• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dal"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam

Masyarakat Majemuk Indonesia

1

Parsudi Suparlan

(Universitas Indonesia)

Abstract

This article will discuss legal and social discrimination against Chinese ethnic group in Indonesia and will show that the ethnic Chinese has been categorised as The Other since Chinese people are believed to have come from foreign country (China) and maintain their identity as different from other Indonesian ethnic groups. The discussion is focused on the essence of Indonesia as a multicultural society based on ethnicities as social force to develop social interactions within social, economy and political structures at the personal, social and state levels.

1 Tulisan ini merupakan revisi dari makalah yang dipresentasikan dalam panel ‘Ethnic Chinese and

Multicultural Society’, pada Simposium Internasional

Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3: Mem-bangun Kembali Indonesia yang “Bhinneka Tunggal Ika”: Menuju Masyarakat Multikultural, 16–19 Juli 2002, Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali. 2 Atas permintaan penulis, kata ‘sukubangsa’ dalam artikel ini ditulis menjadi satu kata yang mengacu pada kata ethnic dalam bahasa Inggris.

Pendahuluan

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau bhinneka tunggal ika, yaitu sebuah masyarakat negara yang terdiri atas sukubangsa2 yang dipersatukan dan diatur

oleh sistem nasional. Dalam masyarakat Indo-nesia yang majemuk, penekanan keaneka-ragaman adalah pada sukubangsa dan ke-budayaan sukubangsa. Setiap masyarakat sukubangsa secara turun temurun mempunyai

dan menempati wilayah yang diakui sebagai hak ulayatnya. Di tempat itulah sumber-sumber daya mereka dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup mereka.

(2)

dibanding-kan dengan posisi orang Melayu yang dominan di Riau—(Suparlan 1995).

Dalam masyarakat majemuk seperti Indo-nesia, keanekaragaman sukubangsa telah menghasilkan potensi konflik antarsukubangsa dan antara pemerintah dengan suatu masya-rakat sukubangsa. Potensi-potensi konflik tersebut merupakan sebuah permasalahan yang ada bersamaan dengan keberadaan corak sukubangsa yang majemuk. Sumber per-masalahan ini terletak pada siapa atau golongan mana yang paling berhak atas sumber-sumber daya yang ada di wilayah-wilayah kedaulatan dan kekuasaan sistem nasional atau pemerintah pusat.

Pertanyaan mengenai siapa yang paling berhak atas sumber-sumber daya tersebut muncul karena sumber-sumber daya tersebut ada di wilayah-wilayah hak ulayat masing-masing sukubangsa. Padahal, Indonesia sebagai sebuah bangsa secara de jure dan de facto baru ada setelah proklamasi 17 Agustus 1945 yang berarti lebih muda dibandingkan dengan keberadaan masyarakat-masyarakat sukubangsa. Hal itu menyebabkan peme-rintahan nasional berada dalam posisi sulit dan dilematis untuk mengakui, mengambil alih, dan memonopoli sumber-sumber daya yang ada dalam hak ulayat sukubangsa. Oleh karena itu, hubungan antara pemerintah nasional dengan masyarakat sukubangsa menjadi permasalahan yang krusial dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik kepentingan atas sumber-sumber daya tersebut terjadi pada tingkat nasional dan lokal.

Kesukubangsaan yang muncul dalam interaksi sosial adalah sebuah kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar. Hal itu menjadi acuan ampuh dalam upaya kohesi sosial dan soli-daritas di antara sesama anggota sukubangsa dalam persaingan dan perebutan sumber-sumber daya yang secara adat menjadi hak

mereka. Dampak lain dari pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan dalam kehidup-an sosial adalah ditegaskkehidup-annya batas-batas kesukubangsaan oleh masyarakat sukubangsa setempat berkenaan dengan penguasaan hak. Batas-batas tersebut di antaranya adalah siapa yang tergolong asli pribumi setempat, siapa yang pribumi setempat tetapi tidak asli, siapa yang pendatang, dan siapa yang asing. Penggolongan ini berdampak pada perlakuan sosial, politik, dan ekonomi berupa tindakan-tindakan diskriminasi dari yang paling ringan (digolongkan sebagai pribumi tetapi tidak asli sehingga mempunyai posisi minoritas) sampai dengan yang terberat (orang Cina, yang digolongkan sebagai asing).

Dampak lain adalah munculnya ideologi kesukubangsaan. Sadar atau tidak, akan melandasi corak kegiatan dari sistem nasional. Ide bahwa orang Cina itu asing lebih dominan dibandingkan dengan anggapan dan kenyata-an bahwa mereka wargkenyata-anegara Indonesia. Oleh karena itu, walaupun orang Cina sudah menjadi warganegara Indonesia tetapi tetap saja didiskriminasi secara hukum dan sosial.

(3)

Kesukubangsaan dalam masyarakat

majemuk

Gejala sosial yang tidak terlihat di dalam kehidupan sehari-hari tetapi mendasar dan mendalam di dalam kehidupan anggota suku-bangsa-sukubangsa di Indonesia adalah jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan. Dalam kehidupan orang Indonesia, sukubangsa adalah sebuah ide, kenyataan, dan ideologi yang mempunyai kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar ataupun dibendung.

Bila kita mendefinisikan sukubangsa sebagai sebuah kategori atau golongan sosial askriptif (Barth 1969), maka sukubangsa adalah sebuah pengorganisasian sosial mengenai jatidiri yang askriptif ketika anggota suku-bangsa mengaku sebagai anggota suatu sukubangsa karena dilahirkan oleh orang tua dari sukubangsa tertentu atau dilahirkan di dan berasal dari sesuatu daerah tertentu. Jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan tidak dapat dibuang atau diganti. Hal ini berbeda dengan jati diri lain yang diperoleh seseorang dalam berbagai struktur sosial. Kesukubangsaan tetap melekat dalam diri seseorang sejak kelahiran-nya. Meskipun jatidiri sukubangsa dapat disimpan atau tidak digunakan dalam interaksi, tetapi tidak dapat dibuang atau dihilangkan.

Dalam setiap interaksi, jatidiri akan nampak karena adanya atribut-atribut yang digunakan oleh pelaku dalam mengekspresikan jatidirinya sesuai dengan hubungan status atau posisi masing-masing (Suparlan 1999a). Dalam hubungan antarsukubangsa, atribut kesuku-bangsaan adalah ciri-ciri fisik atau rasial, gerakan-gerakan tubuh atau muka, dan ung-kapan-ungkapan kebudayaan, nilai-nilai budaya serta keyakinan keagamaan. Seseorang yang dilahirkan dalam keluarga suatu suku-bangsa mau tidak mau harus hidup dengan berpedoman pada kebudayaan sukubangsanya sebagaimana yang digunakan orangtua dan

keluarga dalam merawat dan mendidiknya. Pada gilirannya ia menjadi manusia sesuai dengan konsepsi kebudayaan tersebut.

Sadar atau tidak, seseorang akan hidup dengan berpedoman pada kebudayaan suku-bangsanya. Proses pembelajarannya terjadi sejak masa anak-anak hingga dewasa. Ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus hidup menurut kebudayaan sukubangsa orang tuanya. Dia harus tahu, memahami, dan me-yakini, serta menggunakan kebudayaan tersebut sebagai pedoman bagi kehidupannya dalam menghadapi dan menginterpretasi lingkungan, dan untuk dapat memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada bagi ke-langsungan hidupnya. Dalam perspektif ini, seseorang seperti ‘dipaksa’ mulai sejak ke-lahirannya, maka kebudayaan sukubangsa juga bercorak askriptif seperti kesukubangsaannya. Kebudayaan sukubangsa bagi anggota sukubangsa adalah sebuah pedoman bagi kehidupan primordial atau yang pertama dan utama dipelajari dan diyakini kebenarannya dalam kehidupan mereka.

(4)

nilai-nilai keagamaan yang diyakini kebenaran-nya.

Agama biasanya menggantikan sebagian atau seluruh nilai-nilai budaya yang menjadi inti dan yang mengintegrasikan keutuhan dari suatu kebudayaan sukubangsa. Dengan demikian, nilai-nilai budaya suatu sukubangsa diperkuat posisi dan daya paksanya untuk me-wujudkan keteraturan hidup yang adil dan beradab karena telah dimuati berbagai sanksi sakral yang ada dalam agama yang diyakini. Nilai-nilai budaya yang sakral atau nilai-nilai keagamaan adalah sesuatu yang primordial bagi setiap anggota sukubangsa. Coraknya sama dengan corak primordial kesukubangsaan. Setiap anggota masyarakat dilahirkan, dididik dan dibesarkan dalam suasana askriptif primordial kesukubangsaannya. Dalam sua-sana tersebut pembedaan antara siapa ‘saya’, siapa ‘dia/kamu’, dan antara siapa ‘kami’ siapa ‘mereka’ jelas batas-batasnya, selalu diulang dan dipertegas. Dalam ruang lingkup batas-batas kesukubangsaaan ini, stereotip dan prasangka berkembang dan menjadi mantap dalam suatu kurun waktu hubungan antar-sukubangsa yang tidak terbatas. Akibatnya banyak saling salah pengertian dalam ko-munikasi antarsukubangsa, sehingga semakin lebarnya jarak dan mantapnya batas-batas hubungan antara dua sukubangsa atau lebih. Akibat lebih lanjut adalah terwujudnya tindakan-tindakan diskriminatif dalam hak dan kewajiban oleh sukubangsa yang dominan terhadap mereka yang tergolong lemah dan nonpribumi atau minoritas di dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Apa yang di-kemukakan Thung Ju Lan (1999b) mungkin dapat dilihat sebagai sebuah contoh konflik antara pribumi setempat dengan orang Cina yang tidak pernah tuntas.

Corak stereotip dan prasangka terhadap minoritas dan nonpribumi juga nampak dalam berbagai kebijaksanaan pemerintahan nasional.

Gejala ini dapat dipahami dengan memper-hatikan bahwa para pejabat atau penguasa dalam sistem nasional yang berasal dari berbagai sukubangsa yang dominan di Indo-nesia yang secara sadar atau tidak mengaktifkan kesukubangsaan mereka dalam berbagai kebijakan dan keputusan-keputusan sosial, ekonomi, dan politik untuk kepentingan nasional maupun lokal. Oleh karena itu, seringkali ideologi kesukubangsaan pejabat tersebut terwujud dalam berbagai kebijakan secara primordial untuk memperoleh dukungan sosial, ekonomi, dan politik dari masyarakat sukubangsanya atau kelompok agamanya.

Dengan kata lain, sesungguhnya masya-rakat Indonesia majemuk mempunyai sistem nasional yang askriptif dan primordial secara kesukubangsaan. Dalam perspektif ini, tidak seorang pun yang dapat menjadi orang Indo-nesia tanpa harus menjadi anggota salah satu sukubangsa dan yang digolongkan sebagai pribumi. Oleh karena itu, tidaklah mengheran-kan bila program asimilasi atau pembauran yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru gagal berantakan (Thung Ju Lan 1999a). Walau-pun orang Cina telah berganti nama menjadi nama Jawa, Sunda, atau Batak, mereka tetap saja digolongkan sebagai orang asing dan bukan yang pribumi. Begitu pula kasus orang Cina yang telah beragama Islam. Mereka tetap saja digolongkan sebagai orang Cina, dan bahkan keislamannya dicurigai oleh sebagian orang hanya sebagai sebuah strategi bisnis agar lebih leluasa dan menguntungkan di bawah label Islam.

(5)

pe-merintah Indonesia yang beberapa waktu lalu masih mendiskriminasi secara hukum orang-orang Cina dengan memberi kode khusus di KTP berdasarkan identifikasi kecinaan mereka. Ada dugaan bahwa berdasarkan kode tersebut pejabat pemerintah setempat dapat melakukan berbagai tindakan diskriminatif dan pemerasan. Sampai sekarang masih terdapat ketentuan hukum yang mewajibkan seorang anak Cina, yang orang tuanya adalah warga negara Indo-nesia, harus aktif memohon kewarganegaraan Indonesia kepada pemerintah. Bila tidak, maka ia digolongkan sebagai warga negara asing atau tidak berkewarganegaraan.

Kesukubangsaan sebagai kekuatan

sosial

Tidak dapat disangkal bahwa kesuku-bangsaan dapat dilihat sebagai kekuatan sosial untuk menciptakan terwujudnya kohesi sosial di antara sesama anggota sukubangsa. Kohesi sosial ini dapat diaktifkan dan diarahkan sebagai solidaritas sosial yang berkekuatan paksa diberlakukannya suatu kebijakan politik atau ekonomi, memenangkan persaingan memperebutkan sumber daya, atau meng-hancurkan kelompok sukubangsa lain yang menjadi lawan. Kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial tidak dapat ditawar atau diremehkan (non negotiable) pada saat ter-wujud sebagai sebuah solidaritas sosial.

Pada satu sisi, kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial mirip dengan keyakinan keagamaan. Keyakinan keagamaan pada waktu terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial juga tidak dapat ditawar atau diremehkan. Kedua-duanya mempunyai potensi merusak yang sama besarnya di dalam konflik antarsukubangsa atau antarkeyakinan keagamaan. Tetapi dari sisi lain, kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan tidaklah sama. Kesukubangsaan mempunyai efektivitas kekuatan sosial dalam

batas-batas sesama anggota sukubangsa, sedangkan keyakinan keagamaan mempunyai jangkauan solidaritas sosial hanya dalam salah satu segmen masyarakat sukubangsa, dalam suatu masyarakat sukubangsa, atau di luar batas masyarakat tersebut.

Sebagai kekuatan sosial, kesukubangsaan beroperasi dalam batas-batas wilayah suku-bangsa tempat anggota sukusuku-bangsa itu hidup. Di pihak lain, keyakinan agama beroperasi dalam batas-batas wilayah para penganutnya, yaitu dalam sebagian, keseluruhan, atau mencakup dua atau lebih wilayah kehidupan sukubangsa yang berbeda. Karena itu kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan dapat saling memperkuat atau memperlemah jatidiri dan potensi kekuatan masing-masing, dalam hubungan antar-sukubangsa ataupun dalam hubungan antar keyakinan keagamaan.

Bruner (1974) pada waktu membahas teori-nya mengenai ‘hipotesa kebudayaan dominan’ sebenarnya berbicara mengenai kesuku-bangsaan sebagai sebuah kekuatan sosial politik (lihat Suparlan 1999). Salah satu kekuatan itu adalah kemampuannya untuk menentukan macam mata pencaharian yang dapat dikerjakan oleh pendatang dari suku-bangsa lain. Bila pelanggaran dilakukan maka konflik antar sukubangsa dapat terwujud, seperti dalam kasus Kalimantan Barat dan Am-bon (Suparlan 2000a, 2000b, 2001).

(6)

semua pendatang mempunyai kebudayaan ekonomi yang lebih maju dan agresif. Masalah hubungan antara pendatang dengan masya-rakat setempat terpusat pada masalah kom-petisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya. Tingkat agresivitas pendatang adalah masalah yang paling kritikal dalam persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang ada. Hal itu karena masyarakat setempat melihat diri mereka sebagai tuan rumah serta pemilik sumber-sumber daya alam yang ada di wilayah hak ulayat mereka sedangkan para pendatang dilihat sebagai tamu.

Komunitas dan masyarakat sukubangsa setempat yang mayoritas dan dominan mene-kankan penggunaaan prinsip ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’ sebagai acuan yang harus dijadikan pedoman oleh para pendatang. Secara langsung atau tidak, komunitas dan masyarakat sukubangsa setem-pat mendiskriminasi para pendatang dalam hak dan kewajiban berkenaan dengan upaya eksploitasi, penguasaan, dan pendistribusian sumber-sumber daya yang ada.

Ketika prinsip tersebut tidak lagi ditaati oleh para pendatang, anggota masyarakat setempat dapat memberi peringatan atau melaporkannya kepada polisi setempat. Tetapi ketika pelang-garan telah melampaui kelaziman hubungan ‘tamu-tuan rumah’, anggota komunitas dan masyarakat setempat mengaktifkan dan menggunakan kesukubangsaan untuk meng-organisasi diri mereka sebagai satuan-satuan perang, seperti yang telah terjadi di Kalimantan Barat, Ambon, dan Kalimantan Tengah.

Orang Cina yang telah dan terus datang selama berabad-abad ke berbagai tempat di Indonesia menempati posisi sebagai tamu dalam prinsip itu tadi. Oleh karena itu, di masa lampau hampir dapat dikatakan tidak ada konflik antara masyarakat sukubangsa setempat dengan orang Cina. Hubungan kawin-mawin antara orang-orang Cina dengan perempuan

pribumi setempat telah memungkinkan ber-ubahnya status ‘tamu’ menjadi kerabat. Perubahan status ini telah memungkinkan keturunan mereka juga mempunyai hak atas tanah dari kelompok kerabat setempat.

Di antara orang Cina yang hidup relatif bebas dari posisinya sebagai tamu adalah ko-munitas orang Cina di Singkawang. Nenek moyang mereka telah datang ke tempat tersebut dan sekitarnya karena tertarik pada adanya emas di Monterado dan Mandor. Mereka datang dan menetap di Singkawang sebelum orang Melayu atau Dayak menetap di daerah tersebut. Mereka merupakan komunitas yang berdiri sendiri berdasarkan atas kesuku-bangsaan dan asal daerah mereka di Cina. Mereka menjalin hubungan baik di antara sesama komunitas tersebut, di samping dengan kesultanan Sambas dan masyarakat Dayak yang ada di sekeliling Singkawang. Sekarang, mereka diperlakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai warga negara Indonesia keturunan asing. Namun, berbagai peraturan kewarga-negaraan yang dibelakukan terhadap orang-orang Cina di Indonesia juga diberlakukan terhadap mereka. Bila dahulu posisi mereka di Singkawang seperti pribumi, tetapi sekarang mereka seperti tamu di wilayah orang Melayu dan Dayak.

Pribumi dan nonpribumi posisi orang

Cina

(7)

berbagai bentuk diskriminasi oleh yang dominan terhadap yang minoritas.

Di masa lampau, para pendatang di sebuah masyarakat sukubangsa pada umumnya cenderung hidup dan menetap di daerah perkotaan. Di daerah perkotaan itulah mereka dapat menyesuaikan diri secara lebih baik sebagai tenaga buruh atau pedagang, seperti yang dilakukan oleh orang Cina dan Arab dalam sejarah migrasi mereka di kepulauan Nusantara. Dengan demikian, tidak perlu berurusan dengan hak-hak ulayat atau adat berkenaan dengan pengolahan dan pemilikan atas tanah atau hutan yang menjadi hak prerogatif masyarakat sukubangsa setempat.

Di antara orang Cina di Indonesia ada yang datang dan menetap di daerah pedesaan atau perkebunan milik orang-orang Belanda di jaman penjajahan Belanda, seperti yang terjadi di Depok, Tangerang, atau daerah lainnya. Sebagian besar dari mereka telah melebur atau terasimilasi menjadi orang setempat, karena meninggalkan ciri-ciri kesukubangsaan Cina-nya: berganti menjadi beragama Islam, saling kawin dan beranak pinak dengan anggota masyarakat setempat, dan mengadopsi jatidiri sukubangsa setempat dan kebudayaannya. Sebagian lainnya masih tetap mempertahankan kecinaannya. Mereka tetap mempertahankan keyakinan Konghucu yang menekankan pentingnya hubungan ritual dengan leluhur, penggunaan bahasa asalnya di Cina di dalam keluarga dan kehidupan mereka sehari-hari, dan hidup dalam lingkungan komunitas mereka sendiri. Hal tersebut menjadi pendorong dan penstimuli bagi dipertahankan dan dikembang-kannya kebudayaan asal Cina mereka yang askriptif dan primordial. Di Jakarta, mereka dikenal sebagai Cina Benteng. Di daerah perkotaan Jawa, mereka cenderung mengelom-pok dalam komunitas mereka sendiri. Wilayah tersebut dikenal dengan nama Pecinan, yang biasanya bukan hanya menjadi tempat tinggal

tetapi juga menjadi tempat bisnis grosir dan berbagai kegiatan perdagangan eceran serta pelayanan jasa-jasa lainnya yang menjadi mata pencaharian spesialisasi mereka.

Di zaman pemerintahan Hindia Belanda, orang Cina, bersama dengan orang Arab, secara hukum digolongkan sebagai Orang Timur Asing. Oleh karena itu, hukum yang diber-lakukan kepada mereka bukan hukum Belanda atau hukum adat dari pribumi. Mereka tidak tergolong sebagai Belanda maupun pribumi. Mereka adalah Orang Asing dari Timur. Mereka berhak mengajukan diri menjadi warganegara Belanda, sehingga hukum yang diberlakukan kepada mereka sama dengan yang diberlakukan terhadap orang-orang Belanda yang ada di In-donesia. Sebagian dari mereka yang berhasil dalam bisnis dapat membiayai sekolah anak-anak mereka di sekolah Belanda, sehingga menghasilkan generasi Cina yang berpen-didikan Barat dan cenderung menjadi Kristen. Sebagian dari mereka inilah yang kemudian memanfaatkan kesempatan untuk menjadi warganegara Belanda.

Di Kalimantan Barat, terutama di Pontianak, Singkawang, dan sekitarnya terdapat komu-nitas-komunitas orang Cina. Di perkotaan, mereka hidup dari berdagang dan berbagai kegiatan jasa dan buruh, sedangkan di pedesaan mereka bertani, menangkap ikan, di samping menjadi pedagang dan buruh. Mereka me-ngelompok dalam komunitas-komunitas asal mereka di Cina, mempertahankan kebudayaan dan bahasa asal mereka, di samping beradaptasi dengan kebudayaan Melayu setempat. Mereka juga mempertahankan keyakinan Konghucu dan pemujaan ritual kepada nenek moyang, walaupun di masa Orde Baru mereka menyem-bunyikan keyakinan tersebut dengan label agama Budha.

(8)

Indonesia memutuskan untuk membedakan antara warga negara Indonesia dan warga-negara asing, dan antara yang ingin tetap tinggal di Indonesia dan yang ingin kembali ke negeri leluhurnya RRC. Secara sosial, tidak jelas adanya diskriminasi terhadap Cina sebagai golongan, walaupun secara individual hal itu bisa terjadi.

Pada waktu terjadi G 30S/PKI, orang-orang Cina dituduh terlibat di dalam kup tersebut, karena keterlibatan Baperki dalam PKI. Banyak di antara mereka ditangkap militer, dibunuh massa, dan hilang atau melarikan diri ke luar Indonesia. Sebagian dari orang-orang Cina di Kalimantan Barat adalah pendukung presiden Sukarno, yang dituduh terlibat G 30S/PKI. Mereka melakukan perlawanan dan membentuk pasukan-pasukan di daerah perbatasan Kalimantan Barat. Pada tahun 1968, perlawanan mereka dapat ditumpas militer dengan meng-gunakan pasukan Dayak yang mengaktifkan tradisi ‘mangkok merah’ yang telah dilarang di zaman penjajahan Belanda. Saya mencatat dari seorang informan orang Dayak mengenai digunakannya kembali kekuatan kamang tariu yang menggunakan mangkok merah untuk solidaritas sosial di antara orang Dayak untuk menghancurkan dan mengalahkan musuh (Suparlan 2000a).

Pada masa Orde Baru, pemerintah member-lakukan berbagai peraturan sebagai cara untuk mengontrol orang Cina di Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut dapat dilihat sebagai diskriminasi hukum terhadap mereka karena dianggap asing dan diragukan kesetiaan mereka terhadap negara dan bangsa Indonesia. Secara sosial, tindakan-tindakan diskriminatif dalam bidang hukum diikuti oleh anggota-anggota masyarakat pribumi yang berkepentingan untuk menguasai atau mengambil alih kekuasaan orang-orang Cina dalam bidang bisnis dan perdagangan.

Dampak dari tindakan-tindakan diskri-minatif tersebut adalah pemalakan, pemerasan, pembakaran dan penghancuran rumah dan pertokoan. Orang Cina tidak memperoleh perlindungan hukum dan keamanan sewajar-nya. Sebagai golongan minoritas, mereka menjadi kambing hitam atas berbagai kekacauan ekonomi baik nasional maupun lokal.

Puncak kemarahan masyarakat Jakarta atas kebobrokan ekonomi Indonesia terhadap orang Cina terjadi pada tanggal 13–14 Mei 1998 (lihat Suparlan 2000b). Tidak dapat disangkal bahwa dalam peristiwa ini terlibat berbagai pihak sebagai provokator, tetapi bukti-bukti untuk itu tidak cukup untuk mengungkap-kannya.

Bila kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, sebetulnya terdapat kontradiksi antara kebijaksanaan diskriminasi yang dilakukan Presiden Soeharto, pejabat-pejabat sipil, dan ABRI terhadap orang Cina (lihat: Nuranto 1999, Wibowo 1999). Soeharto dan penguasa Orde Baru lainnya telah mengguna-kan sejumlah orang Cina sebagai bankir dan pelaksana perusahaan-perusahaan mereka. Dalam posisi tersebut orang-orang Cina telah memperoleh berbagai keistimewaan dan fasilitas yang menyebabkan mereka secara mencolok menjadi konglomerat bersamaan dengan posisi informal yang mereka miliki dalam pemerintahan. Mereka adalah individu-individu dan bukan kategori atau golongan.

(9)

pemanipulasian kekuasaan para pejabat yang mereka dorong untuk memonopoli pengeks-ploitasian sumber-sumber daya alam dan ekonomi Indonesia.

Kambing hitam memang ciri-ciri kategorikal, bukan ciri-ciri individual atau perorangan. Oleh karena itu, semua orang yang bercirikan Cina— dengan segala atribut kecinaannya—digolong-kan sebagai kambing hitam yang konglomerat dan jahat, sehingga harus dihancurkan agar kehidupan ekonomi Indonesia menjadi lebih baik. Dalam kasus ini, secara tidak disadari, orang Indonesia telah menggolongkan orang Cina di Indonesia sebagai sebuah sukubangsa, yaitu sebuah golongan sosial yang askriptif berdasarkan prinsip pengakuan dan diakui secara sosial, berdasarkan atas sejumlah atribut yang menjadi ciri-cirinya.

Sebagai sebuah sukubangsa, orang Cina mempunyai ciri-ciri fisik yang berbeda dari sukubangsa-sukubangsa pribumi, kecuali di Minahasa atau di beberapa tempat di Kalimantan dan Sulawesi Tengah. Bahasa lisan dan tulis, ungkapan-ungkapan, nilai-nilai budaya, dan keyakinan keagamaan mereka juga berbeda dari sukubangsa-sukubangsa ‘pri-bumi’. Mereka dengan mudah dilihat dan diperlakukan sebagai orang ‘asing’ dalam kehidupan masyarakat sukubangsa setempat dengan mengacu pada diskriminasi hukum yang dibuat pemerintah Indonesia. Kegiatan mereka yang terpusat pada perdagangan, industri, dan berbagai pelayanan jasa yang kurang/tidak digeluti anggota masyarakat sukubangsa setempat, telah membuat mereka menjadi sebuah sukubangsa yang nampak berbeda. Di sisi lain, mereka juga menciptakan batas-batas sukubangsa di antara mereka berdasarkan asal daerah dan strata sosial ekonomi. Mereka juga menciptakan dan memantapkan batas-batas sukubangsa dengan masyarakat sukubangsa di tempat mereka

hidup. Jarak sosial dan budaya dengan masyarakat sukubangsa setempat lebih diper-tegas ketika keyakinan keagamaan mereka memperbolehkan memakan daging babi yang bertentangan dengan keyakinan Islam masya-rakat sukubangsa setempat. Walaupun terjadi batas-batas sukubangsa antara orang Cina dengan sukubangsa setempat—kecuali berkeyakinan keagamaan yang sama—tetapi hubungan simbiotik secara indvidual dan kelompok telah terjadi selama ini. Hubungan simbiotik yang ada dalam kehidupan ekonomi atau pasar, sesuai dengan tesis Furnivall (1948), sebenarnya rapuh karena tidak didukung oleh hubungan sosial dan budaya yang dimantap-kan melalui pranata-pranata sosial yang ada dalam masyarakat setempat.

(10)

Jawa memiliki sebutan piyantun Cinten (priyayi Cina), untuk orang Cina yang berpenampilan sebagai terpelajar atau priyayi, seperti dokter, misalnya.

Menarik untuk diperhatikan adalah gejala kemunculan konsep Tionghoa yang sekarang diaktifkan oleh tokoh-tokoh Cina, terutama di Jakarta. Mereka dengan tegas menolak disebut orang Cina, dan menuntut untuk dipanggil dengan sebutan orang Tionghoa atau Chinese (dari bahasa asing yang artinya juga orang Cina). Saya tanyakan mengapa mereka tidak mau disebut orang Cina, padahal sejak dahulu mereka disebut orang Cina. Jawabannya, karena kata Cina merupakan kata penghinaan, karena mereka sering diteriaki ‘Cina, lu!’.

Kemudian, mengapa mereka ingin disebut orang Tionghoa? Jawabannya, karena kata Tionghoa berarti orang dari Kerajaan Tengah atau Pusat Kerajaan di Cina. Dengan kata lain, mereka minta diperlakukan sebagai orang kerajaan atau penguasa dari Cina yang datang dan hidup di Indonesia. Jadi, mereka itu orang asing, bukan orang Cina yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lokal. Ciri keasingan mereka juga ditegaskan kembali dalam pengidentifikasian diri sebagai orang Chinese, sebutan yang biasa ditujukan kepada orang Cina dari luar Indonesia.

Sebagai catatan penutup, patut dicatat bahwa orang Cina di Indonesia, yang warga negara Indonesia, ingin diperlakukan sebagai orang Indonesia baik secara hukum maupun secara sosial dan budaya. Mereka ingin diperlakukan sama oleh sukubangsa manapun, tanpa diskriminasi walaupun mereka keturunan asing yang bukan pribumi Indcnesia.

Namun di pihak lain, mereka tidak mau disederajatkan secara sosial dan budaya dengan sukubangsa-sukubangsa di Indonesia. Mereka menuntut diperlakukan sebagai orang asing yang terhormat yang lebih tinggi daripada

orang Indonesia lainnya, yaitu sebagai orang dari pusat kerajaan Cina. Ada baiknya tokoh-tokoh dan cendekiawan Cina memikirkan sungguh-sungguh tuntutan untuk disebut sebagai orang Tionghoa atau Chinese bila mereka tidak ingin diperlakukan sebagai orang asing dan tidak ingin didiskriminasi. Ada baiknya mereka belajar dari pengalaman orang Cina di Amerika (Suparlan 2002). Mereka dapat belajar bagaimana orang Cina di Amerika yang semula didiskriminasi secara hukum dan sosial secara bertahap menjadi bagian dari masyarakat Amerika yang sama hak dan kewajibannya dengan setiap orang Amerika lainnya. Jadi, bukan justru mengaktifkan dan menunjukkan diri sebagai orang Tionghoa atau Chinese yang asing, yang pada gilirannya hanya akan mengasingkan dan mendiskriminasikan mereka secara hukum dan sosial.

Masyarakat Indonesia yang majemuk, yang menekankan pentingnya kesukubangsaan, akan selalu menempatkan orang Cina sebagai orang asing walaupun mereka berstatus sebagai WNI. Upaya-upaya secara sosial, ekonomi, dan politik dari orang Cina di Indonesia dalam me-nunjukkan bahwa mereka itu bagian dari masyarakat Indonesia adalah yang utama. Hal ini menuntut dilakukannya kajian-kajian mendalam baik oleh para cendekiawan dan tokoh Cina di Indonesia maupun oleh ilmuwan sosial yang mempunyai perhatian mengenai hal itu.

(11)

Referensi

Bruner, E.M.

1974 ‘The Expression of Ethnicity in Indonesia’, dalam A.Cohen (peny.) Urban Ethnicity. London: Tavistock. Hlm.251–288.

Furnivall, J.S.

1944 Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge: Cambridge University Press.

Nuranto, N.

1999 ’Kebijakan Terhadap Bisnis Etnis Cina Di Masa Orde Baru’, dalam I. Wibowo (peny.) Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia. Hlm.50–74

Suparlan, P.

1979 ‘Ethnic Groups of Indonesia’, The Indonesian Quarterly 7(2):55–75.

1995 Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia yang Majemuk. Jakarta: Yayasan OBOR.

1999a ‘Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar-Sukubangsa’, dalam I. Wibowo (peny.) Retrospeksi dan RekontekstualisasiMasalah Cina. Jakarta: Gramedia. Hlm.149–173.

1999b ‘Kemajemukan, Hipotesa Kebudayaan Dominan, dan Kesukubangsaan’, Jurnal Antropologi Indonesia 23(58):13–20.

2000a ‘Kerusuhan Sambas’, Jurnal Polisi Indonesia (2):71–85.

2000b ‘Ethnic and Religious Conflicts in Indonesia’, dalam M. Leigh (peny.) Proceedings of the Sixth Bienneal Borneo Research Conference. Kucing, Sarawak: Institute of East Asian Studies, University of Malaysia. Hlm.97–128.

2001 ‘Kerusuhan Ambon’, Jurnal Polisi Indonesia (3):1–30.

2002 Orang Cina Amerika.Makalah untuk Seminar Orang Cina di Amerika. Kajian Wilayah Amerika, UI, 6 Juni.

Taher, T.

1997 Masyarakat Cina: Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa Indonesia. Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat.

Thung Ju Lan

1999a ‘Tinjauan Kepustakaan tentang Etnis Cina di Indonesia’, dalam I. Wibowo (peny.) Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia.Hlm.3–23. 1999b ‘Masalah Cina: Konflik Etnis yang Tak Kunjung Padam’, Jurnal Antropologi

Indonesia 23(58):21–35.

Wibowo, I.

Referensi

Dokumen terkait

Gambaran histopatologi ginjal tikus putih jantan pada kasus patah tulang femur dengan terapi ekstrak tanaman Cissus quadrangularis dan kalsium karbonat.. Sperm dan egg

1. Teknologi computer vision tingkat tinggi yang mengijinkan developer untuk membuat efek khusus pada mobile device. Terus-menerus mengenali multiple image. Tracking

III.. Karena gatal' pasien menga$u sering menggaru$ berca$ tersebut yang lama $elamaan berubah men%adi bersisi$ dan ber+arna putih. , minggu yang lalu' pasien berobat

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 11 Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, tata cara Pelaporan

Muiden lajikkeiden tulokset ovat poikkeamia mittarin tuloksista niissä kokeissa, joissa kukin lajike on ollut samanaikaisesti mittarin kanssa.. Parivertailusta johtuen

Pada beberapa tahun yang akan datang diharapkan dana yang telah digunakan untuk program PEMP di Indonesia (dengan jumlah yang tidak sedikit) memberikan manfaat

Dari hasil penelitian ini menujukkan bahwa proses belajar mengajar dengan menggunakan media PowerPoint sebagai kelengkapan metode ceramah bisa menjadi pilihan guru

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan beberapa jenis tepung daun murbei sebagai suplemen pengganti konsentrat komersial pada kambing yang diberi pelepah