BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Agresivitas
2.1.1 Pengertian Agresivitas
Sebuah definisi klasik diusulkan oleh Buss (dalam Krahe, 2005).
Mengungkapkan bahwa mengkarakterisasikan agresi sebagai ”sebuah respons
yang mengantarkan stimulus ’beracun’ kepada mahluk hidup lain”. Dalam arti
tertentu, ternyata definisi yang behavioristis ini dianggap terlalu luas, karena
mencakup banyak bentuk perilaku yang seharusnya tidak dapat digolongkan
sebagai agresi. Tetapi dalam arti lain, definisi ini terlalu sempit karena
mengesampingkan semua proses nonperilaku, seperti pikiran dan perasaan.
Perilaku agresif adalah perilaku atau kecenderungan perilaku yang niatnya untuk
menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis (Buss & Perry, 1992).
Chaplin (1981) menyebutkan bahwa aggression (agresi, penyerangan,
serangan) merupakan satu serangan atau serbuan, tindakan permusuhan yang
ditujukan pada seseorang atau benda. Freud (dalam Chaplin, 1981)
mengungkapkan agresi merupakan pernyataan kesadaran atau proyeksi dari naluri
kematian atau yang sering disebut Thanatos. Menurut Adler (dalam Chaplin,
1981) agresi merupakan perwujudan kemauan untuk berkuasa dan menguasai
orang lain. Chaplin (1981) juga mengungkapkan definisi yang lain tentang agresi,
yaitu suatu upaya dengan kekerasan atau pengejaran dengan berani suatu tujuan.
Sedangkan Murray (dalam Chaplin 1981) mengungkapkan definisi lain yaitu
meremehkan, merugikan, mengganggu, membahayakan, merusak, menjahati,
mengejek, mencemoohkan atau menuduh secara jahat, menghukum berat atau
melakukan tindakan sadistis lainnya.
Berkowits (dalam Krahe, 2005) mendefinisikan agresi dalam hubunganya
dengan pelanggaran norma atau perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial
berarti mengabaikan masalah bahwa evaluasi normatif mengenai perilaku yang
sering kali berbeda, bergantung pada perspektif pihak yang terlibat. Sebagai
contoh, sebagian orang menganggap hukuman fisik adalah cara pengasuhan anak
yang efektif dan dapat diterima, sementara yang lainnya berlawanan dengan
koersi, yang lebih luas dibandingkan dengan agresi, istilah kekerasan merupakan
salah satu substansi agresi yang menunjuk pada bentuk-bentuk agresi fisik
ekstrem. Kekerasan didefinisikan sebagai pemberian tekanan intensif terhadap
orang atau properti dengan tujuan merusak, menghukum atau mengontrol Geen
(dalam Krahe, 2005). Archer dan Browne (dalam Krahe, 2005) merumuskan
definisi kekerasan sebagai serangan fisik yang merusak yang bagaimanapun juga
tidak dibenarkan secara sosial.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa agresivitas adalah tingkah laku yang bertujuan untuk
menyakiti orang lain atau diri sendiri, baik secara fisik, verbal maupun secara
2.1.2 Perilaku dan Jenis Agresivitas
Menurut Breakwell (dalam Priliantini, 2008), agresi secara tipikal
didefinisikan oleh para psikolog sebagai setiap bentuk perilaku yang dimaksudkan
untuk menyakiti atau merugikan seseorang yang bertentangan dengan kemauan
orang itu.
Menurut Deaux (Priliantini, 2008), ada dua jenis perilaku agresi yaitu:
(1) Agresi secara fisik meliputi tingkah laku seperti memukul teman, menarik
baju teman dengan kasar, meninju teman, menyikut teman, melempar teman
dengan benda, berkelahi, merusak barang miliki, mengganggu teman,
mengancam teman dengan mengacungkan tinju, membuang barang milik
teman, mencakar teman, memaksa teman untuk memenuhi keinginannya,
melukai diri sendiri.
(2) Agresi secara verbal meliputi tingkah laku seperti mengejek teman, menghina
teman, mengeluarkan kata-kata kotor, bertengkar mulut, menakuti-nakuti
teman, memanggil teman dengan nada kasar, mengancam dengan kata-kata
mengkritik, menyalahkan dan menertawakan.
Millon dan Davis (dalam Priliantini, 2008) mengemukakan beberapa ranah
penyimpangan sikap antisosial dan agresif:
(1) Perilaku yang kelihatan: menunjukkan adanya ketahanan yang rendah
terhadap frustasi karena tidak terpenuhinya harapan-harapan.
(2) Hubungan antarpribadi: perilaku menghindar (avoidance), ekspresi tingkah
laku mengungkapkan kegelisahan, ketakutan yang menetap. Status gelisah:
dengan penuh minat dirinya menilain untuk menandakan ejekan, kritikan dan
penolakan.
2.1.3 Bentuk-bentuk Agresi
Manusia akan cenderung melakukan perilaku agresi bila ada faktor-faktor
eksternal ataupun internal yang membuat seseorang merasa terancam atau terusik
ketenangannya. Setiap kondisi dan situasi, individu akan mengekspresikan
perilaku agresifnya ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda.
Buss dan Perry (1992) berpendapat bahwa ada empat bentuk pola agresi
yang biasa dilakukan oleh individu, yaitu agresi fisik, verbal, kemarahan, dan
kebencian.
1) Agresi Fisik. Agresi yang dilakukan untuk melukai diri sendiri maupun orang
lain secara fisik, seperti memukul, menendang dan lain-lain.
2) Agresi verbal. Agresi yang dilakukan secara verbal kepada lawan, seperti
mengumpat, menyebarkan cerita yang tidak menyenangkan tentang seseorang
kepada orang lain, memaki, mengejek, membentak, dan berdebat.
3) Kemarahan. Agresi yang semata-mata dilakukan sebagai pelampiasan
keinginan untuk melukai, menyakiti atau agresi yang tanpa tujuan selain untuk
menimbulkan efek kerusakan, kesakitan atau kematian pada sasaran atau
korban. Reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang
merangsang termasuk ancaman agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan
lisan, kekecewaan atau frustasi dan dicirikan oleh reaksi kuat pada system
secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat
somatik atau jasmaniah maupun yang verbal atau lisan.
4) Permusuhan. Agresi yang dilakukan oleh organisme atau individu sebagai alat
atau cara untuk mencapai tujuan tertentu. Permusuhan cenderung untuk
menimbulkan kerugian, kejahatan, gangguan atau kerusakan pada orang lain,
kecenderungan melontarkan rasa kemarahan pada orang lain.
2.1.4 Faktor- Faktor Agresivitas
Menurut Sarlito (2009) faktor penyebab remaja berperilaku agresif
bermacam-macam sehingga dapat dikelompokkan menjadi beberapa faktor yaitu :
1. Faktor Sosial
Frustrasi adalah situasi yang menghambat individu dalam usaha
mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, dari frustasi maka akan
timbul perasaan-perasaan agresif. Tetapi agresi tidak selalu muncul
oleh frustrasi. Sarlito mencontohkan petinju dan tentara dapat
melakukan agresi karena alasan lain. Frustrasi dapat menimbulkan
agresi jika penyebab frustrasi dianggap tidak sah atau dibenarkan.
Pelaku agresi provokasi dilihat sebagai ancaman yang harus dihadapi
dengan respon agresif untuk meniadakan bahaya yang diisyaratkan
oleh ancaman tersebut. Faktor alkohol dan obat- obatan bahwa ada
petunjuk agresi berhubungan dengan kadar alkohol dan obat-obatan.
Subyek yang menerima alkohol dalam takaran- takaran yang tinggi
menunjukkan taraf agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
taraf yang rendah. Alkohol dapat melemahkan kendali diri
peminumnya, sehingga taraf agresivitas juga tinggi.
2. Faktor Personal
Pola tingkah laku berdasar kepribadian, orang yang agresif akan
bepola tingkah laku buru- buru dan kompetitif. Orang yang kurang
agresinya akan berpola tingkah laku kooperatif, nonkompetisi dan
nonagresi.
3. Kebudayaan
Lingkungan berperan pada tingkah laku, lingkungan geografis pesisir
akan lebih menunjukkan sikap keras dibandingkan dengan orang yang
hidup di pedalaman. Nilai dan norma mendasari sikap dan tingkah laku
juga berpengaruh pada agresivitas pada suatu kelompok.
4. Situasional
Kondisi cuaca yang panas lebih sering memunculkan aksi agresi. Hal
yang paling sering muncul ketika udara panas adalah rasa tidak
nyaman yang berujung pada meningkatnya agresi sosial.
5. Sumber Daya
Manusia yang tidak bisa memenuhi kebutuhannya pertama akan
memunculkan sikap pemenuhan dan kedua mengambil paksa dari
pihak yang meilikinya.
Kekerasan yang terjadi dipengaruhi oleh tayangan pada televisi yang
secara langsung memberikan ide maupun pengetahuan tentang suatu
tindakan agresi yang dilihat pada tayangan televisi.
2.1.5 Mengukur Perilaku Agresif
Mengukur perilaku agresif dapat dilakukan melalui dua pendekatan umum
yaitu observasi dan bertanya Baron dan Richardson (dalam Krahe, 2005).
Observasi yaitu tindakan-tindakan observasional pencatatan perilaku agresif pada
saat perilaku itu berlangsung dalam konteks alamiah.
1) Observasi alamiah yaitu salah satu tujuan observasi dalam konteks alamiah
adalah untuk mendapatkan gambaran tentang bentuk-bentuk agresi dalam
setting tertentu dan frekuensi kejadiannya. Pendekatan ini biasanya disebut
sebagai observasi naturalistik. Humpert dan Dann (dalam Krahe, 2005)
mencatat interaksi yang berhubungan dengan agresi selama pelajaran sekolah
dengan menggunakan sistem pengkodean yang dikembangkan secara khusus,
yang meliputi 10 kategori perilaku agresif. Dalam tipe penilaian ini, alur
alamiah perilaku pertama-tama dicatat, kemudian dipecah menjadi unit-unit
analisis yang lebih kecil, dan yang terakhir dimasukkan kedalam
kategori-kategori yang telah ditetapkan sebelumnya. Pertanyaan tentang kapan dan
dimana sampel perilaku itu diambil, dan bagaiman cara menetapkan unit-unit
analisi dasar, itu semua sangat penting dalam pendekatan metodologis.
2) Eksperimen lapangan penelitian yang diarahkan untuk mengekplorasi situasi
kondisi-kondisi anteseden tertentu dengan respon-respons agresif yang
mengikutinya. Penelitian ini menggabungkan variasi sebuah variabel
independen dan efeknya terhadap sebuah variabel dependen sehingga
memenuhi kriteria eksperimen lapangan. Baron (dalam Krahe, 2005)
menggunakan situasi kemacetan lalu lintas biasa, reaksi agresif para
pengemudi yang ditetapkan berdasarkan latensi dan durasi membunyikan
klakson dikaji sebagai respons terhadap frustrasi karena seorang petugas
eksperimen sengaja menghalangi mobilnya sehingga individu tidak mampu
menjalankan mobilnya ketika lampu hijau menyala.
3) Eksperimen Laboratoris
Beberapa contoh eksperimen laboratoris yang sangat menonjol dalam
penelitian agresi dapat dilihat dari beberapa temuan seperti berikut:
1) Paradigma guru-murid
Milgram (dalam Krahe, 2005) menggunakan eksperimen belajar dengan cara
menunjuk seorang untuk memainkan peran guru yang harus mempresentasikan
tugas asosiasi kata kepada orang lain yang berperan sebagai murid. Untuk
kesalahan yang dibuat oleh murid akan diberikan hukuman oleh guru dengan
menerapkan stimulus advertif kepada murid. Penunjukan kedua peran ini
dilakukan secara bergantian sehingga setiap responden berkesempatan memainkan
peran guru, yang pilihan intensitas hukumannya merupakan indeks kritis bagi
2) Paradigma evaluasi esai
Paradigma ini diperkenalkan pertama kali oleh Berkowitz (dalam Krahe,
2005). Paradigma ini digunakan untuk menginvestigasi perilaku agresif sebagai
respons terhadap frustrasi atau provokasi yang telah dialami sebelumnya. Subyek
diminta menulis bagi sebuah tugas mengatasi masalah. Kemudian tugas tersebut
akan dievaluasi yang akan diekspresikan dalam bentuk jumlah kejutan listrik.
Tanpa mempedulikan kualitas solusi yang subjek tulis, masing – masing subjek
akan menerima satu sampai tujuh kejutan listrik. Dalam fase kedua peran dibalik
subjek mendapat kesempatan untuk mengevaluasi solusi yang dibut orang lain.
Jumlah kejutan listrik yang diberilakan oleh subjek merupakan variabel dependen
dan menunjukkan kekuatan respon agresif mereka.
3) Paradigma boneka Bobo
Bandura, Ross, dan Ross (dalam Krahe, 2005) dalam penelitiannya mengukur
perilaku agresif dengan cara memperlihatkan seorang model yang bertindak
agresif terhadap boneka Bobo. Selanjutnya perilaku anak terhadap boneka Bobo
diobservasi dan diukur dalam bentuk frekuensi tindakan yang dilakukan.
4) Agresi verbal
Baron dan Richardson (dalam Krahe, 2005) pengukuran perilaku agresif
dilakukan dengan cara subjek dihadapkan pada sejumlah manipulasi yang
dirancang untuk memunculkan respon agresif. Setelah itu reaksi verbal mereka
dicatat, baik secara respons bebas yang nantinya akan dianalisis isi agresifnya
Bertanya difokuskan tidak pada perilaku, tetapi pada variabel-variabel internal,
seperti pikiran dan khayalan agresif, yang juga tidak dapat diobservasi.
Pengumpulan data di lakukan menggunakan strategi-strategi dibawah ini;
1) Laporan diri tentang perilaku (behavioral self-report)
Dalam metode ini, subjek diminta untuk memberikan keterangan verbal
mengenai perilaku agresif mereka sendiri, baik dalam konteks survei berskala
besar maupun sebagai bagian dari penelitian uji hipotesis. Berdasarkan tujuan
pertanyaannya, subjek dapat diminta untuk melaporkan pola perilaku
agresifnya secara umum, atau hanya tindakan khusus pada ranah tertentu.
Ukuran perilaku agresif umum itu diukur, misalnya dengan skala agresi fisik
dan verbal dari kuesioner agresi (aggression questionnaire) yang disusun
oleh Buss dan Perry (1992).
Laporan diri mengenai perilaku agresif dapat dikombinasikan dengan
laporan lain, misalnya untuk mengukur korespondensi antara laporan diri dan
laporan orang lain. Contoh skala yang dapat digunakan adalah skala taktik
konflik (conflict tactics scale) yang dikembangkan oleh Straus (dalam Krahe,
2005) untuk mengukur kekerasan rumah tangga
2) Nominasi orang lain/teman sebaya, masalah social-desirability agak kurang
menojol bila orang-orang lain yang tahu banyak mengenai subyek diminta
untuk menyumbangkan informasinya mengenai orang lain misalnya guru,
orang tua, dan teman sebaya. Tentunya yang memiliki pengetahuan mengenai
3) Catatan arsip dari pada dengan cara menanyai individu mengenai perilakunya
sendiri atau perilaku orang lain, peneliti bisa mendapatkan informasi
mengenai perilaku agresif dari data arsip yang aslinya dikumpulkan untuk
keperluan lain.
4) Digunakan dua pendekatan, pendekatan pertama ada dalam pengembangan
skala kepribadian terstandar dimana responden diminta untuk
mendiskripsikan tentang keadaan yang ada dalam dirinya saat ini atau
disposisi yang bersifat lebih menetap. Kuesioner agresi yang dikembangkan
oleh Buss dan Perry (dalam Krahe, 2005) berisi dua skala semacam itu, yaitu
mengukur amarah dan permusuhan. Perbedaan antara keadaan saat ini dan
ciri sifat yang stabil dicerminkan dalam state trait anger scale yang
dikembangkan oleh Spielberger, Jacobs, Russel, dan Crane (dalam Krahe,
2005). Pendekatan kedua untuk mengeksplorasi faktor pendukung
intrapersonal perilaku agresif melibatkan teknik-teknik proyektif. Dalam
metode ini subjek dihadapkan pada stimulus yang ambigu, seperti
bercak-bercak tinta pada tes Rorschach atau picture frustration test.
2.2 Penyesuaian Sosial
2.2.1 Pengertian Penyesuaian Sosial
Hurlock (1999) penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan
seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan
terhadap kelompok pada khususnya. Orang dapat menyesuaikan diri dengan baik
mempelajari berbagai keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin
tidak dikenal sehingga sikap orang lain terhadap dirinya menyenangkan. Biasanya
orang yang berhasil melakukan penyesuaian sosial dengan baik mengembangkan
sikap sosial yang menyenangkan seperti kesediaan untuk membantu orang lain,
meskipun dirinya sendiri mengalami kesulitan.
Penyesuaian sosial diartikan sebagai kemampuan untuk mereaksi secara
tepat terhadap realitas sosial, situasi dan relasi. Remaja dituntut untuk memiliki
kemampuan penyesuaian sosial baik dalam lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat (Yusuf, 2001).
Kartono (2000) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai suatu
keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan dirinya dan tingkah laku yang berasal
dari diri sendiri, yang dapat diterima oleh lingkungannya sesuai dengan apa yang
ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan.
Sedangkan penjelasan Primadi dan Ratnaningtyas (1996) mengatakan
bahwa penyesuaian sosial adalah kapasitas kemampuan individu untuk
memberikan reaksi efektif terhadap realita, situasi, dan relasi sosial yang
memuaskan.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan penyesuaian sosial dalam
penelitian ini adalah kemampuan individu dalam menyesuaikan diri dengan teman
2.2.2 Kriteria penyesuaian sosial
Guna memperoleh penyesuaian sosial sosial yang baik sehingga dapat
diterima oleh masyarakat, seseorang harus dapat menyesuaikan diri dengan orang
lain. Oleh karena itu, dalam upaya menyesuaikan diri sudah dimulai sejak masa
kanak- kanak awal, dimana anak mulai belajar bermain dengan teman sebayanya
yang merupakan latihan bagi penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial yang dicapai
dengan baik dapat menghantarkan seseorang remaja atau anak untuk memperoleh
kematangan sosial (Rifai, 2000).
Hurlock (1999) memaknai penyesuaian diri secara sosial sebagai
keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada
umumnya pada kelompoknya. Kriteria penyesuaian sosial menurut Hurlock:
a. Penampilan nyata
Bila perilaku sosial dinilai berdasarkan standar kelompok, memenuhi
harapan kelompok dan menjadi anggota yang diterima kelompok.
b. Penyesuaian sosial terhadap berbagai kelompok
Remaja yang dapat menyesuaikan diri dengan baik pada berbagai
kelompok di masyarakat, secara sosial dianggap sebagai orang yang dapat
menyesuaikan diri dengan baik.
c. Sikap sosial
Remaja harus menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang
lain, terhadap partisipasi sosial dan terhadap perannya dalam kelompok
d. Kepuasan pribadi
Untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial, anak harus
merasa puas karena kontak sosialnya dan terhadap peran yang
dimainkannya dalam situasi sosial baik sebagai pemimpin maupun sebagai
anggota.
Remaja sebagai harapan serta pemimpin di masa depan, sangat diharapkan
dapat mencapai perkembangan sosial secara matang, dalam arti remaja yang
memiliki penyesuaian sosial yang tepat (Yusuf, 2001). Tidak dapat dipungkiri
dengan adanya pengaruh teman dalam perkembangan sosial remaja. Penyesuaian
sosial ada masa ini banyak perkembangan conformity yaitu kecenderungan untuk
mengikuti atau mengimitasi sikap atau perilaku. Apabila kelompok teman sebaya
yang diikuti atau yang diimitasinya itu menampilkan sikap dan perilaku yang
secara moral dapat dipertanggungjawabkan, seperti kelompok remaja yang taat
beribadah, memiliki budi pekerti yang luhur, rajin belajar dan aktif dalam
kegiatan-kegiatan sosial, maka kemungkinan besar remaja tersebut akan
menampilkan pribadi yang baik.
Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang
berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan
lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus
menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah
(Yusuf, 2001).
Perkembangan mental sering pula menyebabkan kegoncangan batin dan
yang sehat, rasa iri dan sebagainya merupakan masalah tersendiri bagi remaja.
Selain itu penyesuaian sosial diarahkan terhadap seorang individu oleh
“motornya” berupa aspek psikis sehingga setiap penyesuaian meliputi 2 faktor,
yaitu psikis yang memikirkan dan mengatur penyesuaian dan faktor fisik sebagai
yang menjalankan rencana penyesuaian tersebut (Gunarso, 2000).
2.2.3 Proses Terbentuknya Penyesuaian Sosial
Menurut Hurlock (1990) proses sosialisasi seorang remaja atau anak dalam
masyarakat meliputi 3 tahapan yang masing- masing terpisah dan sangat berbeda
antara satu dengan yang lain, tapi saling berkaitan sehingga kegagalan dalam
salah satu tahap akan menurunkan kadar sosialisasi individu, ketiga proses
tersebut yaitu :
1. Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial. Setiap kelompok
sosial mempunyai standar bagi anggotanya tentang perilaku yang dapat
diterima untuk masyarakat, remaja atau anak tidak harus mengetahui
perilaku dengan patokan yang dapat diterima.
2. Memainkan peran sosial yang dapat diterima. Setiap kelompok sosial
mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan dengan seksama oleh
anggota dan dituntut untuk dipatuhi.
3. Perkembangan sikap sosial. Untuk bermasyarakat, remaja harus menyukai
orang lain dan aktifitas sosial agar dapat diterima sebagai anggota dalam
kelompok sosial sehingga berhasil dalam penyesuaian sosialnya.
Dari tiga proses pembentukan kemampuan bersososialisasi tersebut dapat
kemampuan seseorang remaja untuk bersosialisasi adalah masyarakat dan
lingkungan tempat tinggal. Dalam hal ini, lingkungan remaja tidak hanya
terbatas pada orang – orang di dalam keluarga saja, melainkan juga
masyarakat tempatnya senantiasa berinteraksi dan bermain serta
lingkungan sekolah, tempat remaja belajar dan bergaul dengan teman
sebayanya. Tentu saja kemampuan untuk mencapai kematangan sosial ini
sangat berkaitan dengan bimbingan dan arahan serta kerjasama dengan
pihak- pihak dalam ketiga lingkungan tersebut. Dengan demikian yang
terpenting dalam terbentuknya penyesuaian sosial remaja adalah untuk
mencapai keharmonisan pada diri sendiri dengan cara mencari dan
menemukan respon yang sesuai dengan dirinya, kemudian akan dibawa
kepada lingkungan dimana individu tersebut besosialisasi sebagai wadah
untuk aktualisasi diri, baik dengan teman sebaya atau dimana remaja
bersama kelompoknya atau di lingkungan masyarakat umum sekitar
remaja tinggal.
2.2.4 Faktor- Faktor Penyesuian Sosial
Agustian (2006) penyesuaian sosial yang dilakukan oleh individu dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor :
1. Faktor kondisi fisik, yang meliputi faktor keturunan, kesehatan, bentuk
tubuh dan hal-hal lain yang berkaitan dengan fisik.
2. Faktor perkembangan dan kematangan, yang meliputi perkembangan
3. Faktor psikologis, yaitu faktor- faktor pengalaman individu, frustasi dan
konflik yang dialami, dan kondisi- kondisi psikologis seseorang dalam
penyesuaian diri.
4. Faktor lingkungan, yaitu kondisi yang ada pada lingkungan, seperti
kondisi keluarga, kondisi rumah, kondisi sekolah dan sebagainya.
Menurut Pramadi dan Ratnaningtyas (1996) faktor- faktor yang
mempengaruhi penyesuaian sosial adalah :
1. Keadaan fisik dan jenis kelamin
Keadaan fisik sangat mempengaruhi penyesuaian sosial seseorang,
adanya cacat fisik atau penyakit kronis sering menjadi latar belakang
terjadinya hambatan- hambatan sosial, selain itu lingkungan
memberikan perlakuan yang berbeda terhadap pria dan wanita. Pria
cenderung lebih dapat diterima jika menentang suatu aturan dibanding
dengan wanita.
2. Keadaan lingkungan
Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, penuh penerimaan,
penuh pengertian dan memberikan perlindungan kepada anggota-
anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses
penyesuaian individu. Adanya rasa aman dalam kelompok atau
perasaan yang dibutuhkan dan menjadi bagian dari suatu masyarakat
merupakan hal yang penting bagi perkembangan kepribadian dan
3. Pengaruh kebudayaan dan agama
Kebudayaan secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh
pada pembentukan tingkah laku individu. Hal ini dapat memudahkan
atau bahkan menyulitkan penyesuaian sosial seseorang yang dapat
bertingkah laku sesuai budaya yang berlaku akan mudah
menyesuaikan diri dengan orang lain.
4. Tingkat pendidikan dan intelegensi
Tingkat pendidikan berpengaruh pada penyesuaian seseorang individu
yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi, cenderung dapat
melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik jika dibandingkan
dengan seseorang yang tingkat pendidikannya dan intelegensi rendah.
5. Keadaan psikologis individu
Individu yang sehat dan matang secara psikologis akan dapat
meyelaraskan dorongan- dorongan internalnya dan tuntutan yang
berasal dari lingkunganya. Keadaan psikologis itu paling tidak
mencakup dalam tiga hal :
a) Emosi
Emosi yang menyenangkan akan menimbulkan emosi yang
baik pada individu. Hal ini sangat diperlukan untuk dapat
b) Ciri Pribadi
Merupakan penentu utama dalam penyesuaian sosial karena
ciri pribadi merupakan suatu totalitas yang menentukan reaksi
terhadap konflik stres atau frustasi.
c) Penerimaan Diri
Penyesuaian sosial melibatkan pengertian terhadap dirinya.
Individu merasa yakin akan kemampuan diri sendiri.
Penerimaan diri yang baik sebagai syarat tercapainya suatu
penyesuaian sosial yang baik.
2.3 Hubungan antara Penyesuaian Sosial dengan Agresivitas
Remaja dengan segala potensi yang dimilikinya tumbuh dan berkembang
menuju tahap dewasa. Dalam perkembangannya remaja memiliki ciri yang khas
dan menonjol, Terutama dalam perkembangan sosial remaja yang dapat dilihat
adanya dua macam arah gerak yaitu gerakan memisahkan diri dengan orang tua
dan menuju ke arah teman sebaya. Kebutuhan remaja untuk diterima di
kelompoknya membawa pengaruh yang kuat dan besar terhadap pemikiran, sikap,
perasaan dan perilaku. Bila remaja ditolak oleh kelompoknya akan menimbulkan
rasa kecewa dan memungkinkan remaja bertingkah laku menarik diri dari
lingkungan atau menjadi agresif (Mappiare, 2002).
Penyesuaian sosial merupakan suatu istilah yang banyak merujuk pada
proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan
yang menuju kepada kesesuaian antara kebutuhan dirinya dengan keadaan
lingkungan tempat individu berada dan berinteraksi secara efektif dan efesien.
Penyesuaian sosial akan terasa menjadi penting, manakala individu dihadapkan
pada kesenjangan-kesenjangan yang timbul dalam hubungan sosialnya dengan
orang lain (Nurdin, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Soliha (2010) menunjukkan semakin
positif persepsi terhadap penerimaan teman sebaya maka semakin rendah tingkat
tendensi agresivitas relasional siswa, begitu pula sebaliknya semakin negatif
persepsi terhadap penerimaan teman sebaya maka tingkat tendensi agresivitas
relasionalnya semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi dengan orang
lain berpengaruh terhadap tendensi agresi seseorang.
Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Wulyaningsih
(2010) dengan judul pengaruh penyesuaian sosial terhadap kecenderungan agresi
siswa di SMA N 9 Malang. Menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara
penyesuaian sosial dengan kecenderungan siswa di SMA N 9 Malang.
Relasi sosial yang luas akan menjadikan inidividu mampu mengerti dan
melakukan apa yang diharapkan oleh lingkungan, sehingga memudahkannya
untuk menyesuaikan dengan keadaan lingkungan. Sebaliknya, individu dengan
penyesuaian sosial buruk adalah individu yang mempunyai pandangan negatif
terhadap dirinya, menilai dirinya sebagai figur yang mengecewakan. Penilaian
yang negatif terhadap diri sendiri akan mengarah pada penolakan diri, sehingga
individu akan cenderung mengembangkan perasaan tidak mampu, rendah diri, dan
dalam suatu aktivitas sosial dan memulai hubungan baru dengan orang lain.
Penolakan diri juga dapat memicu munculnya sikap agresif dan perilaku negatif,
sehingga individu menjadi tertutup dan kurang tertarik untuk menjalin hubungan
sosial dengan orang lain.
Siswanto (2007) menambahkan individu bisa mengalami kondisi ketidak
mampuan menyesuaikan diri dengan baik, ketika mengalami tekanan dalam hidup
dan masih dalam proses melakukan penyesuaian. Namun bila individu tidak
mampu mengatasi keadaan menekan tersebut secara konstruktif, akhirnya
individu tersebut akan mengalami abnormalitas yaitu gangguan mental dimana
sumber tekanan sudah tidak dialami lagi, namun individu yang bersangkutan
sudah terlanjur membentuk kebiasaan stres dan frustrasi yang dialaminya
sehingga menimbulkan berbagai perilaku menyimpang lainya.
2.4 Hipotesis
Hipotesis yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan
negatif yang signifikan antara penyesuaian sosial dengan agresivitas siswa kelas