Watumelewe Kecamatan Tinanggea, dimana bermukim komunitas Suku Sasak yang masih melestarikan kebudayaan asal, khususnya budaya Banjar. Namun demikian budaya ini mulai mengalami perubahan-perubahan pada aspek solidaritas sosial masyarakat. Dalam rangka mendalami fenomena yang terjadi maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, yaitu untuk mendapatkan gambaran mengenai fungsi banjar dan beberapa faktor yang memengaruhi perubahan solidaritas sosial masyarakat Suku Sasak.

Analisa berlangsung melalui empat tahap yakni pertama, pengumpulan data (data collection) yaitu pada saat proses memasuki lingkungan penelitian dan melakukan pengumpulan data penelitian. Kedua, reduksi data (data reduction) yaitu pada saat proses pemilihan data, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dari lapangan. Ketiga, penyajian data (data display) yaitu penyajian informasi dalam memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Keempat, penarikan kesimpulan, data yang telah dianalisis diharapkan benar-benar menggambarkan kenyataan.

PEMBAHASAN

Bentuk dan Fungsi Banjar dalam Budaya Suku Sasak

Suku Lombok (Sasak) yang bermukim di Desa Watumelewe sejak 25 tahun yang lalu melalui program transmigrasi, membentuk banjar sebagai bentuk perkumpulan dalam melanjutkan tradisi. Banjar dalam komunitas Suku Sasak merupakan bentuk persekutuan komunitas kecil dan terbatas yang di dalamnya berlangsung beberapa kegiatan sosial kemasyarakatan. Kegiatan Banjar dalam komunitas Suku Sasak lebih mengarah pada aktifitas yang menyangkut siklus kehidupan sebagai sebuah persekutuan, solidaritas sosial dan kebersamaan disebut dalam bahasa Sasak, yaitu Besiru. Besiru inilah yang berperan penting ketika salah satu anggota masyarakat sasak akan melakukan berbagai hajatan.

Berdasarkan hasil penelitian, bentuk-bentuk banjar yang ada di Desa Watumelewe adalah banjar Merariq dan banjar Mate. Sedangkan dua banjar lainnya yaitu banjar Subak dan banjar haji tidak berfungsi. Banjar subak tidak dijalankan karena pemerintah melalui pamong tani telah mengambil alih fungsi banjar tersebut.

Demikian pula banjar haji, karena kondisi ekonomi masyarakat yang masih rendah maka banjar ini belum dijalankan. Namun demikian menurut para informan bahwa suatu saat kedua banjar ini dapat berfungsi seperti banjar-banjar yang lain.

1. Banjar merariq (banjar perkawinan)

(4)

92

yang mempunyai anak remaja dengan mengeluarkan iuran berupa uang, beras, kue-kue, tenaga dan lain-lain yang dibutuhkan dalam pesta perkawinan. Adat merariq

dalam budaya Suku Sasak dahulu diharuskan laki-laki membawa lari wanita yang ingin dinikahi. Pernyataan informan penelitian bahwa banjar merariq digunakan untuk prosesi pernikahan yang dilakukan dengan terlebih dahulu “mencuri wanita” yang ingin dinikahi oleh laki-laki. Selanjutnya, membawa wanita tersebut ke rumah kerabat dekat laki-laki. Namun sekarang proses membawa lari perempuan yang akan dinikahi tidak dilakukan lagi, seiring dengan proses pembauran antar etnis sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi pernikahan campuran (amalgamasi).

Setelah dilakukan proses nyelabar kerumah pihak keluarga perempuan maka dari pihak laki-laki memberitahukan kepada keliang banjar (ketua banjar) untuk menyampaikan niat menggunakan banjar dalam prosesi perkawinan. Setelah penyampaian tersebut sudah disampaikan maka diundanglah seluruh anggota banjar dalam musyawarah yang dipimpin langsung oleh keliang banjar. Dalam musyawarah ini si pemakai banjar mengutarakan maksud dan tujuannya untuk memakai banjar dan berapa jumlah dana atau kebutuhan yang akan dipergunakan. Musyawarah yang dipimpin langsung oleh ketua banjar dilakukan di rumah anggota yang akan memakai banjar. Lebih lanjut dijelaskan oleh Lalu Ruslan (49 Tahun) bahwa banjar ini dipakai secara bergiliran oleh anggota dan diberikan batas pemakaian dalam setahun, ini dilakukan agar seluruh anggota mendapat giliran memakai Banjar dan bagi anggota yang sudah memakai Banjar wajib mengeluarkan sejumlah iuran yang sudah dikeluarkan sebelumnya oleh anggota. Bagi anggota yang memakai banjar sepenuhnya mendapat bantuan dari anggota lainya mulai dari persiapan hajatan sampai berakhirnya hajatan (Wawancara, 14 Oktober 2012).

Anggota yang sudah menggunakan banjar tinggal menyesuaikan berapa jumlah yang dikeluarkan sebelumnya, maka itulah jumlah yang harus dikeluarkan berikutnya. Dalam banjar merariq ini pula kebersamaan terjalin secara intensif selama proses pelaksanaan hajatan, mulai dari mengumpulkan iuran, mengumpulkan kayu bakar hingga kebutuhan dan keperluan lainya dipersiapkan secara matang sebelum acara perkawinan tersebut dilaksanakan. Beban yang ditanggung oleh anggota yang melaksanakan hajatan akan terasa ringan seperti yang diungkapkan oleh bapak

Hirjan (38 Tahun) “dengan memakai banjar dalam selamatan pernikahan, itu akan

sangat membantu kami baik dalam hal materi naupun tenaga, karena seluruh anggota banjar akan membantu mempersiapkan semua kebutuhan yang kami perlukan, disitu kami cari jalan keluar bersama bagaimana cara menyelesaikan ketika

ada kendala yang kami dapatkan agar hajatan berjalan dengan baik” (Wawancara, 20

Oktober 2012).

(5)

93

masyarakat akan menikahkan anaknya aturan yang sebenarnya ketika akan menggunakan banjar merariq adalah dengan terlebih dahulu mencuri gadis yang akan dinikahi. Di Desa Watumelewe dimana terdapat komunitas Suku Sasak yang masih menggunakan banjar, proses ini tidak lagi dipergunakan.

Hal tersebut sebagaimana yang penjelasan oleh Bapak Asmu’l (50 Tahun)

bahwa masyarakat Lombok di Desa Watumelewe ini memang masih ada yang menggunakan banjar tetapi adat-adatnya sudah mulai berubah, alasan sebagian masyarakat karena mereka merasa tidak lagi berada di daerah NTB, di sini kita hidup dengan banyak suku dan kita suku Lombok masih sangat kecil jumlahnya, jadi kita masih membutuhkan orang lain diluar suku untuk membantu, jadi ketika kita masih menggunakan adat/aturan yang sebenarnya mereka nanti tidak ada yang mau menikahkan anaknya dengan suku Lombok, apa lagi klo mau menikahkan anak dengan cara dicuri terlebih dahulu, nanti kita bertengkar antar suku jadinya. (Wawancara, 20 Oktober 2012).

Penjelasan informan di atas menggambarkan bahwa banjar di daerah ini sudah mengalami perubahan, namun sikap saling tolong menolong masih tetap dipertahankan. Peruhaban terjadi pada aturan membawa lari perempuan yang akan dinikahi dalam budaya Suku Sasak sudah mulai mengalami pergeseran dan seakan-akan kehilangan makna yang sesungguhnya. Perubahan ini akibat pengaruh yang dari kemajemukan masyarakat terutama di daerah transmigrasi. Banjar merariq memiliki fungsi ekonomi yaitu anggota banjar memberikan bantuan ekonomi kepada anggota

banjar yang akan menyelenggarakan pesta pernikahan anggota keluarganya. Bantuan ini berupa beras 50 kg atau dalam bentuk uang sebesar Rp. 250.000,- setiap anggota

banjar. Selain fungsi ekonomi, banjar ini juga berfungsi sosial, dimana anggota banjar

wajib memberikan bantuan tenaga ataupun pikiran kepada anggota banjar yang akan menyelenggarakan pesta pernikahan tersebut.

2. Banjar mate (banjar kematian)

Banjar mate (banjar kematian) yaitu perkumpulan yang menggumpulkan iuran atau tenaga anggota untuk membantu anggota yang mendapatkan musibah kematian. Hasil wawancara bersama Bapak Tahir (50 Tahun) menuturkan bahwa jika ada saudara atau tetangga yang meninggal saya langsung datang kerumahnya untuk berta'ziah sekaligus membantu mempersiapkan kebutuhan untuk perawatan jenezah, semua masyarakat suku Sasak di desa ini akan membantu mulai dari pembelian kain kafan hingga selesainya pemakaman sampai selesainya selamatan. Kami membantu dengan ikhlas uang untuk membeli keperluan jenazah tidak di sepakati berapapun kemampuan kami berikan (Wawancara, 21 Oktober 2014).

(6)

94

dalam banjar mate ini tidak ada musyawarah tapi masyarakat ini akan tergerak membantu secara suka rela karena mereka sudah menganggap diri mereka anggota banjar. Kalau dalam banjar mate ini juga setelah jenazah itu dikuburkan ada tradisi masyarakat sasak mengadakan tahlilan selama sembilan malam, selama sembilan malam ini anggota yang terkena musibah itu akan mendapat bantuan dari anggota banjar seperti memberikan uang belanja untuk kebutuhan selama sembilan malam tadi bisa juga berupa beras, gula, kopi, kue dan lain-lain (Wawancara, 27 Oktober 2012).

Kedua pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa banjar mate ini sedikit berbeda dengan banjar merariq tapi tujuannya sama untuk saling bekerjasama membantu anggota yang sedang mendapatkan musibah atau yang membutuhkan bantuan. Fungsi ekonomi dan sosial dalam banjar mate ini, dapat dilihat apabila ada anggota banjar mengalami musibah kematian, maka akan dibantu baik bantuan materi maupun non materi.

3. Banjar subak

Banjar subak yakni perkumpulan para petani (penggarap sawah pertanian). Anggotannya disebut sebagai sekeha subak yang berkewajiban membayar upah pekasih (ucapan terimakasih) dengan mengumpulkan seikat padi atau lebih sesuai luas tanah garapan angggota sekeha. Kewajiban lain adalah bergotong royong membersihkan dan memperbaiki kokoh (saluran), telabah (parit), pengempel (dam air) dan tembuku (pintu air), dan lain-lain yang menyangkut sarana pengairan. Termasuk gotong royong melakukan selametan pengempel atau selametan tembuku (kenduri).

Aturan pembagian air dan gotong royong membersihkan selokan dan semacamnya yang berhubungan dengan kebutuhan pengairan persawahan masih tetap ada, hanya saja terdapat perbedaan-perbedaan seperti tidak ada selametan pengempel (selamatan setelah memperbaiki tembuku/selokan air), besiru nowong (saling membantu menanam padi), serta tidak ada upacara selamatan sebelum memanen hasil tanaman. Hal ini disampaikan oleh Bapak Tahir (50 Tahun) bahwa banjar subak kalau di daerah asal kami di Lombok sangat digunakan saat mau menggarap sawah mulai dari ngampar (menyemaikan bibit padi), nowang (menanam padi), sampai mata (memanen padi) semuanya saling besiru (saling tolong secara bergantian) tapi kalau disini ada Banjar tapi tidak terlalu digunakan yang sering digunakan itu banjar merariq itu saja sudah beda caranya. Apa lagi banjar subak sudah tidak digunakan sama sekali, kalau tiba waktunya menggarap sawah atau panen tetap dilakukan selametan tapi dengan cara perorangan saja bahkan ada juga yang tidak pake lagi (Wawancara, 27 Oktober 2012).

(7)

95

sudah dilakukan secara sendiri-sendiri, namun dalam proses penanaman sampai pemanenan masih terlihat kegiatan gotong-royong di antara mereka.

4. Banjar haji

Berdasarkan hasil penelitian, banjar haji di Desa Watumelewe juga tidak dipergunakan. Banjar haji dipergunakan oleh orang-orang yang mempunyai ekonomi yang cukup lumayan, karena dalam tiap bulan ada iuran vang harus dikeluarkan untuk setiap anggota. Hal ini dijelaskan oleh bapak Hirjan (38 Tahun) bahwa kalau untuk Banjar haji memang tidak ada di sini karena itu akan sangat menyusahkan anggota, saya bilang menyusahkan masalahnya belum ada yang punya pendapatan yang menetap apalagi setiap beberapa bulan sekali ada iuran, untuk itu banjar haji tidak diadakan. Tapi untuk kebersamaan tetap didahulukan kalau misalnya ada yang tidak kompak lagi atau tidak ikut membantu teman dalam kesusahan dia nantinya juga tidak dibantu kalau ada kesusahannya (Wawancara, 28 Oktober 2012). Pendapatan anggota masih belum pasti dan itu nantinya akan berimplikasi terhadap kekompakan anggota. Namun hal yang paling penting disini adalah adanya konsekuensi yang di alami anggota apabila acuh tak acuh terhadap kesusahan anggota lainnya, jika dia mendapatkan kesusahan akan dibalas juga dengan acuh tak acuh oleh anggota banjar lainnya.

Varian Pengaruh Perubahan Soridaritas Sosial Masyarakat Sasak dalam Kaitannya sebagai Anggota Banjar

Banjar yang menjadi simbol kebersamaan komunitas Suku Sasak dalam berbagai kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama kini mulai mengalami perubahan. Berikut faktor-faktor penyebab perubahan solidaritas sosial komunitas Suku Sasak di Desa Watumelewe dalam kaitannya sebagai anggota banjar.

1. Kontak dengan budaya lain

Komunitas Suku Sasak tidak selalu mempertahankan apa yang menjadi keyakinan dan tradisinya. Suatu anggapan dan kesadaran dari komunitas Suku Sasak di Desa Watumelewe yang menganggap bahwa suatu budaya dari masyarakat lain memiliki kegunaan dan mereka menerima budaya tersebut. Pernyataan tersebut juga

sejalan dengan pengakuan Bapak Asmu’I (52 Tahun) yang mengatakan “kita hidup

di daerah ini banyak suku dan itu sangat berpengaruh terhadap persatuan masyarakat terutama suku sasak ini, ada yang mulai beranggapan jika tidak bisa dibantu oleh suku sendiri ada banyak tetangga dari suku Iain yang mau membantu jika kita meminta bantuannya, karena disini kita hidup sama-sama sebagai masyarakat

tranmigrasi” (Wawancara, 28 Oktober 2012).

(8)

96 2. Pendidikan

Masalah tingkat pendidikan kurang berpengaruh terhadap perubahan yang terjadi dalam komunitas Suku Sasak, khususnya dalam kaitannya sebagai anggota banjar di Desa Watumelewe. Namun tak dapat dipungkiri faktor pendidikan mempunyai sumbangsih yang sangat signifikan dalam proses terjadinya suatu perubahan masyarakat. Suku Sasak di Desa Watumelewe umumnya berpendidikan Sekolah Dasar (SD), ketika berinteraksi dengan anggota masyarakat lain yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi otomatis pola pikir mereka akan berubah, apalagi interaksi tersebut terjadi secara intensif dalam kehidupan bermasyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pendidikan tidak memiliki pengaruh langsung terhadap perubahan solidaritas sosial komunitas Suku Sasak. Tingkat pendidikan yang relatif rendah menyebabkan pola pikir yang tidak maju. Mengembangkan budaya banjar sebagai bentuk solidaritas sosial masyarakat seharusnya dilakukan oleh seluruh masyarakat, bukan hanya komunitas Suku Sasak sehingga budaya ini menjadi budaya bersama masyarakat. Oleh karena itu, perubahan pola pikir yang selalu menganggap bahwa budaya banjar sebagai milik komunitas Suku Sasak harus diubah.

3. Sikap

Dalam budaya banjar terdapat proses kebersamaan yang sangat kuat dan segala aktifitas dilakukan secara bersama-sama tanpa memandang status maupun perbedaan, yang ditampilkan pada saat itu adalah sikap saling peduli satu sama lain. Bapak Hirjan (38 Tahun) menjelaskan bahwa budaya banjar menampilkan sikap rasa saling peduli terhadap kesusahan yang di alami anggota, sikap itu Nampak pada saat anggota mengalami kesulitan yang harus diselesaikan secara bersama-sama. Akan tetapi hal yang paling menghawatirkan saat ini sudah mulai nampak sikap rasa ketidak pedulian anggota terhadap anggota yang lain, kita rasakan sendiri ketika akan memakai banjar dalam proses selamatan atau hajatan paling yang datang bantu hanya sebagian kecil dari anggota banjar (Wawancara, 3 November 2012). Kekhawatiran yang terjadi sekarang adalah tingkat kepedulian anggota banjar

terhadap kegiatan banjar yang mulai menurun. Pada saat salah seorang anggota banjar

melaksanakan hajatan ada beberapa anggota yang tidak datang membantu tanpa alasan yang jelas. Dari pernyataan informan tersebut dapat dikatakan bahwa fungsi sosial dari banjar kurang berjalan, tetapi fungsi ekonomi dari banjar tetap berjalan dengan baik.

4. Toleransi

Toleransi yang cukup tinggi yang ditampilkan oleh komunitas Suku Sasak secara tidak langsung telah membawa mereka pada perubahan nilai dan budaya yang mereka anut sebelumnya. Hal ini mereka sadari namun mereka harus menyesuaikan

diri dengan wilayah yang mereka diami. Seperti penuturan ibu Nur (38 Tahun) “saya

(9)

97

kehendak saya sendiri karena saya hidup seperti yang saya bilang tadi hidup bersama orang-orang dari suku lain” (Wawancara, 4 November 2012). Komunitas Suku Sasak yang hidup di dalam wilayah yang heterogen mengedepankan sikap saling memahami dan saling mengerti terhadap situasi dan kondisi kehidupan dalam pergaulan hidup sehari-hari.

5. Sistem terbuka

Semakin terbukanya suatu masyarakat, menungkinkan masyarakat tersebut melakukan kontak dengan masyarakat lain diluar dari komunitasnya. Akibatnya dapat menyebabkan masyarakat yang satu mengalami perubahan kebudayaan dari pengaruh kelornpok masyarakat lainnya. Budaya atau kebiasaan dari masyarakat yang lebih kecil akan menyesuaikan dengan kebudayaan dari komunitas suku yang lebih dominan. Hasil wawancara bersama ibu Nur (39 Tahun) menuturkan bahwa di masyarakat transmigrasi tidak bisa kita berfikir hanya akan butuh bantuan sama suku kita sendiri, kita juga mebutuhkan mereka yang dari suku diluar kelompok kita. Kita harus lebih demokratis karena kalau tidak seperti itu akan ada kesenjangan dan pertentangan yang terjadi, karena kita sudah menampikan rasa tidak saling percaya terhadap yang lainnya. Budaya tetap kita kedepankan tapi rasa kebersamaan terhadap anggota masyarakat lain tidak kalah pentingnya (Wawancara, 4 November 2012). 6. Penduduk yang heterogen

Desa Watumelewe adalah desa yang penduduknya tergolong heterogen yang terdiri atas beberapa suku seperti suku Jawa, Bugis, Tolaki, Bali dan Muna. Heterogenitas penduduk Desa Watumelewe ini merupakan simbol kekayaan budaya yang dimiliki oleh Desa Watumelewe. Budaya Banjar dalam proses pelaksanaanya bukan oleh anggota banjar saja dalam hal ini sebatas ruang lingkup Suku Sasak saja kini mengalami perubahan, yakni masuknya kelompok-kelompok dari anggota masyarakat di luar komunitas Suku Sasak. Ibu Murni (38 Tahun) memaparkan bahwa kalau ada selamatan pernikahan atau pesta selain menggunakan banjar sekarang juga menggunakan tenaga dari luar anggota banjar seperti tukang memasak, dan bisa juga tukang buat kue-kue dan lainnya. Mungkin dirasa oleh yang punya hajatan lebih bagus hasilnya makanya mereka pake orang Iain. Tapi itu juga sudah wajar karena kita juga bertetangga dengan orang lain (Wawancara, 10 November 2012). Penduduk yang heterogen secara tidak langsung menuntut kita untuk saling berbagi satu sama lain, karena pada hakekatnya kita hidup membutuhkan orang lain diluar kelompok kita. Semula banjar hanya sebatas anggota namun karena hidup di daerah transmigrasi maka kita juga membutuhkan orang lain diluar kelompok karena dalam keseharian kita hidup berdampingan dengan mereka.

7. Ketidakpuasan

Budaya yang mempersatukan kebersamaan mereka di daerah transmigrasi ternyata tidak membawa kepuasan dalam diri pribadi mereka. Hambali (35 Tahun)

menuturkan “jujur saja saya pribadi merasa kurang puas dengan bantuan banjar, ini

(10)

98

kadang hanya datang membawa iuran berupa beras atau mungkin uang setelah itu mereka menghilang tidak muncul lagi untuk membantu, pokoknya sudah mulai berubah sikap anggota pada umumnya sehingga klo mereka ada kesusahan juga kita malas-malas juga pergi bantu” (Wawancara, 10 November 2012). Kenyataan menunjukkan bahwa sudah ada anggota banjar yang merasa tidak puas dengan aktifitas banjar yang ada di Desa Watumelewe. Ini disebabkan mulai kurangnya perhatian atau kepedulian terhadap kesusahan yang dialami oleh anggota. Banjar

dijadikan sebagai wadah untuk mencari keuntungan oleh sebagian anggota. Misalnya kalau sudah menggunakan bantuan banjar, adakalanya anggota banjar ini enggan membantu anggota lain yang belum memakai banjar.

8. Orientasi masa depan

Masyarakat selalu mempunyai orientasi ke masa depan apakah ada atau tidak manfaat yang harus didapatkan ketika akan mempertahankan budaya yang di anut selama ini. Ketika tidak ada maka ada kemungkinan untuk meninggalkan nilai yang sudah ada dengan menggantinva atau menyesuaikan dengan nilai-niiai yang baru muncul untuk mempertahankan eksistensi kehidupan dalam bermasyarakat. Hasil wawancara bersama bapak Lalu Ruslan (49 Tahun) menggambarkan keberadaan budaya banjar di Desa Watumelewe saat ini adalah budaya banjar, karena banjar sifatnya lebih terbuka terhadap perbedaan-perbedaan baik suku maupun budaya. Mungkin itu juga salah satu penyebab terjadinya kerenggangan kebersamaan antar anggota banjar sekarang ini, bukan masalah sebenarnya ketika dalam anggota banjar saling memahami tapi yang ada dirasakan sekarang tujuan dan semangat sudah mulai berbeda-beda. Ada yang beranggapan tanpa banjar kesusahan atau kesulitan dapat selesai dan sebagainya ini menandakan kebersamaan yang sudah mulai memudar dan lebih berfikir untuk kehidupan pribadi (Wawancara, 11 November 2012).

Budaya Sasak (Lombok) sejak masa lampau mengandung nilai-nilai yang sangat luhur dalam sistem kehidupan bermasyarakat. Memiliki relevansi dan makna yang dijadikan acuan dalam pergaulan hidup. Namun dewasa ini, nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur komunitas Suku Sasak telah mengalami pergeseran, mengalami kelunturan, dan akan kehilangan makna yang sesungguhnya. Ini terjadi karena adanaya pengaruh yang datang baik dari luar maupun dari dalam masyarakat itu sendiri. Selain pemaparan di atas hal yang serupa pun diungkapkan oleh bapak Hirjan (39 Tahun) bahwa memang lain rasanya kalau kita hidup bukan di daerah asal sendiri, apalagi klo mau mengedepankan budaya. Sebenarnya bisa saja tapi tidak tau juga masyarakat Lombok yang trans ini mungkin juga termasuk saya sendiri sudah berfikir lain, dan sudah menganggap segala sesuatu bisa dikerjakan dengan usaha tanpa harus terus-terusan berharap bantuan teman (Wawancara, 11 November 2012).

(11)

99

disimpulkan bahwa faktor yang paling dominan adalah kontak dengan kebudayaan lain, toleransi, penduduk yang heterogen dan ketidakpuasan. Sedangkan faktor yang lain seperti pendidikan, sikap, dan orientasi masa depan termasuk faktor penunjang perubahan.

PENUTUP

Bentuk-bentuk banjar yang masih dipertahankan oleh komunitas Suku Sasak di Desa Watumelewe adalah banjar merariq (banjar perkawinan) dan banjar mate (banjar kematian). Sedangkan banjar subak (banjar petani sawah) dan banjar haji (banjar perkumpulan haji) tidak dilakukan. Banjar subak tidak dilakukan karena pemerintah melalui pamong tani sudah mengurus pengairan sawah. Begitu pula banjar haji tidak dilakukan karena masih rendahnya kondisi ekonomi masyarakat. Fungsi banjar dalam komunitas Suku Sasak di Desa Watumelewe adalah fungsi ekonomi dan fungsi sosial. Sedangkan fungsi kerja sama dalam bidang keagamaan tidak berjalan karena tidak terbentuknya banjar haji. Bantuan yang diberikan anggota banjar kepada anggota banjar yang membutuhkan bantuan berupa 50 kg beras atau dalam bentuk uang yang disesuaikan dengan harga beras. Kemudian bantuan dalam bentuk tenaga sebagai perwujudan dari fungsi sosial.

Perubahan soridaritas sosial komunitas Suku Sasak saat ini dapat dilihat dari perubahan bersifat positif dan negatif. Perubahan yang bersifat positif adalah keanggotaan banjar ini tidak hanya dari kalangan komunitas Suku Sasak, tetapi juga dari komunitas lain. Perubahan yang bersifat negatif adalah nilai kerja sama dan kebersamaan yang mulai menurun akibat sudah kurangnya kepudulian beberapa anggota banjar kepada anggota banjar yang membutuhkan bantuan. Perubahan ini disebabkan oleh faktor adanya kontak dengan budaya lain, penduduk yang heterogen, toleransi, sistem yang terbuka, sikap, ketidakpuasan, pendidikan dan orientasi masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1977. Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat.

Jakub, Ali. 1982. Aspek Geografis Budaya dalam Wilayah Pembangunan Daerah NTB.

Jakarta: Depdikbud.

Johnson, Paul Doyle. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia. Kamanto, Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia.

Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Munandar, Soelaiman. 1993. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Eresco.

Satori, Djam’an dan Komariah, A’an. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Yamin, Moch. dan Tolomundu, Farid. 2008. Besiru Revitalisasi Banjar di Lombok.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, masyarakat Banjar yang masih terpaut h a t dengan adat lebih memilih penolong persalinan yang mampu memahami budaya mereka serta berasal dari

Masyarakat Suku Sasak di Lombok masih sangat kuat memegang nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat persekutuan adat yang telah ditetapkan dan dihormati

Dalam mempertahankan upacara adat kelahiran ini didukung pula oleh nilai-nilai dari upacara adat kelahiran tersebut dan sistem kepercayaan masyarakat yang beranggapan bahwa

Alasan mengapa komunitas adat suku bunggu (To Pakava) menyelesaikan perkara-perkara yang tergolong dalam tindak pidana kesusilaan karena masih ada sebagian pelanggaran

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa fungsi banjar adat dalam kehidupan masyarakat etnis Bali di Desa Werdhi Agung dapat diidentifikasi dalam tiga

Dari temuan yang ada di lapangan masyarakat suku Jawa dan suku Banjar sering berkomunikasi di teras rumah, di warung sambil menikmati kopi sambil bercerita panjang lebar

4 ini juga ingin mengetahui bagaimana sikap bahasa masyarakat penutur etnik Banjar di Pontianak terhadap BB untuk lebih mendapatkan gambaran apakah memang mulai

Penetrasi inovasi di tengah masyarakat adat tersebut telah “mengganggu” pola ketahanan pangan.Ubi jalar dan keladi sebagai bahan makanan pokok sudah berubah