• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Kajian Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab II Kajian Pustaka"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Identifikasi Degradasi Kekuatan Andesit dengan Menggunakan Rock Strength Classification Hammer di Desa Cipatik, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

8

Bab II

Kajian Pustaka

2.1 Geologi Regional

2.1.1 Fisiografi

Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi daerah Jawa Barat menjadi empat zona (Gambar 2.1), yaitu :

• Zona Dataran Pantai Jakarta (Alluvial Plains of Northern West Java) • Zona Bogor (Bogor Anticlinorium)

• Zona Bandung (Central Depression of West Java)

• Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat (Southern Mountains of West Java)

Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949).

Berdasarkan pembagian di atas, secara fisiografis daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Bandung. Van Bemmelen (1949) menyatakan bahwa zona ini merupakan depresi di antara gunung-gunung (intermontane depressions). Zona ini melengkung dari Pelabuhan Ratu mengikuti Lembah Cimandiri menerus ke timur melalui kota Bandung, dan berakhir di Segara Anakan di muara Sungai Citanduy, dengan lebar antara 20-40 km.

(2)

Identifikasi Degradasi Kekuatan Andesit dengan Menggunakan Rock Strength Classification Hammer di Desa Cipatik, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

9 Van Bemmelen (1949) menganggap Zona Bandung merupakan puncak geantiklin Jawa yang runtuh setelah pengangkatan pada akhir Tersier. Kemudian daerah rendah ini terisi oleh endapan gunungapi muda. Dalam Zona Bandung, terdapat beberapa tinggian yang terdiri dari endapan sedimen tua berumur Tersier yang menyembul di antara endapan gunungapi muda. Salah satu yang penting adalah G. Walat di Sukabumi dan Perbukitan Rajamandala di daerah Padalarang.

Batas antara Zona Bandung dengan Zona Bogor yang berada di utaranya, tertutup oleh endapan seri gunungapi Kuarter (G. Kendeng, G. Gagak, G. Salak, G. Gede-Pangrango, G. Burangrang, G. Tangkuban Perahu, G. Bukittunggul, G. Calancang, dan G. Cakrabuwana). Menurut Martodjojo (1984), Zona Bandung dalam sejarah geologinya tidak dapat dipisahkan dengan Zona Bogor, kecuali oleh banyaknya puncak-puncak gunungapi yang masih aktif sampai sekarang.

Batas Zona Bandung dengan Zona Pegunungan Selatan yang berada di selatannya, di beberapa tempat mudah dilihat, seperti di Lembah Cimandiri, sedangkan batas lainnya ditandai juga oleh endapan seri gunungapi Kuarter (G. Kendeng, G. Patuha, G. Tilu, G. Malabar, G. Papandayan, dan G. Cikuray). Zona Bandung yang dibatasi oleh Zona Bogor di sebelah utara dan Zona Pegunungan Selatan di sebelah selatan diperlihatkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Penampang skematik Jawa Barat dari Pantai Selatan ke Pantai Utara (van Bemmelen, 1949).

(3)

Identifikasi Degradasi Kekuatan Andesit dengan Menggunakan Rock Strength Classification Hammer di Desa Cipatik, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

10 2.1.2 Stratigrafi

Martodjojo (1984) telah membagi mandala sedimentasi daerah Jawa Barat menjadi tiga bagian (Gambar 2.3), yaitu :

• Mandala Paparan Kontinen Utara • Mandala Cekungan Bogor • Mandala Sedimentasi Banten

Gambar 2.3 Peta Mandala Sedimentasi Jawa Barat (Martodjojo,1984).

Lokasi penelitian termasuk ke dalam Mandala Cekungan Bogor. Posisi tektonik di Cekungan Bogor dari Zaman Tersier hingga Kuarter terus mengalami perubahan (Martodjojo, 1984). Cekungan Bogor yang pada Kala Eosen Tengah-Oligosen merupakan cekungan depan busur magmatik, berubah menjadi cekungan belakang busur magmatik pada Kala Miosen Awal-Pliosen. Pada rentang waktu Miosen Awal-Miosen Akhir, di Cekungan Bogor terjadi sedimentasi dengan mekanisme aliran gravitasi. Kemudian pada Kala Pliosen, sebagian dari Cekungan Bogor terangkat menjadi daratan dan merupakan jalur magmatis, dimana aktivitas volkanisme yang terjadi mengakibatkan adanya endapan-endapan gunungapi. Batuan tertua pada mandala ini berumur Eosen Awal yaitu Formasi Ciletuh. Di bawah formasi ini diendapkan kompleks Mélange Ciletuh yang merupakan olisostrom.

Pada Kala Oligo-Miosen diendapkan Formasi Bayah, dan di atasnya diendapkan secara tidak selaras Formasi Batu Asih dan Formasi Rajamandala yang merupakan

(4)

Identifikasi Degradasi Kekuatan Andesit dengan Menggunakan Rock Strength Classification Hammer di Desa Cipatik, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

11 endapan laut dangkal. Kedudukan Cekungan Bogor pada kala tersebut tidak dapat diidentifikasi dengan jelas. Hadirnya komponen kuarsa yang dominan pada Formasi Bayah memberikan indikasi bahwa sumber sedimentasi pada kala tersebut berasal dari daerah yang bersifat granitis, kemungkinan besar berasal dari Daratan Sunda yang berada di utara. Daerah selatan Sesar Cimandiri, pada akhir Oligo-Miosen diperkirakan masih berupa lingkungan darat. Hal ini dibuktikan dengan adanya ketidakselarasan antara sedimen Oligosen dan Miosen di lepas Pantai Cilacap.

Pada Kala Miosen Awal berlangsung aktivitas gunungapi dengan batuan bersifat basalt sampai andesit yang berasal dari selatan, dan terendapkan dalam Cekungan Bogor yang pada kala tersebut merupakan cekungan belakang busur. Cepatnya penyebaran dan pengendapan rombakan deretan gunungapi ini telah mematikan pertumbuhan terumbu Formasi Rajamandala, sehingga endapan volkanik yang dikenal dengan nama Formasi Jampang dan Formasi Citarum mulai diendapkan pada lingkungan marin ini. Pada Kala Miosen Tengah, status Cekungan Bogor masih merupakan cekungan belakang busur dengan diendapkannya Formasi Saguling pada lingkungan laut dalam dengan mekanisme arus gravitasi. Pada Kala akhir Miosen Tengah mulai diendapkan Formasi Bantargadung yang dicirikan oleh endapan turbidit halus pada kipas laut dalam. Cekungan Bogor pada kala ini sudah semakin sempit menjadi suatu cekungan memanjang yang mendekati bentuk fisiografi Zona Bogor (van Bemmelen, 1949). Pada daerah ini, penurunan merupakan gerak tektonik yang dominan.

Pada Kala Miosen Akhir, Cekungan Bogor masih merupakan cekungan belakang busur dengan diendapkannya Formasi Cigadung dan Formasi Cantayan pada lingkungan laut dalam dengan mekanisme arus gravitasi. Pada Kala Pliosen, Cekungan Bogor sebagian sudah merupakan daratan yang ditempati oleh puncak-puncak gunungapi yang merupakan jalur magmatis (busur volkanik). Bagian selatan daerah pegunungan selatan mengalami penurunan dan genang laut yang menghasilkan Formasi Bentang, sedangkan di bagian utara terjadi aktivitas gunungapi yang menghasilkan Formasi Beser.

Pada Kala Plistosen sampai Resen, geologi Pulau Jawa sama dengan sekarang. Aktivitas gunungapi yang besar terjadi pada permulaan Plistosen yang menghasilkan Formasi Tambakan dan Endapan Gunungapi Muda, sekaligus pusat gunungapi dari selatan berpindah ke tengah Pulau Jawa yang merupakan gejala umum yang terjadi di seluruh gugusan gunungapi Sirkum Pasifik. Secara umum, stratigrafi Cekungan Bogor dapat dilihat pada Gambar 2.4.

(5)

Identifikasi Degradasi Kekuatan Andesit dengan Menggunakan Rock Strength Classification Hammer di Desa Cipatik, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

12 Gambar 2.4 Stratigrafi umum Cekungan Bogor (Martodjojo, 1984).

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1997; Gambar 2.5) lokasi penelitian merupakan daerah batuan terobosan andesit.

(6)

Identifikasi Degradasi Kekuatan Andesit dengan Menggunakan Rock Strength Classification Hammer di Desa Cipatik, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

13 berikut adalah keterangan mengenai satuan batuan yang tercantum pada peta geologi daerah penelitian :

• Ql, endapan danau (0-125m)-lempung tufaan, batupasir tufaan, kerikil tufaan, membentuk bidang-bidang perlapisan mendatar di beberapa tempat, mengandung kongkresi-kongkresi gamping, sisa-sisa tumbuhan, moluska air tawar dan tulang-tulang binatang bertulang belakang, setempat mengandung sisipan breksi.

• Qyt, tufa berbatuapung-pasir tufaan, lapili, bom-bom, lava berongga dan kepingan-kepingan andesit-basal padat yang bersudut dengan banyak bongkah-bongkah dan pecahan-pecahan batuapung, berasal dari G. Tangkuban Perahu dan G. Tampomas.

• Pb, breksi tufaan, lava batupasir, konglomerat-breksi bersifat andesit, basal, lava, batupasir tufaan dan konglomerat, membentuk punggung-punggung tak teratur, kadang-kadang sangat curam.

• Mtjl, Formasi Cilanang-napal tufaan dan batu gamping masif, tersingkap di tepi Sungai Citarum dekat kampung kapek

• a, andesit, pada umumnya berupa andesit augit hipersten hornblende dan andesit leuko, dalam masa dasar terdapat banyak kaca dan feldspar.

• b, basal-basal andesit mengandung olivin, dolerite dan diorite hornblende, terdapat di sebelah barat Cimahi.

• d, dasit-dasit hornblende, dasit hipersten hornblende.

2.1.3 Struktur Geologi

Pola struktur Jawa menurut Pulonggono dan Martodjojo (1994) dapat dibagi menjadi tiga pola kelururusan dominan (Gambar 2.6) yaitu sebagai berikut :

• Pola Meratus (timurlaut–baratdaya) • Pola Sunda (utara-selatan)

(7)

Identifikasi Degradasi Kekuatan Andesit dengan Menggunakan Rock Strength Classification Hammer di Desa Cipatik, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

14 Gambar 2.6 Pola struktur Jawa (Pulunggono dan Martodjojo, 1994).

Berdasarkan hasil studi pola struktur Jawa tersebut, Pulonggono dan Martodjojo (1994) menyimpulkan bahwa selama Paleogen dan Neogen telah terjadi perubahan tatanan tektonik di Pulau Jawa. Pola Meratus dihasilkan oleh tektonik kompresi berumur Kapur sampai Paleosen (80-52 juta tahun yang lalu). Pola ini terjadi akibat proses tektonik kompresi yaitu penunjaman Lempeng Indo–Australia yang menunjam ke bawah Lempeng Eurasia. Arah tumbukan dan penunjaman antara lempeng yang menyudut menjadi penyebab utama sifat sinistral dari sesar-sesar mendatar Pola Meratus. Di Pulau Jawa, sesar-sesar ini diaktifkan kembali pada umur-umur yang lebih muda.

Pola Sunda (utara-selatan) dihasilkan oleh tektonik regangan. Fasa regangan ini disebabkan oleh penurunan kecepatan yang diakibatkan oleh tumbukan Benua India dan Eurasia yang menimbulkan rollback berumur Eosen-Oligsen Akhir (53-32 juta tahun yang lalu). Pola ini umumnya terdapat di bagian barat wilayah Jawa Barat dan lepas pantai utara Jawa Barat.

Penujaman di selatan Jawa yang menerus ke Sumatera menimbulkan tektonik kompresi yang menghasilkan Pola Jawa. Di Jawa Tengah, hampir semua sesar di jalur Serayu Utara dan Selatan mempunyai arah yang sama, yaitu barat-timur. Pola Jawa ini menerus sampai ke Pulau Madura dan di utara Pulau Lombok. Pada Kala Miosen Awal-Pliosen, Cekungan Bogor yang Kala Eosen Tengah-Oligosen merupakan cekungan depan busur magmatik, berubah statusnya menjadi cekungan belakang busur magmatik.

(8)

Identifikasi Degradasi Kekuatan Andesit dengan Menggunakan Rock Strength Classification Hammer di Desa Cipatik, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

15 Pola umum struktur Jawa Barat (Martodjojo, 1984), memperlihatkan pola Jawa dengan arah relatif barat-timur (Gambar 2.7). Struktur geologi di daerah ini berupa sesar, lipatan, kelurusan dan kekar yang dijumpai pada batuan berumur Oligo-Miosen sampai Kuarter. Sesar terdiri dari sesar geser yang umumnya berarah utara – selatan dan baratlaut-tenggara. Pola lipatan yang dijumpai berupa antiklin yang berarah baratdaya-timurlaut dan barat-timur. Kelurusan yang dijumpai diduga merupakan sesar berarah baratlaut-tenggara dan baratdaya-timurlaut, umumnya melibatkan batuan berumur Kuarter. Kekar umumnya dijumpai dan berkembang baik pada batuan andesit yang berumur Oligo Miosen-Kuarter.

Gambar 2.7 Pola umum struktur Jawa Barat ( Martodjojo, 1984).

2.2 Dasar Teori Pelapukan Batuan

2.2.1 Pelapukan Batuan

Pengertian pelapukan menurut Geological Society of London (1970) adalah proses ubahan atau rusaknya material batuan dan tanah di permukaan atau dekat permukaan bumi secara fisik dan secara kimia. Proses ini memperlihatkan reaksi dari mineral dan batuan terhadap kondisi lingkungan baru di mana mineral dan batuan tersebut diendapkan. Hal ini terjadi ketika lingkungan tempat mineral dan batuan terbentuk berubah menjadi suatu lingkungan dengan kesetimbangan suhu, tekanan, dan kelembaban yang baru. Proses perubahan dapat dicapai melalui dua proses utama, yaitu pelapukan fisik dan pelapukan kimia. Berlangsungnya kedua proses tersebut dapat dikatakan relatif lambat, tetapi keberadaannya dalam batuan menjadi hal yang cukup penting dari sudut pandang keteknikan (Sadisun dan Bandono, 1998).

(9)

Identifikasi Degradasi Kekuatan Andesit dengan Menggunakan Rock Strength Classification Hammer di Desa Cipatik, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

16 a. Pelapukan Fisik

Pelapukan fisik adalah perubahan yang terjadi pada bentuk dan volume dari batuan. Batuan yang semula mempunyai bentuk dan volume besar serta masif, hancur menghasilkan bentuk-bentuk yang lebih kecil (Gambar 2.8), tanpa disertai dengan perubahan komposisi kimia (Judson dkk., 1976).

Gambar 2.8 Pelapukan fisik

Beberapa contoh pelapukan fisik (Mallory dan Cargo, 1979) : • Tekanan Es

Pada saat suhu sangat rendah, melewati titik beku, maka air akan membeku menjadi es. Air yang membeku mempunyai volume lebih besar yaitu sekitar sembilan persen. Tekanan dari membesarnya volume ini dapat menghancurkan batuan.

• Unloading

Perubahan fisik atau terurainya batuan yang semula masif dapat terjadi akibat hilangnya tekanan dari beban lapisan di atasnya yang semula menimbunnya akibat proses erosi. Dengan hilangnya beban maka batuan seolah-olah mendapat tekanan dari bawah, yang menjadikan rekahan-rekahan sejajar permukaan.

• Pertumbuhan Kristal

Air tanah yang mengalir melalui rekahan-rekahan batuan di bawah permukaan mengandung ion-ion yang dapat mengendap sebagai garam dan terpisah dari larutannya. Pertumbuhan kristal-kristal garam ini menekan celah-celah atau rongga antar butir pada batuan, sehingga batuan tersebut dapat hancur.

• Wetting and drying

Tanah yang mengandung mineral lempung memiliki kemampuan yang baik untuk menyerap cairan. Tanah lempung akan mengembang ketika

(10)

Identifikasi Degradasi Kekuatan Andesit dengan Menggunakan Rock Strength Classification Hammer di Desa Cipatik, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

17 cairan masuk dan akan mengkerut ketika terjadi kekeringan, selanjutnya hal ini dapat mengakibatkan proses disintegrasi.

• Pengaruh suhu

Perbedaan suhu antara siang dan malam tidak dapat menghancurkan batuan. Batuan akan mengalami proses disintegrasi apabila temperatur di lingkungan sekitarnya berubah dengan cepat dan ekstrem. Hal ini menunjukkan bahwa faktor waktu dan perubahan suhu yang ekstrem dan secara periodiklah yang berperan.

• Pengaruh vegetasi

Benih tumbuhan yang hidup pada celah batuan lama-kelamaan akan berkembang menjadi pohon. Akarnya akan membesar, menekan dan menerobos batuan di sekitarnya secara perlahan serta menghancurkan batuannya.

b. Pelapukan kimia

Pelapukan kimia merupakan proses dekomposisi kimia ataupun mineralogi penyusun batuan. Proses ini mengubah secara kimia mineral-mineral asal (origin minerals) menjadi mineral-mineral hasil ubahan (secondary minerals) (Judson dkk., 1976). Proses ini berlansung sangat lambat, tetapi dapat menurunkan ketahanan batuan terhadap pelapukan fisik (Mallory dan Cargo, 1979). Proses yang menyertai pelapukan kimia antara lain :

• Hidrolisis

Hidrolisis yaitu reaksi yang terjadi antar mineral dengan ion air (H+ dan OH-) yang dapat menghasilkan senyawa baru dan penambahan pH. Proses ini sangat efektif terjadi dalam pelapukan mineral silikat dan alumina silikat.

• Oksidasi

Oksidasi yaitu reaksi antara mineral dengan oksigen. Reaksi ini mengakibatkan batuan atau mineral menjadi kurang rigid dan tidak stabil. Proses ini umum dijumpai pada mineral yang mengandung besi dan aluminium yang akan memberi warna merah atau kuning. Oksidasi efektif terjadi pada daerah tropik dengan intensitas hujan dan suhu yang tinggi.

(11)

Identifikasi Degradasi Kekuatan Andesit dengan Menggunakan Rock Strength Classification Hammer di Desa Cipatik, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

18 • Hidrasi

Hidrasi yaitu penyerapan molekul air ke dalam struktur kristal suatu mineral. Proses ini berperan dalam mempercepat dekomposisi kimia dengan cara memperbesar struktur kristal.

• Pelarutan

Pelarutan (solution) adalah reaksi yang melibatkan banyak unsur air. Reaksi ini membentuk senyawa asam dan basa yang sangat bervariasi. Pelarutan cenderung bertambah efektif pada daerah yang beriklim panas dan basah.

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelapukan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pelapukan antara lain (Nelson, 2007) : • Jenis dan struktur batuan

Pengaruh pelapukan terhadap setiap mineral tidak sama. Mineral yang terbentuk pada saat awal pembentukan magma, suhu dan tekanan masih tinggi, misalnya olivin, akan lebih mudah lapuk dibandingkan dengan kuarsa yang terbentuk paling akhir pada suhu dan tekanan atmosfer. Efektivitas pelapukan dipengaruhi oleh luasnya permukaan. Batuan mempunyai banyak kekar akan lebih cepat lapuk, karena permukaan kontaknya lebih luas dari pada yang masif.

• Lereng

Butiran-butiran mineral yang terlepas akibat pelapukan pada lereng terjal akan mudah tergelincir ke bawah terbawa hujan. Batuan segar muncul kembali untuk proses berikutnya. Demikian terus berlanjut, sehingga pelapukan makin dalam.

• Iklim

Kelembaban dan panas dapat mempercepat reaksi kimia. Daerah beriklim tropis mempunyai kelembaban dan panas yang tinggi. Pelapukan kimia dapat berlangsung secara intensif dan dapat dijumpai sampai kedalaman 100 meter atau lebih. Sedangkan di daerah dingin dan kering, pelapukan sangat lambat dan hanya terjadi di permukaan saja.

(12)

Identifikasi Degradasi Kekuatan Andesit dengan Menggunakan Rock Strength Classification Hammer di Desa Cipatik, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

19 • Mahluk hidup

Manusia dan binatang dapat mempercepat pelapukan. Untuk meningkatkan kualitas kehidupannya, manusia memotong bukit untuk jalan raya, penambangan dan sebagainya yang pengaruhnya adalah memperluas kontak permukaan untuk pelapukan. Binatang pembuat lubang seperti semut, cacing, dan rayap membuat lubang-lubang dan membawa galiannya ke atas permukaan. Meskipun tampak sangat kecil dan tidak langsung menghancurkan batuan dasarnya, namun dalam jangka waktu yang panjang akan terlihat pengaruhnya.

• Waktu

Pelapukan yang terjadi di permukaan bumi terjadi sepanjang waktu geologi. Hal ini menunjukkan bahwa waktu sangat berperan penting dalam suatu pelapukan.

2.2.3 Efek Pelapukan

Berikut ini adalah efek-efek yang disebabkan oleh pelapukan (Nelson, 2007) : • Weathering rind

Pada awal derajat pelapukan, batuan akan memperlihatkan bagian permukaan luar yang terlapukkan (weathering rind) dan bagian dalam yang masih segar. Ketebalan weathering rind akan semakin bertambah apabila pelapukan terus berlanjut.

• Exfoliation

Eksfoliasi adalah lapisan tipis seperti kulit atau cangkang di permukaan suatu batuan yang lepas dari tubuh batuan tersebut. Eksfoliasi disebabkan oleh differential stress dalam batuan, akibat bertambahnya volume mineral-mineral sebagai hasil dari pelapukan kimia.

• Spheroidal weathering

Batuan yang telah pecah menjadi beberapa blok-blok akibat rekahan yang intensif, akan memudahkan terjadinya pelapukan kimia. Air yang bergerak pada seluruh sisi permukaan batuan segar, menjadikan batuan segarnya makin kecil dan membulat, dilingkari pelapukannya. Gejala ini dinamakan pelapukan mengulit bawang atau spheroidal weathering. Makin luas

(13)

Identifikasi Degradasi Kekuatan Andesit dengan Menggunakan Rock Strength Classification Hammer di Desa Cipatik, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

20 permukaan kontak antara batuan dan atmosfir, hidrosfir atau biosfir, pelapukan akan makin efektif.

2.2.4 Karakterisasi Derajat Pelapukan

Karakterisasi derajat pelapukan merupakan salah satu faktor penting dalam penyelidikan sifat keteknikan suatu material batuan. Karakterisasi derajat pelapukan dapat dilakukan melalui penyelidikan lapangan dan pengujian laboratorium dengan tujuan untuk memperoleh suatu acuan yang dapat digunakan untuk menentukan perkembangan derajat pelapukan. Pada penelitian ini akan dilakukan karakterisasi berdasarkan karakteristik fisik andesit, analisis petrografi, dan kekuatan andesit pada setiap derajat pelapukan.

Pada penelitian ini karakterisasi akan ditekankan pada pengujian kekuatan andesit dengan menggunakan rock strength classification hammer. Pengujian ini sangat sensitif terhadap pelapukan, kekerasan permukaan, kehadiran rekahan mikro, joints, dan diskontinuitas lainnya. (Williams dan Robinson, 1983; McCarrol, 1991; Sumner dan Neil, 2002 op cit. Lifton, 2005).

2.2.5 Klasifikasi Derajat Pelapukan

Di alam pelapukan berlangsung tanpa kita sadari. Segala sesuatu akan berubah, baik secara fisik maupun secara kimia, terutama yang berada dalam lingkungan atmosfer. Dari sudut pandang keteknikan keberadaan batuan lapuk seringkali menjadi kendala, seperti halnya pada pekerjaan sipil dan operasi penambangan. Batuan yang telah mengalami pelapukan secara umum akan memperlihatkan karakteristik keteknikan yang berbeda apabila dibandingkan dengan batuan segar atau tanah residu. Pendekatan melalui sudut pandang mekanika batuan dan mekanika tanah pada batuan lapuk biasanya akan memperlihatkan adanya perilaku yang khas pada karakteristik sifat keteknikannya (Sadisun dan Bandono, 1998).

Pelapukan batuan umumnya akan ditunjukkan pada perubahan warna, kemas atau tekstur, struktur, perbandingan antara batuan dan tanah, serta intensitas rekahan. Perubahan lebih lanjut dapat diteliti melalui pengujian kekuatan dan analisis petrografi. Analisis petrografi bertujuan untuk mengetahui perubahan komposisi mineralogi penyusun batuan akibat pelapukan.

(14)

Identifikasi Degradasi Kekuatan Andesit dengan Menggunakan Rock Strength Classification Hammer di Desa Cipatik, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

21 Sistem klasifikasi keteknikan batuan lapuk pada intinya merupakan suatu usaha untuk mengetahui adanya urutan perubahan akibat pelapukan fisik dan pelapukan kimia yang berperan secara individu atau merupakan suatu proses yang terjadi secara kombinasi (Sadisun dan Bandono, 1998).

Suatu sistem klasifikasi dapat disusun berdasarkan karakterisasi setiap derajat pelapukan yang dibuat secara rinci dan sistematik. Salah satunya Chigira dan Yokoyama (2005) yang telah menyusun profil pelapukan non welded ignimbrite di selatan Kyushu, Jepang.

Dearman (1978 op cit. Setiadji dkk., 2006) mengemukakan skema klasifikasi batuan lapuk yang dapat digunakan secara luas untuk tujuan keteknikan, baik pada massa maupun material batuan, dengan penyesuaian pada jenis batuan dan kondisi lingkungan batuan itu berada. Skema klasifikasi derajat pelapukan batuan menurut Dearman (1978 op cit. Setiadji dkk., 2006) adalah sebagai berikut (Tabel 2.1)

Tabel 2.1 Skema klasifikasi derajat pelapukan (Dearman, 1978 op cit. Setiadji dkk., 2006)

(15)

Identifikasi Degradasi Kekuatan Andesit dengan Menggunakan Rock Strength Classification Hammer di Desa Cipatik, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

22 2.3 Karakteristik Andesit

Batuan beku terbentuk dari membekunya magma cair yang terdesak ke permukaan. Sesudah mencapai ke permukaan melewati rekahan-rekahan pada kulit bumi (fissure eruption) atau melalui gunung berapi (volcanic eruption), sebagian dari magma cair tersebut mendingin di permukaan bumi dan membatu. Kadang-kadang magma tersebut berhenti bergerak sebelum sampai ke permukaan bumi dan mendingin di dalam kulit bumi dan membentuk batuan beku dalam atau plutonic rocks.

Bowen (1922 op cit. Judson dkk., 1976) berhasil menerangkan hubungan antara kecepatan mendingin dari magma dengan pembentukan bermacam-macam tipe batuan. Keterangan ini dikenal dengan Prinsip Reaksi Bowen yang menggambarkan urut-urutan terbentuknya mineral batuan akibat mendinginnya magma.

Andesit adalah salah satu jenis batuan beku volkanik yang bersumber dari magma primer atau magma sekunder yang bersifat menengah (intermediate). Berdasarkan Hall (1987), andesit berasosiasi dengan basal, dasit, dan riolit pada daerah busur kepulauan, batas lempeng benua yang masih bergerak, dan ancient volcanism orogenic belt.

Kenampakan andesit (Mottana dkk., 1977) adalah berwarna abu-abu hingga abu-abu gelap atau kehijauan, terutama ketika masa dasarnya didominasi oleh gelas. Secara umum bertekstur porfiritik, fenokrisnya berupa plagioklas dan biotit yang tertanam dalam masa dasar yang lebih halus. Masa dasar dibentuk oleh plagioklas anhedral yang hanya dapat diorientasikan pada kondisi cair dan pada umumnya terdapat xenolith.

Berdasarkan Ehlers dan Blatt (1982), secara umum andesit memiliki tekstur porfiritik dan massa dasar holokristalin. Struktur batuan yang terdapat pada batuan andesit adalah vesikuler, amigdaloid, trakhitik, dan ofitik atau subofitik. Deskripsi petrografi andesit menunjukkan kehadiran plagioklas sebagai fenokris dengan komposisi rata-rata sekitar An40, bervariasi dari anortit hingga oligoklas. Plagioklas pada masa dasar berupa mikrolith yang bersifat lebih asam dari fenokrisnya. Piroksen terdiri dari diopsid augit, augit, pigeonit atau hipersten yang hadir sebagai massa dasar dan fenokris. Hornblende atau oksihornblende hadir sebagai fenokris prismatik.

Gambar

Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949).
Gambar 2.2 Penampang skematik Jawa Barat dari Pantai Selatan ke Pantai Utara  (van Bemmelen, 1949)
Gambar 2.3 Peta Mandala Sedimentasi Jawa Barat (Martodjojo,1984).
Gambar 2.5 Peta geologi lokasi penelitian.
+3

Referensi

Dokumen terkait

pertolongannya-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Konsistensi Penyajian Laporan Keuangan Pada PT Varia.. Usaha” sebagai salah

In this group the students will share their idea in written from then elaborate it by using conjunction as one of cohesive devices, so the students can write a good

Pada penelitian ini, dengan berbagai pertimbangan antara lain, faktor jarak yang ditempuh, tenaga, waktu, dan dana, maka peneliti memfokuskan penelitian hanya di

Dalam rangka memilih partisipan, penulis memilih partisipan yang sesuai dengan kriteria penelitian penulisan skripsi – pengalaman memilih menjadi TKW, masa perekrutan, bekerja di

Di Jawa kadang-kadang nama yang tidak cocok untuk seorang anak diganti oleh orangtuanya dalam sebuah upacara.. Biasanya upacara penggantian nama diadakan sekali setiap empat tahun

155 RB & KLINIK PUTRA MEDIKA Perum.Villa Mutiara Cikarang Kp.. Raya Jati

Genotipe MQ2 dan MQ3 kandidat calon varietas QPM bersari bebas biji kuning memberikan hasil lebih tinggi diantara 12 genotipe yang dievaluasi, dengan rata-rata hasil

Sistem kerja dari pengelolaan Pembangunan layanan acces speedy atau yang dikenal dengan Uji Terima (UT), diamana mitra bersama Telkom yang diwakili oleh petugas dari telkom,