• Tidak ada hasil yang ditemukan

Urgensi Etika dalam Manajemen dan Profes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Urgensi Etika dalam Manajemen dan Profes"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Urgensi Etika dalam Bisnis dan Profesi Akuntan Tinjauan Kritis atas Kasus Enron dan Arthur Andersen

Oleh Kasdin Sihotang

Dosen Etika Profesi Akuntan di FE dan Staf PPE Unika Atma Jaya, Jakarta

Abstrak:

Bisnis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup manusia. Sebagai bagian dari kehidupan manusia, bisnis harus dijalankan secara etis. Ini berarti, bisnis membutuhkan etika. Jika seorang pelaku bisnis mengabaikan etika dalam kegiatannya, dia melakukan tindakan bunuh diri. Pengabaian ini akan menyebabkan kebangkrutan. Fakta inilah yang terlihat dalam kebangkrutan Enron dan Arthur Andersen. Kehancuran kedua perusahaan ini telah membangkitkan kesadaran dan ekspektasi publik baik bagi para pelaku bisnis untuk menerapkan tata kelola yang sehat berdasarkan prinsip akuntabilitas, transparansi, fairness dan tanggung jawab maupun bagi akuntan untuk menerapkan etika profesi yang meliputi integritas, independensi, objektivitas dan kejujuran serta kepentingan publik. Kehancuran itu juga mendorong agar etika profesi akuntan menjadi bagian integral dari pendidikan untuk membangkitkan kesadaran calon akuntan akan apa yang baik dan apa yang buruk dalam menjalankan pekerjaannya kelak.

Kata-kata kunci: tata kelola, akuntabilitas, transparansi, fairness, tanggung jawab, keadilan, otonomi, independensi, integritas, etika, etika profesi, profesi akuntan, kepentingan publik dan profesi, serta pendidikan.

Abstract:

(2)

Key Words: Governance, accountability, transparency, fairness, responsibility, justice, otonomy, independency, integrity, ethics, professional ethics, the ethics of accounting profession, public interest, profession and education.

Pengantar

Kehancuran sebuah bisnis tidak saja disebabkan oleh kebangkrutan ekonomi, melainkan juga oleh kebangkrutan moralitas dalam mengelolanya. Bahkan kebangkuran moral ini merupakan sumber yang paling membahayakan bagi kelangsungan bisnis. Penegasan ini bukan ilusi, melainkan fakta. Banyak perusahaan yang bisa dijadikan sebagai contoh. Kebangkuran Enron dan Arthur Andersen yang terjadi di Amerika Serikat1, yang menjadi fokus sorotan dalam

tulisan ini, adalah contoh yang jelas untuk itu.

Peristiwa tiga belas tahun lalu tersebut merupakan sesuatu yang sangat mengejutkan bagi dunia bisnis, mengingat Enron masuk dalam bilangan perusahaan terbesar ke-7 di Amerika Serikat dengan tenaga kerja 25000 orang maupun Arthur Andersen sebagai lembaga akuntan ternama2, namun memberi pelajaran berharga

tentang dampak negatif dari pengelolaan perusahaan yang tidak sehat dan pengabaian etika dalam menjalankan profesi, khususnya profesi akuntan.

1 Bdk. Leonard J Brooks & Paulin Dunn (2011), Etika Bisnis & Profesi untuk Direktur,

Eksekutif, dan Akuntan Buku 1, terjemahan Kanti Pertiwi, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, hal. 91.

(3)

Berkaitan dengan kasus di atas, sejumlah pertanyaan mendasar berikut relevan diajukan: Apa yang menjadi sebab dari kebangkrutan Enron dan Arthur Andersen? Dari segi etika, khususnya etika profesi akuntan, apa yang bisa digali dari peristiwa tersebut? Dan pelajaran apa yang bisa diambil dari kasus tersebut untuk mengantisipasi agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian? Tiga pertanyaan inilah yang menjadi titik berangkat pembahasan dalam artikel ini.

Artikel ini dibagi dalam empat butir. Butir pertama akan menganalisa akar dari kebangkrutan perusahaan Enron, yang berfokus pada dua hal, yakni bagaimana penerapan prinsip-prinsip tata kelola seperti akuntabilitas, transparansi, fairness serta tanggung jawab dalam mengurus perusahaan dan bagaimana nilai-nilai etis profesi, khususnya etika profesi akuntan diterapkan di dalamnya. Butir kedua akan berisikan pembahasan tentang berbagai ekspektasi etis publik sebagai implikasi peristiwa tersebut dalam pengelolaan perusahaan dan kualitas profesi akuntan. Butir ketiga berbicara tentang upaya preventif intensif melalui perhatian pada pendidikan etika profesi sejak dini. Butir keempat merupakan kesimpulan.

1. Dua Akar Kehancuran

Kehancuran perusahaan Enron merupakan pukulan berat dalam bisnis. Dan peristiwa buruk tersebut tidak pernah diduga oleh banyak orang, khususnya pelaku bisnis dan pengamat ekonomi, mengingat perkembangan perusahaan Enron begitu pesat dalam kurun waktu tahun 90-an, bahkan sempat tercatat sebagai perusahaan yang memiliki reputasi sangat baik di tingkat dunia3.

(4)

Secara umum, ada dua akar hancurnya Enron dan Arthur Anderson. Kedua akar itu adalah tidak berjalannya tata kelola dan minimnya kepedulian pada etika dalam menjalankan profesi akuntan. Faktor pertama sangat terkait dengan Enron, dan faktor kedua sangat berhubungan dengan Arthur Andersen.4

1.1 Pengelolaan yang salah

Sumber pertama kehancuran Enron adalah pengelolaan perusahaan yang tidak sehat5. Dalam bisnis modern kelanggengan sebuah

perusahaan sangat tergantung pada kualitas pengelolaan yang diterapkan. Pengelolaan sehat merupakan syarat bagi kelanggengan itu. Demikian sebaliknya6, kalau pengelolaan yang

diterapkan tidak sehat, maka masa depan perusahaan akan terancam. Aktivitasnya pun hanya bertahan dalam waktu yang singkat. Itu berarti, prinsip-prinsip manajemen yang sehat menjadi sebuah keharusan bagi bisnis modern7. Dengan alasan ini, maka

good corporate governance (GCG) yang berasaskan pada prinsip akuntabilitas, transparansi, fairness, dan tanggung jawab menjadi penentu bagi kelangsungan perusahaan.8

Akan tetapi dalam pengelolaan Enron prinsip-prinsip GCG itu tidak mendapat perhatian. Deviasi terhadap keempat prinsip itu sangat

4 Faktor kedua bersifat korelasional dengan faktor yang pertama. Artinya, kehancuran Enron

juga karena tidak diterapkannya etika dalam menjalankan proesi akuntan. Namun di paper ini kedua faktor dipisah dalam uraian dengan tujuan memberi tekanan pada pentingnya dua aspek dalam kegiatan bisnis, yakni pengelolaan dan etika dalam kerja.

5 Bdk. Leonard J Brooks., op.cit., hal. 84-121.

6 Bdk. Richard T de George, ( 2003). The Ethics of Information Techonolgy and Business,

United Kingdom: Blackwell, hal. 37.

7 Bdk. Leonard J Brooks & Paul Dunn ( 2012), Etika Bisnis dan Profesi untuk Direktur,

Eksekutif dan Akuntan, cet.ke- 5, Buku 2, Jakarta: Salemba Empat, hal. 2-40.

8 Ada empat prinsip dasar tata kelola, yakni akuntabilitas, transparansi, dan keadilan serta

(5)

menonjol dalam cara pengelolaan tidak wajar yang dilakukan oleh Enron seperti pelaporan yang tidak tansparan, pengawasan yang tidak melekat, serta penghilangan dokumen laporan keuangan9.

1.1.1 Nihilnya Akuntabilitas

Terkait dengan akuntabitilitas, menurut Leonard J Brook, mengutip

Summary of Findings Power Report10, ada lima penyimpangan

besar yang dilakukan oleh Enron. Pertama, minimnya upaya preventif dewan direksi yang menyebabkan berkembangnya tindakan kelompok karyawan untuk memperkaya diri dengan berbagai cara.11 Kedua, adanya upaya menyembunyikan aset dan

kewajiban dengan pendirian dan penggunaan kemitraan seperti Chewco, LJMI dan LJM2 yang juga ditangani oleh karyawan Enron sendiri untuk melakukan transaksi yang tidak dapat diatur dengan entitas independen dan dirancang untuk mencapai hasil laporan yang positif dengan mengabaikan pencapaian ekonomi yang jujur, serta aturan-aturan akuntansi di Amerika Serikat.

9 Dengan merujuk laporan Power Report, Leonard J Brooks menyatakan bahwa pada tanggal 16 Oktober 2001 Enron mengumumkan bahwa perusahan mengambil $ 544 juta setelah pajak yang dibebankan pada laba yang terkait dengan transaksi LJM2 Co-Investment LP, menjadikan Fastow sebagai mitra, padahal Fastow adalah bagian dari perusahaan. Enron juga mengumumkan pengurangan ekuitas pemegang sehamnya sebesar$ 1.2 miliar yang berkaitan dengan transaksi dengan entitas yang sama. Kurang dari satu bulan, Enron membuat laporan baru tentang kondisi keuangan yang keliru terkait dengan transaksinya dengan kemitraan Fastow yang lain dan tambahan entitas pihak terkait, yakni Chewco Investment, yang dikelola oleh karyawan Enron Global Finance. Ditemukan pula bahwa ada penyajian kembali seperti yang sebelumnya dibebankan pada laba dan pengurangan ekuitas pemegang saham yang jumlahnya sangat besar untuk periode 1997 hingga 2001, karena kesalahan akuntansi terkait transaksi dengan kemitraan Fastow yang lain, LJM Cayman, LP dan tambahan entitas pihak terkait, Chewco Investment yang dikelola oleh Enron Global Enron. Dalam laporan ini Enron ada pengurangan rugi laba sebesar $ 248 juta dari $ 979 pada tahun 1999 dan $299 juta dari total $ 979 juta pada tahun 2000. Penyajian ulang menyebabkan pengurangan ekuitas pemegang saham yang dilaporkan pada tahun 1997 yang besarnya $258 juta dan pada tahun 1998 $ 391 juta, pada tahun 1999 $ 710 juta dan pada tahun 2000 # 754 juta. (Bdk Leonard J Brooks, Buku 1, op.cit., hal. 90-92).

10 Bdk. Leonard J Brooks, op.cit., hal. 88-89.

11 Dilaporkan bahwa Fastow perusahaan yang ditangani oleh karyawan Enron memperoleh

(6)

Ketiga, terjadinya transaksi yang tidak semestinya dengan jumlah begitu besar yang implikasinya sangat signifkan dalam pelaporan keuangan Enron. Hal ini dilakukan untuk memberi kesan positif terhadap kondisi keuangan Enron.

Keempat, terjadinya perlakuan yang salah terhadap akuntan. Enron membayar Arthur Andersen dengan begitu mahal untuk mengaudit perusahaan Chewco dan LJMI, yang adalah anak perusahaan Enron, namun fungsi advisorialnya tidak berjalan, karena nasehat Athur Anderson tidak dijadikan sebagai dasar pelaporan keungan, malahan membayar Arthur Andersen dengan tarif yang begitu mahal agar tidak membongkar berbagai kekeliruan Enron.

Kelima, eliminasi prinsip independensi pemilik perusahaan untuk membuat sebuah investasi ekuitas substantif sekurang-kurangnya 3 persen dari aset special purpose entities (SPE) dan 3 persen sebagai berisiko di seluruh transaksi serta independensi melakukan pengendalian terhadap SPE12.

1.1.2 Pengabaian Transparansi

Informasi materi perusahaan yang akurat dan tepat waktu antara lain meliputi situasi keuangan, kinerja perusahaan, manejemen perusahaan serta faktor risiko yang mungkin timbul merupakan kerangka kerja corporate governance. Dengan kata lain, penyebaran informasi secara terbuka, dan objektif termasuk dalam laporan keuangan merupakan bagian dari pengelolaan perusahaan. Inilah hakikat dari transparansi.

12 Kondisi ini harus dipenuhi menurut aturan akuntan AS agar Enron bisa mencatat

(7)

Enron secara jelas mengabaikan hakikat transparansi tersebut, khusunya berkaitan dengan laporan keuangan13. Enron berusaha

menutupi kondisi keuangan yang buruk dengan menghilangkan dokumen transaksi keuangan secara luas. Penghilangan dokumen itu dilakukan untuk menghindari pertanggungjawaban keuangan yang akuntabel. Yang paling buruk, Dewan Direksi dengan sengaja mengijinkan Enron untuk melakukan kecurangan itu agar para investor dan pemegang saham tidak menarik uangnya dari perusahaan. Untuk menjaga agar tindakan buruk itu tidak diketahui publik, kebebasan auditor internal perusahaan dibungkam dalam menjalankan fungsi yang sebenarnya. Auditor harus mengikuti kemauan auditee, yang justru sikap ini sangat bertentangan dengan tugas, dan wewenang, serta fungsi seorang auditor.14

1.1.3 Minimnya Tanggung Jawab

Kesalahan pengelolaan itu diperparah dengan minusnya tanggung jawab yang diperlihatkan oleh top management perusahaan. Pada hakikatnya, prinsip tanggung jawab memuat dua hal, yakni di satu sisi mengusahakan pengelolaan yang baik dengan mempertimbangkan dampak baik dan dampak buruk seluruh perbuatan yang dilakukan secara matang, di lain sisi berani menanggung reriko dari sebuah tindakan atau keputusan yang dilakukan15.

13 Dalam tata kelola perusahaan, laporan keuangan yang transparan mempunyai korelasi

dengan tingkat kepercayaan para investor dan pemegang saham. Di negara-negara maju, para investor bersedia memberi premium yang cukup tinggi kepada perusahaan yang menerapkan prinsip transparansi dengan konsisten. Hal ini ditemukan oleh Mc Kinsey (Lihat, Adrian Sutedi, op.cit., hal. 57).

14 Bdk. Ronald F Duska and Brenda Shay Duska, (2006), Accounting Ethics, USA: Blacwell

Publishing, hal. 107.

15 Bdk. Kasdin Sihotang, (2014), Kerja Bermartabat: Kunci Meraih Sukses, Jakarta: Penerbit

(8)

Dalam konteks perusahaan, tanggung jawab top management

adalah mengembangkan perusahaan secara berkelanjutan dengan menghindari segala hal yang merugikan perusahaan. Dengan kata lain, cost beneft analysis dijadikan oleh top management sebagai bahan pertimbangan dalam pengambil keputusan tentang perusahaan.

Dewan Direksi adalah bagian dari top management. Sesuai dengan tugas utamanya, Dewan Direksi mempunyai kewajiban fdusia, yakni meninjau strategi bisnis perusahaan secara keseluruhan, memilih dan memberikan kompensasi eksekutif senior perusahaan, mengevaluasi eksternal perusahaan dan mengevaluasi laporan keuangan perusahaan serta memantau kinerja perusahaan secara keseluruhan16. Dewan Direksi juga bertanggungjawab untuk

mengawasi lini bisnis dan strateginya, termasuk memastikan kualitas pertanggungjawaban laporan keuangan untuk menjamin kepercayaan investor dan pemegang saham. Karena itu penyajian laporan keuangan yang sebenarnya menjadi tugas dan tanggung jawab besar bagi manajemen perusahaan17.

Namun dalam pengelolaan, hakikat prinsip tanggung jawab tersebut tidak diindahkan oleh Enron, khususnya Dewan Direksi. Pengawasan Dewan Direksi terhadap manajemen perusahaan sangat lemah. Bahkan, tiga tugas besar status fdusia direktur, yakni ketaatan, loyalitas dan ketekunan18 sama sekali tidak

dipejalankan. Dewan Direksi justru mengembangkan sejumlah strategi bisnis utilitarianistik yang merugikan masa depan perusahaan untuk mencapai tujuan-tujuan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu, namun merugikan stakeholders . Tindakan ini

16 Bdk. Joseph W Weis, (2000). Business Ethics: A Stakeholder and Issues Management

Approach, South Western: Thomson, hal. 140.

(9)

menurut Doughlas M Branson merupakan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip Fiduciary Duty.19

1.1.4 Ketidakadilan

Prinsip tata kelola lain yang dilanggar oleh Enron adalah fairness. Fairness berkaitan dengan keadilan. Keadilan mempunyai pengertian yang sangat luas. Namun, arti sederhana bisa diambil dari ungkapan Romawi bertuliskan tribuere cuique, artinya memberikan apa yang menjadi hak orang20. Keadilan berkaitan

dengan pengaturan hak dan kewajiban semua pemangku kepentingan secara fair. Dengan kata lain, hak legal, hak ekonomis dan hak moral serta kewajiban-kewajiban seperti ketaatan, konfdensialitas dan loyalitas menjadi objek material dari keadilan

21. Ini juga menjadi hakikat pengelolaan yang sehat. Dalam tata

kelola, sebagaimana ditegaskan oleh Adrian Sutedi, keadilan atau

fairness terungkap dalam perlakuan yang sama terhadap pemegang saham dengan keterbukaan inrormasi yang penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam22.

Peluang-peluang yang memberi ruang ketidakseimbangan terhadap hak dan kewajiban pada pihak-pihak tertentu serta membuat kebijakan manipulatif merupakan praktik ketidakadilan dalam bisnis. Dan manajemen Enron melakukan hal ini. Seperti sudah disinggung dalam butir sebelumnya, kalangan karyawan dan mitra

19 Bdk. Douglas M Branson (1993). Corporate Governance, Virginia: The Michie Company,

hal. 32.

20 Bdk. K Bertens, (2000), Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius, hal. 86.

21 Yang dimaksudkan dengan hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan kesejahteraan

secara ekonomis meliputi hak mendapatkan gaji atau upay yang adil, hak mendapatkan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja dan hak mendapatkan bagian bonus atau insentif karena prestasi. Hak hukum berarti hak untuk diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan-aturan atau norma-norma hukum yang berlaku dalam perusahaan. Sementara hak moral adalah hak atas kebebasan suara hati, hak atas rahasia pribadi dan hak atas perlakuan yang sama. Termasuk dalam hak moral adalah melaporkan kecurangan perusahaan, termasuk whistle blowing (Bdk. Kasdin Sihotang, op.cit., hal. 167-179).

(10)

memperkaya diri dengan mudah, karena lemahnya pengawasan Dewan Direksi. Ini berarti, di satu sisi ada pihak yang diuntungkan, di lain sisi ada pihak yang sangat dirugikan. Yang diuntungkan adalah mereka yang mempunyai andil dengan manejemen perusahaan dan mendapat kesempatan untuk itu, seperti karyawan, sedangkan yang dirugikan adalah yang sebaliknya, termasuk di dalamnya pemegang saham dan investor.

Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan perusahaan Enron telah menerapkan tata kelola yang salah, karena melanggar prinsip-prinsip dasar good corporate governance yang berintikan pada empat nilai utama, yakni akuntabilitas, transparansi, tanggung jawab serta keadilan. Pengabaian terhadap prinsip-prinsip tata kelola demikian menyumbang bagi kehancuran Enron.

1.2 Deviasi Etika Profesi Akuntan

Selain pengelolaan yang tidak sehat, penyimpangan nilai-nilai etis profesi akuntan menjadi penyebab lain bagi kehancuran Enron. Dengan kata lain, kebangkrutan Enron juga terjadi karena prinsip-prinsip etika profesi, yang dalam hal ini adalah etika profesi akuntan, diabaikan dalam tugas-tugas sebagai akuntan. Pelanggaran ini sangat jelas dilakukan oleh lembaga akuntan bernama Arthur Andersen (AA)23.

Sebagai lembaga audit keuangan ternama, AA seharusnya bertindak secara profesional, dalam arti melakukan audit berdasarkan prinsip-prinsip formal audit24. Namun AA tidak

melakukan hal ini. Sebagaimana dijelaskan di atas, Enron telah

23 Dalam kasus ini WorldCom juga mempunyai andil bagi kehancuran Enron. Namun penulis

membatasi diri pada Enron dan Arthur Andersen saja, karena menurut penulis AA sudah mereprentasikan pelanggaran etis dalam bidang akuntansi.

(11)

melakukan berbagai kekeliruan, termasuk dalam pelaporan keuangan berbentuk manipulasi data. Namun AA tidak mempertanyakan kekeliruan itu. Sebaliknya, AA berkompromi dengan perusahaan, bahkan menawarkan jasa kepada Enron untuk turut memperbaiki kekeliruan yang menurut hukum audit sudah jelas-jelas serharusnya menjadi penemuan mayor25.

Ada empat nilai utama etika profesi akuntan yang dilanggar oleh Arthur Andersen. Pertama, independensi. Independensi berarti tidak tergantung pada kemauan atau kepentingan tertentu. Menurut Michael Pakaluk setiap profesi memiliki independensi dalam melakukan tugasnya. Mengingat akuntan juga merupakan sebuah profesi, maka independensi juga menjadi bagian prinsip bagi seorang akuntan. Akuntan tidak boleh tunduk pada kepentingan tertentu entah kepentingan diri sendiri ataupun kepetingan auditee, selain tunduk pada prinsip-prinsip audit dan kepentingan umum26. Bahkan menurut Ronald F Duska,

kepentingan publik harus mengatasi kepentingan-kepentingan di luarnya.27 Dengan kata lain, seorang akuntan haruslah

berpendirian dalam tugasnya. Seorang auditor memang memberi pelayanan nasihat manejemen kepada perusahaan. Namun pelayanan itu bertujuan untuk melihat sejumlah alasan-alasan objektif terhadap data perusahaan yang diaudit. Di sini kemandirian sangat penting. Tugas auditor adalah membuat laporan objektif tentang segala hal dalam pandangan mereka yang mungkin menjadi bahan pertimbangan bagi investor untuk membuat keputusan investasi28.

25 Bdk. Ronald F Duska and Brenda Shay Duska, op.cit., hal. 75-92.

26 Bdk. Michael Pakaluk & Mark Chefers, (2011), Accounting Ethics and the Near Collapse of

The World’s Financial System, Massachusetts: Alen Daved Press, hal. 277.

27 Tentang hal ini Ronald F Duska mengatakan, “It discusses four concepts that relate to

independence: (1) threats, (2) safeguards, (3) independence risk, (4) signifcance of threats/ efectiveness of safeguards”. ( Bdk Ronald F Duska, opt.cit., hal. 128).

(12)

Akan tetapi prinsip demikian tidak menjadi perhatian bagi Arthur Andersen. AA justru menempatkan kepentingan di atas prinsip etis tersebut. Arthur Andersen malah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip independensi, yakni mendiskusikan dan mengakomodir kekeliruan yang dilakukan oleh Enron.29 Selain

bayaran yang tinggi, banyaknya Akuntan Arthur Anderson yang menjadi auditor internal Enron menunjukkan bahwa AA tidak berpegang teguh pada independednsi, karena kondisi ini justru sarat dengan kepentingan. Dengan kata lain, para auditor telah terkooptasi oleh ketergantungan pada pihak lain sehingga ia bukan lagi orang yang bebas dan otonom untuk membela prinsip-prinsip profesinya30.

Kedua, adalah integritas. Integritas merupakan elemen karakter dasar bagi pengakuan profesional. Integritas berkaitan dengan kualitas yang dengannya kepercayaan publik muncul, sekaligus menjadi ujian bagi pengambilan keputusan. Menurut Steven MR Covey, orang yang mempunyai integritas adalah dia yang berpegang pada prinsip dan menjadikan prinsip itu sebagai karakternya. Dia memiliki keutuhan diri. Ia tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang harus tidak dilakukan. Dia juga tidak mudah dipengaruhi oleh iming-iming. Dia berani mengatakan benar kalau memang benar, salah kalau memang salah.31 Ketika ia

berhadapan dengan kekosongan standar, aturan, dan petunjuk dalam menghadapi pendapat yang bertentangan, seorang yang berintegritas mampu mengambil keputusan berdasarkan suara hatinya.

29 Nanette Brynes menyatakan bahwa AA menerima dana sebesar $ 25 juta dari Enron

dan jasa konsultas sebesar $ 27 juga yang implikasinya adalah AA membantu memperbaiki laporan keuangan dengan bayaran tambahan lebih dari $ 1 juta. (Bdk. Nanette Byrnes, et al, “Publik Accounting in Crisis”, Business Week, January 28, 2002, hal. 46.)

30 Bdk Michael Pakaluk & Mark Chefers, op.cit., hal. 276.

31 Steven MR Covey menunjukkan tiga muatan dalam integritas, yakni konsistensi,

(13)

Pengertian Steven Covey di atas menurut Mickhael Pakaluk juga berlaku bagi seorang akuntan.32 Ini berarti, seorang akuntan harus

berani mengatakan kebenaran, serta tunduk pada prinsip-prinsip profesinya secara konsisten, dan tidak mudah terpengaruh oleh godaan.33

Dalam praktiknya, hakikat integritas itu dilanggar oleh AA. AA dengan begitu mudah tergoda oleh uang. Bahkan uang menjadi pegangan dan mampu membeli dirinya dan profesinya. Seperti disebutkan di atas Arthur Anderson tahu bahwa Enron telah melakukan penghilangan data penting berupa dokumentasi laporan keuangan. Berhadapan dengan situasi seperti ini seharusnya auditor mempertanyakan dan menggali alasan Enron mengapa melakukan penghilangan itu.

Namun AA tidak melakukan tugas itu. AA justru melakukan kompromi dengan Enron dalam kesalahan, yang mana sikap ini menurut Ronald Duska merupakan pelanggaran besar dalam etika profesi akuntan dan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip audit34.

Dengan kompromi, AA telah mengabaikan tugas seorang akuntan untuk berpijak pada akuntansi, dan peranannya untuk mengamankan kepercayaan, kepentingan fungsi yang baik dari pasar dengan memberikan kenyataan keuangan secara objektif, akuntabel dan dapat diverifkasi35.

Ketiga adalah objektivitas. Objektivitas adalah ungkapan independen. Prinsip ini memuat sikap imparsial, jujur secara intelektual, bebas dari konfik kepentingan. Objektivitas berkaitan dengan kebenaran faktual, bukan pada penafsiran. Ini juga

32 Di Amerika Serikat, prinsip ini merupakan bagian dari kode etik bagi Akuntan Publik yang

bersertifkat yang dituangkan pada Section 54-Artikel III ( Bdk. Robert F Duska, op.cit., hal. 202).

33 Bdk. Michael Pakaluk, op.cit., hal. 279.

34 Tentang ini Ronald F Duska menulis dengan jelas, “An Accountant should maintain

objektivity and be free of confict of interest in discharging profesional responsibilities. He/She should be independen in fact and apperance when prividing auditing and other attestation services ( Bdk. Ronald F Duska, op.cit., hal. 85).

(14)

merupakan bagian prinsip yang harus dipegang oleh seorang akuntan. Objektivitas seorang akuntan terlihat pada bagaimana ia menempatkan data dalam mengevaluasi dan menyimpulkan hasil auditnya. Jelas bahwa bagi seorang akuntan data menjadi sumber dan dasar untuk memberikan penilaian terhadap situasi keuangan yang diaudit. Inilah menurut Mark Chefer sikap objektif.36

Dalam perilaku AA sikap-sikap di atas juga tidak diindahkan. Data justru diabaikan, digantikan dengan kepentingan. Sudah jelas-jelas AA menemukan masalah dalam laporan keuangan Enron bahwa Enron telah menghancurkan data-data keuangan yang mempengaruhi, bahkan menentukan arah situasi buruk keuangan perusahaan, namun AA tidak melaporkan penemuan itu, melainkan berkompromi dengan kesalahan perusahaan dengan menawarkan diri menjadi konsultan37.

Dalam kaitan dengan itulah menurut Mikhael, ada tiga konsiderans yang dilanggar oleh AA. Pertama, fungsi untuk menyatakan kebenaran dengan memperlihatkan diri sebagai seorang peneliti berpendidikan. Kedua, fungsi untuk melakukan verifkasi atas penemuan-penemuannya, dan ketiga, melayani kepentingan yang lain yang membutuhkan hasil pekerjaannya. Dalam hal ini eksistensi seorang akuntan adalah melayani, bukan mencari kepentingan diri atau melindungi diri.38

Prinip keempat yang dilanggar oleh AA adalah tanggung jawab kepada publik. Ronald F Duska menyatakan bahwa peranan dan konsistensi menjalankan kewajiban untuk mempertahankan integritas, dan otonomi, serta kejujuran dalam memberikan pernyataan fnansial merupakan wujud dari tanggung jawab

36 Bdk. Mark Chefer and Michael Pakaluk , op.cit., hal. 102.

37 Tentang hal ini Mark Chefer menulis, “Andersens’ lack of objectivity in expression is

apparent internal memo: The memo states that, “a signifcance discussion was hel regarding the related party transactions with LJM including the materially of such amount to Enrons income statement and the emount retain of ballance sheet” ( Bdk. Mark Chefer and Michael Pakaluk, op.cit., hal. 102).

(15)

seorang akuntan kepada publik39. Kendati seorang akuntan

mempunyai hubungan dengan kliennya, namun hubungan itu tetap dalam kerangka profesi. Dengan kata lain, hubungan auditor dengan klien bukanlah hubungan privat, melainkan hubungan profesional.

Pernyataan di atas memuat makna bahwa konfik antara kepentingan klien dengan kepentingan publik harus diatasi oleh seorang auditor dengan loyal pada prinsip-prinsip audit. Seorang auditor tidak bertanggung jawab pada klien. Ia bertanggungjawab pada publik sebagai konsekuensi dari tuntutan profesinya. Melihat hal ini, Ronald F Duska setuju dengan ungkapan Justice Burger yang menyatakan bahwa akuntan adalah “a public watchdog function”40. Singkatnya, tanggung jawab seorang akuntan publik

adalah mengutamakan kepentingan pihak ketiga, bukan kepentingan pribadi klien maupun kepentingan pribadi.

Hakikat tanggung jawab di atas sangat diabaikan oleh Arthur Andersen dalam menjalankan tugasnya sebagai akuntan eksternal Enron. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, AA tidak bisa membedakan mana kepentingan pribadi, dan klien, serta mana kepentingan publik. Kepentingan pribadi dan klien justru mengalahkan kepentingan publik. AA juga mengabaikan prinsip-prinsip audit sebagai dasar menjalankan tugasnya.41 Semua ini

merupakan bukti nyata minimnya tanggung jawab profesi.

Deviasi moral yang dilakukan oleh AA telah memiliki implikasi yang sangat mendasar bagi reputasinya sebagai lembaga akuntan yang ternama dan eksistensinya di depan publik. Dengan penyimpangan itu, kepercayaan publik terhadap lembaga terhenti dan hilangnya kepercayaan ini telah mengancam eksistensi dan masa depan perusahaan. Penyimpangan terhadap semua prinsip etis di atas

39Ibid., hal. 113 40Ibid., hal. 115.

(16)

menunjukkan bahwa AA tidak profesional. AA tidak bisa memilah-milah kepentingan pribadi dari kepentingan publik, tidak mengindakan independensi, serta integritas, objektivitas, yang keempat nilai-nilai ini merupakan inti etika profesionalisme seorang akuntan42.

2. Ekpektasi Etis terhadap Tata kelola dan Profesi Akuntan

Kebangkuran Enron membawa pelajaran yang berharga tidak hanya bagi Enron dan Athur Andersen sendiri, melainkan juga bagi masyarakat dunia. Dengan kata lain, peristiwa buruk itu mempunyai dampak yang luas, sekaligus membangkitkan ekspektasi etis dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang ekonomi, profesi, maupun bidang politik. Ekspektasi etis itu adalah harapan dan kesadaran baru di masyarakat luas akan pentingnya penerapan etika dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Peristiwa buruk demikian juga menjadi antitesis bagi pandangan kelompok yang memisahkan etika dan moral dari kegiatan bisnis, yang diistilahkan Joseph W Weis dengan kelompok penganut mitos bisnis amoral43. Artinya, memandang moral sebagai sesuatu yang

terpisah dari etika merupakan sesuatu yang keliru. Karena fakta kehancuran Enron telah membuktikan hal itu.

42 Bdk. Ken McPhail and Diane Walters, (2009). Accounting & Business Ethics, London and

New York: Rougledge Taylor & Francis Group, hal. 111.

43 Menurut Joseph W Weis, mitos bisnis amoral merupakan pandangan yang menyatakan

(17)

Pertanyaannya, apa substansi ekspektasi etis dari peristiwa tersebut? Dengan pertanyaan lain, pelajaran moral apa yang bisa ditarik dari kehancuran Enron dan Arthur Andersen? Ada dua hal sebagai jawaban pertanyaan ini, yakni tuntutan penerapan tata kelola secara konsisten dan peningkatan kesadaran para akuntan untuk mempraktikkan etika profesi.

2.1 Tuntutan Aplikasi Good Corporate Governance

Terkait dengan tata kelola, peristiwa Enron telah memunculkan harapan baru, yakni ekspektasi etis di masyarakat berkaitan dengan kualitas pengelolaan perusahaan di belahan dunia,. Dan ekspektasi etis ini telah mendapat tanggapan dari berbagai perusahaan baik perusahaan besar maupun perusahaan kecil. Leonard J Brooks menunjukkan bahwa di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Inggris, kesadaran untuk memperbaiki kerangka kerja tata kelola organisasi ke arah yang lebih baik demi mengembalikan kepercayaan dalam sistem pasar modal perusahaan mengalami peningkatan44.

Terkait dengan itu Brooks mencatat sekurang-kurangnya tujuh kesepakatan dalam upaya memenuhi harapan publik.45 Pertama,

pentingnya klarifkasi peran, tanggung jawab dan akuntabilitas dari

44 Bdk. Leonard J Brooks, op.cit., hal. 11.

45 Perhatian pada tata kelola sesungguhnya sudah ada sebelum kasus Enron, namun

(18)

Dewan Direksi, subkomitenya, dan para direktur pribadi, serta

auditor. Kedua, penurunan konfik kepentingan yang

mempengaruhi para direktur, eksekutif dan auditor sehingga pihak-pihak ini melatih kesetiaan, penilaian independen dan objektivitas demi kepentingan terbaik para pemegang saham atau perusahaan, atau dalam kasus auditor untuk kepentingan publik. Ketiga,

memastikan bahwa para top management memiliki informasi yang cukup mengenai rencana dan kegiatan perusahaan, cakupan kebijakan dan pengendalian internal untuk memastikan kepatuhan, termasuk keprihatinan pada whislte blower. Keempat, memastikan bahwa para direktur memiliki kompetensi keuangan yang memadai dalam keahlian yang diperlukan.

Kelima, memastikan bahwa laporan keuangan dibuat dengan akurat, lengkap, dapat dipahami dan bersifat transparan. Keenam, memastikan standar akuntansi memadai untuk melindungi kepentingan para investor. Ketujuh, memastikan bahwa pengaturan dan pengawasan auditor perusahaan publik, seperti janji dan porsi parameter, apakah telah mencukupi atau tidak.

2.2 Kepedulian akan Etika Profesi Akuntan

(19)

akuntan. Budaya etis itu harus didasarkan pada kejujuran, keadilan, integritas, objektivitas, tanggung jawab, dan kepercayaan, serta penghargaan kepada kepentingan pemangku kepentingan.

Itu berarti, kegagalan kedua perusahaan meningkatkan perhatian pada etika dan reputasi secara serius. Apa yang dikatakan oleh Richard T De George bahwa etika adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bisnis dan menjadi lem yang merekatkan semua pihak yang terkait dalam bisnis46 semakin diakui oleh pelaku bisnis.

Ini mengubah paradigm lama yang hanya melihat risiko ekonomi sebagai dasar pertimbangan dengan paradigm baru yang menempatkan risiko etis sebagai dasar pertimbangan dalam menjalankan bisnis.

Besarnya perhatian pada etika profesi akuntan itu diperkuat dengan kehadiran dokumen bernama Sarbanes-Oxley Act (SOX). Selain landasan legal formal, bagi profesi akuntan, SOX juga memberikan kejelasan tentang peran, tanggung jawab dan keanggotaan subkomite audit atas dewan, karena dokumen ini memuat penegasan tentang kedudukan subkomite audit yang secara langsung bertanggungjawab atas janji, kompensasi dan pengawasan, serta tugas-tugas subkomite audit seperti membuat prosedur untuk menerima dan menanggapi keluhan terkait dengan akutansi, audit, pengendalian internal, termasuk menetapkan prosedur yang memungkinkan karyawan mengajukan keluhan secara anonim, serta menyetujui setiap layanan nonaudit yang akan diberikan oleh auditor47.

Dari uraian panjang di atas jelaslah bahwa tuntutan untuk menjalankan profesi berdasarkan standar moral semakin gencar. Nilai-nilai etis bahkan dilihat sebagai ukuran yang menentukan profesionalitas seorang akuntan. Menurut Mark Chefers,

46 Tentang ini Richard De George mengatakan, “morality is the oil as well as the glue of

society and therefore of business” seperti dikutip K. Bertens, op.cit., hal. 379.

(20)

internalisasi dan penerapan etika secara maksimal akan menghindari kehancuran profesi48. Inilah pelajaran berharga dari

kasus Arthur Andersen.

3. Pentingnya Etika Profesi Akuntansi dalam Pendidikan

Terkait dengan pernyataan akhir butir di atas, pertanyaan yang relevan dimunculkan, upaya apa yang diperlukan agar etika profesi sungguh mendarah daging bagi para akuntan? Jawabnya adalah internalisasi nilai-nilai etis sejak dini. Dan wadah yang sangat strategis untuk itu adalah dunia pendidikan. Sebagaimana ditegaskan oleh Filsuf klasik Yunani, Plato, dunia pendidikan merupakan wadah yang sangat tepat dalam pembentukan kualitas pribadi seseorang49. Masa pendidikan merupakan kesempatan

untuk mempersiapkan para calon akuntan sebelum dia terjun ke masyarakat. Di dalamnya mutu kepribadian seorang akuntan dibentuk. Jadi, dalam masa pendidikan akuntan mengalami

humanisasi dan hominisasi, sebagaimana ditegaskanoleh N Driyarkara50.

Karena masa sekolah merupakan humanisasi dan hominisasi, maka mutu pendidikan perlu menjadi perhatian. Dan pendidikan yang bermutu adalah pendidikan mengembangkan kepribadian peserta didik secara komprehensif. Artinya, bukan hanya kemampuan kognitif berupa pengetahuan yang memadai perlu dikembangkan, tetapi juga kemampuan afektif dan psikomotorik51. Dalam

mengembangkan dua aspek terakhir, etika harus dijadikan sebagai bagian integral pendidikan. Berkaitan dengan profesi akuntan, etika

48Bdk. Mark Chefers & Michael Pakaluk, op.cit., hal. 20

49 Bdk. Plato (2006), Rebublic, translated by Jhon Lleweyln Davies and David James

Vaughan, Great Britain: Wordsworth Classics of World Literature, hal. 206,

50 Bdk. A Sudiardja, SJ, (2006), Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta & Yogyakarta: Gramedia &

Kanisius, hal. 366.

(21)

profesi akuntan menjadi sangat relevan. Ini merupakan upaya untuk membekali para calon akuntan tentang prinsip-prinsip etis sebelum terjun ke masyarakat. Internalisasi etika profesi tidak terjadi dalam waktu yang singkat dan tidak pula terjadi dengan sendirinya. Proses dan waktu yang panjang diperlukan untuk itu. Dan awal dari proses dan waktu yang panjang itu adalah dunia pendidikan.

Memang harus diakui bahwa pengajaran mata kuliah etika profesi tidak secara otomatis membuat kaum professional, termasuk akuntan berperilaku etis, namun minimal kesadaran mereka tentang nilai-nilai moral dibuka. Dengan kesadaran itulah mereka dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mampu mengambil keputusan secara tepat, serta mencari solusi atas masalah yang dihadapi di lapangan di kemudian hari. Seperti dikatakan oleh Socrates, pengetahuan tentang apa yang baik dan yang buruk merupakan dasar untuk menilai apa yang baik dan apa yang buruk52. Ini berarti pengetahuan merupakan langkah awal

dalam membentuk perilaku dan dasar penilaian etis. Kasus Arthur Andersen telah menjadi sebuah pelajaran berharga bahwa minimnya kesadaran etis merupakan akar kehancuran pada masa depan profesi.

Dalam mengantisipasi agar hal ini tidak terjadi, etika profesi memiliki andil besar. Karena itu etika profesi sangat relevan bahkan mendesak dijadikan sebagai bagian integral pendidikan akuntansi maupun Pendidikan Profesi Akuntan. Kedudukan akuntan sebagai jantung atau hati dari korporasi53 mengisyaratkan bahwa

seorang akuntan harus mempunyai kesadaran yang memadai tentang etika profesi demi menjamin mutu pekerjaan dan eksistensi perusahaan.

52 Bdk. Hugh Trendennick & Harold Tarrant ( 2006). Plato, Hari-hari Terakhir Socrates, terj.

Eleonora Brigita, Jakarta: Elexmedia Komputindo, hal. 1.

(22)

Ada empat alasan mengapa etika profesi perlu menjadi bagian pendidikan akuntan54. Pertama, sebagaimana sudah terlihat dalam

kasus Arthur Andersen, seorang akuntan berhadapan dengan masalah yang kompleks, yang jawabannya kadang-kadang tidak bisa disandarkan pada keyakinan yang dimilikinya maupun yang ada di masyarakat. Berhadapan dengan situasi itu, pertanyaan yang muncul, ke mana ia harus mencari jawaban? Jawabanya adalah pada suara hatinya55. Namun suara hati harus terus dibina, dan

pembinaan itu terjadi salah satunya melalui pendidikan.56

Kedua, di lapangan seorang akuntan harus mengambil keputusan berhadapan dengan berbagai nilai yang dihadapinya, bahkan bisa saja terjadi dilemma, seperti yang dialami Arthur Andersen. Dalam berhadapan dengan situasi dilematis ini, etika memberikan insight

bagi sang akuntan. Etika akan mendorongnya untuk aktif mencari alasan-alasan yang memadai mengapa ia menolak sesuatu, tetapi menolak yang lain. Dengan kata lain, etika membuat seorang akuntan bertindak secara rasional dan objektif dalam menjalankan tugasnya kelak.

Ketiga, terkait dengan alasan kedua, etika mengantar seorang akuntan untuk mengkritisi apa yang dihadapi dan dikerjakan agar layak dijalani. Sebagaimana dikatakan oleh Socrates, hidup yang tidak teruji tidak layak dihidupi57. Bagi seorang akuntan ini penting

agar semakin memberi makna bagi profesinya, dan terhindar dari konfik kepentingan.

Keempat, pendidikan etika profesi membekali calon akuntan dengan kemampuan yang memadai dalam mengidentifkasi berbagai persoalan di lapangan dan menerapkan prinsip-prinsip

54 Bdk. Ronald F Duska and Brenda Shay Duska, op.cit., hal. 28-29.

55 Bdk. Franz Magnis Suseno (1985), Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral,

Yogyakarta: Kanisius, hal. 76.

56 Bdk. J Sudarminta (2013), Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori

Etika Normatif, Yogyakarta: Kanisius, hal. 72.

(23)

dasar di tengah persoalan itu secara konsisten dalam mengemban profesinya. Dengan kejernihan pikiran ini kelak calon akuntan bisa bertindak secara benar. Dengan dasar inilah calon akuntan yang berintegritas, otonom, bertanggungjawab, bertindak objektif, memiliki kepedulian pada kepentingan umum, yang semuanya menjadi prinsip-prinsip utama bagi seorang akuntan dan menjadi ciri-ciri karakter akuntan profesional58 akan terbentuk. Semua

prinsip ini merupakan muatan dari etika profesi akuntan.

4. Penutup

Peristiwa selalu mempunyai makna dan makna itu harus digali secara mendalam agar bisa menjadi pelajaran berharga di kemudian hari. Suatu peristiwa merupakan kesaksian sejarah. Namun kesaksian sejarah itu bukan tanpa makna, sebaliknya sarat dengan maknya. Dengan demikian peristiwa sejarah juga bisa memuat fungsi penyebaran nilai.59 Jika pernyataan ini dikaitkan

dengan Enron dan Arthur Andersen, maka jelaslah kebangkrutan keduanya pada tahun 2001 merupakan kesaksian sejarah yang sarat dengan pelajaran moral yang berharga.

Ada dua pelajaran moral berharga yang bisa diambil dari peristiwa tersebut. Pertama, pentingnya pengelolaan yang sehat dalam menangani bisnis. Inti pengelolaan yang sehat itu adalah pemberlakuan prinsip akuntabilitas, transparansi, fairness serta tanggung jawab dalam menangani bisnis atau perusahaan. Kesadaran dan tekad untuk konsisten untuk menerapkan semua prinsip ini akan menghindari kehancuran bisnis.

Kedua, dalam menjalankan profesi, seorang profesional harus berpijak pada nilai-nilai etis. Akuntan sebagai profesi tidak luput

58 Bdk. Ronald F Duska, op.cit., hal. 77 – 90.

59 Bdk. Kasdin Sihotang (2009), Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme,

(24)

dari tuntutan ini. Karena itu pula seorang akuntan harus menjaga profesionalisme dalam menjalankan tugasnya dengan komitmen pada prinsip-prinsip formal akuntansi dan etika profesi akuntan yang berintikan pada integritas, otonom, tanggung jawab, dan independen, objektif, serta berpihak pada kepentingan umum.

Tuntutan semakin besar untuk memperhatikan nilai-nilai etis dalam profesi akuntan mengisyaratkan pentingnya menempatkan etika profesi sebagai bagian integral dalam pendidikan akuntansi dan profesi akuntan. Dengan kata lain, etika profesi akuntan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan calon-calon akuntan60. Tujuannya adalah untuk memberikan mereka modal

hidup dalam mengemban profesi berbentuk kemampuan untuk membedakan yang baik dari yang buruk, yang benar dengan yang salah, kesadaran yang besar tentang prinsp-prinsip etis. Kelak dengan berbekalkan semua ini mereka dapat mengambil keputusan yang tepat dalam pekerjaannya. Dan modal yang mendasar itu didapatkan melalui pendidikan etika profesi. Karena itulah tuntutan untuk menempatkan etika profesi sangat tepat dijadikan sebagai

(25)

bagian integral dari pendidikan calon-calon akuntan maupun pendidikan profesi akuntan.

***

Daftar Pustaka

Bertens, K ( 2000). Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius. Bloom, Benjamin S. (1956). Taxonomy of Educational Objectives: The Classifcation

of Educational Goals, New York: David McKay.

Branson, Douglas M, (1993). Corporate Governance, Virginia: The Michie

Company.

Brooks, Leonard J & Paulin Dunn, (2011). Etika Bisnis & Profesi untuk Direktur,

Eksekutif, dan Akuntan Buku 1 dan 2, terjemahan Kanti Pertiwi, Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Byrnes, Nanette Byrnes, et al, “Publik Accounting in Crisis”,

Business Week,

January 28, 2002.

Carrol, Archie B and Ann K Buchholt, (2009). Business & Society: Ethics and

Stakeholder Management, South-Western: Cengage Learning. Chefers, Mark & Michael Pakaluk, (2007), Understanding

Accounting Ethics, 2nd

edition, Massusetha: Allan Davis Press.

Covey, Steven M R with Rebecca R Merril, ( 2008). The Speed of Trust: The One

Thing That Changes Everything, New York: Free Press. De George, Richard T, ( 2003). The Ethics of Information Techonolgy and Business,

(26)

Duska, Ronald F Duska and Brenda Shay Duska. (2006).

Accounting Ethics, USA: Blacwell Publishing.

McPhail, Ken and Diane Walters, (2009). Accounting & Business Ethics, London

and New York: Rougledge Taylor & Francis Group.

Pakaluk, Michael & Mark Chefers, (2011). Accounting Ethics and the

Near Collapse of The World’s Financial System, Massachusetts: Alen Daved Press.

Plato, (1997). Rebublic, translated by Jhon Lleweyln Davies and David James

Vaughan, Great Britain: Wordsworth Classics of World Literature.

Signour, L Josep, (2010). Etika Bisnis: Pendekatan Filsafat Moral terhadap Perilaku

Bisnis Kontemporer, Jakarta: Penerbit Obor.

Sihotang, Kasdin, (2009). Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme,

Jakarta: Kanisius.

Sihotang, Kasdin, (2014). Kerja Bermartabat: Kunci Meraih Sukses,

Jakarta:

Penerbit Universitas Atma Jaya.

Sudarminta, J., (2013), Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan

Teori Etika Normatif, Yogyakarta: Kanisius

Sularto, St, ed, (2006). Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta & Yogyakarta:

Gramedia & Kanisius.

Suseno, Franz Magnis, (1985), Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat

Moral, Yogyakarta: Kanisius.

Sutedi, Adrian, (2011). Good Corporate Governance, Sinar Grafka, Jakarta, 2011.

Tredennick, Hugh & Harold Tarrant, (2003). Plato: Hari-hari Terakhir Socrates

Euthyphro, Apology, Crito, Phaedo, terj. Eleonora Brighita, Jakarta: Elexmedia Komputindo.

Weis, Joseph W, (2000). Business Ethics: A Stakeholder and Issues Management

Approach, South Western: Thomson.

(27)

Kasdin Sihotang, lahir di Huta Godung, Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, 9 Juni 1966. Menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri, Huta Godung (1981), pendidikan menengah di SMP Santa Maria, Pakkat (1983), dan SMA Seminari Menengah, Pematang Siantar (1987). Meraih gelar S1 (1993) dan S2 (2004) dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Sejak 1996 menjadi staf inti Pusat Pengembangan Etika (PPE), dan tahun 2000 menjadi dosen tetap di Fakultas Ekonomi untuk Filsafat dan Etika Bisnis, serta Etika Profesi Akuntan. Karya-karyanya berbentuk opini pernah dimuat di sejumlah media cetak nasional seperti Kompas, Suara Karya, dan Seputar Indonesia, The Jakarta Post dan

Suara Pembaruan. Karya berbentuk buku antara lain

Filsafat Manusia:Upaya Membangkitkan Humanisme

( Kanisius, 2013, cet. ke-6); Kerja Bermartabat: Kunci

Meraih Sukses (Penerbit Universitas Atma Jaya, 2014). Menyumbang artikel

dalam beberapa buku seperti Handbook of Modern Secretary (PPM, 2010);

Moralitas Lentera Peradaban ( Kanisius, 2011), Civic Education ( Fidei, 2011), Critical Thinking (Sinar Harapan, 2012), Pendidikan Pancasila

(Penerbit Universitas Atma Jaya, 2013), dan Wacana Tubuh dan Kedokteran ( Penerbit Universitas Atma Jaya, 2014). Selain itu menjadi editor sejumlah buku seperti Restrukturisasi Menuju Kemandirian (Unika Atma Jaya, Jakarta, 2000); Politik Katolik Politik Kebaikan Bersama

(Penerbit Obor, 2008); Teropong Pendidikan Kita: Antologi

Artikel2007-2008 (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2008); Opini Pendidikan

(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2008), Ilmu Politik ( Penerbit Universitas Atma Jaya, 2013), Hak Asasi Manusia (Penerbit Universitas Atma Jaya, 2014), Literasi Informasi (Penerbit Universitas Atma Jaya, 2014)

dan Determinasi Kesesehatan Masyarakat ( Penerbit Universitas Atma

Jaya, 2014). Pada 2008, mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan Nasional atas artikel berjudul “Peran Sosial Perguruan Tinggi” yang diterbitkan harian Suara Pembaruan, 7 Juli 2007. Kini menjadi Koordinator Unit Pelaksana Teknis Matakuliah Pengembangan Kepribadian (UPT MPK) Unika Atma Jaya, Jakarta dan penulis tetap rubrik etika di Harian

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Jadi yang dimaksud peranan pendidikan agama dalam pembentukan akhlaq secara konseptual adalah aktualisasi peranan mata pelajaran pendidikan agama Islam dalam rangka

Motor induksi satu fasa bila dihubungkan dengan sumber tegangan  bolak  balik  tidak  akan  menghasilkan  medan  putar  pada 

Efek dari terjadinya hambatan dalam perkembangan ini sangat luas, tidak hanya berpengaruh pada pencapaian aktualisasi diri karena ada type hambatan perkembangan

Pada metode ini, prinsip pemisahan senyawa volatil yang terkandung dalam sampel adalah sebagai berikut: (1) distilat dari komponen volatil bahan ikut menguap bersamaan dengan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul : “ PENGARUH A UDITOR SWITCHING, FINANCIAL DISTRESS DAN KUALITAS AUDIT TERHADAP OPINI AUDIT GOING CONCERN (Studi

Tidak mengetahui sama sekali mengenai kerupuk kentang maupun promosi dari kerupuk kentang. Berdasarkan Tabel I , dapat disimpulkan bahwa UKM Kerupuk Kentang memiliki

Dengan begitu, keyakinan akan eksistensi Islam sebagai agama hingga akhir zaman meski dalam fase hidup yang telah memasuki era yang mutakhir, akan terus tertanam dalam benak