• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Educational Resiliency Siswa SMA Yang Memiliki 4 Atau Lebih Nilai Pelajaran Yang Kurang Dari KKM di SMA "X" Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Educational Resiliency Siswa SMA Yang Memiliki 4 Atau Lebih Nilai Pelajaran Yang Kurang Dari KKM di SMA "X" Kota Bandung."

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran mengenai

Educational Resiliency pada siswa yang memiliki 4 atau lebih nilai pelajaran yang kurang dari KKM di SMA “X” kota Bandung.

Teori yang digunakan adalah teori resiliency dari Benard (2004). Responden penelitian ini berjumlah 40 siswa yaitu siswa yang menghayati sangat tertekan dalam keadaan memiliki 4 atau lebih nilai pelajaran yang kurang dari KKM. Metode yang digunakan dlam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survei. Alat ukur dalam penelitian ini di buat oleh peneliti berdasarkan teori Educational Resiliency dari Benard. Berdasarkan pengolahan data statistik, diperoleh validitas alat ukur yang bergerak antara 0,300 - 0.733. Reliabilitas menggunakan sebesar 0,899.

Berdasarkan hasil penelitian ini, dari 40 siswa yang memiliki 4 atau lebih nilai yang kurang dari KKM diperoleh bahwa 52,5% siswa memiliki educational resiliency yang tinggi dan 47,5% siswa siswa yang memiliki educational resiliency yang rendah. Educational resiliency yang tinggi pada siswa yang memiliki 4 atau lebih nilai yang kurang dari KKM dilihat dari aspek social competence, problem solving, autonomy dan sense of purpose and bright future

yang tinggi. Demikian juga educational resiliency yang rendah pada siswa ditunjukkan oleh aspek social competence, problem solving, autonomy dan sense of purpose and bright future yang rendah. Faktor yang menunjukkan keterkaitan dengan educational resiliency meliputi perhatian, harapan dan kesempatan yang diberikan oleh keluarga, sekolah dan komunitas. Selain itu, ada satu masalah yang sering muncul yang terkait dengan educational resiliency siswa yaitu dalam hal pemberian hukuman.

Peneliti mengajukan beberapa saran kepada pihak sekolah maupun guru BK agar dapat melakukan konseling pada siswa yang memiliki educational resiliency yang rendah dan memberikan informasi kepada orang tua mengenai lingkungan keluarga yang kondusif bagi perkembangan educational resiliency

siswa. Hal ini dapat memberikan arahan demi munculnya educational resiliency

(2)

ii

Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT

This study aims to describe the Educational Resiliency on students who have 4 or more grades less than KKM in high school "X" Bandung.

The theory used is Resiliency theory of Benard (2004). The respondents of this study are 40 students are students who live in a very depressed state of having 4 or more grades less than KKM. Dlam research method used is descriptive method with survey techniques. Measuring tool in the study made by researchers based Educational Resiliency theory of Benard. Based on the statistical data processing, obtained the validity of a measuring instrument that moves between 0.300 to 0733. Reliability using at 0.899.

Based on the results of this study, of the 40 students who had 4 or more values less than KKM found that 52.5% of students had a high educational Resiliency and 47.5% of their students who have a low educational Resiliency. Educational Resiliency is high on students who have 4 or more values less than KKM seen from the aspect of social competence, problem solving, autonomy and a sense of purpose and high bright future. Similarly, the low educational Resiliency student competence demonstrated by the social aspect, problem solving, autonomy and a sense of purpose and bright futures lower. Factors that showed linkages with educational Resiliency include attention, expectations and opportunities provided by the family, school and community. In addition, there is one problem that often arise related to the students' educational Resiliency in terms of punishment.

(3)

iii

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Judul

Lembar Pengesahan

Abstrak i

Abstract ii

Kata Pengantar iii

Daftar Isi vi

Daftar Bagan ix

Daftar Tabel x

Daftar Lampiran xi

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah 1

1.2Identifikasi Masalah 10

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 10

1.3.1 Maksud Penelitian 10

1.3.2 Tujuan Penelitian 10

1.4Kegunaan Penelitian 10

1.4.1 Kegunaan Ilmiah 10

1.4.2 Kegunaan Praktis 11

1.5Kerangka Pemikiran 11

(4)

iv

Universitas Kristen Maranatha BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 EducationalResiliency 22

2.1.1 Definisi Educational Resiliency 22

2.1.2 Personal Strenghts 23

2.1.3.Protective Factor 31

2.1.4.Risk factor 41

2.2 Remaja 41

2.2.1 Pengertian Remaja 41

2.2.2 Karakteristik Perkembangan Remaja 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian 53

3.2 Bagan Rancangan Penelitian 53

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 54

3.3.1 Variabel Penelitian 54

3.3.2 Definisi Operasional 54

3.4 Alat Ukur 57

3.4.1 Alat Ukur Educational Resiliency 57

3.4.1.1 Prosedur Pengisian Kuesiner Educational Resiliency 59

3.4.1.2 Sistem Penilaian Kuesiner Educational Resiliency 59

3.4.2 Data Pribadi dan Data Penunjang 61

(5)

v

Universitas Kristen Maranatha

3.4.2.2 Data Penunjang 61

3.4.3 Validitas dan Reliabelitas Alat Ukur 61

3.4.3.1 Validitas Alat Ukur 61

3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur 63

3.5 Populasi 64

3.5.1 Populasi Sasaran 64

3.5.2 Karakteristik Populasi 64

3.6 Analisis Data 64

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1.Gambaran Responden 66

4.1.1.Gambaran berdasarkan Jenis Kelamin 66

4.1.2.Gambaran berdasarkan Usia 67

4.2.Hasil Penelitian 67

4.2.1.Persentase Educational Resiliency 67

4.2.2.Tabulasi Silang 68

4.3.Pembahasan 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.Kesimpulan 79

5.2.Saran 80

5.2.1. Saran Teoritis 80

5.2.2. Saran Praktis 80

Daftar Pustaka 81

Daftar Rujukan 82

(6)

vi

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 1.5 Bagan Kerangka Pikir 20

(7)

vii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi- Kisi Alat Ukur Educational Resiliency 58

Tabel 3.2 Sistem Penilaian Kuesiner Educational Resiliency 60

Tabel 4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 66

Tabel 4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Usia 67

Tabel 4.2.1 Gambaran Educational Resiliency 67

(8)

viii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Alat Ukur Educational Resiliency

Lampiran B Data Pribadi dan Data Penunjang

Lampiran C Reliabilitas dan Validitas

Lampiran D Kisi-Kisi Alat Ukur Educational Resiliency

Lampiran E Tabel Frekuensi

(9)

1

Universitas Kristen Maranatha PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Di jaman globalisasi saat ini, sekolah dipandang dapat memenuhi

beberapa kebutuhan siswa dan menentukan kualitas kehidupan mereka di masa

depan (Desmita,2010: 288). Tetapi pada saat yang sama, sekolah juga dapat

menjadi sumber masalah bagi siswa. Sekolah, di samping keluarga, merupakan

sumber stress yang membuat siswa tertekan (Fimian dan Cross, 1987; dalam

Desmita, 2010: 288). Tekanan itu dirasakan siswa dari jenjang SD sampai dengan

Perguruan Tinggi. Di mulai dari pekerjaan rumah yang banyak, perubahan

kurikulum yang berlangsung dengan cepat, batas waktu tugas dan ujian, membagi

waktu untuk mengerjakan PR, olah raga, hobi, dan kehidupan sosial ( Desmita,

2010: 289). Selain itu juga, kurikulum sekolah yang dijalani oleh siswa SMA

berbeda dengan kurikulum di SMP. Salah satu bagian dari kurikulum yaitu mata

pelajaran, dimana mata pelajaran di SMA ada yang berbeda saat di SMP.

Tekanan-tekanan yang dialami oleh siswa tersebut juga harus dihadapi

bersamaan dengan masalah dalam tahap perkembangan masa remaja awal. Masa

remaja adalah masa transisi atau yang biasa disebut dengan masa peralihan dari

masa kanak-kanak dan dewasa. Remaja memiliki karakteristik dan beberapa

masalah yang mereka alami seperti adaptasi dengan perubahan fisik saat pubertas,

peralihan dari Sekolah Dasar ke Sekolah Menengah, emosi yang sedang

(10)

2

Universitas Kristen Maranatha independensi namun sebenarnya masih ingin diperhatikan (Santrock,2006).

Karakteristik dan permasalahan yang terjadi terlihat pada tahap remaja madya,

yaitu pada rentang 14 – 18 tahun yang merupakan usia siswa SMA.

Tekanan-tekanan yang siswa alami membuat siswa merasa jenuh dan

tertekan dalam menuntut ilmu, sehingga memicu adanya ketegangan fisik,

psikologis, dan perubahan tingkah laku serta dapat mempengaruhi prestasi belajar.

Waktu siswa untuk melakukan hal lain pun menjadi berkurang. Bahkan pada

beberapa sekolah yang diproyeksikan sebagai sekolah unggulan atau sekolah

model, menerapkan perpanjangan waktu belajar formal di sekolah misalnya

dengan memberikan pelajaran atau les tambahan.

Demikian juga halnya dengan SMA “X” yang merupakan salah satu

sekolah unggulan. Berdasarkan salah satu misi yang dimiliki SMA “X” yaitu

sebagai sekolah Katolik (Catholic School), sekolah menanamkan semangat pada

setiap pribadi agar dapat mengintegrasikan ilmu, iman, dan nilai-nilai

kemanusiaan untuk menjawab tantangan zaman dan mewujudnyatakan semboyan

“Saya Mengabdi” dalam kehidupan sehari-hari. Dalam misi tersebut disebutkan

bahwa sekolah menanamkan semangat agar siswa dapat menghadapi tantangan

hidup, salah satunya adalah tantangan dalam dunia pendidikan.

Di SMA “X”, proses belajar mengajar dimulai pada pkl. 06.45 – pkl. 14.15

dengan alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 40 menit. Berdasarkan

peraturan sekolah, siswa yang datang terlambat harus melapor pada guru piket dan

diijinkan masuk mengikuti pelajaran pada jam pelajaran ke-2. Siswa yang telah

(11)

Universitas Kristen Maranatha perpustakaan sampai jam pelajaran terakhir. Selain itu, siswa yang telah terlambat

sebanyak 6 kali akan diminta untuk pulang kembali ke rumah. Peraturan sekolah

juga tidak akan melayani administrasi bagi siswa yang tidak membawa buku

siswa, yaitu buku yang mencatat setiap pelanggaran yang dilakukan oleh siswa.

Selain itu, siswa yang tidak membawa buku siswa di minta untuk mengikuti

pelajaran di luar kelas di dekat pintu masuk kelas.

Bagi siswa yang nilainya tidak mencapai ketuntasan pada ulangan harian

atau ulangan tengah semester maka akan dilakukan remedial. Kesempatan

remedial hanya diberikan satu kali. Selain itu juga sekolah memberikan remedial

teaching dan remedial test UAS yang dilaksanakan di awal semester genap jika

nilai semester ganjil tidak tuntas. Bagi siswa yang tidak dapat mengikuti ulangan

karena alasan yang dapat dipertanggungjawabkan seperti sakit, dapat meminta

ulangan susulan pada guru mata pelajaran yang bersangkutan maksimal 2 hari

setelah ulangan berlangsung. Namun sebelumnya siswa harus mengikuti prosedur

yang telah ditetapkan. Siswa mengajukan permohonan untuk mengikuti ulangan

susulan pada guru kemudian siswa meminta persetujuan kepala sekolah untuk

ulangan susulan. Setelah kepala sekolah menyetujui permohonan siswa maka

siswa dapat mengikuti ulangan susulan. Di SMA “X” juga memiliki sasaran mutu

yaitu siswa naik kelas 100% dengan kriteria kenaikan kelas, yaitu minimal hanya

ada 3 mata pelajaran yang kurang dari nilai ketuntasan ( nilai di atas 65).

SMA “X” juga memiliki standar dalam pelajaran dengan menetapkan

(12)

4

Universitas Kristen Maranatha tidak dapat mencapai KKM. Ada beberapa siswa yang memiliki 4 atau lebih nilai

mata pelajaran yang kurang dari KKM sehingga terancam tidak naik kelas. Hal

tersebut menekan mereka namun ada siswa yang dapat bertahan dan bangkit dari

keadaan yang menekan tetapi ada juga siswa yang merasa kesulitan. Berdasarkan

data terdapat 153 siswa yang masih memiliki 4 atau lebih nilai pelajaran yang

kurang dari KKM sehingga mereka terancam tidak naik kelas. Dari hasil survey

terhadap 153 siswa tersebut diperoleh hasil sebagai berikut sebanyak 76 siswa

(49%) yang menghayati keadaan tersebut cukup menekan, terdapat 50 siswa

(33%) menghayati sangat tertekan, sebanyak 20 siswa (13%) menghayati sedikit

tertekan dan 7 siswa (5%) yang menghayati tidak tertekan dengan keadaan

tersebut.

Untuk dapat melalui tekanan akibat tuntutan-tuntutan yang berat,

diperlukan kemampuan dalam diri masing-masing siswa untuk sukses secara

akademik walaupun berada di tengah situasi yang menekan dan menghalangi

mereka untuk sukses. Kemampuan tersebut penting dimiliki siswa, terutama siswa

SMA yang berada pada tahap perkembangan remaja (jenjang usia 14 – 18 tahun)

yang merupakan masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa. Untuk

dapat melewati itu semua, remaja memerlukan dukungan dari lingkungannya

dalam hal ini adalah peers dan orang yang lebih dewasa yang mau peduli dan

memberi kesempatan pada remaja untuk dapat terlibat (Santrock,2006).

Kemampuan siswa SMA untuk beradaptasi dengan baik dan mampu berfungsi

secara baik di tengah situasi yang menekan dan banyak halangan serta rintangan

(13)

Universitas Kristen Maranatha Derajat resiliensi dapat dilihat dari personal strength yang ada dalam diri

individu. Personal strength adalah karakteristik individual yang dihubungkan

dengan perkembangan yang sehat dan perkembangan hidup yang terdiri dari

social competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose (Benard,

2004). Personal strength adalah karakteristik individual yang dihubungkan

dengan perkembangan yang sehat dan perkembangan hidup yang terdiri dari

social competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose (Benard,

2004).

Social competence merupakan kemampuan bersosialisasi walaupun sedang

menghadapi tekanan yang berat. Mereka mampu membuat orang lain merespon

secara positif terhadap masalah yang mereka hadapi, mampu mengkomunikasikan

pendapat-pendapatnya tanpa menyinggung orang lain,memahami kesulitan orang

lain, dan rela membantu orang lain yang mengalami kesulitan. Maka siswa dapat

dikatakan memiliki social competence yang tinggi. Sedangkan siswa yang

cenderung memiliki social competance yang rendah sulit untuk membuat orang

lain merespon secara positif terhadap masalah yang mereka hadapi, sulit

mengkomunikasikan pendapat-pendapatnya tanpa menyinggung orang lain,

kurang memahami kesulitan orang lain, dan kurang rela membantu orang lain

yang mengalami kesulitan.

Problem solving merupakan kemampuan untuk membuat rencana-rencana

yang berkaitan dengan dirinya sendiri, mampu mencari jalan keluar lain ketika

solusi yang biasanya dilakukan tidak berhasil, dan mampu mencari bantuan dari

(14)

6

Universitas Kristen Maranatha problem solving yang tinggi. Sedangkan siswa yang sulit untuk membuat

rencana-rencana yang berkaitan dengan dirinya sendiri, sulit mencari jalan keluar lain

ketika solusi yang biasanya dilakukan tidak berhasil, dan kurang mampu mencari

bantuan dari orang lain ketika membutuhkannya. Maka siswa cenderung memiliki

problem solving yang rendah.

Autonomy merupakan individu yang memiliki rasa percaya diri, merasa

bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupannya dapat dikendalikan oleh

dirinya dan bukan oleh lingkungan, dan dapat menemukan sisi humor dari

permasalahannya. Maka siswa tergolong memiliki autonomy yang tinggi.

Sedangkan siswa yang cenderung memiliki autonomy yang rendah, kurang

memiliki rasa percaya diri, merasa bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam

kehidupannya dapat dikendalikan oleh lingkungan, dan kurang dapat menemukan

sisi humor dari permasalahannya.

Terakhir sense of purpose merupakan tujuan hidup yang jelas dan motivasi

untuk meraihnya, mampu bersikap optimis dalam menghadapi permasalahan yang

ada dan memiliki keimanan bahwa Tuhan pasti mendampingi mereka dalam

menghadapi masalah. Maka dapat dikatakan siswa tergolong memiliki sense of

purpose yang tingg.l.Sedangkan siswa yang cenderung memiliki sense of

purpose yang tergolong rendah, kurang memiliki tujuan hidup yang jelas dan

kurang motivasi untuk meraihnya, kurangb mampu bersikap optimis dalam

menghadapi permasalahan yang ada dan kurang memiliki keimanan bahwa Tuhan

(15)

Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan survei awal dari 43 siswa di SMA “X” di kota Bandung,

dalam hal social competence ketika mereka mengalami kesulitan terdapat 84%

(36 siswa) yang masih dapat bersikap ramah pada orang lain, 16% (7 siswa)

bersikap cuek terhadap orang lain Selain itu, ketika siswa mengalami kesulitan

dan orang lain juga mengalami kesulitan, 98% (42 siswa) peduli dan mambantu

orang tersebut dan 2% (1 siswa) tidak peduli pada orang tersebut.

Ketika siswa mengalami kesulitan, mereka memiliki cara menyelesaikan

yang berbeda-beda (problem solving). Berdasarkan survei dari 43 siswa, 33% (14

siswa) menyelesaikannya sendiri, 37% (16 siswa) meminta bantuan orang lain,

23% (10 siswa) terkadang menyelesaikannya sendiri dan meminta bantuan orang

lain, dan 7% (3 siswa) merenungkannya kemudian mencari jalan keluarnya sendiri

Selain itu dalam hal autonomy, dari 43 siswa terdapat 63% (27 siswa) merasa

yakin dapat menyelesaikan, 25% (11 siswa) merasa tidak yakin dapat

menyelesaikan dan 12% (5 siswa) merasa masih ragu-ragu apakah dapat

menyelesaikan masalah tersebut atau tidak.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada 5 orang siswa, di dapat

4 siswa yang merasa tertekan dalam menghadapi kegiatan belajar mengajar. Siswa

SMU kelas I SMU “X” yang pertama diwawancarai mengatakan bahwa ia merasa

tertekan dengan banyaknya tugas dan PR yang hampir diberikan setiap hari oleh

para guru sehingga membuat siswa merasa bingung harus mengerjakan yang

mana terlebih dahulu. Siswa kedua yang diwawancarai mengatakan bahwa ia

merasa sulit pada salah satu mata pelajaran karena cara guru yang mengajar yang

(16)

8

Universitas Kristen Maranatha membuat siswa kesulitan saat ujian karena tidak mengerti materi. Oleh karena itu,

siswa tersebut mengikuti les tambahan yang diadakan oleh sekolah dengan

pengajar yang berbeda. Hasil wawancara dari siswa ketiga mengatakan bahwa

selain mengikuti pelajaran di sekolah siswa juga mengikuti les tambahan di

sekolah karena ada beberapa pelajaran yang di rasa sulit dan juga kursus bahasa di

luar. Sedangkan siswa yang terakhir mengatakan bahwa ia merasa kurang waktu

untuk bermain bersama teman dan berkumpul dengan keluarga karena hampir

dihabiskan untuk di sekolah dan les.

Resiliensi tidak muncul begitu saja, ada faktor-faktor yang mempengaruhi

yaitu protective factor dan risk factor. Protective factor adalah orang-orang atau

hal-hal di luar diri yang membantu siswa/i untuk tumbuh dan berkembang dengan

baik, mencintai, bekerja, bermain, dan menerima kenyataan dengan baik saat

menghadapi tantangan besar dimana mereka menggunakan potensinya untuk

pertumbuhan dan pertahanan yang sehat serta menghadapi perubahan

(Garmezy,1974; Werner & Smith,1982). Sedangkan risk factor merupakan

hadirnya satu atau lebih faktor-faktor penghambat yang meningkatkan

kemungkinan timbulnya dampak negatif pada anak-anak atau remaja. Protective

factor yang terdiri dari keluarga, sekolah dan komunitas memang memegang

peranan penting dalam pembentukan resiliensi siswa. diperlukan perhatian (caring

relationship ), ekspektasi (high expectation) dan kesempatan (opportunities for

participation and contribution) dari keluarga, sekolah dan komunitas agar siswa

(17)

Universitas Kristen Maranatha Dalam situasi yang penuh dengan tekanan, keluarga memiliki peranan

yang penting dalam mendukung mereka sehingga memfasilitasi perkembangan

resiliensi. Keterikatan dengan keluarga selama masa remaja dapat berfungsi

adaptif, yang menyediakan landasan yang kokoh di mana remaja dapat

menjelajahi dunia sosial yang luas dengan cara yang sehat secara psikologis

termasuk menghadapi tekanan yang mereka alami di sekolah (Allen & Bell,1995;

Bell, 1995 dalam Santrock, 2003 ). Namun di sisi lain, remaja juga memiliki

keinginan untuk bebas dari orang tua. Remaja lebih banyak menghabiskan waktu

dengan teman sebaya. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berhubungan

atau bergaul dengan teman-teman sebaya.

Selain keluarga dan teman sebaya, sekolah juga memiliki peranan yang

sangat penting bagi perkembangan remaja. Interaksi remaja dengan guru dan

teman sebaya di sekolah, memberikan peluang yang besar bagi remaja untuk

mengembangkan kemampuan kognitif dan keterampilan sosial, serta memperoleh

pengetahuan mengenai dunia sehingga dapat menghadapi tantangan yang

diberikan dunia termasuk tantangan dalam dunia pendidikan.

Berdasarkan fenomena dan hasil survei yang menunjukkan ada siswa yang

menghayati sangat tertekan ketika memperoleh 4 atau lebih nilai yang kurang dari

KKM sehingga terancam tidak naik kelas. Oleh karena itu, peneliti ingin

mengetahui gambaran Educational Resiliency siswa SMA yang memiliki 4 atau

lebih nilai pelajaran yang kurang dari KKM (yang untuk selanjutnya akan disebut

(18)

10

Universitas Kristen Maranatha 1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan di atas, maka

permasalahan yang ingin diteliti adalah ingin mengetahui bagaimana derajat

Educational Resiliency siswa di SMA “X” di kota Bandung.

1.3. Maksud dan Tujuan

1.3.1. Maksud Penelitian

Untuk mengetahui gambaran mengenai Educational Resiliency

siswa di SMA “X” di kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mendapatkan gambaran mengenai aspek-aspek Educational

Resiliency (social competence, problem solving, autonomy, dan sense of

purpose) dan keterkaitannya dengan protective factor dan risk factor pada

siswa SMA “X” kota Bandung.

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Teoritis

1. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi pada bidang

Psikologi Pendidikan dan Perkembangan.mengenai Educational Resiliency

siswa di SMA “X” di kota Bandung.

2. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi informasi tambahan bagi

peneliti lain yang tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai

(19)

Universitas Kristen Maranatha 1.4.2. Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi kepada para siswa/i mengenai Educational

Resiliency pada siswa di sekolah. Khususnya siswa agar dapat bangkit dan

beradaptasi di sekolah.

2. Dapat menjadi informasi bagi Kepala Sekolah dan guru BK mengenai

Educational Resiliency siswa di SMA “X” di kota Bandung., agar dapat

menangani dan membantu permasalahan yang terjadi pada siswa/i di

sekolah.

1.5. Kerangka Pemikiran

Siswa SMA berada pada usia 14 – 18 tahun, mereka berada pada masa

perkembangan remaja. Masa remaja adalah masa transisi atau yang biasa

disebut dengan masa peralihan yang menghubungkan masa kanak-kanak dan

dewasa. Remaja memiliki karakteristik dan beberapa masalah yang mereka

alami seperti adaptasi dengan perubahan fisik saat pubertas, peralihan dari

Sekolah Dasar ke Sekolah Menengah, perkembangan emosi yang sedang

bergejolak, masalah teman sebaya dan keluarga, serta keinginan untuk

independensi namun sebenarnya masih ingin diperhatikan (Santrock,2006).

Menurut Piaget, dalam masa remaja tersebut, mereka memasuki tahap

perkembangan kognitif formal operational. Pada tahap ini mereka memiliki

kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan idealistik.

Mereka juga mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang

(20)

12

Universitas Kristen Maranatha perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001).

Perkembangan lain pada tahap ini ialah kemampuan untuk berfikir secara

sistematis, dapat memikirkan kemungkinan-kemungkinan secara teratur atau

sistematis untuk memecahkan masalah (problem solving). Pada tahap ini siswa

dapat memprediksi berbagai kemungkinan yang terjadi atas suatu peristiwa.

Selain masalah perkembangan, siswa juga mendapatkan

tuntutan-tuntutan yang diberikan oleh sekolah semakin berat. Di mulai dari pekerjaan

rumah yang banyak, perubahan kurikulum yang berlangsung dengan cepat,

batas waktu tugas dan ujian, membagi waktu untuk mengerjakan PR, olah raga,

hobi, dan kehidupan sosial ( Desmita, 2010: 289 ). Untuk dapat memenuhi

tuntutan-tuntutan itu, siswa diminta untuk lebih banyak menghabiskan

waktunya untuk belajar guna mengejar materi pelajaran agar lebih mengerti

lagi. Hal tersebut membuat waktu mereka untuk melakukan hal lain menjadi

berkurang.

Sekolah juga memiliki standar dalam pelajaran dengan menetapkan

Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM). Pada SMA “X” masih terdapat siswa

yang tidak dapat mencapai KKM. Ada beberapa siswa yang memiliki 4 atau

lebih nilai mata pelajaran yang kurang dari KKM sehingga terancam tidak naik

kelas. Hal tersebut menekan mereka namun ada siswa yang dapat bertahan dan

bangkit dari keadaan yang menekan tetapi ada juga siswa yang merasa

kesulitan.

Untuk dapat menghadapi dan melalui tekanan akibat tuntutan-tuntutan

(21)

Universitas Kristen Maranatha untuk dapat bertahan dan bangkit dalam keadaan sulit. Kemampuan siswa

SMA terhadap situasi yang menekan disebut dengan Educational Resiliency.

Educational Resiliency adalah kemampuan siswa untuk sukses secara

akademik walaupun di tengah situasi yang menekan dan menghalangi

Educational Resiliency adalah kemampuan siswa untuk dapat sukses

secara akademik walaupun berada di tengah situasi yang menekan dan

menghalangi mereka untuk sukses (Benard,1991; Wang, Haertel, and

Walberg,1998). Kemampuan siswa SMA untuk beradaptasi dengan baik dan

mampu berfungsi secara baik di tengah situasi yang menekan dan banyak

halangan serta rintangan disebut dengan Resiliency (Benard,1991). Individu

yang resilient mengalami penderitaan namun mampu mengendalikan

perilakunya sehingga yang keluar adalah outcomes positive.

Outcomes positive dari resiliency dapat dilihat dari personal strength yang

ada dalam diri individu. Personal strength adalah karakteristik individual yang

dihubungkan dengan perkembangan yang sehat dan perkembangan hidup yang

terdiri dari social competence, problem solving, autonomy, dan sense of

purpose (Benard, 2004). Social competence merupakan kemampuan

bersosialisasi walaupun sedang menghadapi tekanan yang berat. Mereka

mampu membuat orang lain merespon secara positif terhadap masalah yang

mereka hadapi, mampu mengkomunikasikan pendapat-pendapatnya tanpa

menyinggung orang lain,memahami kesulitan orang lain, dan rela membantu

orang lain yang mengalami kesulitan. Maka siswa dapat dikatakan memiliki

(22)

14

Universitas Kristen Maranatha social competance yang rendah sulit untuk membuat orang lain merespon

secara positif terhadap masalah yang mereka hadapi, sulit

mengkomunikasikan pendapat-pendapatnya tanpa menyinggung orang lain,

kurang memahami kesulitan orang lain, dan kurang rela membantu orang lain

yang mengalami kesulitan.

Problem solving merupakan kemampuan untuk membuat rencana-rencana

yang berkaitan dengan dirinya sendiri, mampu mencari jalan keluar lain ketika

solusi yang biasanya dilakukan tidak berhasil, dan mampu mencari bantuan

dari orang lain ketika membutuhkannya. Maka siswa dapat dikatakan

memiliki problem solving yang tinggi. Sedangkan siswa yang sulit untuk

membuat rencana-rencana yang berkaitan dengan dirinya sendiri, sulit mencari

jalan keluar lain ketika solusi yang biasanya dilakukan tidak berhasil, dan

kurang mampu mencari bantuan dari orang lain ketika membutuhkannya.

Maka siswa cenderung memiliki problem solving yang rendah.

Autonomy merupakan individu yang memiliki rasa percaya diri, merasa

bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupannya dapat dikendalikan

oleh dirinya dan bukan oleh lingkungan, dan dapat menemukan sisi humor

dari permasalahannya. Maka siswa tergolong memiliki autonomy yang tinggi.

Sedangkan siswa yang cenderung memiliki autonomy yang rendah, kurang

memiliki rasa percaya diri, merasa bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam

kehidupannya dapat dikendalikan oleh lingkungan, dan kurang dapat

(23)

Universitas Kristen Maranatha Terakhir sense of purpose merupakan tujuan hidup yang jelas dan motivasi

untuk meraihnya, mampu bersikap optimis dalam menghadapi permasalahan

yang ada dan memiliki keimanan bahwa Tuhan pasti mendampingi mereka

dalam menghadapi masalah. Maka dapat dikatakan siswa tergolong memiliki

sense of purpose yang tinggi. Sedangkan siswa yang cenderung memiliki

sense of purpose yang tergolong rendah, kurang memiliki tujuan hidup yang

jelas dan kurang motivasi untuk meraihnya, kurangb mampu bersikap optimis

dalam menghadapi permasalahan yang ada dan kurang memiliki keimanan

bahwa Tuhan pasti mendampingi mereka dalam menghadapi masalah

Setiap siswa memiliki aspek-aspek personal strength dalam dirinya,

namun dengan derajat yang berbeda-beda. Aspek-aspek inilah yang

menyebabkan perbedaan derajat Educational Resiliency pada siswa yang juga

merupakan interaksi dari dua faktor, yaitu protective factor dan risk factor.

Protective factor adalah orang-orang atau hal-hal di luar diri yang membantu

siswa/i untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, mencintai, bekerja,

bermain, dan menerima kenyataan dengan baik saat menghadapi tantangan

besar dimana mereka menggunakan potensinya untuk pertumbuhan dan

pertahanan yang sehat serta menghadapi perubahan (Garmezy,1974; Werner

& Smith,1982). Protective factor dapat berasal dari lingkungan keluarga,

sekolah dan komunitas dalam hal ini adalah teman sebaya yang dapat berupa

kasih sayang (caring relationship), harapan yang optimal dan jelas (high

(24)

16

Universitas Kristen Maranatha lingkungannya (Opportunities for participation and contribution)

(Benard,2004).

Pada saat siswa mengalami risk factor, siswa membutuhkan orang lain

yang dekat dengannya untuk menetralisir risk factor, yaitu keluarga, sekolah

dan teman sebaya. Anggota keluarga dapat memberikan perhatian pada siswa,

keluarga ada ketika siswa membutuhkan bantuan, keluarga ikut memberikan

kasih sayang pada siswa (caring relationship). Selain itu juga kepercayaan dan

harapan serta tantangan dari keluarga bahwa siswa mampu untuk mencapai

cita-citanya (high expectations). Keluarga juga mampu memberikan

kesempatan kepada siswa untuk bertanggung jawab terhadap masalahnya

sendiri, mengambil keputusan sendiri dalam menyelesaikan nilai pelajaran

yang kurangdari KKM (Opportunities for participation and contribution).

Ketika keluarga memberikan kasih sayang (caring relationship) pada

siswa maka siswa menghayati bahwa kebutuhan perhatian (basic needs:

respect) terpenuhi. Siswa akan menjadi lebih mandiri dalam menyelesaikan

atau menuntaskan nilai pelajaran yang masih kurang dari KKM (autonomy).

Selain keluarga, sekolah juga memiliki peranan dalam memfasilitasi

perkembangan educational resiliency. Ketika guru memenuhi kebutuhan

siswa akan autonomy/ power dengan memberi dukungan saat siswa

mengalami kesulitan dalam pelajaran, maka siswa akan mampu mencari

bantuan dari orang lain ketika membutuhkannya (problem solving), bersikap

(25)

Universitas Kristen Maranatha kemampuannya sendiri untuk dapat menuntaskan nilai pelajaran yang kurang

dari KKM (sense of purpose).

Selain keluarga dan sekolah, komunitas dalam hal ini teman sebaya juga

memberikan perenan dalam mengembangkan educational resiliency siswa.

Dalam kehidupan seorang anak, caring relationship dari tetangga, orang tua

teman, guru, atau siapapun yang menjaganya merupakan protective factors

yang juga dibutuhkan oleh anak (Benson, 1997; dalam Benard, 2004). Ketika

siswa menghayati bahwa mereka mendapatkan protective factor dari keluarga,

sekolah dan teman sebaya dan basic needs mereka terpenuhi maka

Educational Resiliency siswa tergolong tinggi. Namun ketika siswa

menghayati bahwa mereka kurang mendapatkan protective factor dari

keluarga, sekolah dan teman sebaya dan basic needs mereka kurang terpenuhi

maka Educational Resiliency siswa tergolong rendah.

Pada saat siswa mengalami risk factor, ada siswa yang menghayati bahwa

mereka kurang memiliki arti (basic needs; meaning) Penghayatan tersebut

membuat siswa bersikap negatif terhadap lingkungannya, tidak ada perasaan

nyaman ketika berada di lingkungannya, bersikap tertutup, tidak peduli

terhadap perasaan dan sudut pandang orang lain, tidak peduli terhadap

masalah orang lain, dan merasa bahwa masalahnya yang paling berat (social

competence rendah),. Siswa terpaku pada satu solusi saja dalam

menyelesaikan masalah dan menjadi bingung ketika solusi tersebut tidak

berhasil, serta kurang mampu untuk meminta bantuan orang lain untuk dapat

(26)

18

Universitas Kristen Maranatha juga menjadi rendah karena merasa bahwa dirinya tidak berharga, merasa

tidak memiliki control dalam kehidupan (autonomy rendah). Selain itu juga,

siswa tidak memiliki rencana dan merasa pesimis akan harapan masa

depannya (sense of purpose rendah).

Namun ada pula siswa memunculkan outcomes positif ketika mengalami

risk factor maka akan muncul penghayatan pada siswa bahwa kebutuhan dasar

mereka untuk dihargai,dicintai (basic needs; respect dan meaning) terpenuhi

sehingga mampu untuk mencapai sesuatu yang diinginkan hingga berhasil dan

merasa berguna bagi lingkungannya. Dengan memiliki penghayatan tersebut,

siswa akan merespon positif anggota keluarganya, mampu menjalin hubungan

dengan orang lain secara positif, mampu untuk memahami perasaan orang lain

dan mengerti sudut pandang orang lain, serta berusaha untuk peduli dan

membantu orang lain yang sedang kesulitan (social competence). Siswa juga

mampu untuk berpikir secara fleksibel ketika mengalami kesulitan atau

hambatan dengan mencari jalan keluar yang lain, mampu mencari bantuan dari

berbagai sumber, mampu memahami masalah yang sedang dihadapi sehingga

mampu menemukan solusi yang tepat (problem solving). Penghayatan bahwa

keluarga pada kemampuan siswa dan memberikan kesempatan pada siswa

untuk menyelesaikan masalahnya sendiri akan membuat siswa memiliki rasa

percaya diri bahwa mereka dapat beradaptasi dengan tuntutan sekolah dan

menjadi pribadi yang mandiri (autonomy) serta membuat rencana dan optimis

(27)

Universitas Kristen Maranatha mendapatkan dukungan dari keluarga dan sekolah maka akan memungkinkan

(28)
(29)

Universitas Kristen Maranatha 1.6.Asumsi

1. Siswa membutuhkan resiliensi untuk dapat beradaptasi dan mampu

berfungsi secara baik di tengah keadaan yang menekan.

2. Educational Resiliency dilihat dari 4 aspek yaitu social competence,

problem solving, autonomy, dan sense of purpose and bright future.

3. Educational Resiliency siswa dipengaruhi juga oleh risk factor

(Masalah Fisik, Masalah Keluarga, Masalah peraturan dan

konsekuensi, dan Tuntutan kurikulum)

4. Siswa mendapatkan protective factor dari family, school dan

community yang memberikan variasi terhadap resiliensi.

5. Protective factor dilihat melalui caring relationship, high

(30)

79

Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 40 siswa di SMA “X” yang

memiliki 4 atau lebih nilai pelajaran yang kurang dari KKM, dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1) Siswa SMA “X” yang memiliki 4 atau lebih nilai pelajaran yang

kurang dari KKM masih lebih banyak (52.5 %) yang mempunyai

educational resiliency yang tinggi daripada yang mempunyai

educational resiliency yang rendah (47.5%).

2) Educational Resiliency yang tinggi pada siswa SMA “X” didukung

oleh aspek social competence, problem solving, autonomy, dan

sense of purpose and bright future yang tinggi. Demikian juga

educational resiliency yang rendah ditunjukkan oleh aspek social

competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose and

bright future yang rendah.

3) Protective Factor yang menunjukkan keterkaitan dengan

Educational resiliency yang memiliki 4 atau lebih nilai pelajaran

yang kurang dari KKM meliputi perhatian, harapan dan kesempatan

(31)

Universitas Kristen Maranatha 4) Risk Factor yang dialami oleh siswa yang memiliki 4 atau lebih

nilai pelajaran yang kurang dari KKM, pemberian hukuman dari

sekolah merupakan masalah yang menimbulkan Educational

Resiliency siswa rendah.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti

mengajukan beberapa saran :

5.2.1. Saran Teoritis

1) Berdasarkan hasil penelitian, disarankan bagi peneliti selanjutnya

untuk melakukan penelitian mengenai educational resiliency

dengan faktor-faktor yang mempengaruhi dengan menggunakan

metode perbandingan, korelasi ataupun kontribusi..

5.2.2. Saran Praktis

1) Bagi BK agar dapat melakukan konseling pada siswa yang

memiliki educational resiliency yang rendah dan memberikan

informasi kepada para orang tua mengenai lingkungan keluarga

yang kondusif bagi perkembangan educational resiliency siswa.

2) Bagi siswa agar lebih dapat memahami diri sendiri dan dapat

(32)

81

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Bernard, B. (1991). Fostering Resiliency in Kids: Protective Factors in the Family, School, and Community. San Fransisco: Wested Regional Educational Laboratory.

Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Guilford, J. P. (1967). Fundamental Statistics in Psychology and Education.(3rd Ed). Tokyo: Mc. Graw-Hill Kogakusha Company.Ltd

Gulo, W. (2002). Metodelogi Penelitian. Jakarta: Grasindo.

Gunarsa, S.D. (1988). Psikologi remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Gunarsa, S.D. (1990). Dasar dan teori perkembangan anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. (2001). Human development (8th ed.). Boston: McGraw-Hill

Santrock, John W. (2002). Life-Span Development- Perkembangan Masa Hidup. Terjemahan Damanik, Juda. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J.W. (2003). Adolescence. 9th Ed. Dallas: McGraw-Hill.

(33)

82

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Ervina. 2011. Pengaruh Aspek-Aspek Dukungan Orang tua terhadap Kemampuan Self Regulation dalam Bidang Akademik pada Siswa SMP “X”. Skripsi, Bandung: Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Maranatha Bandung.

Leni, Marta. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliency pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas “X” Bandung yang sedang Mengerjakan Usulan Penelitian (UP). Skripsi, Bandung: Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Maranatha Bandung.

Sari, Maya. 2007. Studi Deskriptif Mengenai Resiliency pada Siswa SMP “X” Kelas VII di Kota Bandung. Skripsi, Bandung: Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Maranatha Bandung.

Shabrina, Hashilah. 2011. Studi Deskriptif Mengenai Educational Resiliency pada Siswa/I Kelas X di SMAT “X” Bandung (Suatu Penelitian pada Sekolah Berasrama Semi Militer). Skripsi. Bandung: Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Maranatha Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

Second, showed the lists of vocabulary that were not covered in the short story books; and the last was comparison among three short story books to find out

Rasio organ ginjal hewan uji yang diberi ekstrak meningkat dengan sangat bermakna (p<0,01) dibandingkan dengan kelompok kontrol, terutama pada hewan uji dengan dosis

ASI ekslusif Pemberian ASI eksklusif merupakan bagian dari progam dan rekomendasi pemerintah untuk diinstruksikan kepada orang tua menyusui dalam memberikan ASI

Mattulada menyatakan bahwa dengan diterimanya Islam dan dijadikannya sara’ (syariat Islam) sebagai bagian integral dari panngaderreng, maka pranata-pranata kehidupan

1) Bagi penulis, mengembangkan pengetahuan penulis dalam menganalisis profitabilitas dan opini audit yang dapat mempengaruhi ketepatan waktu pelaporan keuangan. 2) Bagi

Adalah layanan yang memungkinkan pengguna melakukan komunikasi telepon dengan pengguna lain melalui internet. Dalam hal ini kita juga mengenal Internet Telephony

Atmosfer dari planet merkurius terdiri dari gas natrium dan kalium yang sangat tipis sehingga kadang-kadang dikatakan bahwa planet ini tidak memiliki atmosfer.. Jarak

pada gelas kimia tidak mengalami perubahan juga tidak terdapat adanya gas atau gelembung, tidak terdapat adanya gelembung tersebut membuktikan bahwa tidak