• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEWUJUDKAN PENDIDIKAN BERKARAKTER DALAM MENGHADAPI TANTANGAN ERA GLOBALISASI Oleh: Yulda Dina Septiana, M.A. Abstraksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEWUJUDKAN PENDIDIKAN BERKARAKTER DALAM MENGHADAPI TANTANGAN ERA GLOBALISASI Oleh: Yulda Dina Septiana, M.A. Abstraksi"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

MEWUJUDKAN PENDIDIKAN BERKARAKTER DALAM MENGHADAPI TANTANGAN ERA GLOBALISASI

Oleh: Yulda Dina Septiana, M.A.

Abstraksi

Pendidikan dibutuhkan oleh setiap manusia untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya, oleh karena itu pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia, keduanya saling melengkapi satu sama lain. Pendidikan sangat penting dalam rangka memajukan kehidupan generasi demi generasi sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman. Pendidikan karakter dalam menghadapi tantangan era globalisasi ini supaya siswa tersebut tidak bisa dikalahkan oleh dengan kemajuan zaman pada saat sekarang ini. Karena pendidikan pada saat sekarang ini sangat penting bagi siswa, dan untuk meningkatkan pendidikan karakter baik, siswa harus memperlihatkan tingkah laku dalam sehari-hari. Kualitas pendidikan ini sangat bergantung kepada siswa untuk lebih aktif dalam prose pembelajaran. Pengintegrasikan seluruh sumber informasi yang ada di Indonesia ke dalam kegiatan belajar mengajar. Penanaman tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang diembannya dan pembudayaan akhlakul karimah dalam setiap perbuatan kesehariannya serta diperlukan kerja sama dari berbagai pihak, utamanya pemimpin lembaga pendidikan Islam di Indonesia dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan.

Kata kunci: Pendidikan Karakter, Era Globalisasi, Kualitas Pendidikan

A. PENDAHULUAN

Dalam dunia keilmuan Islam, pendidikan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia, karena pendidikanlah manusia akan bisa eksis dan Berjaya di muka bumi ini. Sebagai suatu sistem, pendidikan memiliki sejumlah komponen yang saling berkaitan antara yang satu dan lainnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.1 Komponen pendidikan tersebut antara lain komponen kurikulum, guru, metode, sarana prasarana, dan evaluasi. Selanjutnya, dari sekian komponen pendidikan tersebut, guru merupakan pendidikan terpenting, terutama dalam mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan.

Melalui tindakan-tindakan guru ini, nasib pendidikan kita bergantung kepadanya, sementara itu diketahui bahwa dewasa ini tugas guru semakin terasa berat. Hal ini terjadi antara lain karena kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan cara pandang dan pola hidup masyarakat yang menghendaki strategi dan pendekatan dalam proses belajar mengajar yang berbeda-beda, di samping materi pengajaran itu sendiri dan penuh dengan tantangan era globalisasi terhadap pendidikan karakter siswa.

(2)

B. Pembahasan

1. Pengertian Pendidikan

Menurut M. Arifin pendidikan Islam merupakan suatu proses mengarahkan dan membimbing anak ke arah pendewasaan pribadi yang beriman, berilmu pengetahuan yang saling mempengaruhi dalam perkembangannya untuk mencapai titik optimal (Insan Kamil).2 Hal ini sesuai dengan rumusan undang- undang sistem pendidikan nasional No.20 tahun 2003 pasal 37 ayat I tentang sistem pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik untuk menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.3

Berdasarkan pendapat tentang pengertian pendidikan Islam di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya saling melengkapi dan memiliki tujuan yang tidak berbeda yakni agar peserta didik dalam aktivitas kehidupannya tidak terlepas dari pengamalan agama, berakhlak mulia, dan berkepribadian utama, berwatak sesuai dengan ajaran agama Islam. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan agama Islam yang diselenggarakan pada jalur, jenjang dan semua jenis pendidikan menekankan bukan hanya pada pengetahuan terhadap Islam, tetapi juga terutama pada pelaksanaan dan pengamalan agama peserta didik dalam seluruh kehidupannya.

Dalam rumusan UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 bab II pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.4

Berdasarkan kutipan tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional di atas, dinyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional, pendidikan agama menempati tempat yang strategis secara operasional yaitu pendidikan agama yang mempunyai relevansi

2 M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 74

3 Tim Redaksi Fokus Media, UU SISDIKNAS NO.20 Tahun 2003,(Bandung: Fokus Media,2003), h. 50

(3)

dengan pendidikan kehidupan bangsa dan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945.

Menurut Zakiah Daradjat, yang dikutip Hj. Nur Uhbiyati menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu seseorang yang membuatnya menjadi Insan kamil dengan pola taqwa, Insan kamil artinya manusia utuh jasmani dan rohani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal, karena taqwanya kepada Allah.5 Ini mengandung arti bahwa pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya, masyarakat, serta senang mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam.

Pendidikan adalah pilar kemajuan dari suatu bangsa. Bangsa yang maju mustahil tanpa diimbangi dengan adanya sistem pendidikan yang baik. Iman Barnadi berpendapat bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik. Era globalisasi adalah menyebarnya segala sesuatu secara sangat cepat ke seluruh dunia. Era globalisasi tidak hanya menyerang pada sektor teknologi, budaya, namun pendidikan juga menjadi salah satu sektor yang mendapat dampak era globalisasi. 6Era globalisasi menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia, yang mempengaruhi semua sektor yang ada di Indonesia terutama dunia pendidikan di Indonesia. Tingkat pendidikan generasi muda akan menentukan kemampuan bangsa Indonesia dalam merespons perubahan jaman dan memenangkan persaingan global yang semakin tinggi. Bangsa yang memiliki kualitas manusia yang terbaik akan keluar sebagai pemenang, mengejar persaingan global, pemerintah melakukan perubahan-perubahan. Seperti halnya kebijakan pemerintah terhadap dunia pendidikan untuk menetapkan pendidikan karakter terhadap diri siswa, bahwa segala sistem pendidikan seperti apa yang telah dijalankan di luar negeri. Jika kebijakan tersebut dilakukan dengan tujuan penuh mengahadapi tantangan era globalisasi, dan untuk mengejar perkembangan zaman bukan hal yang salah namun bisa saja disalahgunakan. Faktanya, pemerintah daerah yang harus tunduk terhadap kebijakan pemerintah pusat dalam membenahi sistem pendidikan di daerahnya.

Sementara pemerintah daerahlah yang mengetahui betul keadaan di daerah mereka masing-masing. Seakan-akan pemerintah hanya mengejar image untuk era globalisasi seperti

5 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, ( Bandung :Pustaka Setia, 2000 ), Jilid II, h.41

(4)

yang telah dilakukan oleh negara maju tanpa memperhatikan keadaan di negaranya sendiri. Mengejar globalisasi bukanlah langkah yang salah, namun jika hanya membuat pendidikan karakter semakin meningkat dan menurun, maka bukan lagi era globalisasi tetapi gombalisasi. Pendidikan karakter Indonesia semakin tidak meningkat, menurunya kualitas pendidikan, semakin tinggi biaya pendidikan ini sangatlah tidak mungkin jika dibiarkan begitu saja. Karena justru hanya membuat Indonesia bukan semakin berkembang dan maju tetapi justru membuat Indonesia semakin terpuruk.

Dengan demikian kita perlu mengetahui bentuk-bentuk dampak gombalisai dan faktor-faktor apa sajakah yang memicu terjadinya era globalisasi di Indonesia. Selain itu, sangat diperlukan upaya-upaya untuk menghilangkan gombalisasi yang ada di Indonesia terutama di dunia pendidikan untuk mewujudkan sistem pendidikan yang tepat yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Serta, sistem pendidikan yang mampu membawa Indonesia bersaing dengan era globalisasi, serta sistem pendidikan yang mampu membangun dan mempertahankan karakter bangsa.

Kompetensi (competency) secara bahasa berarti kemampuan atau kecakapan. Secara istilah kompetensi guru mempunyai banyak makna Broke and Stone mengemukakan bahwa kompetensi guru “descriptive of qualitative nature of teacher behavior appears to be entirely meaningfull” (kompetensi guru merupakan gambaran kualititaif tentang hakikat perilaku guru yang penuh arti). Menurut Barlow, kompetensi guru adalah the ability of teacher to responsibly perform his or her duties appropriate.7 Artinya kemampuan seorang guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya secara bertanggung jawab dan layak. Sementara Charles E. Johnson mengemukakan bahwa competency as rational performance which satisfactorily meet the objective for a desired condition (kompetensi merupakan yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan).8

1. Hakikat Pendidikan

Dengan perkembangan zaman di dunia pendidikan yang terus berubah secara signifikan sehingga dapat merubah pola pikir pendidikan dari pola pikir yang awam dan kaku

7 Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan dengan pendekatan Baru, Edisi Revisi (Bandung: Remaja rosdakarya, 2005), h.229

8 A. Tabrani Rusyan dan ES Hamijaya, Profesionalisme Tenaga Kependidikan, (Bandung: Nine Karya Jaya, 1995), h. 11

(5)

menjadi lebih modern. Hal tersebut sangat berpengaruh dalam kemajuan pendidikan di Indonesia. Untuk menyikapi hal tersebut, pakar-pakar pendidikan mengkritik dengan cara mengungkapkan konsep dan teori pendidikan yang sebenarnya untuk mencapai tujuanpendidikan yang sesungguhnya.

Berdasarkan Undang-undang No.2 tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Selaras dengan hal itu, menurut Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Carter V.Good menyatakan bahwa pendidikan adalah proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan prilaku dalam masyarakat. Proses sosial dimana seseorang dipengaruhi oleh sesuatu lingkungan yang terpimpin (khususnya di sekolah) sehingga ia dapat mencapai kecakapan sosial dan mengembangkan kepribadiannya. Sependapat dengan Good, Iman Barnadip menyatakan pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik.

Berdasarkan pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Setiap orang dapat melaksanakan tugas sebagai guru, karena kenyataanya hampir setiap orang dapat mengajarkan sesuatu kepada orang lain. Agama Islam sendiri juga mengajarkan bahwa setiap umat Islam wajib mengajarkan (mendakwahkan) ajaran Islam kepada orang lain, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah yang terdapat dalam surat An-nahl ayat 16 yang artinya: “dan (dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah mereka mendapat petunjuk.”

Berdasarkan arti ayat tersebut dapat dipahami bahwa siapapun dapat menjadi guru, asalkadia memiliki pengetahuan (kemampuan) lebih, mampu mengimplisitkan nilai-nilai

(6)

relevan (dalam pengetahuannya itu), yakni sebagai penganut agama yang patut dicontoh dalam agama yang diajarkan, dan bersedia menstranferkan pengetahuan agama serta nilainya kepada yang lain. Meskipun demikian, pendidikan ternyata tidak hanya menyangkut masalah tranformasi pengetahuan dari satu orang kepada pihak lain, tetapi lebih merupakan masalah yang kompleks.

2. Pendidikan Karakter

Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Sedangkan Pendidikan Berkarakter, menurut T. Ramli mengartikan bahwa pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.9

Menurut Ibn Kaldun, dikutip oleh Hj.Nur Uhbiyati mengatakan, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mempersiapkan seseorang dari segi keagamaan, akhlak, kemasyarakatan atau sosial, pekerjaan, pemikiran dan dari segi kesenian.10

Pendidikan karakter, dari segi bahasa berasal dari dua kata yaitu pendidikan dan karakter. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Adapun ‘karakter’ berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Berkarakter berarti mempunyai tabiat, mempunyai kepribadian, berwatak. Watak berarti sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku.11 Selain itu, karakter juga dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku

9 T. Ramli, Pendidikan Karakter Dalam Menghadapi Tantangan Era Globalisasi, (Jakarta:PT. Rineka Cipta, 2004) 115

10 Ibid, h.55

11 Muchlas Samami dan Hariyanto, Konsep dan Model…, hlm. 49. Sedangkan karakter sendiri berasal dari bahasa Yunani kharakter yang berakar dari diksi ‘kharasein’ yang berarti memahat atau mengukir (to inscribe/to engrave), sedangkan dalam bahasa latin karakter bermakna membedakan tanda. Adapun dalam American Herritage Dictionary, merupakan kualitas sifat, ciri, atribut, serta kemampuan khas yang dimiliki incividu yang membedakannya dari pribadi yang lain. Lihat, Sri Narwanti, Pendidikan Karakter (Yogyakarta: Familia, 2011), hlm. 1.

(7)

yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara.

Pendidikan karakter juga dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada anak, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa sehingga akan terwujud insan kamil.12 Dengan demikian, pendidikan karakter tidak hanya menekankan pada aspek intelektual, tetapi juga aspek emosional, dan kesadaran sosial yang lahir dari kesadaran pribadi.

Di dalam hal ini, Maragustam mengemukakan bahwa pendidikan tidak hanya membentuk insan cerdas. Namun, pendidikan juga membentuk berkepribadian atau berkarakter kuat dan berakhlak mulia yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa dan agama. Di dalam pendidikan karakter harus melibatkan aspek pengetahuan (cognitif), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Apabila salah satu tidak ada maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dari proses kesadaran seseorang mengetahui tentang nilai-nilai yang baik (knowing the good), kemudian merasakan dan mencintai kebaikan (feeling and loving the good), sehingga terpatri dan terukir dalam jiwanya yang akhirnya menjadi berkarakter kuat untuk melakukan kebaikan. Feeling and loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi power yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat kebaikan. Hakikat loving pasti mengandung unsur pengorbanan dan keikhlasan. Dengan begitu, tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebaikan itu. 13

Dengan kata lain, pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada anak atau peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan anak atau peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.

12 Nurla Isna Aunillah, Panduan Menerapkan Pendidikan…, hlm. 18-19. 13 Maragustam Siregar, Mengukir Manusia Berkarakter dalam Islam, dalam website http://maragustamsiregar.wordpress.com/2012/03/05/mengukir-manusia-berkarakter-dalam-islam/ , diakses pada 23 Oktober 2012.

(8)

Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membantu anak atau peserta didik untuk mengembangkan potensi kebajikan sehingga terwujud dalam kebiasaan baik (hati, pikiran, perkataan, sikap dan perbuatan), menyiapkan peserta didik menjadi warga Negara (Indonesia) yang baik dan mengarahkan peserta didik agar mampu membangun kehidupan yang baik, berguna dan bermakna.14

Socrates berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Di dalam sejarah Islam, Rasulullah saw, juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character). Berikutnya, ribuan tahun setelah itu rumusan tujuan utama pendidikan tetap pada wilayah serupa, yakni pembentukan kepribadian manusia yang baik.

Hal ini sesuai dengan rumusan undang- undang sistem pendidikan nasional No.20 tahun 2003 pasal 37 ayat I tentang sistem pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik untuk menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.15

Berdasarkan pendapat tentang pengertian pendidikan Islam di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya saling melengkapi dan memiliki tujuan yang tidak berbeda yakni agar peserta didik dalam aktivitas kehidupannya tidak terlepas dari pengamalan agama, berakhlak mulia, dan berkepribadian utama, berwatak sesuai dengan ajaran agama Islam. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan agama Islam yang diselenggarakan pada jalur, jenjang dan semua jenis pendidikan menekankan bukan hanya pada pengetahuan terhadap Islam, tetapi juga terutama pada pelaksanaan dan pengamalan agama peserta didik dalam seluruh kehidupannya.

Dalam rumusan UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 bab II pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu:

14 Menurut Ratna Megawangi, menghafal atau membaca secara intensif dapat mematikan motivasi untuk menggunakan pengetahuan yang diperoleh di sekolah dalam kehidupan nyata. Lihat, Ratna Megawangi, Character Parenting Space: Menjadi Orangtua Cerdas untuk Membangun Karakter Anak (Bandung: Read! Publishing House, 2007), hlm. 68.

15 Tim Redaksi Fokus Media, UU SISDIKNAS NO.20 Tahun 2003,(Bandung: Fokus Media,2003), h. 50

(9)

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.16

Berdasarkan kutipan tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional di atas, dinyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional, pendidikan agama menempati tempat yang strategis secara operasional yaitu pendidikan agama yang mempunyai relevansi dengan pendidikan kehidupan bangsa dan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945.

Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. UU No.14 tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Furqon Hidayatullah dan Ellen G. White mengemukakan bahwa pembangunan karakter adalah usaha yang paling penting yang pernah diberikan kepada manusia. Pembangunan karakter adalah tujuan luar biasa dari sistem pendidikan yang benar.17 Slamet Imam Santoso mengemukakan bahwa tujuan tiap pendidikan yang murni adalah menyusun harga diri yang kukuh-kuat dalam jiwa pelajar, supaya mereka kelak dapat bertahan dalam masyarakat.18 Di bagian lain ia juga menegaskan bahwa pendidikan bertugas mengembangkan potensi siswa semaksimal mungkin dalam batas-batas kemampuannya, sehingga terbentuk manusia yang pandai, terampil, jujur, tahu kemampuan dan batas kemampuannya, serta mempunyai kehormatan diri. Dengan demikian pembentukan watak merupakan tugas utama pendidikan. Dari penyataaan-pernyataan di atas, sudah semestinya kita menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah

(10)

membangun karakter unggul pada siswa agar tercipta individu yang dapat mempertahankan bangsa dari perkembangan era globalisasi pada saat sekarang ini.

2. Tantangan Era globalisasi dalam Pendidikan Karakter

Komisi Internasional bagi Pendidikan Abad ke 21 yang dibentuk oleh UNESCO melaporkan bahwa di era global ini pendidikan dilaksanakan dengan bersandar pada empat pilar pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Dalam learning to know peserta didik belajar pengetahuan yang penting sesuai dengan jenjang pendidikan yang diikuti. Dalam learning to do peserta didik mengembangkan keterampilan dengan memadukan pengetahuan yang dikuasai dengan latihan (law of practice). Dalam learning to be, peserta didik belajar menjadi individu yang utuh, memahami arti hidup dan tahu apa yang terbaik dan sebaiknya dilakukan, agar dapat hidup dengan baik. Dalam learning to live together, peserta didik dapat memahami arti hidup dengan orang lain, serta memahami tentang adanya saling ketergantungan (interdependency). Dengan melalui keempat pilar pendidikan ini diharapkan peserta didik tumbuh menjadi individu yang utuh, yang menyadari segala hak dan kewajiban, serta menguasai ilmu dan teknologi untuk bekal hidupnya.

Dalam Jalal dan Supriadi disebutkan tiga acuan dasar pengembangan pendidikan di Indonesia dalam era reformasi untuk menjawab tantangan global, yaitu Acuan filosofis, didasarkan pada abstraksi acuan hukum dan kajian empiris tentang kondisi sekarang serta idealisasi masa depan. Acuan nilai kultural dalam penataan aspek legal. Tata nilai itu sendiri bersifat kompleks dan berjenjang mulai dari jenjang nilai ideal, nilai instrumental, sampai pada nilai operasional. Pada tingkat ideal, acuan pendidikan adalah pemberdayaan untuk kemandirian dan keunggulan. Acuan lingkungan strategis mencakup lingkungan nasional dan lingkungan global. Lingkungan global ditandai antara lain dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi sehingga kita tidak bisa menjadi warga lokal dan nasional saja, tetapi juga warga dunia. Lingkungan strategis sangat berpengaruh bagaimana pendidikan masa depan tersebut hendaknya dirancang.

17 Furqon Hidayatullah,M, Guru sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas, (Surakarta:Yuma pustaka, 2009), h.112

18 Slamet santoso, Tantangan Era globalisasi dalam Pendidikan, (Jakarta: Rosdakarya, 2006), h.67

(11)

Sebagai implikasi dari era globalisasi dan reformasi tersebut, maka terjadi perubahan pada paradigma pendidikan. Karena itulah sangat dibutuhkan bagi indonesia untuk merancang pendidikan dalam menghadapi tantangan era globalisasi yang terjadi pada saat sekarang ini. Guru yang professional menurut pandangan Oemar Hamalik adalah guru yang memiliki sejumlah kompetensi yang dituntut agar guru tersebut mampu melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya19.

3. Bentuk-bentuk Era globalisasi dalam Pendidikan Karakter

Bentuk Globalisasi Negatif di Indonesia, pada hakikatnya, Pendidikan adalah proses penyadaran untuk menjadikan manusia sebagai “manusia”.Namun, pendidikan di Indonesia bak menanam jagung atau padi yang setiap 3 atau 6 bulan sekali diganti metode penanamannya. Sungguh ironis sekali, bagaimana akan melahirkan sisdiknas (sistem pendidikan nasional) yang baik apabila setiap kebijakan yang ditetapkan mudah pula untuk “dilanggar dan dipermainkan”. Terlalu seringnya kebijakan yang parsial dengan diistilahkan ganti menteri ganti kebijakan. Pendidikan bukan sesuatu kebutuhan sesaat tetapi merupakan investasi yang harus dijaga keeksistensiannya.

Tercatat bahwa pada tahun 1947 diresmikan Rencana Pelajaran, yang kemudian menjadi Pelajaran Terurai (1952) kemudian diganti sebagai Rencana Pendidikan 1964 yang kemudian diganti sebagai kurikulum 1968 (K68). Sejak lahirnya kurikulum 68 terus terjadi pergantian kurikulum disusul dengan K84. Kemudian diganti dengan K94, setelah itu direvisi dengan nama Suplemen Kurikulum 1994. Pada tahun 2002, lahir ‘strategi pembelajaran’ yang dinamakan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). KBK pun direvisi pada tahun 2004 dengan nama KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Wawan Hartawan(2010). Seperti halnya dalam rangka mengejar globalisasi, pemerintah membentuk program, yaitu dengan mengkategorikan sekolah menjadi sekolah kategori mandiri dan sekolah bertaraf internasional. Fenomena sekolah bertaraf internasional ini baru berlangsung dalam 4 tahun terakhir. Yang paling mungkin dikritisi adalah soal peran dan fungsi sekolah tersebut dalam memilih desain kurikulum yang sesuai dengan budaya lokal. Supaya sesuai dengan kemajuan zaman.

19 Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, (Jakarta:Bumi Aksara, 2003), h. 38

(12)

Mengingat, Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan. Penyusunan perangkat mata pelajaran ini disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Selain terjadinya perubahan kurikulum pendidikan yang hanya membuat para komponen pendidikan semakin tertekan karena tuntutan yang tidak sesuai dengan kondisi di daerahnya, sebagai dampak sentralisasi pemerintah. Juga ditandai bahwa banyaknya kasus korupsi, manipulasi, kebohongan, berbagai konflik dan terjadinya kekerasan merupakan akibat dari kegagalan sistem pendidikan dalam membentuk individu yang berkarakter. “Banyak dari politisi yang ingin menjadi bupati, walikota, gubernur, yang menjual bualan tentang pendidikan gratis. Dunia pendidikan memang sering menjadi sasaran para politisi untuk meraih tujuannya.” Kalimat itulah yang diucapkan oleh mantan menteri pendidikan Bambang Sudibyo secara gamblang tentang program pendidikan gratis yang digembor-gemborkan para politisi negeri.

4. Faktor-faktor Penyebab Era globalisasi dalam Pendidikan Karakter

Atas nama Globalisasi, Indonesia kini terlalu gencar mengejar berbagai perubahan, dengan membuat kebijakan-kebijakan baru seperti penerapan kurikulum yang diberlakukan di Negara-negara maju yang keadaannya sangat jauh daripada Indonesia. Sementara pemerintah justru tidak memperhatikan keadaan bangsa Indonesia. Pemahaman yang masih terlalu minim tentang pendidikan internasional selama ini membawa kita melupakan pendidikan karakter bangsa sendiri. Dalam membedah mutu pendidikan di tanah air hingga hari ini, terlihat ada tiga faktor penyebab terjadinya degradasi mutu pendidikan kita selama ini, antara lain:

Pertama, strategi pembangunan pendidikan kita selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan sarana pendidikan, serta pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan di sekolah manapun di Indonesia ini, akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan melalui teori Education Production Function sebagaimana diperkenalkan Hanushek tidak berfungsi efektif di lembaga pendidikan sekolah di daerah manapun di Indonesia.

(13)

Kedua, Pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro oriented, yaitu diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Dengan kata lain, kompleksitas cakupan permasalahan pendidikan di banyak sekolah seperti; kondisi lingkungan sekolah, bervariasinya kebutuhan siswa dalam belajar, bervariasinya kemampuan guru, serta berbedanya aspirasi masyarakat terhadap pendidikan, seringkali tidak terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi yang melahirkan kebijakan ditingkat pusat.

Ketiga, pada tingkat sekolah sendiri persoalan yang kerap terjadi adalah lemahnya kemampuan kepala sekolah dalam membaca arus global. Hasil yang kita saksikan yaitu mengedepankan budaya kerja Asal Bapak Senang (ABS). Kondisi yang kemudian menghasilkan budaya kerja yang jauh panggang dari kompetensi dan profesional. Kesemua itu sangat merusak karakter individu dan mempunyai implikasi rusaknya karakter bangsa. Selain itu, akibat yang kita saksikan dari budaya kerja demikian adalah mutu pendidikan kita secara nasional terus melorot dari waktu ke waktu dan anak didik kita tidak mampu bersaing secara terbuka di era yang serba kompetitif saat ini. Seringnya pergantian kurikulum bukan berarti mengantarkan Indonesia menjadi lebih baik, namun bisa saja kurikulum menjadi solusi yang bermasalah. Ada empat faktor yang mempengaruhi kurikulum yang menjebak, di antaranya: 1. Faktor yang bersumber dari birokrasi: Adanya perlakuan yang berlebihan dari para birokrat menegenai peran kurikulum. 2. Faktor yang bersumber dari penyusun kurikulum:Lemahnya dasar filosofis dan dan psikologis dalam penjabaran program kurikulum.3. Faktor yang bersumber dari pelaksana kurikulum:Tingkat kompetensi da profesionalisme yang kurang mendukung di kalangan para guru. 4. Faktor yang bersumber dari ekosistem pendidikan: Tidak kuatnya dukungan sosial dan ketersediaan infrastruktur pendidikan (Winarno Surakhmad, 2009:67-68).

Dari pembahasan di atas kita dapat mengetahui faktor-faktor pemicu gombalisai di Indonesia. Globalisasi memberikan dampak;(1)Pemerintah melaksanakan sistem sentralisasi pendidikan, yang mengejar pendidikan global dan menuntut semua daerah tunduk terhadap pemerintah pusat tanpa memperhatikan keadaan di daerah.(2)Akibat dari sistem sentralisasi, terjadinya perubahan-perubahan kebijakan yang tidak sesuai atau terjadinya ketidak serasian kurikulum dengan kondisi ekosistem pendidikan Indonesia.(3)Kebijakan yang tidak jelas arahnya, melupakan tujuan pendidikan yang pada hakikatnya membentuk jiwa yang

(14)

berkarakter. Adanya paham ABS, korupsi, tawuran pelajar dan sebagainya merupakan bentuk kegagalan dari sistem pendidikan indonesia. Sistem Pendidikan yang Diperlukan di Indonesia Pendidikan karakter dalam menghadapi tantangan era Globalisasi

C. Kesimpulan

Berdasarkan paparan pembahasan di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Bentuk-bentuk era globalisasi negatif pendidikan di Indonesia adalah: Pergantian kebijakan-kebijakan yang mengejar era globalisasi pendidikan negara maju dengan tidak memperhatikan kondisi bangsa. Perilaku-perilaku yang tidak bertanggung jawab dari para pemikir pendidikan serta campur tangan para politisi. Faktor-faktor penyebab terjadinya globalisasi negatif pendidikan di Indonesia Pemerintah melaksanakan sistem sentralisasi pendidikan yang mengejar pendidikan era globalisasi. Perubahan-perubahan kebijakan yang tidak sesuai atau terjadinya ketidak serasian kurikulum dengan kondisi ekosistem pendidikan Indonesia. Pendidikan Indonesia melupakan tujuan pendidikan yang hakikatnya membentuk jiwa yang berkarakter dalam mengahadapi tantangan era globalisasi, agar pendidikan karakter itu bisa ditanamkan dalam diri siswa, pendidikan karakter ini harus dimilki oleh siswa.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abd .gafur, Desain Intsruksional, Solo: Tiga Serangkai, 1989

M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta: Bumi Aksara, 2000

Tim Redaksi Fokus Media, UU SISDIKNAS NO.20 Tahun 2003, Bandung: Fokus Media,2003 Ibid,

Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung :Pustaka Setia, 2000

Akhmad Sudrajat. 2010. Konsep Pendidikan Karakter, Jakarta: Rineka Cipta

Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan dengan pendekatan Baru, Edisi Revisi Bandung: Remaja rosdakarya, 2005

. Tabrani Rusyan dan ES Hamijaya, Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Bandung: Nine Karya Jaya, 19

T. Ramli, Pendidikan Karakter Dalam Menghadapi Tantangan Era Globalisasi, Jakarta:PT. Rineka Cipta,2004

(15)

Furqon Hidayatullah,M, Guru sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas, Surakarta:Yuma pustaka, 2009

Slamet santoso, Tantangan Era globalisasi dalam Pendidikan, jakarta: Rosdakarya, 2004 Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, Jakarta:Bumi Aksara, 2003

Furqon Hidayatullah,M, Guru sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas, Surakarta:Yuma pustaka, 2009

Tim Redaksi Fokus Media, UU SISDIKNAS NO.20 Tahun 2003,Bandung: Fokus Media,2003

Referensi

Dokumen terkait

dari Tugas Akhir ini yang mengambil judul Phone Center di Medan ini adalah telah mencapai sesuai dengan penekan judul dengan transformasi bentuk Handphone Motorola V70 ini

1.. Dengan berbagai kandungan tersebut, masyarakat akan semakin menyukai sayuran dalam bentuk cemilan yang disukai semua kalangan, walaupun tidak menyukai

Pada ayat-ayat tersebut, setiap menyatakan karunia tertentu selalu didahului dengan kata “Roh memberikan karunia untuk...” terkadang juga menggunakan kata ganti

Sesuai dengan peraturan rektor tentang pedoman praktik pengalaman lapangan (PPL) bagi mahasiswa program kependidikn Universitas Negeri Semarang, PPL bertujuan

The development of ICT especially games as a positive, an opportunity for the provision of an alternative environment for anti- corruption education for children

Kepala sekolah mempunyai pengaruh dalam memajukan pendidikan di sekolah masing-masing dengan memberikan motivasi kepada guru untuk lebih bersemangat dalam

[r]

[r]