Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran mengenai
Educational Resiliency pada siswa yang memiliki 4 atau lebih nilai pelajaran yang kurang dari KKM di SMA “X” kota Bandung.
Teori yang digunakan adalah teori resiliency dari Benard (2004). Responden penelitian ini berjumlah 40 siswa yaitu siswa yang menghayati sangat tertekan dalam keadaan memiliki 4 atau lebih nilai pelajaran yang kurang dari KKM. Metode yang digunakan dlam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survei. Alat ukur dalam penelitian ini di buat oleh peneliti berdasarkan teori Educational Resiliency dari Benard. Berdasarkan pengolahan data statistik, diperoleh validitas alat ukur yang bergerak antara 0,300 - 0.733. Reliabilitas menggunakan sebesar 0,899.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dari 40 siswa yang memiliki 4 atau lebih nilai yang kurang dari KKM diperoleh bahwa 52,5% siswa memiliki educational resiliency yang tinggi dan 47,5% siswa siswa yang memiliki educational resiliency yang rendah. Educational resiliency yang tinggi pada siswa yang memiliki 4 atau lebih nilai yang kurang dari KKM dilihat dari aspek social competence, problem solving, autonomy dan sense of purpose and bright future
yang tinggi. Demikian juga educational resiliency yang rendah pada siswa ditunjukkan oleh aspek social competence, problem solving, autonomy dan sense of purpose and bright future yang rendah. Faktor yang menunjukkan keterkaitan dengan educational resiliency meliputi perhatian, harapan dan kesempatan yang diberikan oleh keluarga, sekolah dan komunitas. Selain itu, ada satu masalah yang sering muncul yang terkait dengan educational resiliency siswa yaitu dalam hal pemberian hukuman.
Peneliti mengajukan beberapa saran kepada pihak sekolah maupun guru BK agar dapat melakukan konseling pada siswa yang memiliki educational resiliency yang rendah dan memberikan informasi kepada orang tua mengenai lingkungan keluarga yang kondusif bagi perkembangan educational resiliency
siswa. Hal ini dapat memberikan arahan demi munculnya educational resiliency
ii
Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT
This study aims to describe the Educational Resiliency on students who have 4 or more grades less than KKM in high school "X" Bandung.
The theory used is Resiliency theory of Benard (2004). The respondents of this study are 40 students are students who live in a very depressed state of having 4 or more grades less than KKM. Dlam research method used is descriptive method with survey techniques. Measuring tool in the study made by researchers based Educational Resiliency theory of Benard. Based on the statistical data processing, obtained the validity of a measuring instrument that moves between 0.300 to 0733. Reliability using at 0.899.
Based on the results of this study, of the 40 students who had 4 or more values less than KKM found that 52.5% of students had a high educational Resiliency and 47.5% of their students who have a low educational Resiliency. Educational Resiliency is high on students who have 4 or more values less than KKM seen from the aspect of social competence, problem solving, autonomy and a sense of purpose and high bright future. Similarly, the low educational Resiliency student competence demonstrated by the social aspect, problem solving, autonomy and a sense of purpose and bright futures lower. Factors that showed linkages with educational Resiliency include attention, expectations and opportunities provided by the family, school and community. In addition, there is one problem that often arise related to the students' educational Resiliency in terms of punishment.
iii
Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Judul
Lembar Pengesahan
Abstrak i
Abstract ii
Kata Pengantar iii
Daftar Isi vi
Daftar Bagan ix
Daftar Tabel x
Daftar Lampiran xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah 1
1.2Identifikasi Masalah 10
1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 10
1.3.1 Maksud Penelitian 10
1.3.2 Tujuan Penelitian 10
1.4Kegunaan Penelitian 10
1.4.1 Kegunaan Ilmiah 10
1.4.2 Kegunaan Praktis 11
1.5Kerangka Pemikiran 11
iv
Universitas Kristen Maranatha BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 EducationalResiliency 22
2.1.1 Definisi Educational Resiliency 22
2.1.2 Personal Strenghts 23
2.1.3.Protective Factor 31
2.1.4.Risk factor 41
2.2 Remaja 41
2.2.1 Pengertian Remaja 41
2.2.2 Karakteristik Perkembangan Remaja 46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian 53
3.2 Bagan Rancangan Penelitian 53
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 54
3.3.1 Variabel Penelitian 54
3.3.2 Definisi Operasional 54
3.4 Alat Ukur 57
3.4.1 Alat Ukur Educational Resiliency 57
3.4.1.1 Prosedur Pengisian Kuesiner Educational Resiliency 59
3.4.1.2 Sistem Penilaian Kuesiner Educational Resiliency 59
3.4.2 Data Pribadi dan Data Penunjang 61
v
Universitas Kristen Maranatha
3.4.2.2 Data Penunjang 61
3.4.3 Validitas dan Reliabelitas Alat Ukur 61
3.4.3.1 Validitas Alat Ukur 61
3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur 63
3.5 Populasi 64
3.5.1 Populasi Sasaran 64
3.5.2 Karakteristik Populasi 64
3.6 Analisis Data 64
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1.Gambaran Responden 66
4.1.1.Gambaran berdasarkan Jenis Kelamin 66
4.1.2.Gambaran berdasarkan Usia 67
4.2.Hasil Penelitian 67
4.2.1.Persentase Educational Resiliency 67
4.2.2.Tabulasi Silang 68
4.3.Pembahasan 70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.Kesimpulan 79
5.2.Saran 80
5.2.1. Saran Teoritis 80
5.2.2. Saran Praktis 80
Daftar Pustaka 81
Daftar Rujukan 82
vi
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 1.5 Bagan Kerangka Pikir 20
vii
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kisi- Kisi Alat Ukur Educational Resiliency 58
Tabel 3.2 Sistem Penilaian Kuesiner Educational Resiliency 60
Tabel 4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 66
Tabel 4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Usia 67
Tabel 4.2.1 Gambaran Educational Resiliency 67
viii
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Alat Ukur Educational Resiliency
Lampiran B Data Pribadi dan Data Penunjang
Lampiran C Reliabilitas dan Validitas
Lampiran D Kisi-Kisi Alat Ukur Educational Resiliency
Lampiran E Tabel Frekuensi
1
Universitas Kristen Maranatha PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Di jaman globalisasi saat ini, sekolah dipandang dapat memenuhi
beberapa kebutuhan siswa dan menentukan kualitas kehidupan mereka di masa
depan (Desmita,2010: 288). Tetapi pada saat yang sama, sekolah juga dapat
menjadi sumber masalah bagi siswa. Sekolah, di samping keluarga, merupakan
sumber stress yang membuat siswa tertekan (Fimian dan Cross, 1987; dalam
Desmita, 2010: 288). Tekanan itu dirasakan siswa dari jenjang SD sampai dengan
Perguruan Tinggi. Di mulai dari pekerjaan rumah yang banyak, perubahan
kurikulum yang berlangsung dengan cepat, batas waktu tugas dan ujian, membagi
waktu untuk mengerjakan PR, olah raga, hobi, dan kehidupan sosial ( Desmita,
2010: 289). Selain itu juga, kurikulum sekolah yang dijalani oleh siswa SMA
berbeda dengan kurikulum di SMP. Salah satu bagian dari kurikulum yaitu mata
pelajaran, dimana mata pelajaran di SMA ada yang berbeda saat di SMP.
Tekanan-tekanan yang dialami oleh siswa tersebut juga harus dihadapi
bersamaan dengan masalah dalam tahap perkembangan masa remaja awal. Masa
remaja adalah masa transisi atau yang biasa disebut dengan masa peralihan dari
masa kanak-kanak dan dewasa. Remaja memiliki karakteristik dan beberapa
masalah yang mereka alami seperti adaptasi dengan perubahan fisik saat pubertas,
peralihan dari Sekolah Dasar ke Sekolah Menengah, emosi yang sedang
2
Universitas Kristen Maranatha independensi namun sebenarnya masih ingin diperhatikan (Santrock,2006).
Karakteristik dan permasalahan yang terjadi terlihat pada tahap remaja madya,
yaitu pada rentang 14 – 18 tahun yang merupakan usia siswa SMA.
Tekanan-tekanan yang siswa alami membuat siswa merasa jenuh dan
tertekan dalam menuntut ilmu, sehingga memicu adanya ketegangan fisik,
psikologis, dan perubahan tingkah laku serta dapat mempengaruhi prestasi belajar.
Waktu siswa untuk melakukan hal lain pun menjadi berkurang. Bahkan pada
beberapa sekolah yang diproyeksikan sebagai sekolah unggulan atau sekolah
model, menerapkan perpanjangan waktu belajar formal di sekolah misalnya
dengan memberikan pelajaran atau les tambahan.
Demikian juga halnya dengan SMA “X” yang merupakan salah satu
sekolah unggulan. Berdasarkan salah satu misi yang dimiliki SMA “X” yaitu
sebagai sekolah Katolik (Catholic School), sekolah menanamkan semangat pada
setiap pribadi agar dapat mengintegrasikan ilmu, iman, dan nilai-nilai
kemanusiaan untuk menjawab tantangan zaman dan mewujudnyatakan semboyan
“Saya Mengabdi” dalam kehidupan sehari-hari. Dalam misi tersebut disebutkan
bahwa sekolah menanamkan semangat agar siswa dapat menghadapi tantangan
hidup, salah satunya adalah tantangan dalam dunia pendidikan.
Di SMA “X”, proses belajar mengajar dimulai pada pkl. 06.45 – pkl. 14.15
dengan alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 40 menit. Berdasarkan
peraturan sekolah, siswa yang datang terlambat harus melapor pada guru piket dan
diijinkan masuk mengikuti pelajaran pada jam pelajaran ke-2. Siswa yang telah
Universitas Kristen Maranatha perpustakaan sampai jam pelajaran terakhir. Selain itu, siswa yang telah terlambat
sebanyak 6 kali akan diminta untuk pulang kembali ke rumah. Peraturan sekolah
juga tidak akan melayani administrasi bagi siswa yang tidak membawa buku
siswa, yaitu buku yang mencatat setiap pelanggaran yang dilakukan oleh siswa.
Selain itu, siswa yang tidak membawa buku siswa di minta untuk mengikuti
pelajaran di luar kelas di dekat pintu masuk kelas.
Bagi siswa yang nilainya tidak mencapai ketuntasan pada ulangan harian
atau ulangan tengah semester maka akan dilakukan remedial. Kesempatan
remedial hanya diberikan satu kali. Selain itu juga sekolah memberikan remedial
teaching dan remedial test UAS yang dilaksanakan di awal semester genap jika
nilai semester ganjil tidak tuntas. Bagi siswa yang tidak dapat mengikuti ulangan
karena alasan yang dapat dipertanggungjawabkan seperti sakit, dapat meminta
ulangan susulan pada guru mata pelajaran yang bersangkutan maksimal 2 hari
setelah ulangan berlangsung. Namun sebelumnya siswa harus mengikuti prosedur
yang telah ditetapkan. Siswa mengajukan permohonan untuk mengikuti ulangan
susulan pada guru kemudian siswa meminta persetujuan kepala sekolah untuk
ulangan susulan. Setelah kepala sekolah menyetujui permohonan siswa maka
siswa dapat mengikuti ulangan susulan. Di SMA “X” juga memiliki sasaran mutu
yaitu siswa naik kelas 100% dengan kriteria kenaikan kelas, yaitu minimal hanya
ada 3 mata pelajaran yang kurang dari nilai ketuntasan ( nilai di atas 65).
SMA “X” juga memiliki standar dalam pelajaran dengan menetapkan
4
Universitas Kristen Maranatha tidak dapat mencapai KKM. Ada beberapa siswa yang memiliki 4 atau lebih nilai
mata pelajaran yang kurang dari KKM sehingga terancam tidak naik kelas. Hal
tersebut menekan mereka namun ada siswa yang dapat bertahan dan bangkit dari
keadaan yang menekan tetapi ada juga siswa yang merasa kesulitan. Berdasarkan
data terdapat 153 siswa yang masih memiliki 4 atau lebih nilai pelajaran yang
kurang dari KKM sehingga mereka terancam tidak naik kelas. Dari hasil survey
terhadap 153 siswa tersebut diperoleh hasil sebagai berikut sebanyak 76 siswa
(49%) yang menghayati keadaan tersebut cukup menekan, terdapat 50 siswa
(33%) menghayati sangat tertekan, sebanyak 20 siswa (13%) menghayati sedikit
tertekan dan 7 siswa (5%) yang menghayati tidak tertekan dengan keadaan
tersebut.
Untuk dapat melalui tekanan akibat tuntutan-tuntutan yang berat,
diperlukan kemampuan dalam diri masing-masing siswa untuk sukses secara
akademik walaupun berada di tengah situasi yang menekan dan menghalangi
mereka untuk sukses. Kemampuan tersebut penting dimiliki siswa, terutama siswa
SMA yang berada pada tahap perkembangan remaja (jenjang usia 14 – 18 tahun)
yang merupakan masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa. Untuk
dapat melewati itu semua, remaja memerlukan dukungan dari lingkungannya
dalam hal ini adalah peers dan orang yang lebih dewasa yang mau peduli dan
memberi kesempatan pada remaja untuk dapat terlibat (Santrock,2006).
Kemampuan siswa SMA untuk beradaptasi dengan baik dan mampu berfungsi
secara baik di tengah situasi yang menekan dan banyak halangan serta rintangan
Universitas Kristen Maranatha Derajat resiliensi dapat dilihat dari personal strength yang ada dalam diri
individu. Personal strength adalah karakteristik individual yang dihubungkan
dengan perkembangan yang sehat dan perkembangan hidup yang terdiri dari
social competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose (Benard,
2004). Personal strength adalah karakteristik individual yang dihubungkan
dengan perkembangan yang sehat dan perkembangan hidup yang terdiri dari
social competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose (Benard,
2004).
Social competence merupakan kemampuan bersosialisasi walaupun sedang
menghadapi tekanan yang berat. Mereka mampu membuat orang lain merespon
secara positif terhadap masalah yang mereka hadapi, mampu mengkomunikasikan
pendapat-pendapatnya tanpa menyinggung orang lain,memahami kesulitan orang
lain, dan rela membantu orang lain yang mengalami kesulitan. Maka siswa dapat
dikatakan memiliki social competence yang tinggi. Sedangkan siswa yang
cenderung memiliki social competance yang rendah sulit untuk membuat orang
lain merespon secara positif terhadap masalah yang mereka hadapi, sulit
mengkomunikasikan pendapat-pendapatnya tanpa menyinggung orang lain,
kurang memahami kesulitan orang lain, dan kurang rela membantu orang lain
yang mengalami kesulitan.
Problem solving merupakan kemampuan untuk membuat rencana-rencana
yang berkaitan dengan dirinya sendiri, mampu mencari jalan keluar lain ketika
solusi yang biasanya dilakukan tidak berhasil, dan mampu mencari bantuan dari
6
Universitas Kristen Maranatha problem solving yang tinggi. Sedangkan siswa yang sulit untuk membuat
rencana-rencana yang berkaitan dengan dirinya sendiri, sulit mencari jalan keluar lain
ketika solusi yang biasanya dilakukan tidak berhasil, dan kurang mampu mencari
bantuan dari orang lain ketika membutuhkannya. Maka siswa cenderung memiliki
problem solving yang rendah.
Autonomy merupakan individu yang memiliki rasa percaya diri, merasa
bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupannya dapat dikendalikan oleh
dirinya dan bukan oleh lingkungan, dan dapat menemukan sisi humor dari
permasalahannya. Maka siswa tergolong memiliki autonomy yang tinggi.
Sedangkan siswa yang cenderung memiliki autonomy yang rendah, kurang
memiliki rasa percaya diri, merasa bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam
kehidupannya dapat dikendalikan oleh lingkungan, dan kurang dapat menemukan
sisi humor dari permasalahannya.
Terakhir sense of purpose merupakan tujuan hidup yang jelas dan motivasi
untuk meraihnya, mampu bersikap optimis dalam menghadapi permasalahan yang
ada dan memiliki keimanan bahwa Tuhan pasti mendampingi mereka dalam
menghadapi masalah. Maka dapat dikatakan siswa tergolong memiliki sense of
purpose yang tingg.l.Sedangkan siswa yang cenderung memiliki sense of
purpose yang tergolong rendah, kurang memiliki tujuan hidup yang jelas dan
kurang motivasi untuk meraihnya, kurangb mampu bersikap optimis dalam
menghadapi permasalahan yang ada dan kurang memiliki keimanan bahwa Tuhan
Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan survei awal dari 43 siswa di SMA “X” di kota Bandung,
dalam hal social competence ketika mereka mengalami kesulitan terdapat 84%
(36 siswa) yang masih dapat bersikap ramah pada orang lain, 16% (7 siswa)
bersikap cuek terhadap orang lain Selain itu, ketika siswa mengalami kesulitan
dan orang lain juga mengalami kesulitan, 98% (42 siswa) peduli dan mambantu
orang tersebut dan 2% (1 siswa) tidak peduli pada orang tersebut.
Ketika siswa mengalami kesulitan, mereka memiliki cara menyelesaikan
yang berbeda-beda (problem solving). Berdasarkan survei dari 43 siswa, 33% (14
siswa) menyelesaikannya sendiri, 37% (16 siswa) meminta bantuan orang lain,
23% (10 siswa) terkadang menyelesaikannya sendiri dan meminta bantuan orang
lain, dan 7% (3 siswa) merenungkannya kemudian mencari jalan keluarnya sendiri
Selain itu dalam hal autonomy, dari 43 siswa terdapat 63% (27 siswa) merasa
yakin dapat menyelesaikan, 25% (11 siswa) merasa tidak yakin dapat
menyelesaikan dan 12% (5 siswa) merasa masih ragu-ragu apakah dapat
menyelesaikan masalah tersebut atau tidak.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada 5 orang siswa, di dapat
4 siswa yang merasa tertekan dalam menghadapi kegiatan belajar mengajar. Siswa
SMU kelas I SMU “X” yang pertama diwawancarai mengatakan bahwa ia merasa
tertekan dengan banyaknya tugas dan PR yang hampir diberikan setiap hari oleh
para guru sehingga membuat siswa merasa bingung harus mengerjakan yang
mana terlebih dahulu. Siswa kedua yang diwawancarai mengatakan bahwa ia
merasa sulit pada salah satu mata pelajaran karena cara guru yang mengajar yang
8
Universitas Kristen Maranatha membuat siswa kesulitan saat ujian karena tidak mengerti materi. Oleh karena itu,
siswa tersebut mengikuti les tambahan yang diadakan oleh sekolah dengan
pengajar yang berbeda. Hasil wawancara dari siswa ketiga mengatakan bahwa
selain mengikuti pelajaran di sekolah siswa juga mengikuti les tambahan di
sekolah karena ada beberapa pelajaran yang di rasa sulit dan juga kursus bahasa di
luar. Sedangkan siswa yang terakhir mengatakan bahwa ia merasa kurang waktu
untuk bermain bersama teman dan berkumpul dengan keluarga karena hampir
dihabiskan untuk di sekolah dan les.
Resiliensi tidak muncul begitu saja, ada faktor-faktor yang mempengaruhi
yaitu protective factor dan risk factor. Protective factor adalah orang-orang atau
hal-hal di luar diri yang membantu siswa/i untuk tumbuh dan berkembang dengan
baik, mencintai, bekerja, bermain, dan menerima kenyataan dengan baik saat
menghadapi tantangan besar dimana mereka menggunakan potensinya untuk
pertumbuhan dan pertahanan yang sehat serta menghadapi perubahan
(Garmezy,1974; Werner & Smith,1982). Sedangkan risk factor merupakan
hadirnya satu atau lebih faktor-faktor penghambat yang meningkatkan
kemungkinan timbulnya dampak negatif pada anak-anak atau remaja. Protective
factor yang terdiri dari keluarga, sekolah dan komunitas memang memegang
peranan penting dalam pembentukan resiliensi siswa. diperlukan perhatian (caring
relationship ), ekspektasi (high expectation) dan kesempatan (opportunities for
participation and contribution) dari keluarga, sekolah dan komunitas agar siswa
Universitas Kristen Maranatha Dalam situasi yang penuh dengan tekanan, keluarga memiliki peranan
yang penting dalam mendukung mereka sehingga memfasilitasi perkembangan
resiliensi. Keterikatan dengan keluarga selama masa remaja dapat berfungsi
adaptif, yang menyediakan landasan yang kokoh di mana remaja dapat
menjelajahi dunia sosial yang luas dengan cara yang sehat secara psikologis
termasuk menghadapi tekanan yang mereka alami di sekolah (Allen & Bell,1995;
Bell, 1995 dalam Santrock, 2003 ). Namun di sisi lain, remaja juga memiliki
keinginan untuk bebas dari orang tua. Remaja lebih banyak menghabiskan waktu
dengan teman sebaya. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berhubungan
atau bergaul dengan teman-teman sebaya.
Selain keluarga dan teman sebaya, sekolah juga memiliki peranan yang
sangat penting bagi perkembangan remaja. Interaksi remaja dengan guru dan
teman sebaya di sekolah, memberikan peluang yang besar bagi remaja untuk
mengembangkan kemampuan kognitif dan keterampilan sosial, serta memperoleh
pengetahuan mengenai dunia sehingga dapat menghadapi tantangan yang
diberikan dunia termasuk tantangan dalam dunia pendidikan.
Berdasarkan fenomena dan hasil survei yang menunjukkan ada siswa yang
menghayati sangat tertekan ketika memperoleh 4 atau lebih nilai yang kurang dari
KKM sehingga terancam tidak naik kelas. Oleh karena itu, peneliti ingin
mengetahui gambaran Educational Resiliency siswa SMA yang memiliki 4 atau
lebih nilai pelajaran yang kurang dari KKM (yang untuk selanjutnya akan disebut
10
Universitas Kristen Maranatha 1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan di atas, maka
permasalahan yang ingin diteliti adalah ingin mengetahui bagaimana derajat
Educational Resiliency siswa di SMA “X” di kota Bandung.
1.3. Maksud dan Tujuan
1.3.1. Maksud Penelitian
Untuk mengetahui gambaran mengenai Educational Resiliency
siswa di SMA “X” di kota Bandung.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan gambaran mengenai aspek-aspek Educational
Resiliency (social competence, problem solving, autonomy, dan sense of
purpose) dan keterkaitannya dengan protective factor dan risk factor pada
siswa SMA “X” kota Bandung.
1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Teoritis
1. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi pada bidang
Psikologi Pendidikan dan Perkembangan.mengenai Educational Resiliency
siswa di SMA “X” di kota Bandung.
2. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi informasi tambahan bagi
peneliti lain yang tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai
Universitas Kristen Maranatha 1.4.2. Kegunaan Praktis
1. Memberikan informasi kepada para siswa/i mengenai Educational
Resiliency pada siswa di sekolah. Khususnya siswa agar dapat bangkit dan
beradaptasi di sekolah.
2. Dapat menjadi informasi bagi Kepala Sekolah dan guru BK mengenai
Educational Resiliency siswa di SMA “X” di kota Bandung., agar dapat
menangani dan membantu permasalahan yang terjadi pada siswa/i di
sekolah.
1.5. Kerangka Pemikiran
Siswa SMA berada pada usia 14 – 18 tahun, mereka berada pada masa
perkembangan remaja. Masa remaja adalah masa transisi atau yang biasa
disebut dengan masa peralihan yang menghubungkan masa kanak-kanak dan
dewasa. Remaja memiliki karakteristik dan beberapa masalah yang mereka
alami seperti adaptasi dengan perubahan fisik saat pubertas, peralihan dari
Sekolah Dasar ke Sekolah Menengah, perkembangan emosi yang sedang
bergejolak, masalah teman sebaya dan keluarga, serta keinginan untuk
independensi namun sebenarnya masih ingin diperhatikan (Santrock,2006).
Menurut Piaget, dalam masa remaja tersebut, mereka memasuki tahap
perkembangan kognitif formal operational. Pada tahap ini mereka memiliki
kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan idealistik.
Mereka juga mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang
12
Universitas Kristen Maranatha perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001).
Perkembangan lain pada tahap ini ialah kemampuan untuk berfikir secara
sistematis, dapat memikirkan kemungkinan-kemungkinan secara teratur atau
sistematis untuk memecahkan masalah (problem solving). Pada tahap ini siswa
dapat memprediksi berbagai kemungkinan yang terjadi atas suatu peristiwa.
Selain masalah perkembangan, siswa juga mendapatkan
tuntutan-tuntutan yang diberikan oleh sekolah semakin berat. Di mulai dari pekerjaan
rumah yang banyak, perubahan kurikulum yang berlangsung dengan cepat,
batas waktu tugas dan ujian, membagi waktu untuk mengerjakan PR, olah raga,
hobi, dan kehidupan sosial ( Desmita, 2010: 289 ). Untuk dapat memenuhi
tuntutan-tuntutan itu, siswa diminta untuk lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk belajar guna mengejar materi pelajaran agar lebih mengerti
lagi. Hal tersebut membuat waktu mereka untuk melakukan hal lain menjadi
berkurang.
Sekolah juga memiliki standar dalam pelajaran dengan menetapkan
Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM). Pada SMA “X” masih terdapat siswa
yang tidak dapat mencapai KKM. Ada beberapa siswa yang memiliki 4 atau
lebih nilai mata pelajaran yang kurang dari KKM sehingga terancam tidak naik
kelas. Hal tersebut menekan mereka namun ada siswa yang dapat bertahan dan
bangkit dari keadaan yang menekan tetapi ada juga siswa yang merasa
kesulitan.
Untuk dapat menghadapi dan melalui tekanan akibat tuntutan-tuntutan
Universitas Kristen Maranatha untuk dapat bertahan dan bangkit dalam keadaan sulit. Kemampuan siswa
SMA terhadap situasi yang menekan disebut dengan Educational Resiliency.
Educational Resiliency adalah kemampuan siswa untuk sukses secara
akademik walaupun di tengah situasi yang menekan dan menghalangi
Educational Resiliency adalah kemampuan siswa untuk dapat sukses
secara akademik walaupun berada di tengah situasi yang menekan dan
menghalangi mereka untuk sukses (Benard,1991; Wang, Haertel, and
Walberg,1998). Kemampuan siswa SMA untuk beradaptasi dengan baik dan
mampu berfungsi secara baik di tengah situasi yang menekan dan banyak
halangan serta rintangan disebut dengan Resiliency (Benard,1991). Individu
yang resilient mengalami penderitaan namun mampu mengendalikan
perilakunya sehingga yang keluar adalah outcomes positive.
Outcomes positive dari resiliency dapat dilihat dari personal strength yang
ada dalam diri individu. Personal strength adalah karakteristik individual yang
dihubungkan dengan perkembangan yang sehat dan perkembangan hidup yang
terdiri dari social competence, problem solving, autonomy, dan sense of
purpose (Benard, 2004). Social competence merupakan kemampuan
bersosialisasi walaupun sedang menghadapi tekanan yang berat. Mereka
mampu membuat orang lain merespon secara positif terhadap masalah yang
mereka hadapi, mampu mengkomunikasikan pendapat-pendapatnya tanpa
menyinggung orang lain,memahami kesulitan orang lain, dan rela membantu
orang lain yang mengalami kesulitan. Maka siswa dapat dikatakan memiliki
14
Universitas Kristen Maranatha social competance yang rendah sulit untuk membuat orang lain merespon
secara positif terhadap masalah yang mereka hadapi, sulit
mengkomunikasikan pendapat-pendapatnya tanpa menyinggung orang lain,
kurang memahami kesulitan orang lain, dan kurang rela membantu orang lain
yang mengalami kesulitan.
Problem solving merupakan kemampuan untuk membuat rencana-rencana
yang berkaitan dengan dirinya sendiri, mampu mencari jalan keluar lain ketika
solusi yang biasanya dilakukan tidak berhasil, dan mampu mencari bantuan
dari orang lain ketika membutuhkannya. Maka siswa dapat dikatakan
memiliki problem solving yang tinggi. Sedangkan siswa yang sulit untuk
membuat rencana-rencana yang berkaitan dengan dirinya sendiri, sulit mencari
jalan keluar lain ketika solusi yang biasanya dilakukan tidak berhasil, dan
kurang mampu mencari bantuan dari orang lain ketika membutuhkannya.
Maka siswa cenderung memiliki problem solving yang rendah.
Autonomy merupakan individu yang memiliki rasa percaya diri, merasa
bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupannya dapat dikendalikan
oleh dirinya dan bukan oleh lingkungan, dan dapat menemukan sisi humor
dari permasalahannya. Maka siswa tergolong memiliki autonomy yang tinggi.
Sedangkan siswa yang cenderung memiliki autonomy yang rendah, kurang
memiliki rasa percaya diri, merasa bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam
kehidupannya dapat dikendalikan oleh lingkungan, dan kurang dapat
Universitas Kristen Maranatha Terakhir sense of purpose merupakan tujuan hidup yang jelas dan motivasi
untuk meraihnya, mampu bersikap optimis dalam menghadapi permasalahan
yang ada dan memiliki keimanan bahwa Tuhan pasti mendampingi mereka
dalam menghadapi masalah. Maka dapat dikatakan siswa tergolong memiliki
sense of purpose yang tinggi. Sedangkan siswa yang cenderung memiliki
sense of purpose yang tergolong rendah, kurang memiliki tujuan hidup yang
jelas dan kurang motivasi untuk meraihnya, kurangb mampu bersikap optimis
dalam menghadapi permasalahan yang ada dan kurang memiliki keimanan
bahwa Tuhan pasti mendampingi mereka dalam menghadapi masalah
Setiap siswa memiliki aspek-aspek personal strength dalam dirinya,
namun dengan derajat yang berbeda-beda. Aspek-aspek inilah yang
menyebabkan perbedaan derajat Educational Resiliency pada siswa yang juga
merupakan interaksi dari dua faktor, yaitu protective factor dan risk factor.
Protective factor adalah orang-orang atau hal-hal di luar diri yang membantu
siswa/i untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, mencintai, bekerja,
bermain, dan menerima kenyataan dengan baik saat menghadapi tantangan
besar dimana mereka menggunakan potensinya untuk pertumbuhan dan
pertahanan yang sehat serta menghadapi perubahan (Garmezy,1974; Werner
& Smith,1982). Protective factor dapat berasal dari lingkungan keluarga,
sekolah dan komunitas dalam hal ini adalah teman sebaya yang dapat berupa
kasih sayang (caring relationship), harapan yang optimal dan jelas (high
16
Universitas Kristen Maranatha lingkungannya (Opportunities for participation and contribution)
(Benard,2004).
Pada saat siswa mengalami risk factor, siswa membutuhkan orang lain
yang dekat dengannya untuk menetralisir risk factor, yaitu keluarga, sekolah
dan teman sebaya. Anggota keluarga dapat memberikan perhatian pada siswa,
keluarga ada ketika siswa membutuhkan bantuan, keluarga ikut memberikan
kasih sayang pada siswa (caring relationship). Selain itu juga kepercayaan dan
harapan serta tantangan dari keluarga bahwa siswa mampu untuk mencapai
cita-citanya (high expectations). Keluarga juga mampu memberikan
kesempatan kepada siswa untuk bertanggung jawab terhadap masalahnya
sendiri, mengambil keputusan sendiri dalam menyelesaikan nilai pelajaran
yang kurangdari KKM (Opportunities for participation and contribution).
Ketika keluarga memberikan kasih sayang (caring relationship) pada
siswa maka siswa menghayati bahwa kebutuhan perhatian (basic needs:
respect) terpenuhi. Siswa akan menjadi lebih mandiri dalam menyelesaikan
atau menuntaskan nilai pelajaran yang masih kurang dari KKM (autonomy).
Selain keluarga, sekolah juga memiliki peranan dalam memfasilitasi
perkembangan educational resiliency. Ketika guru memenuhi kebutuhan
siswa akan autonomy/ power dengan memberi dukungan saat siswa
mengalami kesulitan dalam pelajaran, maka siswa akan mampu mencari
bantuan dari orang lain ketika membutuhkannya (problem solving), bersikap
Universitas Kristen Maranatha kemampuannya sendiri untuk dapat menuntaskan nilai pelajaran yang kurang
dari KKM (sense of purpose).
Selain keluarga dan sekolah, komunitas dalam hal ini teman sebaya juga
memberikan perenan dalam mengembangkan educational resiliency siswa.
Dalam kehidupan seorang anak, caring relationship dari tetangga, orang tua
teman, guru, atau siapapun yang menjaganya merupakan protective factors
yang juga dibutuhkan oleh anak (Benson, 1997; dalam Benard, 2004). Ketika
siswa menghayati bahwa mereka mendapatkan protective factor dari keluarga,
sekolah dan teman sebaya dan basic needs mereka terpenuhi maka
Educational Resiliency siswa tergolong tinggi. Namun ketika siswa
menghayati bahwa mereka kurang mendapatkan protective factor dari
keluarga, sekolah dan teman sebaya dan basic needs mereka kurang terpenuhi
maka Educational Resiliency siswa tergolong rendah.
Pada saat siswa mengalami risk factor, ada siswa yang menghayati bahwa
mereka kurang memiliki arti (basic needs; meaning) Penghayatan tersebut
membuat siswa bersikap negatif terhadap lingkungannya, tidak ada perasaan
nyaman ketika berada di lingkungannya, bersikap tertutup, tidak peduli
terhadap perasaan dan sudut pandang orang lain, tidak peduli terhadap
masalah orang lain, dan merasa bahwa masalahnya yang paling berat (social
competence rendah),. Siswa terpaku pada satu solusi saja dalam
menyelesaikan masalah dan menjadi bingung ketika solusi tersebut tidak
berhasil, serta kurang mampu untuk meminta bantuan orang lain untuk dapat
18
Universitas Kristen Maranatha juga menjadi rendah karena merasa bahwa dirinya tidak berharga, merasa
tidak memiliki control dalam kehidupan (autonomy rendah). Selain itu juga,
siswa tidak memiliki rencana dan merasa pesimis akan harapan masa
depannya (sense of purpose rendah).
Namun ada pula siswa memunculkan outcomes positif ketika mengalami
risk factor maka akan muncul penghayatan pada siswa bahwa kebutuhan dasar
mereka untuk dihargai,dicintai (basic needs; respect dan meaning) terpenuhi
sehingga mampu untuk mencapai sesuatu yang diinginkan hingga berhasil dan
merasa berguna bagi lingkungannya. Dengan memiliki penghayatan tersebut,
siswa akan merespon positif anggota keluarganya, mampu menjalin hubungan
dengan orang lain secara positif, mampu untuk memahami perasaan orang lain
dan mengerti sudut pandang orang lain, serta berusaha untuk peduli dan
membantu orang lain yang sedang kesulitan (social competence). Siswa juga
mampu untuk berpikir secara fleksibel ketika mengalami kesulitan atau
hambatan dengan mencari jalan keluar yang lain, mampu mencari bantuan dari
berbagai sumber, mampu memahami masalah yang sedang dihadapi sehingga
mampu menemukan solusi yang tepat (problem solving). Penghayatan bahwa
keluarga pada kemampuan siswa dan memberikan kesempatan pada siswa
untuk menyelesaikan masalahnya sendiri akan membuat siswa memiliki rasa
percaya diri bahwa mereka dapat beradaptasi dengan tuntutan sekolah dan
menjadi pribadi yang mandiri (autonomy) serta membuat rencana dan optimis
Universitas Kristen Maranatha mendapatkan dukungan dari keluarga dan sekolah maka akan memungkinkan
Universitas Kristen Maranatha 1.6.Asumsi
1. Siswa membutuhkan resiliensi untuk dapat beradaptasi dan mampu
berfungsi secara baik di tengah keadaan yang menekan.
2. Educational Resiliency dilihat dari 4 aspek yaitu social competence,
problem solving, autonomy, dan sense of purpose and bright future.
3. Educational Resiliency siswa dipengaruhi juga oleh risk factor
(Masalah Fisik, Masalah Keluarga, Masalah peraturan dan
konsekuensi, dan Tuntutan kurikulum)
4. Siswa mendapatkan protective factor dari family, school dan
community yang memberikan variasi terhadap resiliensi.
5. Protective factor dilihat melalui caring relationship, high
79
Universitas Kristen Maranatha BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 40 siswa di SMA “X” yang
memiliki 4 atau lebih nilai pelajaran yang kurang dari KKM, dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1) Siswa SMA “X” yang memiliki 4 atau lebih nilai pelajaran yang
kurang dari KKM masih lebih banyak (52.5 %) yang mempunyai
educational resiliency yang tinggi daripada yang mempunyai
educational resiliency yang rendah (47.5%).
2) Educational Resiliency yang tinggi pada siswa SMA “X” didukung
oleh aspek social competence, problem solving, autonomy, dan
sense of purpose and bright future yang tinggi. Demikian juga
educational resiliency yang rendah ditunjukkan oleh aspek social
competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose and
bright future yang rendah.
3) Protective Factor yang menunjukkan keterkaitan dengan
Educational resiliency yang memiliki 4 atau lebih nilai pelajaran
yang kurang dari KKM meliputi perhatian, harapan dan kesempatan
Universitas Kristen Maranatha 4) Risk Factor yang dialami oleh siswa yang memiliki 4 atau lebih
nilai pelajaran yang kurang dari KKM, pemberian hukuman dari
sekolah merupakan masalah yang menimbulkan Educational
Resiliency siswa rendah.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti
mengajukan beberapa saran :
5.2.1. Saran Teoritis
1) Berdasarkan hasil penelitian, disarankan bagi peneliti selanjutnya
untuk melakukan penelitian mengenai educational resiliency
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi dengan menggunakan
metode perbandingan, korelasi ataupun kontribusi..
5.2.2. Saran Praktis
1) Bagi BK agar dapat melakukan konseling pada siswa yang
memiliki educational resiliency yang rendah dan memberikan
informasi kepada para orang tua mengenai lingkungan keluarga
yang kondusif bagi perkembangan educational resiliency siswa.
2) Bagi siswa agar lebih dapat memahami diri sendiri dan dapat
81
Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR PUSTAKA
Bernard, B. (1991). Fostering Resiliency in Kids: Protective Factors in the Family, School, and Community. San Fransisco: Wested Regional Educational Laboratory.
Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Guilford, J. P. (1967). Fundamental Statistics in Psychology and Education.(3rd Ed). Tokyo: Mc. Graw-Hill Kogakusha Company.Ltd
Gulo, W. (2002). Metodelogi Penelitian. Jakarta: Grasindo.
Gunarsa, S.D. (1988). Psikologi remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Gunarsa, S.D. (1990). Dasar dan teori perkembangan anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. (2001). Human development (8th ed.). Boston: McGraw-Hill
Santrock, John W. (2002). Life-Span Development- Perkembangan Masa Hidup. Terjemahan Damanik, Juda. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J.W. (2003). Adolescence. 9th Ed. Dallas: McGraw-Hill.
82
Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR RUJUKAN
Ervina. 2011. Pengaruh Aspek-Aspek Dukungan Orang tua terhadap Kemampuan Self Regulation dalam Bidang Akademik pada Siswa SMP “X”. Skripsi, Bandung: Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Maranatha Bandung.
Leni, Marta. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliency pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas “X” Bandung yang sedang Mengerjakan Usulan Penelitian (UP). Skripsi, Bandung: Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Maranatha Bandung.
Sari, Maya. 2007. Studi Deskriptif Mengenai Resiliency pada Siswa SMP “X” Kelas VII di Kota Bandung. Skripsi, Bandung: Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Maranatha Bandung.
Shabrina, Hashilah. 2011. Studi Deskriptif Mengenai Educational Resiliency pada Siswa/I Kelas X di SMAT “X” Bandung (Suatu Penelitian pada Sekolah Berasrama Semi Militer). Skripsi. Bandung: Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Maranatha Bandung.