• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konvensi hak-hak anak yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989 dalam pasal 31 menyatakan bahwa anak mempunyai hak dalam beristirahat dan bersenang-senang termasuk dalam kegiatan bermain dan rekreasi yang layak untuk usia anak (Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1989). Ada berbagai macam bentuk permainan yang dapat dimainkan anak, baik permainan tradisional maupun moderen. Perkembangan teknologi saat ini juga turut andil dalam menciptakan berbagai macam permainan anak, salah satunya adalah permainan audiovisual elektronik atau lebih dikenal dengan video game. Saat ini permainan audiovisual elektronik tidak hanya dapat dimainkan di PC (personal computer) dan console game (Game Boy, Nitendo DS, dan playstation portable) tetapi juga dapat dimainkan melalui telepon genggam, sehingga mudah diakses dan dibawa ke semua tempat (Rooij, 2011).

Permainan audio visual elektronik yang dimainkan secara berlebihan dapat menimbulkan adiksi bagi pemainnya. Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi kelima (DSM-5), adiksi permainan audio visual elektronik (game addiction) termasuk dalam gangguan bermain internet (Internet Gaming Disorder) dan terdapat 9 kriteria, yaitu: 1) rasa asyik yang mendominasi pikiran ketika bermain game (preoccupation), 2) perasaan atau suasana hati yang buruk seperti mudah marah dan menarik diri terutama ketika permainan dihentikan (withdrawal symptom), 3) keinginan untuk meningkatkan jumlah waktu permainan (tolerance), 4) tidak dapat mengontrol untuk tidak bermain video game, 5) kehilangan ketertarikan dengan hobi, hiburan, ataupun kegiatan lain kecuali bermain video game, 6) berlebihan dalam memainkan video game meskipun menimbulkan masalah psikososial, 7) menipu atau berbohong kepada keluarga mengenai banyaknya (jumlah waktu dan biaya) bermain video game, 8) menggunakan video game sebagai pelarian atau membebaskan diri dari

(2)

masalah ataupun suasana hati yang negatif, dan 9) kehilangan hubungan dengan orang-orang sekitar (saudara, teman), pekerjaan, pendidikan, ataupun kesempatan karir karena partisipasi dalam bermain video game (King & Delfabbro, 2014).

Pada dasarnya, bermain audiovisual elektronik (video game) dapat memberikan manfaat positif apabila dimainkan dengan tidak berlebihan, terutama untuk permainan yang mengandung unsur strategi. Adachi & Willoughby (2013) melakukan penelitian pada siswa SMA di Ontario, Kanada mengenai manfaat bermain permainan audiovisual elektronik strategi terhadap peningkatan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah dan peningkatan nilai akademik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa permainan video game yang banyak mengandung unsur strategi lebih dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam penyelesaian masalah daripada video game yang sedikit mengandung unsur strategi. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan yang tidak langsung terhadap peningkatan nilai akademik siswa. Dengan demikian, disimpulkan bahwa bermain video game tidak hanya menyenangkan, tetapi juga meningkatkan kemampuan siswa dalam penyelesaian masalah (problem solving).

Walaupun terdapat manfaat positif dalam bermain video game, namun bermain video game yang berlebihan sampai menimbulkan adiksi dan tidak sesuai dengan usia anak dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Penelitian yang dilakukan oleh Leeuw et al. (2010) di daerah Utrecht, Belanda pada siswa SMP menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dalam bermain video game yang berlebihan terhadap masalah psikososial dan kurangnya aktivitas fisik. Selain itu, hasil penelitian Pentz et al. (2011) menunjukkan hubungan yang signifikan antara perilaku bermain video game berlebihan dengan faktor risiko obesitas pada siswa sekolah dasar di California Selatan. Obesitas terjadi karena dalam bermain video game, anak kurang melakukan aktivitas fisik dan cenderung untuk duduk terus menerus.

Hasil penelitian Sanditaria et al. (2012) terhadap 71 anak di warnet penyedia game online di Jatinangor, Sumedang, menunjukkan bahwa sebesar 62% responden mengalami adiksi bermain video game online dengan kriteria adiksi terbanyak adalah salience (perasaan asyik yang mendominasi pikiran sehingga

(3)

memunculkan keinginan untuk bermain berlebihan). Pada penelitian tersebut juga disarankan bahwa dalam penanganan adiksi video game pada anak sekolah harus melibatkan mulai dari orangtua, guru di sekolah, maupun pihak kesehatan terkait.

Xu et al. (2012) melakukan penelitian terhadap 5.122 remaja di Shanghai, Cina dan didapatkan sebanyak 4.383 (85%) remaja merupakan pengguna internet. Hasil dari penelitian tersebut ditemukan bahwa 449 (8,8%) remaja teridentifikasi adiksi internet dan 19,6% beralasan menggunaan internet untuk bermain video game.

Tabel 1. Waktu yang dihabiskan remaja untuk menggunakan internet

Waktu Adiksi Bukan adiksi

≥28 jam/minggu 23,8% 8,3%

≥8 jam/hari setiap akhir pekan (sabtu

dan minggu) 31,8% -

≥8 jam/hari setiap hari libur 10,5% -

Sumber: Xu et al. (2012)

Tabel 1 menunjukkan bahwa pengguna yang adiksi menghabiskan waktu lebih banyak daripada pengguna internet yang tidak adiksi. Selain itu pengguna internet yang adiksi menghabiskan waktu lebih banyak pada saat akhir pekan dan hari libur. Selain penelitian tersebut, American Academy of Pediatrics (AAP) memberikan rekomendasi untuk membatasi anak menatap layar (termasuk televisi, video, komputer, dan video game) 1-2 jam per hari. Hal ini dilakukan untuk melindungi anak terhadap penggunaan media audiovisual yang berlebihan dan dapat mengganggu kesehatan anak (American Academy of Pediatrics, 2009).

Penelitian yang dilakukan Urrahman et al. (2014) pada salah satu SD di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutkan 96,8% siswa kelas III, IV, dan V menyukai bermain video game. Pada penelitian tersebut juga disebutkan terdapat 246 jenis game yang dimainkan dan 4 di antaranya merupakan game berbahaya yang tidak layak dimainkan anak-anak karena mengandung unsur pornografi dan kekerasan. Rata–rata waktu memainkan video game adalah 116 menit/hari dan disimpulkan sudah mendekati perilaku adiksi.

(4)

Program promosi kesehatan dapat meningkatkan performa fisik, psikis, pendidikan dan pekerjaan bagi individu dan membantu mengontrol atau mengurangi seluruh biaya kesehatan dengan menekankan pada pencegahan masalah kesehatan. Program promosi kesehatan berperan sesuai dengan kepentingan setiap setting atau lokasi (sekolah, tempat kerja, organisasi kesehatan, atau masyarakat) dalam meningkatkan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan terhadap kesehatan (Fertman et al., 2010). Promosi kesehatan di sekolah merupakan suatu upaya menciptakan sekolah menjadi komunitas yang mampu meningkatkan derajat kesehatannya melalui: a) penciptaan lingkungan sekolah yang sehat; b) pemeliharaan dan pelayanan kesehatan di sekolah; dan c) upaya pendidikan kesehatan yang berkesinambungan (Departemen Kesehatan RI 2008). Prioritas promosi kesehatan sekolah di berbagai negara masih rendah. Staf sekolah dan guru tidak menyadari peran penting mereka dalam promosi kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa guru yang telah menerima pelatihan promosi kesehatan cenderung lebih sering terlibat dalam program promosi kesehatan dan memiliki pendekatan yang lebih komprehensif terhadap pendidikan kesehatan (Jourdan et al., 2008).

Metode dan media promosi kesehatan digunakan dalam penelitian ini untuk menyampaikan mengenai pencegahan adiksi video game pada siswa SD. Oleh karena itu, pesan yang disampaikan harus sesuai dengan sasaran, yaitu anak sekolah dasar. Dignan & Carr (1992) menyebutkan bahwa penggunaan metode dan media kesehatan harus disesuaikan dengan sasaran. Hasil analisis kebutuhan yang dilakukan oleh Urrahman et al. (2014) mengenai media yang diinginkan siswa SD untuk penyuluhan, menunjukkan bahwa siswa lebih menyukai adanya penyuluhan atau penyampaian informasi dengan metode bermain daripada yang hanya ceramah.

Saat ini terdapat berbagai macam metode dan media komunikasi untuk menyampaikan pesan. Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media permainan ludo dengan metode belajar sambil bermain. Permainan papan (board game) saat ini telah banyak digunakan untuk meningkatkan pengetahuan anak. Penelitian yang dilakukan oleh Hapsari & Suminar (2003) menunjukkan bahwa

(5)

LWG (Ludo Word Game) dapat meningkatkan jumlah kosakata bahasa inggris pada anak SD secara signifikan (p < 0,05). Penelitian yang dilakukan Urrahman et al. (2014) menunjukkan media permainan ludo juga efektif meningkatkan pengetahuan dan tindakan siswa terhadap pencegahan adiksi bermain video game pada siswa SD. Namun, kedua penelitian tersebut tidak menggunakan pembanding dalam mengukur keefektifan media permainan ludo.

Pada penelitian ini, selain menggunakan media permainan ludo juga digunakan metode ceramah interaktif sebagai pembanding. Penyampaian informasi dengan ceramah secara interaktif juga dipandang efektif dalam peningkatan pengetahuan. Penelitian yang dilakukan oleh Khairani (2009) menyebutkan bahwa ceramah yang disertai dengan demonstrasi dan latihan dapat meningkatkan pengetahuan anak sekolah dasar mengenai cuci tangan dengan sabun.

Perkembangan teknologi juga terjadi di Kota Magelang. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti di beberapa sekolah dasar di Kota Magelang, siswa SD sudah banyak yang menggunakan gadget (HP, tablet, laptop) ke sekolah. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa perilaku yang mengarah ke dalam adiksi bermain video game juga terjadi di Kota Magelang.

Laporan kesehatan jiwa siswa sekolah dasar yang ada di Instalasi Kesehatan Jiwa Masyarakat (Keswamas) RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang, yang dilaporkan oleh 42 SD di Kota Magelang menunjukkan bahwa sebanyak 963 siswa mengalami masalah kesehatan jiwa. Masalah kesehatan jiwa terbanyak adalah masalah gangguan belajar (378 siswa), gangguan perilaku (205), gangguan emosi (142 siswa), dan sisanya masalah kesehatn jiwa lainnya. Pemilihan sekolah yang dijadikan penelitian berdasarkan jumlah siswa yang mengalami masalah kesehatan jiwa terbanyak yang telah dilaporkan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah ada perbedaan keefektifan antara penggunaan media permainan ludo dan ceramah interaktif terhadap perubahan pengetahuan,

(6)

sikap, dan perilaku siswa dalam pencegahan adiksi permainan audiovisual elektronik?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Mengetahui perbandingan keefektifan antara pendidikan kesehatan dengan menggunakan media permainan ludo dan ceramah interaktif terhadap perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa dalam pencegahan adiksi permainan audiovisual elektronik.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui pengaruh penggunaan media permainan ludo terhadap perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa dalam pencegahan adiksi permainan audio visual elektronik.

b. Mengetahui pengaruh ceramah interaktif terhadap perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa dalam pencegahan adiksi pencegahan adiksi permainan audio visual elektronik.

c. Mengetahui perbedaan pengaruh antara pendidikan kesehatan melalui media permainan ludo dengan ceramah interaktif terhadap perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa dalam pencegahan adiksi permainan audio visual elektronik.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi sekolah

a. Meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran tentang bahaya adiksi bermain permainan audio visual elektronik bagi siswa SD

b. Memberikan masukan bagi guru sebagai fasilitator pendidikan mengenai pencegahan adiksi bermain audio visual elektronik pada siswa dan penggunaan media permainan untuk pembelajaran.

2. Bagi peneliti

Dapat menambah wawasan dan pengalaman dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan pada penelitian selanjutnya.

(7)

3. Bagi peneliti lain

Dapat digunakan sebagai informasi tambahan untuk penelitian lebih lanjut.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran peneliti, penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Penelitian-penelitian yang serupa dan dapat dijadikan rujukan antara lain:

1. Hapsari & Suminar (2003) melakukan penelitian yang berjudul “Efektifitas Ludo Words Game (LWG) terhadap Peningkatan Kosakata Bahasa Inggris pada Anak Studi Kasus Pada Siswa Kelas IV SD Muhammadiyah 4 Pucang”. Penelitian tersebut dilakukan pada siswa SD kelas IV dengan tujuan untuk menguji keefektifan LWG terhadap peningkatan kosa kata bahasa Inggris pada anak usia sekolah dasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa LWG dapat meningkatkan kosa kata bahasa Inggris anak secara signifikan. Persamaan dengan penelitian ini adalah jenis media yang digunakan (permainan ludo). Perbedaan dengan penelitian ini adalah tema, subjek, metode, dan lokasi penelitian.

2. Siregar (2009) melakukan penelitian yang berjudul “Pendidikan Kesehatan tentang Penyalahgunaan NAPZA melalui Peer Education dan Ceramah Interaktif terhadap Pengetahuan dan Sikap Siswa SMA di Padangsidimpuan”. Penelitian tersebut membandingkan penyampaian pendidikan kesehatan dengan menggunakan 2 metode yang berbeda pada 2 kelompok perlakuan dan 1 kelompok kontrol tanpa perlakuan sama sekali. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi experiment dengan pretest posttest control group design. Hasil penelitian tersebut menunjukkan pendidikan kesehatan dengan peer education memberi pengaruh lebih baik dibandingkan dengan ceramah interaktif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa terhadap penyalahgunaan NAPZA. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada metode yang digunakan (eksperimen kuasi) dan pemilihan penyampaian pesan dengan ceramah interaktif sebagai pembanding. Perbedaan dengan

(8)

penelitian ini adalah media yang digunakan, lokasi penetitian, subjek penelitian, tema penelitian.

3. Skoric, M.M., Teo, L.L.C. & Neo, R.L. (2009) melakukan penelitian yang berjudul “Children and Video Games: Addiction, Engagement,and Scholastic Achievement”. Penelitian tersebut dilakukan pada siswa sekolah dasar yang berumur 8 – 12 tahun di Singapura dengan tujuan untuk melihat hubungan antara kebiasaan bermain video game terhadap prestasi siswa di sekolah. Hasil dari penelitian tersebut mengindikasikan bahwa kecenderungan adiksi bermain video game secara konsisten berhubungan dengan prestasi sekolah yang negatif. Persamaan dengan penelitian ini adalah tema dan subjek pada anak sekolah dasar. Perbedaan dengan penelitian ini adalah metode dan lokasi penelitian.

4. Mentzoni, R. A., Brunborg, G. S., Molde, H., Myrseth, H., Skouverøe, K. J. M., Hetland, J., & Pallesen, S. (2011) melakukan penelitian yang berjudul “Problematic Video Game Use: Estimated Prevalence and Associations with Mental and Physical Health”. Penelitian tersebut dilakukan pada individu yang berumur 15-14 tahun di Norwegia dengan tujuan untuk melakukan investigasi prevalensi adiksi video game dan permasalahan penggunaan video game yang dihubungkan dengan kesehatan fisik dan mental. Hasil penelitian menunjukkan permasalahan penggunaan video game berhubungan dengan rendahnya kepuasan hidup seseorang dan tingginya depresi dan kecemasan. Selain itu, dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa video game tidak berhubungan dengan banyaknya aktivitas fisik seseorang. Persamaan dengan penelitian ini adalah tema penelitian tentang adiksi video game. Perbedaan dengan penelitian ini adalah metode, subjek, dan lokasi penelitian.

5. Behrooz, A., Esmaiili, S., Riyahi, L., Alinaghi, S. A. S., & Foroughi, M. (2014) melakukan penelitian yang berjudul “The effects of a social-cognitive method based education on knowledge and attitudes intentions with respect to HIV transmition among school learners in Maragheh, Iran”. Penelitian tersebut dilakukan pada siswa SMA di Maragheh, Iran. Hasil dari penelitian ini adalah menunjukkan bahwa metode sosial kognitif yang berdasarkan

(9)

pendidikan pencegahan HIV/AIDS berhubungan signifikan terhadap meningkatnya pengetahuan, namun tidak signifikan terhadap perubahan sikap. Persamaan dengan penelitian ini adalah menggunakan teori penelitian yang sama, yaitu sosial kognitif teori. Perbedaan dengan penelitian ini adalah metode, subjek, lokasi penelitian, dan masalah penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya, dijelaskan kriteria diagnostik gangguan autistik berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-V). Kurangnya komunikasi dan interaksi

Tujuan umum dari penelitian ialah memperoleh gambaran efektivitas teknik assertive training untuk mereduksi peserta didik yang mengalami gejala adiksi handphone di

According to the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition DSM-5, pica is diagnosed by the following characteristics: 1 repeated eating of non- food substance

The job is then just about done, and academic defi ciency disorder might fi nd a place in the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders DSM-IV American Psychiatric

 Today: 400+ categories of Mental Disorder  Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders DSM  International Classification of Diseases and Health Related Problems ICD 

Dalam menganalisis penggambaran IED, peneliti menggunakan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition DSM-V untuk menentukan kriteria IED yang digambarkan oleh

The key feature of social anxiety disor- der, according to the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition DSM-IV, is “a marked and persistent fear of social