• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Era keterbukaan informasi telah dikenal di hampir seluruh negara, tanpa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Era keterbukaan informasi telah dikenal di hampir seluruh negara, tanpa"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Era keterbukaan informasi telah dikenal di hampir seluruh negara, tanpa terkecuali di Indonesia. Transparansi dan akuntabilitas kini menjadi nilai utama dalam penyelenggaraanpemerintahan demi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Maka pada tahun 2008 Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No.14 Tahun 2008 yang mengatur organisasi Publik untuk melaksanakan Keterbukaan Informasi Publik.

Undang-Undang No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publikmerupakan produk hukum Indonesia yang dikeluarkan dan diundangkan pada tanggal 30 April2008 dan mulai berlaku dua tahun setelah diundangkan. Undang-undang yang terdiri dari 64 pasal ini pada intinya memberikan kewajiban kepada setiap Badan Publik untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali beberapa informasi tertentu.

Sesuai dengan yang tercantum pada Pasal 3, UU KIP ini bertujuan untuk: 1. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan

kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; 2. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan

publik;

3. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;

4. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;

(2)

5. mengetahui alasan kebijakan publik yang memengaruhi hajat hidup orang banyak;

6. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau

7. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.

Dalam UU KIP ini, pemerintah serta seluruh badan publik, yaitu termasuk Organisasi Masyarakat (Ormas), Partai Politik (Parpol) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) wajib menerapkan transparansi informasi. Lebih jauh lagi, mental dan disiplin aparat pemerintah serta badan publik juga harus diperbaiki dan ditingkatkan dalam menjalankan fungsi pelayanan publik yang lebih baik. UU KIP harus pula dilihat sebagai upaya untuk membenahi kinerja pemerintah dalam menjalankan fungsi pelayanan publik serta bagi lembaga perwakilan rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.

Seperti yang kita ketahui, selama masa pemerintahan Orde Baru, kebebasan atau keterbukaan untuk memperoleh informasi sangat dibatasi pemerintah. Beberapa media yang sangat kritis dan lugas dalam menyajikan informasi dibekukan pemerintah. Dengan alasan kerahasiaan, pemerintah Orde Baru banyak mengontrol berbagai informasi yang akan keluar dan diterima masyarakat sehingga sangat wajar apabila informasi yang akan disajikan media harus melewati pengawasan yang ketat, agar tidak terjadi gejolak perlawanan di dalam masyarakat.

Tertutupnya pintu untuk memperoleh informasi juga sangat berdampak negatif pada lemahnya jaminan kepastian hukum dan perlindungan HAM bagi

(3)

masyarakat.Pemerintahan pada akhirnya menjadi pemerintahan yang otoriter, sehingga wajar apabila berbagai kalangan berpendapat bahwa pada masa Orde Baru banyak sekali terjadi kasus penculikan aktivis yang sangat vokal mengkritisi kebijakan pemerintah. Dengan mengatasnamakan keamanan dan rahasia negara, pemerintah Orde Baru juga telah menafsirkan sifat kerahasiaan negara demi kepentingan dan keberlangsungan kekuasaannya sehingga mengakibatkan banyak pihak yang menjadi khawatir dengan setiap tindakan dan ucapan mereka karena selalu diintai.

Jatuhnya kekuasaan Orde Baru telah membuka harapan bagi kehidupan bernegara yang lebih demokratis, dan keterbukaan pemerintah terhadap masyarakat menjadi salah satu tuntutan dalam perjuangan reformasi. Keterbukaan pemerintah kepada masyarakat merupakan suatu hal yang memang sudah selayaknya dilakukan sejak dahulu sebab Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi, sebuah negara demokrasi yang lahir dari ‘kedaulatan rakyat sehingga kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat’. Oleh karena itu, pemerintah wajib bersikap transparan kepada rakyatnya.

UU KIP merupakan salah satu wujud kebijakan pemerintahdalam mengupayakan keadilan dengan melalui transparansi informasi. UU KIP juga secara langsung maupun tidak langsung juga memaksa dan mendorong partai politik dan LSM untuk menerapkan transparansi, terutama dalam hal keuangan dan kegiatannya. Karena seringkali partai politik dan LSM mengatasnamakan kegiatannya demi kepentingan rakyat.

(4)

Pengesahan UU KIP juga dapat bernilai strategis dan dapat membuka terobosan bagi peraturan lain yang terkait pelayanan publik. Serta mendorong penyegaran dan penuntasan pembahasan RUU terkait dengan kepentingan publik, seperti RUU Pelayanan Publik yang masih dibahas di DPR. Selain itu, UU KIP juga dapat memberikan landasan hukum dan informasi yang cukup bagi masyarakat akan haknya atas pelayanan publik dari pemerintah, terutama landasan bagi masyarakat dalam mengevaluasi kebijakan publik sekaligus berpartisipasi dalam proses kebijakan publik.

Jika dilaksanakan dengan baik, UU KIP akan menjadi momentum penting dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik, partisipatif,akuntabeldan mempunyai potensi yang besar dalam memperbaiki pengambilan keputusan oleh pemerintah, terutama terkait partisipasi publik di daerah. Masyarakat dapat menggunakan undang-undang ini dalam upaya mengakses dokumen yang menjadi dasar menjalankan fungsi pengawasannya. Secara lebih spesifik, belanja untuk pelayanan publik seringkali rawan terjadinya mis alokasi dan korupsi. Dengan demikian, dengan difasilitasi oleh UU Keterbukaan Informasi Publik, akses terhadap dokumen terkait dan selanjutnya analisis serta pengawasan anggaran oleh masyarakat sipil, dapat membuka kekurangan informasi selama ini. Pada gilirannya pelayanan publik dapat diperbaiki dengan mengadvokasi anggaran agar tidak terjadi lagi mis alokasi dan korupsi.

Akan tetapi, jika UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) tidak terlaksana dengan baik, gagasan idealnya hanya akan menjadi tulisan di atas kertas belaka.

(5)

Masalah implementasi mencakup sikap Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang cenderung segan menyediakan informasi dan kurang responsif terhadap undang-undang baru, sementara masyarakat sipil kekurangan pengetahuan dan kesadaran tentang hal-hal tersebut.

Kehadiran UU KIP bagaimanapun juga, akan menjadi tantangan baru bagi lembaga pemerintahan yang selama puluhan tahun terbiasa dengan kultur birokrasi yang serba tertutup. Ditengah maraknya korupsi dan berbagai ketidakpercayaan masyarakat padakinerja pemerintah, UU ini diharapkan dapat menjadi sarana masyarakat dalam memonitor kinerja pemerintah.

Di Indonesia, setelah 2 tahun dilaksanakan, KIP masih banyak memiliki kekurangan dan belum dapat berjalan maksimal. Hal ini salah satunya disebabkan masih terdapat beberapa daerah yang belum memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumen (PPID), yang khusus bertanggung jawab dalam pelaksanaan KIP serta kurangnya pemahaman baik dari pemerintah maupun masyarakat akan Undang-undang ini.

Menurut hasil uji akses keterbukaan informasi Freedom of Information (FoI) tahun 2011 memperingati setahun pemberlakuan UU KIP, menyatakan bahwa Badan publik masih pelit memberikan informasi meski hal itu adalah amanat UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Jaringan FoI seperti Seknas FITRA meminta informasi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) pada 69 lembaga negara, kementerian dan lembaga pemerintah non departemen. Kemudian, jaringan FoI daerah mengajukan

(6)

347 permintaan informasi kepada 158 badan publik di 10 daerah. Sebanyak 166 permintaan informasi ditolak, 106 permintaan diterima, tapi 75 permintaan diabaikan. FoI memaparkan, jumlah permintaan informasi yang disampaikan, sebagian besar direspon dinas-dinas di daerah sebanyak 74 informasi. Disusul kantor kecamatan/kelurahan ada 21 informasi, perguruan tinggi/sekolah sebanyak 16 informasi, dan oleh Badan/ Komisi 13 informasi. Informasi yang banyak diminta terbanyak tentang anggaran atau Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), yaitu sekitar 39%, tentang peraturan perundangan 14%, kasus hukum 13%, dan prosedur akses kesehatan atau kependudukan 10%.

Karena itu, FoI menilai mayoritas badan publik belum menjalankan mekanisme pelayanan informasi yang diamanatkan UU KIP. Alasan tidak memberikan informasi, karena badan publik belum menyiapkan mekanisme pelayanan informasi atau belum menunjuk PPID.

Pemerintah Kabupaten Bantul merupakan salah satu Badan Publik yang dinilai masih lemah dalam implementasi Keterbukaan Informasi Publik. Seperti dalam Solopos pada 5/9/2012 “Keterbukaan Informasi Publik di Bantul Belum Terlaksana” dan Harian Jogja pada 3/7/2012 “Penerapan UU KIP di Bantul Payah”. Menurut hasil FGD dalam lokakarya “Amandemen Perda Kabupaten Bantul No. 7 Tahun 2005″ yang diselenggarakan oleh Institute for Development Economic Analysis (Perkumpulan IDEA) Yogyakarta, lemahnya implementasi KIP di Bantul adalah karena Pemerintah Bantul masih mempertahankan Perda No.7/2005. Hal ini juga diungkapkan oleh COMBINE Resource Institution (CRI), yaitu lambannya pelaksanaan KIP tersebut, disinyalir karena Pemkab Bantul ngotot merasa tidak memerlukan UU KIP lantaran menganggap telah memiliki

(7)

Perda Nomor 7/2005 tentang Transparansi dan Partisipasi Publik dalam Penyelenggaraan Pemerintah di Kabupaten Bantul yang seprinsip dengan UU KIP.

Perda No.7 Tahun 2005 Kabupaten Bantul memang memiliki isi yang seprinsip dengan UU KIP yaitu mengatur tentang Transparansi dan Partisipasi Publik. Namun masalah yang menarik, karena Perda tersebut telah dibentuk sejak tahun 2005, yaitu sebelum dikeluarkannya UU KIP, maka terdapat beberapa peraturan dalam Perda No.7/2005 yang kurang selaras dengan UU KIP.

Menurut Zairin Harahap, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), poin-poin Perda No. 7 Tahun 2005 yang kurang selaras dengan UU KIPada empat perkara. Pertama, tentang hak dan kewajiban pemohon informasi publik dan badan publik. Kedua, alasan penolakan pemberian informasi. Ketiga, penyelesaian sengketa. Dan keempat, ancaman pidana bagi pejabat publik. Sebagai contoh dalam perihal penyelesaian sengketa, Perda No. 7 Tahun 2005 tidak menyediakan mekanismenya, sedangkan UU KIP mengaturnya dengan mengajukan penyelesaiannya ke Komisi Informasi Daerah (KID).Karena adanya pertentangan itu, maka berlakulah asas Lex Posterior Derogat Legi Inferiori, peraturan yang lebih tinggi derajatnya mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah.

Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Tri Wahyu, direktur ICM (Indonesian Court Monitoring). Menurutnya Perda No.7/2005 memiliki banyak kelemahan yaitu diantaranya adalah karena perda ini dibentuk sebelum UU KIP,

(8)

maka konsep-konsepnya pun terdapat beberapa perbedaan. Contohnya adalah konsep ‘badan publik’. Pada Perda No.7/2005, konsep ‘badan publik’ hanya melingkupi badan publik dalam lingkungan pemerintahan/negara, sedangkan dalam UU KIP, badan publik yang dimaksud lebih luas lagi, yaitu juga non pemerintah yang sebagian dana atau seluruh dananya bersumber dari APBN, APBD, sumbangan masyarakat dan atau sumbangan luar negeri, seperti LSM dan Organisasi Masyarakat.

Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah.

Pasal 7 Ayat (2) selanjutnya dinyatakan bahwa Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf e diatas meliputi Peraturan Daerah Provinsi yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur; Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama dengan Bupati/Walikota; dan

(9)

Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, yang dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.

Dengan demikian, Perda adalah peraturan terendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang memiliki materi muatan yang paling banyak dan memiliki tingkat fleksibilitas yang sempit karena harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berada diatasnya. Ini dapat dipahami dari sudut pandang pendekatan Stufenbau des Recht yang diutarakan Hans Kelsen, bahwa hukum positif (peraturan) dikonstruksikan berjenjang dan berlapis-lapis, peraturan yang rendah bersumber dari dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yang kemudian dikenal dengan asas lex superior derogat legi inferiori.

Masalah ketidakselarasan Peraturan Perundangan ini menjadi masalah yang menarik dalam implementasi KIP di Kabupaten Bantul. Implementasi KIP di Bantul bukan saja mengenai bagaimana peran dan keseriusan implementor dalam melaksanakan peraturan, namun juga rancunya Peraturan Perundangan yang diperggunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan kebijakan. Perda No.7/2005 yang mengatur masalah yang sama dengan UU KIP, dapat memperkuat pelaksanaan KIP di Bantul, namun juga dapat berpotensi memperlemah pelaksanaan KIP jika isinya kurang tegas, sehingga memberi celah bagi implementor yang belum siap terbuka, untuk menghalangi pelaksanaan KIP.

Berdasarkan latar belakang tersebut, Keterbukaan Informasi Publik di Kabupaten Bantul menjadi permasalahan yang menarik untuk diteliti. Penelitian

(10)

ini membahas bagaimana implementasi KIP di Kabupaten Bantul, serta mengungkap apakah Perda No.7/2005 pada pelaksanaannya lebih memperkuat pelaksanaan KIP di Bantul, atau justru melemahkan pelaksanaan KIP. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi rekomendasi bagi pelaksanaan KIP oleh Pemerintah Kabupaten Bantul.

1.2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, ada dua pertanyaaan yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana pelaksanaan kebijakan Keterbukaan Informasi Publik oleh Pemerintah Kabupaten Bantul?

2. Apakah Perda No.7/2005 memperkuat atau justru melemahkan pelaksanaan KIP di Kabupaten Bantul?

1.3. Tujuan

Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengevaluasi implementasi kebijakan Keterbukaan Informasi Publik di Kabupaten Bantul, terkait dengan adanya ketidakselarasan peraturan perundangan yang dipergunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan kebijakan.

(11)

Selain itu penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana peraturan perundangan yang tidak selaras tersebut pada prakteknya dalam mempengaruhi pelaksanaan kebijakan, apakah memperkuat atau justru melemahkan implementasi KIP, untuk selanjutnya dapat menjadi masukan bagi pengambilan kebijakan apakah diperlukan adanya amandemen untuk menyelaraskan peraturan atau mencabut peraturan yang menghalangi KIP.

1.4. Manfaat

Output dari penelitian tesis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya Pemerintah Kabupaten Bantul sebagai evaluasi implementasi Keterbukaan Informasi Publik, sehingga dapat mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan transparan bagi masyarakat.

Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi pembaca maupun penelitian berikutnya mengenai UU Keterbukaan Informasi Publik serta bagaimana implementasinya di Indonesia, khususnya di Kabupaten Bantul dan memberi gambaran bagaimana dampak ketidakselarasan peraturan perundangan pada implementasi kebijakan.

(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Teoritis 2.1.1 Kebijakan Publik

“Whatever Governments choose to do or not to do”, begitulah pengertian kebijakan publik menurut Thomas R. Dye.

Sedangkan Anderson, seperti yang dikutip oleh Hessel Nogi S. Tangkilisan dalam bukunya yang berjudul Kebijakan Publik yang Membumi memberikan definisi mengenai kebijakan publik sebagai berikut:

”Kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah: 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah; 3) kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan; 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa” (Tangkilisan, 2003:2).

Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam mewujudkan Good Governance, yaitu untuk tericptanya transparansi informasi, meningkatkan partisipasi masyarakat serta meningkatkan akuntabilitas badan publik.

Referensi

Dokumen terkait