• Tidak ada hasil yang ditemukan

hubungan internasional politik luar nege

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "hubungan internasional politik luar nege"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam mempelajari politik luar negeri, pengertian dasar yang harus kita ketahui yaitu politik luar negeri itu pada dasarnya merupakan “action theory”, atau kebijakasanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Secara pengertian umum, politik luar negeri (foreign policy) merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia internasional. Suatu komitmen yang pada dasarnya merupakan strategi dasar untuk mencapai suatu tujuan baik dalam konteks dalam negeri dan luar negeri serta sekaligus menentukan keterlibatan suatu negara di dalam isu-isu internasional atau lingkungan sekitarnya.

Salah satu cara untuk memahami konsep politik luar negeri adalah dengan jalan memisahkannya ke dalam dua komponen: politik dan luar negeri. Politik (policy) adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman untuk bertindak, atau seperangkat aksi yang bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Policy itu sendiri berakar pada konsep “pilihan (choices)”: memilih tindakan atau membuat keputusan-keputusan untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan gagasan mengenai kedaulatan dan konsep “wilayah” akan membantu upaya memahami konsep luar negeri (foreign). Kedaulatan berarti kontrol atas wilayah (dalam) yang dimiliki oleh suatu negara. Jadi, politik luar negeri (foreign policy) berarti seperangkat pedoman untuk memilih tindakan yang ditujukan ke luar wilayah suatu negara.

(2)

dalam negeri suatu negara (domestik) dan aspek internasional (eksternal) dari kehidupan suatu negara. Karena itu studi politik luar negeri tidak dapat menisbikan struktur dan proses baik dari sistem internasional (lingkungan eksternal) maupun dari sistem politik domestik.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah: 1. Apa yang dimaksud dengan politik luar negeri?

2. Bagaimana kasus politik luar negeri Indonesia pada zaman Soekarno? 3. Bagaimanakah kasus politik domestik dan dampak yang terjadi pada

politik luar negeri Indonesia?

BAB II

STUDI KASUS POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DAN STUDI KASUS POLITIK DOMESTIK ERA SOEKARNO

A. Pengertian Politik Luar Negeri Indonesia

(3)

hakikatnya merupakan hasil perpaduan dan refleksi dari kondisi dalam negeri yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi internasional. Demikian pula halnya politik luar negeri Indonesia tidak terlepas dari pengaruh factor internal dan factor eksternal yang berkembang sesuai dengan dinamikanya yang terjadi. Posisi geografis strategis yang berada dipersilangan dua samudra dan dua benua, susunan demografis dan sistem sosial politik yang dianut antara lain merupakan aspek-aspek dari faktor dalam negeri yang mempengaruhi cara pandang dan cara Indonesia memposisikan diri dalam percaturan tata hubungan internasional. Sebaliknya, dalam rangka melaksanakan diplomasi global untuk mendukung kepentingan nasionalnya, Indonesia juga perlu untuk selalu mengamati dan menyesuaikan politik luar negerinya dengan berbagai perubahan dan perkembangan yang terjadi di berbagai belahan dunia, baik yang secara langsung maupun tidak langsung telah mempengaruhi tata hubungan antarnegara dan pandangan masing-masing Negara terhadap Indonesia.

(4)

kerjasama diantaranya adalah kerjasama bilateral, trilateral, regional dan multilateral.

Tujuan dari kebijakan luar negeri sebenarnya merupakan fungsi dari proses dimana tujuan negara disusun. Tujuan tersebut dipengaruhi oleh sasaran yang dilihat dari masa lalu dan aspirasi untuk masa yang akan datang. Tujuan kebijakan luar negeri dibedakan atas tujuan jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Pada dasarnya tujuan jangka panjang kebijakan luar negeri adalah untuk mencapai perdamaian, keamanan, dan kekuasaan. Sementara itu Plano berpendapat bahwa setiap kebijakan luar negeri dirancang untuk menjangkau tujuan nasional. Tujuan nasional yang hendak dijangkau melalui kebijakan luar negeri merupakan formulasi konkret dan dirancang dengan mangaitkan kepentingan nasional terhadap situasi internasional yang sedang berlangsung serta power yang dimiliki untuk mengjangkaunya. Tujuan dirancang, dipilih, dan ditetapkan oleh pembuat keputusan dan dikendalikan untuk mengubah kebijakan (revisionist policy) atau mempertahankan kebijakan (status quo policy) ihwal kenegaraan tertentu di lingkungan internasional.

Tujuan politik luar negeri dapat dikatakan sebagai citra mengenai keadaan dan kondisi di masa depan suatu negara dimana pemerintah melalui para perumus kebijaksanaan nasional mampu meluaskan pengaruhnya kepada negara-negara lain dengan mengubah atau mempertahankan tindakan negara lain. Ditinjau dari sifatnya, tujuan politik luar negeri dapat bersifat konkret dan abstrak. Sedangkan dilihat dari segi waktunya, tujuan politik luar negeri dapat bertahan lama dalam suatu periode waktu tertentu dan dapat pula bersifat sementara, berubah sesuai dengan kondisi waktu tertentu (Elisabeth, 2011:23)

B. Kasus Ganyang Malaysia

(5)

ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap pembentukan Federasi Malaysia yang sekarang dikenal : Malaysia sebagai "boneka Inggris" merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia.

Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya, Federasi Malaya dengan membentuk Federasi Malaysia. Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia, Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.

(6)

“Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.”

Demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur yang berlangsung tanggal 17 September 1963, berlaku ketika para demonstran yang sedang memuncak marah terhadap Presiden Soekarno yang melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia dan juga karena serangan pasukan militer tidak resmi Indonesia terhadap Malaysia. Ini mengikuti pengumuman Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963. Selain itu pencerobohan sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase pada 12 April berikutnya. Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesia yang menginjak-injak lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia. Soekarno memproklamasikan gerakan Ganyang Malaysia melalui pidato dia yang sangat bersejarah, berikut ini:

Kalau kita lapar itu biasa Kalau kita malu itu djuga biasa

Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang adjar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan, kita hadjar tjetjunguk Malayan itu! Pukul dan sikat djangan sampai tanah dan udara kita diindjak-indjak oleh Malaysian keparat itu

Doakan aku, aku bakal berangkat ke medan djuang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang enggan diindjak-indjak harga dirinja

(7)

tundjukkan bahwa kita masih memiliki gigi dan tulang jang kuat dan kita djuga masih memiliki martabat

Yoo...ayoo... kita... Ganjang... Ganjang... Malaysia

Ganjang... Malaysia Bulatkan tekad Semangat kita badja Peluru kita banjak Njawa kita banjak Bila perlu satu-satu!

Sukarno

Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei 1964 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:

1. Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia

2. Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan

Sabah, untuk menghancurkan Malaysia

(8)

membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.

Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan. Pasukan Indonesia dan pasukan tidak resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil. Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengoordinasi kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebagai Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO, AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.

Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service (SAS). Tercatat sekitar 2000 pasukan Indonesia tewas dan 200 pasukan Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara Kalimantan.

(9)

terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan membunuh pasukan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Selandia Baru dan menumpas juga Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor. Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap, Soekarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif. Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.

Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalui perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (lihat Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada 1996. Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya.

Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary. Dan Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.

(10)

domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda. Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, meski diwarnai dengan keberatan Soekarno (yang tidak lagi memegang kendali pemerintahan secara efektif), Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik dan normalisasi hubungan antara kedua negara. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.

Berakhirnya gejolak ini, disertai juga Singapura yang telah lepas dari Federasi Malaysia dan kejadian tersebut seharusnya menjadi kemenangan besar bagi Soekarno, karena proyek Gayang Malaysia yang digulirkan sejak awal tahun 1963 sudah menyebabkan Brunai tidak ikut dalam Federasi Malaysia dan kemudian Singapura dikeluarkan dari Malaysia (Darmawan, 2008: 114)

C. Konflik Pembebasan Irian Barat

Bentuk perjuangan yang dijalankan pemerintah cenderung menerapkan upaya diplomasi untuk menyelesaikan konfliknya dengan penjajah. Namun, karena watak penjajah yang selalu ingkar janji, maka kesepakatan pun tidak terlaksana. Demikian juga dengan perjuangan diplomasi yang dilakukan bangsa Indonesia untuk membebaskan Irian Barat. Sesuai isi KMB, Irian Barat akan diserahkan oleh Belanda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan RIS. Namun, pada kenyataannya lebih dari satu tahun pengakuan kedaulatan Indonesia, Belanda tidak kunjung menyerahkan Irian Barat pada Indonesia. Bahkan pada tahun 1952, Belanda memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda. Padahal, sebelumnya Indonesia berupaya melakukan pendekatan bilateral dengan Belanda dalam penyelesaian masalah Irian Barat sejak masa Kabinet Natsir. Akhirnya, Indonesia membawa masalah Irian Barat ke forum PBB pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo I dan dilanjutkan pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap. Namun upaya ini tidak membawa hasil.

(11)

darah Indonesia ....” Sedangkan Irian Barat adalah bagian mutlak dari tumpah darah Indonesia. Oleh karena berbagai upaya diplomasi tidak berhasil, pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk menempuh sikap keras melalui konfrontasi total terhadap Belanda.

Pada tahun 1956, Indonesia secara sepihak membatalkan hasil KMB dan secara otomatis membubarkan Uni Indonesia Belanda. Melalui UU No. 13 Tahun 1956 tanggal 3 Mei 1956, Indonesia menyatakan bahwa Uni Indonesia–Belanda tidak ada. Pada 18 November 1957, diadakan rapat umum pembebasan Irian Barat di Jakarta. Rapat tersebut mendorong seluruh rakyat Indonesia untuk mendukung kebijakan yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam upaya merebut Irian Barat. Para buruh Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda melakukan mogok massal yang diikuti oleh pemboikotan berbagai media massa dan film-film buatan Belanda. Akhirnya pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap berbagai perusahaan Belanda yang ada di Indonesia pada tahun 1957, seperti Bank Escompto, perusahaan Philips dan KLM, serta percetakan de Uni.

Untuk mencegah tindakan anarki dan untuk menampung keinginan rakyat banyak, maka Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal Nasution selaku Penguasa Perang Pusat memutuskan untuk mengambil alih semua perusahaan Belanda, dan kemudian menyerahkannya kepada pemerintah. Pada 17 Agustus 1960, Indonesia secara sepihak memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda yang diikuti oleh pemecatan seluruh warga negara Belanda yang bekerja di Indonesia. Kemudian pemerintah Indonesia mengusir semua warga negara Belanda yang tinggal di Indonesia dan memanggil pulang duta besar serta para ekspatriat Indonesia yang ada di Belanda. Menghadapi konfrontasi Indonesia tersebut, ditanggapi Belanda dengan mempersiapkan pembentukan negara Papua serta segala kelengkapannya seperti lagu kebangsaan dan bendera. Untuk menandingi pembentukan negara Papua, pemerintah RI membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibu kota di Soasiu (Tidore).

(12)

negeri. Pembelian senjata itu dilakukan ke negara Moskow, India, Pakistan, Thailand, Filipina, Australia, Selandia baru, Jerman, Prancis, dan Inggris. Mengetahui usaha yang dilakukan oleh Indonesia tersebut, Belanda mulai menyadari bahwa bila Irian Barat tidak diserahkan secara damai kepada Indonesia, maka Indonesia akan membebaskannya dengan kekuatan militer.

Menghadapi persiapan-persiapan Indonesia itu, Belanda mengajukan protes kepada PBB dengan menuduh Indonesia melakukan agresi, selanjutnya PBB memperkuat kedudukannya di Irian Barat dengan mendatangkan bantuan dan mengirimkan kapal perangnya ke perairan Irian Barat, di antaranya kapal induk Karel Doorman. Puncak konfrontasi Indonesia terhadap Belanda terjadi saat Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) pada tanggal 19 Desember 1961 di Jogjakarta. Adapun isi Trikora adalah sebagai berikut.

1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda kolonial. 2. Kibarkan sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia.

3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Untuk melaksanakan Trikora, pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden/Pangti ABRI/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan keputusan Nomor 1 Tahun 1962 untuk membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Baratdi Makassar (Ujung Pandang). Komando Mandala bertugas untuk berikut ini.

1. Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi-operasi militer dengan tujuan mengembalikan wilayah Provinsi Irian Barat ke dalam kekuasaan negara Republik Indonesia.

(13)

Komando Mandala merencanakan operasi-operasi pembebasan Irian Barat dalam tiga fase, yaitu sebagai berikut.

1. Fase Infiltrasi

Fase ini berlangsung sampai akhir 1962. Pada fase ini usaha pembebasan wilayah Irian Barat melibatkan rakyat dalam perjuangan fisik. Perjuangan pembebasan Irian Barat adalah perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Di mana-mana dibentuk kesatuan-kesatuan sukarelawan seperti di kantor-kantor, sekolah-sekolah, organisasi-organisasi, dan sebagainya. Sebagian dari para sukarelawan tersebut bersama-sama dengan ABRI turut serta dalam operasi infiltrasi.

2. Fase Eksploitasi

Fase ini dimulai awal 1963 dengan dilakukan serangan terbuka terhadap lawan untuk menduduki pos-pos pertahanan musuh yang penting.

3. Fase Konsolidasi

Fase ini terjadi awal 1964, di mana mulai ditegakkannya kekuasaan Republik Indonesia di seluruh wilayah Irian Barat. Antara bulan Maret sampai bulan Agustus 1962 oleh Komando Mandala dilakukan serangkaian operasi-operasi pendaratan melalui laut dan penerjunan dari udara di daerah Irian Barat. Operasi-operasi infiltrasi tersebut berhasil mendaratkan pasukan-pasukan ABRI dan sukarelawan di berbagai tempat di Irian Barat. Antara lain Operasi Banteng di Fak-Fak dan Kaimana, Operasi Srigala di sekitar Sorong dan Teminabuan, Operasi Naga dengan sasaran Merauke, serta Operasi Jatayu di Sorong, Kaimana, dan Merauke.

Sementara itu mulai disusun suatu rencana serangan terbuka merebut Irian Barat sebagai suatu operasi penentuan yang dinamai Operasi Jayawijaya. Untuk melaksanakan operasi operasi tersebut Angkatan Laut Mandala di bawah pimpinan Kolonel Soedomo membentuk Angkatan Tugas Amphibi 17, terdiri atas tujuh gugus tugas, sedangkan Angkatan Udara membentuk enam kesatuan tempur baru.

(14)

infiltrasi dari pihak kita berhasil yang antara lain terbukti dengan jatuhnya Teminabuan ke tangan pasukan Indonesia, maka Belanda bersedia untuk duduk pada meja perundingan guna menyelesaikan sengketa Irian. Dan dunia luar pun yang dulunya mendukung posisi Belanda di forum PBB mulai mengerti bahwa Indonesia tidak main-main.

Sementara itu Pemerintah Kerajaan Belanda sedikit banyak mendapat tekanan dari pihak Amerika Serikat untuk berunding, untuk mencegah terseretnya Uni Soviet dan Amerika Serikat ke dalam suatu konfrontasi langsung di Pasifik Barat-daya di mana masing-masing pihak memberi bantuan kepada pihak yang lain diantara yang bersengketa, yaitu Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda.

Dengan demikian pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani suatu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New York, yang terkenal dengan Perjanjian New York. Adapun isi dari Perjanjian New York adalah sebagai berikut.

1. Kekuasaan Belanda atas Irian Barat berakhir pada 1 Oktober 1962. 2. Irian Barat akan berada di bawah perwalian PBB hingga 1 Mei 1963

melalui lembaga UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) yang dibentuk PBB.

3. Pada 1 Mei 1963, Irian Barat akan diserahkan kepada pemerintah Indonesia.

4. Pemerintah Indonesia wajib mengadakan penentuan pendapat rakyat (pepera) Irian Barat untuk menentukan akan berdiri sendiri atau tetap bergabung dengan Indonesia, pada tahun 1969 di bawah pengawasan PBB.

(15)

Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian sebelum akhir tahun 1969, dengan ketentuan bahwa: kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda, akan menerima hasil-hasilnya.

Selanjutnya untuk menjamin keamanan di wilayah Irian Barat, PBB membentuk pasukan keamanan yang dinamakan United Nations Security Forces (UNSF) di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Said Udin Khan dari Pakistan. Sesuai dengan Persetujuan New York, pada tanggal 1 Mei 1963 kekuasaan pemerintahan atas Irian Barat dari UNTEA diserahkan kepada Indonesia. Dengan kembalinya Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, maka Komando Mandala juga dibubarkan. Operasi terakhir yang dilaksanakan oleh Komando Mandala untuk menyelenggarakan penyerahan kekuasaan pemerintahan Irian Barat dari UNTEA kepada pemerintah RI adalah Operasi Wisnumurti.

(16)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Politik luar negeri suatu Negara pada hakikatnya merupakan hasil perpaduan dan refleksi dari kondisi dalam negeri yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi internasional. Demikian pula halnya politik luar negeri Indonesia tidak terlepas dari pengaruh factor internal dan factor eksternal yang berkembang sesuai dengan dinamikanya yang terjadi. Posisi geografis strategis yang berada dipersilangan dua samudra dan dua benua, susunan demografis dan sistem sosial politik yang dianut antara lain merupakan aspek-aspek dari faktor dalam negeri yang mempengaruhi cara pandang dan cara Indonesia memposisikan diri dalam percaturan tata hubungan internasional.

(17)

tersebut terbentuk maka akan dikhawatirkan Malaysia menjadi boneka dari Inggris. Dan tentu saja Indonesia sangat mengkhawatirkan keamanan Indonesia. Sangat disayangkan, konflik ini pada akhirnya dimenangkan oleh Malaysia atas dukungan dari Inggris. Namun tidak begitu disesalkan oleh Soekarno karena Brunai dan Singapura tidak ikut bergabung dalam Malaysia.

Pembebasan Irian Barat merupakan upaya untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Berbagai cara dilakukan Indonesia untuk mendapatkan kembali wilayahnya, baik cara diplomasi maupun peperangan. Pada awalnya Indonesia mengadakan cara diplomasi terhadap Belanda, namun cara itu tidak membuat Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia. Maka dari itu Indonesia menyatakan perang terhadap Belanda. Menghadapi persiapan-persiapan Indonesia itu, Belanda mengajukan protes kepada PBB dengan menuduh Indonesia melakukan agresi, selanjutnya PBB memperkuat kedudukannya di Irian Barat dengan mendatangkan bantuan dan mengirimkan kapal perangnya ke perairan Irian Barat, di antaranya kapal induk Karel Doorman. Puncak konfrontasi Indonesia terhadap Belanda terjadi saat Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) pada tanggal 19 Desember 1961 di Jogjakarta. Berkat perjanjian New York, akhirnya Indonesia mendapatkan kembali wilayah Irian Barat dan ini artinya hubungan diplomatic Indonesia-Belanda sudah membaik.

B. Saran

(18)

Referensi

Dokumen terkait