• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Abdurrahman Wahid: Antara Monisme dan Dualisme dalam Tasawuf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of Abdurrahman Wahid: Antara Monisme dan Dualisme dalam Tasawuf"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

ABDURRAHMAN WAHID:

ANTARA MONISME DAN DUALISME

DALAM TASAWUF

MAHMUDI

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah [email protected]

Abstrak:

___________________

Tasawuf Nusantara setidaknya dipengaruhi oleh dua model tasawuf yaitu tasawuf yang bercorak falsafi dan tasawuf yang bercorak sunni. Dalam istilah lain, kedua model tersebut dikatakan monisme dan dualisme. Tulisan ini merupakan tulisan konseptual yang memetakan pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam tasawuf. Corak tasawuf Gus Dur dilihat dari kedua perspektif tersebut. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif dan eksporatif. Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan: apakah Gus Dur masuk pada kategori monisme atau dualisme dalam tasawuf?. Sesuai data yang dikumpulkan, tulisan ini menyimpulkan bahwa Abdurrahman Wahid berada pada posisi monisme dalam tasawuf. Monisme tersebut terpetakan ke dalam keberislaman, kebernegaraan, dan kebatinan (mistik).

___________________

(2)

Abstract:

___________________

The term ‘Tasawuf Nusantara’ (archipelago’s sufism) gets influence from two major models of sufism order: falsafiyah order and sunniyah order. The former was popularly called as monoism, while the latter was dualism. This study is to formulate a conceptual framework of Abdurrahman Wahid (or mostly known as Gus Dur)’s idea on tasawuf. The typical ground of Gus Dur’s sufism is under analysis on the basis of both orders. This study uses a descriptive approch to research in order to address a fundamental question: which one of these two models of tasawuf that Gus Dur could be included? After gathering data, the conclusion of this study is that Gus Dur has been grounded in the monoism order which is later framed into islamic religiousity, indonesia nationality, and mistycal spirituality.

___________________

(3)

Pendahuluan

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan tokoh kontroversial. Pemikirannya sulit ditebak. Terkadang, ia membuat orang sering bertanya-tanya, apa maksud dan tujuannya dalam bertindak? Oleh karena itu, membahas pemikirannya mesti dilakukan dari berbagai perspektif. Termasuk dari cari pandang tasawuf.

Dalam kajian tasawuf, nama Abdurrahman Wahid, memang

belum banyak dikenal. Tidak seperti Abū Hāmid al-Ghazāli, Ibnu ‘Arābi, dan Hamzah Fansuri. Namun, ia dapat dinilai

banyak mengajukan tawaran-tawaran yang dekat dengan ajaran tasawuf. Bahkan, tawarannya bisa dikatakan konstruktif dalam dinamika berbangsa.

Abdurrahman Wahid hidup di dalam dunia tasawuf nusantara yang dipengaruhi oleh tokoh-tokoh terdahulu seperti

al-Hallāj, al-Ghazāli, dan Ibnu ‘Arabi. Di sinilah Abdurrahman

Wahid memiliki peranan penting dalam dinamika tasawuf di

nusantara ini. Pemikiran tasawuf al-Ghazāli, banyak mewarnai

tasawuf nusantara terutama di berbagai pesantren. Tasawuf

al-Ghazāli, bisa dikatakan bercorak sunni. Sedangkan pemikiran Ibnu ‘Arabi juga mewarnai nusantara, yang dibawa oleh Hamzah Fansuri. Sementara corak tasawuf Ibnu ‘Arabi adalah falsafi. Dua aliran tasawuf tersebut, sunni dan falsafi, sangat mempengaruhi tasawuf nusantara. Alwi Shihab dalam tulisannya yang berjudul

Akar Tasawuf di Indonesia: Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi menjelaskan bahwa dua aliran tawasuf tersebut mewarnai tasawuf nusantara. Di antara tokoh-tokoh tasawuf sunni yaitu

Nur al-Dīn Ar-Rāniri dan Abdus S}amad al-Palimbani. Sedangkan tokoh tasawuf falsafi diwakili oleh Hamzah Fansuri dan Muh}yi

al-Dīn al-Jāwi.

Tulisan ini hendak membandingkan kerangka pikir Abdurrahman Wahid dalam kajian tasawuf, apakah sejatinya dia berada pada lingkaran monisme atau dualisme. Monisme

(4)

corak tasawuf sunni yang dibawa oleh Nur al-Dīn Ar-Rāniri. Seperti diketahui bahwa tasawuf corak falsafi dan sunni sulit

ketemu. Namun, monisme yang dimaksud di sini tidak melulu

persis dengan falsafi. Monisme yang dikehendaki dalam tulisan

ini adalah monisme yang telah terpetakan menjadi

karakter-karakter sufistik yang ‘dikontrol’ oleh teistik. Karakter sufistik

tersebut meliputi: keberislaman, kebernegaraan, dan kebatinan (mistik).

Biografi Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid lahir dari pasangan KH. A. Wahid Hasyim dan Ny. Solichah. Gus Dur, demikian panggilan

akrabnya, lahir di Jombang, Jawa Timur dengan nama lahir Abdurrahman Ad-Dakhil. Ad-Dakhil sendiri berarti “sang penakluk” yang diambil dari salah seorang pahlawan pada

masa Bani Umayah yang berhasil menaklukkan Spanyol dan

membangun peradaban Islam selama bertahun-tahun lamanya.1 Pada tahun 1944, Gus Dur kecil yang masih berusia 4 tahun diajak ayahnya untuk tinggal di Jakarta. Di Jakarta, mereka berdua tinggal di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Pada saat itu, Menteng merupakan tempat yang disukai oleh pengusaha

terkemua, para profesional, dan juga politikus. Karena itulah,

Gus Dur kecil bersama ayahnya kerapkali bertemu dengan

tokoh-tokoh pergerakan nasional termasuk Mohammad Hatta

dan seorang lelaki yang kerap bertandang ke rumah mereka yang belakangan diketahui sebagai Tan Malaka. 2

Gus Dur kecil lebih banyak tinggal dan hidup di Jakarta bersama ayahnya. Walaupun sempat pulang ke Jombang di masa revolusi, namun Gus Dur dan keluarga kembali lagi ke Jakarta

pada bulan Desember 1949, saat KH. A. Wahid Hasyim menjadi

Menteri Agama. Gus Dur mendapatkan pendidikan dasar di

Jakarta, tepatnya di SD KRIS Jakarta Pusat. Setelah kelas 4, ia pindah ke SD Matraman Perwari, yang dekat dengan rumahnya.

(5)

Meskipuan ia mendapatkan pendidikan dasar di sekolah sekuler, namun ia mendapat pelajaran bahasa Arab sejak kecil dan mempunyai cukup pengetahuan untuk membaca al-Quran dengan suara keras. 3

Gus Dur kecil memang suka membaca. Hal ini ditopang

dengan kesenangan ayahnya yang memiliki banyak bahan

bacaaan di rumah. Rumahnya di Matraman memiliki

perpustakaan pribadi yang berisi buku, majalah, dan koran

dalam jumlah besar. Selain itu terdapat pula sejumlah surat

kabar yang diterbitkan oleh kalangan non-muslim lainnya.4

Kesenangan membaca ini semakin menggebu-gebu setelah

ia pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah menengah pertamanya, setelah di Jakarta sempat tertinggal kelas 1 tahun. Ia

melanjutkan sekolahnya di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil belajar di pesantren Krapyak, namun tinggal di rumah KH. Junaidi, teman ayahnya yang

merupakan salah seorang tokoh Muhammadiyah terpandang anggota majelis Tarjih Muhammadiyah. Di Yogyakarta inilah, ia membaca buku apa saja, mulai dari buku-buku sastra Barat dan

Rusia, hingga karya-karya berat semacam Das Kapital-nya Karl

Marx, What is To Be Done-nya Lenin, filsafat Plato,Thales dan

sebagainya. Kemampuannya dalam membaca bahasa Inggris,

Arab, dan Prancis sejak di Jakarta sangat membantu Gus Dur dalam mendukung hobi membaca ini.

Selain membaca buku-buku sekuler, Gus Dur juga belajar ke Pesantren Krapyak, yang diasuh oleh KH. Ali Ma’shum selam

3 kali seminggu. Di sana, ia mengembangkan kemampuan di bidang keilmuan pesantren, khususnya belajar bahasa Arab secara aktif dengan mengaji dan mengkaji kitab kuning yang diajarkan secara rutin di pesantren.

Selepas pendidikan menengahnya di Yogyakarta, Gus

Dur belajar di pesantren secara penuh di Pesantren Tegalrejo,

Magelang, Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H.

Chudhari, sosok kiai yang humanis, saleh dan guru dicintai.

(6)

Kiai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik.

Di bawah bimbingan kiai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan

ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa.

Di pesantren ini, Gus Dur menyelesaikan pendidikannya lebih cepat dari santri pada umumnya, yakni 2 tahun, padahal santri lain paling cepat menyelesaikan pendidikan selama 4 tahun.

Hal itu menunjukkan bahwa Gus Dur berbakat dan memiliki

kecerdasan yang lebih baik. Namun demikian, di pesantren ini, Gus Dur tetap melanjutkan kebiasaan membacanya dengan intensif. Bahan bacaan tersebut sebagian dibawa dari Jakarta dan sebagian lainnya dipinjami oleh kolega dan kerabat keluarganya yang mengetahui tentang kesenangan membaca Gus Dur.

Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo,

Gus Dur pindah kembali ke Jombang dan tinggal di Pesantren

Tambakberas di bawah bimbingan KH. Wahab Chasbullah. Pada

tahun pertamanya di pesantren, dia mendapat dorongan untuk mengajar. Ia pun pada akhirnya mengajar dan bahkan menjadi kepala sekolah di kompleks sekolah modern yang didirikan oleh pesantren. 5

Pada Bulan November 1963, Gus Dur mendapat beasiswa

untuk belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Sayangnya, karena tidak memiliki ijazah yang menunjukkan bahwa ia lulus

kelas dasar Bahasa Arab, ia harus masuk di kelas yang benar-benar pemula. Akhirnya ia merasa kecewa dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar kelas. Ia habiskan waktunya dengan membaca di Perpustakaan Universitas Amerika,

Perpustakaan Kairo, atau di Perpustakaan Prancis. Selain itu, di

sela-sela waktunya yang lowong, ia habiskan untuk menonton

film-film terbaik Prancis, dan juga rajin mengikuti diskusi-diskusi di Kairo. Ia juga mendapatkan pekerjaan tetap di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo, dan menjadi ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Kairo.6

Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara

(7)

modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Baghdad

sampai tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai

pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini ia mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Gus Dur kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas. Di Bagdad, Gus Dur juga belajar bahasa Prancis secara intensif

di Pusat Kebudayaan Prancis.7 Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk

makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jama’ah tarekat Qadīriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imâm Junaid al-Baghdâdi,

seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya.

Setelah belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi setelah mencari informasi dari

Universitas Leiden dan kampus lainnya ia mengetahui bahwa

studinya di Bagdad hampir tidak mendapat pengakuan di Eropa

dan harus mengulang kembali daei tingkat sarjana. Akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan, kemudian pindah ke Jerman dan tinggal di sana selama 4 bulan dan terakhir tinggal di Prancis selama 2 bulan, sebelum pada akhirnya pulang ke tanah air.8

Gus Dur adalah tokoh yang gigih dan tidak kenal lelah memperjuangkan yang menjadi keyakinannya, terutama

menyangkut masalah kemanusiaan secara umum. Kiprahnya

dalam berbagai forum internasional dan perjuangannya menegakkan keadilan, kedamaian, demokrasi, kesetaraan, dan pluralisme, mengundang perhatian tingkat internasional.

Sehingga, mereka seperti berebut untuk memberikan

(8)

penghargaan kepada Gus Dur, termasuk gelar dalam bidang akademik.9

Gus Dur mendapatkan penghargaan berupa gelar doktor

honoris causa (Dr. CH) dari Universitas Jawaharlal Nehru,

India (2000); gelar kehormatan bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan dari pemerintah Mesir; honoris causa bidang

perdamaian dari Soka University, Jepang (2000); World Peace Prize Award dari World Peace Prize Awarding Council (WPPAC),

Soul, Korea Selatan (2003); doktor honoris causa dalam bidang

Philosophy in Law dari Universitas Thammasat Thaprachan Bangkok, Thailand, Mei 2000; doktor honoris causa dari Universitas

Paris I (Pantheon-Sorbonne) pada bidang ilmu hukum dan politik,

ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu humaniora, tahun 2000;

Penghargaan Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award)

dari Columbia University, September 2000.10

Gelar-gelar tersebut menunjukkan dedikasi Gus Dur yang sangat tinggi dalam memperjuangkan kedamaian, kesetaraan, toleransi, demokrasi, cinta kasih, kemanusiaan dan lain-lain. Perjuangan Gus Dur menjadi ciri utama nilai-nilai spiritualitas

yang tinggi. Kipranya di pentas nasional maupun internasional

telah diakui oleh semua kalangan, sehingga ia menjadi tokoh yang terpandang.11

Munawar Ahmad dalam sebuah tulisannya Ijtihad Politik Gus Dur menjelaskan konstruksi psikologis seorang Abdurrahman Wahid ditinjau dari psikologi seorang Gus, posisi sebagai pewaris dari pendiri NU, tentu berpengaruh terhadap psikologi Gus Dur. Ditambah lagi harapan tafaulan orang tua terhadap anak laki-laki sulungnya. Dalam psikologi keluarga, kondisi demikian akan melahirkan sikap yang over confidence akibat dukungan sosial yang besar sebagai konsekuensi atas perannya di masa depan.12

9 Abdul Wahid Hasan, Gus Dur: Mengarungi Jagat Spiritual Sang Guru

Bangsa (Yogyakarta: Ircisod, 2015), 122

10 Ibid.,122 11 Ibid., 123

12 Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis

(9)

Pola asuh yang lebih banyak diperankan oleh sang ayah telah membentuk Gus Dur sebagai anak yang mandiri sekaligus

bandel. Terlebih kiai Wahid Hasyim sangat menyayangi Gus

Dur dengan membiarkan tindakan apapun yang diperbuatnya sepanjang tidak menyalahi aturan agama.13 Melalui sang ayah, Gus Dur banyak belajar tentang penderitaan di masa-masa perjuangan yang juga dirasakan oleh sang ayah.

Konstruksi epistemologi kiri juga dipaparkan oleh

Munawar Ahmad, bahwa intelektualitas berkembang karena bacaan-bacaannya. Di antara buku-buku yang berpengaruh kuat terhadap pemikiran dan kepribadian Gus Dur adalah Das Kapital (Karl Marx), What is to Be Done (Lenin), dan buku biografi

Mahatma Gandhi serta Ethica Nicomacea (Aritoteles).14

Dari tradisi filsafat Barat, buku Ethica Nicomacea karya Aristoteles turut menggugah kesadaran Gus Dur. Dalam buku ini, Aristoteles mengembangkan beberapa konsep mendasar

tentang perbuatan baik manusia. Suatu kebajikan dapat disebut

sebagai kebajikan jika ia tidak hanya berupa kebaikan dalam pikiran, tetapi difungsikan untuk kebahagiaan dalan kehidupan yang baik (eudaemonia). Untuk mendapatkan kebaikan hidup, seseorang harus hidup secara seimbang dan mampu menghindari sikap yang merugikan. Untuk menghasilkan eudaemonia, manusia harus mengembangkan apa yang disebut Aristoteles Golden Mean atau keseimbangan di antara dua kenyataaan. Bagi Aristoteles, semua orang memiliki potensi dan tujuan hidup yang sama, yakni kebaikan.15

Greg Barton menjelaskan, ketika Gus Dur meninggalkan Jombang untuk belajar ke luar negeri, ia adalah seorang pemuda yang tengah bergulat dengan masalah bagaimana Islam bisa mengadakan perubahan di dunia. Menjelang masa dewasanya, ia pernah terpukau oleh Islamisme yang radikal.16 Tujuh tahun kemudian ia kembali ke tanah air sebagai seorang

13 Ibid. 14 Ibid. 112 15 Ibid. 117.

(10)

yang penuh komitmen terhadap pemahaman liberal mengenai Islam. Pengaruh-pengaruh yang membentuk liberalismenya

tidaklah sukar untuk diidenfifikasi dan tidaklah mengejutkan

bahwa daya tarik Islamisme radikal tidaklah berumur panjang. Pengaruh yang pertama adalah keluarganya sendiri. Di dalam lingkungan keluarganya ia dididik untuk bersikap terbuka dan selalu mempertanyakan sesuatu secara intelektual.

Kedua, ia dibesarkan di dalam dunia sufistik Islam tradisional

Indonesia, dan yang ketiga, ia dipengaruhi oleh orientasi budaya masyarakat Indonesia modern yang mengarah pada pluralisme dan egalitarianisme. Akhirnya, ia sangat dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan dipelajarinya karena keduanya memberikan kesempatan kepada dirinya untuk mencoba menyintesiskan pemikrian Barat modern dengan Islam.17

Perkembangan intelektual Gus Dur dibentuk oleh pendidikan

Islam klasik dan pendidikan Barat modern. Faktor-faktor ini

merupakan prasyarat baginya untuk mengembangkan ide-ide liberalnya. Gus Dur mengerjakan hal ini secara lebih lengkap dari pada mayoritas intelektual Islam Indonesia lainnya.18 Ia telah lama percaya bahwa Pancasila merupakan kompromi terbaik untuk memecahkan masalah-masalah sulit mengenai

hubungan agama dan negara. Sepanjang tahun 1970an dan pada

awal 1980an ia menyatakan idenya dalam serangkaian tulisan pendek dan panjang dengan mengajukan argumentasi bahwa sebuah konstitusi yang secara formal menetapkan peran bagi Islam dalam negara akan membawa akibat tidak menyenangkan, bukan saja bagi kaum non muslim dan kaum muslim abangan, melainkan juga bagi kaum muslim santri yang tidak setuju dengan garis resmi keagamaan yang dibuat oleh negara.19

Abdurrahman Wahid mencoba menggabungkan studi Islam dengan pendekatan yang sama sekali berbeda terhadap ilmu dan

pemahaman. Ia sangat tertarik pada sisi sufistik dan mistik dari

kebudayaan Islam tradisional. Ia juga telah membiasakan diri

17 Ibid. 18 Ibid., 138

(11)

untuk secara teratur berziarah ke makam-makam guna berdoa dan bermeditasi, biasanya pada tengah malam. Kadang kala

kedua pendekatan terhadap ilmu ini saling tumpang tindih. Di Jombang, misalnya, ia berhasil mengahafal buku klasik standar mengenai tata bahasa Arab.20

Gus Dur, ketika sudah bisa menghafal teks-teks Arab,

ia pernah berziarah dan berjalan kaki kurang lebih 100 km.

Baginya, perjalanan ini benar-benar di luar batas kemampuan manusiawi tubuhnya yang kurang atletis, namun kekerasan hatinya yang membuatnya dapat menempuh perjalanan sejauh itu. Namun demikian, ketika baru memulai perjalanan pulang ke Jombang, ia dikenali oleh beberapa orang yang menumpang mobil dan dengan gembira ia menerima tawaran tumpangan untuk kembali ke Jombang.21

Monisme dan Dualisme dalam Tasawuf

Istilah dualisme dan monisme tidak pernah dipakai oleh guru

sufi siapapun, baik dulu maupun kini, termasuk oleh mereka

yang dalam paparannya, sengaja atau tidak, mengusung paham

dualistik atau monistik. Kedua istilah itu baru dalam dunia tasawuf.

Di antara yang pernah menggunakannya adalah Petrus Josephus Zoetmulder, seorang rohaniawan dan sarjana yang banyak meneliti dan menulis tentang sastra Jawa kuno dan klasik.22

Ajarannya tentang monisme dan pantheisme telah mempengaruhi salah satu tokoh pemikir tasawuf di Indonesia,

Simuh, yang menekankan aspek pantheistik dalam tasawuf

melalui karyanya berjudul Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Zoetmulder secara halus mengidentikkan tasawuf dengan monisme dan pantheisme. Dengan demikian, ia tidak setuju dengan dualisme.23 Sementara Titus Burkchardt pernah menulis sebagai berikut:

20 Ibid.,53 21 Ibid., 54

22 Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf: Wacana Manusia Spiritual Dan

Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 2014), 106

(12)

“Pantheism arose from the same mental tendency which

produced, first, naturalism and then materialism. Pantheism

only conceives of the relationship between the Divine Principle and things from the one point of view of substantial or existential continuity, and this is an error explicitly rejected by every traditional doctrine”.24

“This enables us to understand that the Sufi doctrine of Unity (which is strictly analogous, despite the difference in terminology, to the Hindu advaitic doctrine of

“Non-Duality”), has no connection with a philosophical “monism”,

as modern critics of such Sufi jñānins as Ibn ‘Arabī or ‘Abd al-Karīm al-Jīlī try to pretend. Their opinion is the more

astounding since the doctrinal method of these masters consists in bringing out extreme ontological contrasts and envisaging the essential Unity not by rational reduction but by an intuitive integration of paradox.”25

Monisme yang dikehendaki dalam tulisan ini, adalah berwarna

falsafi. Artinya paham tasawuf yang tidak kaku mengacu pada

formalitas syari’ah. Di sini, tasawuf monisme dianggap tasawuf

yang ‘nyleneh’, namun berada pada garis filsafat kemanusiaan.

Dalam hal ini penulis mencoba menarik sambungan dengan apa

yang ditulis oleh Alwi Shihab, pakar tasawuf di nusantara. Ia

menjelaskan, bahwa tasawuf dibagi dalam dua hal, tasawuf sunni

yang diwakili oleh Nur Dīn Ar-Rāniri dan Abdus Shamad al-Palimbāni serta tasawuf falsafi yang tokohnya adalah Hamzah Fansuri dan Muhyi al-Dīn al-Jāwi.

Dalam tasawuf sunni seperti yang dipaparkan oleh Ar-Rāniri tercirikan sebagai berikut: menurut Ar-Rāniri panteisme persis sama dengan pendapat-pendapat filosof agama, Zoroaster, dan ajaran Reinkarnasi dalam hal hubungan antara Khāliq dan makhlūk. Tercermin dalam ungkapan “Tiada perbedaan antara

Khāliq dan makhlūk.”26 Selain itu panteisme mempraktikkan

24 Titus Burkchardt, Introduction to Sufi Doctrine (Canada: World Wisdom,

2008), 17

25 Ibid., 19.

26 Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf

(13)

ajaran hulul-nya orang-orang ateis, yaitu percaya bahwa Tuhan

berada di dalam makhlûk. Sedangkan al-Palimbāni, ia lebih condong pada al-Ghazāli walau sedikit banyak juga terpengaruh oleh Ibnu ‘Arābi yang falsafi. Sementara dalam tasawuf falsafi seperti yang dijelaskan oleh Hamzah Fansuri murni diidentikkan dengan Ibnu ‘Arābi.

Sementara posisi Gus Dur lebih cenderung mengamini tasawuf monisme nusantara yang dipelopori oleh Syekh Siti

Jenar. Lebih lanjut ia menjelaskan:

“Dalam pandangan penulis, hukuman mati yang dijatuhkan Wali Sanga atas Syekh Siti Jenar, bukanlah karena beliau

berpaham Wih{datul Wujūd,-seperti yang diuraikan di atas, melainkan karena sebab lain. Beliau mengajarkan paham itu kepada orang banyak (kaum awam, laity).”27

“Dalam pandangan penulis, “dosa” Syekh Siti Jenar bukan

terletak pada penerimaan beliau pada Wih{datul Wujūd, melainkan dalam “sikap gegabah beliau dalam mengajarkan

paham tersebut di kalangan orang kebanyakan”. Karena

itulah, kaum penganjur tarekat (dikenal di sini sebagai

kaum tasawuf, kaum sufi) selalu menekankan pentingnya

menjalankan syari’at sebelum bertasawuf”.28

“Penulis beranggapan ulama tradisionalis kita banyak yang mengambil ajaran Wih{datul Wujūd itu bagi diri mereka sendiri, karena mereka sudah menguasai syari’at, yang

dalam hal ini berbentuk fikih (hukum Islam). Dengan kata

lain, mereka menolak penyebaran Pantheisme atau Wih{datul Wujūd tersebut di kalangan orang awam, tetapi bagi kepentingan diri mereka sendiri, mereka juga menjalankan paham tersebut secara tertutup. Ajaran Wih{datul Wujūd yang digunakan itu terutama adalah Wih{datul Syuhūd (ajaran mengetahui sesuatu sebelum terjadi, dalam budaya Jawa dikenal dengan nama weruh sedurunge winarah)”.29

27 Abdurrahman Wahid, “Abdurrahman Wahid: Tasawuf dan Kebatinan/

Kejawen” dalam https://nuhidiyah.wordpress.com/2015/08/12/gus-dur-tasawuf-dan-kebatinankejawen/ diakses pada 19 Februari 2015

(14)

Model-Model Tasawuf Monisme Abdurrahman Wahid

Seperti penjelasan di atas bahwa monisme di sini dipetakan

ke dalam kerangka pikir keberislaman Gus Dur. Gaya keberislamannya tidak melulu berpatokan pada formalisme syari’ah. Awalnya, dalam hal keislaman Gus Dur memang

mengidolakan gerakan al-Ikhwān al-Muslimīn, sebuah gerakan Islam radikal yang pernah membunuh Presiden Anwar Sadat di

Mesir karena dianggap kurang membela Islam. Bahkan, karena kekagumannnya terhadap gerakan itu, ketika masih belia, Gus

Dur pernah membangun organisasi “al-Ikhwān” di Jombang.30

Tetapi, setelah belajar ke Mesir, Irak dan bekerja di Eropa selama

beberapa tahun, ia pulang ke Indonesia dengan visi pluralisme yang sangat liberal dan sangat anti-formalisasi Islam dalam kehidupan kenegaraan.31 Jadi, ia bergerak dari yang awalnya kaku terhadap formalitas Islam menuju paradigma Islam yang lebih substansial.

Dalam catatan Moh. Mahfud MD, sebagaimana ia kutip dari Marie, Prancis, Indonesia mempunyai sosok Abdurrahman Wahid yang pemahaman keagamaannya sangat kosmopolit. Dia adalah tokoh Islam yang sangat toleran dan menghargai hak dan keyakinan beragama orang lain. Dalam perkembangan peradaban ke masa depan, pesan-pesan Islam Gus Dur itu sangatlah penting. Menurut Mahfud, ketika di Paris, gema pesan Gus Dur bukan hanya humor “bonjour” atau foto di depan istana, melainkan yang lebih bergema adalah pesannya tentang Islam kosmopolitan.32 Tasawuf monisme dalam keberislamannya mengejewantah dalam prinsip keislaman kosmopolit seperti yang dikatakan oleh Mahfud MD di atas.

Monisme keberislamannya ia kembangkan dalam tingkat kemanusiaan yang utuh. Bagi Gus Dur, Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa dalam pandangan Tuhan, semua manusia adalah setara. Bahkan status muslim dan non muslim pun setara.

30 Mahfud MD, Gus Dur: Islam, Politik, dan Kebangsaan (Yogyakarta: LKiS,

2010), 46

(15)

Ini tidak ditemukan dalam dualisme tasawuf yang kaku. Bagian dari keyakinan mendasar Gus Dur adalah bahwa nilai-nilai yang mendasari demokrasi dan liberalisme adalah nilai-nilai universal.

Kemudian dia berargumentasi bahwa prinsip-prinsip itu dapat diterapkan di Timur sebagaimana di Barat. Kendati demikian

dia menolak argumentasi yang terlalu menyederhanakan, yaitu bahwa hal ini karena Islam adalah sumber asli pemikiran, nilai-nilai dan ide-ide. Bahkan Gus Dur menganggap pandangan ini apologetik saja. Gus Dur lebih lanjut menegaskan bahwa prinsip-prinsip mendasar yang berasal dari pencerahan duduk setara dengan pesan utama Islam.33

Sejatinya agama Islam terdiri dari tiga elemen: Iman, Islam

dan Ihsan. Dapat diringkas iman itu artinya percaya. Dilanjutkan dengan Islam adalah sebuah hukum syari’at yang mengatur

manusia. Kemudian Ihsan, yaitu ketulusan dan kehendak dan

intelegensi; ia adalah keterikatan total kita kepada kebenaran dan kepatuhan sepenuhnya kepada hukum. Ihsan bertemu dengan esoterisme yaitu pengetahuan esensial dan total.34

Gus Dur menyatakan bahwa sejatinya masyarakat, terlebih dalam NU, hendaknya tidak terpengaruh pada hanya yang berupa eksoterik. Namun lebih dalam lagi pada penggabungan antara keduanya sebagaimana pernyataannya:

“Di pihak lain, bidang tasawuf memberikan bobot kedalaman spiritualitas penghayatan agama warga NU, jika

telah diikuti pola hidup serba fiqih dalam kehidupan

sehari-hari. Dalam bahasa pengamatan sarjana masa lampau yang

melihatnya dari luar, seperti H.J. De Graaf dan Theodore

Pigeaud, anutan pada tasawuf ini disebut “pemujaan kepada

Wali songo”. Sudah tentu masalahnya tidak sesederhana ini,

tetapi pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari doktrin yang utuh tentang hierarki kesalehan (piety) atau derajat

derajat ketaqwaan kepada Allah, berkat (grace, barokah) yang memungkinkan intervensi hubungan seorang hamba

33 Greg Barton, “Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam Abdurrahman

Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2000), xxxi

34 Frithjof Schuon, Tasawuf: Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang

(16)

kepada Tuhannya dan seterusnya.”35

Lebih lanjut ia menulis, inti dari tradisi keilmuan yang dianut NU adalah sebuah kesatuan yang terorganisir antara

tauhid, fiqh, dan tasawuf secara tidak berkeputusan, yang

dalam jangka panjang menumbuhkan pandangan terpautnya sendiri antara dimensi duniawi dan ukhrowi dari kehidupan. Bahkan di dalam lingkungan NU ada ungkapan yang disukai

yaitu: “hidup dunia sangatlah penting kalau dijadikan persiapan

untuk kebahagiaan akhirat, dan akan kehilangan artinya jika tidak diperlakukan seperti itu”. Perpautan dimensi duniawi dan ukhrowi dari kehidupan ini merupakan mekanisme kejiwaan yang berkembang di lingkungan NU untuk menghadapi tantangan sekularisme terang-terangan (blatant) yang timbul dari proses modernisasi.36

Selain itu, monisme keberislamannya merasuk dalam esoterisme Islam yang mengejewantah dalam karakter sufistik

batin berupa keikhlasan dalam berjuang. Lebih lanjut ia menulis:

“Dalam ajaran Islam dikenal istilah “ikhlas”. Ketulusan

yang dimaksudkan adalah peleburan ambisi pribadi masing-masing ke dalam pelayanan kepentingan seluruh bangsa. Di sinilah justru harus ada kesepakatan antara para pemimpin berbagai gerakan atau organisasi Islam yang ada, dan ketundukkan kepada keputusan sang pemimpin dirumuskan. Untuk melakukan perumusan seperti itu, diperlakukan dua persyaratan sekaligus, yaitu kejujuran sikap dan ucapan, yang disertai dengan sikap “mengalah” kepada kepentingan berbagai gerakan organisasi itu. Tanpa kedua hal itu, sia-sialah upaya “menyatukan” umat Islam dalam sebuah kerangka perjuangan yang diperlukan”.37

Dari sudut teologi, terdapat dua komponen utama dalam pandangan Islam mengenai pengaturan masyarakat, yaitu

35 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran, 156 36 Ibid., 157.

37 Abdurrahman Wahid, “Tata Krama dan ‘Ummatan Wâhidatan’”

(17)

watak kehidupan dan cara penggunaan kekuasaan. Dalam soal ini, Islam sebenarnya berintikan tiga prinsip; musāwah (prinsip persamaan), ‘adālah (prinsip keadilan), dan syūra (prinsip

musyawarah/demokrasi). Segala kegiatan mestilah bersendikan

ketiga prinsip ini yang diramu sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan yang dihadapi.38

Penjelasan di atas, nampak pemikiran tasawuf monisme Gus Dur yang terbentuk dalam keberislamannya tidak melulu pada formalisme syari’ah. Namun mengejewantah dalam prinsip Islam

yang lebih esoterik. Sehingga Gus Dur lebih tertuju pada makna terdalam, bukan aspek luarnya saja. Sebagaimana yang disebut oleh Schuon bahwa dimensi Ihsan dalam Islam termasuk bagian

dari inti. Gus Dur mencoba mengaplikasikan yang demikian dalam keberislamannya.

Poin yang kedua adalah kebernegaraan. Gus Dur pernah menyatakan bahwa “saya tak akan pernah mendekritkan syari’at Islam karena hal itu bertentangan dengan apa yang saya perjuangkan selama puluhan tahun, yakni mempertahankan Indonesia dengan dasar Pancasila, bukan negara agama”.39 Ia menyatakan dengan tegas bahwa:

“Karenanya, kalau kita ingin melestarikan “Islamku”

maupun “Islam Anda”, yang harus dikerjakan adalah

menolak Islam yang dijadikan ideologi negara melalui

Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah hal-hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, melalui proses

yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai “Islam Kita”,

dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksaan pandangan? Cukup jelas, bukan?”.40

Gus Dur membangun citra dirinya sebagai pendukung kuat dari idealisme negara Pancasila. Baginya, toleransi beragama yang secara implisit terkandung di dalam Pancasila merupakan

38 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi (Yogyakarta: LKiS, 2001),

197

39 Mahfud MD, Gus Dur: Islam, 80.

40 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat

(18)

pra-syarat yang sangat penting dalam pembangunan sebuah masyarakat demokratis di negeri ini.41 Pancasila juga pada dasarnya mewakili cita-cita yang luhur untuk membangun bangsa: toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, keadilan sosial dan ekonomi, serta sistem politik yang demokratis sesuai dengan kultur politik asli nusantara.42

Untuk itu, ada lima elemen kunci yang dapat disimpulkan dari pemikiran Gus Dur. Pertama, pemikirannya progresif dan bervisi jauh ke depan. Baginya, dari pada terlena oleh kemenangan masa lalu, ia melihat masa depan dengan harapan yang pasti, bahwa bagi Islam dan masyarakat muslim, sesuatu yang terbaik pasti akan datang. Kedua, pemikiran Gus Dur sebagian besar merupakan respon terhadap modernitas; respon dengan penuh percaya diri dan cerdas. Ketiga, dia menegaskan bahwa posisi sekularisme teistik yang ditegaskan dalam pancasila merupakan dasar yang paling mungkin dan terbaik bagi terbentuknya negara Indonesia modern dengan alasan posisi non sektarian Pancasila sangat penting bagi kesejarhteraan dan kejayaan bangsa. Gus Dur menegaskan bahwa ruang yang paling cocok untuk Islam adalah ruang sipil, bukan ruang politik praktis. Keempat, Gus Dur mengartikulasikan pemahaman Islam liberal dan terbuka yang toleran terhadap perbedaan dan sangat peduli untuk menjaga harmoni dalam masyarakat. Kelima, pemikiran Gus Dur mempresentasikan sintesis cerdas pemikiran Islam tradisional, elemen modernisme Islam, dan kesarjanaan Barat modern, yang berusaha menghadapi tantangan modernitas baik dengan kejujuran intelektual yang kuat maupun dengan keimanan yang mendalam terhadap kebenaran utama Islam.43

Menurut Gus Dur, sikap finalnya tentang negara berdasarkan

Pancasila itu merupakan harga mati yang menjadi pandangan

NU, berdasar hasil ijtihad para ulama yang membidani dan

41 Douglas E. Ramage, “Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang

Pancasila dan Penerapannya”, dalam Ellyasa KH Dharwis (ed.), Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKiS, 1994), 103

42 Ibid., 123.

43 Ahmad Suaeidy, dkk, Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid

(19)

membesarkan ormas Islam terbesar itu, yang ditegaskan pada setiap penyelenggaraan Muktamar.44 Apa yang disebut sebagai ideologi Gus Dur itu sebenarnya merupakan pandangan inklusif dan sikap politiknya tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dapat dikatakan bahwa pandangan Gus Dur tentang itu setidaknya mengerucut ke dalam persoalan pluralisme, demokrasi, dan hak asasi manusia.45

Gus Dur secara tegas menolak formalisme Islam dalam politik nasional, meski Islam adalah agama mayoritas. Ia juga konsisten mengimplementasikan pemikiran tersebut dalam sikap politiknya. Ini artinya, ia menolak kehadiran negara Islam di Indonesia dengan menganggap bahwa bentuk negara nasional atau negara bangsa berdasarkan Pancasila merupakan

bentuk final Negara Kesatuan Republik Indonesia.46 Lebih lanjut ia menegaskan bahwa:

“Benarkah asumsi dasar, bahwa Islam adalah sebuah sistem hidup yang sempurna, dan harus diwujudkan dalam sebuah bentuk kenegaraan tertentu? Jika jawabannya positif, kita harus mendirikan negara Islam sebagai “perintah agama” yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Pengingkaran terhadap perintah semacam itu, berarti pembangkangan yang

harus dihukum dan ditindak. Sedangkan kelalaian untuk

melaksanakannya merupakan pengingkaran terhadap kewajiban agama. Ini adalah konskwensi logis yang harus ditanggung oleh kaum muslimin, di manapun mereka berada. Ini termasuk dalam perintah “dan berjihadlah kalian

dengan harta benda kalian dan diri/jiwa kalian” (wa jāhidū fi amwālikum wa anfusikum)”.47

Pada suatu negara seperti Indonesia, Islam seharusnya diimplementasikan sebagai etika sosial, yang berarti

44 Ibid.

45 Mahfud MD, Gus Dur: Islam, 172

46 Umaruddin Masdar, Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Zaman, Pembela

Minoritas Etnis-Keagamaan (Yogyakarta: KLIK.R., 2005), 160-161.

47 Abdurrahman Wahid, “Islam: Pokok dan Rincian”, dalam http://www.

(20)

Islam berfungsi komplementer dalam kehidupan negara. Menempatkan Islam sebagai etika sosial merupakan konstruk yang menyeimbangkan antara keharusan mengambil nilai-nilai positif dari proses sekularisasi (bukan sekularisme) dan spiritualitas operatif sebagai manifestasi ketaatan terhadap ajaran agama.48 Abdurrahman Wahid menulis:

“Di satu pihak, gagasan akan keadilan sosial yang harus ditegakkan, jika manusia ingin benar-benar berfungsi sebagai pelaksana fungsi ketuhanan (khalîfah Allah) di

muka bumi. Seorang khalîfah harus memiliki otonomi

penuh atas dirinya, dan otonomi itu hanya dapat dicapai melalui tegaknya keadilan sosial. Tiang penopang berupa keadilan sosial ini menembus segala bentuk dan corak pemerintahan. Di pihak lain, keadilan sosial hanya dapat berwujud bilamana ada para pejuang pembebasan umat manusia yang tergabung dalam kegiatan terorganisir yang mengarah pada tujuan pembebasan tersebut”.49

Gus Dur adalah orang yang konsisten dengan prinsip-prinsipnya. Prinsip-prinsip ini berakar pada pemahamannya terhadap Islam yang liberal, yaitu pemahamannnya yang menekankan pada rahmat, pengampunan, kasih sayang Tuhan dan keharusan kita untuk mengikuti sifat-sifat ini dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan beragama. Ia sudah lama dikenal sebagai pembela orang yang lemah dan selama berpuluh-puluh tahun ia adalah orang yang terus terang, sering mempertaruhkan reputasi personal yang cukup besar, dalam membela kelompok yang orang lain enggan membelanya.50

Pemikiran Gus Dur menekankan pada pemikiran yang

fleksibel dan progresif yang dapat ditemukan pada beberapa ulama NU, termasuk di antaranya pendahulunya, yaitu KH.

48 Umaruddin Masdar, Gus Dur, 167.

49 Abdurrahman Wahid, “Hasan Hanafi dan Eksperimentasinya”,

pengantar dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi (Yogyakarta: Lkis, 1993), xii.

(21)

Achmad Siddiq. Ulama lain yang dapat diidentifikasi seperti itu adalah kakek Gus Dur, KH. M. Hasyim Asy’ari, ayahnya KH. A. Wahid Hasyim, saudara tua KH. Achmad Siddiq yaitu KH. Machfudz Siddiq dan bahkan KH. Wahab Hasbullah.51

Poin tasawuf monisme Gus Dur yang ketiga adalah mistik. Dalam Islam, memang ada manusia khusus yang disebut wali dengan kemampuan yang luar biasa. Dalam perjalanan hidup dan perilaku Gus Dur, ada juga hal-hal aneh yang kadang tidak

masuk akal, tetapi kerap kali terjadi. Sebagai contoh tentang

pernyataan-pernyataan bahwa dia akan menjadi presiden.

Marsillam Simanjuntak pernah bercerita bahwa jauh sebelum

menjadi presiden, Gus Dur sudah menceritakan adanya pesan gaib bahwa dia akan menjadi presiden.52 Gus Dur menjelaskan bahwa:

“kalau ladunni itu salah satu bentuk dari pengetahuan esoterik, tapi yang itu hanya punya penguasaan terhadap materi ilmiah. Punya pengetahuan yang diperoleh secara mendadak. Ya belajar, tapi sangat cepat. Geniuslah,

geniusitas. Saya itu sering kok nggak sengaja ngomong. Jangan begitu, deh, nanti begini-begitu. Menurut saya, sih, rasio. Tapi tahu-tahu kejadian benar. Orang geger. Dia percaya saya ini punya ilmu tingkat tinggi.53

Apa yang dilihat oleh Gus Dur merupakan realitas yang

lebih tinggi. Seperti yang dijelaskan oleh Ach. Maimun (2008) dalam metafisika dan Islam, realitas empirik hanya bagian dari realitas secara utuh. Realitas empirik adalah realitas relatif

yang merupakan manifestasi dari realitas absolut. Dalam

metafisika Islam, realitas absolut tersebut adalah al-H}aqq

(Allah). Ia memanifestasikan diri melalui level-level realitas

hingga akhirnya berwujud realitas empirik. Realitas absolut

yang permanen dan abadi terus memanifestasikan diri melalui “penciptaan” terus menerus sehingga melahirkan kemunculan

51 Ibid.

52 Mahfud MD, Gus Dur: Islam, 253-254

53 Abdurrahman Wahid, Tabayun Gus Dur: Pribumisasi, Hak Minoritas, dan

(22)

sesuatu yang baru, perubahan dan penghancuran suatu entitas.54 Monisme tasawuf dalam bentuk mistik cerminan dari pengetahuan tanpa ‘intelek’. Pengetahuan itu melalui iluminasi dan pewahyuan. Nicholson menulis:

How shall a man know God? Not by the senses, for He is immaterial; nor by the intellect, for He is unthinkable. Logic never gets beyond the finite; philosophy sees double;

booklearning fosters self-conceit and obscures the idea of

the Truth with clouds of empty words. Jalâluddîn Rûmî,

addressing the scholastic theologian, asks scornfully: Do

you know a name without a thing answering to it? Have you ever plucked a rose from R, O, S, E? You name His

name; go, seek the reality named by it! Look for the moon in the sky, not in the water! If you desire to rise above mere

names and letters, Make yourself free from self at one stroke. Become pure from all attributes of self, That you may see

your own bright essence, Yea, see in your own heart the knowledge of the Prophet, Without book, without tutor, without preceptor. This knowledge comes by illumination, revelation, inspiration. “Look in your own heart,” says the

Sûfî, “for the kingdom of God is within you.” He who truly

knows himself knows God, for the heart is a mirror in which

every divine quality is reflected. But just as a steel mirror when coated with rust loses its power of reflection, so the inward spiritual sense, which Sûfîs call the eye of the heart,

is blind to the celestial glory until the dark obstruction of the phenomenal self, with all its sensual contaminations, has been wholly cleared away. The clearance, if it is to be done

effectively, must be the work of God, though it demands a

certain inward co-operation on the part of man. “Whosoever shall strive for Our sake, We will guide him into Our ways”

(Kor.29. 69).55

54 Ach. Maimun Syamsuddin, “Apresiasi Religio-Filosofis Atas Sains

Modern (Memperbandingkan Syed Muhammad Naquib Al Attas dan Seyyed Hossein Nasr)”, ‘Anil Islam, Vol. 1 Nomor 1, Juni 2008, 83.

55 Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam (Canada: World Wisdom,

(23)

Kesimpulan

Keberislaman dalam monisme mengacu pada karakter sufistik, namun terkadang keluar dari lingkar dualisme.

Tasawuf monisme Gus Dur terpetakan ke dalam keberislaman,

kebernegaraan, dan mistik. Keberislamannya tidak ‘lurus’ murni mengacu pada dualisme. Keberislamannya dikontrol oleh

sesuatu yang inti dalam Islam meliputi: musāwah, ‘adālah, dan syūra (demokrasi).

Kebernegaraan Gus Dur mengacu pada prinsip dasar

Pancasila sebagai dasar negara. Ia secara gamblang menyatakan bahwa dirinya anti formalisme Islam. Ia mengkritisi sekelompok yang menginginkan negara Islam, walau ia sendiri pro Islam. Gus Dur menghendaki Islam yang damai, toleran dan spiritual.

Sedangkan dalam mistik, ia yakin dengan sesuatu yang gaib. Suara-suara gaib itu terkadang mengiluminasinya. Ini tidak

didapati di dalam tasawuf dualisme yang kaku. Artinya, Gus Dur

bergerak maju dari yang dualisme menuju monisme. Semangat

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Munawar. Ijtihad Politik Gus Dur: Analisis Wacana Kritis. Yogyakarta: LKiS, 2010.

Barton, Greg. “Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta LKiS, 2000. Barton, Greg. Biografi Gus Dur. Yogyakarta: LKiS, 2002.

Burkchardt, Titus. Introduction to Sufi Doctrine. Canada: World Wisdom, 2008.

Dharwis, Ellyasa KH. (ed.), Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil.

Yogyakarta: LKiS, 1994.

Hasan, Abdul Wahid., Gus Dur: Mengarungi Jagat Spiritual Sang Guru

Bangsa, Yogyakarta: Ircisod, 2015.

Mahfud MD, Moh. Gus Dur: Islam, Politik, dan Kebangsaan. Yogyakarta: LKiS, 2010.

Masdar, Umaruddin. Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Zaman, Pembela Minoritas Etnis-Keagamaan. Yogyakarta: KLIK.R., 2005.

Nicholson, Reynold A., The Mystics of Islam. Canada: World Wisdom,

2002.

Riyadi, Abdul Kadir., Antropologi Tasawuf: Wacana Manusia Spiritual dan

Pengetahuan. Jakarta: LP3ES, 2014.

Schuon, Frithjof. Tasawuf: Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang

Inti, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Shihab, Alwi. Akar Tasawuf di Indonesia Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf

Falsafi. Bandung: Mizan, 2009

Shimogaki, Kazuo. Kiri Islam: Antara Modernisme dan Posmodernisme,

Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogyakarta: LKiS, 1993)

Suaeidy, Ahmad., dkk, Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman

Wahid, Yogyakarta: Lkis, 2000.

Syamsuddin, Ach. Maimun. “Apresiasi Religio-Filosofis Atas Sains Modern” (Memperbandingkan Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Seyyed Hossein Nasr), Jurnal Anil Islam, vol. 1 nomor 1, Januari-Juni 2008.

Wahid, Abdurrahman (ed.). Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam

(25)

Wahid, Abdurrahman. “Abdurrahman Wahid: Tasawuf dan Kebatinan/

Kejawen”

https://nuhidiyah.wordpress.com/2015/08/12/gus-dur-tasawuf-dan-kebatinankejawen. Diakses tanggal 19 Februari 2015.

Wahid, Abdurrahman. “Islam: Pokok dan Rincian”, dalam http://www. gusdur.net/id/gagasan/gagasan-gus-dur/islam-pokok-dan-rincian.

Diaksestanggal 19 Februari 2015

Wahid, Abdurrahman. “Tata Krama dan ‘Ummatan Wâhidatan’.”

dalam

http://www.gusdur.net/id/gagasan/gagasan-gus-dur/islam-pokok-dan-rincian. Diaksestanggal 19 Februari 2015. Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi. Yogyakarta: Lkis, 2001 Wahid, Abdurrahman. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: Lkis,

2000

Wahid, Abdurrahman. Tabayun Gus Dur: Pribumisasi, Hak Minoritas, dan Reformasi Kultural. Yogyakarta: Lkis, 1998.

Referensi

Dokumen terkait