• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN PEMBELAJARAN DAN KOOPERATIF DALAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGGUNAAN PEMBELAJARAN DAN KOOPERATIF DALAM"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF

DALAM MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK

Mira Olivia HR1, Tri Jalmo2 , Abdurrahman2

1Mahasiswa Program Studi Magister Keguruan IPA FKIP Universitas Lampung 1 email. hroliviamira@gmail.com

2Dosen Program Studi Magister Keguruan IPA FKIP Universitas Lampung 2email. jalmotri@yahoo.com

2 email. abeunila@gmail.com

ABSTRAK

Studi meta analisis ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan pembelajaran kooperatif dalam meningkatkan literasi sains. Metode ini mengintegrasikan 10 artikel yang terdiri atas 2 artikel jurnal nasional dan 8 artikel jurnal internasional. Analisis data dengan menghitung rata-rata effect size (ES) dan dikategorikan berdasarkan interpretasi dari kriteria Cohens’s. Hasil analisis data menunjukkan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif berpengaruh signifikan terhadap literasi sains dengan rata-rata ES sebesar 0.56 berkategori tinggi. Pada perbandingan antarnegara, ES tertinggi adalah Turki (1.67), pada perbandingan antar jenjang pendidikan, ES tertinggi pada jenjang Perguruan Tinggi (1.24) dan antar bidang studi ES tertinggi pada bidang IPA (0.74). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran Kooperatif dapat digunakan pada berbagai Negara, jenjang pendidikan dan bidang studi sains.

Kata Kunci: Pembelajaran Kooperatif, Literasi Sains

I. PENDAHULUAN

Pembelajaran sains bukanlah pembelajaran yang hanya menekankan pada produk yang berkualitas. Pada hakikatnya, sains adalah proses penemuan. Menurut Siahaan (2010), adapun hasil dari proses penemuan tersebut adalah proses, produk, dan sikap. Dalam proses pembelajaran sains, peserta didik harus mampu membangun pengetahuannya agar lebih bermakna. Menurut BSNP (dalam Ratnawati, dkk. 2010), tujuan pembelajaran sains adalah agar dapat menjadi wadah bagi peserta didik untuk mempelajari dirinya sendiri dan alam sekitar dan dapat mengaplikasikannya di kehidupan sehari – hari. Dalam pernyataan tersebut, tersirat bahwa pembelajaran sains memiliki peranan dan kewajiban untuk dapat mencetak peserta didik yang berliterasi sains (Liliasari. 2011).

Literasi sains adalah pengetahuan ilmiah individu dan kapasitas menggunakan pengetahuan tersebut untuk untuk mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti tentang isu – isu yang berkaitan dengan sains (OECD, 2014). Literasi sains juga berkaitan erat dengan kemampuan membaca, menulis, seperti layaknya kemampuan berbahasa dengan efektif, kritis, dan lancar (Alwasilah, dalam Rubini. 2016). Oleh sebab itu, menurut Toharudin (dalam Asyhari. 2015), literasi sains perlu dikuasai peserta didik untuk dapat memahami lingkungan hidup, kesehatan, ekonomi, dan masalah masnyarakat modern lainnya.

(2)

sains adalah literasi membaca yang rendah. Literasi membaca memberikan kontribusi pada literasi sains. Hal itu disebabkan karena sebagian besar soal literasi sains disajikan dalam bentuk bacaan. Sementara itu menurut Firman (2007), penyebab rendahnya literasi sains peserta didik adalah pembelajaran yang kurang mengedepankan dimensi proses. Dimensi proses pembelajaran melibatkan model pembelajaran yang digunakan oleh guru di dalam kelas. Menurut PISA (2016), kegiatan efektif yang dirancang oleh guru dengan dikolaborasikan dengan eksperimen dan bantuan kepada peserta didik untuk membuat peserta didik bekerja sama dan menciptakan ide-ide ilmiah dan menyelesaikan masalah kehidupan nyata dapat membantu peserta didik mengembangkan pemahaman konseptual ide ilmiah. Selanjutnya ide ilmiah akan dikembangkan menjadi literasi sains.

Model dan strategi pembelajaran konvensional bukan tidak tepat digunakan di dalam kelas, tetapi model dan strategi pembelajaran di dalam kelas seharusnya dapat mengakomondasi tujuan yang akan dicapai oleh peserta didik. Jenis materi dan indikator kompetensi yang berbeda tentunya memerlukan model pembelajaran yang berbeda pula. Pembelajaran kooperatif sering digunakan sebagai wahana untuk mencapai tujuan dan agar diperoleh hasil belajar yang optimal. Penggunaan pembelajaran kooperatif dan belajar aktif dapat meningkatkan prestasi belajar pada ketrampilan kuantitatif (Yuretich dkk, 2001). Pada salah satu pembelajaran koperatif misalnya, pada pembelajaran sains berbasis masalah, peserta didik memperoleh skor tes yang lebih tinggi daripada peserta didik di dalam kelas konvensional (Schneider, dkk. 2002).

Banyaknya pilihan model dan strategi pembelajaran yang dapat digunakan oleh pendidik, khususnya dalam rangka meningkatkan literasi sains membuat para peneliti gencar melakukan studi terkait dengan hal ini, baik dalam maupun luar negeri. Hal tersebut semakin marak sejak adanya Programe for International Studen Assesment (PISA) yang dilakukan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang bertujuan untuk memonitor hasil dari sistem pendidikan negara anggota dan bukan anggota OECD (Bybee. 2009).

Berdasarkan artikel jurnal yang relevan maka penulis tertarik untuk melakukan studi meta analisis dengan tujuan untuk menganalisis lebih dalam mengenai penggunaan pembelajaran kooperatif dalam meningkatkan literasi sains. Studi ini bertujuan pula untuk membandingkan penggunaan pembelajaran kooperatif dalam meningkatkan literasi sains antar Negara, jenjang pendidikan dan bidang studi.

II. METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode meta analisis yang mengkaji sejumlah penelitian dalam masalah sejenis (Merriyana, 2006). Masalah yang dikaji dalam penelitian ini yaitu penggunaan pembelajaran kooperatif dalam meningkatkan literasi sains peserta didik. Sampel dalam penelitian ini adalah 10 hasil penelitian berupa artikel jurnal yang terdiri dari dua artikel jurnal nasional dan delapan artikel jurnal internasional dengan tema yang sama.

(3)

UE=

x eksperimen−

SDcontrol

x kontrol

Adapun interpretasi dari hasil Effect size yang diperoleh dari artikel jurnal yang di analisis terdapat dalam Tabel 1.

Hasil analisis data pada 10 artikel jurnal ditemukan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif efektif meningkatkan literasi sains dengan Effect size sebesar 0,56 (tinggi) (Tabel 2).

Tabel 2. Karakteristik Data Penelitian dan Ukuran Efek (Effect Size)

No (Tahun)Peneliti Negara

Bidang Studi/ Jenjang

Kajian Eksperi-Men Kontrol N ES

Kategori

7 Mc. Cright USA PT/ IPA Pembelajaran

(4)

Berdasarkan tabel 2 di atas rata-rata nilai ES artikel yang dianalisis memperoleh nilai sebesar 0,56 (tinggi), artinya bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dalam meningkatkan literasi sains tergolong efektif. Nilai ES tertinggi pada penelitian Gucluer (2012) dengan nilai 1,67 sedangkan terendah pada penelitian Nbina (2013) dengan nilai 0,07. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kelas eksperimen dengan pembelajaran kooperatif dibandingkan dengan kelas kontrol tanpa pembelajaran kooperatif. Menurut Slavin (dalam Colak, 2015). Pembelaran kooperatif mampu meningkatkan hasil belajar peserta didik disebabkan pembelajaran ini memungkinkan peserta didik untuk bekerja sama untuk mempelajari materi. Selain itu ditambahkan pula oleh Sonnewald dan Li (dalam Colak, 2015) bahwa Pembelajaran kooperatif mampu meningkatkan hasil belajar peserta didik.

Nilai ES tertinggi ditemukan pada penelitian Gucluer (2012) dengan nilai 1,67. Penelitian tersebut menggunakan pengembangan aktifivitas dengan literasi sains. Keberhasilan pada penelitian tersebut disebabkan kecocokan aktivitas yang dikembangkan dan dikolaborasikan dengan literasi sains. Aktivitas yang dikembangkan tersebut sesuai dengan jenjang sample penelitian, yaitu tingkat SD. Menurut Bergen dan Corscia (dalam Riojaz, dkk, 2008), anak SD memiliki keingintahuan yang tinggi terhadap dirinya sendiri dan dunia sekitarnya. Kegiatan multisensory pada beragam aktivitas yang diberikan kepada peserta didik mampu mengembangkan kemampuan peserta didik untuk mengeksplorasi kemampuannya.

Sementara itu, ES terendah diperoleh pada penelitian Nwangbo (2013) dengan nilai 0,07 menggunakan pembelajaran kooperatif guided discovery learning. Idealnya, guided learning menurut Bruner (dalam Balim. 2009) memungkinkan peserta didik berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran seperti penemuan, melibatkan kegiatan refleksi, berfikir, bereksperimen, dan menjelajahi. Pembelajaran dengan guided learning pada dasarnya merujuk pada teori konstruktivitis, penemuan Bruner, kognitif Piage, dan kooperatif Vygotsky (Guiterez, dalam Khasanah. 2016) sehingga mampu meningkatkan hasil belajar peserta didik. Rendahnya nilai ES pada penelitian ini kemungkinan adalah dalam pembelajaran, peserta didik kurang mampu dan belum terbiasa membangun pengetahuan mereka sendiri. Hal ini selaras dengan pendapat Geary (dalam Khasanah. 2016), pembelajaran dengan menggunakan guided learning dapat membangun pemahaman peserta didik tanpa bimbingan dan dapat dilakukan oleh peserta didik karena telah terbiasa melakukannya pada berbagai konteks dalam kehidupan sehari – hari.

Perbandingan nilai ES pembelajaran kooperatif pada keempat negara (Indonesia, USA, Nigeria, dan Turki) diperoleh nilai ES tertinggi adalah negara Turki dengan nilai sebesar 1,67 (gambar 1).

Indonesia USA Nigeria Turki

0 0.5 1 1.5 2

0.42 0.6 0.27

1.67

(5)

Gambar 1.Perbandingan nilai ES berdasarkan Negara

Nilai ES pada keempat negara menunjukkan bahwa penelitian di Turki memperoleh nilai ES tertinggi dibandingkan dengan negara lainnya (Gambar 1). Hasil ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, pada penelitian di Turki, kelas eksperimen menerapkan metode pengembangan aktivitas dengan literasi sains. Pada penelitian tersebut, aktivitas peserta didik dikembangkan namun tetap berbasis literasi sains, sedangkan pada penelitian di negara lainnya, kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran kooperatif biasa tanpa berbasis literasi sains. Menurut Nurul (2015), Departemen Pendidikan di Turki menetapkan kurikulum dasar, menyiapkan dan menyetujui buku pelajaran dan alat peraga dalam proses pembelajaran. Walaupun, kenyataannya, Turki merupakan negara dengan urutan literasi sains yang rendah, namun Turki memiliki nilai rata – rata sains yang cukup baik (Pisa, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh Ceylan dan Abaci (2013) menerangkan bahwa peserta didik di Turki lebih menekankan pada kegiatan berbasis teknologi dan informasi dalam mengerjakan tugas, aktivitas sains di waktu luang, dan memberi perhatian penting pada pelajaran sains. Selain itu, perubahan kurikulum yang dilakukan sejak tahun 2007 mampu mengubah sistem pendidikan di Turki yakni teacher-centered menjadi student-centered.

Sementara itu, nilai ES di negara Nigeria terendah dibandingkan negara lainnya. Penyebab hal tersebut terungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh Nwagbo (2006), bahwa guru – guru di Nigeria awalnya tidak dilatih untuk mengajar dengan metode yang innovatif. Sehingga mereka menjadi ragu untuk mengaplikasikannya. Pada akhirnya nilai akhir yang diperoleh peserta didik kurang memuaskan. Penyebab lain akibat keraguan yang muncul pada diri guru adalah keraguan peserta didik dalam menjalankan aktivitas sesuai metode yang guru ajarkan. Sementara itu, menurut Geary (dalam Khasanah. 2016), penggunaan guided learning di kelas eksperimen membutuhkan pemahaman oleh peserta didik agar peserta didik terbiasa dan hasilnya menjadi maksimal.

Nilai ES untuk jenjang pendidikan meliputi SD, SMP dan SMA diperoleh nilai tertinggi pada jenjang PT dengan nilai sebesar 1,24 (Gambar 2).

-SD SMP SMA PT

0 0.5 1 1.5

1.13

0.37

0.21

1.24

ES

(6)

Gambar 2.Perbandingan nilai ES jenjang pendidikan

Perbandingan nilai ES pada jenjang pendidikan juga terdapat perbedaan. Hasilnya, diperoleh bahwa nilai ES terendah tingkat SMA dan tertinggi yaitu pada tingkat PT (Gambar 2). Berdasarkan teori Piaget (1972 dalam Badrul, 2010) pada usia SMP dan SMA, peserta didik harusnya sudah mulai memikirkan pengalaman di luar pengalaman konkret, dan memikirkannya secara lebih abstrak, idealis, dan logis. Selain itu, menurut Piaget bahwa pada usia SMA, peserta didik sudah pada tahapan formasi formal. Sedangkan menurut Wenning (dalam Khasanah. 2016), perkembangan psikologi peserta didik merupakan syarat literasi sains dapat tercapai selain kurikulum dan pembelajaran di kelas.

Rendahnya literasi sains pada tingkat SMA, kemungkinan disebabkan karena peserta didik belum mampu berfikir secara abstrak dan logis. Hal ini didukung oleh pernyataan Herron (dalam Erman dan Mintarto, 2004) bahwa seseorang bisa saja tidak dapat mencapai tingkat berpikir formal sepanjang hidupnya jika tidak pernah berlatih menggunakan kemampuan tersebut. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pemikiran Jarvis (dalam Ibda. 2015) bahwa semua manusia melalui setiap tingkat, tetapi dengan kecepatan yang berbeda. Menurutnya mungkin saja peserta didik diumur yang sama tetapi pada tingkat yang berbeda, bahkan ada kemungkinan peserta didik yang berumur lebih muda memiliki tingkat tahapan intelektual yang lebih tinggi. Selain itu, penyebab lainnya adalah peserta didik tidak terbiasa dengan model pembelajaran yang digunakan. Pada ketiga penelitian di jenjang SMA tersebut menggunakan model pembelajaran guided learning di kelas eksperimen. Menurut Geary (dalam Khasanah. 2016), penggunaan guided learning oleh guru wajib mengikutsertakan pemahaman peserta didik terhadap langkah yang harus mereka kerjakan agar peserta didik terbiasa dan hasilnya menjadi maksimal.

Berbanding terbalik dengan jenjang SMA, peserta didik PT memperoleh nilai ES tertinggi. Berdasarkan teori Piaget (1972), perkembangan pengetahuan seseorang erat kaitannya dengan perkembangan biologis dan interaksinya dengan lingkungan. Oleh sebab itu, pertumbuhan fisik seseorang akan diikuti dengan pertumbuhan intelektualitasnya yang didukung oleh interaksi dengan lingkungannya. Akibatnya, pengetahuan seseorang menjadi bertambah dan berkembang. (Erman dan Mintarto, 2004). Selain itu, pada jenjang PT, peserta didik seharusnya sudah memiliki kemampuan asimiliasi, akomondasi, dan ekuilibrium yang mungkin belum dicapai pada jenjang sebelumnya. Hasil dari ketiga aspek tersebut akan memunculkan kematangan berfikir dewasa yang menjadi ciri khas pada jenjang PT (Syaodih dan Mubair, 2008).

Gambar 3.Perbandingan nilai ES berdasarkan bidang studi

Perbandingan nilai ES berdasarkan bidang studi diperoleh bahwa bidang IPA memperoleh nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kimia dan Biologi dengan rata-rata sebesar 0,74 (Gambar 3). Hal ini dikarenakan pada bidang IPA mengkolaborasikan dengan teknologi pada penelitian Wendt dan Rockinson (2013). Menurut pemikiran Koll dan Taylor (2009), syarat terpenuhinya literasi sains haruslah mampu untuk

IPA Biologi Kimia

0 0.2 0.4 0.6

0.8 0.74

0.36

0.07

ES

(7)

mendeskripsikan hakikat sains, mengetahui hubungan sains dan mengkomunikasikannya, dan menggunakan teknologi dalam sains. Selain itu, penggunaan model inquiry pada sebagian besar kelas eksperimen turut mempengaruhi rata - rata ES yang tinggi. Model inquiry terbukti mampu meningkatkan hasil belajar peserta didik, ketrampilan proses sains, dan sikap terhadap ilmu. Adapun ketiga aspek tersebut termasuk penilaian literasi sains (Chen, LC. 2011). Gormally, Carra, dkk (2009), dalam penelitiannya bahkan mengungkapkan bahwa metode mengajar menggunakan inquiry merupakan jalan terbaik untuk literasi sains. Menurutnya, inquiry memungkinkan peserta didik untuk mendiskusikan dan menukar argumen seperti debat dalam proses pembelajaran.

IV. SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dan perhitungan ES dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan literasi sains dengan nilai rata-rata ES 0,56 dan berkategori tinggi. Pada perbandingan antar negara, nilai ES di negara Turki (1,67) lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia, USA, dan Turki. Sementara itu, pada perbandingan nilai ES berdasarkan jenjang pendidikan, nilai ES pada jenjang PT (1,24) memperoleh nilai lebih tinggi dibandingkan SD, SMP, dan SMA. Sedangkan pada perbandingan bidang studi, IPA (0.74) memperoleh nilai ES lebih tinggi dibandingkan dengan Kimia dan Biologi.

DAFTAR PUSTAKA

Anaele, dkk. 2014. Gender and Scientific Literacy levels: Implication for sustainable science and technlogy education (STE) for the 21 st

Century Jobs. Journal of Education and Practice.

Asyhari, Ardian, dkk. 2015. Profil Peningkatan Kemampuan Literasi Sains Peserta didik Melalui Pembelajaran Saintific. Jurnal Ilmiah Pendidikan Fisika Al-Biruni 179-191.

Badrul, Muhammad, dkk. 2010. Pemetaan Pekembangan Kognitif Piaget Peserta didik Sma Menggunakan Tesn Opeasi Logis (Tol) Piaget Ditinjau Dari Perbedaan Jenis Kelamin. UNS. Surabaya.

Bagiarta, Nyoman I, dkk. 2015. Komparasi Literasi Sains Antara Peserta didik Yang Dbelajarkan Dengan Model Pembelajaran Kooperatf Tipe GI (Group Investigation) Dan Mdel Pembelajaran Inquiry Terbimbing Ditinjau Dari Motivasi Berprestasi Peserta didik SMP. Universitas Pendidikan Ganesha. Singaraja.

Balim, AG. 2009. The Effects Of Discovery Learning On Students’s Succes Amd Inquiry Learning Skills. Eurasian Journal of Educational Research, 1-20.

Bybee,dkk. 2009. PISA 2006. An Assesment of Scientific Literacy. Journal of Research International Science Teaching Vol 46 No.8.

Cerventi, Gina N., dkk. 2012. The Impact of an Integrated Approach to Science and Literacy in Elementary School Classrooms. Journal Of Research In Science Teaching Vol. 49, No. 5, Pp. 631–658.

Ceylan, Eren. Abacı , Serdar. 2013. Differences between Turkey and Finland based on Eight Latent Variables in PISA 2006. International Online Journal of Educational Sciences, 2013, 5 (1), 10-21

(8)

Colak, Esma. 2015. The Effect Of Cooperative Learning On The Learning Approaches Of Students With Different Learning Styles. Eurasian Journal of Education Research Issue 59 17-34.

Erman. & Mintarto, Edi. 2004. Memacu Kemampuan Berpikir Formal Siswa Melalui Pembelajaran Ipa Sejak Dini.

Fang, Zhihui. 2010. Improving Middle School Students Science Litracy Through Reading Infusion. The journal of educationaln research, 103: 262-273.

Firman, H. (2007). Analisis Literasi Sains Berdasarkan Hasil PISA Nasional Tahun 2006. Jakarta. Pusat Penilaian Balitbang Depdiknas.

Gormally, Carra., dkk. 2009. Effects of Inquiry-based Learning on Students’ Science Literacy Skills and Confidence. International Journal for the Scholarship of Teaching and Learning Vol.3 No.2.

Gucluer, Efe. 2012. The Effect Of Using Activities Improving Scientific Literacy On Students’ Achievement In Science And Technology Lesson. International Online Journal Of Primary Education - 2012, Volume 1, Issue 1.

Haristy, D.R. 2013. Pembelajaran Berbasis Literasi Sains Pada Materi Larutan Elektrolit Dan Non Elektrolit. Resource Document: Http://Jurnal.Untan.Ac.Id/Index.Php/Jpdbb/Article/View/4002. Accessed 15 January, 2016.

Ibda, Fatimah. 2015. Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget. Intelektualita - Volume 3, Nomor 1, Januari-Juni 2015

Liliasari. 2011. Membangun Masyarakat Melek Sains Berkarakter Bangsa Melalui Pembelajaran. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia.

Khasanah, Nur. & Dwi Hastuti. 2016. Pengaruh Model Guided Discovery Learning Terhadap Literasi Sains Peserta didik Ditinjau Dari Kecerdasan Naturalis. Proceeding biologi education conference. Vol. 13 (1).

Koll, K. Richard. & Neil Taylor. 2009. Beyond Science Literacy: Science and The Public. International Journal of Enviromental and Scince Education. Vol.4. No.3.

Mc Cright, Aaron. 2012. Enhancing students’ scientific and quantitative literacies through an inquiry-based learning project on climate change. Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 12, No. 4.

Merriyana A, Rosa. 2006. Meta Analisis Penelitian Alternatif bagi Guru. Jurnal Pendidikan Penabur No. 06/ Th V/Juni.

Muhajir, Siti., & Rohaeti, Eli. 2015. Perbedaan Penerapan Model Pembelajaran STS dan CTL terhadap Literasi Sains dan Prestasi Belajar IPA. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains Tahun III, No 2. Desember 2015.

Nbina, J.B. 2013. The Relative Effectivenes of Guided Discovery and Demonstration Teaching Methods on Achievment Chemistry Students of Different Levels of Scientific Litracy. Journal of resach in educational and society Vol. 4, No.1.

Nurul, Ikhsan Saleh M., 2015. Perbandingan Sistem Pendidikan di Tiga Negara; Mesir, Iran dan Turki. Jurnal Pendidikan Islam Volume IV, Nomor 1, Juni 2015/1436.

(9)

OECD. 2013. PISA 2012 Asessment and Analytical Framework: Mathematic, Readig, Science, Problem Solving, and Financial Literacy. OECD Publishing.

OECD. 2014. PISA 2012 Result: What Srudents Know and Can Do- Student Performance in Mathematic, Reading, and Science (Volume 1). OECD Publishing.

PISA. 2016. PISA 2015 Results in Focus. OECD Publishing.

Ratnawati, dkk. 2010. Pemahaman Hakikat Sains Mahapeserta didik Tahun Ketiga Program Studi Pendidikan Kimia. Universitas Malang. Malang.

Riojaz, dkk. 2008. Using cultural tools to develop scientific literacy of young Mexican American

preschoolers. Early Child Development and Care, 178:5, 527-536.

Rubini, dkk. 2016. Identify Scientif Literacy from The Science Teacher Perspective. Journal Pendidikan Unnes.

Schneider, R.M., & Krajcik, J.S., & Marx, R.W. 2002. Performance of students in project-based science classrooms on a national measure of science achievement. Journal of Research in Science Teaching, 39, 410-422.

Siahaan, Parsaoran, dkk. 2010. Hakekat Sains dan Pembelajarannya. FPMIPA UPI. Bandung.

Wendt, Jillian L., & Rockinson-Szapkiw , Amanda. 2013. The Effect of Online Collaboration on Middle School Student ScienceMisconceptions As An Aspect of Science Literacy. Journal of Research In Science Teaching

Gambar

Tabel 1. Kategori Effect Size
Gambar 1.Perbandingan nilai ES berdasarkan Negara
Gambar 3.Perbandingan nilai ES berdasarkan bidang studi

Referensi

Dokumen terkait

untuk periode yang berakhir 31 Desember 2008. Bursa Efek Indonesia juga menerbitkan keputusan direksi PT. Bagi perusahaan yang tidak patuh terhadap peraturan

Dengan kata lain, SDAL tidak lagi hanya dilihat sebagai faktor produksi yg boleh dieksploitasi tanpa batas untuk memenuhi kepuasa ekonomi, namun harus dilihat sebagai suatu

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Dwijayanti (2011) mencoba membahas tentang manfaat yang dapat diperoleh indonesia dari penerapan atau pengimplementasian carbon

[r]

Tabel 7 Apakah cara perhitungan METRIS (Metode Horizontal) dalam game “Run Plica Run” telah membantu Anda untuk mengerjakan soal perkalian Matematika dengan lebih cepat. Jawaban

Sahabat MQ/ saat ini persediaan katong darah yang ada di PMI Sleman Yogyakarta hanya sebanyak 7 Labu/ dengan rincian/ untuk golongan A sejumlah 2 labu, O 2

5) melaporkan hasil pelaksanaan wasrik yang menjadi tugas dan kewajibannya kepada Irjen TNI; dan.. 6) Irops dibantu oleh empat orang Inspektur Utama yang

[r]