• Tidak ada hasil yang ditemukan

Utopia Teori 5 Prinsip Kinerja Media

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Utopia Teori 5 Prinsip Kinerja Media"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Utopia Teori 5 Prinsip Kinerja Media

(Studi Hubungan Media dan Masyarakat terkait Konsumsi Berita Politik 2014 dan Tarik Menarik Kepentingan Pemilik Media dalam Framing Pemberitaan Politik 2014)

Dini Safitri

Jurusan Ilmu Sosial Politik, FIS UNJ, Jakarta mynameisdinisafitri@yahoo.com

Abstract

Entering politics in 2014, an increase in consumption by the public media, especially regarding political news. The increase was also due to the incessant media raised concerning political news. What's more,

in this election, many media owners who go directly into politics. This phenomenon makes media consumption trends in 2014, more towards political news. And interestingly, the trend talks political news from the mainstream media, then continue into social media, or vice versa, from social media, then raised to the mainstream media. Where, one trend that is becoming the talk, is the pull of the

interests of media owners who further highlight the framing of news that can push his political opponents and increase the positive news about yourself and party supporters. Based on the Five Principles of Performance Media, namely: freedom, equality, diversity, truth and quality of information,

social order and solidarity, these five principles seem like utopia. News that there is a construction that results are not free from media owners. News raised not have equality in the selection of the language,

let alone the duration or length of the column. Protrusion of a certain figure with all aspects of the advantages and disadvantages, too in exposure with the same technique and repetitive, so there is no

diversity news. Truth and the quality of information in the political news raises a big question mark, because the news often that one gets a rebuttal of partisan media of political opponents. Social order

and solidarity as the long-term effects are idealized into a utopia, since there is bullying behavior and increasingly widespread, as produced by the media. No effect of consumption of media, the media can

not work in these five principles, and media literacy programs (if any), not to train users of media to "read the media," especially to "read the judgment of the media".

Keywords: Theory of Media and Society, Media Management, Political News Consumption 2014

Abstrak

Memasuki tahun politik 2014, terjadi peningkatan konsumsi media oleh masyarakat, khususnya mengenai berita politik. Peningkatan tersebut juga disebabkan karena gencarnya media mengangkat berita mengenai politik. Terlebih lagi, dalam pemilu kali ini, banyak pemilik media yang terjun langsung

ke politik. Fenomena ini membuat tren konsumsi media 2014, lebih banyak kearah berita politik. Dan menariknya, tren pembicaraan berita politik dari media mainstream, kemudian berlanjut ke sosial media, atau sebaliknya, dari sosial media, kemudian diangkat ke media mainstream. Dimana, salah satu

tren yang menjadi pembicaraan, adalah mengenai tarik menarik kepentingan pemilik media yang lebih menonjolkan framing berita yang memojokan lawan politiknya dan memperbesar berita positif tentang

diri dan partai pendukungnya. Berdasarkan Lima Prinsip Kinerja Media, yaitu: kebebasan, kesetaraan, keberagaman, kebenaran dan kualitas informasi, tatanan sosial dan solidaritas, tampaknya lima prinsip

ini seperti utopia. Berita yang ada adalah hasil konstruksi yang tidak bebas dari pemilik media. Berita yang diangkat tidak memiliki kesetaraan dalam pemilihan bahasa, apalagi durasi atau panjang kolom.

Penonjolan sosok tertentu dengan segala aspek kelebihan maupun kekurangan, terlalu di eksposure dengan teknik yang sama dan berulang-ulang, sehingga tidak terjadi keberagaman berita. Kebenaran dan kualitas informasi dalam berita politik menimbulkan tanda tanya yang besar, karena acapkali berita

(2)

sebagai efek jangka panjang yang idel menjadi utopia, karena perilaku bullying ada dan semakin marak, karena diproduksi sendiri oleh media. Efek yang ada dari konsumsi media, media belum bisa bekerja dalam lima prinsip tersebut, dan program melek media (kalaupun ada), belum melatih pengguna media

untuk "membaca media," apalagi untuk "membaca penghakiman media".

Kata Kunci: Teori Media dan Masyarakat, Manajemen Media, Konsumsi Berita Politik 2014

PENDAHULUAN

Memasuki tahun politik 2014, terjadi peningkatan konsumsi media oleh masyarakat, khususnya mengenai berita politik. Peningkatan tersebut juga disebabkan karena gencarnya media mengangkat berita mengenai politik. Terlebih lagi, dalam pemilu kali ini, banyak pemilik media yang terjun langsung ke politik. Fenomena ini membuat tren konsumsi media 2014, lebih banyak kearah berita politik. Dan menariknya, tren pembicaraan berita politik dari media mainstream, kemudian berlanjut ke sosial media, atau sebaliknya, dari sosial media, kemudian diangkat ke media mainstream. Dimana, salah satu tren yang menjadi pembicaraan, adalah mengenai tarik menarik kepentingan pemilik media yang lebih menonjolkan framing berita yang memojokan lawan politiknya dan memperbesar berita positif tentang diri dan partai pendukungnya.

Setelah pemilihan legislatif usai, berlanjut kepada pemilihan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres). Ternyata, gambaran informasi yang ada dimedia, jauh dari lima prinsip kinerja media. Hal ini bukan saja menyangkut keikutsertaan pemilik media yang terjun ke politik, tapi bias kepentingan dari media itu sendiri. Sulit sekali mencari media yang netral, bahkan dapat dikatakan tidak ada. Padahal, bila kita kembali kepada teori media massa, berdasarkan Lima Prinsip Kinerja Media, yaitu: kebebasan, kesetaraan, keberagaman, kebenaran dan kualitas informasi, tatanan sosial dan solidaritas, tampaknya lima prinsip ini seperti utopia.

Utopia, menurut kamus bahasa Indonesia, berartisist em sosial polit ik yang sem pu rna yang hany a ada dalam bayangan ( khayalan) dan sulit at au t idak m ungkin diw uj udkan dalam kenyat aan: kit a t idak

m enghendaki1. Sem ent ara it u, ist ilah Ut opia pert am a kali diam bil dari j udul buku yang dit ulis t ahun

1516, oleh Sir Thom as Mor e. Dalam buku Ut opia, penulis m enj elaskan t ent ang sebuah pulau fiksi di

sam udera at lant ik, m em iliki sist em hukum , sosial, dan polit ik yang sem purna. Kem udian ist ilah ini

dipakai unt uk m enyat akan sebuah m asyarakat yang beru saha m encipt akan m asy arak at ideal , baik dalam sistem sosial, politik, dan penerapan hukumnya. Sebuah negeri indah yang bernama Utopia. Di negeri itu digambarkan alat-alat produksinya dikuasai oleh umum dan penduduknya menjunjung tinggi perihal kemanusiaan, kesusilaan, dan kebajikan2. Pertanyaannya, bagaimana penerapan teori media

1http://kamusbahasaindonesia.org/utopia/mirip

2More, Thomas (2002). George M. Logan and Robert M. Adams (eds.), ed.Utopia. Raymond Geuss and Quentin Skinner (series

(3)

massa dari lima prinsip kinerja media di pilpres 2014 ini? Apakah realisasi penerapannya hanya utopia saja?

Seperti kita ketahui, berita yang ada, adalah hasil konstruksi yang tidak bebas dari media. Berita yang diangkat tidak memiliki kesetaraan dalam pemilihan bahasa, apalagi durasi atau panjang kolom. Penonjolan sosok tertentu dengan segala aspek kelebihan maupun kekurangan, terlalu di eksposure dengan teknik yang sama dan berulang-ulang, sehingga tidak terjadi keberagaman berita. Kebenaran dan kualitas informasi dalam berita politik menimbulkan tanda tanya yang besar, karena acapkali berita yang satu mendapat bantahan dari media partisan dari lawan politik. Tatanan sosial dan solidaritas sebagai efek jangka panjang yang idel menjadi utopia, karena perilaku bullying ada dan semakin marak, karena diproduksi sendiri oleh media. Efek yang ada dari konsumsi media, media belum bisa bekerja dalam lima prinsip tersebut, dan program melek media (kalaupun ada), belum melatih pengguna media untuk "membaca media," apalagi untuk "membaca penghakiman media".

TINJAUAN TEORI/KAJIAN

Perkembangan media massa dipengaruhi beragam faktor yang menentukan bagaimana penampilan dan kinerja media massa secara umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi media massa berkisar pada semua aspek termasuk struktur dan kinerja media. Menurut McQuail (2010) media massa memiliki setidaknya lima prinsip yang mempengaruhi kinerja media massa tersebut, yaitu (1) Prinsip Kebebasan, (2) Kesetaraan, (3) Keragaman, (4) Kebenaran dan kualitas informasi, (5) tatanan sosial dan solidaritas.

Media Freedom as a Principle / Prinsip Kebebasan Media

Kebebasan adalah kondisi dari kinerja yang diterapkan terutama kepada struktur media. Kebebasan disini dibedakan menjadi dua yaitu kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Kebebasan berekspresi artinya adalah hak yang lebih luas dan merujuk pada konten dari apa yang dikomunikasikan (opini, ide, informasi, seni, dan sebagainya), sementara pers merujuk pada satu wadah utama, alat, atau kendaraan untuk menjalankan publikasi. Publik mendapat keuntungan dari kebebasan tersebut, antara lain dengan perannya sebagai pengamat yang sistematis dan independen terhadap pemilik kekuasaan (watchdog), stimulasi sistem dan kehidupan sosial demokratis yang aktif dan memiliki informasi, kesempatan untuk mengungkapkan ide, mendorong pembaruan dan perubahan budaya dan masyarakat secara berkelanjutan, serta meningkatnya jumlah dan variasi kebebasan dalam berbagai aspek yang bisa dilaksanakan.

(4)

Pada jenjang organisasi media, kebebasan biasanya dinilai berdasarkan kadar kontrol yang disajikan oleh para pemilik media terhadap para komunikator (penyunting, produsen, dan lain-lain), serta kontrol yang dikenakan oleh pada komunikator sendiri terhadap pada bawahannya (wartawan, pengarang, seniman, dan lain-lain) dalam wadah organisasi yang seringkali bersifat birokratis dan hirarkis. Sehubungan dengan isi media, seringkali terwujud dalam bentuk penghapusan berita (sensor) tertentu sehingga mengakibatkan perbedaan antara isi suntingan dengan apa yang diberikan oleh sumber. Prinsip ini setidaknya memberi harapan bahwa media akan mampu melakukan berbagai upaya aktif untuk menciptakan dan memelihara suasana independen serta menolak kontrol eksternal yang dipaksakan atau konformitas dengan kelompok yang mementingkan diri sendiri.

Media Equality as a Principle/ Prinsip Kesetaraan dalam Bermedia.

Kesetaraan dalam bermedia ini bermakna cukup luas. Dalam penjabaran umum, kesetaraan ini bisa berarti organisasional dimana dalam pengelolaan media sebagai suatu organisasi tidak ada intervensi dari pihak luar. Bisa pula bermakna, dalam halcontentmedia tidak ada campur tangan dari pihak luar yang bisa mempengaruhi isi dari media tersebut. Dengan kondisi seperti ini, dapat dikatakan semua pihak, baik dalam kondisi seperti apapun tidak mempunyai perbedaan dalam media. Prinsip objektivitas dalam media yang menonjol pada prinsip kesetaraan ini. (McQuails, 2010 : 195)

Prinsip kesetaraan ini sebagai suatu konsep dalam kriteria penampilan media mempunyai korelasi paling tidak dengan tiga elemen yang membangun media, yaitu akses terhadap media yang bersangkutan, keberagaman yang muncul, serta masalah objektivitas. Dalam hal akses, kesetaraan menawarkan suatu kondisi proporsional dimana media bersikap terbuka dan memperbolehkan siapapun mengakses, dalam arti tidak bermaksud mengintervensi ataupun membuat media berpihak pada pihak-pihak tertentu. Kesetaraan dalam kacamata keberagaman menawarkan niatan untuk perubahan menjadi sesuatu yang lebih baik dan memperkaya informasi yang beredar dalam masyarakat karena adanya akses yang sama. Sedangkan objektivitas mempertaruhkan media dalam kondisi sebagai penyampai kebenaran yang adil dan tidak berpihak kepada siapapun.

Media Diversity as a Principle/ Prinsip Keanekaragaman.

(5)

Pada level masyarakat secara umum, keanekaragaman ini biasanya diukur dengan melihat jumlah media independen yang ada dalam masyarakat. Semakin banyak media independen yang dapat dilihat dan dihitung, maka semakin baik pula keberagaman yang ada dalam masyarakat kita. Secara lebih jauh, keanekaragaman ini akan meminimalisir monopoli media, yang secara prinsip ditentang oleh prinsip keanekaragaman yang dijelaskan McQuails ini. Dalam kondisi makro, keanekaragaman selayaknya tidak hanya dilihat dari jumlah media independen dan tidak independen saja. Keanekaragaman ini juga bisa dilihat melalui semua jenis media yang ada (media cetak seperti koran dan majalah, radio, televisi, internet), sektor media yang dituju, maupun segmentasi dari media. Sedangkan dalam level mikro, keanekaragaman media ini bisa dilihat dari karakter tiap-tiap media seperti melihatcontentmedia, berapa jumlah judul yang muncul dengan tipikal tulisan yang seperti apa.

Keanekaragaman yang muncul dalam media mempunyai dua subprinsip keanekaragaman. Yang pertama keanekaragaman refleksif, mengandung pengertian bahwa keanekaragaman media harus merupakan pencerminan keanekaragaman masyarakat secara proporsional. Yang kedua adalah akses yang terbuka, mengandung makna bahwa semua pandangan dan sektor dalam masyarakat dianggap sama. Keanekaragaman yang muncul karena adanya media, seringkali dipandang sebagai sesuatu yang positif karena merupakan suatu wujud dari kebebasan bermedia yang telah terjadi. Keanekaragaman menjadi gambaran beragamnya informasi yang akan mungkin diakses oleh masyarakat.

B. Situasi dan kondisi media massa (konvensional) di Indonesia bila ditinjau dari prinsip kebebasan belumlah ideal seperti ide awal McQuail pada tabel berikut ini:

Tabel B.1 Keuntungan Publik dari Prinsip Kebebasan Media

(6)

Point nomer dua, rangsangan pada sistem demokrasi sudah sangat baik terjadi di Indonesia, tapi ini terjadi bukan karena peranan media konvensinal seperti TV, Radio, Koran dan Majalah, tapi karena peranan media baru seperti blog, dan jejaring sosial lainnya yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk bebas mengemukakan pendapat dan opininya terhadap pemberitaan yang beredar di media konvensional. Dalam jejaring sosial ini, masyarakat bebas berpendapat tanpa adanya sensor, kecuali self sensor dari masyarakat itu sendiri.

Point nomer 3 dan 4 juga lebih banyak diberikan oleh media baru, daripada media konvensional. Media konvensional hanya dijadikan sumber inspirasi masyarakat untuk lebih mengembangkan aktualisasi dirinya, namun kemudian penyalurannya berada di media baru. Sebagai contoh: kasus korupsi yang melibatkan politisi partai informasinya di dapatkan dari media konvensional, namun tempat untuk mengekpresikan ide terhadap kasus tersebut dituangkan publik pada jejaring sosial, sehingga pembaharuan dan perubahan budaya yang mengedepankan kebebasan berpendapat dapat terjadi karena terjadinya sinergi fungsional antara media konvensional dan media baru. Maka, point nomer 5 akan terjadi bila ada disinergi dinamis antara media konvensional sebagai sumber informasi dan media baru sebagai media keragaman kebebasan, karena di media baru kebebasan untuk bicara pro atau kontra terhadap apapun tidak ada sekat atau batas. Sebagai contoh korupsi yang melibatkan politisi partai membuat PKS menjadi partai yang paling banyak dibicarakan di sosial media, terkait keberagaman kebebasan. Masyarakat bebas menulis antara tulisan PKS lovers dengan PKS haters, dimana kedua kubu dalam memberikan argumentasi sebagian besar mengacu pada pemberitaan di media konvensional dan media baru dalam bentuk situs pemberitaan media online.

(7)

Bagan B.1 Sturktur dan Performa Prinsip Kesetaraan dalam Media.

Sementara itu, Situasi dan kondisi media massa (konvensional) di Indonesia bila ditinjau dari prinsip keberagaman, dari segi jumlah dirasakan sudah sangat beragam, dari tahun 1998-2000 saja tercatat hampir 1.000 perusahaan media yang mendapatkan izin terbit dari pemerintah, kendati hanya sedikit perusahaan media yang bisa bertahan sebab terjadi kompetisi bisnis yang sangat ketat. Jumlah media cetak pada awal tahun 1999 sebanyak 289 buah, dan pada tahun 2001 menjadi 1.881 buah. Akhir tahun 2010, jumlah media cetak menyusut menjadi 1.076 buah (Data Serikat Penerbit Surat Kabar, 2011). Pada tahun 2002, jumlah stasiun radio mencapai 873 buah. Pada tahun 2003, ada 11 stasiun televisi, 186 surat kabar harian, 245 surat kabar mingguan, 279 tabloid, 242 majalah dan 5 buletin (Gobel and Eschborn, 2005). Sayangnya dari segi jumlah kepemilikan, ternyata media tersebut hanya dimiliki oleh sejumlah pemilik, setidaknya ada 13 pemilik berbagai perusahaan media massa konvensional dan media online di Indonesia.

No Pemilik Grup Media Kepemilikan

1 Hary Tanoesoedibjo MNC Group 20 stasiun televisi, 22 stasiun radio, 7 media cetak dan 1 mediaonline

2 Jacob Oetamo Kompas

Gramedia Group

10 stasiun televisi, 12 stasiun radio, 89 media cetak dan 2 media online

3 Eddy Kusnadi Sariaatmadja

Elang Mahkota Teknologi

3 stasiun televisi dan 1 mediaonline

4 Abdul Gani dan Erick Tohir Mahaka Media 2 stasiun televisi, 19 stasiun radio, dan 5 media cetak

5 Chairul Tanjung CT Group 2 stasiun televisi, 1 mediaonline

6 James Riady Beritasatu

Media Holdings

2 stasiun televisi, 10 media cetak dan 1 media online

7 Surya Paloh Media Group 1 stasiun televisi dan 3 media cetak

(8)

9 Dahlan Iskan dan Azrul Ananda

Jawa Pos Group 20 stasiun televisi, 171 media cetak dan 1 mediaonline

10 Adiguna Soetowo dan Soetikno Soedarjo

MRA Media 11 stasiun radio, 16 media cetak

11 Pia Alisyahbana dan Mirta Kartohadiprodjo

Femina Group 2 stasiun radio dan 14 media cetak

12 Yayasan Tempo Tempo Inti

Media

1 stasiun televisi, 1 stasiun radio, 3 media cetak dan 1 mediaonline

13 Satria Narada Media Bali Post

Group

televisi, 8 stasiun radio, 8 media cetak dan 2 mediaonline

Sumber:Nugroho,Yanuar. dkk. 2012 dan Lim, M. 2012dalam http://media.kompasiana.com/new-media/2013/07/14/peta-bisnis-media-massa-di-indonesia-pra-pemilu-2014-573468.html

Adanya oligopoli media, menjadikan stuktur dan performa media massa dikendalikan para pemilik modal dan digunakan untuk mengeruk keuntungan. Disisi lain, terjunnya pemiliki media yang terjun ke politik seperti ARB (pemilik Visi Media Asia yang sekaligus menjadi Ketua Umum Partai Golkar), Surya Paloh (pemilik Media Group dan Ketua Umum Partai Nasional Demokrat), HT (pemilik MNC Group dan sekaligus politikus Partai Hanura), dan DI (bos Jawa Pos Group sekaligus Menteri BUMN), menjadikan media sebagai alat pengusaha dan politikus dalam menyampaikan kepentingan mereka sambil mendapatkan keuntungan dari bisnis. Stuktur dan performa media menjadi sarana kompetisi bisnis sekaligus kompetisi politik para pengusaha media yang berkeinginan kuat menjadi pejabat negara di berbagai lembaga eksekutif maupun legislatif. Fenomena ini memperlambat munculnya berbagai keuntungan yang dapat dirasakan publik berdasarkan keragaman media, yaitu:

Prinsip Kebenaran dan kualitas informasi

(9)

Melindungi terjadinya propaganda dan ketertarikan irrasional, (4) Memperingatkan penyerangan budaya, (5) Memenuhi kebutuhan akan informasi.

Dalam prinsip ini, terdapat konsep objektivitas. Yang dimaksud dengan konsep objektivitas adalah (1) tidak ada agenda tersembunyi atau layanan terhadap pihak ketiga (pihak kepentingan), (2) sikap adil dan tidak diskriminatif pada sumber dan objek berita yang harus diperlakukan setara. Konsep ini tidak terlihat bisa diterapkan pada konstruksi berita politik sepanjang 2014 di media massa. Fenomena ini terlihat jelas dalam framing pemberitaan politik di 2014, dibagi dalam dua tahap, yang pertama adalah berita politik seputar pileg dan yang kedua seputar capres. Terjadi perubahan tren pemberitaan setelah pileg usai. Framing berita yang semula mengusung partai dan tokoh dari partai, kini mengerucut menjadi capres. Framing semakin jelas dikarenakan capres hanya dua, dan keberpihakan media sangat kental sekali. Bila tidak memihak A, maka memihak B. Keberpihakan ini tampak dari frekuensi pemberitaan dan struktur bahasa yan dipakai dalam pemberitaan.

Ketidak objektifan media dalam pemberitaan politik 2014, tidak terlepas dari sikap keberpihakan terhadap objek peliputan. Sebagai contoh, capres yang di dukung oleh pemilik modal akan mendapat porsi lebih dan dikonstruksi dengan pemberitaan yang mengarah pada kampanye positif, sedangkan capres lawan, kalaupun ada diliput maka akan dibuatkan konstruksi pemberitaan yang mengarah kepada kampanye negatif. Dalam hal ini tidak ada jarak antara konten dan iklan politik. Begitupun dari sumber yang ditampilkan, tidak ada kombinasi keseimbangan bebas, baik dari pilihan komentar, sampai waktu, tempat dan sudut pandang sudah dikonstruksi sedemikian rupa sesuai dengan konstruksi politik pihak ketiga. Prinsip keseimbangan, netralitas, dan akurasi tidak tampak, media menyembunyikan kepentingannya dari hal yang penting bagi masyarakat. Anehnya, bagi media, kepemihakan dalam pemberitaan juga merupakan tuntutan dari masyarakat yang loyal terhadap capres tertentu. Disatu sisi siaran seperti ini juga menaikan rating bagi masyarakat yang sudah terlanjur jatuh hati pada salah satu sosok capres 2014.

Prinsip Tatanan sosial dan solidaritas

(10)

dijanjikan dan apa yang dicitrakan terkadang jauh berbeda. Bahkan ada joke di sosial media, kartu indonesia lupa. Kartu yang akan dipakai setelah kampanye usai, wakil rakyat dan presiden terpilih pun lupa akan janji dan pencitraan yang dilakukan selama kampanye.

METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Suyanto (1995), pendekatan kualitatif adalah metode yang menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah. Metode penelitian ini menggunakan teknik analisis mendalam (in-depth analysis), yaitu mengkaji masalah secara kasus perkasus, karena dalam metodologi kulitatif, sifat suatu masalah satu, akan berbeda dengan sifat dari masalah lainnya. Tujuan dari metodologi ini bukan suatu generalisasi, tetapi pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah.

Dengan pendekatan kualitatif, penulis berharap penelitian ini dapat memberikan pembahasan secara mendalam mengenai Studi Hubungan Media dan Masyarakat terkait Konsumsi Berita Politik 2014 dan Tarik Menarik Kepentingan Pemilik Media dalam Framing Pemberitaan Politik 2014. Apakah kegitan tersebut, memberikan hasil positif kepada Studi Hubungan Media dan Masyarakat terkait Konsumsi Berita Politik 2014 atau malah sebaliknya, atau Tarik Menarik Kepentingan Pemilik Media dalam Framing Pemberitaan Politik 2014 tersebut menemui benturan dengan teori 5 prinsip kinerja media, sehingga teori tersebut hanya menjadi utopia?

Metode dalam penelitian ini adalah Metode Analisis framing dan Konstruksi Realitas Berger dan Luckman. Metode analisis Framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam kategori penelitian konstruksionis. Menurut Eriyanto (2002:37), paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tapi hasil dari sebuah konstruksi. Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. Realitas sosial dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu. Peristiwa dipahami dengan bentuk tertentu. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam fakta agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih ingat, untuk mengiringi interpretasi khalayak sesuai perspektifnya.

(11)

Konsepframingsering digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain. Robert M. Entman lebih lanjut mendefinisikanframingsebagai seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi. Dalam banyak hal itu berarti menyajikan secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan.

Dari definisi Entman tersebut framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. Berdasarkan definisi Entman tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh Media dan Masyarakat terkait Konsumsi Berita Politik 2014 ketika menyeleksi isu dan menulisnya dimedia. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan dan hendak dibawa kemana berita tersebut. Media berusaha untuk menonjolkan kerangka pemikiran, perspektif, konsep, dan klaim interpretatif masing-masing dalam rangka memaknai objek wacana. Dalam konteks inilah wacana teori 5 prinsip kinerja media dalam Studi Hubungan Media dan Masyarakat terkait Konsumsi Berita Politik 2014 kemudian menjadi arena perang simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu objek wacana. Perdebatan yang terjadi di dalamnya dilakukan dengan cara-cara yang simbolik, sehingga lazim ditemukan bermacam-macam perangkat linguistik atau perangkat wacana yang umumnya menyiratkan tendensi untuk melegitimasi diri sendiri dan mendelegitimasi pihak lawan.

TEMUAN/ ANALISIS/ PEMBAHASAN

Berdasarkan Lima Prinsip Kinerja Media, yaitu: kebebasan, kesetaraan, keberagaman, kebenaran dan kualitas informasi, tatanan sosial dan solidaritas, tampaknya lima prinsip ini seperti utopia. ist ilah ini

dipakai unt uk m enyat akan sebuah m asyarakat yang beru saha m encipt akan m asy arak at ideal , baik dalam sistem sosial, politik, dan penerapan hukumnya. Praktiknya, peningkatan konsumsi media oleh masyarakat, khususnya mengenai berita politik sepanjang 2014 ini, terjadi karena gencarnya media mengangkat berita mengenai politik. Terlebih lagi, dalam pemilu kali ini, banyak pemilik media yang terjun langsung ke politik. Berita yang ada adalah hasil konstruksi yang tidak bebas dari pemilik media.

Berita yang diangkat tidak memiliki kesetaraan dalam pemilihan bahasa, apalagi durasi atau panjang kolom.

(12)

satu contoh rekapitulasi pemberitaan capres dan cawapres yang dikeluarkan KPI periode 19-25 Mei 2014, yang ditulis Antara, kemudian di posting kembali di surabaya.bisnis.com:

Berdasarkan rekapitulasi pemberitaan capres dan cawapres yang dikeluarkan KPI periode 19--25 Mei 2014, frekuensi pemberitaan Jokowi-JK di Metro TV sebanyak 184 berita dan Prabowo-Hatta sebanyak 110 berita. Durasi pemberitaan Jokowi-JK terhitung 37.577 detik sedangkan dan Prabowo-Hatta 14.561 detik.

Adapun total frekuensi pemberitaan Jokowi-JK di TV One sebanyak 77 berita sedangkan Prabowo-Hatta 153 berita. Durasi pemberitaan Prabowo-Prabowo-Hatta di TV One juga lebih banyak dibandingkan dengan Jokowi-JK yakni 36.561 detik berbanding 18.731 detik. Sedangkan lembaga penyiaran lain di luar dua stasiun televisi swasta tersebut masih terbilang baik, katanya.

KPI sebagai komisi penyiaran yang independen telah berulang kali melakukan teguran kepada media-media terkait yang dinilai telah melakukan pelanggaran. Namun teguran tersebut tidak terlalu memberikan efek jera, karena pelanggaran terus berulang terjadi.

Kebenaran dan kualitas informasi dalam berita politik menimbulkan tanda tanya yang besar, karena acapkali berita yang satu mendapat bantahan dari media partisan dari lawan politik. Berikut salah satu berita klarifikasi, dimana media salah mengutip maksud dari narasumber, dan kemudian dipakai menjadi alat kampanye, dan ternyata data tersebut salah:

Menurut Bambang, apa yang disampaikan oleh Ketua KPK Abraham Samad dalam rapat kerja nasional (Rakernas) PDI Perjuangan 7 September tahun lalu adalah negara bisa melipatgandakan pendapatan jika potensi kekayaan negara dikelola dengan benar.

"Terus terang saya agak kaget mendengar hal (kebocoran) tersebut. Setelah dicek ternyata itu disampaikan waktu pertemuan di PDIP, tetapi yang dimaksud Pak Ketua (Samad) adalahpotential revenue," kata Bambang di Gedung DPR, Jakarta, Selasa 17 Juni 2014.3

Kesalahan data ini, bukan sekali atau dua kali. Namun yang menarik, permainan bahasa politik dalam konstruksi pemberitaan, menjadi sangat berbeda bila dibedah secara framing, berikut adalah kutipan berita dengan tema yang sama, namun berbeda cara pembahasannya:

"Bila angkanya meleset jauh sekali,senseatas angkanya berarti tidak ada. Pemahaman soal itu tidak ada," ujar Anies, di Jakarta, Selasa (17/6/2014).

Anies mengatakan, jika tahu bahwadata yang dikutip dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samadkeliru, Prabowo seharusnya tak mengutipnya. Prabowo, kata Anies, harus dapat menakar apakah angka tersebut masuk akal atau tidak.4

Kata yang di bold diatas, adalah kata yang tertulis di situs nasional.kompas.com. Dari segi cara penulisan saja, sudah ada kata yang hendak ditonjolkan, yang diharapkan menarik perhatian dan menjadi konstruksi yang dibentuk media, bukan dari kondisi yang natural tapi proses dari kerangka pemikiran, perspektif, konsep, dan klaim interpretatif media dalam rangka memaknai objek wacana.

3Priatmojo, dedy.

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/513526-kpk-klarifikasi-soal-kebocoran-uang-negara-rp7-200-triliun, diakses 29 Agustus 2014

4Movanita, Ambaranie Nadia Kemala. http://nasional.kompas.com/read/2014/06/17/1920020/Keliru.

(13)

Tatanan sosial dan solidaritas sebagai efek jangka panjang yang ideal menjadi utopia, karena perilaku bullying ada dan semakin marak, karena diproduksi sendiri oleh media. Sebagai contoh, terusan berita diatas, kemudian diperpanjang media menjadi bullying. Dimulai dari pemilihan judul: kebocoran 7.200 triliyun menggelikan, sampai kepada kutipan narasumber, seperti yang ditulis dibawah ini:

"Angka ini menggelikan karena terlalu besar," kata Tony, Ahad (15/6). Menurutnya, Produk Domestik Bruto (PDB) nasional setahun sebesar Rp 9.400 triliun. Sementara, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) negara hanya Rp 1.840 triliun. Ia menilai rasanya tidak mungkin kebocoran Rp 7.200 triliun.

Kecenderungan berita yang ditulis dimedia dan kemudian masuk ke online, yang memiliki ruang publik untuk dikomentari oleh pembacanya. Acapkali perilaku bullying media diteruskan oleh para pembaca ini di jejaring sosial. Sehingga perilaku saling bully adalah perilaku yang akrab dengan keseharian masyarakat karena ditopang oleh media. Media dengan efek priming, dan adanya kelompok yang tersuntik dengan agenda seting media, menjadikan tatanan sosial yang ada adalah sepenuhnya hasil konstruksi media. Namun apa jadinya bila ada perbedaan kepentingan yang diusung media? tahun politik 2014 hanya mengusung dua pasangan capres dan cawapres, hal ini berimbas kepada terbelah duanya konstruksi media dalam agenda framing pemberitaan politik 2014. Media memperlihatkan wajah aslinya, yang tidak bisa menjadi netralitas. Simbol dua garis jurnalistik antara menyampaikan hak publik untuk tahu dan mendapatkan informasi dengan profesionalisme yang terkait dengan tarik menarik kepentingan politik pemilik media, menjadikan media sebagai alat perseteruan dan bullying antarmedia yang berlanjut ke dunia maya. Adakalanya perseteruan dan perilaku bulying di media dan dunia maya berdampak kepada kehidupan sosial masyarakat, seperti rusaknya hubungan pertemanan, bahkan sampai aksi anarkis, karena tidak menerima framing dari media yang berlawanan dengan jagoan politik yang diusung.

Efek yang ada dari konsumsi media, media belum bisa bekerja dalam lima prinsip tersebut, dan program melek media (kalaupun ada), belum melatih pengguna media untuk "membaca media," apalagi untuk "membaca penghakiman media". Media dengan segala kehebatan dan efek yang ditimbulkannya, adalah alat kepentingan. Siapa yang menguasai media dengan jangkauan pembaca yang luas, dia akan menguasai opini masyarakat yang luas pula. Bila media tersebut digunakan sebagai alat perseteruan atau bullying, begitu pula cerminan tatanan sosial yang ada.

DISKUSI

(14)

karena menguras tenaga, sementara bentuk pembangunan secara fisik tidak dirasakan. Karena bagaimanapun wujud dari pembagunan mental bisa diukur dari seberapa karya yang dihasilkan.

Studi Hubungan Media dan Masyarakat terkait Konsumsi Berita Politik 2014 dan Tarik Menarik Kepentingan Pemilik Media dalam Framing Pemberitaan Politik 2014 ibarat menghasilkan perang wacana dengan wacana. Dalam perang wacana ini, isinya tiada lain dari konstruksi media yang tiada akhir yang bernama: kepentingan.

KESIMPULAN

Berdasarkan Lima Prinsip Kinerja Media, yaitu: kebebasan, kesetaraan, keberagaman, kebenaran dan kualitas informasi, tatanan sosial dan solidaritas, tampaknya lima prinsip ini seperti utopia. Prinsip pertama yaitu kebebasan. Publik mendapat keuntungan dari kebebasan tersebut, antara lain dengan perannya sebagai pengamat yang sistematis dan independen terhadap pemilik kekuasaan (watchdog), stimulasi sistem dan kehidupan sosial demokratis yang aktif dan memiliki informasi, kesempatan untuk mengungkapkan ide, mendorong pembaruan dan perubahan budaya dan masyarakat secara berkelanjutan, serta meningkatnya jumlah dan variasi kebebasan dalam berbagai aspek yang bisa dilaksanakan. Uniknya fenomena tahun politik 2014, melahirkan dua kubu publik pengamat yang saling berseberangan . Disatu disisi, bila dilihat dengan kacamata positif, pengamat yang berseberangan ini adalah modal untuk persaingan. Persaingan yang dilihat dari sisi baiknya, menjadikan iklim yang lebih maju, kreatif dan inovatif.

Prinsip kedua, yaitu kesetaraan. Kesetaraan ini bisa berarti organisasional dimana dalam pengelolaan media sebagai suatu organisasi tidak ada intervensi dari pihak luar. Namun bila semua redaksi sudah sepakat akan sebuah isu, ini bisa dijadikan pembenaran, bahwa mereka bekerja secara independen, dan tidak ada intervensi dari luar. Pada kenyataannya seseorang berkumpul dan berserikat karena memiliki kesamaan visi dan misi. Bila ada yang sudah tidak sejalan, ia bisa keluar. Prinsip ketiga, keberagaman. Pada level masyarakat secara umum, keanekaragaman ini biasanya diukur dengan melihat jumlah media independen yang ada dalam masyarakat. Semakin banyak media independen yang dapat dilihat dan dihitung, maka semakin baik pula keberagaman yang ada dalam masyarakat kita. Secara lebih jauh, keanekaragaman ini akan meminimalisir monopoli media. Kenyataannya, pasar media di Indonesia dimonopoli oleh sejumlah elit pengusaha media. Dan pada tahun politik 2014 ini, para pemilik ini menyatakan secara tegas posisi politik yang dipilih.

(15)

sepanjang 2014 di media massa. Fenomena ini terlihat jelas dalam framing pemberitaan politik di 2014, dibagi dalam dua tahap, yang pertama adalah berita politik seputar pileg dan yang kedua seputar capres. Terjadi perubahan tren pemberitaan setelah pileg usai. Framing berita yang semula mengusung partai dan tokoh dari partai, kini mengerucut menjadi capres. Framing semakin jelas dikarenakan capres hanya dua, dan keberpihakan media sangat kental sekali. Bila tidak memihak A, maka memihak B. Keberpihakan ini tampak dari frekuensi pemberitaan dan struktur bahasa yan dipakai dalam pemberitaan. Prinsip kelima, tatanan sosial dan solidaritas. Untuk menuju prinsip terakhir ini, diperlukan itikad baik dan konstruksi bijak untuk tidak berdiri diatas kepentingan pribadi maupun golongan, tapi kepentingan jurnalistik, dimana tugasnya adalah memberikan hak masyarakat untuk tahu dan mendapatkan informasi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bagong Suyanto. (1995).Metode Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University Press. Eriyanto. (2008).Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta:LkiS

McQuails, Dennis. (2010).Mass Communication Theory, 4thEdition.London, Thousand Oaks : Sage

Publications

More, Thomas (2002). George M. Logan and Robert M. Adams (eds.), ed.Utopia. Raymond Geuss and Quentin Skinner (series eds.) (Revised ed.). New York: Cambridge University Press

Mosco, Vincent. (1996).The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal. London, Thousand Oaks : Sage Publications

Online

Asril, Sabrina. http://nasional.kompas.com/read/2014/06/27/0614119/Fenomena.Unfriend.Capres. Jagoan.dan.Kampanye.Hitam, diakses 29 Agustus 2014

Darmawan, wahyu. http://surabaya.bisnis.com/read/20140618/94/72328/ini-data-lengkap-pemberitaan-tv-one-dan-metro-tv-tentang-prabowo-dan-jokowi, diakses 29 Agustus 2014 http://kamusbahasaindonesia.org/utopia/mirip diakses 20 Agustus 2014

Movanita, Ambaranie Nadia Kemala. http://nasional.kompas.com/read/2014/06/17/1920020/Keliru. Sebut.Kebocoran.Anggaran.Prabowo.Dianggap.Tak.Kuasai.Perekonomian, diakses 29 Agustus 2014

Nadjib, Supadiyanto Espede Ainun.

http://media.kompasiana.com/new-media/2013/07/14/peta-bisnis-media-massa-di-indonesia-pra-pemilu-2014-573468.html, diakses 29 Juli 2014

(16)

Gambar

Tabel B.1 Keuntungan Publik dari Prinsip Kebebasan Media

Referensi

Dokumen terkait

Unsur transisi periode keempat umumnya memiliki elektron valensi pada subkulit 3d yang belum terisi penuh (kecuali unsur Seng (Zn) pada Golongan IIB).. Hal ini menyebabkan

Seperti yang telah disinggung oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam kutipan di atas, ada sepuluh orang sahabat Rasulullah yang dikenal luas di tengah kaum

Korelasi Rank Spearman Tingkat Pendidikan Konsumen dengan Jumlah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah kandungan dari ampas kopi dan shellac akan hilang setelah proses sintering dan bagaimana pengaruh ampas

Kelompok Kerja (POKJA) VII pada Kantor Layanan Pengadaan Kabupaten Musi Banyuasin telah membuat Berita Acara Lelang Gagal untuk paket pekerjaan sebagai berikut

Kami menawarkan dua paket layanan aqiqah di Sleman, yaitu paket nasi kotak dan paket sate, gulai, Tongseng dan tengkleng.. Dengan harga itu, Anda akan mendapatkan nasi, roti, tahu

Sumber: The Global Competitiveness Report 2012-2013, World Economic

2014 menyatakan Pelelangan Gagal dengan mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun