• Tidak ada hasil yang ditemukan

AGAMA DAN KEKERASAN MASSA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "AGAMA DAN KEKERASAN MASSA DI INDONESIA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

AGAMA DAN KEKERASAN MASSA DI INDONESIA1

(Mengurai Akar Ideologis Kekerasan Teologis Pasca Reformasi)

Oleh: Subair2

(subairabdullah@iainambon.ac.id) Abstrak

Kekerasan massa menjadi kekerasan teologis ketika menggunakan dalih dan dalil agama untuk melegitimasi penggunaan kekerasan. Aksi kekerasan teologis biasanya “ditutup-tutupi” oleh pemuka agama itu sendiri dengan dalih agama pada dasarnya menganjurkan kebaikan, perdamaian, hidup rukun, dan saling menghormati. Karena itu, perlu sebuah kritik ideologi terhadap agama yang eksis untuk mengingatkan bahwa agama bukanlah barang suci yang bebas dari kontaminasi manusia. Tulisan ini, oleh karenanya, ditujukan sebagai kritik ideologi yang bertujuan menjelaskan bahwa agama terbentuk melalui proses sejarah, bercampur dengan budaya serta hasrat-hasrat manusia. Kata “agama” sendiri memiliki jenis pemaknaan yang luas meliputi gagasan-gagasan, praktek-praktek, juga pengalaman-pengalaman – kadang positif dan kadang negatif. Kritik ideologi bukan bermaksud melemahkan fungsi agama sebagai jalan hidup manusia, bukan pula sebagai justifikasi atas kebenaran kaum atheis, tapi refleksi untuk membangun agama menjadi lebih baik, terutama dalam posisinya sebagai unsur yang melekat dalam sejarah dan budaya manusia. Akhirnya, jawaban atas kritik itu bukan apologia (membela diri), tetapi transformasi kritik tersebut untuk pemurnian pemahaman agama.

Kata Kunci: kekerasan agama, radikalisme, fundamentalisme, kritik ideologi

Pendahuluan

Indonesia terperangah, ketika secara tiba-tiba kekerasan sosial, sebagai salah satu bentuk manifestasi dari konflik sosial, terjadi secara luas hampir di seluruh Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Dipicu oleh krisis keuangan yang berawal sejak pertengahan tahun 1997 dan mencapai puncaknya di awal 1998, terjadi serangkaian kekerasan sosial berupa kerusuhan dan penjarahan di berbagai tempat di Indonesia yang dipicu oleh kelangkaan dan kenaikan harga bahan-bahan pokok. Setelah itu, gelombang konflik kekerasan seakan tak pernah berhenti melanda seluruh negeri dengan beragam motif dan faktor pemicu. Gerakan separatis di Aceh dan Papua, yang sudah ada sejak lama, mendapatkan momentum baru. Konflik komunal telah memporak-porandakan Sambas, Poso, Maluku, dan Sampit. Sementara di pulau Jawa banyak orang yang diduga sebagai dukun santet terbunuh. Lebih lanjut, kasus-kasus tawuran antar kampung, konflik politik, pertanahan dan hubungan ekonomi lainnya, serta berbagai bentuk konflik dan kekerasan sosial seperti tak henti-hentinya terjadi hampir di seantero negeri sejak berlangsungnya krisis ekonomi dan dimulainya transisi menuju demokrasi (Tadjoeddin, 2002: 10).

Seiring dengan itu, isu radikalisme agama sangat menguat dan mengguncangkan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Terjadi peristiwa bom Bali menewaskan ratusan nyawa, ledakan bom di Hotel JW Marriot, Jakarta dan tempat-tempat lainnya. Kelompok agama fundamental berjuang sekuat tenaga dan dengan segala cara, memperjuangkan visi dan misi mereka, tanpa peduli akan kenyataan dalam masyarakat

1

Makalah disampaikan pada Seminar Internasional “Kekerasan (Keganasan) Agama: Pendekatan Ideologi, Hukum dan Pendidikan, kerjasama IAIN Ambon dan Universiti Kebangsaan Malaysia, Ambon 8 November 2015.

2

(2)

bahwa bangsa ini adalah pluralis. Mengutip cacatan The Wahid Institut (2011: 1), sepanjang tahun 2011 terdapat 49 kasus (48%) kasus pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan, pelarangan atau pembatasan aktifitas keagamaan atau kegiatan ibadah kelompok tertentu dengan kemudian tindakan intimidasi dan ancaman kekerasan oleh aparat negara 20 kasus atau 20%, pembiaran kekerasan 11 kasus (11%), kekerasan dan pemaksaan keyakinan 9 kasus (9%), penyegelan dan pelarangan rumah ibadah 9 kasus (9%), dan kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan 4 kasus (4%). Jumlah pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di berbagai daerah di Indonesia itu meningkat sebanyak 18% dari dari tahun sebelumnya yang hanya terdiri atas 64 kasus.

Belum lagi kekerasan atas kelompok minoritas oleh kelompok mayoritas seperti penyerbuan Kampus Al-Mubarok, Ahmadiyah di Parung sampai penutupan Rumah Ibadah Kristiani di Bandung Jawa Barat. Kasus terbaru pada tahun 2015 adalah kasus pembakaran masjid di Tolikara Papua dan pembakaran gereja di Singkil, Aceh. Berdasarkan catatan Setara Institute (2012), terdapat 216 kasus serangan terhadap minoritas agama pada 2010, 244 kasus pada 2011, dan 264 kasus pada 2012. Kelompok yang terlibat atau mendukung penyerangan terhadap minoritas termasuk Forum Umat Islam (FUI), Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami), Front Pembela Islam, Hizbut-Tahrir Indonesia, dan Gerakan Islam Reformis (Garis). Mereka disatukan dengan satu pemahaman Islam Sunni bahwa kaum non-Muslim, tak termasuk Kristen dan Yahudi, sebagai "kafir" dan melabeli Muslim yang berbeda pandangan dengan Sunni ortodok sebagai "penoda agama". Ironisnya, kekerasan secara langsung terhadap kelompok agama minoritas ditopang infrastruktur hukum di Indonesia atas nama "kerukunan umat beragama," yang praktiknya justru menggerogoti kebebasan beragama. UUD 1945 dengan tegas menjamin kebebasan agama, sebagaimana Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Indonesia. Namun, pemerintah Indonesia juga sekian lama membuat, dan dalam beberapa tahun terakhir memperkokoh, peraturan yang menjadikan agama-agama minoritas didiskriminasi secara resmi dan menyudutkan penganutnya sehingga rentan diserang oleh komunitas mayoritas yang tak segan main hakim sendiri (Anonimous, 2013).

Fenomena-fenomena kekerasan atas nama atau bernuansa agama di atas mengubah wajah agama yang ramah menjadi wajah yang penuh amarah. Inti agama yang berupa kebaikan, kebenaran, keselamatan, dan cinta kasih berubah menjadi penghakiman, penyeragaman, dan pemaksaan (Subair, 2014: 34). Wacana agama menjadi paradoksal: tidak hanya bersifat rahmat bagi semua tapi juga bencana, karena melahirkan fenomena-fenomena kekerasan. Meskipun terdapat banyak pernyataan apologetis, khususnya dari kalangan agamawan, bahwa agama secara esensial hanya mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan; tetapi manusia saja yang kemudian menyalahgunakan agama untuk kepentingan pribadi/kelompok sehingga menyulut kekerasan, yang jelas fenomena aksi kekerasan atas nama agama secara riil (nyata) terjadi dalam kehidupan kita.

Pertanyaan adalah mengapa manusia melakukan kekerasan kepada sesamanya (dengan) mengatasnamakan agama? Dan bagaimana penjelasan sosiologis terhadap fenomena tersebut? Tulisan ini, secara umum, memang ditujukkan untuk menjawab pertanyaan krusial tersebut. Dalam tulisan ini, yang akan dibicarakan adalah kekerasan dengan mengatas namakan agama. Bentuk kekerasan inilah yang kita kenal sebagai kekerasan teologis, yaitu menggunakan dalih dan dalil agama untuk melegitimasi kepada penggunaan kekerasan dalam jihad besar dan perjuangan suci melawan kelompok-kelompok lain.

Kekerasan Teologis: Agama sebagai Akar Kekerasan?`

(3)

penaklukan atau dalam bahasa historiografi Islam lebih dikenal dengan pembebasan (futuhat) yang dilakukan terutama mulai abad 7 juga menggandeng kekerasan. Agama Kristen yang mengklaim diri dan memiliki misi sebagai agama cinta kasih, namun sejarah kekristenan juga sarat dengan kekerasan. Beberapa kasus perang agama/perang salib (crusade), dan kolonialisme barat atas dunia muslim abad 18 dan 19, juga sarat dengan kekerasan. Bagaimana kemudian peristiwa-peristiwa tersebut hendak diterangkan?

Menurut Haryatmoko (2003: 64), terdapat tiga pemahaman peran agama yang bisa menjelaskan kaitan antara agama dan kekerasan: pertama, agama sebagai kerangka penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi idiologis); kedua, agama sebagai faktor identitas; dan ketiga, agama sebagai legitimasi etis hubungan sosial.

Sebagai ideologi, agama berfungsi melegitimasi suatu tindakan. Ia berfungsi sebagai norma atau tata aturan yang menentukan baik buruknya suatu perbuatan, benar salahnya suatu tindakan. Karena agama berbicara mengenai kebenaran, tidak jarang tindakan-tindakan kekerasan itu dilakukan atas nama Tuhan. Begitu pula keyakinan seseorang selalu diposisikan sebagai sesuatu yang bertentangan satu sama lain. Keimanan serta kesalehan lalu tak lepas dari tindakan menafikan atau menyalahkan keyakinan yang lain. Corak berfikir oposisi biner menjadikan agama sebagai sesuatu yang eksklusif. Ajaran-ajaran agama juga sering menjadikan kekerasan melalui sarana analogi. Penghalalan darah non-muslim sering kita temui dalam ajaran Islam. Sudah sangat familiar bahwa ketika suami istri melalukan hubungan intim pada malam Jum’at, pahalanya sama dengan membunuh seribu orang Yahudi. Bangsa Yahudi sendiri tidak jauh berbeda, dalam Talmud (Bayamut, no 6) disebutkan bahwa kaum Yahudi akan menjadi bernajis apabila ia menyentuh kuburan orang-orang non-Yahudi (goim), karena mereka itu binatang, bukan manusia. Setiap ajaran Abrahamistik hampir memiliki konsep serupa yang dekat dengan kekerasan. Kristen pun demikian, mereka memiliki semboyan extra ekresia mulasanus, yang artinya di luar gereja tidak akan ada yang selamat.

Dalam keberagaman etnis dan geografis penduduk Indonesia, agama membentuk dirinya sebagai identitas masyarakat. Ia menjadi lebih kental lagi bila dikombinasikan dengan identitas etnis seperti Aceh Muslim, Ambon Protestan, Flores Katolik, Bali Hindu, dan sebagainya. Pertentangan pribadi atau etnis bisa menyulut dan berubah menjadi konflik antar-agama yang melibatkan kekerasan massa. Konflik yang terjadi berubah isu menjadi konflik agama, padahal konflik tersebut mulanya terjadi karena adanya kesenjangan ekonomi atau perbedaan pilihan politik. Identitas yang terbentuk berdasarkan latar belakang agama ini, juga dapat memelihara ingatan kolektif masyarakat. Orang akan terus ingat dengan konflik seperti di Poso, Ambon, Ternate, atau pemboman tempat ibadah serta penghinaan atas keyakinan (agama). Suatu ketika konflik-konflik semacam ini akan muncul kembali jika ingatan tersebut masih terpelihara. Pelanggengan ingatan ini biasanya berjalan melalui lembaga, seperti keluarga maupun pendidikan. Tidak terkecuali penataan pemukiman yang kurang baik (penataan segregatif berdasarkan etnis dan agama) ikut memelihara ingatan kolektif ini.

(4)

Dalam kasus kekerasan yang melibatkan agama, keadilan yang ingin dicapai adalah keadilan menurut Wahyu milik kelompok yang menuntut atau melakukan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan menurut mereka adalah upaya “membela” Wahyu. Kasus yang menimpa Ahmadiyah bisa dijadikan contoh yang menunjukkan secara jelas bahwa umat Islam arus utama (mainstream) menghendaki keadilan bagi agama yang dianutnya selama ini. Mereka tidak ingin Islam mereka diracuni oleh kelompok Ahmadiyah yang membawa ajaran yang menurut mereka (Islam arus utama) sesat. Lantas kekerasan yang muncul tersebut akarnya apa? Apakah agama yang menjadi akarnya?

Budi Hardiman (2005: 100) membagi akar kekerasan tersebut menjadi tiga yang terkait dengan conditio humana, yakni: akar epistemologis, antropologis, dan sosiologis. a. Akar Epistemologis

Pertama adalah melihat setiap individu. Mengapa individu melakukan kekerasan? Massa yang menyerang kelompok Ahmadiyah di Cikeusik dengan sangat brutal, penuh kepuasaan, meneriakkan kebesaran Tuhan, atau berteriak “kafir” secara lantang sulit dipercaya bahwa para pelaku di dalam peristiwa ini melihat korbannya sebagai “sesama”. Dengan cara yang sama manusia tidak akan melakukan kekerasan karena dirinya tercermin dalam diri yang sama tersebut. Kekerasan kemudian dilakukan terhadap yang lain. Korban diperlakukan sebagai yang lain sampai pada dehumanisasi atau diubah statusnya sebagai objek. Relasi mereka, pelaku dan korban, diterjemahkan sebagai relasi I-It. Korban dipersepsikan sebagai benda dan bukan sesama.

Seseorang kemudian mengenali yang lain sebagai anggota suatu kelompok. “Dia Kristen”, “Mereka Ahmadiyah” atau “Dia makan bersama dengan komplotan pencuri”. Pada fase kolektivisasi ini orang melihat yang lain sebagai unsur yang sama suatu kelompok. Orang dalam kelompok yang sama akan semakin mudah melihat kesamaan sedangkan orang melihat kelompok lain semakin berbeda dengan dirinya. Pengenalan kolektif ini terdegradasi ke dalam bentuk stigmatisasi. Yang lain, korban kekerasan, distigmatisasi sebagai sebuah ras, agama, atau kelompok kafir. Lewat stigma kelompok dibenturkan kepada kelompok sehingga manusia tidak melihat yang lain sebagai manusia, melainkan sebagai musuh yang harus dihabisi atau dimusnahkan.

b. Akar Antropologis

Seseorang tidak semata-mata bergabung ke dalam sebuah kelompok kemudian bersama-sama melalukan kekerasan massa secara spontan atau naluriah. “Kewajaran” dalam menghabisi orang atau kelompok dimungkinkan karena individu-individu melihat kekerasan mereka sebagai tindakan yang mempunyai nilai dan patut untuk diperjuangkan. Maka, penting untuk menemukan sistem nilai yang memberikan motivasi atau mendorong seseorang untuk melakukan kekerasan sehingga kita bisa menemukan akar psikologis dari kekerasan. Seseorang akan menghabisi atau membunuh yang lain tanpa merasa salah jika tindakannya tersebut dipandang sebagai realisasi suatu nilai yang dihayati.

Pada prinsipnya manusia memiliki ketakutan terhadap kematian. Untuk mengatasi ketakutan akan kematian tersebut manusia memeluk nilai-nilai yang ditawarkan oleh berbagai institusi, salah satunya agama yang menawarkan hidup sudah mati. Nilai tersebut berfungsi mengatasi rasa panik akan kematian dalam diri manusia. Rasa panik akan muncul ketika manusia mengalami krisis makna dalam lingkungan sosial. Orang menjadi rindu akan kepastian datangnya makna. Hal ini menjadi pendorong timbulnya fanatisme, radikalisme, atau ekstremisme. Ideologi-ideologi tersebut adalah upaya untuk lari dari rasa ketidakpastian yang sedang dialami.

c. Akar Sosiologis

(5)

individu disebabkan oleh kondisi struktural masyarkat. Zaman sekarang menyulitkan seseorang untuk menunjukkan dirinya sebagai individu. Manusia terkonsentrasi pada suatu tempat di mana di situ terkumpul kekuatan modal yang memberi lapangan pekerjaan. Konsentrasi massa tersebut mengaburkan struktur-struktur sosial dan politik masyarakat itu. Individu lenyap dalam kolektivitas. Masyarakat tercerabut dari komunitasnya.

Krisis tersebut kemudian diperkuat dengan benturan berbagai khasanah nilai di dalam masyarakat majemuk. Kekosongan moral dan disorientasi nilai yang dialami individu ini dapat menjelaskan mengapa suatu ideologi atau sistem nilai yang bersifat etnosentris, fasistis, fundamentalis muncul di permukaan dan menarik banyak orang yang sedang dalam situasi krisis. Seolah-olah nilai kekerasan ini menjadi nilaiatau “etika semu” sebagai pelengkap defisit psikis mereka.

Kekerasan atas nama agama juga tidak bisa dilepaskan dari fenomena kebangkitan radikalisme agama. Di sini, radikalisme secara umum dipahami sebagai gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka. Dalam konteks agama, radikalisme adalah ‘segala bentuk fanatisme, dari sikap sektarian yang yang sekadar mengucilkan yang lain, atau lebih agresif hendak menaklukkan yang lain dengan kekerasan. Radikalisme agama erat berkaitan dengan fundamentalisme agama, meski berbeda dalam beberapa hal (Subair, 2014: 54-55). Fundamentalisme agama tidak serta-merta diikuti oleh radikalisme agama karena tidak selalu dimanifestasikan dalam agenda dan upaya pencapaian tujuan yang radikal. Banyak kaum fundamentalis yang menempuh cara yang dilakukan secara gradual, bahkan berkompromi dengan sistem yang mau diubahnya. Adapun radikalisme lebih menekankan pada corak pemikiran dan cara bertindak yang hendak mengubah keadaan atau mencapai tujuan secara cepat dan menjangkau hingga ke hal yang paling dasar.

Istilah radikalisme untuk menyebut kelompok garis keras dipandang lebih tepat ketimbang fundamentalisme karena fundamentalisme sendiri memiliki makna yang interpretable. Dalam perspektif Barat, fundamentalisme berarti paham orang-orang kaku ekstrim serta tidak segan-segan berperilaku dengan kekerasan dalam mempertahankan ideologinya. Sementara dalam perspektif Islam, fundamentalisme berarti tadjid berdasarkan pesan moral Al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam tradisi pemikiran teologi keagamaan, fundamentalisme merupakan gerakan untuk mengembalikan seluruh perilaku dalam tatanan kehidupan umat Islam kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits (Watt, 1998: 2), anti-pembaratan (westernisme) (Rahman, 1982: 136). Terkadang fundamentalisme diartikan sebagai radikalisme dan terorisme karena gerakan fundamentalisme memiliki implikasi politik yang membahayakan negara-negara industri di Barat.

Dalam beberapa hal, radikalisme agama merupakan bentuk lebih keras dari fundamentalisme agama. Kepercayaan bahwa agama adalah sistem yang total dan meliputi seluruh aspek kehidupan dilanjutkan dengan upaya pemaksaan terhadap golongan lain yang tidak sepaham. Golongan lain dimusuhi dan mau tidak mau harus mengikuti paham yang dianutnya. Dalam sistem politik, misalnya, kaum radikal agama menggunakan berbagai cara agar sistem pemerintahan diganti oleh sistem pemerintahan yang sesuai dengan keyakinannya. Begitu juga sistem sosial dan kebudayaan. Pemerintahan Thaliban di Afghanistan pada tahun 1996-2001 bisa menjadi contoh dalam hal ini. Mereka merebut kekuasaan lalu menjalankan syari’at Islam sesuai dengan tafsirnya secara ketat. Pihak-pihak yang tidak sepaham disingkirkan bahkan diperangi.

(6)

menjadi ciri penting dalam radikalisme agama. Kepercayaan yang dibangun sangat kuat, anti dialog, bahkan mengesampingkan akal sehat. Mereka kerap melakukan tindakan ‘gila’ seperti sekte Aum Shinrikyo di Jepang yang melepaskan gas beracun di kereta bawah tanah kota Tokyo tahun 1995 yang menewaskan 12 orang. Contoh lainnya adalah sekteHeaven’s Gatepimpinan Marshall Applewhite di AS yang melakukan bunuh diri massal pada tahun 1997.

Kebangkitan radikalisme agama tidak bisa dilepaskan dari dominasi modernisme dalam kehidupan manusia kontemporer. Modernisme yang bertumpu pada materialisme, menjanjikan kemajuan dan kenyamanan hidup, serta peningkatan taraf hidup, ternyata membawa dampak negatif yang tak bisa dihindari. Eksploitasi berlebih terhadap alam mengundang bencana lingkungan. Penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh segelintir orang menciptakan lubang kesenjangan yang menganga lebar. Orientasi berlebihan terhadap ekonomi menjadikan perlakuan terhadap manusia seperti perlakuan terhadap benda. Aspek spiritual dan emosional tidak diberi tempat yang layak, bahkan dianggap mengganggu kemajuan. Akibatnya, manusia terasing dari kehidupan, bahkan dari dirinya sendiri.

Selain itu, perubahan yang begitu cepat tidak bisa dipahami dengan benar oleh setiap orang. Banyak orang yang tidak bisa memahami dan mengikuti perubahan sosial-ekonomi yang terjadi. Lebih parah lagi, pihak yang tidak memahami perubahan ini menjadi pihak yang termarjinalkan. Ketidakadilan juga tampak mencolok mata dari yang berskala lokal hingga global. Banyak orang yang menyaksikan rekan seagamanya dianiaya dalam konflik-konflik yang tak juga mereda. Belum lagi aspek historis dan kerinduan terhadap kejayaan masa lalu yang dianggap bisa menjadi solusi dari kondisi carut-marut yang tengah terjadi.

Dalam kondisi seperti ini, tidak semua orang mempunyai kesabaran untuk berpikir secara terbuka, menggeluti kompleksitas masalah, dan berupaya mencari solusi yang berorientasi pada kedamaian serta kebaikan seluruh umat manusia, bahkan alam semesta. Banyak orang yang mencari jalan pintas, memerlukan kebenaran final yang ‘mudah’ untuk diyakini, dan langkah-langkah yang dianggap mampu memperbaiki keadaan secara cepat dan menyeluruh. Kebutuhan terhadap hal-hal inilah yang kemudian dipenuhi oleh radikalisme agama. Gerakan-gerakan radikal menyediakan sistem kebenaran yang tidak rumit, mudah diamalkan, dan menjanjikan balasan yang pasti dan pikabitaeun, yakni kebahagiaan surga.

Situasi itu tentu saja membawa dampak traumatis sehingga hadirnya ideologi nasionalisme di negara-negara Muslim mengalami ketegangan yang tajam, bahkan perlawanan dari unsur-unsur pembentuknya. Di samping realitas masyarakatnya yang sangat plural, dipertentangkannya konsepsi negara-bangsa sekuler modern dengan universalisme tatanan berdasar agama, telah mempertajam ketegangan dan benturan politik-ideologis yang menghambat perkembangan kesadaran kebangsaan. Akibatnya, konstruk negara-bangsa modern di negara-negara Muslim umumnya mengalami delegitimasi dan ancaman terus-menerus. Dan, kondisi ini diperparah oleh krisis yang dialami negara-bangsa sendiri berikut kelemahan-kelemahannya yang mendasar, serta kenyataan akan minimnya basis kultural bagi terbentuknya civil society modern dalam masyarakat.

(7)

serta ketidakadilan sosial telah membangkitkan frustrasi masyarakat. Situasi demikian tak pelak ikut melahirkan gerakan fundamentalisme agama yang lebih bersifat ideologis dan politis untuk mendelegitimasi negara-bangsa dan menggantikan tatanan maupun nilai-nilai demokrasi “sekuler”, yang dianggap sebagai biang berbagai krisis tersebut, dengan tatanan Islam (Tibi, 1998)

Bentuk yang paling nyata dari kekerasan atas nama agama mungkin adalah perilaku terorisme. Perilaku terorisme sebagaimana yang kini menjadi wacana dunia diidentikan dengan 'berperang atas nama Tuhan', telah melahirkan pandangan miring terhadap gerakan keagamaan. Terorisme adalah kekerasan fisik yang berakar dari ekspresi para pengikut fundamentalisme ketika berhadapan dengan pengikut aliran keagamaan yang tidak sepaham dengan kaum fundamentalisme. Ekspresi fundamentalisme memang terkadang sangat menakutkan dengan melakukan bom bunuh diri, membajak pesawat dan menembaki jamah-jamah keagaman tertentu(Ja’far, 2015).

Fenomena perilaku terorisme yang kini menjadi persoalan dunia dapat dijelaskan dengan menghubungkannya dengan isu kebangkitan agama. Berger (1994) menjelaskan bagaimana asal-usul kebangkitan agama yang tampaknya merambas secara luas. Dalam pengamatannya, ia memberikan dua jawaban. Pertama, modernitas cenderung memporak-porandakan kepastian (certainty) yang telah diterima secara taken for granted oleh masyarakat sepanjang zaman. Tindakan ini amat tidak disukai penganut agama yang tidak bersikap toleran serta gerakan keagamaan yang menghendaki agar kepastian tersebut dapat dipertahankan. Kedua, pandangan sekuler tulen tentang realitas memperoleh tempat sosial yang penting dalam kultur elit. Maka, tidak mengejutkan kalau pandangan ini menimbulkan kemarahan dari kalangan yang tidak ikut ambil bagian di dalamnya dan yang merasa hal itu akan menimbulkan pengaruh buruk.

Dari dua persoalan yang disodorkan Berger itu, dapat disimpulkan, prospek kebangkitan agama akan mengkristal ketika modernitas mulai memberikan pengaruh bahkan menyingkirkan kaidah normatif yang sudah mapan sebagaimana diyakini kalangan agamawan. Benturan antara norma agama dengan nilai moderenitas ini yang akhirnya menjadi basis persoalan perlawanan oleh kalangan agamawan. Memang proposisi bahwa modernitas menyebabkan posisi agama menjadi menurun, merupakan proposisi bebas nilai (value free). Artinya, proposisi ini bisa dibenarkan baik oleh orang yang menganggapnya sebagai berita baik atau pun oleh orang yang menganggapnya sebagai berita buruk.

Dasar persoalan kedua sebagaimana dikemukakan Berger, sebab munculnya gerakan keagamaan adalah masalah sosio politik. Ketertindasan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan merupakan masalah sosial politik dunia sekarang. Keperkasaan dunia Barat, misalnya, dalam memonopoli urusan dunia -sosial, politik dan budaya- telah melahirkan banyak gerakan protes berbasis agama untuk melakukan perlawanan (baca: jihad). Agama menjadi penggerak dan pemersatu masyarakat yang efektif karena agama lebih dari ideologi sekuler mana pun. Terlebih agama merupakan sistem integrasi yang menyeluruh. Agama mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh untuk mengatur kembali nilai dan sasaran yang ingin dicapai masyarakat. Dengan demikian, fungsi sosial agama adalah memberikan kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu orde sosial (tatanan sosial kemasyarakatan). Karenanya secara sosiologis, tampak ada korelasi positif antara agama dan integrasi masyarakat.

Akar-akar Kekerasan Teologis dalam Agama Islam

(8)

mempertahankan paham keagamaannya secara kaku. Dalam bahasa peradaban global, kelompok ini sering disebut kaum radikalisme Islam (Subair, 2014: 60). Pasca hancurnya gedung WTC New York yang dituduhkan dilakukan oleh kelompok Islam garis keras (Al-Qaeda dan Taliban), term radikalisme Islam menjadi wacana yang lebih menglobal yang berimplikasi pada sikap kecurigaan masyarakat dunia, terutama bangsa Barat dan Amerika Serikat terhadap gerakan Islam. Hal yang demikian terjadi karena orang-orang Eropa Barat dan Amerika Serikat berhasil dalam melibatkan dan mewarnai media sehingga mampu membentuk opini publik. Praktek-praktek kekerasan yang dilakukan sekelompok Islam dengan membawa simbol-simbol agama telah dimanfaatkan oleh orang-orang Barat dengan memanfaatkan media massa sebagai alat utama dalam memegang tampuk wacana peradaban, sehingga Islam terus menerus dipojokkan oleh publik. Barangkali masyarakat Barat telah tertipu oleh muslihat peradabannya sendiri dalam mengeksploitasi media yang diciptakannya. Ketergesa-gesaan dalam generalisasi menyebabkan mereka tidak mampu memandang fenomena historis umat Islam secara obyektif. Tetapi hal ini tidak berarti pembenaran terhadap praktek radikalisme yang dilakukan umat beragama karena yang demikian bertentangan dengan pesan-pesan moral yang terkandung dalam agama dan moralitas manapun.

Sebutan untuk memberikan label bagi gerakan radikalisme bagi kelompok Islam garis keras juga bermacam-macam seperti ekstrim kanan, fundamentalis, militan dan sebagainya. Shaban (dikutip dalam Subair, 2014: 61) menyebut aliran garis keras dengan sebutan neo-khawarij. Sedangkan Nasution (ibid) menyebutnya dengan sebutan khawarij abad ke dua puluh karena memang jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan adalah dengan menggunakan kekerasan sebagaimana dilakukan khawarij pada masa pasca Tahkim.

Sesungguhnya terdapat beberapa pijakan teologis kekerasan dalam Islam yang perlu direnungkan. Legitimasi kekerasan agama dalam konteks Islam misalnya, dapat disimak dalam beberapa konsep yang dirangkum oleh Sumbulah (2005) berikut ini.

1. Jihad

Dalam pandangan kelompok tertentu, selama ini pemahaman terhadap jihad pada umumnya sebagai perang fisik. Padahal jihad juga bisa berarti perang psikis terhadap segala bentuk nafsu politik, serakah, hegemonik, superioritas, egoisme dan lain-lain. Oleh karena itu, sebuah hadis nabi yang mengajak para sahabat berpindah dari jihad kecil (jihad asghar) Jihad kecil atau jihad asghar dalam konteks hadis tersebut adalah ketika para sahabat selseai perang badar, yakni sebuah peperangan terbesar dalam sejarah kerisalahan Muhammad, kemudian Rasulullah mengajak para sahabat untuk pergi berjihad akbar, yakni jihad melawan hawa nafsu. Ini karena, meskipun manusia diberikan fitrah selalu cenderung kepda kebenaran, namun manusia juga memiliki potensi fujur (fasik, menentang Tuhan dan lain-lain) ke jihad besar (jihad akbar) menemukan motif suci dan relevansinya dalam koteks pemaknaan jihad psikis tersebut (QS. As-Syams: 7-8).

(9)

di atas, agaknya pada awalnya gerakan ini menghindari upaya kekerasan. Namun demikian, tampaknya pergeseran makna jihad pada gerakan ini juga terjadi. Karena itu, gerakan fundamentalisme kotemporer yang memperjuangkan cita-cita yang sama, melalui garis kultural maupun strukktural, dengan cara damai maupun kekerasan, menemukan rujukan historisnya, kendati dengan intensitas yang berbeda, terlebih ketika Ikhwanul Muslimin menyatakan bertanggung jawab atas terbunuhnya presiden Mesir, Anwar Sadat dan berbagai aksi kekerasan yang berbuntut pada dibekukannya organisasi tersebut di seantero Mesir.

Pemahaman tentang jihad dalam konteks sejarah perang, melahirkan konflik Muslim-Hindu di India dan Pakistan misalnya, atau perang Palestina-Israel dan sebagainya, menyuguhkan “tontonan” kekerasan. Oleh karena itu, ekspresi keberagamaan (mungkin lebih tepat disebut perang kepentingan) ini hampir disamakan dengan terorisme, polarisasi politik, kudeta agamawan, mujahidun dan tentara jihad dan lain-lain. Demikian pula yang ditunjukkan perang suci (crusade) dalam tradisi Kristen, juga dilakukan dengan motivasi agama dan dorongan gereja.

2. Konsep dan polarisasi dar al-islam (wilayah damai) dan dar al-harb (wilayah musuh: non-muslim)

Konsep dar al-harb dan dar al-Islam dalam konsep fiqih, memiliki fungsi tersendiri untuk mendefinisikan hubungan antara tatanan agama-politik muslim dan entitas politik non-muslim). Jihad ofensif, dalam kontekks fiqih, seringkali dianggap sebagai bagian dari serangkaian kewajiban muslim sebagai komunitas dan bukan sebagai individu (fardhu kifayah). Sedangkan jihad defensif, dinyatakan sebagai kewajiban setiap muslim sebagai individu (fardhu ‘ain).

Al-Syaibani (murid Abu Hanifah), berpendapat bahwa kaum kafir boleh diserang jika mengancam umat muslim; al-Farabi berpendapat bahwa perang defensif bisa dilakukan dalam 5 hal yakni sebagai sarana pembelaan, mendapat kebaikan, pembaruan, mengambil kembali hak yang dirampas pihak lain, serta sebagai sarana untuk menundukkan apa yang menjadi tuntutan. Dalam cara pandang beberapa kelompok Islam, terdapat konsep dar al-Islam dan dar al-harb dengan pembedaan yang fiqih oriented. Sebagai konsekuensinya, penduduk yang non-muslim diposisikan sebagai musuh yang karenanya, absah untuk diperangi/ dihancurkan. Oleh karena itu, sebagai akibatnya, ada beberapa upaya utuk pemaksaan homogenisasi agama, atau paling tidak homogenisasi hukum dan aturan-aturan tertentu yang hegemonik di tengah pluralitas keagamaan yang ada. Akibatnya, konflik dan kekerasan tidak terhindarkan (Sumbulah, 2005).

3. Konsep dakwah sebagai ideologi“pengislaman” dunia

Konsep bahwa Islam adalah agama rahmatan li al-‘alamin diinterpretasikan sebagai ideologi pengislaman dunia, yakni bahwa untuk mendapatkan rahmat Tuhan, setiap orang harus masuk Islam, tanpa itu kerahmatan Tuhan tidak akan pernah menyapanya. Dalam perspektif ini, dakwah dijadikan sebagai media dan alat konversi agama (pengislaman dunia) (Anees et al., 2000: 52-53). Peledakan dan pengeboman di sejumlah wilayah di tanah air oleh kelompok Islam radikal, pengiriman lasykar jihad melawan orang Kristen ketika kekerasan komunal Islam-Kristen melanda Ambon, sweeping warga negara AS yang dianggap salibis dan pendukung kebijkan Zionisme, adalah di antara bukti konkrit betapa agama Islam yang sesungguhnya bermakna penebar kedamaian, justru direduksi dan dijungkirbalikkan maknanya sebagai agama teror dan kekerasan.

(10)

4. Konsep unitas Islam sebagai entitas agama-politik

Dalam komunitas Islam, terdapat tiga aliran pemikiran tentang relasi agama dan negara. Pertama, kelompok fundamentalisme yang berpandangan bahwa agama dan politik adalah dua entitas yang menyatu dalam konsesi dan kohesinya. Ini karena dalam pandangan kelompok ini, Islam adalah agama yang syumul (komprehensif) yang mencakup semua aspek kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Pandangan kelompok ini sangat kuat, karena memiliki akar historis, di mana dalam sejarah, terdapat relasi yang kuat antara agama dan politik sejak awal Islam dan tidak ada pemisahan, bahkan sifat permanen Islam adalah politis sekaligus religius. Bukti historis lainnya, misalnya dapat dilihat dalam konteks kekhalifahan di era klasik hingga era modern, Iran, yang sesungguhnya telah dimulai sejak abad X-XI (Johnson, 2002: 65).

Kesyumulan Islam dalam pandangan kelompok ini, harus dilaksanakan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Karena inti agama bagi mereka adalah apa yang harus diaplikasikan secara nyata melalui seluruh aspek kehidupan, tidak hanya menyangkut ritualitas seperti shalat, puasa dan sebagainya, namun juga mencakup masalah sosial, budaya, ekonomi dan bahkan politik. Oleh karena itu, terwujudkannya lembaga /institusi sosial yang mampu menjamin terlaksanakannya syari’at Islam menjadi wajib diupayakan adanya.

Kedua, kelompok Islam syiah, yang berpandangan tidak jauh dari kelompok pertama, bahwa agama dan negara memiliki relasi yang overlapping sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan dan mana yang menjadi prioritas, karena dalam agama ada politik dan dalam politik ada agama. Konsep imamah sebagai doktrin yang paling prisnsip dalam tradisi syiah memberikan motivasi dan spirit tersendiri bagi perjuangan menegakkan piranti politik-kekuasaan Syiah. Oleh karena itu, berdirinya dinasti Fathimiyah di Mesir dan satu-satunya negara Islam Syiah di Iran kontemporer, merupakan kesuksesan besar bagi pandangan dan perjuangan kelompok ini.

Ketiga, kelompok Islam modernis yang mencoba memisahkan antara agama dan politik karena keduanya merupakan entitas yang berbeda satu sama lain, baik hakikat maupun tujuannya. Ketika agama “bermesraan” dengan politik, yang justru terjadi adalah politisasi agama. Agama hanya merupakan entry point“paling empuk” untuk ‘membakar” semangat dan mengobarkan sentimen keagamaan. Sebagai akibatnya, ketika ada isu politik yang menatasnamakan agama, maka yang terjadi adalah penggunaan simbol-simbol agama yang justru dapat berdampak bagi pelecehan dan merosotnya kharisma agama itu sendiri.

Islam sebagai agama damai sesungguhnya tidak membenarkan adanya praktek kekerasan (Bahri, 2004). Cara-cara radikal untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan apa yang dianggap sakral bukanlah cara-cara yang Islami. Di dalam tradisi peradaban Islam sendiri juga tidak dikenal adanya label radikalisme. Istilah radikalisme Islam berasal dari pers barat untuk menunjuk gerakan Islam garis keras (ekstrim, fundamentalis, militan) (Ahmed, 1993: 30). Yang menjadi masalah di Barat dan Amerika sebenarnya bukan Islam itu sendiri tetapi praktek-praktek kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok komunitas Muslim dalam proses pembentukan jati diri (identitas) kelompoknya (Madjid, 1995: 270). Istilah fundamentalisme dan radikalisme dalam perspektif Barat sering dikaitkan dengan sikap ekstrim, kolot, stagnasi, konservatid, anti-Barat, dan keras dalam mempertahankan pendapat bahkan dengan kekerasan fisik. Penggunaan istilah radikalisme atau fundamentalisme bagi umat Islam sebenarnya tidak tepat karena gerakan radikalisme itu tidak terjadi di setiap negeri Muslim dan tidak dapat ditimpakan kepada Islam. Radikalisme merupakan gerakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang dirugikan oleh fenomena sosio-politik dan sosio-historis.

(11)

dilakukan oleh sebagian kalangan umat Islam, oleh pers Barat dibesar-besarkan, sehingga menjadi wacana internasional dan terciptalah opini publik bahwa Islam itu mengerikan dan penuh dengan kekerasan. Akibatnyam tidak jarang image-image negatif banyak dialamatkan kepada Islam sehingga umat Islam terpojokkan sebagai umat yang perlu dicurigai.

Hal yang demikian terjadi karena masyarakat barat mampu menguasai pers yang dijadikan instrumen yang kuat guna memproyeksikan kultur dominan dari peradaban global. Apa yang ditangkap masyarakat dunia adalah apa yang didefinisikan dalam media-media Barat. Label Islam untuk menyebut gerakan fundamentalis sangat menyenangkan bagi pers Barat ketimbang label Tamil di Srilangka, militan Hindu di India, IRA (kelompok bersenjata Irlandia Utara), militan Yahudi sayap kanan, sekte kebatinan di Jepang ataupun bahkan musuh lamanya, komunis-marxis yang tidak jarang menggunakan jalan kekerasan sebagai solusi penyelesaian masalah.

Karena terlalu mengkaitkan kata-kata radikalisme, fundamentalis atau gerakan militan dengan Islam maka seringkali media Barat mengabaikan perkembangan praktek kekerasan yang ditopang keyakinan keagamaan yang dilakukan oleh kalangan non-Islam ataupun yang ditopang oleh ideologi “kiri”. Contoh yang sangat jelas adalah aksi tutup mulut para elit politik barat atau aksi bicara dalam kepura-puraan ketika malihat praktek kekerasan yang dilakukan oleh ekstrimis Yahudi ataupun sedadu Israel atas orang-orang Arab Palestina. Apa yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pelaku kekerasan ini secara faktual sama dengan apa yang dilakukan oleh kelompok pelaku garis keras “radikalisme Islam”. Tetapi sebutan radikalisme lebih kental ditujukan kepada gerakan Islam.

Kritik Ideologi atas Agama

Memiliki suatu agama tertentu adalah dasar dari identifikasi diri. Kekuatan rasa memiliki di antara anggota kelompok agama tersebut menyebabkan pembatasan atau pengkotak-kotakan dalam kelompok agama tersebut maupun dalam masyarakat luas (McGuire, 2002: 210). Pembatasan atau pembedaan antar kelompok ini mendorong terjadinya konflik dalam masyakat. Agama menjadi identitas kelompok yang membedakan dengan kelompok lain. Ritus-ritus yang ada di dalam suatu agama hendak merayakan identitas dan kesatuan kelompok. Dengan demikian, mereka terus-menerus membatasi diri dalam kelompok tersebut dengan yang di luar kelompok. Hal ini semakin mendukung terjadinya konflik sosial.

Menurut sosiolog Jerman, Max Weber, struktur dan tindakan suatu kelompok sosial berasal dari komitmennya pada sistem kepercayaan tertentu, yang juga menjadi asal tujuan, standar perilaku dan legitimasi kekuasaan. Meski teori ini sampai kini masih menimbulkan pro-kontra, namun tak dapat dibantah bahwa agama merupakan salah satu faktor yang sedikit banyaknya memiliki andil dalam pembentuk hal ini, di samping faktor-faktor lain seperti politik dan ekonomi. Salah satu hal yang merupakan manifestasi dari fungsi ini adalah bahwa agama bisa terefleksi menjadi faktor integratif bagi pemeluknya, dan sekaligus faktor disintegratif antarpemeluk agama yang berbeda terutama jika agama ini dipahami secara absolut dan eksklusif. Kasus konflik sosial di Ambon yang kemudian meluas menjadi kasus Maluku merupakan contoh konkret bagi fungsi potensial agama ini. Memang kasus Maluku ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks, termasuk faktor ekonomi dan politik. Namun jelas, bahwa agama menjadi satu faktor yang cukup dominan juga. Kenyataan ini mendorong kita untuk melihat bagaimana umat beragama memposisikan dan menginterpretasikan ajaran agama mereka masing-masing, terutama dalam konteks kehidupan masyarakat bangsa yang plural ini.

(12)

agama bukanlah barang suci yang bebas dari kontaminasi manusia. Agama terbentuk melalui proses sejarah, bercampur dengan budaya serta hasrat-hasrat manusia. Kata “agama” sendiri memiliki jenis pemaknaan yang luas meliputi gagasan-gagasan, praktek-praktek, juga pengalaman-pengalaman–kadang positif dan kadang negatif. Kritik ideologi sendiri bukan untuk melemahkan fungsi agama sebagai jalan hidup manusia, bukan pula sebagai justifikasi atas kebenaran kaum atheis, tapi refleksi untuk membangun agama menjadi lebih baik, terutama dalam posisinya sebagai unsur yang melekat dalam sejarah dan budaya manusia. Akhirnya, jawaban atas kritik itu bukan apologia (membela diri), tetapi transformasi kritik tersebut untuk pemurnian pemahaman agama (Haryatmoko, 2003:68).

Sudah banyak filsuf yang telah melakukan kritik terhadap agama, seperti Ludwig Feuerbach yang menyatakan God is not create human, but human creates God; Karl Marx menyatakan religion is opium; atau Sigmund Freud dalam teori our father rejection. Selain ingin menyatakan bahwa Tuhan adalah sebuah ilusi, mereka pun ingin menekankan bahwa agama adalah alat kekuasaan yang selalu ada dan digunakan dalam hubungan sosial. Konsep takdir, sabar, dan hal-hal ukhrowi dilihat Feuerbach sebagai konsep yang menjauhkan manusia dalam kemampuannya mengubah dunia. Agama menjadi sebuah pelarian dalam ketidakmampuan manusia. Allah telah ditempatkan sebagai dalang yang dengannya manusia berada dalam kondisi pasif.

Untuk konteks keindonesiaan yang sedang concerned terhadap isu-isu kemanusiaan, kritik ideologi penting dilakukan untuk mengajak umat beragama di Indonesia bersama-sama mengubah visi keberagamaan dari visi keberagamaan yang sempit, normatif dan eksklusif menjadi inklusif historis dan humanis. Pandangan senada pernah dikemukakan masing-masing dalam Cita dan Fakta Toleransi Islam (Arasy, 2003) karya Khalid Abou El Fadl dan The Heart of Islam karya Seyyed Hosein Nasr (Mizan 2003). Karya Nasr ini mencoba menghadirkan visi universal dan keterbukaan Islam baik secara normatif maupun historis. Nasr, dengan visi Islam tradisionalnya, menampik kekerasan atas nama agama. Baginya, pluralisme agama bukan untuk diperkeruh dengan berbagai konflik tetapi justru ditempatkan pada upaya pencapaian spiritualitas universal agama-agama. Jika buku El Fadl dan Seyyed Hosein Nasr berbicara dalam konteks agama Islam, Kimball dengan karyanya tersebut memberikan perspektif seorang Kristiani yang banyak bergumul dengan soal-soal hubungan antar agama.

Kini dalam masyarakat Indonesia yang sangat plural, kritik idiologi diperlukan agar agama tidak terus menjadi legitimasi atas berbagai bentuk kekerasan. Bersikap kritis dan curiga terhadap apa yang terjadi dalam masyarakat adalah hal yang mesti kita lakukan. Sikap kritis terhadap agama ini hanya bisa kita lakukan ketika kita mengambil jarak terhadapnya. Mengamati adalah proses melihat, dan melihat membutuhkan jarak.

(13)

Pada akhirnya dibutuhkan suatu teori yang dapat membangun atau mendorong pada maksud praksis. Di Inggris sekitar abad ke-15, kota London sudah sangat metropolis. Penduduknya berasal dari bermacam golongan, orang-orang lokal dan pendatang dari berbagai negara semua berkumpul. Raja pada saat itu dipaksa berpikir, bagaimana membangun suatu kekuatan idiologis agar masyarakatnya yang heterogen tidak terpecah-belah oleh konflik. Maka muncul gagasan tentang multikulturalisme, sebuah gerakan yang mendorong masyarakat menuju kesadaran dan praxsis hidup bersama. Pada zaman sekarang, dalam konteks agama, semangat itu kita kenal dengan sebutan pluralisme.

Pluralisme bukan hanya sikap menghargai perbedaan atau menerima bahwa setiap keyakinan memiliki kebenaran dalam dirinya masing-masing. Meminjam Habermas, pluralitas secara sosiologis adalah kemampuan untuk menghubungkan secara normatif individu-individu beserta kepentingannya ke dalam suatu kelompok yang lebih besar. Prinsip pluralitas yang menghargai opini publik, membuka partisipasi publik seluas-luasnya, dan menghargai ekpresi publik muncul bukan karena individu berasal dari satau kelompok yang berbeda, tetapi karena ia diakui sepenuhnya sebagai bagian dari warga negara yang dilindungi secara hukum (Habermas, 1996:331).

Penutup

Agama dewasa ini seolah dan terkesan membuat gentar dan cemas lantaran seringnya tampil dengan wajah yang penuh kekerasan. Agama tampak kehilangan wajah ramahnya. Agama seringkali tidak lagi dipandang sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam, agama justru sering dinilai sebagai sumber ketidakharmonisan kehidupan umat manusia. Anggapan ini timbul karena agama telah menciptakan “pagar beton” yang memisah-misahkan umat manusia. Keadaan ini menyebabkan agama dinilai sebagai sebuah intitusi yang eksklusif dan egois. Agama juga dinilai hanya berkutat pada dunia ritual, retorik dan idealisme yang tidak mempu berbuat banyak tatkala berbenturan dengan kenyataan kehidupan yang sesungguhnya, yang sangat menuntut aksi-aksi sosial nyata dari agama itu untuk merubahnya. Beberapa tahun belakangan ini termasuk juga di Indonesia, isu radikalisme agama sangat menguat dan mengguncangkan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Kelompok agama fundamental berjuang sekuat tenaga dan dengan segala cara, memperjuangkan visi dan misi mereka, tanpa peduli akan kenyataan dalam masyarakat bahwa bangsa ini adalah pluralis..

Akar dari sebab munculnya gerakan keagamaan yang salah satunya diekspresikan dalam aksi kekerasan dan terorisme adalah masalah sosio politik. Ketertindasan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan merupakan masalah sosial politik dunia sekarang. Keperkasaan dunia Barat, misalnya, dalam memonopoli urusan dunia --sosial, politik dan budaya-- telah melahirkan banyak gerakan protes berbasis agama untuk melakukan perlawanan Agama menjadi penggerak dan pemersatu masyarakat yang efektif karena agama lebih dari ideologi sekuler mana pun. Terlebih agama merupakan sistem integrasi yang menyeluruh. Agama mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh untuk mengatur kembali nilai dan sasaran yang ingin dicapai masyarakat. Dengan demikian, fungsi sosial agama adalah memberikan kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu orde sosial (tatanan sosial kemasyarakatan). Karenanya secara sosiologis, tampak ada korelasi positif antara agama dan integrasi masyarakat.

(14)

dari itu, meningkatkan kewaspadaan bahkan memberantas pola pikir dan tindakan kekerasan teologis seperti terorisme, hanya perbuatan yang sia-sia kalau tidak diiringi tindakan perbaikan atau perubahan masalah sosial, politik, budaya dan ekonomi. Seperti penegakkan hukum, membangun keadilan dan demokrasi, menghapuskan sikap permusuhan di antara sesama manusia serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Namun tanpa mengurangi sikap optimisme kita, setidaknya apa yang dilakukan pemerintahan Indonesia dalam rangka 'memerangi' perilaku terorisme selain dengan upaya penangkapan mereka yang dituduh sebagai teroris juga dengan mengampanyekan pemahaman keagamaan yang benar oleh tokoh ulama, merupakan upaya yang semestinya mendapatkan dukungan dari masyarakat luas. Upaya terakhir dari dua tindakan yang diambil pemerintahan, merupakan tindakan yang lebih efektif karena perilaku terorisme muncul akibat dari pemahaman keagamaan yang menyimpang dalam merespon modernitas.

Kekerasan atas nama agama, sesungguhnya juga akan bisa dikurangi/diminimalisir ketika hal tersebut menjadi komitmen moral-nyata bagi semua penganut agama-agama. Agama merupakan fondasi etika dalam penyelesaian kasus-kasus konflik dan kekerasan, karena pada hakikatnya entitas agama adalah menciptakan perdamaian, bukan menebarkan konflik dan kekerasan.

REFERENSI

Amstrong, Karen. 2002. Berperang Demi Tuhan, terjemahan Satrio Wahono, M. Helmi dan Abdullah Ali, Jakarta & Bandung: Serambi & Mizan.

Anees, Munawar Ahmad. 2000. Muslim-Kristen: Dulu, Sekarang, Esok. Yogyakarta: Qalam, 2000.

Anonimous. 2013. Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia. Human Rights Watch.

Azra, Azyumardi. 1994. “Jihad dan Terorisme: Konsep dan Perkembangan Historis” dalam Islamika No. 4, April-Juni 1994.

Bahri, Syamsul. 2004. “Islam dan Wacana Radikalisme Agama Kontemporer” dalam Jurnal Dinika Vol. 3 No. 1 Januari 2004.

Beuken, Wim dan Kuschel, Karl-Josef et.al. 2003. Agama Sebagai Sumber Kekerasan? Terjemahan Imam Baehaqi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fadl, Khalid Abou El. 2003. Cita dan Fakta Toleransi Islam. Arasy.

Habermas, Jurgen, 1996, Between Facts and Norms: Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy, (trans.) William Rehg, Polity Press, Britain.

Hadiz,Vedi R..2011.“Ketidakadilan Sosial, Akar Radikalisme”, dalam Komunitas Vol.III No.8-Agustus 2011, Jakarta: Maarif Institute For Culture and Humanity.

Hamim, Thoha. 2004. Islam dan NU di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer: Dialektika Kehidupan Politik, Agama, Pendidikan dan Sosial Masyarakat Muslim. Surabaya: Diantama.

(15)

Hardiman, Budi. 2005. Memahami Negativitas. Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Haryatmoko. 2003, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas.

Hasan, Noorhaidi. 2010.”Ideologi, Identitas dan Ekonomi Politik Kekerasan Mencari Model Solusi Mengatasi Ancaman Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”,dalam Prisma Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi Edisi Islam dan Dunia Perjumpaan di Tengah Perbenturan ,Jakarta: LP3ES, Vol.29, Oktober 2010.

Hick, John. 1996. Religious Pluralism, dalam Philosophy of Religion (ed.) Michael Paterson etc., Oxford University Press, New York.

Johnson, James Turner. 2002. Perang Suci Atas Nama Agama Dalam Tradisi Barat dan Islam. Terj. Ilyas Hasan dan Rahmani Astuti. Jakarta: Pustaka Hidayah.

Jurgensmayer, Mark. 2000. Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence. Berkeley: University of California Press.

Kasdi, Abdurrahman. 2002. “Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar teologi, Kritik Wacana dan Politisasi Agama” dalam Taswirul Afkar: Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 13 tahun 2002. Jakarta: LAKPESDAM.

Kimball, Charles. 2003. Kala Agama Jadi Bencana Pengantar Dr. Sindhunata terjemahan Nurhadi dari When Religion Becomes Evil. Bandung: Mizan.

Madjid, Nurcholis. 1995. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.

McGuire, Meredith. 2002. Religion. The Social Context, Illionis: Waveland Press. Nasr, S.H. 2003. The Heart of Islam. Bandung: Mizan.

Nottingham, Elizabet K. 1996. Agama dan Masyarakat. Terjemah Abdul Muis Naharong. Jakarta: Rajawali Pers.

O’dea, Thomas F. 1995. Sosiologi Agama. Diterjemahkan Tim Yasogama). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Qardhawi, Yusuf. 1993. Nahwa Wahdah Fikriyah li al-‘Amilin li al-Islam. Terjemahan Ali Makhtum Assalamy. Jakarta: Gema Insani Press.

Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: University of Chicago Press.

Riyanto, Armada. 2000. “Membongkar Eksklusivisme Hidup Beragama” dalam Riyanto, Armada (ed.). Agama Kekerasan Membongkar Eksklusivisme. Malang: DIOMA-STFT Widyasasana.

Sayyid, Bobby S. 1997. A Fundamental Fear: Eurosentrism and the Emergence of Islamism. London & New York: Zed Book Ltd.

Setara Institute, 2012. "Laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 2007-2011," http://www.setara-institute.org/en/category/galleries/indicators (diakses 2 November 2015).

(16)

Sumbulah, Umi. 2005. “Agama dan Kekerasan Menelisik Akar Kekerasan dalam Tradisi Islam”, dalam Philosophica et Theologica. Malang: Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologia (STFT) Widyasasana Malang, Edisi Vol. 5. Nomor 1 Maret 2005.

Syarqawi, Muhammad asy, 2003,Talmud, Kitab “hitam” Yahudiyang menggemparkan. Tadjoeddin, Mohammad Zulfan. 2002. Anatomi Kekerasan dalam Konteks Transisi: Kasus

Indonesia 1990-2001. Working Paper: 02/01- I UNSFIR.

The Wahid Institute. 2011. “Lampu Merah Kebebasan Beragama”, Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute.

Tibi, Bassam. 2000. Ancaman Fundamentalisme, Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia, Terjemahan Imron Rosyidi, dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana.

Tibi, Bassam. 1999. Islam, Kebudayaan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. Turner, Bryan S. 1991. Religion and Social Theory. London: Sage Publication.

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian lain dari globalisasi seperti yang dikatakan oleh Barker Barker 2004 adalah bahwa globalisasi merupakan koneksi global ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang semakin

Kondisi ini jelas menandakan bahwa penetrasi teknologi internet serta media sosial yang semakin intensif dari waktu ke waktu dalam lingkup masyarakat daerah Sulawesi Barat berdampak

Indonesia perlu mengoptimalkan posisi strategis dan pengelolaan serta pemanfaatan sumber daya laut untuk kepentingan nasional baik secara politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan,

Oleh karena itu menurut dia Pancasila mengandung perspektif religious dari sebuah unsur penting yang berfungsi sebagai landasan sosial-politik bersama bagi umat Islam untuk

Masalah utama dalam penelitian ini yaitu bagaimana relasi budaya dan agama pada fenomena makam Imam Lapeo dan dampak terjadinya relasi budaya dan agama pada fenomena makam Imam Lapeo di

Identitas keagamaan islam adalah tidak ditemukan pondasinya pembentukan identitas nasional indonesia, begitulah sehingga politik identitas di negara disikapi menjadi persediaan ruangan

Sebagai negara demokrasi, partai politik dan calon politik memiliki peran penting dalam menentukan arah perpolitikan di Indonesia, arah tersebut sudah ditanamkan oleh masing- masing

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Ch, 2012 Menyatakan dalam penelitiannya yang berjudul Rekonstruksi Kesetaraan Dan Keadilan Gender Dalam Konteks Sosial Budaya Dan Agama ia