• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PENIMBUNG KECAMATAN GUNUNG SARI KABUPATEN LOMBOK BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PENIMBUNG KECAMATAN GUNUNG SARI KABUPATEN LOMBOK BARAT"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

PENIMBUNG KECAMATAN GUNUNG SARI KABUPATEN LOMBOK BARAT

Robiatul Adawiyah1) , Dwi Anggun Pratiwi2), Ageng Abdi Putra3) 1,2,3) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Mataram, Jl. Swakarsa III No. 10 Kekalik-Mataram, Nusa Tenggara Barat

Email : robiatuladawiyah42@gmail.com

ABSTRAK

Resiko kesehatan anak-anak cenderung berubah sebagai konsekuensi dari adanya perkembangan. Penyebab utama kematian dan penyakit yang menjadi fokus perhatian utama, walaupun penyebab tersebut dapat dikategorikan dengan cara yang berbeda, ada lima kelompok utama yang membutuhkan perhatian diantaranya adalah penyakit saluran pernapasan termasuk pneumonia, tuberculosis, dan asma. Pneumonia masih merupakan penyakit terbesar kematian anak dan juga penyebab kematian pada kaum lanjut usia di dunia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dengan Kajadian Pneumonia pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Penimbung Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat.

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 172 balita. Teknik pengambilan sampel menggunakan nonprobality sampling dengan purposive sampling. Instrumen yang digunakan adalah Lembar Observasi dan Studi Dokumentasi.

Hasil penelitian ini menunjukan lingkungan fisik rumah tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik dengan kejadian pneumonia hal ini dapat dilihat dari nilai uji analisa di dapatkan nilai (ρ=0,709) dengan taraf signifikan 0,05. Maka p value ≥ α sehingga H0 diterima dan Ha ditolak.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah didapatkan bahwa tidak ada hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian pneumonia pada anak balita. Saran untuk peneliti selanjutnya adalah meneliti tentang faktor-faktor yang masih belum terangkum seperti faktor immunisasi, suhu dan araran asap rokok.

Kata kunci : Lingkungan Fisik Rumah, Pneumoni

THE COORELATION BETWEEN HOUSE ENVIRONMENT AND PNEUMONIA IN TODDLERS IN THE WORKING ARE OF PENIMBUNG HEALTH CENTER

GUNUNG SARI WEST LOMBOK

ABSTRACT

(2)

is aimed at determining the correlation between, the house’s physical environment and the pneumonia incidence in the children under five in the working area of penimbung health center gunung sari sub district, west Lombok.

This research was designed to be an analytical survey with a cross sectional approach. The sample is 112 children under five. Sampling technique using non probality sampling with purposive sampling. The data were collected through the observation and documentation.

The research showed that there is no statistically significant correlation between house physical environment house and the incidence of pneumoni. This could be viewed from the analysis showing the value (p=0,709) with a that HO is accepted and Ha is rejected.

The research inferred that there is no correlation between house physical environment and the incidence of pneumoni in children under five. It is suggested that the next research be conducted to examine the factors not summarized in the study such as immunization factor, temperature and cigarette smoke

Keywords : house’s physical environment and the incidence of pneumoni.

PENDAHULUAN

Pada beberapa Negara yang berkembang, resiko kesehatan lingkungan cenderung dihubungkan dengan masalah-masalah seperti makanan yang tidak aman, sanitasi yang buruk. Penyebab utama kematian dan penyakit yang menjadi fokus perhatian utama, walaupun penyebab tersebut dapat dikategorikan dengan cara yang berbeda, ada lima kelompok utama yang membutuhkan perhatian diantaranya adalah penyakit saluran pernapasan termasuk pneumonia, tuberculosis, dan asma (Apriningsih 2009).

Pneumonia masih merupakan penyakit terbesar kematian anak dan juga penyebab kematian pada kaum lanjut usia di dunia. World Health Organization (WHO) tahun 2012 memperkirakan kematian balita akibat pneumonia diseluruh dunia sekitar 19 persen atau berkisar 1,6-2,2 juta, di mana sekitar 70 persennya terjadi negara-negara berkembang, terutama Afrika dan Asia Tenggara (Marjanis,2014).

Angka kejadian pneumonia di indonesia dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 mengalami penurunan. Kasus pneumonia pada tahun 2013 sebanyak

293.184 kasus dengan kasus Angka kejadian 13,7; tahun 2014 sebanyak 193,689 kasus dengan angka kejadian 8,95; dan pada tahun 2015 sebanyak 146,437 kasus dengan angka kejadian 6,7 (Kemenkes RI, 2015).

Di Provinsi Nusa Tenggara Barat, sebesar 80% sampai 90% dari seluruh kasus kematian ISPA di sebabkan oleh pneumonia. Angka kejadian pneumonia balita di Nusa Tenggara Barat pada tahun 2012 sebanyak 424 kasus dengan angka kejadian 0,13, tahun 2013 sebanyak 1.093 kasus dengan angka kejadian 0,33, dan tahun 2014 sebanyak 3.624 kasus dengan angka kejadian 11,0 (Dikes Provinsi NTB, 2013).

Di Kabupaten Lombok Barat angka kejadian pneumonia pada balita terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2014 sebanyak 5.798 kasus dan pada tahun 2015 meningkat menjadi 6.427 kasus (Dikes Lombok Barat, 2016).

(3)

kelompok Balita dengan jumlah 301 kasus.

Kejadian pneumonia didasarkan adanya interaksi antara komponen host, agent, dan environment, berubahnya salah satu komponen mengakibatkan keseimbangan terganggu sehingga terjadi pneumonia. Faktor risiko menderita penyakit ini adalah bayi yang lahir prematur (kurang bulan) dan bayi berat lahir rendah (BBLR), bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu (ASI) eksklusif, bayi atau anak yang menderita gizi buruk, imunisasi yang tidak lengkap, menderita defisiensi (kekurangan) Vitamin A dan terpaparnya dengan asap rokok, asap dapur, dan polusi udara (Kemenkes,2015) Sanitasi rumah dan lingkungan erat kaitannya dengan angka kejadian penyakit pneumonia. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita adalah kondisi fisik rumah, kebersihan rumah, kepadatan hunian, ventilasi, suhu, kelembaban dan pencahayaan (Ambarwati dan Dina, 2007)

Rumah yang tidak permanen diantaranya ditandai dengan seluruh bangunannya menggunakan bahan yang mudah terbakar seperti kayu dan bambu serta lantai belum berubin. Sementara untuk rumah yang semi permanen ditandai dengan bangunan rumah yang dinding rumahnya baru sebagian menggunakan bahan yang tidak mudah terbakar (tembok). Bangunan fisik rumahnya juga masih banyak yang tidak menggunakan ventilasi, kalaupun ada yang menggunakan ventilasi tetapi luas jendelanya kurang dari 10% luas rumahnya. Sedangkan untuk jumlah penghuni setiap rumah rata2 ruangan yang luasnya 9 m2 dihuni oleh lebih dari satu orang. Penduduk yang memiliki ternak sapi dan ayam, umumnya menempatkan kandangnya dekat rumah untuk keamanan. Dimalam hari untuk menjaga kehangatan ternak, penduduk biasanya membuat asap dari sekam. Selain itu

dapur rumah tidak seluruhnya dibuat lobang asap (Kemenkes, 2015).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ratna Sulistyowati tahun 2010 yang berjudul “Hubungan Antara Rumah Tangga Sehat dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita di Kabupaten Trenggalek” didapatkan hasil penelitian bahwa Kebiasaan merokok di rumah, Luas lantai dan Luas jendela mempunyai hubungan dengan kejadian pneumonia.

Pemerintah telah mengeluarkan berbagai program untuk mencegah peningkatan kasus pneumonia setiap tahunnya diantaranya program pemberantasan rumah kumuh, namun karena terbatasnya anggaran, tidak semua masyarakat bisa mendapatkan program bantuan rumah tersebut (Kemenkes, 2015) Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dengan Kajadian Pneumonia pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Penimbung Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: a. Mengidentifikasi lingkungan fisik

rumah di wilayah kerja Puskesmas Penimbung.

b. Mengidentifikasi kejadian pneumonia pada Anak Balita di wilayah kerja Puskesmas Penimbung.

c. Menganalisa Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dengan Kajadian Pneumonia pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Penimbung Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat.

BAHAN DAN METODE

(4)

menggunakan nonprobality sampling dengan purposive sampling. Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi untuk mendapatkan data tentang ventilasi dalam ruangan, kelembaban kamar tidur, kepadatan hunian rumah dan lubang asap dapur. Kepadatan hunian terdiri dari dua pertanyaan yaitu pertanyaan luas rumah dan jumlah penghuni, ventilasi dalam ruangan terdiri dari dua pertanyaan yaitu luas lantai dan luas jendela, ruang tidur tidak lembab terdiri dari satu pertanyaan apakah dinding terlihat berlumut sedangkan untuk lubang asap dapur terdiri dari satu pertanyaan yaitu ada atau tidak adanya lubang asap dapur. Uji statistik yang digunakan adalah uji fisher’s (Fisher’s, tujuan dari digunakannya uji fisher’s adalah untuk menguji

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Ventilasi

Tabel 1.1. Distribusi luas ventilasi Luas

Sumber : Data Primer Tahun 2017

2. Ruang tidur tidak lembab.

Tabel 2.1. Distribusi ruang tidur tidak lembab

Sumber : Data Primer Tahun 2017

3. Kepadatan hunian rumah Tabel 3.1. Distribusi kepadatan hunian rumah

Sumber : Data Primer Tahun 2017

4. Lubang asap dapur

Tabel 4.1. Distribusi lubang asap dapur

Sumber : Data Primer Tahun 2017

5. Kejadian pneumonia

Tabel 5.1: Distribusi kejadian pneumonia

Kejadian pneumonia

Frekuensi Prosentasi

Ringan 170 99

Berat 2 1

Total 172 100

Sumber : Data Primer Tahun 2016

Tabel 5.2. Uji fisher’t exact test Variable

a. Ventilasi Kejadian

(5)

PEMBAHASAN

Lingkungan fisik rumah yang di maksud dalam penelitian ini adalah lingkungan fisik rumah yang meliputi luas ventilasi, ruang tidur tidak lembab, kepadatan hunian rumah dan lubang asap dapur. Hasil uji statistik diperoleh kesimpulan lingkungan fisik rumah tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik dengan kejadian pneumonia (ρ=0,702). Dan hasil Penelitian secara statistik perkategori belum ada hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia.

Hubungan ventilasi dengan kejadian pneumonia meski luas ventilasi yang memenuhi syarat lebih banyak dari pada yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 91 hunia (53%) yang tidak memenuhi syarat dan yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 81 hunian (47%) namun belum ada hubungan yang signifikan secara statistik antara ventilasi dengan kejadian pneumonia pada balita dengan ρ=0,722. Berdasarkan hasil yang dilihat pada saat penelitian, dimana balita mempunyai kebiasaan bermain di luar rumah, hal ini disebabkan karena keinginan bermain dengan teman-teman sehingga untuk proses pertukaran udara didapatkan secara langsung dari luar rumah. Disamping itu kondisi rumah banyak ditemukan hewan peliharaan seperti burung, ayam dan anjing yang berkeliaran, sehingga keadaan tersebut memicu terjadinya penyakit pneumonia. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ade Irawan (2012) yang menyatakan bahwa responden yang memiliki hewan peliharaan beresiko akan terjadinya ISPA.

Hubungan ruang tidur tidak lembab dengan kejadian pneumonia, ruang tidur tidak lembab yang memenuhi syarat lebih banyak dari pada yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 98 hunia (57%) yang memenuhi syarat dan yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 74 hunian (43%). Dan berdasarkan uji

statistik antara ruang tidur tidak lembab dengan kejadian pneumonia pada balita tidak ada hubungannya dengan nilai ρ=0,814. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nur Ahmad (2004) di Kelurahan Penjaringan Sari Kecamatan Rungkut Kota Surabaya, menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian ISPA diperoleh nilai ρ=0,134. Dan penelitian yang dilakuan oleh Vira Ayu (2014) tentang hubungan sanitasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Cepogo yang membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kelembaban rumah dengan kejadian ISPA dengan nilai ρ=0,833. Keterbatasan pada penelitian ini peneliti tidak menggunakan alat untuk mengukur kelembaban hanya melihat bagian tembok kamar tidur berlumut atau tidak berlumut.

Hubungan kepadatan hunian rumah dengan kejadian pneumonia, kepadatan hunian rumah yang memenuhi syarat lebih banyak dari pada yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 99 hunia (57%) yang memenuhi syarat dan yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 73 hunian (43%). Dan berdasarkan uji statistik antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian pneumonia pada balita tidak ada hubungannya dengan nilai ρ = 0,670. Penelitian ini sejalan dengan Penelitian yang dilakukan oleh Febbyani (2014) mengenai hubungan kepadatan hunian dengan kejadian pneumonia tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia nilai ρ=0,61. Dan Penelitian yang dilakukan oleh Listiawati (2012) tentang hubungan lingungan fisik rumah dengan kejadian pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Tegal Barat Kota Tegal yang membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian kamar balita dengan kejadian pneumonia dengan nilai ρ=1,000.

(6)

dapur yang tidak memenuhi syarat lebih banyak dari pada yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 94 hunia (55%) yang tidak memenuhi syarat dan yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 78 hunian (45%). Dan berdasarkan uji statistik antara lubang asap dapur dengan kejadian pneumonia pada balita belum ada hubungannya secara statistik dengan nilai ρ = 0,814.

Hubungan interaksi antara satu dengan yang lainnya akan menentukan proses dan arah dari proses terjadinya penyakit, baik pada perorangan maupun dalam masyarakat. Dengan demikian maka terjadinya penyakit tidak hanya ditentukan oleh unsur penyebab semata, tetapi hal utama adalah berbagai fator maupun unsur lainnya (Notoadmodjo, 2013).

Menurut WHO (2010) pneumonia dapat menyebar dengan beberapa cara. Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Tulus Aji (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia yaitu diataranya jenis lantai yang tidak memenuhi syarat, kondisi dinding rumah yang tidak memenuhi syarat, kebiasaan anggota keluarga merokok dan penggunaan bahan bakar yang tidak memenuhi syarat memiliki resiko akan terjadinya penyakit pneumonia. Menurut teori dari Astuti dan Rahmat (2010), etiologi dari pneumonia adalah disebabkan oleh infeksi virus Mycoplasma pneumonia, Bakteri Streptococcus pneumoniae, S. pyogenes, dan Staphylococcus aureus yang lazim terjadi pada anak normal, virus penyebab pneumonia yang paling lazim adalah virus sinsitial pernapasan (respiratory syncitial virus/RSV), parainfluenzae, influenza dan adenovirus.

Mukus adalah penutup yang melindungi bagian dalam paru dan jalan napas. Mukus menangkap debu dan kotoran dalam udara yang kita hirup dan membantu mencegah iritasi paru. Bila ada infeksi atau iritasi lain, tubuh menghasilkan banyak mukus untuk

membantu paru untuk menghindari infeksi. Bila mukus terlalu banya dan kental menyumbat jalan napas, dan penapasan menjadi lebih sulit (Nastiti, 2010).

KESIMPULAN

1. Berdasarkan luas ventilasi dapat disimpulkan bahwa sebagian besar luas ventilasi rumah responden tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 91 rumah (53%).

2. Berdasarkan ruang tidur tidak lembab dapat disimulan bahwa sebagian besar ruang tidur tidak lembab yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 98 rumah (57%).

3. Berdasarkan kepadatan hunian rumah dapat disimpulakan bahwa sebagian besar kepadatan hunain rumah yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 99 rumah (57%).

4. Berdasaran lubang asap dapur dapat disimpulan bahwa sebagian besar lubang asap dapur yang tida memenuhi syarat yaitu sebanya 94 rumah (55%).

5. Berdasarkan kejadian pneumonia dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden mengalami pneumonia ringan yaitu sebanyak 170 orang (99%).

6. Dari semua indikator lingkungan fisik rumah yang diteliti menyatakan bahwa tidak ada hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian pneumonia pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Penimbung Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat dengan ρ=0,709 (Uji Fisher).

SARAN

(7)

masalah kesehatan khususnya tentangsanitasi fisik rumah dan pneumonia sehingga pemahaman dan sikap masyarakat tentang sanitasi fisik rumah akan semakin baik sehingga mampu menekan angka kejadian pneumonia. Program perawatan masyarakat harus lebih digiatkan lagi dengan melibatkan seluruh unsur tenaga kesehatan yang ada di puskesmas serta melibatkan kader kesehatan desa sehingga program kesehatan yang dilaksanakan di masyarakat bisa lebih mengenai sasaran dan sesuai dengan tujuan yaitu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

2. Diharapkan bagi masyarakat untuk lebih menambah pengetahuannya tentang sanitasi fisik rumah untuk mengurangi resiko terjadinya pneumonia yang nantinya akan berdampak pada derajat kesehatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, A. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik, Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Ade Irawan dkk. 2012. faktor-faktor penyebab terjadinya ISPA pada balita.

Ahmad Yusuf. 2004.hubungan sanitasi rumah secara fisik dengan kejadian ISPA pada balita.

Ferdi dkk. 2016. Hubungan keadaan lingkungan fisik rumah dengan kejadian tuberkolosit (TB).

Ambarwati dan Dina, 2007. Hubungan sanitasi rumah dan lingkungan dengan angka kejadian pneumonia Arikonto Suharsimi.2010. Prosedur

Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:Rineka Cipta. Bagian Rekam Medik Puskesmas

Penimbung. 2016

Depkes R.I.2009.Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009. Jakarta: Depkes.

Dikes Lombok Barat. 2016. Laporan Perkembangan Kesehatan Kabupaten Lombok Barat. Lombok Barat:Dikes.

Dikes Provensi NTB. 2013. Profil Dinas Kesehatan Privinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2012. Mataram:Dikes

Dikes provensi NTB. 2007. Pedoman

Operasional Makanan

Pendamping Air Susu Ibu

(MP-ASI) Tahun 2007.

Mataram:Dikes

Kemenkes RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta.

Kemenkes RI. 2013. Modul Pelatihan Peningkatan Kapasitas Petugas Imunisasi. Jakarta.

(8)

Listiawati. 2012. Hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian penumonia pada balita.

Mardjanis Said. 2007. Pneumonia Penyebab Utama Mortalitas Anak Balita di Indonesia. Jakarta. Salemba

Mas Dewi Sartika dkk.2011. factor lingkungan rumah dan praktek hidup orang tua dengan kejadian pneumonia.

Notoatmojo Soekijo, 2012. Metodologi penelitian kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.

Nursalam, 2013. Metodologi penelitian ilmu perawatan : Pendekatan Praktis Edisi 3. Salemba Medika. Jakarta

Profil Kesehatan Kabupaten Lombok Barat Tahun 2016

Ratna Sulityowati. 2010. Hubungan antara rumah tangga sehat dengan kejadian pneumonia.

Suwinto dkk.2010. hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian kepadatan nyamuk anopheles. Tulus Aji. 2008. Faktor-faktor fisik rumah

yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak balita

Vira Ayu. 2014. Hubungan antara sanitasi rumah dengan kejadian ISPA. Yuniastuti. 2008. Kesehatan Ibu dan

Anak. Jakarta. Salemba

Gambar

Tabel 3.1. Distribusi kepadatan

Referensi

Dokumen terkait

Dilihat dari data tersebut, nilai biomassa tertinggi terjadi pada stasiun III, jika dilihat dari nilai kerapatan yang juga tinggi pada stasiun III sanggat berkolerasi dengan

Ketidakdudukan bead (bead unseating) untuk ban tanpa ban dalam (tubeless).. Ketahanan ban terhadap berbagai kecepatan (high

Elementary School : SD Negeri Gadog 2, Bogor Secondary school : SMP Taman Mangga Dua, Bogor Senior high school : Ristek Nusantara (IPS), Jakarta University : Mercu

Kegiatan pembentukan moral bina lingkungan di MI Ar-Rasyid meliputi: Pertama, membiasakan prilaku bina lingukangan dengan kagiatan membersihkan ruang kelas dan

Semua pengetahuan mengenai penyakit menular dan prinsip-prinsip tersebut telah disampaikan dalam pendidikan sarjana kedokteran gigi, sehingga kita perlu melihat apakah teori

Pembalajaran ini menekankan adanya sumber bahan ajar yang mendukung hasi penelitian serta memberikan sumbangsi pengetahuan yang lebih baik, pengembangan bahan ajar

dan pengembangan ini dilakukan dengan mengikuti langkah penelitian Borg and Gall.. sampai langkah ke tujuh karena penelitian ini masih berskala kecil. Data diperoleh dengan

Dari analisis data yang dilakukan dengan program SPSS dinyatakan bahwa biaya periklanan dan biaya promosi penjualan secara parsial berpengaruh positif dan signifikan, sedangkan