• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN USE OF FORCE PENERAPAN KONSEP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGGUNAAN USE OF FORCE PENERAPAN KONSEP"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN USE OF FORCE: PENERAPAN KONSEP DETERRENCE OLEH SUATU AKTOR HUBUNGAN INTERNASIONAL DILIHAT DARI

JENISNYA PRIMARY DETERRENCE DAN EXTENDED DETERRENCE

disusun dalam rangka memenuhi nilai tugas mata kuliah strategi dan keamanan

Disusun oleh:

Dimas Agustini 1242500286 Iqbal Maulana 1242500740 Sri Maria Alkibthiah 1242500864

Qorienza R. A 1242500831 Anggi Hermawan 1242501136

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hubungan internasional pada hakikatnya merupakan suatu proses perkembangan hubungan antar negara yang dibentuk oleh negara-negara baik yang memiliki kedekatan secara geografis ataupun antar kontinen yang kemudian dengan banyak negara melalui utusan masing-masing negara, negara dengan individu, atau negara dengan organisasi-organisasi internasional lainnya dan juga antar sesama subjek hukum lainnya yang diakui oleh hukum internasional tidak selamanya terjalin dengan baik. Sering terjadi bahwa hubungan tersebut menimbulkan konflik yang dapat bermula dari berbagai potensi konflik, yang bisa disebabkan oleh beberapa hal yang dianggap sensitif. Tidak ada satu masyarakat pun dalam suatu negara ini yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya. Terdapat suatu pandangan yang ekstrem, manusia adalah makhluk sosial, beragama, memiliki intelejensi, tidaklah keliru apabila dikatakan bahwa konflik internasional merupakan suatu atribut yang tidak lepas dari masyarakat dunia. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Demikian halnya juga dalam pergaulan antar negara di dunia, dimana tiap-tiap negara memiliki kepentingan berbeda dalam mencapai tujuannya masing-masing yang dapat menjadi pemicu terjadinya konflik internasional. Tidak tanggung-tanggung konflik internasional tersebut diwujudkan dengan perang (use of force).

(3)

1.2 Rumusan Masalah

 Bagaimana contoh penerapan use of force oleh aktor hubungan internasional (defense, offense, compellence, swaggering, serta deterrence)?

 Bagaimana penerapan konsep deterrence oleh suatu aktor hubungan internasional dilihat dari jenisnya primary deterrence serta extended deterrence?

1.3 Batasan Masalah

Adapun, kami mencoba memberikan contoh penerapan use of force (defense, offense, compellence, swaggering, serta deterrence) oleh aktor-aktor hubungan internasional serta lebih memfokuskan pada konsep deterrence dalam menganalisa penerapan use of force tersebut.

1.4 Tujuan Penulisan

 Untuk mendeskripsikan berbagai contoh penerapan penerapan use of force oleh aktor hubungan internasional (defense, offense, compellence, swaggering, serta deterrence)

 Untuk menganalisa penerapan konsep deterrence oleh suatu aktor hubungan internasional dilihat dari jenisnya primary deterrence serta extended deterrence

1.5 Kerangka Pemikiran

(4)

kepentingan nasional sebuah negara adalah melindungi identitas fisik, politik dan kulturalnya dari gangguan negara-bangsa lain.1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Penggunaan Use of Force

Dalam strategi keamanan terdapat beberapa konsep, antara lain :

A. Defense

Konsep defense merupakan konsep yang umum, dimana baik ketika terdapat konflik ataupun tidak, pertahanan militer merupakan suatu kebutuhan yang dimiliki oleh setiap negara. Defense dapat disebut juga sebagai usaha negara atau aktor untuk melindungi diri mereka dari serangan musuh, menjaga keamanan dan kedaulatan negaranya dari negara lain, serta mengurangi kemampuan pihak musuh untuk menghancurkan atau menguasai sesuatu dari pihak defender. Tujuan utama dari defense adalah untuk melawan pihak musuh atau penyerang demi meminimalkan kerugian setelah proses deterrence mengalami kegagalan.

Military defense menjadi pilihan negara jika terjadi suatu konflik, akan tetapi ketika tidak ada konflik sekalipun, tetap dipilih karena terkait dengan pertahanan sebuah negara. Salah satu contohnya juga pembentukan NATO dimana terdapat satu poin perjanjian yang menyebutkan bahwa ketika satu negara anggota diserang maka serangan tersebut dianggap sebagai serangan pada seluruh negara anggota. Sebuah bentuk collective defense yang mana bentuk ini merupakan salah satu bentuk perwujudan defense. Bentuk contoh yang lain yaitu dapat terlihat saat ini ketika Amerika Serikat mulai menyadari bahwa China mulai menjadi negara super power yang baru dari sisi ekonomi dan sebagainya. Sehingga Amerika Serikat melakukan

(5)

upaya-upaya untuk menghadapi China agar tidak melampau ke-super power-an Amerika Serikat.

Defense pada dasarnya, dilakukan oleh negara untuk mencegah agar negara lain tidak memiliki power yang seimbang atau bahkan melebihi power yang dimilikinya, dengan cara menaikkan power negaranya. Kekhawatiran ini akan berujung pada munculnya ketakutan akan kebangkitan lawan sebagai suatu negara hegemon yang dapat megalahkan hegemoni negaranya. Perbedaan yang dapat dilihat antara deterrence dan defense adalah saat dimana sebuah negara sadar terhadap power yang dimiliki oleh negara lain, deterrence yaitu saat mereka sadar bahwa power lawan akan menjadi sebuah kekuatan baru yang mengancam mereka sehingga terjadi pencegahan terhadap terjadinya hal itu dan defense saat sebuah negara sadar bahwa power lawan telah mengancam mereka sehingga yang dilakukan adalah mencegah power tersebut bertambah besar.

a. Deterrence

Dalam sebuah konsep strategi, deterrence selalu kontras dengan defense. Deterrence dan defense lebih fokus kepada kemampuan militer. Konsep deterrence secara umum adalah strategi defensif yang dikembangkan setelah Perang Dunia I dan digunakan selama Perang Dingin. Hal ini terutama relevan berkaitan dengan penggunaan senjata nuklir, dan juga terkait dengan War on Terrorism.2

Menurut Robert Jervis, teori deterrence atau pencegahan adalah sebuah teori yang muncul pada masa Perang Dingin dan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi pada masa tersebut. Di dalam teori ini, aktor berupaya untuk meningkatkan kemampuan dan kekuatannya untuk menangkal serangan dari lawan, atau setidaknya menekan dan memaksa lawan untuk berpikir kembali untuk melakukan serangan. Teori penangkalan dimanifestasikan kedalam sebuah strategi militer yang juga bertujuan untuk menangkal serangan negara lain atau pihak musuh dengan meningkatkan kemampuan militer baik fisik seperti alat utama sistem pertahanan (alutsista) maupun non fisik

(6)

seperti doktrin militer. Tujuan dari penggunaan militer tersebut agar pihak lawan sadar akan resiko yang mereka hadapi apabila melakukan serangan. Contohnya adalah penggunaan strategi senjata nuklir Amerika Serikat. Upaya ini dilakukan oleh Amerika Serikat dengan meningkatkan jumlah senjata nuklir mereka dalam skala yang besar untuk melawan senjata nuklir yang dimiliki Uni Soviet pada saat perang dingin antara kedua negara superpower ini. Sebaliknya pun begitu, selama perang dingin Uni Soviet lebih mendekat ke arah strategi pelebaran pencegahan dalam menghadapi Amerika Serikat. Tidak hanya menempatkan pasukan di pusat pemerintahan Uni Soviet saja, tapi Uni Soviet juga berusaha melakukan pencegahan diseluruh wilayah Uni Soviet dari ancaman nuklir Amerika Serikat.

Deterrence juga bisa diartikan sebagai bentuk penolakan untuk mempercayai pihak lain dengan asumsi pihak lain tersebut justru akan memberikan kerugian yang lebih besar. Sarana yang dipergunakan untuk menjalankan kebijakan deterrence bisa berupa penggunaan senjata pemusnah massal (WMDs), kekuatan senjata konvensional, peningkatan kapabilitas militer secara umum, membentuk aliansi, sanksi ekonomi atau embargo, dan ancaman melakukan pembalasan. Dalam pandangan lain, deterrence juga diartikan sebagai dialektika yang digunakan oleh Griffiths dan O’Callaghan “Do not attack me because if you do, something unacceptably horrible will happen to you” atau dapat diartikan sebagai “jangan menyerang saya, atau akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepadamu.”3

Tujuan utama dari strategi ini adalah untuk pencegahan meningkatnya sebuah negara memiliki potensi untuk menjadi negara super power baru. Terdapat usaha untuk mencegah lawan menggunakan apa yang ingin dilakukan pihak yang lain, maksudnya adalah mencegah agar pihak lain tidak ikut-ikutan dan usaha strategi ini bertujuan untuk mencegah terjadinya permusuhan secara terbuka serta terdapat usaha untuk mengatasi ancaman-ancaman yang

(7)

didapat dari negara lain. Strategi ini juga merupakan sebuah strategi perlindungan.

Deterrence sendiri mengalami beberapa fase, diantaranya adalah dengan adanya diplomasi koersif pada tahun 1945-1962. Diplomasi koersif adalah suatu diplomasi yang dilakukan dengan cara memaksa dengan tujuan agar orang lain atau pihak lain mau melakukan sesuatu untuk dirinya. Ketika itu, negara-negara yang menikmati superioritas militer terhadap lawannya sering berpikir bahwa senjata adalah instrumen diplomasi untuk tujuan mengubah perilaku negara lain. Amerika Serikat yang merupakan negara nuklir pertama menikmati kekuatan senjata ini sampai 1949 saat Uni Soviet meledakkan percobaan nuklirnya. Setelah diplomasi koersif, fasedeterrence selanjutnya adalah Mutual Deterrence pada tahun 1962-1983. Pada saat superioritas nuklir AS mengalami erosi, para pembuat kebijakan di AS mulai mempertanyakan asumsi mereka tentang penggunaan senjata nuklir untuk instrumen politik luar negeri. Setelah krisis rudal Kuba tahun 1962 yang nyaris mendorong AS dan Uni Soviet ke arah perang nuklir, Washington memikirkan kembali penggunaan senjata berbahaya ini. Oleh sebab itulah kemudian berkembang pemikiran di Washington bahwa senjata nuklir ini dialihkan dari berpotensi dipergunakan sebagai senjata strategis menjadi senjata pencegah serangan.

Deterrence dianggap berhasil, jika strategi yang dilakukan oleh negara tersebut berhasil membuat pihak lain percaya bahwa biaya yang akan dikeluarkan jika negara tersebut menyerang akan jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan didapat.

b. Compellence

(8)

melakukan sesuatu atau menghentikan suatu tindakan yang sudah sedang dijalankan. Compellence ini dilakukan manakala deterrence sudah gagal.

Compellence sendiri merupakan sub-bidang dari deterrence yang dikembangkan oleh Scheeling (1966). Contoh compellence yang sukses adalah apa yang dilakukan oleh Presiden Kennedy terhadap Pemimpin Uni Soviet, N. Khrushchev dalam kasus Teluk Babi, Cuba tahun 1962. Berawal dari peristiwa Krisis Misil Kuba pada tahun 1962, ketika itu Krisis misil Kuba dimulai saat pesawat tanpa awak AS menemukan sejumlah misil nuklir Sovyet ditempatkan di Kuba. Seminggu kemudian, Presiden John F. Kennedy mengutuk aksi Sovyet tersebut di televisi. Kennedy juga melancarkan blokade laut atas Kuba dan mengancam akan menyerang Sovyet jika misil tersebut diluncurkan ke AS. Sebagai imbalan penarikan misil tersebut, AS setuju untuk tidak menginvasi Kuba dan akan menarik misilnya dari Turki. Namun, keputusan Khrushchev ditentang dua sekutu utamanya, Cina dan Kuba. Presiden Kuba Fidel Castro bereaksi dengan mengusir warga Amerika dari markas militer Guantanamo. Pada 20 November 1962, AS mulai mencabut blokade laut atas Kuba. Lalu, pada akhir tahun, seluruh misil nuklir Sovyet ditarik dari Kuba dan AS menarik misilnya dari Turki pada 1963. Krisis Misil Kuba bukan hanya menyelematkan dunia dari tragedi perang atom, tapi bahkan membuat AS menahan diri untuk melancarkan agresi militer di Kuba. Peristiwa krisis misil Kuba tersebut merupakan cotoh kasus compellence yang berhasil dilakukan oleh presiden John.F.Kennedy terhadap pemimpin Sovyet pada saat itu.

(9)

patuh dan mau melaksanakan kepentingan dari negara yang meng-compelnya maka keadaa tersebut dinamakan compliance.

c. Offense

Konsep ini digunakan oleh negara untuk menyerang negara lain. Konsep ini biasanya dilakukan oleh negara yang sudah memiliki perlengkapan militer yang sudah maju dan mapan. Kebanyakan negara tidak memilih untuk menerapkan strategi ini dan lebih memilih untuk menerapkan strategi defense. Dalam Cooperation Under Security Dilemma, Robert Jervis mengatakan,”jika defensive lebih menguntungkan daripada ofensif, maka lebih mudah untuk mempertahankan daripada maju, menghancurkan dan mengambil.” Lebih lanjut menurut Jervis, “When the defense has the advantage… The state that fears attack does not pre‐empt‐since that would be a wasteful use of its military resources‐but rather prepares to receive an attack.” Artinya ketika strategi defense menguntungkan negara, maka negara tersebut tidak akan lebih dulu menyerang karena menganggap bahwa penggunaan militer akan bersifat sia-sia dan lebih memilih untuk menunggu diserang.

d. Swaggering

Swaggering merupakan salah satu strategi keamanan yang dilakukan oleh suatu negara dimana negara tersebut berusaha untuk menunjukkan fasilitas militer yang mereka miliki kepada negara lain. Kegunaan dari fungsi kapabilitas militer ini berbeda dengan kegunaan dari strategi yang lain. Swaggering lebih banyak dilakukan pada situasi damai yakni dapat digunakan untuk kepentingan latihan militer, demonstrasi senjata, atau melakukan pembelian atau membangun senjata yang bermakna prestisius dengan tujuan penunjukkan egoistic. Contoh dari strategi Swaggering adalah latihan militer bersama yang dilakukan oleh Indonesia dengan Amerika Serikat dimana satu sama lain tujuannya untuk saling show off.

(10)

Dalam strategi deterrence terdapat dua jenis, yakni:

A. Primary Deterrence: Mencegah agar potensial agresor tidak menyerang Negara deterrer, atau mencegah negara sendiri agar tidak diserang oleh potensial agresor.

Contoh penerapan dari primary deterrence adalah Pembelian 58 unit lebih pesawat F-35 Joint Strike Fighters dengan harga AUD 12,4 miliar (US$ 11,6 miliar) atau sekitar Rp 127 triliun oleh Pemerintah Australia. Lewat pembelian ini, berarti Australia mempunyai 72 unit pesawat jenis tersebut. Rencananya, pesawat yang dipesan ini akan tiba pertama pada 2018, dan mulai dioperasikan 2020. Menurut Perdana Menteri Tony Abbott, Pesawat F-35 akan meningkatkan kemampuan pertahanan dan ketahanan Ausralia. Generasi kelima F-35 ini merupakan alat tempur yang paling kuat di dunia. Pembelian F-35 ini dari perusahaan produsen pesawat asal AS, Lockheed Martin.

Adapun pesawat ini sudah termasuk persenjataan, suku cadang, dan fasilitas perawatan. Lewat pembelian ini, maka Australia akan mengeluarkan dana AUSD 1,6 miliar untuk meningkatkan kapasitas basis pesawat tempurnya di Williamtown, New South Wales. Menurut data, harga satu unit pesawat F-35 Joint Strike Fighters ini adalah US$ 160 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun lebih. Pesawat ini mempunyai sejumlah kelebihan teknologi canggih, termasuk menghindar dari deteksi radar. Selain Australia, Korea Selatan juga membeli 40 unit F-35 dari Lockheed Martin tahun ini. Negara-negara yang mempunyai pesawat ini adalah Britania Raya, Kanada, Denmark, Italia, Belanda, Norwegia, dan Turki.

(11)

B. Extended Deterrence: Bukan saja mencegah agar negara sendiri tidak diserang tetapi juga mencegah agar potensial agresor tidak menyerang negara sahabat, anggota aliansi atau negara-negara dibawah pengaruh deterrer.

Contoh dari extended deterrence adalah pembentukan aliansi nato. North Atlantic Treaty Organization (NATO) merupakan pakta pertahanan negara-negara Barat yang dibentuk pada 04 April 1949 (http://www.nato.int) di Washington DC oleh 12 negara yaitu Amerika Serikat, Kanada, Belanda, Belgia, Inggris, Italia, Denmark, Islandia, Luxemborg, Norwegia, Prancis, dan Portugal. Pembentukan NATO pada masa Perang Dingin ini merupakan bentuk Kebijakan Pembendungan Amerika Serikat terhadap penyebaran komunis Soviet di daratan Eropa.

Badan tersebut didirikan dengan prinsip bahwa ancaman terhadap satu negara anggotanya, berarti ancaman bagi keseluruhan anggota NATO. Itu merupakan salah satu strategi Amerika Serikat dalam menangkal ekspansi Uni Soviet di kawasan Eropa. Pada dasarnya, nato didirikan untuk mencegah pihak “lawan” untuk melakukan serangan kepada negara-negara anggotanya, karena apabila suatu negara menyerang anggota nato maka seluruh anggota nato akan ikut membela negara yang diserang tersebut. Dengan bergabung di NATO, membuat suatu negara akan merasa lebih aman dari serangan karena pihak “lawan” pasti akan berpikir mengenai kerugian yang akan ia alami jika menyerang negara anggota NATO.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

(12)
(13)

DAFTAR PUSTAKA

Baylis, John & dkk. 2002. Strategy in the Contemporary World. Oxford University Press

Evan, Graham & Jeffrey Newnham.1998. The Penguin Dictionary of International Relations. England : ClaysLtd, St Lves plc.

Goodpaster, Andrew J & dkk. 1997. Post Cold War: Conflict Deterrence. Washington D.C : National Academy Press.

Referensi

Dokumen terkait

resminya dalam menyikapi konflik LTS, yakni Indonesia menegaskan akan tetap pada posisi sebagai penengah negara-negara yang berkonflik atau bersengketa atas kawasan itu.Indonesia

lebih lanjut tentang “Pemanfaatan Limbah Selulosa Dalam Kulit Durian (Durio zibethinus) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol Melalui Proses Fermentasi Saccharomyces

Kesehatan Provinsi/ Kabupaten/ Kota.. 7 Sosialisasi hasil pelaksanaan program terpilih terkait upaya pencegahan dan pengendalian konsumsi rokok dan produk tembakau lainnya,

Maka dari itu Nagari harus kembali kepada hak asal usul/ atau hak tradisional, sesuai dengan tuntutan UUD 1945 pasal 18 jika kita ingin mengembalikan hak adat, budaya, dan

Konsep partisipasi kaitannya dengan implementasi program RSBI di SMA 1 Salatiga ini bisa diartikan sebagai keterlibatan stake holder (kepala sekolah, guru/ staf

Kejarlah apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan hanya kepada Allah Jangan mudah menyerah dan jangan pernah berkata “Kalau saja aku melakukan begini, Pasti aku akan

Dalam konteks yang sedikit berbeda sabar juga dapat ditunjukan oleh orang tua dimana situasi ini akan membuat keadaan menjadi lebih baik dalam mendidi anak di rumah.. Menghadapi

(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Badung Nomor 14 tahun 1982 tentang Larangan Mendirikan Bangun – Bangunan pada