• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas mengenai konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian, sebagai landasan dan dasar pemikiran untuk membahas serta menganalisa permasalahan yang ada.

2.1 APARTEMEN

Apartemen adalah sebuah unit tempat tinggal yang terdiri dari kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu, dapur, dan ruang santai yang berada pada satu lantai bangunan vertikal yang terbagi dalam beberapa unit tempat tinggal (Chiara dan Callender, 1968). Apartemen merupakan salah satu variasi jenis hunian yang diminati oleh masarakat terutama yang tinggal di kota-kota besar. Jika dahulu rumah biasa (landed house) menjadi pilihan tempat tinggal yang paling diminati, kini kecendrungan itu sedikit demi sedikit mulai bergeser. Hal ini bukan disebabkan oleh faktor tren, melainkan masalah pemukiman di perkotaan yang kian rumit. Oleh sebab itu, apartemen dapat menjadi alternatif yang layak bagi pengembang perumahan di wilayah pusat kota untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap tempat tinggal.

Bagi masyarakat kota, tinggal di apartemen sebenarnya bukanlah hal istimewa. Tinggal di apartemen sama seperti tinggal di komplek perumahan, bahkan fasilitas yang tersedia pun hampir sama. Yang menjadi perbedaan adalah bentuknya, apartemen berbentuk vertikal sehingga penggunaan lahan lebih efisien dan merupakan solusi yang paling ideal untuk menyelesaikan masalah pemukiman di kota (Akmal, 2007).

2.1.1 Perkembangan Apartemen di Indonesia

Kehadiran hunian vertikal di Indonesia bermula di kota Jakarta. Sekitar tahun 1974 berdiri sebuah apartemen Ratu Plaza di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan dengan jumlah unit apartemen 54 unit. Ratu Plaza adalah mix-used building antara hunian dan pusat perbelanjaan. Pusat perbelanjaan Ratu Plaza sendiri menjadi pusat perbelanjaan kaum ‘berada’ Jakarta hingga tahun 1980-an.

(2)

Pada tahun 1980-an berdiri sebuah apartemen di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, tepatnya di jalan Taman Rasuna Said, yaitu apartemen Taman Rasuna. Apartemen ini banyak dihuni oleh kaum ekspatriat karena kawasan kuningan dikelilingi oleh gedung-gedung perkantoran yang kebanyakan berskala internasional dan kantor-kantor kedutaan dari berbagai negara. Apartemen Taman Rasuna inilah yang kemudian menjadi pelopor pembangunan apartemen-apartemen lainnya di Jakarta.

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan dan permintaan akan apartemen, bangunan apartemen banyak dibangun khususnya di wilayah Jakarta Selatan yang sampai sekarang masih menjadi pilihan favorit untuk kawasan hunian. Meskipun Jakarta Selatan tetap menjadi primadona, pada gilirannya apartemen juga dibangun di empat wilayah Jakarta lainnya, yaitu Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur (Arlina, 2008).

Sekarang pembangunan apartemen sudah merambat ke kota-kota lain di Indonesia antara lain Bandung, Depok, Semarang, Surabaya, Malang, Solo, Medan, Batam, dll.

2.1.2 Klasifikasi Apartemen

Klasifikasi apartemen berdasarkan kategori jenis dan besar bangunan (Akmal, 2007), yaitu:

1. High-Rise Apartment

Bangunan apartemen yang terdiri lebih dari sepuluh lantai. Dilengkapi area parkir bawah tanah, sistem keamanan dan servis penuh. Struktur apartemen lebih kompleks sehingga desain unit apartemen cenderung standard. Jenis ini banyak dibangun di pusat kota.

2. Mid-Rise Apartment

Bangunan apartemen yang terdiri dari tujuh sampai dengan sepuluh lantai. Jenis apartemen ini lebih sering dibangun di kota satelit.

(3)

Apartemen dengan ketinggian kurang dari tujuh lantai dan menggunakan tangga sebagai alat transportasi vertikal. Biasanya untuk golongan menengah kebawah.

4. Walked-Up Apartment

Bangunan apartemen yang terdiri atas tiga sampai dengan enam lantai. Apartemen ini kadang-kadang memakai lift, tetapi dapat juga tidak menggunakan. Jenis apartemen ini disukai oleh keluarga yang lebih besar (keluarga inti ditambah orang tua). Gedung apartemen ini hanya terdiri atas dua atau tiga unit apartemen.

Klasifikasi apartemen berdasarkan tipe unit (Akmal, 2007), yaitu: 1. Studio

Unit apartemen yang hanya memiliki satu ruang. Ruang ini sifatnya multifungsi sebagai ruang duduk, kamar tidur, dan dapur yang terbuka tanpa partisi satu-satunya ruang yang terpisah biasanya hanya kamar mandi. Apartemen tipe studio relatif kecil. Tipe ini sesuai dihuni oleh satu orang atau pasangan tanpa anak. Luas minimal 18-35 m2.

Gambar 2.1 Apartemen Tipe Studio

(4)

2. Apartemen 1, 2, 3, 4 kamar/Apartemen Keluarga

Pembagian ruang apartemen ini mirip rumah biasa. Memiliki kamar tidur terpisah serta ruang duduk, ruang makan, dan dapur yang terbuka dalam satu ruang atau bisa juga terpisah. Luas apartemen ini sangat beragam tergantung ruang yang dimiliki serta jumlah kamarnya. Luas minimal untuk satu kamar tidur adalah 25 m2, dua kamar tidur 30 m2, tiga kamar tidur 85 m2, dan empat kamar tidur 140 m2.

Gambar 2.2 Apartemen Tipe Dua kamar

Sumber: www.greenbaypluit.com

3. Loft

Loft adalah bangunan bekas gudang atau pabrik yang kemudian dialihfungsikan sebagai apartemen. Caranya adalah dengan menyekat-nyekat bangunan besar ini menjadi beberapa hunian. Keunikan loft adalah memiliki ruangan yang tinggi, mezzanine atau dua lantai dalam satu unit. Bentuk bangunannya pun cenderung berpenampilan industrial. Beberapa pengembang membangun apartemen baru dan menggunakan istilah loft

(5)

Sesungguhnya ini salah kaprah karena keunikan loft terletak pada konsep bangunan bekas pabrik dan gudang.

Gambar 2.3 Loft dengan Desain Interior Berkonsep Industrial

Sumber: www.interiordesignipedia.com

4. Penthouse

Unit hunian ini berada di lantai paling atas dari sebuah bangunan apartemen. Luasnya lebih besar daripada unit-unit di bawahnya. Bahkan, kadang-kadang satu lantai hanya ada satu atau dua unit saja. Selain lebih mewah, penthouse juga sangat pribadi karena memiliki lift khusus untuk penghuninya. Luas minimumnya adalah 300 m2.

(6)

Gambar 2.4 Penthouse

Sumber: www.homedsgn.com

Klasifikasi apartemen berdasarkan kepemilikan (Chiara dan Callender, 1968) dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Apartemen Sewa

Pemilik membangun dan membiayai operasi serta perawatan bangunan, penghuni membayar uang sewa selama jangka waktu tertentu.

2. Apartemen Kondominium

Penghuni membeli dan mengelola unit yang menjadi haknya, tidak ada batasan bagi penghuni untuk menjual kembali atau menyewakan unit miliknya. Penghuni biasanya membayar uang pengelolaan ruang bersama yang dikelola oleh pemilik gudang.

3. Apartemen Koperasi

Apartemen ini dimiliki oleh koperasi, penghuni memiliki saham didalamnya sesuai dengan unit yang ditempatinya. Bila penghuni pindah, ia dapat menjual sahamnya kepada koperasi atau calon penghuni baru dengan persetujuan koperasi. Biaya operasional dan pemeliharaan ditanggung oleh koperasi.

(7)

Klasifikasi apartemen berdasarkan pelayanannya (Chiara dan Callender, 1968) dibagi menjadi empat, yaitu:

1. Apartemen Fully Service

Apartemen yang menyediakan layanan standard hotel bagi penghuninya seperti house keeping, room service, laundry, business center, dsb.

2. Apartemen Fully Furnished

Apartemen yang menyediakan furnitur atau perabotan dalam unit apartemen.

3. Apartemen Fully Furnished and Fully Service

Gabungan kedua jenis apartemen yang tertulis sebelumnya. 4. Apartemen Building Only

Apartemen yang tidak menyediakan layanan ruang atau furnitur.

2.2 ERGONOMI

Istilah ergonomi berasal dari bahasa latin yaitu ergon (kerja) dan nomos (hukum alam) dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen, dan desain/perancangan (Nurmianto, 2004). Ergonomi berkenaan pula dengan optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan manusia di tempat kerja, rumah, dan tempat umum. Di dalam ergonomi dibutuhkan studi tentang sistem dimana manusia, fasilitas kerja, dan lingkungannya saling berinteraksi dengan tujuan utama yaitu meneyesuaikan suasana kerja dengan manusia (Nurmianto, 2004).

Istilah ergonomi lebih popular dipergunakan oleh beberapa negara Eropa Barat. Di Amerika istilah ini lebih dikenal sebagai Human Factor Engineering atau Human Engineering. Human Engineering atau sering disebut ergonomi adalah "Man Machine Interface", sehingga pekerja dan manusia atau produk lain bisa berfungsi lebih efektif dan efesien sebagai manusia mesin yang terpadu (Wignjosoebroto, 1995). Tujuan dari disipilin ergonomi adalah mendapatkan suatu pengetahuan yang utuh tentang permasalahan-permasalahan interaksi manusia dengan teknologi dan

(8)

produk-produknya, sehingga dihasilkan rancangan sistem manusia mesin atau teknologi yang optimal (Wignjosoebroto, 1995).

Penerapan ergonomi pada umumnya merupakan aktivitas rancang bangun (desain) ataupun rancang ulang (re-desain). Hal ini dapat meliputi perangkat keras seperti perkakas kerja (tools), bangku kerja (benches), platform, kursi, pegangan alat kerja (workholders), sistem pengendali (controls), alat peraga (display), jalan/lorong (access ways), pintu (doors), jendela (windows), dan lain-lain. Masih dalam kaitan dengan hal tersebut diatas adalah bahasan mengenai rancang bangun lingkungan kerja (working environment), karena jika sistem perangkat keras berubah maka akan berubah pula lingkungan kerjanya.

Menurut R.S. Bridger (2003), ergonomi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia dan mesin dan faktor yang mempengaruhi interaksi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan interaksi kinerja sistem dengan memperbaiki mesin manusia. Ini dapat dilakukan dengan "merancang-dalam ' interface yang lebih baik atau dengan 'merancang-out' faktor dalam lingkungan kerja, dalam tugas atau dalam organisasi kerja yang mendegradasi kinerja manusia-mesin.

Seluruh sistem kerja terdiri atas komponen manusia dan komponen mesin menyatu dalam satu lingkungan yang disebut ergosistem. Interaksi manusia dan mesin dengan lingkungan apat divisualisasikan pada gambar 2.10 berikut.

ERGOSISTEM SEDERHANA H (A) M H (B)

(9)

ERGOSISTEM KOMPLEKS

Gambar 2.5 Contoh Ergosistem

Sumber: Bridger, 2003

Keterangan:

H = Manusia ( Human) M = Mesin (Machine)

Pada gambar 2.10 menggambarkan bahwa didalam sistem kerja yang sederhana terdiri atas satu manusia dan satu mesin dalam satu lingkungan. Gambar A dan B adalah ergosistem sederhana. Gambar A menggambarkan manusia sendiri didalam sebuah lingkungan. Pada gambar B ditambahkan sebuah mesin. Pada C dan D adalah ergosistem kompleks. Pada gambar C, satu manusia terhubung dengan beberapa mesin. Pada gambar D satu mesin terhubung dengan beberapa manusia. Desain sistem dibuat saat manusia dan mesin bekerja bersama untuk membuat sesuatu, karakteristik dari manusia didalamnya dan kemampuan untuk diaplikasikan pengetahuan ini dalam desain perlu diketahui. Inilah yang disebut dengan fungsi dasar ergonomi (Bridger, 2003).

2.3 ANTROPOMETRI

Antropometri merupakan bidang ilmu yang berhubungan degnan dimensi tubuh manusia. Kata ini berasal dari Bahasa Yunani yaitu anthro yang berarti manusia dan metri yang berarti ukuran (Wignjosoebroto, 1995). Secara definitif Antropometri dapat dinyatakan sebagai satu studi yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh manusia. Manusia pada dasarnya akan memiliki bentuk, ukuran (tinggi, lebar, dsb), berat, dan lain-lain yang berbeda satu dengan yang lainnya. Antropometri secara luas akan digunakan sebagai pertimbangan-pertimbangan ergonomis dalam proses

H M M M M (C) H H H M H (D)

(10)

perancangan produk maupun sistem kerja yang akan memerlukan interaksi manusia. Menurut Wignjosoebroto (1995) data antropometri yang berhasil diperoleh akan diaplikasikan secara luas antara lain dalam hal:

1. Perancangan areal kerja (work station, interior mobil, dll). 2. Perancangan peralatan kerja seperti mesin, perkakas (tools), dsb.

3. Perancangan produk-produk konsumtif seperti pakaian, kursi/meja, komputer, dll.

4. Perancangan lingkungan kerja fisik.

Menurut Santoso (2013) antropometri merupakan salah satu tool ilmu yang digunakan untuk menciptakan kondisi kerja yang ergonomis. Ergonomi merupakan ilmu perancangan berbasis manusia (Human Centered Design). Pengukuran antropometri pada dimensi tubuh manusia merupakan salah satu bagian dalam mewujudkan kondisi yang ergonomis. Data dimensi manusia ini sangat berguna dalam desain produk dengan tujuan mencari keserasian produk dengan manusia yang memakainya. Pemakaian data antropometri mengusahakan semua alat disesuaikan dengan kemampuan manusia, bukan manusia disesuaikan dengan alat. Desain yang mempunyai kompatibilitas ukuran alat dengan ukuran dimensi manusia yang memakainya sangat penting untuk mengurangi timbulnya bahaya akibat terjadinya kesalahan kerja yang disebabkan dari kesalahan desain (design-induced error).

2.3.1 Pengukuran Data Antropometri

Pada umumnya manusia berbeda dalam hal bentuk dan ukuran tubuh. Ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi ukuran tubuh manusia, Faktor-faktor yang dimaksud adalah:

1. Umur

Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh A.F. Roche dan G.H. Davila (1972) di Amerika Serikat diperoleh kesimpulan bahwa pria akan tumbuh dan bertambah tinggi sampai dengan usia 21,2 tahun, sedangkan wanita 17,3 tahun; meskipun ada sekitar 10% yang masih terus bertambah tinggi sampai usia 23,5 tahun untuk pria dan 21,1 tahun untuk wanita. Setelah itu tidak akan terjadi

(11)

pertumbuhan bahkan justru akan cenderung berubah menjadi penurunan atau penyusutan yang dimulai sekitar umur 40 tahunan.

2. Jenis kelamin

Dimensi ukuran tubuh pria umumnya akan lebih besar dibandingkan dengan wanita, terkecuali untuk beberapa bagian tubuh tertentu seperti pinggul, dsb. 3. Suku/bangsa

Setiap suku, bangsa atau kelompok etnik akan memiliki karakteristik fisik yang berbeda dari kelompok etnik lain.

4. Posisi Tubuh

Posisi tubuh akan berpengaruh terhadap ukuran tubuh. Oleh karena itu, posisi tubuh standar harus diterapkan untuk survei pengukuran. Dalam antropometri dikenal dua cara pengukuran, yaitu :

a. Pengukuran dimensi struktur tubuh (structural body dimension)

Tubuh diukur dalam berbagai posisi standar dan tidak bergerak. Istilah lain untuk pengukuran ini dikenal dengan ‘static antropometri’. Dimensi tubuh yang diukur dengan posisi tetap meliputi berat badan, tinggi tubuh dalam posisi berdiri, maupun duduk, ukuran kepala, tinggi atau panjang lutut berdiri maupun duduk, panjang lengan dan sebagainya.

b. Pengukuran dimensi fungsional (functional body dimension)

Pengukuran dilakukan terhadap posisi tubuh pada saat melakukan gerakan-gerakan tertentu. Hal pokok yang ditekankan pada pengukuran dimensi fungsional tubuh ini adalah mendapatkan ukuran tubuh yang berkaitan dengan gerakan-gerakan nyata yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.

5. Cacat tubuh

Data antropometri digunakan untuk perancangan produk bagi orang-orang cacat (kursi roda, kaki/tangan palsu, dll). Produk kaki/tangan palsu harus dapat memfasilitasi orang-orang cacat dalam bergerak secara dinamis.

(12)

Faktor iklim yang berbeda akan memberikan variasi yang berbeda-beda pula dalam bentuk rancangan dan spesifikasi pakaian. Dengan demikian dimensi tubuh akan berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain.

7. Kehamilan

Kondisi hamil akan mempengaruhi bentuk dan ukuran tubuh (khusus wanita). Hal tersebut memerlukan perhatian khusus terhadap produk yang dirancang khusus untuk ibu hamil.

Data antropometri dapat dimanfaatkan untuk menetapkan dimensi ukuran produk yang akan dirancang dan disesuaikan dengan dimensi tubuh manusia yang akan menggunakannya (Wignjosoebroto, 1995). Pengukuran dimensi struktur tubuh yang biasa diambil dalam perancangan produk maupun fasilitas dapat dilihat pada gambar 2.11 di bawah ini.

Gambar 2.6 Data Anthropometri yang diperlukan untuk Perancangan Produk

atau Fasilitas Kerja Sumber: Wignjosoebroto, 1995

Keterangan gambar 2.11 di atas, yaitu:

1 = Dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai sampai dengan ujung kepala).

(13)

2 = Tinggi mata dalam posisi berdiri tegak. 3 = Tinggi bahu dalam posisi berdiri tegak.

4 = Tinggi siku dalam posisi berdiri tegak (siku tegak lurus).

5 = Tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak (dalam gambar tidak ditunjukkan).

6 = Tinggi tubuh dalam posisi duduk (di ukur dari alas tempat duduk pantat sampai dengan kepala).

7 = Tinggi mata dalam posisi duduk. 8 = Tinggi bahu dalam posisi duduk.

9 = Tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus). 10 = Tebal atau lebar paha.

11 = Panjang paha yang di ukur dari pantat sampai dengan. ujung lutut.

12 = Panjang paha yang di ukur dari pantat sampai dengan bagian belakang dari lutut betis.

13 = Tinggi lutut yang bisa di ukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk.

14 = Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang di ukur dari lantai sampai dengan paha. 15 = Lebar dari bahu (bisa di ukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk).

16 = Lebar pinggul ataupun pantat.

17 = Lebar dari dada dalam keadaan membusung (tidak tampak ditunjukkan dalam gambar).

18 = Lebar perut.

19 = Panjang siku yang di ukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari dalam posisi siku tegak lurus.

20 = Lebar kepala.

21 = Panjang tangan di ukur dari pergelangan sampai dengan ujung jari. 22 = Lebar telapak tangan.

23 = Lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar kesamping kiri kanan (tidak ditunjukkan dalam gambar).

24 = Tinggi jangkauan tangan dalam posisi berdiri tegak. 25 = Tinggi jangkauan tangan dalam posisi duduk tegak.

(14)

26 = Jarak jangkauan tangan yang terjulur kedepan di ukur dari bahu sampai dengan ujung jari tangan.

2.3.2 Distribusi Normal Dalam Penetapan Data Antropometri

Anthropometri menurut Stevenson (1989) dan Nurmianto (1991) adalah satu kumpulan data numerik yang berhubungan dengan karakteristik fisik tubuh manusia, ukuran, bentuk, dan kekuatan serta penerapan dari data tersebut untuk penanganan masalah desain. Penerapan data antropometri ini akan dapat dilakukan jika tersedia nilai mean (rata-rata) dan SD (standar deviasi) dari suatu distribusi normal.

Gambar 2.7 Distribusi Normal yang Mengakomodasi 95% dari Populasi

Sumber: Nurmianto, 2004

Menurut Panero (1979) persentil menunjukkan jumlah bagian per seratus orang dari suatu populasi yang memiliki ukuran tubuh tertentu (atau yang lebih kecil). Persentil merupakan suatu nilai yang menunjukkan presentase tertentu dari orang yang memiliki ukuran pada atau dibawah nilai tersebut. Contohnya persentil ke-95 akan menunjukkan 95% populasi akan berada pada atau di bawah ukuran tersebut; sedangkan persentil ke-5 akan menunjukkan 5% populasi berada pada atau dibawah ukuran itu (Wignjosoebroto, 1995).

Persoalan yang akan muncul dalam penetapan data antropometri akan terletak pada kemampuan kita dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Seberapa besar sampel pengukuran yang kita ambil untuk penetapan data antropometri?

(15)

2. Haruskah setiap sampel dibatasi per kelompok (segmentasi) yang homogen?

3. Apakah sudah tersedia data antropometri untuk populasi tertentu yang nantinya akan menjadi target pemakai?

4. Bagaimana kita bisa memberikan toleransi perbedaan-perbedaan yang mungkin akan dijumpai dari data yang tersedia dengan populasi yang akan dihadapi?

Untuk penetapan data antropometri, pemakaian distribusi normal akan umum diterapkan. Dalam statistik, distribusi normal dapat diformulasikan berdasarkan harga rata-rata (mean, 𝑋̅) dan simpangan bakunya (standar deviasi, σx) dari data yang diperoleh. Dari nilai yang ada tersebut dapat ditentukan nilai “persentil” seusai dengan tabel probabilitas distribusi normal yang ada. Untuk menghitung nilai persentil digunakan formulasi seperti terlihat pada tabel 2.1 di bawah ini.

Tabel 2.1 Persentil dan Cara Perhitungan dalam Distribusi Normal

(16)

2.3.3 Persentil

Dengan adanya berbagai variasi yang cukup luas pada ukuran tubuh manusia secara perorangan, maka besar “nilai rata-rata” menjadi tidak begitu penting bagi perancang; hal yang justru harus diperhatikan adalah rentang nilai yang ada. Secara statistik data pengukuran tubuh manusia pada berbagai populasi akan terdistribusi dalam grafik sedemikian rupa sehingga data-data yang bernilai kurang lebih sama akan terkumpul di bagian tengah grafik sedangkan data-data dengan nilai penyimpangan yang ekstrim akan terletak di ujung-ujung grafik. Jadi, memang merupakan hal yang logis untuk mengesampingkan data dengan perbedaan yang ekstrim pada bagian ujung grafik dan hanya menggunakan segmen terbesar (90%) dari kelompok populasi tersebut.

Untuk tujuan penelitian, sebuah populasi dibagi-bagi berdasarkan kategori-kategori dengan jumlah keseluruhan 100% dan diurutkan mulai dari populasi yang terkecil hingga yang terbesar berkaitan dengan beberapa pengukuran tubuh tertentu. Sebagai contoh, bila dikatakan persentil ke-95 dari suatu data pengukuran tinggi badan, berarti hanya 5% yang memiliki tinggi badan bernilai lebih besar pada suatu populasi dan 95% memiliki tinggi badan sama atau lebih rendah pada populasi tersebut. Persentil ke-50 memberi gambaran yang mendekati ukuran rata-rata dari suatu populasi, namun pengertian ini jangan disalahartikan dengan mengatakan bahwa rata-rata orang pada populasi tersebut memiliki ukuran tubuh yang dimaksudkan oleh nilai tadi.

Menurut Panero dan Zelnik (1979) ada dua hal penting yang harus diingat bila menggunakan persentil. Pertama, suatu persentil antropometri dari tiap individu hanya berlaku untuk satu data dimensi tubuh saja. Kedua, tidak dapat dikatakan sesorang memiliki persentil yang sama, ke-95 atau ke-90, untuk keseluruhan dimensi tubuhnya. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.13 di bawah ini.

(17)

Gambar 2.8 Data Anthropometri Seseorang dengan Persentil yang Berbeda- beda pada Setiap Dimensi Tubuh

Sumber: Panero dan Zelnik, 1979 2.3.4 Antropometri Pada Posisi Duduk

Salah satu kesulitan utama dari perancangan tempat duduk adalah seringkali posisi duduk dianggap sebagai gerak statis, padahal duduk lebih dapat dikatakan sebagai gerak dinamik. Sebuah kursi yang secara antropometrik benar, belum tentu nyaman. Menurut Tichauer, “Sumbu penyangga dari batang tubuh yang diletakkan dalam posisi duduk adalah sebuah garis pada bidang datar koronal, melalui titik terendah dari tulang duduk (ischial tuberosities) di atas permukaan tempat duduk.

(18)

Gambar 2.9 Tulang Duduk (ischial tuberosities) dari Seseorang dalam Posisi Duduk

Sumber: Panero dan Zelnik, 1979

Gambar 2.10 Tulang Duduk yang diperbesar pada Bagian Posterior. Sumber: Panero dan Zelnik, 1979

Branton melakukan dua penelitian berkenaan dengan hal ini. Pengamatan pertama menunjukkan bahwa sekitar 75% dari keseluruhan berat badan hanya disangga oleh daerah seluas 4 inchi persegi atau 26 cm2 dari tulang duduk ini. Tichauer menyatakan bahwa besarnya tekanan-tekanan yang terjadi diperkirakan sebesar 85 hingga 100 pon per inchi persegi (psi). Data lain menunjukkan bahwa gaya tekan (kompresi) yang terjadi pada daerah kulit pantat dan landasan kursi yang keras besarnya sekitar 40-60 psi, sedangkan tekanan pada jarak beberapa inchi hanya

(19)

posisi, dengan kondisi tekanan yang terjadi, dapat menyebabkan kurangnya aliran darah pada suatu daerah (ischemia), gangguan pada sirkulasi darah, rasa nyeri, sakit, dan rasa kebal (mati rasa). Oleh karena itu, suatu perancangan tempat duduk harus diupayakan sedemikian rupa sehingga berat badan yang disangga oleh tulang duduk tersebar pada daerah yang cukup luas. Alas yang tepat pada landasan tempat duduk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Selain itu, diupayakan subyek yang sedang duduk dapat mengubah posisi atau postur tubuhnya untuk mengurangi rasa tidak nyaman.

Penelitian Branton yang kedua menunjukkan bahwa secara struktural, tulang duduk membentuk sistem penopang atas dua titik yang pada dasarnya tidak stabil. Oleh karena itu, landasan tempat duduk saja tidak cukup untuk menciptakan kestabilan. Secara teoritis, kaki, telapak kaki, dan punggung yang bersinggungan dengan bagian lain dari tempat duduk juga ikut menciptakan kestabilan. Dari pernyataan tersebut timbul perkiraan bahwa titik pusat dari gaya berat terletak melewati tulang duduk. Sebenarnya, titik pusat gaya berat dari tubuh pada posisi duduk tegak lurus terletak sekitar 1 inchi atau 2,5 cm di depan pusar, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.11.

Gambar 2.11 Pusat Gaya Berat Manusia pada Posisi Duduk. Sumber: Panero dan Zelnik, 1979

(20)

Berikut adalah data antropometri yang dapat digunakan dalam perancangan kursi (Panero dan Zelnik, 1979)

Gambar 2.12 Data Anthropometri untuk Perancangan Kursi Sumber: Panero dan Zelnik, 1979

Keterangan gambar 2.12 di atas, yaitu: A = Tinggi lipatan dalam lutut.

B = Jarak pantat-lipatan dalam lutut. C = Tinggi siku duduk.

D = Tinggi bahu.

E = Tinggi duduk normal. F = Rentang antar siku. G = Rentang panggul. H = Rentang bahu. I = Tinggi lumbar.

2.4 PROSES PERANCANGAN DAN PENGEMBANGAN PRODUK

Proses perancangan dan pengembangan produk secara umum terdiri dari beberapa fase. Menurut Karl T. Ulrich dan Steven D. Eppinger pada bukunya yang berjudul Perancangan dan Pengembangan Produk, proses perancangan dan pengembangan produk terdiri dari enam fase, yaitu:

(21)

Gambar 2.13 Fase Pengembangan Produk menurut Ulrich-Eppinger Sumber: Ulrich dan Eppinger, 2001

1. Fase 0. Perencanaan

Kegiatan ini disebut sebagai ‘zerophase’ karena kegiatan ini mendahului persetujuan proyek dan proses peluncuran pengembangan produk aktual. 2. Fase 1. Pengembangan Konsep

Pada fase pengembangan konsep, kebutuhan pasar target diidentifikasi, alternatif konsep produk dimunculkan dan dievaluasi, kemudian satu atau lebih dipilih untuk pengembangan dan percobaan lebih jauh. Konsep yang dimaksud adalah penjelasan dari bentuk, fungsi, dan tampilan suatu produk yang disertai dengan spesifikasi produk, analisis produk-produk pesaing serta pertimbangan ekonomis proyek.

3. Fase 2. Perancangan Tingkatan Sistem

Fase perancangan tingkatan sistem mencakup definisi arsitektur produk dan uraian produk menjadi subsistem-subsistem serta komponen-komponen. Output pada fase ini adalah tata letak bentuk produk, spesifikasi secara fungsional dari

(22)

tiap subsistem produk, serta diagram alir proses pendahuluan untuk proses rakitan akhir.

4. Fase 3. Perancangan Detail

Fase perancangan detail terdiri dari spesifikasi lengkap dari bentuk, material, dan toleransi-toleransi dari seluruh komponen unit pada produk dan identifikasi seluruh komponen standar yang dibeli dari pemasok. Rencana proses dinyatakan dan peralatan dirancang untuk tiap komponen yang dibuat dalam sistem

produksi. Hasil akhir dari fase ini adalah catatan pengendalian produk, gambar tiap komponen produk dan peralatan produksinya, spesifikasi komponen-komponen yang dapat dibeli, serta rencana proses pabrikasi dan perakitan produk.

5. Fase 4. Pengujian dan Perbaikan

Fase pengujian dan perbaikan meibatkan konstruksi dan evaluasi dari berbagai macam versi produksi awal produk. Prototipe awal (alpha) biasanya dibuat dengan menggunakan komponen-komponen dengan bentuk dan jenis material pada produksi sesungguhnya, namun tidak memerlukan proses pabrikasi yang sama dengan proses pabrikasi sesungguhnya. Sasaran dari prototipe beta adalah menjawab pertanyaan mengenai kinerja dan keandalan dalam rangka

mengidentifikasi kebutuhan perubahan-perubahan secara teknik untuk produk akhir.

6. Fase 5. Produksi Awal

Pada fase ini, produk dibuat dengan menggunakan sistem produksi yang sesungguhnya. Tujuan dari produksi awal adalah untuk melatih tenaga kerja dalam memecahkan permasalahan yang mungkin timbul pada proses produksi sesungguhnya. Beberapa saat pada masa peralihan ini, produk diluncurkan dan mulai disediakan untuk didistribusikan.

Seperti yang kita lihat pada gambar 2.23 bahwa kelima fase diatas disusun oleh berbagai macam proses yang harus dilakukan dalam tahapan proses perancangan dan pengembangan produk dalam buku Ulrich-Eppinger, yaitu:

(23)

Proses pengembangan produk generic dan variasi pemakaian proses ini dalam berbagai macam lingkungan industri. Bab ini juga menjelaskan bagaimana seorang individu ditempatkan didalam organisasi/kelompok yang terlibat dalam proyek pengembangan produk.

2. Bab 3 Perencanaan Produk

Menjelaskan metode untuk mengambil keputusan produk yang akan

dikembangkan. Output dari bagian ini adalah pernyataan misi untuk proyek tertentu.

3. Bab 4 sampai bab 8

Aktivitas-aktivitas kunci pada fase pengembangan konsep. metode-metode yang dijelaskan akan menuntun tim pengembangan produk mulai dari pembuatan misi sampai seleksi konsep.

4. Bab 9 Arsitektur Produk

Implikasi arsitektur terharap perubahan produk, variasi produk, standardisasi komponen, kinerja produk, biaya manufaktur, dan manajemen proyek. Terakhir dijelaskan suatu metode untuk membuat arsitektur produk.

5. Bab 10 Desain Industri

Bab ini berisi peran desainer industri, isu-isu yang berkaitan dengan interaksi produk dan pemakainya, pertimbangan aspek estetika dan ergonomi dalam proses pengembangan produk.

6. Bab 11 Desain untuk Proses Manufaktur

teknik yang digunakan untuk mengurangi biaya manufaktur. Teknik-teknik ini diterapkan pada fase perancangan sistem dan perancangan detail sistem dari proses pengembangan produk.

7. Bab 12 Membuat Prototipe

Berisi metode proses pembuatan prototipe produk yang berlangsung selama proses pengembangan.

8. Bab 13 Analisis Ekonomi Pengembangan Produk

Metode yang digunakan untuk memahami pengaruh faktor-faktor internal dan eksternal terhadap nilai ekonomis proyek.

(24)

9. Bab 14 Mengendalikan Proyek

Bab ini berisi konsep dasar interaksi antara tugas-tugas didalam proyek dan metode perencanaan dan pelaksanaan proyek pengembangan.

2.5 SELEKSI KONSEP

Seleksi konsep merupakan proses menilai konsep dengan pertimbangan kebutuhan pelanggan dan kriteria lainnya, membandingkan kekuatan, kelemahan konsep, dan memilih satu atau lebih konsep untuk penyelidikan atau pengembangan lebih lanjut (Ulrich dan Eppinger, 2001). Seleksi konsep dibagi menjadi dua tahap, yaitu penyaringan dan penilaian konsep. Metode yang dipakai adalah metode yang dikembangkan oleh Stuart Pugh (1990). Penyaringan dan penilaian konsep menggunakan matriks sebagai acuan untuk enam tahapan proses pemilihan. Enam tahapan tersebut mencakup: menyiapkan matriks seleksi, menilai konsep, meranking konsep, mengkombinasi dan memperbaiki konsep, memilih satu atau lebih konsep, dan merefleksikan hasil dan proses (Ulrich dan Eppinger, 2001).

2.5.1 Metode Penyaringan Konsep Stuart Pugh

Penyaringan konsep berfungsi untuk mempersempit jumlah konsep secara cepat dan memperbaiki konsep (Ulrich dan Eppinger, 2001). Metode ini dibagi kedalam enam tahapan, yaitu:

1. Menyiapkan matriks seleksi

Matriks berisi konsep dan kriteria yang akan diseleksi. Kriteria seleksi dituliskan sepanjang sisi kiri matriks penyaringan. Kriteria ini dipilih berdasarkan kebutuhan pelanggan yang telah diidentifikasi, dan juga kebutuhan perusahaan seperti biaya produksi yang rendah atau risiko produk yang minimum. Kriteria seleksi seharusnya dipilih untuk membedakan konsep-konsep. Namun, karena tiap kriteria diberi bobot yang sama, sebaiknya berhati-hati untuk tidak mencantumkan terlalu banyak kriteria yang tidak penting pada matriks penyaringan. Selain itu, perlu ditambahkan konsep referensi sebagai patokan konsep lainnya. Refer ensi biasanya merupakan standar industri atau konsep terdahulu yang telah berada di pasaran. Berikut adalah contoh matriks penyaringan pada seleksi konsep sepeda.

(25)

Tabel 2.2 Matriks Penyaringan Sepeda Kriteria Seleksi Konsep-Konsep Konsep (referensi) A Konsep B Konsep C Konsep D Konsep E Harga Konstruksi Fork 2 in 1 Kapasitas / Bahan Dual Tone Kelistrikan Brake System Speed & Odometer Frame & Velg Stang & Pedal Konstruksi Frame Speed Gear Tools Manual 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 + - - - 0 0 0 0 - - 0 0 0 0 - + + 0 0 0 + 0 + + + + 0 0 - + + 0 0 0 + 0 + + 0 + 0 0 Jumlah + Jumlah 0 Jumlah - 0 14 0 0 14 0 1 8 5 6 6 1 5 7 1 Skor Bersih Rangking Continue ? 0 3 Combine 0 3 Combine -4 5 No 5 1 Yes 4 2 Yes Sumber: Sultan, 2009 2. Menilai konsep

Nilai relatif “lebih baik” (+), “sama dengan” (0) atau “lebih buruk” (-) diletakkan di tiap sel matriks untuk memperlihatkan bagaimana tiap konsep dinilai terhadap konsep referensi untuk kriteria tertentu. Sebaiknya setiap konsep dinilai terhadap satu kriteria sebelum pindah ke kriteria selanjutnya. 3. Meranking konsep

Setelah menilai seluruh konsep, jumlahkan nilai “lebih baik”, “sama dengan”, dan “lebih buruk”. Lalu catat jumlah untuk tiap kategori pada bagian bawah matriks. Setelah itu, berilah peringkat untuk tiap konsep. Konsep dengan nilai positif atau nol adalah konsep yang diterima. Sebaliknya konsep dengan nilai negatif adalah konsep yang ditolak.

(26)

Setelah menilai dan merangking konsep, tim harus memeriksa apakah hasilnya masuk akal. Pada tahap ini, ada dua hal yang harus dipertimbangkan, yaitu: a. Adakah konsep yang secara umum baik, tetapi nilainya turun karena salah

satu kriterianya berpenampilan buruk? Dapatkah sedikit modifikasi memperbaiki konsep secara keseluruhan dengan tetap menjaga perbedaan dengan konsep lainnya?

b. Adakah dua konsep yang dapat digabungkan untuk mendapatkan kualitas yang lebih baik sekaligus menghilangkan kualitas yang lebih buruk?

5. Memilih satu atau lebih konsep

Setelah memahami karakteristik tiap konsep, tahapan selanjutnya adalah memilih satu atau lebih konsep untuk dilakukan perbaikan dan analisis lebih jauh. Jumlah konsep yang dipilih untuk analisis selanjutnya akan dibatasi oleh berbagai macam sumber daya (tenaga manusia, uang dan waktu).

6. Merefleksikan hasil dan proses

Jika konsep yang terpilih masih terlihat meragukan, maka mungkin satu atau lebih kriteria dapat dihilangkan dari matriks penyaringan, atau mungkin ada kesalahan penilaian. Konsep yang terpilih harus mudah dimengerti untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan.

2.5.2 Metode Penilaian Konsep Stuart Pugh

Penilaian konsep digunakan agar peningkatan jumlah alternatif penyelesaian (resolusi) dapat dibedakan lebih baik di antara konsep yang bersaing. (Ulrich dan Eppinger, 2001). Pada tahap ini, setiap kriteria seleksi diberi bobot kepentingan relatif dan terfokus pada hasil perbandingan yang lebih baik dengan penekanan pada setiap kriteria. Metode ini dibagi kedalam enam tahapan, yaitu:

1. Menyiapkan matriks seleksi

Konsep yang telah terpilih pada tahap penyaringan konsep diletakkan pada bagian atas matriks. Kemudian kriteria seleksi diberi bobot kepentingan. Pola yang digunakan adalah dengan mengalokasi nilai 100% pada kriteria-kriteria tersebut. Ada juga teknik pemasaran untuk menentukan bobot data pelanggan berdasarkan data empiris, dan melalui proses identifikasi kebutuhan pelanggan

(27)

(Urban dan Mauser, 1993). Berikut adalah contoh matriks penilaian pada seleksi konsep sepeda.

Tabel 2.3 Matriks Penilaian Sepeda Konsep-Konsep

Konsep AB Konsep D Konsep E

Kriteria Seleksi B obot (% ) R at in g Skor Bobot Rat in g Skor Bobot Rat in g Skor Bobot Harga Konstruksi Fork 2 in 1 Kapasitas / Bahan Dual Tone Kelistrikan Brake System Speed & Odometer Frame & Velg Stang & Pedal Konstruksi Frame Speed Gear Tools Manual 12.16 % 11.41 % 6.48 % 3.06 % 4.04 % 3.34 % 6.92 % 6.41 % 9.46 % 10.05 % 10.51 % 6.63 % 5.97 % 3.54 % 4 3 2 3 3 3 3 3 5 2 5 3 3 3 0.4864 0.3423 0.1296 0.0918 0.1212 0.1002 0.2076 0.1923 0.473 0.201 0.5255 0.1989 0.1791 0.1062 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 0.3648 0.3423 0.1944 0.0918 0.1212 0.1002 0.2076 0.1923 0.2838 0.3015 0.3153 0.1989 0.1791 0.1062 4 3 2 3 3 3 3 3 5 2 4 3 3 3 0.4864 0.3423 0.1296 0.0918 0.1212 0.1002 0.2076 0.1923 0.473 0.201 0.4204 0.1989 0.1791 0.1062 Total Skor Rangking 3.3551 1 2.9994 3 3.2500 2 Continue ? Developed No No Sumber: Sultan, 2009 2. Menilai konsep

Penilaian konsep dilakukan dengan cara memberi rating pada seluruh konsep terhadap satu kriteria sekaligus, sebelum berpindah pada kriteria berikutnya. Berikut adalah tabel nilai yang digunakan:

Tabel 2.4 Nilai Kinerja Relatif (rating)

Kinerja Relatif Nilai

Sangat buruk dibandingkan referensi 1

Buruk dibandingkan referensi 2

Sama seperti referensi 3

Lebih baik dari referensi 4

(28)

Sumber: Ulrich dan Eppinger, 2001

Gunakan referensi yang berbeda untuk beragam kriteria seleksi. Referensi dapat berasal dari beberapa konsep yang sedang dipertimbangkan, dari analisis perbandingan (bench-marking), dari nilai target spesifikasi produk, dan sumber lainnya. Nilai referensi untuk setiap kriteria harus mudah dipahami untuk mempermudah perbandingan langsung satu per satu.

3. Meranking konsep

Setelah menilai seluruh konsep, nilai berbobot dihitung melalui perkalian nilai dengan bobot kriteria. Total nilai untuk tiap konsep merupakan penjumlahan dari nilai yang berbobot.

S

j =

𝑛𝑖=1

𝑟

𝑖𝑗

x 𝑤

𝑖...(7)

Di mana,

r

ij = nilai konsep j untuk kriteria i

w

i = bobot untuk kriteria i

n

= jumlah kriteria

S

j = total nilai untuk konsep j

4. Mengkombinasi dan memperbaiki konsep

Seperti pada tahap penyaringan, konsep diperbaiki dengan cara mencari konsep pengganti atau mengkombinasi konsep. Beberapa perbaikan kreatif dan kemajuan dilakukan pada proses ini, hal ini karena kekuatan dan kelemahan tiap konsep sudah terlihat.

5. Memilih satu atau lebih konsep

Konsep yang telah terpilih akan dikembangkan lebih lanjut hingga menjadi prototype. Matriks seleksi juga dapat melakukan penilaian pada segmen pasar yang berbeda. Mungkin saja satu konsep dominan umtuk beberapa segmen saja. 6. Merefleksikan hasil dan proses

(29)

Setelah melewati seluruh tahapan seleksi konsep, perlu dilakukan evaluasi terhadap proses itu sendiri. Dua pertanyaan yang berguna dalam memperbaiki proses untuk kegiatan seleksi konsep berikutnya adalah:

a. Dengan cara apa metode seleksi konsep dapat membantu tim dalam mengambil keputusan?

b. Bagaimana metode tersebut diperbarui untuk memperbaiki kinerja tim? Pertanyaan ini memfokuskan tim pada kekuatan dan kelemahan metodologi yang berhubungan dengan kebutuhan dan kapabilitas perusahaan.

2.6 REVIEW PENELITIAN

Review penelitian bertujuan untuk mengetahui penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan perancangan produk. Penelitian yang di-review ditunjukkan pada tabel 2.5 di bawah ini.

Tabel 2.5 Review Penelitian Sebelumnya

No Peneliti Judul Tahun

1 Rossi et. al. Design for the Next Generation: Incorporating Cradle-to-Cradle Design Into Herman Miller Products

2006

2 Varghese et. al. Design of Multipurpose Modular, Flexible, and Space-Saving Dining Table.

2011

3 Suhardi dan Sudadi

Perancangan Tempat Tidur Periksa untuk Orang Lanjut Usia

2013 4 Suhardi et. al. Redesain Boncengan Anak pada Sepeda

Motor dengan Pendekatan Anthropometri

2013

Rossi et. al. (2006) menggunakan product assessment tool yang disebut Design for Environment (DfE). Ia menganalisis material kursi mirra yang diproduksi oleh perusahaan furnitur Herman Miller. Penelitian ini memberikan arahan kepada para desainer untuk memperoleh desain produk yang ramah lingkungan. Analisis dilakukan dengan cara pembobotan terhadap tiga aspek yaitu, material assessment, disassembly, dan recyclability. Ketiga aspek tersebut akan ditotal untuk memperoleh skor akhir DfE.

Varghese et. al. (2011) melakukan perancangan meja makan space-saving pada masyarakat kelas menengah di Bangalore, India. Tahap perancangan meja terdiri dari survey literatur, market study and product study, bench marking product, user study,

(30)

matriks QFD, PDS, concept generation and selection, dan physical modeling and validation.

Suhardi dan Sudadi (2013) melakukan perancangan tempat tidur periksa untuk orang lanjut usia. Data anthropometri yang digunakan adalah data anthropometri orang lanjut usia penghuni panti wredha dan tenaga kesehatan panti wredha. Tahapan perancangan menggunakan metode Ulrich.

Suhardi et. al. (2013) melakukan redesain boncengan anak pada sepeda motor dengan pendekatan anthropometri. Tahapan konsep perancangan menggunakan metode Ulrich. Tahap ini meliputi: 1) identifikasi kebutuhan konsumen, 2) penentuan spesifikasi produk, 3) penyusunan konsep produk, 4) pemilihan konsep produk, 5) pengujian konsep produk. Tahap perancangan mewujudkan konsep rancangan yang terpilih ke dalam bentuk desain produk.

Gambar

Gambar 2.1 Apartemen Tipe Studio                       Sumber: www.greenbaypluit.com
Gambar 2.2 Apartemen Tipe Dua kamar                     Sumber: www.greenbaypluit.com
Gambar 2.3 Loft dengan Desain Interior Berkonsep Industrial                      Sumber: www.interiordesignipedia.com
Gambar 2.4 Penthouse
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Analisis Pembentukan Word Graph Kata Keterangan Menggunakan Metode Knowledge Graph” adalah karya saya dengan arahan

Tujuan prinsipal dari penelitian ini adalah mengetahui karakter kenyamanan thermal bagi penghuni bangunan Gereja Blendug (dalam melakukan aktivitas peribadatan)

Efisiensi "Algae removal “ menggunakan Anaerobic Baflled Reactor (ABR) dan ketiga jenis Constructed Wetland (CW) yang menggunakan media filter seperti.. xi

Rekapitulasi Perhitungan Biaya Operasi Kendaraan Berdasarkan Kecepatan Rata-Rata di Jalan Tol Yang Diperoleh Untuk Setiap Tahun Kenaikan Tarif Tol .... Rekapitulasi Perhitungan

Perencanaan jalan dan pemeliharaan jalan di ruas-ruas jalan Kota Bogor khususnya wilayah Bogor Selatan sub wilayah kota bogor selatan zona B yang meliputi Jalan

Data yang diperoleh dalam observasi menunjukkan bahwa siswa mulai memperhatikan arahan yang diberikan guru tentang materi kegiatan pembelajaran pemahaman ideologi Negara

Seperti menurut Rakhmat Supriyono (2010: 50- 51), adanya ilustrasi dimaksudkan untuk memperjelas informasi atau pesan dan sekaligus sebagai alat untuk menarik perhatian

Dengan demikian X 2 hitung lebih besar dari pada X 2 tabel, sehingga dapat dikatakan bahwa luas lahan yang dikelola mempunyai hubungan nyata dengan tingkat