1
ANALISIS KEJADIAN HUJAN ES DI BANDUNG BERBASIS SISTEM
PEMANTAUAN HUJAN (SANTANU)
HAIL DETECTION USING RAINFALL MONITORING SYSTEM
(SANTANU) IN BANDUNG
Peni Rahmawati*, Tiin Sinatra**, Ginaldi Ari Nugroho*** *Jurusan Fisika
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami No.36A, Jebres, Kota Surakarta, Jawa Tengah 57126
**, *** Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 Indonesia
e-mail : [email protected]
RINGKASAN
Hujan es (hail) merupakan peristiwa ekstrim yang terjadi karena adanya anomali cuaca sehingga terdapat butiran es atau kristal yang jatuh ke permukaan bumi. Pada tanggal 19 April 2017 sempat terjadi hujan es yang cukup besar di Bandung sekitar pukul 14.00 WIB. Makalah ini membahas tentang kejadian hujan es berdasarkan pantauan pemindai hujan (rain scanner) dengan menggunakan Sistem Pemantauan Hujan (SANTANU). Resolusi temporal data SANTANU adalah 2 menit dengan
resolusi spasial 120 × 120 m2. Terdapat 2 sistem pemantau hujan, yaitu SANTANU 1 yang terletak di
Pasteur, Bandung (107,59°BT; 6,89°LS) dan SANTANU 2 (107,84°BT; 6,91°LS) yang berlokasi di Balai
Pengamatan Antariksa dan Atmosfer (BPAA) Sumedang. Dari pengamatan SANTANU 1, kejadian hujan yang terbentuk pada pukul 13.50 WIB nilai reflektivitas (dBZ) mencapai 32 dBZ dan pada SANTANU 2 pada pukul 13.52 WIB nilai reflektivitas mencapai 28 dBz.
1 PENDAHULUAN
Hujan es (hail) merupakan peristiwa ekstrim yang terjadi karena adanya anomali cuaca sehingga terdapat bongkahan atau kristal es yang jatuh ke permukaan bumi. Hujan es dapat menyebabkan kerusakan properti serta dapat berbahaya bagi masyarakat apabila terjadi dalam jumlah yang besar. Hujan es umumnya sering terjadi pada daerah ekstra tropis (wilayah pada lintang menengah), tetapi hujan es dapat juga terjadi di daerah tropis seperti Indonesia (Hidayati et al., 2015). Hasil reportase di lapangan menyebutkan bahwa pada awal tahun 2017 Indonesia mengalami beberapa kali hujan es di daerah yang berbeda, salah satunya adalah di kota Bandung pada tanggal 19 April 2017.
Telah dilakukan beberapa metode untuk mengkaji terjadinya hujan es, antara lain melalui analisis citra satelit
(Hidayati et al., 2015), analisis kondisi cuaca permukaan dan atmosfer(Fadholi, 2012), hingga menggunakan metode
Severe Hail Index (SHI) dari hasil
pengamatan radar cuaca Doppler dan radiosonde (Ali dan Hidayati, 2015; Noersomadi dan Sinatra, 2015). Sampai saat ini, radar deteksi hujan yang paling banyak digunakan adalah radar dengan satu panjang gelombang dan polarisasi tunggal (Delobbe et al., 2002).
Makalah ini akan membahas tentang kejadian hujan es di Bandung pada tanggal 19 April 2017 berdasarkan pengamatan nilai reflektivitas (dBZ) yang didapat dari dua pemindai hujan SANTANU.
2 METODOLOGI
Metode yang digunakan pada makalah ini adalah dengan menggunakan deskriptif analitik berdasarkan data
2
reflektivitas presipitasi yang ditangkap oleh SANTANU. Data radar yang digunakan adalah data pengamatan pada tanggal 19 April 2017 mulai pukul 12:00 WIB hingga pukul 15:00 WIB dengan wilayah pengamatan di sekitar daerah Dago, Bandung.
Pengambilan data melalui SANTANU dilakukan setiap 2 menit. SANTANU 1 terletak di Pasteur, Bandung (107,59° BT; 6,89° LS) dan SANTANU 2 terletak di Sumedang, Jawa Barat (107,84°BT; 6,91°LS).
3 KAJIAN PUSTAKA 3.1 Hujan Es
Hujan es merupakan bentuk presipitasi berupa bola, potongan, maupun serpihan es yang diakibatkan oleh sistem konvektif yang sangat kuat dengan diameter 5-55 mm atau lebih besar apabila dalam keadaan ekstrim (Fadholi, 2012). Hujan es hanya akan terbentuk pada awan Cumulonimbus (Cb) yang tinggi awannya melewati freezing
level (ketinggian dimana suhu udaranya
0°C atau sekitar 16.000 kaki di wilayah Indonesia) (Karmini, 2000).
Awan Cb mengalami tahapan– tahapan pertumbuhan sebelum menjadi matang. Pada awal pembentukan, awan ini hanya berupa awan kumulus kecil atau biasanya disebut dengan kumulus humilis dengan nilai reflektivitas yang tidak terlalu tinggi dan luasan yang sempit (Fitrianti et al., 2015; Lestari et
al., 2016). Adanya updraft (pergerakan
vertikal massa udara ke atas) serta keadaan atmosfer yang labil, maka awan Cb tumbuh secara vertikal sampai mencapai tropopause dan puncak awan memiliki suhu sangat rendah mencapai -60°C sehingga terbentuk kristal – kristal es (Lestari et al., 2016). Selain pertumbuhan secara vertikal, juga terjadi pertambahan luas awan secara horizontal yang juga ditandai dengan meningkatnya nilai reflektivitas yang terdeteksi (Fitrianti et al., 2015). Pada wilayah di atas tropopause, awan Cb tidak dapat tumbuh lagi karena adanya
inversi suhu pada wilayah tersebut sehingga awan Cb yang telah matang mengalami penurunan ke bawah (downdraft) karena gaya gravitasi (Lestari et
al., 2016). Ketika turun sebagian besar
kristal dalam awan akan mencair menjadi air, tetapi pada beberapa kejadian tidak semua es mencair sehingga terjadi hujan es. Hal ini bergantung pada jarak serta suhu pada permukaan bumi (Lestari et
al., 2016).
3.2 Pemindai Hujan SANTANU
Sistem Pemantau Hujan (SANTANU) merupakan radar pemindai hujan yang dikembangkan oleh PSTA-LAPAN berdasarkan pengembangan radar kapal laut tipe Furuno berbasis radar x-band untuk dapat mendeteksi hujan. Cakupan radar ini dapat mencapai 44 km (Nugroho, 2014).
Hingga saat ini SANTANU tidak dapat mengukur hujan secara langsung, tetapi memanfaatkan jumlah energi yang dipantulkan oleh partikel tetes hujan untuk suatu sampel volume. Jumlah energi yang dipantulkan tergantung dari ukuran serta bentuk partikel yang dikenai oleh pancaran radar. Energi yang diterima saat terjadi hujan merupakan jumlah dari energi yang diterima kembali dari jutaan tetes hujan pada suatu sampel volume yang kemudian diubah ke dalam bentuk reflektivitas (Nugroho et
al., 2012).
SANTANU telah mampu
menampilkan nilai reflektivitas dengan hasil pendeteksian berdasarkan rentang warna reflektivitas yang lebar dan bebas dari ground clutter akan tetapi, nilai reflektivitas yang ditunjukkan berbeda dengan persamaan Marshall Palmer (Awaludin et al., 2013).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 4-1 menunjukkan hasil pengamatan presipitasi melalui radar SANTANU1. Pada Gambar 4-1a terlihat bahwa pukul 13:24 WIB telah mulai terbentuk presipitasi dengan nilai reflektivitas mencapai 31 dBZ. Presipitasi
3 ini terus tumbuh dan bergabung dengan
presipitasi di sekitarnya (Gambar 4-1b) sehingga menyebabkan luas daerah presipitasi semakin membesar dan mencapai ukuran terluas pada pukul 13:50 WIB dengan nilai reflektivitas sebesar 32 dBZ yang hampir merata di seluruh presipitasi (Gambar 4-1c). Tingginya nilai reflektivitas tersebut merupakan salah satu tanda terbentuknya awan Cb yang merupakan awan yang berpotensi terjadinya hujan es.
Pada Gambar 4-1d terlihat bahwa nilai reflektivitas pada bagian tepi obyek mulai menurun. Penurunan nilai reflektivitas terus terjadi menuju ke bagian tengah obyek hingga pada pukul 14:34 WIB (Gambar 4-1e), dimana nilai reflektivitas tertinggi benilai sebesar 27 dBZ. Setelah nilai reflektivitas turun, hujan yang tertangkap oleh SANTANU 1 mulai mengecil dan terpecah menjadi beberapa bagian kecil (Gambar 4-1f).
a. d.
b. e.
c. f.
Gambar 4-1: Hasil pengamatan menggunakan rain scanner SANTANU 1 (a. Pukul 13:24 WIB; b. Pukul 13:40 WIB; c. Pukul 13:50 WIB; d. Pukul 14:02 WIB; e. Pukul 14:34 WIB; f. Pukul 14:58 WIB)
4
Gambar 4-2 merupakan hasil pengamatan hujan yang didapatkan dari radar SANTANU 2. Pada Gambar 4-2a terlihat bahwa hujan mulai muncul sejak pukul 13:24 WIB dengan nilai reflektivitas terbesar 23 dBZ. Hujan terus membesar dan bergabung dengan hujan yang ada di sekitarnya sehingga semakin luas diikuti dengan peningkatan nilai reflektivitas hingga pukul 13:54 WIB (Gambar 4-2c) dengan reflektivitas
terbesar mencapai 28 dBZ. Nilai reflektivitas tersebut menunjukkan terbentuknya awan Cb pada atmosfer. Setelah itu, mulai terjadi penurunan reflektivitas yang dimulai dari daerah pinggir obyek diikuti dengan perpecahan obyek menjadi beberapa bagian kecil. Kejadian ini terjadi hingga pukul 14:24 WIB dengan nilai reflektivitas tertinggi adalah 17 dBZ (Gambar 4-2e).
a. d.
b. e.
c. f.
Gambar 4-2: Hasil pengamatan SANTANU 2 (a. Pukul 13:24 WIB; b. Pukul 13:30 WIB; c. Pukul 13:54 WIB; d. Pukul 14:02 WIB; e. Pukul 14:24 WIB; f. Pukul 14:34 WIB)
5 PENUTUP
Kejadian hujan lebat yang disertai hujan es di Bandung pada tanggal 19 April 2017 ditandai dengan terdeteksinya obyek hujan oleh SANTANU 1 dan
SANTANU 2 sejak pukul 13:24 WIB dengan nilai reflektivitas tertinggi yang terdeteksi masing-masing adalah 31 dBZ dan 23 dBZ. Berdasarkan pengamatan SANTANU terlihat dengan jelas bahwa
5 setelah mencapai nilai reflektivitas
maksimum terjadi perpecahan obyek hujan menjadi beberapa bagian hujan yang lebih kecil hingga akhirnya hujan reda. Adapun secara umum nilai reflektivitas yang terdeteksi pada rentang waktu terjadinya hujan es 19 April 2017 oleh SANTANU 1 dan 2 adalah 17-32 dBZ.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) LAPAN yang telah menyediakan data hujan spasial SANTANU.
DAFTAR RUJUKAN
Ali, A. dan Hidayati S., 2015. Peringatan Dini
Potensi Hujan es Menggunakan Metode Severe Hujan es Index Berdasarkan Pengamatan Radar Cuaca Doppler. SNF
2015, Vol .9, No. 25.
Awaludin, A., Nugroho G.A., dan Rahayu S.A., 2013. Analisis Kemampuan Radar
Navigasi Laut Furuno 1932 Mark-2 untuk Pemantauan Intensitas Hujan [Analysis of Furuno Marine Radar 1932 Mark-2 Capability to Observe Rain Rate]. Jurnal
Sains Dirgantara Vol. 10, No. 2, hal. 90-103.
Delobbe, L., Dehenauw D., Hamid K., dan Neméghaire J., 2002. Hujan Es Detection
Using Radar Observations: Case Studies in The Summer 2002. Royal Meteorological
Institute of Belgium.
Fadholi, A., 2012. Analisis Kondisi Atmosfer
pada Kejadian Cuaca Ekstrem Hujan es (Hujan es). Simetri, Jurnal Ilmu Fisika
Indonesia, Vol.1, No.2.
Fitrianti, N., Fauziyah A.R., dan Fadila, R., 2015. Analisis Pola Hidup dan Spasial
Awan Cumulonimbus Menggunakan Citra Radar (Studi Kasus Wilayah Bima Bulan Januari 2015). Jurnal Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika Vol.2, No. 2, 51-61.
Hidayati, R., Ramalis T.R., dan Mujtahiddin M.I., 2015. Analisis Kejadian Hujan Es
di Wilayah Bandung Berdasarkan Kondisi Atmosfer dan Citra Satelit.
Fibusi, Journal Online Fisika Vol. 3, No. 1. Karmini, M., 2000. Hujan es (Hujan Es) di
Jakarta, 20 April 2000. Jurnal Sains &
Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 1, No. 1, hal 27-32.
Lestari, R.E., Ejha L.S., dan Ambinari R.P., 2016. Analisis Kejadian Cuaca Ekstrem
Hujan Es di Kota Medan (Studi Kasus Tanggal 26 Juli 2015 Dan 12 September 2016). Proseding Seminar Nasional
Fisika dan Aplikasinya. Jatinangor: Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran. Noersomadi dan Sinatra, T., 2015. Potensi Hujan
Es Berdasarkan Hasil Pengamatan X-Band Radar Menggunakan Metode Severe Hail Index. Prosiding Seminar
Nasional Sains Atmosfer 2015. ISBN: 978-979-1458-96-2.
Nugroho, G.A., Awaludin A., dan Rahayu S.A., 2012. Pemanfaatan Noise Radar Kapal
untuk Pemantauan Curah Hujan Wilayah Lokal. Jurnal Ilmiah Elite Elektro, Vol. 3,
No. 1, hal. 43-48.
Nugroho, G.A., 2014. Hasil Pengamatan Scanner
Hujan dan AWS pada Kejadian Hujan Tanggal 2-3 Maret 2014 di Daerah
Bandung dan Sekitarnya. Variabilitas Cuaca dan Iklim di Indonesia. Hal 112-124.