• Tidak ada hasil yang ditemukan

dunia. 17 Jabatan notaris ini tidak ditempatkan di lembaga yudikatif, eksekutif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "dunia. 17 Jabatan notaris ini tidak ditempatkan di lembaga yudikatif, eksekutif"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NOTARIS TERHADAP KEPUTUSAN MAJELIS PENGAWAS DAERAH YANG TELAH MENYETUJUI DIPERIKSANYA NOTARIS DALAM PROSES PERADILAN SESUAI

PASAL 66 UUJN

2.1 Tinjauan Umum tentang Notaris

Jabatan notaris lahir karena masyarakat membutuhkannya,bukan jabatan yang sengaja diciptakan kemudian baru disosialisaikan kepada khlayak. Sejarah lahirnya notaris diawali dengan lahirnya profesi scribae pada jaman Romawi Kuno (abad kedua dan ketiga sesuda masehi).16Pada masa itu pula muncul profesi

tabellius atau notarius. Pada masa itu, mereka adalah golongan orang yang

bertugas mencatat pidato. Istilah notaris diambil dari nama pengabdinya, notarius, yang kemudian menjadi istilah/titel bagi golongan orang penulis cepat atau stenografer. Notaris adalah salah satu cabang dari profesi hukum yang tertua di dunia.17

Jabatan notaris ini tidak ditempatkan di lembaga yudikatif, eksekutif ataupun yudikatif. Notaris diharapkan memiliki posisi netral, sehingga apabila ditempatkan di salah satu dari ketiga badan negara tersebut maka notaris tidak lagi dapat dianggap netral. Dengan posisi netral tersebut, notaris diharapkan untuk memberikan penyuluhan hukum untuk dan atas tindakan hukum yang dilakukan notaris atas permintaan kliennya. Dalam hal melakukan tindakan hukum untuk kliennya, notaris juga tidak boleh memihak kliennya, karena tugas notaris ialah untuk mencegah terjadinya masalah.18

Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai

16

Anke Dwi Saputro, Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan di Masa Datang, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, hlm. 40

(2)

Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang telah merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya dapat memberikan honorarium kepada Notaris.

Ada dua mazab notaris, yaitu:

1. Notaris civil law yaitu lembaga notariat berasal dari Italia utara antara tahun 11 dan 12 setelah masehi dan juga dianut oleh Indonesia. Ciri-cirinya ialah:

• diangkat oleh penguasa umum yang berwenang • tujuan melayani kepentingan masyarakat umum

• mendapatkan honorarium dari masyarakat umum sebagai kontraprestasi

2. Notaris common law yaitu notaris yang ada di negara Inggris dan Skandinavia. Ciri-cirinya ialah:

• Akta tidak dalam bentuk tertentu • Tidak diangkat oleh pejabat penguasa

2.1.1 Sejarah Lembaga Notariat di Indonesia

Lembaga Notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad XVII dengan keberadaan Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC)19di Indonesia. Pada tanggal 27 Agustus 1620, Melchior Kerchem, Sekretaris dari College van Schepenen di Jacatra, diangkat sebagai Notaris pertama di Indonesia. Tugas Melchior Kerchem sebagai Notaris,20yaitu melayani dan melakukan semua surat libel (smaadschrift), surat wasiat di bawah tangan (codicil), persiapan penerangan, akta perjanjian perdagangan, perjanjian kawin, surat wasiat (testament), dan akta-akta Iainnya dan ketentuan-ketentuan yang perlu dari kotapraja. Pada tahun 1625 jabatan Notaris dipisahkan dari jabatan Sekretaris College van Schepenen, yaitu dengan dikeluarkan instruksi untuk para Notaris pada tanggal 16 Juni 1625. Instruksi ini hanya terdiri dari 10 (sepuluh) Pasal, antara lain menetapkan bahwa Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh

19G.H.S. Lumban Tobing, Op. Cit, hlm. 15. 20Komar Andasasmita, Op. Cit, hlm. 37.

(3)

menyerahkan salinan-salinan dari akta-akta kepada orang-orang yang tidak berkepentingan.21 Tanggal 7 Maret 1822 (Stb. No. 11) dikeluarkan Insctructie

voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie. Pasal 1 Instruksi tersebut

mengatur batas-batas tugas dan wewenang dari seorang Notaris, serta menegaskan bahwa Notaris bertugas untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan, dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grossenya, demikian juga memberikan salinannya yang sah dan benar.22

Tahun 1860 Pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat peraturan-peraturan yang baru mengenai Jabatan Notaris di Nederlands Indie untuk disesuaikan dengan peraturan-peraturan mengenai jabatan Notaris yang berlaku di Behanda. Sebagai pengganti Instructie voorde Notarissen Residerende

in Nederlands Indie, kemudian tanggal 1 Juli 1860 ditetapkan Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (StbI. 1860: 3).

Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, keberadaan Notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan (AP) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu: “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang dasar ini.” Dengan dasar Pasal II AP tersebut Reglement

op Het Notaris Arnbt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3) tetap diberlakukan.

Sejak tahun 1948 kewenangan pengangkatan Notaris dilakukan oleh Menteri Kehakiman (sekarang Menkumham), berdasarkan Peraturan Pemerintah Tahun 1948 Nomor 60, tanggal 30 Oktober 1948 Tentang Lapangan Pekerjan, Susunan, Pimpinan, dan Tugas Kewajiban Kementerian Kehakiman.

Tanggal 13 November 1954 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara. Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut, menegaskan bahwa dalam hal Notaris tidak ada, Menteri Kehakiman dapat menunjuk seorang yang diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris yang ditunjuk dengan 21R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia; Suatu Penjelasan, Rajawali, Jakarta,

(4)

kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris (Pasal 1 huruf c dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954). Selanjutnya dalam, Pasal 2 ayat (2) disebutkan, sambil menunggu ketetapan dari Menteri Kehakiman, Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang untuk sementara diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris. Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagal Wakil Notaris Sementara (Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954).

Pada tahun 2004 diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris atau disebut UUJN pada tanggal 6 Oktober 2004. Pasal 91 UUJN telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi:

1. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101;

2. Ordonantie 16 September 1931 Tentang Honorarium Notaris;

3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);

4. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan 5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 Tentang Sumpah/Janji

Jabatan Notaris.

Ditegaskan dalam Penjelasan Umum UUJN, bahwa UUJN merupakan pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-undang yang mengatur tentang jabatan Notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Dengan demikian UUJN merupakan satu-satunya undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, dan berdasarkan Pasal 92 UUJN, dinyatakan UUJN tersebut berlaku mulai tanggal 6 Oktober 2004.

(5)

Dengan kehadiran UUJN tersebut merupakan satu-satunya Undang-Undang yang mengatur Notaris Indonesia, yang berarti telah terjadi unifikasi hukum dalam bidang pengaturan notaris. Sehingga UUJN dapat disebut sebagai penutup (pengaturan) masa lalu dunia notaris Indonesia dan pembuka (pengaturan) dunia notaris Indonesia masa datang. Sekarang UUJN saja yang merupakan “rule of law” untuk dunia notaris Indonesia.23

2.1.2 Pengertian Notaris

Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberikan jaminan dan sebagai alat bukti yang kuat. Seorang ahli yang tidak memihak dan penyuluhan hukum yang tidak ada cacatnya (onreukbaar/unimpeachable), yang tutup mulut dalam membuat suatu perjanjian yang dapat melindungi di hari-hari mendatang. Hal ini berbeda dengan peran dari seorang advokat, dimana profesi advokat lebih menekankan pada pembelaan hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, sedangkan profesi Notaris harus berperan untuk mencegah sedini mungkin kesulitan yang terjadi dimasa akan datang.24

Dalam Bab I tentang ketentuan umum, Pasal 1 angka 1 UUJN menyebutkan:

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagai mana dimaksud dalam undang-undang ini.”

Walaupun menurut definisi tersebut ditegaskan bahwa Notaris itu adalah pejabat umum (openbare ambtenaar), ia bukan pegawai menurut undang-undang atau peraturan-peraturan kepegawaian negeri. Ia tidak menerima gaji, bukan

23

Habib adjie, “Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) sebagai Unifikasi Hukum Pengaturan Notaris,” Renvoi 28 (September 2005) , hlm.38.

(6)

bezoldigd staatsambt, tetapi menerima honorarium sebagai penghargaan atas jasa

yang telah diberikan kepada masyarakat.25

Notaris adalah pejabat umum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu:

“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.”

Pengertian tentang Notaris yang tercantum dalam UUJN tidak jauh berbeda dengan Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (Stbl. 1860: 3), yaitu:

“Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai suatu perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.”26

Pejabat umum adalah seseorang yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu karena ia ikut serta melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber pada kewibawaan dari pemerintah.27Dalam jabatannya tersimpul suatu sifat atau ciri khas yang membedakannya dan jabatan-jabatan lainnya dalam masyarakat.

Sebagai pejabat umum, Notaris diangkat oleh Negara dan bekerja untuk pelayanan kepentingan umum khususnya dalam bidang hukum perdata, walaupun Notaris bukan merupakan pegawai negeri yang menerima gaji dari Negara. Pelayanan kepentingan umum tersebut adalah dalam arti bidang pelayanan pembuatan akta dan tugas-tugas lain yang dibebankan kepada Notaris, yang

25Komar Andasasmita, Op Cit, hlm.45. 26 G.H.S. Lumban Tobing, Op. Cit., hlm 31. 27 Ibib, hlm. 31.

(7)

melekat pada predikat sebagai pejabat umum dalam ruang lingkup tugas dan kewenangan Notaris.

Pelayanan kepentingan umum merupakan hakekat tugas bidang pemerintahan yang didasarkan pada asas memberikan dan menjamin adanya rasa kepastian hukum bagi masyarakat. Dalam bidang tertentu, tugas itu oleh undang-undang diberikan dan dipercayakan kepada Notaris, oleh karenanya masyarakat juga harus percaya bahwa akta Notaris yang diterbitkan tersebut memberikan kepastian hukum baginya.

Seorang Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (Pasal 2 UUJN). Dalam Pasal 3 UUJN disebutkan bahwa syarat-syarat untuk diangkat menjadi Notaris adalah :

“a. warga Negara Indonesia;

b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d. sehat jasmani dan rohani;

e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai

karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan

g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat Negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.”

Notaris merupakan pejabat yang menjalankan sebagian kekuasaan negara di bidang hukum privat dan mempunyai peran penting dalam pembuatan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Oleh karena jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan dengan peran yang sangat penting, maka seorang Notaris dalam pelaksanaan jabatannya selain harus mendapatkan pengawasan juga perlu mendapatkan kepastian hukum.

(8)

Kepastian hukum dimaksud agar Notaris dalam melaksanakan jabatannya senantiasa mendapatkan keadilan. Di samping itu, agar Notaris mendapatkan perlindungan hukum dari peraturan perundang-undangan.

2.1.3 Tugas dan Wewenang Notaris

Pasal 1 Angka 1 UUJN selain menguraikan pengertian mengenai Notaris, juga menyebutkan kewenangan Notaris, yaitu sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UUJN, antara lain sebagai berikut:

”1. Membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

2. Notaris berwenang pula:

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar

dalam buku khusus;

c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan

akta;

(9)

3. Selain kewenangan sebagaimana di maksud pada Ayat (1) dan Ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan ini.”

Kewenangan lain sebagaimana yang disebutkan Pasal 15 ayat (3) adalah semua kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewenangan Notaris. Misalnya kewenangan membuat akta pendirian perseroan terbatas yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, atau seperti tercantum dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan mengenai kewenangan untuk membuat akta pendirian yayasan.

Pasal 1 angka 7 UUJN menguraikan definisi dari akta Notaris sebagai akta otentik yang dibuat oleh/di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN. Pengertian tersebut membawa konsekuensi bagi setiap Notaris dalam pembuatan akta agar memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam UUJN. Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata, suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Pengertian tersebut sekaligus merupakan syarat-syarat suatu akta dapat disebut sebagai akta yang otentik.

Merujuk kepada pengertian Notaris dalam Pasal 1 angka 7 UUJN dan syarat suatu akta otentik berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata, maka ketentuan-ketentuan dalam UUJN harus dilaksanakan oleh Notaris. Pengertian pembuatan akta “di hadapan” Notaris menunjukkan akta tersebut dibuat atas permintaan seseorang sedangkan akta yang dibuat “oleh” Notaris karena adanya suatu kejadian, pemeriksaan, keputusan, dan sebagainya (berita acara rapat, protes, wesel).28 Syarat lainnya adalah menyangkut kewenangan Notaris untuk maksud dan di tempat akta tersebut dibuat. Berwenang (bevoegd), artinya menyangkut

(10)

jabatan dan jenis akta yang dibuatnya, hari dan tanggal pembuatan akta, dan tempat akta dibuat.29

UUJN telah memberikan perluasan kewenangan kepada Notaris sebagai pejabat umum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (2) huruf f UUJN. Kewenangan tersebut adalah kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.

Kewenangan tersebut, walaupun masih terjadi perdebatan harus dilaksanakan secara konsekuen sebagaimana ditegaskan oleh UUJN. Menurut Hamid Awaludin yang pernah menjabat sebagai Menkumham, semua instansi pemerintah dan institusi lainnya yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tunduk dan patuh kepada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk harus tunduk dan patuh kepada semua materi UUJN.30

Kewenangan baru lainnya bagi Notaris adalah membuat akta risalah lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (2) huruf g UUJN, yang sebelum UUJN merupakan kewenangan juru lelang pada Badan Urusan Utang Piutang Dan Lelang Negara (BPUPLN) berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960. Pemberian kewenangan membuat akta risalah lelang kepada Notaris membawa konsekuensi harus disertai dengan penambahan kemampuan dalam melaksanakan tugas tersebut.

Berkaitan dengan kewenangan Notaris ada tiga hal pokok yang penting dalam pelaksanaan UUJN, yaitu mengenai kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang menjadi landasan filosofis dibentuknya UUJN. Kebutuhan akan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum dewasa ini makin meningkat sejalan dengan tuntutan perkembangan hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional maupun global.

29Ibid, hlm. 155. 30

Hamid Awaludin, ”Semua Institusi Pemerintah Harus Tunduk Pada Pasal 15.2.f.”, Kongres XIX I.N.I., Renvoi Nomor 9.33.III (Februari 2006), hlm. 7.

(11)

2.1.4 Kewajiban dan Larangan Notaris

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya selain diberikan wewenang, diharuskan juga taat kepada kewajiban yang diatur oleh UUJN dan Kode Etik Notaris serta diwajibkan untuk menghindari larangan-larangan dalam menjalankan jabatannya tersebut.

Sebagai Jabatan dan Profesi yang terhormat Notaris mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan baik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai Notaris, yaitu UUJN maupun peraturan perundang-undangan lainnya, misalnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Notaris diangkat oleh penguasa untuk kepentingan publik. Wewenang dari Notaris diberikan oleh undang-undang untuk kepentingan publik bukan untuk kepentingan diri Notaris sendiri. Oleh karena itu kewajiban-kewajiban Notaris adalah kewajiban jabatan (ambtsplicht).

Menurut UUJN, dalam menjalankan jabatannya Notaris mempunyai kewajiban yang diatur dalam Pasal 16, yaitu :

“a. bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris;

c. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;

d. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

e. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

f. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi

(12)

lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;

g. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;

h. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;

i. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;

j. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;

k. mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

l. membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;

m. menerima magang calon Notaris.”

Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali. Pengecualian terhadap kewajiban pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada huruf l tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, maka berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (8) UUJN, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

(13)

Kewajiban-kewajiban Notaris disertai pula dengan larangan-larangan bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 17 UUJN sebagai berikut:

”a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;

b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;

c. merangkap sebagai pegawai negeri;

d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. merangkap jabatan sebagai advokat;

f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Swasta; g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar

wilayah jabatan Notaris;

h. menjadi Notaris pengganti; atau

i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.”

Larangan-larangan tersebut dimaksudkan untuk menjamin kepentingan masyarakat yang memerlukan jasa Notaris. Selanjutnya, larangan dalam ketentuan Pasal 17 huruf a UUJN dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar Notaris dalam menjalankan jabatannya. Salah satu upaya dalam mencegah persaingan tersebut, Notaris hendaknya memperhatikan ketentuan mengenai honorarium yang merupakan hak Notaris atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya (Pasal 36 UUJN) dengan tidak memungut biaya yang terlampau murah dibanding rekan-rekan Notaris lainnya, namun dengan tetap melaksanakan kewajiban dalam memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 37 UUJN.

(14)

Berkaitan dengan kedudukan dan wilayah jabatan Notaris, Pasal 18 UUJN menyatakan bahwa Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota, dan mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya. Selanjutnya Pasal 19 Ayat (1) UUJN menyatakan, bahwa Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat kedudukannya. Notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan diluar tempat kedudukannya. (Pasal 19 Ayat (2) UUJN. Dengan hanya mempunyai satu kantor, Notaris dilarang mempunyai kantor cabang, perwakilan, dan/atau bentuk lainnya, sehingga akta Notaris sedapat-dapatnya dilangsungkan di kantor Notaris kecuali perbuatan akta-akta tertentu, misalnya Akta Risalah Rapat.

Selain sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 17 UUJN, mengenai larangan bagi Notaris juga diatur dalam Pasal 18 Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 Tentang Kenotarisan (selanjutnya disebut Kepmenkeh Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003), Notaris dilarang :

“a. membuka kantor cabang atau mempunyai kantor lebih dari satu;

b. melakukan tindakan atau perbuatan yang dapat merendahkan martabat jabatan Notaris;

c. meninggalkan daerah kerja lebih dari tiga hari, kecuali ada izin dari Pejabat yang berwenang atau dalam keadaan cuti.

d. mengadakan promosi yang menyangkut jabatan Notaris melalui media cetak maupun media elektronik;

e. membacakan dan menandatangani akta di luar wilayah kerja Notaris yang bersangkutan:

f. menyimpan protokol setelah Notaris yang bersangkutan diberhentikan oleh Menteri;

g. merangkap jabatan sebagai ketua atau anggota lembaga tinggi negara tanpa mengambil cuti jabatan.

h. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, pegawai swasta;

i. merangkap jabatan sebagai pejabat pembuat akta tanah di luar wilayah kerja Notaris.

(15)

j. menolak calon Notaris magang di kantornya.”

Berdasarkan ketentuan peralihan Pasal 86 UUJN, pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan jabatan Notaris tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini. Kepmenkeh Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 merupakan salah satu peraturan pelaksanaan yang dimaksud, salah satu yang sudah diganti adalah mengenai larangan meninggalkan daerah kerja lebih dari tiga hari, sekarang berdasarkan Pasal 17 UUJN, adalah 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah meninggalkan wilayah jabatan.

2.2 Tinjauan Umum tentang Akta Otentik 2.2.1 Pengertian Akta Otentik

Mengenai akta otentik diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat”.

Dari pengertian tersebut dapat dilihat beberapa unsur suatu akta otentik yaitu yaitu:

1. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; 2. Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;

3. Akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya di tempat dimana akta itu dibuat, jadi akta itu harus dibuat di wilayah kewenangan pejabat yang membuatnya

Dari penjelasan pasal tersebut di atas, akta otentik dibuat oleh dan atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum atau pejabat publik. Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka:

1. Akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik

(16)

2. Namun akta yang demikian mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, dengan syarat apabila akta itu ditanda tangani oleh para pihak

Berdasarkan uraian tersebut, maka jelas bahwa untuk membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai “pejabat umum”. Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik ialah Notaris, Hakim, Juru Sita pada suatu pengadilan, pejabat Kantor Catatan Sipil, dan sebagainya. Oleh karena itu, suatu akta Notaris, berita acara penyitaan dan pelelangan barang-barang tergugat yang dibuat oleh Juru Sita, surat putusan Hakim, surat perkawinan yang yang dibuat oleh Kantor Catatan Sipil merupakan akta-akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang.31

Keistimewaan suatu akta otentik adalah merupakan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya. Artinya apabila seseorang mengajukan akta otentik kepada hakim sebagai bukti, hakim harus menerima dan menganggap apa yang tertulis di dalam akta, merupakan peristiwa yang sungguh-sungguh telah terjadi dan hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian.32 Jadi apabila terjadi sengketa antara para pihak yang terikat dalam sebuah perjanjian yang dibuat dalam bentuk akta otentik, maka yang tersebut dalam akta tersebut merupakan bukti yang sempurna dan tidak perlu dibuktikan dengan alat bukti lain, sepanjang pihak lain tidak membuktikan sebaliknya.

Akta di bawah tangan masih dapat disangkal. Akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna apabila diakui oleh kedua belah pihak atau dikuatkan lagi dengan alat bukti lain.

Baik akta otentik maupun akta di bawah tangan keduanya merupakan alat bukti tertulis. Perbedaan akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah:33

1. Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti, sedang mengenai tanggal dari akta yang dibuat di bawah tangan tidak selalu demikian;

31

I.G.Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, cet.2, Kesaint Blanc, Jakarta, 2007, hlm. 14.

32Ibid., hlm.13. 33Ibid., hlm.17.

(17)

2. Akta otentik dibuat dalam bentuk sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-undang, sedangkan akta di bawah tangan tidak terikat bentuk formal melainkan bebas;

3. Akta otentik harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang, sedangkan akta di bawah tangan dapat dibuat bebas oleh setiap subjek hukum yang berkepentingan;

4. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, terutama mengenai waktu, tanggal pembuatan, isi perjanjian, penandatanganan, tempat pembuatan dan dasar hukumnya sedangkan akta di bawah tangan baru memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna seperti halnya akta otentik apabila diakui/tidak disangkal oleh para pihak yang menandatangani akta tersebut;

5. Grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan hakim, sedang akta yang dibuat dibawah tangan tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial.

6. Kemungkinan akan hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan lebih besar dibandingkan dengan akta otentik

2.2.2 Pembuktian Akta Otentik

Kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik adalah sempurna dan mengikat yang merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan yang terdapat padanya. Apabila salah satu kekuatan itu cacat maka mengakibatkan akta otentik tidak mempunyai kekuatan sempurna dan mengikat lagi. Oleh karena itu haruslah terpenuhi kekuatan pembuktian yang tersebut di bawah, yaitu :

1. Kekuatan lahiriah

Suatu akta otentik yang ada dan diperlihatkan haruslah dianggap sebagai akta otentik kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya pada akta terdapat kekuatan bukti lahiriah. Dan sebaliknya apabila dapat dibuktikan kepalsuannya, maka hilanglah kekuatan bukti lahiriah sehingga tidak dapat dinilai sebagai akta otentik. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal

(18)

keotentikan akta. Menyangkut dengan akta notaris, maka nilai pembuktian akta tersebut dari aspek lahiriah, harus dilihat apa adanya dan secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti lainnya.

Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta notaris sebagai akta otentik, bukan akta otentik, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan kepada syarat-syarat akta notaris sebagai akta otentik. Pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi objek gugatan bukan akta notaris.

2. Kekuatan pembuktian Formil

Kekuatan pembuktian formil pada akta otentik dijelaskan pada pasal 1871 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menerangkan bahwa segala keterangan yang tertuang di dalam akta otentik adalah benar diberikan dan disampaikan penandatangan kepada pejabat yang membuatnya. Oleh karena itu segala keterangan yang menjadi isi akta otentik yang diberikan penandatangan kepada pejabat adalah dianggap benar bahwa keterangan itu adalah keterangan yang dituturkan dan juga dikehendaki pihak penghadap.

Menyangkut terhadap akta notaris, maka akta notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta dalam akta adalah betul dilakukan oleh notaris dan/atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam pembuatan akta notaris. Kebenaran secara formal dalam akta notaris meliputi kebenaran dan kepastian tentang hari,tanggal,bulan,tahun dan jam menghadap, para pihak yang menghadap, tanda tangan penghadap, saksi dan notaris serta keterangan atau pernyataan para penghadap juga apa yang disaksikan, dilihat dan didengar oleh notaris pada saat pembuatan akta. Apabila aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas akta, sehingga bagi pihak yang mempermasalahkan akta, harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta notaris.

(19)

3. Kekuatan pembuktian materiil

Kekuatan pembuktian materiil pada akta otentik merupakan kapastian tentang materi akta artinta bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang dituangkan atau dimuat dalam akta pejabat atau keterangan yang disampaikan oleh para pihak kepada notaris harus dinilai ]benar yang mana artinya bahwa haruslah pihak yang menerangkan dianggap benar sehingga yang termuat dalam akta juga berlaku sebagai yang benar. Jika ternyata bahwa apa yang dikatakan pihak adalah tidak benar, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab sendiri pihak tersebut, notaris terlepas dari hal ini. Oleh karena itu, akta notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah bagi para pihak.

Ketiga aspek tersebut adalah merupakan kesempurnaan akta notaris sebagai akta otentik. Jika dapat dibuktikan sebaliknya bahwa ada salah satu aspek yang tidak benar, melalui persidangan pengadilan, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

Apabila akta otentik dalam hal ini akta notaris telah memenuhi syarat formal dan materiil, menyangkut dengan pembutian yang melekat, maka pada akta langsung mencukupi batas minimal pembuktian tanpa bantuan alat bukti lain, langsung sah menjadi akta otentik, pada akta langsung melekat nilai kekuatan pembuktian sempurna (volledig) dan mengikat (bindende). Kualitas kekuatan pembuktian aktanya tidak bersifat memaksa atau menentukan dan terhadapnya dapat diajukan bukti lawan.

2.2.3 Akta Notaris sebagai akta otentik dan alat bukti tertulis

Alat bukti yang sah atau diterima dalam suatu perkara (perdata), pada dasarnya terdiri dari ucapan dalam bentuk keterangan saksi-saksi, pengakuan,

(20)

sumpah dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang mempunyai nilai pembuktian.34

Dalam Hukum (Acara) Perdata, alat bukti yang sah atau yang diakui oleh hukum, terdiri dari:

1. Bukti tulisan

2. Bukti dengan saksi-saksi 3. Persangkaan-persangkaan 4. Pengakuan

5. Sumpah

Kewenangan dan tugas utama seorang Notaris selaku Pejabat Umum adalah membuat akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut.35

Menurut pasal 1 ayat 7 Undang-undang Jabatan Notaris, akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tatacara yang ditetapkan dalam undang-undang. Dalam hal ini ada dua golongan akta notaris yaitu Akta yang dibuat oleh notaris, biasa juga disebut Akta Relaas atau berita acara dan Akta yang dibuat di hadapan notaris, biasa disebut akta pihak atau akta Partaj.

2.2.4 Bentuk dan Jenis Akta Notaris

Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris bentuknya sudah ditentukan dalam Pasal 38 UUJN, yang terdiri dari:

(1) Setiap akta Notaris terdiri atas: a. Awal akta atau kepala akta; b. Badan akta; dan;

c. Akhir atau penutup akta.

(2) Awal akta atau kepala akta memuat;

34

Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, CV.Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm 32.

(21)

a. Judul akta; b. Nomor akta;

c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. (3) Badan akta memuat:

a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan , jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;

b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak menghadap;

c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari para pihak yang berkepentingan; dan

d. Nama lengkap, tempat tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

(4) Akhir atau penutup akta memuat:

a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana diamaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l atau Pasal 16 ayat (7);

b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatangan atau penerjemahan akta bila ada;

c. Nama lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, pekerjan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan

d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.

Akta notaris terdiri dari 2 (dua ) jenis yaitu:36

a. Akta Pejabat (ambtelijke acte) atau akta verbal (verbaal acte), yaitu apabila akta Notaris itu hanya memuat apa yang dialami dan disaksikan oleh Notaris sebagai pejabat umum, contohnya: Berita Acara yang dibuat oleh Notaris dari suatu rapat pemegang saham dari Perseroan Terbatas. 36G.H.S. Lumban Tobing, op.cit., hlm.51.

(22)

b. Akta Partai atau akta pihak-pihak (partij acte), yaitu apabila akta tersebut selain memuat catatan tentang apa yang dialami dan disaksikan oleh Notaris, memuat juga apa yang diperjanjikan atau ditentukan oleh pihak-pihak yang menghadap para Notaris, contohnya: perjanjian sewa menyewa, perjanjian jual-beli dan sebagainya.

Perbedaan pengertian dari Akta Pejabat atau akta verbal (ambtelijke acte) dengan Akta Partai (partij acte) adalah Akta Pejabat yaitu akta otentik yang dibuat oleh pejabat, sedangkan Akta Partai adalah akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat.

Perbedaan sifat dari 2 (dua) jenis akta tersebut adalah Akta Pejabat atau akta verbal (ambtelijke acte) masih merupakan alat bukti yang sah sebagai suatu alat pembuktian apabila ada satu atau lebih diantara penghadapnya tidak menandatangani, tetapi oleh Notaris disebutkan alasan mereka tidak menandatangani akta tersebut. Sedangkan dalam Akta Partai (partij acte), hal tersebut akan menimbulkan akibat yang lain. Sebab apabila salah satu pihak tidak menandatangani aktanya, maka dapat diartikan bahwa pihak tersebut tidak menyetujui atau mengakui apa yang tertuang alam akta tersebut, kecuali didasarkan atas alasan yang kuat, terutama dalam bidang fisik dan dia menggunakan cara yang lain untuk menunjukkan persetujuannya, misalnya pihak tersebut tidak dapat menulis atau tangannya patah sehingga tidak dapat menulis sehingga menggunakan cap jempol sebagai tanda persetujuannya, dan alasan tersebut oleh Notaris harus dicantumkan dalam aktanya dengan jelas.

Dalam hubungannya dengan apa yang diuraikan di atas, maka yang pasti secara otentik pada akta partij terhadap pihak lain, adalah:37

1. Tanggal dari akta itu;

2. Tandatangan–tandatangan yang ada dalam akta itu; 3. Identitas dari orang-orang yang hadir (comparanten)

4. Bahwa apa yang tercantum dalam akta itu dalah sesuai dengan apa yang diterangkan oleh para penghadap kepada Notaris untuk dicantumkan dalam

(23)

akta itu, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya pasti antara pihak-pihak yang bersangkutan sendiri.

Yang dimaksud dengan pihak adalah mereka yang berkeinginan dan bisa atau mungkin berkeinginan agar akta itu menjadi alat bukti dari keterangan lisan mereka dalam bentuk tulisan mengenai segala tindakan mereka, baik oleh yang berkepentingan langsung sendiri ataupun oleh orang lain selaku wakil/kuasa dari pihak tersebut.

Untuk membuat akta partai (partij acte) pejabat tidak pernah memulai inisiatif, sedangkan dalam membuat akta pejabat (ambtelijke acte) justru pejabatlah yang bersifat aktif, yaitu dengan inisiatif sendiri membuat akta tersebut. Oleh karena itu akta pejabat tidak seperti akta partai yang berisikan keterangan para pihak sendiri yang dituangkan oleh pejabat kedalam akta.

HIR dan RBG serta KUH Perdata hanya mengatur kekuatan pembuktian akta otentik yang berbentuk akta partai yaitu akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat umum atau permintaan para pihak yang berkepentingan.

Berdasarkan Pasal 165 HIR/285 RBG/1870 KUH Perdata, para ahli menyimpulkan bahwa akta otentik merupakan alat bukti yang mengikat dan sempurna. Mengikat dalam arti bahwa apa yang dicantumkan dalam akta tersebut harus dipercaya oleh hakim atau harus dianggap sesuatu yang benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Sempurna dalam arti bahwa dengan akta otentik tersebut sudah cukup untuk membuktikan sesuatu peristiwa atau hak tanpa perlu penambahan pembuktian dengan alat-alat bukti lain.”

Kekuatan pembuktian yang sempurna dari akta partai (acte partij) hanya berlaku antara kedua belah pihak dan ahli warisnya serta orang-orang yang mendapatkan hak dari padanya, sebagaimana diterangkan dalam Pasal 165 HIR, 285 RBg, dan Pasal 1870 KUH Perdata. Sedangkan terhadap orang lain (pihak ketiga), akta tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, melainkan hanya sebagai alat pembuktian bebas artinya penilaiannya diserahkan kepada hakim.

Berbeda dengan akta otentik yang dibuat oleh pejabat (ambtelijke acte), akta ini mempunyai kekuatan sebagai keterangan resmi dari pejabat yang

(24)

bersangkutan mengenai keterangan tentang apa yang dialami. Akta otentik ini berlaku terhadap setiap orang.

2.2.5 Syarat Sahnya Akta Notaris

Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka yang membuatnya. Oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 KUH Perdata mengatur tentang syarat sahnya perjanjian yang terdiri dari:

1. Syarat subyektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (Pasal 1321-1328 KUH Perdata). Dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antara para pihak.

Unsur-unsur dari kesepakatan diantara para pihak, yaitu: a) tidak ada paksaaan;

b) tidak ada kekhilafan; c) tidak ada penipuan.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (Pasal 1329-1331 KUHPerdata). Unsur-unsurnya:

a) bukan orang yang belum dewasa; b) bukan orang di bawah pengampuan;

c) seorang isteri menurut ketentuan KUHPerdata;

d) semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian.

2. Syarat obyektif yaitu syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan objek yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak, yang terdiri dari:

a. Suatu hal tertentu (Pasal 1332-1334 KUHPerdata). Unsur-unsurnya: a) barang-barang yang bernilai ekonomis;

(25)

b) barang-barang yang dapat diperdagangkan; c) macam dan jenisnya tertentu.

b. Suatu sebab yang halal (Pasal 1335-1337 KUHPerdata). Unsur-unsurnya:

a) sesuatu yang tidak dilarang oleh Undang-undang; b) sesuatu yang tidak bertentangan dengan kesusilaan; c) sesuatu yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

2.2.6 Akta Notaris yang Dapat Dibatalkan dan Batal Demi Hukum

Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut diwujudkan dalam akta Notaris. Syarat Subjektif dicantumkan dalam awal akta, dan syarat objektif objektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUH Perdata mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya.38

Maka apabila dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka atas permintaan orang tertentu akta tersebut dapat dibatalkan. Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat objektif, maka akta tersebut dinyatakan batal demi hukum.39

Akta Notaris dapat dibatalkan apabila akta tersebut tidak memenuhi unsur subjektif akta, yaitu:

1. Tidak memenuhi unsur kesepakatan mereka yang mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Pasal 1321 KUH Perdata menyebutkan bahwa: “Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”

Berdasarkan Pasal 1321 KUH Perdata tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dapat menyebabkan suatu perjanjian “cacat” dari unsur subjektifnya adalah:

(26)

a. Kekhilafan40

Kekhilafan atau kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak khilah tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya. Kekhilafan mengenai barang, terjadi misalnya seseorang membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah, tetapi kemudian ternyata hanya turunan saja. Kekhilafan mengenai orang, terjadi misalnya jika seorang Direktur opera mengadakan suatu kontrak dengan orang yang dikiranya eorang penyanyi yang terkenal, padahal itu bukan orang yang dimaksudkan, hanyalah namanya saja yang sama.

b. Paksaan41

Paksaan yang dimaksudkan disini adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (physics), jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya, salah satu pihak, karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Jadi salah satu pihak dalam perjanjian memberikan persetujuannya karena ia takut terhadap suatu ancaman, misalnya akan dianiaya atau akan dibuka suatu rahasia kalau ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancamkan itu suatu tindakan yang terlarang. Kalau yang diancamkan itu suatu tindakan yang memang diizinkan oleh Undang-undang, misalnya ancaman akan digugat di depan hakim, maka tidak akan dapat dikatakan hal tersebut merupakan suatu paksaan.

c. Penipuan42

40

Subekti, Hukum Perjanjian, cet.21, PT. Intermasa, Jakarta, 2005, hlm. 23.

41Ibid. hlm. 25. 42Ibid. hlm. 24.

(27)

Penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan persetujuannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu mereknya, dipalsukan nomor mesinnya dan lain sebagainya. Menurut Yurisprudensi, tak cukuplah kalau orang itu melakukan kebohongan mengenai sesuatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu rangkaian kebohongan atau suatu perbuatan yang dinamakan tipu muslihat, seperti yang dilakukan oleh si penjual mobil diatas.

2. Tidak memenuhi unsur kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Pasal 1330 KUH Perdata, menyebutkan bahwa:

“Tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah: a. Orang-orang belum dewasa;

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu”. Pasal 330 KUH Perdata menentukan sebagai berikut:

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (duapuluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin”.

Menurut Pasal 433 KUH Perdata, orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu sakit otak atau mata gelap dan boros. Dalam hal ini pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggungjawabnyadan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seseorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah pengampuan itu mengadakan perjanjian,

(28)

maka yang mewakilinya masing-masing adalah orang tua dan pengampuannya.

KUH Perdata juga memandang bahwa seorang wanita yang telah bersuami, tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Namun sejak tahun 1963 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, kedudukan wanita yang telah bersuami diangkat ke derajat yang sama dengan pria, untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan, ia tidak memerlukan bantuan lagi dari suaminya.43

Pasal 1331 KUH Perdata menyebutkan:

“Karena itu orang-orang yang di dalam pasal yang lalu (pasal 1330) dinyatakan tak cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang mereka telah perbuat, dalam hal–hal di mana kekuasaan itu tidak dikecualikan oleh undang-undang.

Orang-orang yang cakap untuk mengikatkan diri tidak sekali-kali diperkenankan mengemukakan ketidakcakapan orang-orang yang belum dewasa, orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan dan perempuan-perempuan yang bersuami dengan siapa mereka telah membuat persetujuan”.

Akta Notaris dinyatakan batal demi hukum apabila akta tersebut tidak memenuhi unsur objektif akta, yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Dalam hal yang demikian, secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di depan hakim, karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini

43Mariam Darus Badrulzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,

(29)

diwajibkan karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.

Selain karena melanggar syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dalam Pasal 84 UUJN juga ditentukan ada 2 jenis sanksi perdata jika Notaris melakukan tindakan pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu dan juga sanksi yang sama jenisnya tersebar dalam pasal-pasal yang lainnya, yaitu:44

1. Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.

2. Akta Notaris menjadi batal demi hukum

Akibat dari akta Notaris yang seperti itu, maka ini dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

Pasal 1869 KUH Perdata menentukan batasan akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan karena:45

1. Tidak bewenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau 2. Tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau 3. Cacat dalam bentuknya

Ketentuan-ketentuan tersebut dicantumkan secara tegas dalam pasal-pasal tertentu dalam UUJN yang menyebutkan jika dilanggar oleh Notaris, sehingga akta Notaris tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, yaitu:46

1. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN, yaitu tidak membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris.

44Habib Adjie, Sanksi Perdata..., op.cit., hlm 99. 45

Ibid., hlm. 100.

(30)

2. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (7) dan ayat (8) UUJN, yaitu jika Notaris pada akhir akta tidak mencantumkan kalimat bahwa para penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isi akta.

3. Melanggar ketentuan Pasal 41 UUJN dengan menunjuk kepada Pasal 39 UUJN dan Pasal 40 UUJN, yaitu tidak dipenuhi ketentuan-ketentuan: a. Pasal 39 UUJN bahwa:

1) Penghadap paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum.

2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan melawan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.

b. Pasal 40 menjelaskan bahwa setiap akta dibacakan oleh Notaris dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti bahasa yang digunakan dalam akta dan dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf serta tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa derajat pembatasan derajat dan garis kesamping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.

c. Melanggar ketentuan Pasal 52 UUJN, yaitu membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, atau dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.

(31)

Akta Notaris dinyatakan batal demi hukum selain karena melanggar unsur objektif syarat sahnya suatu perjanjian juga karena melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam UUJN, yaitu:47

1. Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i UUJN, yaitu tidak membuat daftar akta wasiat dan mengirimkan ke daftar pusat wasiat dalam waktu lima hari pada Minggu pertama setiap bulan (termasuk memberitahukan bilamana nihil).

2. Melanggar kewajiban sebagaimana termasuk dalam Pasal 16 ayat (1) huruf k UUJN, yaitu tidak mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesian dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukannya.

3. Melanggar ketentuan Pasal 44 UUJN, yaitu pada akhir akta tidak disebutkan atau dinyatakan dengan tegas mengenai penyebutan akta telah dibacakan untuk akta yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa lainnya yang digunakan dalam akta, memakai penerjemah resmi, penjelasan, penandatanganan akta di hadapan penghadap, notaris dan penerjemah resmi.

4. Melanggar ketentuan Pasal 48 UUJN, yaitu tidak memberikan paraf atau tidak memberikan tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan notaris atas pengubahan atau penambahan berupa tulisan tindih, penyisipan, pencoretan atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain dengan cara penambahan, penggantian, atau pencoretan.

5. Melanggar ketentuan Pasal 49 UUJN, yaitu tidak menyebutkan atas perubahan akta yang tidak dibuat di sisi kiri akta, tetapi untuk perubahan yang dibuat pada akhir akta sebelum penutup akta dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan. Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal.

(32)

6. Melanggar ketentuan Pasal 50 UUJN, yaitu tidak melakukan pencoretan, pemarafan, dan atas perubahan berupa pencoretan kata, huruf, atau angka. Hal tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula dan jumlah kata, huruf atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi akta, juga tidak menyatakan pada akhir akta mengenai jumlah perubahan, pencoretan, dan penambahan.

7. Melanggar ketentuan Pasal 51 UUJN, yaitu tidak membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah ditandatangani, juga tidak membuat berita acara tentang pembetulan tersebut dan tidak menyampaikan berita acara pembetulan tersebut kepada pihak yang tersebut dalam akta.

2.3 Pengawasan terhadap Notaris oleh Majelis Pengawas Daerah

Jabatan identik dengan wewenang dan kekuasaan, dan Notaris merupakan pejabat umum yang wewenangnya diatur dengan Undang-undang. Pelaksanaan wewenang dalam pelaksanaan tugas jabatan tersebut sudah tentu perlu diawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang (abuse of power).

Tujuan dari pengawasan terhadap Notaris ialah agar para Notaris sebanyak mungkin memenuhi persyaratan-persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris, yang ditetapkan undang-undang demi pengamanan dari kepentingan masyarakat umum. Notaris diangkat bukan untuk kepentingan sendiri, akan tetapi untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya. Untuk itu oleh undang-undang diberikan kepercayaan yang begitu besar dan secara umum dapat dikatakan bahwa setiap pemberian kepercayaan terhadap seseorang meletakkan tanggungjawab di atas bahunya, baik berdasarkan hukum maupun berdasarkan moral.48 Pengawasan Notaris dimaksud diharapkan oleh pembentuk UUJN sebagai lembaga pembinaan agar para Notaris dalam menjalankan jabatannya dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

(33)

Mekanisme pengawasan terhadap Notaris saat ini dilakukan dengan 2 cara yaitu :

1) Pengawasan Internal

Pengawasan Internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh Organisasi Notaris terhadap Notaris yang dilakukan secara berjenjang mengenai pelaksanaan kode etik yang berlaku terhadap notaris. Pengawasan Internal tersebut diatur dalam pasal 7 Kode Etik Notaris.

Pengawasan Pasal 7

Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik itu dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a) Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Daerah;

b) Pada tingkat banding oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Wilayah;

c) Pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Pusat.

Selanjutnya, jika Notaris diduga melakukan pelanggaran kode etik maka terhadap notaris tersebut dilakukan pemeriksaan dan jika terbukti dalam pemeriksaan bahwa notaris yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap kode etik, maka terhadap Notaris tersebut akan dijatuhkan sanksi. Kewenangan memeriksa dan menjatuhkan sanksi terhadap notaris yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik berada di tangan Dewan Kehormatan. Hal ini tersebut diatur dalam pasal 8 Kode etik Notaris. Selanjutnya dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 Kode Etik Notaris diatur mekanisme pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi kepada Notaris oleh Dewan Kehormatan yang dilakukan secara berjenjang, yaitu pada tingkat pertama oleh Majelis Kehormatan Daerah (Pasal 9), Pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada tingkat banding oleh Dewan Kehormatan Wilayah (Pasal 10), dan pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada tingkat terakhir oleh Dewan Kehormatan Pusat (pasal 11).

(34)

Sanksi terhadap pelanggaran kode etik yang dapat dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan kepada Notaris diatur dalam Pasal 13 Kode Etik Notaris. Bentuk sanksi tersebut bisa berupa pemecatan sementara sebagai anggota perkumpulan Notaris (INI) atau bahkan pemecatan permanen sebagai anggota INI.

2) Pengawasan Eksternal

Pengawasan baik preventif dan represif diperlukan bagi pelaksanaan tugas Notaris sebagai pejabat umum. Sebelum berlakunya UUJN, kewenangan pengawasan dan pembinaan atas Notaris dilakukan oleh Pengadilan Negeri. Namun setelah Pengadilan Negeri diintegrasikan satu atap di bawah Mahkamaah Agung, maka kewenangan yang bersifat non-litigasi yang dilakukan oleh Pengadilan, dalam hal ini pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris beralih kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 67 ayat (1) dan ayat (2) UUJN, yang menyatakan bahwa Menteri berwenang melakukan pengawasan terhadap Notaris. yang dalam pelaksanaannya Menteri membentuk MPN. Ketentuan terhadap pengawasan Eksternal terhadap Notaris ini diatur dalam UUJN, khususnya dalam pasal 67 sampai dengan Pasal 81. Majelis Pengawas sebagaimana diatur dalam pasal 67 ayat (3) UUJN terdiri dari 9 orang, yang komposisinya berasal dari 3 unsur dengan jumlah yang sama, yaitu 3 orang dari unsur pemerintah, 3 orang mewakili organisasi notaris, dan 3 orang mewakili ahli (akademisi). Pengawasan terhadap Notaris melalui Majelis Pengawasan dilakukan secara berjenjang sebagaimana diatur dalam Pasal 68 UUJN. Di Tingkat daerah Kabupaten/kota dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD), kemudian dilanjutkan oleh Majelis Pengawas Wilayah (MPW) yang berada di tingkat Propinsi, dan terakhir berujung di Majelis Pengawas Pusat (MPP) yang berkedudukan di ibukota Negara di Jakarta.

Menurut UUJN, pengertian dari MPN adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan

(35)

pengawasan terhadap Notaris (Pasal 1 angka 6 UUJN juncto Pasal 1 angka 1 Permenkum Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004).

Pengawasan terhadap Notaris yang dilakukan oleh MPN menurut Pasal 1 angka 5 Permenkum Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis. Bersifat preventif mengandung makna suatu proses pembinaan, sedangkan bersifat kuratif mengandung makna melakukan penjatuhan sanksi terhadap Notaris dalam pelaksanaan jabatannya apabila terbukti melakukan pelanggaran terhadap UUJN dan Kode Etik Notaris. Pengawasan tersebut meliputi pengawasan terhadap perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan Notaris (Pasal 67 ayat 5 UUJN).

Setiap jenjang MPN (MPD, MPW, dan MPP), masing-masing mempunyai tugas dan kewenangan sendiri sesuai dengan ketentuan Pasal 71 sampai Pasal 77 UUJN, kemudian dalam Pasal 13 sampai Pasal 18 Permenkum Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 serta bab III Kepmenkum Nomor M.39-PW.07.10.Tahun 2004.

2.3.1 Kewenagan Majelis Pengawas Daerah

Pengaturan mengenai kewenangan Majelis Pengawas Daerah terdapat dalam UUJN, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004

Dalam UUJN kewenangan dan kewajiban Majelis Pengawas Daerah diatur dalam :

Pasal 70 UUJN yang menyebutkan bahwa MPD berwenang:

1. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris;

2. melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu; 3. memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;

(36)

4. menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan;

5. menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 ( dua puluh lima) tahun atau lebih;

6. menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang dianggap sebagai pejabat Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4);

7. menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini; dan

8. membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, angka 6, angka 7 kepada Majelis Pengawas Wilayah.”

Pasal 71 UUJN menyebutkan bahwa MPD berkewajiban:

“1. mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir;

2. membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Pusat; 3. merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;

4. menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari Notaris dan merahasiakannya;

5. memeriksa laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat dan Organisasi Notaris;

(37)

6. menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti.“

Pasal 66 UUJN juga mengatur kewenangan lain MPD, yaitu:

“(1) untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:

a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris; dan

b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.”

Kewenangan yang diatur dalam UUJN yang telah diuraikan di atas, diatur lebih lanjut tata kerjanya dalam Permenkum Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, yaitu sebagai berikut:

Pasal 13

“1. kewenangan MPD yang bersifat administratif dilaksanakan oleh ketua, wakil ketua, atau salah satu anggota, yang diberi wewenang berdasarkan keputusan rapat MPD.

2. kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi:

a. memberikan izin cuti untuk jangka waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;

b. menetapkan Notaris Pengganti;

c. menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terimaProtokolNotaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;

d. menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang;

(38)

e. memberi paraf dan menandatangani daftar akta, daftar surat di bawah tangan yang disahkan, daftar surat di bawah tangan yang dibukukan, dan daftar surat lain yang diwajibkan Undang-Undang; f. menerima peyampaian laporan secara tertulis salinan dari daftar

akta, daftar surat di bawah tangan yang disahkan, dan daftar surat di bawah tangan yang dibukukan yang telah disahkannya, yang dibuat pada bulan sebelumnya paling lambat 15 (lima belas) hari kalender pada bulan berikutnya, yang memuat sekurang-kurangnya nomor, tanggal, dan judul akta.”

Pasal 14

“Kewenangan MPD yang bersifat administratif yang memerlukan keputusan rapat adalah:

1. menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat Negara;

2. menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang Protokol Notaris yang meninggal dunia;

3. memberikan persetujuan atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk proses peradilan;

4. menyerahkan fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan

5. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.”

Wewenang MPD dalam Pasal 15 Permenkum Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, mengatur mengenai pemeriksaan yang dilakukan terhadap notaries, yaitu :

1. Majelis Pengawas Daerah sebelum melakukan pemeriksaan berkala atau pemeriksaan setiap waktu yang dianggap perlu, dengan terlebih

(39)

dahulu secara tertulis kepada notaris yang bersangkutan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja, sebelum pemeriksaan dilakukan:

2. Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan jam, hari, tanggal dan nama anggota Majelis Pengawas Daerah yang akan melakukan pemeriksaan;

3. pada waktu yang ditentukan untuk dilakukan pemeriksaan, Notarisnyang bersangkutan harus berada di kantornya dan menyiapkan protokol notaris

Wewenang MPD dalam Pasal 16 Permenkum Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, mengatur tentang pemeriksaan terhadap notaris yang dilakukan oleh sebuah tim pemeriksa, yaitu :

1. Pemeriksaan secara berkala dilakukan oleh tim pemeriksa yang terdiri dari 3 (tiga) orang anggota dari masing-masing unsur yang dibentuk Majelis Pengawas Daerah yang dibantu oleh 1 (satu) orang sekretaris: 2. Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menolak

untuk memeriksa notaris yang mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat, dan garis lurus ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan notaris;

3. Dalam hal tim pemeriksa mempunyai hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat ke 2(dua), Ketua Majelis Pengawas Daerah menunjuk penggantinya

Selanjutnya hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa sebagaimana tersebut di atas wajib dibuat Berita Acara dan dilaporkan kepada MPW, pengurus organisasi jabatan notaris dan MPP, hal tersebut berdasarkan Pasal 17 Permenkum Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, yaitu :

1. Hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 dituangkan dalam Berita Acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksa dan notaris yang diperiksa;

2. Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat dangan

(40)

tembusan kepada notaris yang bersangkutan, Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Majelis Pengawas Pusat

Tugas MPD menurut ketentuan Bab III Kepmenkum Nomor M.39-PW.07.10.Tahun 2004 adalah sebagai berikut:

“1) melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dan Pasal 71 UUJN, dan Pasal 13 angka 2, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 Permenkum Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004;

2) selain itu MPD juga berwenang untuk:

- menyampaikan kepada MPW tanggapan MPD berkenaan dengan keberatan atas putusan penolakan cuti;

- memberitahukan kepada MPW adanya dugaan unsur pidana yang ditemukan oleh MPD atas laporan yang disampaikan kepada MPD; - mencatat izin cuti yang diberikan dalam sertifikat cuti;

- menandatangani dan memberi paraf Buku Daftar Akta dari buku khusus yang dipergunakan untuk mengesahkan tanda tangan surat di bawah tangan dan untuk membukukan surat di bawah tangan; - menerima dan menata usahakan Berita Acara Penyerahan Protokol; - menyampaikan kepada MPW:

a. laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali atau pada bulan Juli dan Januari;

b. laporan insidentil setiap 15 (lima belas) hari setelah pemberian izin cuti Notaris.”

2.3.2 Kewengan Khusus Majelis Pengawas Daerah dalam Pasal 66 UUJN

Pasal 66 UUJN mengatur kewenangan MPD, yaitu:

“(1) untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:

c. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris; dan

(41)

d. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.”

Ketentuan Pasal 66 UUJN ini mutlak kewenangan MPD yang tidak dipunyai oleh MPW maupun MPP. Substansi Pasal 66 UUJN imperatif dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim. Dengan batasan sepanjang berkaitan dengan tugas jabatan notaris dan sesuai dengan kewenangan notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN. Ketentuan tersebut berlaku dalam perkara perdata dan juga pidana, karena tidak disebutkan secara spesifik, maka penulis mengartikan disini bisa dalam perkara pidana maupun perdata. Dalam kaitan tugasnya tersebut, MPD haruslah bersikap objektif ketika melakukan pemeriksaan atau meminta keterangan dari Notaris untuk memenuhi permintaan peradilan oleh penyidik, penuntut umum, dan/atau hakim, artinya MPD harus menempatkan akta sebagai objek pemeriksaan, bukanlah notarisnya.

Penerapan Pasal 66 UUJN merupakan koridor hukum dalam memberikan persetujuan untuk dilakukan tindakan pro justicia terhadap notaris dan untuk itu MPD dapat menggunakan dua tolak ukur:49

1. Persetujuan pemeriksaan terhadap Notaris sebagai saksi, dalam hal akta-akta Notaris merupakan alat bukti atau fakta-akta yang sangat relevan dengan peristiwa pidana yang diduga kuat terjadi;

2. Persetujuan pemeriksaan terhadap Notaris sebagai tersangka dan/atau terdakwa hanya dapat diberikan oleh MPD, sepanjang Notaris yang bersangkutan lebih dahulu telah terbukti melakukan kesalahan dalam pelaksanaan jabatannya atau profesionalitasnya berdasarkan keputusan Majelis Pengawas yang bersifat final dan mengikat.

Pada tahun 2007, kewenangan MPD dalam Pasal 66 UUN ini, ditindak lanjuti melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik 49Pieter E. Latumeten, Problematika Kenotariatan: Seputar Masalah Hukum penerapan Pasal 66

Referensi

Dokumen terkait

Jawaban yang disampaikan kepada peneliti merupakan suatu perwujudan dan intensitas dari investasi teknologi informasi sebagai sarana meningkatkan kinerja perusahaan

• Penyimpangan tumbuh kembang harus dideteksi (ditemukan) sejak dini, terutama sebelum berumur 3 tahun, supaya dapat segera di intervensi (diperbaiki).. • Bila deteksi

Perlakuan ini terdiri dari memanaskan baja sampai temperatur pengerasannya (Temperatur austenisasi) dan menahannya pada temperatur tersebut untuk jangka waktu tertentu dan

Pada analisis ragam menunjukkan bahwa pada parameter panjang tanaman dan jumlah daun tidak terdapat interaksi terhadap pemberian naungan dan dosis pupuk nitrogen

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu untuk mengevaluasi pengaruh kabin masinis terhadap beban kerja mental dan fisik yang dilihat dari kondisi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung kedelai sebagai sumber phytoestrogen pada kelinci menurunkan luas jaringan interstitial, spermatogenesis dan

Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan angket, analisis dilakukan pada 3 aspek, yaitu pengujian efektifitas menggunakan uji gain, uji efisiensi dan uji daya