• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Kecerdasan Spiritual pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dengan Konsep Modernisasi Pendidikan Menurut Fazlur Rahman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Pengembangan Kecerdasan Spiritual pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dengan Konsep Modernisasi Pendidikan Menurut Fazlur Rahman"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Pengembangan Kecerdasan Spiritual pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dengan Konsep Modernisasi Pendidikan Menurut Fazlur Rahman

Alifani Izuddin Habiburrakhman1, Betty Mauli Rosa2, Bustam3

1Prodi Magister Pendidikan Agama Islam, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

1alifani20080520340@webmail.uad.ac.id; 2betty.rosa@bsa.uad.ac.id

Abstrak

Dewasa ini anggapan berlebihan mengenai pentingnya IQ atau Intelligence Quotient marak di ke- hidupan masyarakat sekitar kita. Padahal sejatinya IQ tidak dapat berdiri sendiri, melainkan memer- lukan kecerdasan yang lain seperti EQ atau Emotional Quotient dan SQ atau Spiritual Quotient.

Bahkan muara dari ketiga kecerdasan itu berakhir di dalam aspek spiritual atau Spiritual Quotient.

Dampaknya, peserta didik akan memaknai pendidikan agama Islam sebagai mata pelajaran yang berhenti pada aspek ritual saja, tanpa memaknai dan menghayati nilai-nilai yang terkandung di da- lamnya. Mereka kemudian akan cenderung kaku, pasif dan stagnan serta jauh dari tujuan manusia sebagai khalifatullah dan insan kamil. Fazlur Rahman sebagai tokoh neo-modernis pemikiran Islam, memberikan solusi dengan gagasannya tentang kondisi pendidikan Islam yang ideal. Kondisi Pen- didikan yang ideal ini akan membantu pendidik dan peserta didik untuk mencapai kecerdasan spir- itual yang tinggi. Gagasan pendidikan Islam yang ideal dan akan mengangkat kecerdasan spiritual yang tinggi memiliki empat aspek yang perlu diperhatikan yakni Al-Qur’an, sistem pendidikan, pen- didik, dan peserta didik. Apabila keempat aspek tersebut dapat diperhatikan dan dilaksanakan dengan baik, maka akan tercipta generasi khalifah fil ‘ardl dan terbentuk manusia yang insan kamil.

Kata Kunci : Kecerdasan Spiritual, Pendidikan Agama Islam, Fazlur Rahman, Pemikiran Islam Modern

Abtract

The tremendous hype of the urgency of Intelligence Quotient (IQ) is spread widely nowadays. But, ideally Intelligence Quotient couldn’t standalone, but it needs another part such as Emotional Quo- tient (EQ) and Spiritual Quotient (SQ). Additionally, in the end Spiritual Quotient is a main part and essential part of this Quotient. The tremendous hype affects the student’s personality as they couldn’t understand the purpose of Islamic Education and its values. It stops on ritual aspect, as they couldn’t understand and feel how superbly calm Islamic studies values. They become numb, passive, stagnant, and also faraway from the purpose of human being as God’s representative as a leader on the earth and as a kind human. Fazlur Rahman as an Islamic neo-modernism figure gave some solutions with his thought about the ideal condition of Islamic Education should be. This ideal con- dition would help teacher and students to achieve and fulfill they potential throughout high Spiritual Quotient. The ideal concept proposed by Fazlur Rahman has four aspects that need special atten- tion, there are Qur’an, education system, teacher, and student. If these aspects were well-prepared and well-implemented it would fulfill high quality human with good Spiritual Quotient aspect as well as they do their job as a God’s representative leader on the earth.

Keywords: Spiritual Quotient, Islamic Education, Fazlur Rahman, Modern Concept of Islam

(2)

A. Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan be- gitu pesat dewasa ini. Perkembangan ini tidak hanya menhasilkan produk berupa banyak disiplin ilmu yang semakin spesifik atau khusus dan produk berupa teknologi yang mempermudah manusia dalam ke- hidupannya. Fenomena ini juga terjadi di da- lam dunia pendidikan, dimana orang tua siswa saling berkompetisi untuk mengem- bangkan potensi anaknya masing-masing dengan beragam keterampilan dan kemam- puan yang mereka anggap hal-hal tersebut sebagai salah satu bekal untuk menjadi manusia yang siap untuk berkompetisi di tengah pesatnya perkembangan zaman (Yuliatun, 2018).

Berbicara tentang kecerdasan anak, hal awal yang terbesit di pikiran orang tua dalam pandangan cerdas tidaknya anak adalah dengan indikator baik tidaknya nilainya di sekolah, dalam hal ini adalah kecerdasan in- telektual. Hal ini menyebabkan pada penga- baian orang tua terhadap kecerdasan-kecer- dasan yang lain seperti kecerdasan emo- sional dan spiritual. Padahal apabila meru- juk pada Gardner (2003), kecerdasan atau kepintaran seorang anak atau individu itu memiliki kecenderungannya masing-masing sehingga tidak ada sebutan atau penggolon- gan sebagai anak pintar atau anak bodoh (Sulistiyaningsih et al., 2020).

Pemahaman terhadap multiple intelli- gence menjadi penting untuk dimiliki oleh orang tua atau guru yang ada di sekolah.

Pemahaman yang sempit terhadap definisi kecerdasan akan berakibat pengajaran dan penanganan yang sama tanpa memahami latar belakang dan karakteristik anak yang berbeda-beda (Sulistiyaningsih et al., 2020).

Anggapan yang berlebihan mengenai IQ se- bagai indikator yang paling berperan dalam keberhasilan anak nampaknya masih hal yang sering kita temui, hal ini terlihat dalam pola pengajaran oleh guru di sekolah yang seringkali mengajar dengan pendekatan ra- sio dengan logika matematika dan menjelas- kan pelajaran dengan metode ceramah. Hal ini ternyata menyimpang dan melanggar hak

siswa untuk mendapatkan pendidikan dan mendapatkan pengajaran yang sesuai dengan kecerdasannya atau setidaknya tidak bergantung atau fokus terhadap satu aspek saja. Metode pembelajaran yang seperti ini hanya memberikan keuntungan bagi anak- anak yang dominan kecerdasan matematis- logisnya, sementara siswa yang cenderung pada kecerdasan yang lain akan mudah me- rasa bosan, terasing, tidak mengerti dan me- rasa tidak pernah diajar oleh gurunya (Syarifah, 2019).

Banyak pula orang tua yang kemudian berlomba-lomba untuk memasukkan anak- nya ke sekolah favorit dengan harapan mampu membentuk putra-putrinya sebagai individu yang berdaya saing dan memiliki kemampuan yang dianggap mampu untuk berkompetisi di zaman yang semakin mod- ern ini. Berbagai upaya seperti les, kursus, dan bimbingan belajar lainnya pun ditempuh oleh orang tua untuk memenuhi kekurangan yang ada di lembaga pendidikan formal yang dianggap masih kurang efektif dan efisien dalam menyampaikan dan mem- berikan materi pelajaran. Ditambah dengan adanya standar ujian yang menjadi indikator yang harus dicapai oleh anak dan menjadi nilai acuan untuk mendaftar di jenjang sekolah berikutnya akhirnya mendorong orang tua dan guru untuk menargetkan pem- belajaran dengan ukuran nominal angka saja. Akhirnya pada prakteknya pembelaja- ran menjadi berorientasi kepada penguasaan secara kuantitas saja, tanpa melihat aspek yang lainnya (Yuliatun, 2018).

Hal ini menyebabkan kejenuhan belajar atau biasa disebut learning plateau. Irawan mengutip Arthur S. Reber menuliskan bahwa kejenuhan ialah rentang waktu yang digunakan untuk belajar, tetapi tidak mendapatkan hasil (Irawan, 2019). Pola pembelajaran yang hanya berfokus pada kuantitas dan penguasaan materi yang si- fatnya logis-matematis hanya akan menghasilkan siswa yang terdidik dengan otak cerdas saja, akan tetapi sikap, tata krama, pola hidup, dan perilakunya akan sangat kontras dengan kecerdasan

(3)

intelejensinya. Mereka akan memiliki kepribadian yang terbelah (split personality) sehingga akan terbentuk disharmonisasi an- tara otak dengan hatinya. Kondisi ini akan menimbulkan krisis multidimensi yang perlu untuk diperhatikan (Fitriani &

Yuniarti, 2018).

Bahkan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang menjadi ujung tom- bak atau dasar terbentuknya kecerdasan spiritual seringkali diisi dengan muatan hafa- lan, praktek ibadah ritual, dan dogma agama yang kemudian menimbulkan kesan yang tidak menarik, kurang bermakna, dan mem- bosankan bagi beberapa siswa. Pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan menggunakan metode yang menarik, beragam, dengan menanamkan nilai-nilai spiritual tanpa mengesampingkan nilai-nilai atau kecerdasan yang lain menjadi mendesak untuk dilaksanakan untuk men- capai tujuan pendidikan nasional se- bagaimana tertuang dalam pasal 3 Undang- Undang No. 20 tahun 2003 yang berbunyi Pendidikan nasional berfungsi mengem- bangkan kemampuan dan membentuk wa- tak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya po- tensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan men- jadi warga negara yang demokratis serta ber- tanggung jawab (Rysa, 2021).

Sehingga idealnya pembelajaran Pen- didikan Agama Islam tidak hanya sebatas memperhatikan penguasaan materi tanpa adanya penghayatan nilai yang terkandung di dalamnya. Pendidikan Agama Islam meru- pakan sarana utama untuk mengembangkan sisi spiritualitas anak. Dengan demikian, ke- lak anak akan tumbuh menjadi individu yang baik secara intelejensinya dan kuat da- lam spiritualitasnya yang kemudian akan menguatkan predikatnya sebagai manusia sebagai seorang abdullah dan khalifah Allah di muka bumi (Yuliatun, 2018).

Melihat urgensi penghayatan nilai-nilai spiritual dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Fazlur Rahman seorang Neo- Modernisme Islam yang berpengaruh di abad ke-20 memiliki gagasan atau pemikiran terhadap isu tersebut. Ia berhasil mengem- bangkan metode sebagai alternatif solusi atas masalah umat Islam dalam dunia Pendidi- kan (M Fahmi, 2018). Fazlur Rahman dalam beberapa penafsirannya terhadap ayat-ayat Qur’an—walaupun tidak menggunakan istilah kecerdasan spiritual, secara substan- sial mengandung gagasan-gagasan yang rele- van dengan kecerdasan spiritual (Ahmad, 2003).

B. Metode Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif induktif.

Metode pendekatan kualitatif ini bertujuan untuk menjelaskan pokok-pokok permasa- lahan penelitian dari hasil temuan di dalam jurnal, buku, dan sumber lainnya mengenai Kecerdasan spiritual dalam Pendidikan Agama Islam dengan Konsep Pembaharuan Pendidikan Menurut Fazlur Rahman.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data dari karya tulis ilmiah yang ada kaitannya dengan obyek penelitian (Mundir, 2013). Sumber data dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang di- peroleh langsung dari sumber aslinya (Soekanto, 1986). Dalam hal ini yang dimak- sud adalah buku dan karya ilmiah yang berhubungan langsung serta memberikan in- formasi secara langsung terhadap penelitian.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang di- peroleh dan diteliti oleh peneliti secara tidak langsung dari obyek penelitian. Dalam hal

(4)

ini yang dimaksud terdiri dari majalah, ensi- klopedia, karya ilmiah, artikel yang menjadi penunjang dalam melengkapi data primer.

C. Hasil dan Pembahasan

1. Kecerdasan Spiritual

a. Pengertian Kecerdasan Spiritual Kecerdasan Spiritual merupakan konsep yang berkaitan dengan bagaimana orang bisa dianggap cerdas dalam mengelola dan mendayagunakan makna dan nilai yang ada dalam ke- hidupan spiritualnya (Irawan, 2019).

Menurut Ikhwan Sawaty, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang berkai- tan dengan kesempurnaan perkem- bangan kejiwaan, rohani, batin, mental serta moral peserta didik yang berfungsi menjadikan peserta didik mempunyai pemahaman tentang siapa dirinya, apa makna bagi segala sesuatu bagi dirinya dan bagaimana semua itu memberikan suatu tempat dalam dunia mereka kepada orang lain dan makna-makna mereka (Sawaty et al., 2019).

Sedangkan menurut Alif, perkem- bangan kecerdasan spiritual dapat di- artikan sebagai proses menumbuhnya dan mengembangkan kecerdasan po- tensi peserta didik (Achadah, 2020).

Menurut Ary Ginanjar Agustian, kecerdasan spiritual adalah kemam- puan untuk memberi makna pada iba- dah yang diimplikasikan terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah- langkah yang fitrah, menuju manusia seutuhnya dan memiliki prinsip “Hanya karena Allah” (Ginanjar Agustian, 2001).

Orang yang cerdas spiritualnya menghayati apa yang ada disekitarnya sebagai makna dan falsafah, tidak hanya sebagai suatu obyek atau kegiatan yang tidak memiliki makna sama sekali.

Orang ini mampu memberikan makna peribadatannya yang tidak hanya

sebatas sebuah gerakan dan kewajiban ritual yang ia lakukan, namun ia mampu memaknai bahwa shalat, thawaf, jum- rah, dan lainnya memiliki sesuatu yang lebih dari sekadar kegiatan atau ritual keagamaan saja. Gerakan yang ada di dalam thawaf misalnya, bahwasannya gerakan thawaf memutari ka’bah dengan berlawanan dari arah jarum jam semakin menegaskan bahwa hidup ada- lah suatu dinamika yang niscaya. Tha- waf juga mempunyai sifat sebagai sim- bol yang menyeluruh. Setiap pribadi terutama bagi seorang muslim harus memiliki pandangan yang menyeluruh dan komprehensif, sebagaimana ka’bah yang segi empat seakan-akan kita mengelilingi seluruh mata angin untuk mengambil hikmah dari dinamika ke- hidupan ini (Busthomi et al., 2014).

Kecerdasan spiritual condong untuk selalu memberikan suatu inovasi dan variasi untuk menghasilkan sesuatu dari apa yang kita lakukan dan kita hasilkan sekarang ini karena kecerdasan spiritual ini akan mendorong kita untuk melihat sesuatu dan fenomena yang ada di seki- tar kita dari berbagai sudut pandang atau sisi. Seorang yang cerdas spiritual- nya akan senantiasa mengerjakan keba- jikan-kebajikan tanpa mengharap imba- lan sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Maidah ayat 93.

b. Ciri-ciri Kecerdasan Spiritual 1) Adanya kesadaran dalam diri yang

mendalam bahwa intuisi, otoritas, dan kekuatan yang ada di dalam dirinya tidak semata-mata karena kerja keras dan usahanya melainkan dengan pertolongan tuhannya 2) Memandang luas dunia dengan

melihat dirinya sendiri dan orang yang ada disekitarnya.

3) Mempunyai nilai-nilai yang mulia, konsisten dan kukuh terhadap pen- dapatnya.

4) Tidak merasa puas dengan apa yang ia peroleh, terus menerus mencari inovasi dan biasanya mendahulukan

(5)

kepentingan orang lain daripada kepentingannya sendiri dan selalu berusaha berpartisipasi aktif ter- hadap orang lain.

5) Menghindari hal-hal yang kurang perlu dan kurang bermanfaat bagi dirinya. (Busthomi et al., 2014).

c. Manfaat Kecerdasan Spiritual (Machrus, 2010)

1) Membawa manusia pada jalan sukses di dunia

2) Menjadikan etos kerja yang tinggi 3) Menjadikan manusia yang peduli

dengan sesama

4) Menjadikan manusia tidak mudah terpengaruh dengan lingkungan 5) Mendapatkan kebahagiaan dan

kedamaian diri.

d. Kecerdasan Spiritual dalam Islam Dalam Islam, kecerdasan spiritual ter- masuk ke dalam kecerdasan qalbu se- bagaimana dikatakan oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir yang dikutip Suleman dalam karya ilmiahnya bahwasannya kecerdasan spiritual adalah kecerdasan qalbu yang berkaitan dengan kualitas hati atau batin seseorang. Kecerdasan ini menstimulasi tim- bulnya rasa kemanusiaan seseorang, se- hingga dapat menyentuk nilai-nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh pikiran manusia (Suleman, 2020). Sedangkan menurut Toto Tasmara ada 5 mengenai akhlak mulia yang dimiliki oleh orang yang cerdas secara spiritual, yakni (1) Shiddiq, (2) Istiqamah, (3) Fathanah, (4) Amanah, dan (5) Tabligh (Tasmara, 2011).

Orang yang beragama dan memiliki kecerdasan spiritual yang baik cenderung akan akan memahami agamanya secara utuh dan kaffah, termasuk nilai dan makna yang ada di dalamnya. Dalam agama Islam, kecer- dasan spiritual sangat dekat dengan konsep sufistik yang menjadi intisari dari Islam itu sendiri, yakni aspek esoteris dimana seorang penganutnya akan selalu berupaya men- dekatkan diri kepada Allah Swt. Islam bukanlah agama yang sekadar dijalankan

secara syar,i tetapi juga secara hakiki se- hingga seorang muslim yang taat akan betul- betul menikmati, memahami dan mengha- yati indahnya beribadah kepada Allah Swt.

(Yuliatun, 2018).

Perlu ditekankan bahwasannya spiritual merupakan aspek dan dimensi internal yang sudah ada dalam diri manusia sejak ia lahir atau disebut dengan fitrah, sementara agama merupakan seperangkat aturan dan ke- percayaan formal yang dibebankan pada se- tiap pemeluknya. Sebagaimana telah disam- paikan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall di karya ilmiah Yuliatun bahwasannya mes- kipun di dalam ajaran agama tersebut men- cakup nilai-nilai suci yang akan menghub- ungkan manusia dengan Tuhannya, namun kebanyakan para pemeluk hanya me- mahami agama dari sisi luarnya saja (Yuliatun, 2018), sebagaimana definisi agama itu sendiri. Banyak pesan-pesan spir- itual yang belum tersentuh dan dimaknai oleh pemeluk-pemeluknya

Kenyataan tersebut masih banyak ditemui di dalam masyarakat beragama ka- rena masih banyak peristiwa mengabaikan nilai-nilai ketauhidan, kemanusiaan, dan keseimbangan alam. Bahkan banyak oknum yang mengatasnamakan agama sebagai latar belakang aksi mereka padahal sebenarnya aksi-aksi tersebut jauh dari nilai-nilai spir- itual Islam itu sendiri.

2. Pendidikan Agama Islam Menurut Fazlur Rahman

a) Biografi Intelektual Fazlur Rahman Iqbal menjelaskan sebagaimana disebut- kan dalam jurnal yang ditulis oleh Nanang bahwasannya Fazlur Rahman dilahirkan pada tahun 1919 di daerah barat laut Paki- stan. Fazlur Rahman lahir dari keluarga yang taat dan bermadzhab Hanafiyyah. Madzhab Hanafiyyah seperti yang kita ketahui lebih cenderung mengedepankan rasionalitas atau ra’yu. Keseharian Fazlur Rahman sangat di- pengaruhi oleh kedua orang tuanya, hal ini terbukti ketika masih umur 10 tahun Fazlur Rahman sudah hafal Al-Qur’an. Fazlur

(6)

Rahman menyampaikan bahwasannya ibun- yalah yang banyak mendidiknya dan mengenalkannya dengan nilai-nilai kebena- ran, kesetiaan, kasih sayang, dan cinta. Se- dangkan beliau belajar tentang modernitas Islam dari sang ayah. Hal ini kemudian membuat Fazlur Rahman banyak mengkritisi tentang keberadaan sunni dan syi’ah (Ardiansyah et al., 2019).

Pada tahun 1933 Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di Lahore, dan menyelesaikan B.A. di tahun 1940 di bidang bahasa Arab, Universitas Punjab. Kemudian di tahun 1942 beliau berhasil menyelesaikan studi Master di bidang yang sama di perguruan tinggi yang sama pula. Pada tahun 1946, Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford Uni- versity. Dibimbing langsung oleh Prof. S.

Van den Bergh dan H.A.R. Gibbs, Fazlur Rahman menyelesaikan studinya dan mendapatkan gelar Ph.D di tahun 1949 dengan disertasi yang membahas mengenai Ibnu Sina dengan judul Avicenna’s Psychol- ogy. Pada tahun 1959 Fazlur Rahman men- gutip dan menyunting karyanya dari kitab al- Nafs karya Ibnu Sina dengan judul Avi- cenna’s De Anima dan diterbitkan oleh lem- baga penerbit yang sama (Fazlurrahman, 2018).

Ketika kuliah di Oxford University, be- liau memiliki kesempatan untuk belajar ba- hasa-bahasa arab seperti bahasa Yunani, Latin, Inggris, Turki, Jerman, Arab, dan Urdu. Dengan penguasaan banyak bahasa semasa beliau kuliah membuat Fazlur Rah- man mampu memperdalam dan menguasai disiplin keilmuannya dengan baik, khu- susnya di bidang studi Islam melalui pene- lusuran literatur keislaman yang ditulis oleh para orientalis dengan bahasa asli mereka (Sutrisno, 2006).

Setelah mendapatkan gelar Doctor of Philosophy dari Oxford University, Fazlur Rahman tidak langsung kembali ke kam- pung halamannya yakni Pakistan. Beliau merasa cemas akan polemik dan masalah yang sering terjadi di negerinya, khususnya tidak semua masyarakat Pakistan dapat

menerima seorang sarjana keislaman yang terdidik dengan pendidikan barat. Se- bagaimana disebutkan oleh Amirudin di da- lam jurnal yang ditulis oleh Yumnah, bah- wasannya Fazlur Rahman kemudian mem- ilih untuk mengajar di Inggris di Universitas Durham yang kemudian berpindah ke McGill University di Kanada, dimana beliau mendirikan Institut pengkajian Islam yang populer bernama Institute of Islamic Studies oleh Wilfred Cantwell Smith (Yumnah, 2019).

Pada awal tahun 1960, Fazlur Rahman kembali ke Pakistan. Dua tahun kemudian beliau ditunjuk sebagai Direktur Lembaga Riset Islam. Di bawah kepemimpinannya, lembaga ini telah menerbitkan dua jurnal ilmiah yang berjudul Islamic Studies dan Fikru-Nazhr yang berbahasa Urdu.

Pada tahun 1964, Fazlur Rahman juga ditunjuk sebagai Dewan Penasehat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan. Karena beliau menjabat dalam dua jabatan yang relevan dengan pendidikannya dahulu, beliau kem- bali menfasirkan Islam ke dalam istilah- istilah rasional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat disekitarnya.

Kemudian pada 1969, Fazlur Rahman mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Direktur Lembaga Riset Islam yang kemudian disusul pengunduran diri dari Penasehat Ideologi Islam Pemerintah Paki- stan sebagaimana dikatakan oleh Syafi’i Ma’arif dalam jrunal yang ditulis oleh Fahmi bahwasannya pengunduran diri Fazlur Rah- man dikarenakan ada perlawanan yang tidak sehat dari ulama dan oknum penguasa ter- hadap pendapatnya tentang bunga bank yang dipandangnya bukan riba. Tidak ku- rang dari Sembilan bulan pers Pakistan heboh karena pendapat ini. (M Fahmi, 2018).

(7)

b) Modernisasi Pendidikan Islam

1) Pengertian Pendidikan Islam Menurut KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indonesia, “modernisasi” be- rasal dari kata “modern” yang memiliki makna a) Terbaru, b) Mutakhir, c) Sikap dan cara berfikir sesuai dengan perkem- bangan zaman. Yang kemudian berim- buhan “sasi” yaitu “modernisasi”, se- hingga memiliki definisi suatu proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini (Arti Kata Modernisasi - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, n.d.)

Menurut Nurcholis Majid yang dikutip dalam jurnal yang ditulis oleh Yumnah bahwasannya definisi moderni- sasi ialah proses perubahan pola pikir dari cara kerja lama ke pola pikir cara kerja baru. Sedangakan di dalam jurnal yang sama, Yusran mengatakan bahwa modernisasi adalah membentuk kem- bali atau mengadakan perubahan ter- hadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa, dapat pula dimaknai sebagai perbaikan (Yumnah, 2019).

Modernisasi pendidikan Islam memiliki ciri khas, yaitu jenis pendidi- kan Islam yang berlatar belakang keaga- maan dan mengintegrasi serta menginterkoneksikan antara ilmu pengetahuan dengan sains. Dapat pula dikatakan bahwa pendidikan yang mampu membentuk manusia yang lebih unggul dari segi intelektual maupun unggul dalam berperilaku. Dengan demikian, manifestasi dari cita-cita pen- didikan Islam yaitu mencetak “Insan Kamil” yang paripurna, yaitu manusia yang sempurna dalam segala hal, sekalipun diyakini bahwa hanya Nabi Muhammadlah yang telah mencapai kesempurnaan sebagaiman disebutkan oleh Syahminan di dalam jurnal yang sama (Yumnah, 2019).

Setelah diuraikan mengenai definisi atau pengertian dari modernisasi, maka

dapat disimpulkan bahwa modernisasi yang kemudian dikaitkan dengan pen- didikan Islam adalah suatu ijtihad yang dilakukan oleh para ilmuan dan orang yang berkompeten di bidangnya untuk terus memperbaharui atau mengubah perilaku, cara berfikir, adat-istiadat, dari yang lama menjadi ke yang lebih baru.

Proses pembaharuan ini dilakukan un- tuk membawa dan membimbing manu- sia ke jalan yang lebih baik yang sesuai dengan norma-norma, nilai-nilai, dan makna yang terkandung dalam ajaran Is- lam yang sebenarnya yang akan menun- jang adaptasi dalam perkembangan za- man yang semakin maju.

2) Tujuan Pendidikan Islam

Mengacu kepada Al-Qur’an, Fazlur Rahman mengutarakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan manusia sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang ia peroleh akan menjadi organ pada pribadi yang kreatif, yang memungkinkan manusia untuk memanfaatkan sumber daya un- tuk kemaslahatan manusia dan ber- fungsi untuk menciptakan kemajuan, keadilan dan keteraturan dunia (M Fahmi, 2018).

Tujuan pendidikan Islam ialah hen- daknya pendidikan mampu membawa seorang muslim untuk atau masyarakat Islam untuk dapat memperbaiki aqidah, akhlak, dan ibadahnya untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

(Achadah, 2020). Pendidikan Islam ide- alnya tidak hanya berhenti pada ritual ibadah semata, melainkan harus men- capai taraf spiritual yang mana pelaku pendidikan mampu menghayati dan menginternalisasikan nilai-nilai yang ter- kandung dalam ajaran agama sehingga menjadi muslim yang kaffah.

(8)

3) Pemikiran Modernisasi Pendidikan Islam

Pendidikan Islam saat ini dihadapkan dengan tantangan yang relatif lebih berat daripada masa awal penyebaran Islam. Tantangan terse- but berupa timbulnya idealism manusia yang kompleks dan ber- dimensi ganda atau multi-interest.

Tantangan lainnya yaitu timbulnya beban psikologis umat muslim da- lam menghadapi Barat. Kesulitan ini menjadi parah karena faktor psikologis yang lain adalah tim- bulnya perasaan sebagai pihak yang kalah, berbeda dengan kejayaan Is- lam di masa lalu, umat muslim men- jadi berjaya dan dikenal sebagi pihak yang berkuasa. (Fazlurrahman, 2018)

Latar belakang pemikiran Fazlur Rahman dipengaruhi oleh beberapa pemikiran Islam diantaranya revival- isme, klasik, modernisme, pramodernis, dan neo-revivalisme.

Gerakan gerakan ini murni dari ide- alisme barat yang memiliki beberapa ciri yakni, (1) keprihatinan terhadap degenerasi sosio-moral umat Mus- lim dan usaha untuk merubahnya, (2) himbauan untuk menghilangkan corak predeterministis, (3) himbauan untuk melaksanakan pembaharuan revivalis melalui kekuasaan bersenjata, dan (4) himbauan untuk mengembalikan Is- lam kepada Islam yang orisinil dan melenyapkan takhayul yang di- namakan modern-sufism.

Dari pemikiran-pemikiran inilah Fazlur Rahman tergerak untuk membuat gerakan yang dinamakan neomodernisme. Gerakan ini ber- fokus pada metodologi sistematis yang mampu mengkonstruksi Islam secara komprehensifm tuntas, dan lugas serta setia kepada akar spiritu- alnya dan dianggap mampu menja- wab kebutuhan-kebutuhan Islam

modern tanpa tunduk terhadap Barat (Ardiansyah et al., 2019).

Gagasan pendidikan Islam yang diusung oleh Fazlur Rahman sebenarnya mempunyai kaitan yang erat antara fungsi dengan ajaran Is- lam baik secara individiu maupun secara kolektif. Secara individu, pen- didikan Islam berperan sebagai pen- yadar bahwasannya manusia mengemban tugas sebagai pemimin di muka bumi atau Khalifah fiil ‘ardl.

Fungsi pendidikan dalam Islam dibagi menjadi tiga bagian:

a. Pendidikan sebagai pengem- bangan potensi

Sebagaimana dijelaskan oleh Gunawan (2018) yang dikutip oleh Luthfi dalam jurnalnya bah- wasannya manusia pasti mem- iliki potensi dan kemampuan diri, sedangkan tugas pendidikan adalah menumbuhkembangkan potensi tersebut seutuhnya (Hibatullah & Qomarudin, 2021).

b. Pendidikan sebagai pewaris budaya

Pendidikan memiliki peran se- bagai pewaris budaya karena merupakan suatu usaha ter- hapad pewarisan nilai-nilai bagi kehidupan manusia se- bagaimana telah diungkapkan oleh Fazlur Rahman bah- wasannya tugas pendidikan Is- lam ialah mewariskan budaya- budaya Islam. Budaya Islam yang dimakudkan adalah karya, produk, dan hasil karsa umat Is- lam. Pendidikan sebagai pewaris budaya yang layak seperti me- wariskan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan lain-lain.

(Hibatullah & Qomarudin, 2021)

(9)

c. Pendidikan sebagai interaksi antara budaya dan potensi Pendidikan memiliki fungsi sebagai medium interaksi antara budaya dan potensi. Pendidikan dapat dikatakan sebagai persim- pangan jalan antara perkem- bangan sosial budaya, termasuk ilmu pengetahuan dan tekonologi, artinya pendidikan tidak hanya bersifat menerima saja, akan tetapi menghasilkan sesuatu dan memberikan sesuatu. Hal ini bertujuan untuk membawa manusia ke dalam modernitas sehingga apabila ada sesuatu yang baru tidak kemudian ditolak mentah-men- tah akan tetapi dikaji, dipelajari, dan dapat diakulturasikan se- hingga tidak menghalangi po- tensi manusia yang cenderung terus bergerak dan berkembang, sehingga peranan pendidikan adalah mencari hikmah dan menjadi medium interaksi atas budaya dan segala perubahan yang ada (Hibatullah &

Qomarudin, 2021).

3. Kecerdasan spiritual dengan kon- sep modernisasi pendidikan menurut Fazlur Rahman

Fazlur Rahman dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat qauliyah atau ayat- ayat Qur’an secara substansial mengan- dung gagasan tentang kecerdasan spir- itual terutama tentang penafsirannya mengenai potensi-potensi manusia dan kelemahannya dan menjelaskan bagaimana manusia terhambat secara spiritual. Beberapa diantaranya adalah pandangannya tentang potensi manusia yang mampu berbuat keburukan (Ahmad, 2003). Akan tetapi, berbicara tentang fitrah manusia, manusia sejat- inya merupakan makhluk yang mulia apabila ia mampu mencapai potensi ter- baiknya dengan menginteranalisasikan

nilai-nilai Islam ke dalam kehidupannya di dunia.

Di dunia pendidikan Islam, terjadi masalah dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Hal ini urgent untuk diatasi dengan cara 1) pe- serta didik harus dibekali dengan pen- didikan Al-Qur’an yang menyeluruh dan mendalam, bukan hanya sebatas bacaan atau hafalan, 2) pendidik harus mampu memberikan materi disiplin ilmu-ilmu Islam secara historis dan kritis (Ardiansyah et al., 2019). Menurut Fazlur Rahman beberapa usaha yang harus dilakukan adalah manusia harus memiliki pemahaman akan makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji atau situasi dan problem historis dengan menggunakan Qur’an sebagai sumber untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kemudian, manusia harus mampu menggeneralisasikan jawaban- jawaban tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan yang memiliki tujuan moral dan sosial yang dapat di- peroleh dari ayat-ayat yang spesifik da- lam latar belakang sosio-historis yang dinyatakan. Sudirman Teba (1993) da- lam jurnal yang ditulis oleh Nanang menyatakan bahwasannya apabila kedua gerakan ini tercapai, menurut Fazlur Rahman perintah dan intisari Qur’an akan hidup kembali (Ardiansyah et al., 2019).

Fazlur Rahman menyampaikan bah- wasannya pendidikan memiliki tujuan untuk menanamkan komitmen-komit- men nilai psikologis intelektual melalui tarbiyah dan mengomunisasikan penge- tahuan ilmiah melalui ta’lim. Pendidi- kan yang mesti diajarkan dan disam- paikan semestinya tidak memisahkan moral yang diambil dari nilai-nilai agama dan spiritualitas diri untuk meya- kini dan memaknai kebaikan moral secara substansial. Dalam Islam, spiritu- alitas dan moral tidak dapat dipisahkan oleh agama begitupun sebaliknya (Mulyadi, 2018). Akan tetapi, orang

(10)

yang memiliki kecerdasan spiritual yang baik belum tentu menjalankan syari’at agamanya dengan baik, begitupun se- baliknya. Hal ini ditegaskan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall (2012) yang dikutip dari karya ilmiah yang ditulis oleh Ahmad bahwasannya kecerdasan spiritual tidak mesti berhubungan dengan agama. Bagi sebagian orang, kecerdasan spiritual mungkin menemukan cara menungkapkan agama formal, tetapi beragama tidak menjamin cerdas secara spiritual. Ban- yak orang yang humanis dan ateis mem- iliki kecerdasan spiritual yang tinggi, se- baliknya banyak pula orang yang aktif beragama namun tidak memiliki kecer- dasan spiritual yang baik (Ahmad, 2003).

Dari pernyataan itulah peran pen- didikan Agama dengan memperhatikan kecerdasan spiritual dan dibawakan dengan cara yang baik, relevan, dan modern menjadi jawaban atas pern- yataan bahwa orang yang beragama be- lum tentu baik kecerdasan spiritualnya.

Maka dari itu Fazlur Rahman memiliki gagasan tentang Pendidikan Islam yang ideal, yakni:

a) Al-Qur’an sebagai sumber konsep pendidikan

Fazlur Rahman berpendapat bahwa dengan pemahaman Qur’an yang utuh maka problematika di dunia Islam akan terselesaikan. Al-Qur’an harus menjadi sumber dan inspirasi dari setiap pemikiran yang muncul. Beliau menyampaikan bahwa jika umat Islam ingin keluar dari krisisnya, mereka ha- rus kembali bersumber kepada Al- Qur’an dan Hadits Nabi Saw dan menafsirkannya sebagai solusi dan jawa- ban yang ditafsirkan secara umum se- bagai prinsip-prinsip moral yang mampu menghadapi kondisi yang selalu berubah.

b) Sistem Pendidikan

Menurut Fazlur Rahman, pendeka- tan dasar pendidikan teori-teori muslim modern ada dua yaitu; (1) pemerolehan pengetahuan modern dibatasi pada bi- dang teknologi praktis, karena pada bi- dang pemikiran murni kaum muslimin tidak mau menggunakan produk pemikiran barat karena dikhawatirkan akan mengganggu pemikirannya ter- hadap agama yang dianutnya, (2) Kaum muslimin secara terbuka menerima dan memperoleh ilmu tidak hanya produk teknologi barat saja tetapi juga produk keilmuan yang lain karena sejatinya tidak ada satupun ilmu yang bermaksud untuk keburukan. Pemikiran Fazlur Rahman adalah bagaimana meng- gabungkan pendidikan umum dengan pendidikan agama secara komprehen- sif.

Di tengah ramainya problematika dikotomi pendidikan Islam, Fazlur Rahman mengusulkan suatu gagasan bahwa untuk menghilangkan dikotomi sistem Pendidikan Islam adalah dengan mengintegrasikan antara ilmu agama dan ilmu umum. Beliau berpendapat bahwasannya ilmu itu pada prinsipnya dari Allah Swt (Ardiansyah et al., 2019).

Keberadaan dimensi spiritual pada sistem pendidikan yang digagas oleh Fazlur Rahman terletak pada pern- yatannya bahwa sebagai umat muslim hendaknya tidak takut menerima ilmu dari barat dengan terbuka karena apa- bila umat muslim mampu menghayati dan memaknai setiap ibadah yang ia lakukan dan tidak berhenti pada aspek penggugur kewajiban, maka ilmu, dok- trin, dan hal yang dikhawatirkan akan mengganggu aqidahnya tidak akan ber- pengaruh sama sekali. Justru hal ini akan mengembangkan potensi kecer- dasan anak dengan proses penanaman nilai (Yuliatun, 2018). Bukan sekadar berhenti pada prosesi ibadah ritual saja.

(11)

c) Pendidik

Pendidik memiliki peran esensial dalam lingkungan pendidikan karena merupakan sumber yang paling penting.

Pendidik dimaknai sebagai seseorang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan anak didik dan terus berusaha untuk memaksimalkan potensi anak didiknya melalui metode pembelajaran yang terstruktur, sistemik, dan sistematis dengan melihat semua aspek potensi berupa potensi linguistik, psikomotorik dan kognitif (Hibatullah

& Qomarudin, 2021). Selain itu, pendidik juga harus dapat mengolah dan memaksimalkan potensi emosional, spiritual, dan intelejensi anak sehingga tercapai tujuan manusia sebagai insan kamil. Melihat urgensi aspek kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan yang esensial, maka pendidik harus mampu membimbing anak dengan menggunakan akal dan kematangan emosinya untuk menerapkan prinsip tauhid secara tepat dan baik.

Maka dari itu Fazlur Rahman memiliki lima gagasan tentang pendidik yang ideal dan berkualitas diantaranya (1) berkomitmen tinggi untuk merekrut dan mempersiapkan peserta didik dan siap memenuhi keperluan anak didiknya, (2) mengangkat lulusan madrasah yang cerdas dan menunjuk peserta didik terbaik yang diproyeksikan untuk dijadikan guru besar di lembaga-lembaga keilmuan, (3) pendidik hendaknya menempuh ilmu di luar negeri, khususnya di barat, (4) mengangkat dari lulusan terbaik dari jurusan bahasa asing kemudian melatih mereka ke dalam teknik riset modern dan sebaliknya menarik dari jurusan ilmu sosial dan filsafat kemudian membekali mereka dengan ilmu disiplin islam klasik, (5) menggiatkan pendidik untuk terus berkarya keislaman secara kreatif dan memiliki

tujuan untuk kemaslahatan umat (Hibatullah & Qomarudin, 2021).

d) Peserta didik

Karena maraknya dikotomi ilmu antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama, kualitas peserta didik menjadi menurun. Hal ini berdampak pada lahirnya peserta didik yang kurang memiliki komitmen spiritual dan intelektual tang mendalam terhadap Islam (Hibatullah & Qomarudin, 2021).

Padahal hendaknya peserta didik sebagai umat muslim tidak takut menerima ilmu dari barat dengan terbuka karena apabila mereka mampu menghayati dan memaknai setiap ibadah yang ia lakukan dan tidak berhenti pada aspek penggugur kewajiban, maka ilmu, doktrin, dan hal yang dikhawatirkan akan mengganggu aqidahnya tidak akan berpengaruh sa- ma sekali.

Hal ini dikuatkan dengan gagasan Fazlur Rahman agar terbentuk anak didik yang baik dan benar, yakni (1) peserta didik hendaknya diberikan bekal pelajaran mengenai Al-Qur’an secara mendalam dan menghindari metode doktrin. Peserta didik hendaknya dididik menggunakan metode hikmah wa mau’idzah hasanah dan menjadikan Qur’an sebagai sumber rujukan tertinggi untuk menyelesaikan problematika hidup sehari-hari, (2) memberikan ilmu secara luas dan mengajarkan sikap kritis bahkan terhadap ilmu agama sekalipun dengan melihat aspek sosio-historisnya (Hibatullah & Qomarudin, 2021).

(12)

D. Kesimpulan

Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang menjadi ujung tombak atau da- sar terbentuknya kecerdasan spiritual sering- kali diisi dengan muatan hafalan, praktek ibadah ritual, dan dogma agama yang kemudian menimbulkan kesan yang tidak menarik, kurang bermakna, dan mem- bosankan bagi beberapa siswa. Pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan menggunakan metode yang menarik, beragam, dengan menanamkan nilai-nilai spiritual tanpa mengesampingkan nilai-nilai atau kecer-dasan yang lain menjadi mendesak untuk dilaksanakan untuk men- capai tujuan pen-didikan nasional se- bagaimana tertuang da-lam pasal 3 Undang- Undang No. 20 tahun 2003 yang berbunyi Pendidikan nasional berfungsi mengem- bangkan kemampuan dan membentuk wa- tak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya po- tensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sebagai tokoh neo-modernis, Fazlur Rahman memberikan gagasannya tentang pendidikan Islam yang akan memicu tum- buhnya kecerdasan spiritual peserta didik se- hingga pembelajaran tidak hanya sebatas dogma dan ibadah tidak hanya sebagai ak- tivitas ritual semata. Maka dari itu ada empat aspek yang perlu diperhatikan demi tercip- tanya manusia yang insan kamil dengan indi- kator memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi diantaranya, (1) menggunakan Al- Qur’an sebagai sumber konsep pendidikan, (2) Memperbaiki sistem pendidikan dengan mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu umum, (3) Membekali pendidik dengan baik sehingga tercipta pendidik yang berk- ompeten dan berdedikasi tinggi, dan (4) mengajarkan metode hikmah wa mau’idzah hasanah dalam pembelajaran sehingga tidak sebatas mengajarkan doktrin agama dan me- nanamkan sikap kritis terhadap ilmu agama dan ilmu-ilmu umum lainnya.

E. Daftar Pustaka

Achadah, A. (2020). Guru Pai Dalam Memgembangkan Kecerdasan Spiritual Di Smp Diponegoro Dampit Malang. Al-Insyiroh: Jurnal Studi Keislaman, 6(1), 57–69.

https://doi.org/10.35309/alinsyiroh.v6i 1.3816

Ahmad, M. (2003). Gagasan Kecerdasan Spiritual Dalam Penafsiran Fazlur Rahman Atas Ayat-Ayat Qur’an.

Ardiansyah, N., Mufti, U., & Wantini.

(2019). Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Fazlur Rahman.

Wahana Inovasi: Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat UISU, 8(1), 20–26.

Arti kata modernisasi - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. (n.d.).

Retrieved August 5, 2021, from https://kbbi.web.id/modernisasi

Busthomi, Y., A’dlom, S., & Catur Rohman, R. (2014). Pendidikan Kecerdasan Spiritual Dalam Al- Qur ’ an Surah Al -Muzzammil. 1(2).

Fazlurrahman, M. (2018). MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM : GAGASAN ALTERNATIF FAZLUR RAHMAN Barat terhadap dunia Islam , yang membuat umat Islam membuka mata dan Barat . Untuk mengobati kemunduran umat Islam tersebut , maka pada abad ke-20. Ta’lim: Jurnal Studi Pendidikan Islam, 1(1), 73–89.

Fitriani, A., & Yuniarti, E. (2018). Upaya Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Menumbuhkan Kecerdasan Spiritual Siswa. 3(02).

Ginanjar Agustian, A. (2001). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ. Arga Wijaya Persada.

Hibatullah, L., & Qomarudin, A. (2021).

PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN ( PRAGMATIS-INSTRUMENTAL)

(13)

TENTANG PENDIDIKAN DAN

RELEVANSINYA DENGAN

DUNIA MODERN. As-Sabiqun:

Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini, 3, 26–44.

Irawan, V. W. E. (2019). Peranan Kecerdasan Spiritual dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa.

Munaqasyah Jurnal Ilmu Pendidikan Dan Pembelajaran, 1(1), 33–47.

M Fahmi, R. (2018). Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Pendidikan Islam.

1(1),1–8.

http://dx.doi.org/10.1016/j.cirp.2016.0 6.001%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.p owtec.2016.12.055%0Ahttps://doi.org/

10.1016/j.ijfatigue.2019.02.006%0Ahtt ps://doi.org/10.1016/j.matlet.2019.04.

024%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.matl et.2019.127252%0Ahttp://dx.doi.o Machrus. (2010). Konsep Kecerdasan

Spiritual Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam. Institut Agama Islam Negri Sunan Ampel Surabaya.

Mulyadi. (2018). Implikasi Teori Kemanusiaan Fazlur Rahman Terhadap Pendidikan Islam. Al- Ikhtibar: Jurnal Ilmu Pendidikan, 5(1), 513–535.

https://doi.org/10.32505/ikhtibar.v5i2.

548

Mundir. (2013). Metode Penelitian Kualitataif dan Kuantitatif. STAIN Press.

Rysa. (2021). Tujuan Pendidikan Nasional Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 - Kongres Advokat Indonesia.

https://www.kai.or.id/berita/18532/tuju an-pendidikan-nasional-menurut- undang-undang-no-20-tahun- 2003.html

Sawaty, I., Jufri, & Sumadin. (2019).

Pentingnya Kecerdasan Spritual Dalam Peningkatan Hasil Belajar Pendidikan

Agama Islam Peserta Didik. VI, 29–40.

Soekanto, S. (1986). Pengantar Penelitian Hukum. UI Press.

Suleman. (2020). KECERDASAN SPIRITUAL DALAM SURAT AL- MUDDASSIR (Kajian Tafsir Tematik). UIN Suska Riau.

Sulistiyaningsih, R., Eva, N., Qoyyimah, N.

R. H., Ar-Robbaniy, N. A., &

Andayani, S. (2020). Mengembangkan Kecerdasan Majemuk pada Generasi Milenial Siswa Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Insantama Malang.

GUYUB: Journal of Community Engagement, 1(3), 157–166.

https://doi.org/10.33650/guyub.v1i3.15 63

Sutrisno. (2006). Fazlur Rahman: Kajian Terhadap Metode, Epistimologi, dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar,2006). Pustaka Pelajar.

Syarifah, S. (2019). Konsep Kecerdasan Majemuk Howard Gardner.

SUSTAINABLE: Jurnal Kajian Mutu Pendidikan, 2(2), 176–197.

https://doi.org/10.32923/kjmp.v2i2.98 7 Tasmara, T. (2011). Kecerdasan Ruhaniah

Transcendental Intelligency Membentuk Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional dan Berakhlak.

Yuliatun, Y. (2018). Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak Melalui Pendidikan Agama. ThufuLA: Jurnal Inovasi Pendidikan Guru Raudhatul

Athfal, 1(1), 153.

https://doi.org/10.21043/thufula.v1i1.4 251

Yumnah, S. (2019). Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Modernisasi Pendidikan Islam. JIE (Journal of Islamic Education), 4(1), 16.

https://doi.org/10.29062/jie.v4i1.109

Referensi

Dokumen terkait

3.3 Menganalisis posisi dan peran Indonesia dalam kerja sama di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, teknologi, dan pendidikan dalam lingkup ASEAN. 4.3 Menyajikan hasil

Kegiatan yang dilakukan dalam pelatihan keluarga sehat meliputi pengkayaan, pengetahuan program yang terfokus pada pendekatan keluarga sesuai dengan indikator

Berdasarkan pada hasil uji F diketahui nilai signifikan variabel bebas secara simultan terhadap variabel terikat adalah sebesar 0,000 < 0,05 atau F hitung 65,195 >

Dari hasil analisis statistik inferensial menggunakan analisis regresi berganda, maka hipotesis yang menyatakan terdapat pengaruh yang cukup signifikan antara variabel

Faktor pendukung dari strategi komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Rokan Hulu dalam meningkatkan kunjungan wisatawan yaitu objek

Kebudayaan Kota Batam melakukan upaya massif dan berkesinambungan dalam kegiatan sosialisasi dan promosi destinasi wisata pada masyarakat agar terciptanya

Dalam penelitian ini menggunakan metode Forward Selection untuk menentukan model hubungan kepadatan penduduk Kota Blitar dan faktornya.Data sekunder yang digunakan adalah

Hubungan nilai gain dengan threshold adalah jika semakin besar nilai gain maka nilai threshold akan semakin kecil sehingga semakin banyak target atau pun clutter