• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBUATAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL DARI SUMBER CITRA ASTER SECARA SEMI OTOMATIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBUATAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL DARI SUMBER CITRA ASTER SECARA SEMI OTOMATIS"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBUATAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL

DARI SUMBER CITRA ASTER

SECARA SEMI OTOMATIS

SKRIPSI

Oleh :

DANIEL ADI NUGROHO NIM : 99/129265/TK/24075

JURUSAN TEKNIK GEODESI FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2003

(2)

i

PEMBUATAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL

DARI SUMBER CITRA ASTER

SECARA SEMI OTOMATIS

SKRIPSI

untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai derajat sarjana teknik Program Studi Teknik Geodesi-Geomatika

diajukan oleh : DANIEL ADI NUGROHO NIM : 99/129265/TK/24075

kepada :

JURUSAN TEKNIK GEODESI FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

(3)

ii SKRIPSI

PEMBUATAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL

DARI SUMBER CITRA ASTER

SECARA SEMI OTOMATIS

dipersiapkan dan disusun oleh : DANIEL ADI NUGROHO NIM : 99/129265/TK/24075

telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 11 Oktober 2003

Susunan Dewan Penguji :

Ketua/Pembimbing Anggota

Ir. Djurdjani, MS., M.Eng

1.

Ir. Hadiman, M.Sc. 2.

Catur Aries Rokhmana, S.T., M.T. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan

untuk mencapai derajat sarjana teknik Program Studi Teknik Geodesi Tanggal ...

Ir. H. Sumaryo, M.Si. Ketua Jurusan Teknik Geodesi

(4)

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 11 Oktober 2003

(5)

iv

I dedicate this to…

…The Lord to whom I belong,

…my parents who care for me,

(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang senantiasa melimpahkan rahmat dan anugerahnya sehingga penelitian tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar.

Penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi persyaratan dalam mencapai derajat sarjana teknik pada Program Studi Teknik Geodesi-Geomatika.

Dalam penulisan tugas akhir ini telah banyak pihak yang turut memberikan dukungan, baik berupa bimbingan, saran, maupun bantuan administratif yang sangat membantu kelancaran penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Ir. Sumaryo, M.Si., Ketua Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.

2. Ir. Waljiyanto, M.Sc., Sekretaris Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.

3. Ir. Djurdjani, MS., M.Eng., dosen pembimbing tugas akhir atas bimbingan dan arahannya.

4. Heri Sutanta, S.T., M.Sc., yang telah memberikan motivasi dan masukan yang sangat berharga pada awal penelitian.

5. Ir. Soeta’at, Dipl., Ph.E., yang telah memberikan saran dan kritik pada awal penelitian.

6. Harintaka, S.T., M.T., yang telah memberikan beberapa informasi pada awal penelitian.

7. Dr. Ming-Ying Wei, staf NASA Headquarters, yang telah memberikan ijin penggunaan data citra ASTER.

8. Ir. T. Aris Sunantyo, M.Sc., atas dukungan moral dan pinjaman buku-buku teksnya.

9. Inge Wijaya atas dukungan moral, ide awal penelitian serta print-out buku-buku teks, Hendro Prastowo dan Hermawan Eko S. atas CD-writernya, I Made Martawan atas bantuan CPU yang bertenaga, Dia’lah Hokosuja H., atas pertimbangan least squares-nya, Sukamto atas printer

(7)

vi BJC-1000SP-nya, dan juga saudaraku Ardhian Prabawa yang meminjamkan CPU-nya pada saat-saat akhir penulisan.

10. Chris Triwarseno, Edi Suryanto, WS Andirachman, Laswanto, Adi Permadi, Fachry Ansori, Yulieta, Niken ZS, Vitriani, Bisri Musthofa, Bayu Triyogo, serta rekan-rekan lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu demi satu, atas dukungan moral dan persahabatan yang hangat.

11. Bapak Prayoga, Ibu Murwati, serta Kristi Puji Astuti atas semua bantuannya.

Saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi sempurnanya skripsi ini. Penulis berharap bahwa penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, terutama yang berkaitan dengan bidang fotogrametri, penginderaan jauh maupun pemetaan topografi.

Yogyakarta, 11 Oktober 2003

(8)

vii

DAFTAR ISI

Halaman Judul... i

Halaman Pengesahan... ii

Halaman Pernyataan... iii

Halaman Persembahan... iv

Kata Pengantar... v

Daftar Isi... vii

Daftar Gambar... ix

Daftar Tabel... x

Daftar Lampiran... xi

Intisari... xii

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang... 1

I.2. Tujuan... 2

I.3. Pembatasan Masalah... 2

I.4. Landasan Teori... 3

I.4.1. Sistem Satelit Terra... 3

I.4.1.1. Karakteristik Sistem... 3

I.4.1.2. Sensor-sensor pada Satelit Terra...… 3

I.4.2. Sensor ASTER... 3

I.4.2.1. Karakteristik Sensor ASTER... 3

I.4.2.2. Sifat Stereoskopik pada Citra ASTER... 6

I.4.3. Data Citra ASTER... 7

I.4.3.1. Pemrosesan Data Citra ASTER... 7

I.4.3.2. Format Data Citra ASTER... 7

I.4.4. Pembentukan Model Permukaan Digital... 7

I.4.4.1. Teknik Korelasi Silang... 7

I.4.4.2. Penghitungan Paralaks dan Elevasi... 11

I.4.4.3. Model Permukaan Digital... 13

I.4.5. Noise filtering... ... 14

I.4.5.1. Simpangan Baku Lokal... 14

I.4.5.2. Filter Median... 14

I.4.6. Hitung Kuadrat Terkecil... 15

I.4.7. Transformasi Polinomial... 17

I.4.8. Teori Kesalahan... 18

I.4.9. Acuan Ketelitian Baku... 21

I.4.9. Perangkat Lunak Komputer... 21

I.4.9.1. IDL/ENVI... 21

I.4.9.2. Delphi 5... ... 22

BAB II PELAKSANAAN II.1. Persiapan... ... 24

II.2. Materi Penelitian... ... 24

II.3. Alat Penelitian... ... 24

(9)

viii

II.4.1. Pemrograman Komputer... 26

II.4.1.1. Perancangan Interface... 26

II.4.1.2. Penulisan Kode Program... 27

II.4.1.3. Uji Program dan Debugging... 28

II.4.2. Ekstraksi Band 3N dan 3B... 29

II.4.3. Pengukuran Koordinat pada Peta Rupabumi... 31

II.4.3.1. Titik Kontrol Tanah dan Titik Ikat... 33

II.4.3.2. Titik Cek... 33

II.4.4. Pengukuran Koordinat Titik Ikat pada Citra... 33

II.4.5. Pengolahan Data secara Otomatis... 34

II.4.5.1. Registrasi Band 3B ke 3N secara Otomatis... 34

II.4.5.2. Korelasi Stereo secara Otomatis... 36

II.4.5.3. Noise filtering Model Permukaan Digital... 37

II.4.5.4. Koreksi Elevasi secara Otomatis... 39

II.4.5.5. Penyimpanan Data Model Permukaan Digital... 39

II.4.6. Georeferensi Model Permukaan Digital... 41

II.4.7. Evaluasi Ketelitian Model Permukaan Digital... 43

II.4.8. Visualisasi Model Permukaan Digital... 44

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN III.1. Hasil Penelitian... ... 45

III.2. Registrasi Band 3B ke 3N... 45

III.3. Korelasi Stereo secara Otomatis... 45

III.3.1. Ukuran Daerah Selidik... 46

III.3.2. Ukuran Daerah Sasaran... 46

III.4. Noise filtering... ... 47

III.5. Koreksi Elevasi Model Permukaan Digital... 49

III.6. Georeferensi Model Permukaan Digital... 49

III.6. Ketelitian Model Permukaan Digital... 50

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN IV.1. Kesimpulan... ... 52

IV.2. Saran... ... ... 53

IV.2.1. Pengembangan Program... 53

IV.2.2. Penelitian pada Daerah dengan Berbagai Variasi Terrain.... 53

IV.2.3. Pengujian dengan Menggunakan MPD Acuan... 54

IV.2.4. Penggunaan Komputer dengan Kecepatan Tinggi... 54

Daftar Pustaka... 56

(10)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar I.1. Diagram skematik linear array sensor... 4

Gambar I.2. Subsistem VNIR pada sistem sensor ASTER... 6

Gambar I.3. Geometri citra ASTER... 6

Gambar I.4. Korelasi silang 2 dimensi... 8

Gambar I.5. Estimasi koordinat sub-piksel... 10

Gambar I.6. Penentuan elevasi berdasarkan paralaks pada citra ASTER... 12

Gambar I.7. Proses penghitungan median filter... 15

Gambar I.8. Kurva distribusi normal... 19

Gambar II.1. Diagram alir penelitian... 25

Gambar II.2. Properties dan Events dalam Object Inspector Delphi... 27

Gambar II.3. Code Editor pada Delphi... 28

Gambar II.4. Ukuran citra ASTER Level-1B full scene... 29

Gambar II.5. Fasilitas New File Builder pada ENVI... 30

Gambar II.6. Distribusi titik GCP dan titik ikat yang digunakan... 32

Gambar II.7. Tampilan awal program DEMCreator 4... 34

Gambar II.8. Bagian pengaturan proses dalam program DEMCreator 4... 35

Gambar II.9. Daerah tepi yang tidak dapat dihitung nilai korelasi silangnya... 36

Gambar II.10. Citra dengan noise dan citra yang telah dihilangkan noise-nya... 37

Gambar II.11. Bagian pengaturan lanjut DEMCreator 4... 38

Gambar II.12. Pemilihan GCP untuk proses georeferensi... 42

Gambar II.13. Fasilitas Image to Map Registration untuk melakukan georeferensi model... 43

Gambar III.1. Selisih elevasi titik cek pada model terhadap elevasi titik cek pada peta rupabumi... 51

(11)

x

DAFTAR TABEL

Tabel I.1. Parameter orbit satelit Terra... 3 Tabel I.2. Karakteristik band Citra ASTER... 5 Tabel I.3. Faktor pengali σ untuk berbagai tingkat kepercayaan... 20 Tabel I.4. Hubungan antara skala peta, interval kontur, dan syarat tingkat

ketelitian... 21 Tabel III.1. Nilai parameter transformasi polinomial satu dimensi... 45 Tabel III.2. Pengaruh ukuran daerah sasaran terhadap ketelitian korelasi

otomatis... 47 Tabel III.3. Pengamatan secara visual hasil filter... 48 Tabel III.4. Nilai parameter transformasi dalam koreksi elevasi... 49 .

(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Visualisasi Model Permukaan Digital... 58

Lampiran B Daftar Koordinat GCP dan Titik Ikat... 65

Lampiran C Hasil Uji Korelasi Otomatis... 68

Lampiran D Hasil Uji Noise filtering... 81

Lampiran E Hasil Uji Ketelitian Model Permukaan Digital... 87

Lampiran F Setting Program untuk Pembuatan Model Permukaan Digital Daerah Parengan, Tuban... 92

Lampiran G Panduan Singkat Penggunaan Program DEMCreator... 95

Lampiran H Flowchart Modul Program Korelasi Otomatis dan Filtering... 113 Lampiran I CD-ROM... - 1. Dokumen Skripsi... folder DOC 2. Data Mentah... folder RAW 3. Data Hasil Olahan... folder DEM 4. Paket Program DEMCreator 4... folder SOFT

(13)

xii

INTISARI

Perkembangan teknik fotogrametri ke arah sistem digital berjalan dengan cepat seiring dengan semakin majunya teknologi komputer. Demikian pula dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh yang memberikan banyak inovasi baru dalam kaitannya dengan kegiatan pemetaan. Salah satunya ditandai dengan diluncurkannya satelit EOS-AM1/Terra yang memiliki sensor ASTER dengan kemampuan yang istimewa yaitu mengindera tempat yang sama dari dua posisi pencitraan dalam satu jalur orbit, sehingga didapatkan citra stereo. Dari pasangan citra stereo tersebut, dapat dibentuk model tiga dimensi dari permukaan daerah yang diindera.

Penelitian ini memanfaatkan prinsip paralaks untuk menentukan elevasi titik-titik pada citra ASTER dalam pembentukan model permukaan digital. Dalam menentukan elevasi hanya diperhatikan dua faktor, yaitu B/H ratio sebesar 0,6 dan beda paralaks tiap piksel. Untuk menentukan titik-titik yang bersesuaian pada dua buah citra, dilakukan proses image-matching secara otomatis dengan teknik korelasi silang. Untuk melaksanakan korelasi otomatis serta penghitungan model permukaan digital ini disusun sebuah program komputer dengan menggunakan perangkat lunak pemrograman Delphi 5.

Hasil utama yang didapat dari penelitian ini adalah sebuah model permukaan digital tergeoreferensi daerah Parengan, Tuban, Jawa Timur, berukuran 1132 piksel x 1131 piksel dengan resolusi spasial 15 meter secara horisontal dan 1 meter secara vertikal. Berdasarkan 150 buah titik sampel yang diambil dari titik-titik tinggi pada peta rupabumi didapatkan root mean square error (RMSE) pada komponen elevasi sebesar 8,8 meter atau setara dengan tingkat ketelitian sebesar 14,48 meter pada tingkat kepercayan 90%, sehingga memenuhi persyaratan ketelitian menurut United States National Map Accuracy Standards untuk keperluan pembuatan peta topografi dengan skala 1:100.000 atau lebih kecil lagi.

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pengukuran bentuk fisik dari permukaan bumi adalah pekerjaan yang sangat penting dalam geodesi dan kartografi. Dapat dikatakan semua penelitian yang melibatkan permukaan bumi memerlukan data topografi dan produk turunannya, seperti kemiringan lahan, aspek kemiringan, serta pola drainase. Pada kasus tertentu, misalnya untuk daerah bergelombang, data model permukaan digital diperlukan untuk memproduksi citra raster yang terektifikasi dan bergeoreferensi, yang merupakan suatu keharusan dalam integrasi data citra ke sebuah Sistem Informasi Geografis. Selain itu, data topografi juga diperlukan untuk melakukan koreksi geometrik, radiometrik, dan atmosferik terhadap data satelit yang dihasilkan oleh instrumen optis maupun gelombang mikro (Lang, 1999).

Dalam pekerjaan pembuatan peta topografi, data elevasi permukaan bumi didapatkan dari berbagai sumber, seperti dari pemetaan terestris maupun dari pemetaan fotogrametri. Untuk wilayah yang luas, pemetaan secara terestris membutuhkan waktu dan biaya yang sangat besar, sehingga pemetaan secara fotogrametri merupakan alternatif menarik sebagai sumber data dalam pemetaan, terutama pada daerah yang sulit dijangkau. Selaras dengan perkembangan teknologi, teknik fotogrametri tidak hanya dapat diterapkan pada foto udara, namun juga dapat diterapkan pada data citra satelit. Citra satelit mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan foto udara konvensional, diantaranya adalah daerah cakupan yang lebih luas, akuisisi data yang lebih cepat dan murah daripada foto udara, dan penggunaan spektrum yang lebih luas.

Perkembangan teknik fotogrametri ke arah sistem digital berjalan dengan cepat seiring dengan semakin majunya teknologi komputer. Banyaknya keuntungan yang ditawarkan oleh data digital apabila dibandingkan dengan data analog, serta semakin efisiennya pekerjaan yang dilakukan dengan menggunakan sistem digital merupakan pendorong utama transisi dari fotogrametri konvensional menuju fotogrametri digital. Pada pengolahan data citra satelit untuk pembentukan model

(15)

2

permukaan digital, proses otomasi mutlak diperlukan karena kuantitas data yang besar dan kerumitan dalam hitungan matematis yang terlibat di dalamnya.

Salah satu metode yang digunakan untuk menentukan beda tinggi antar titik dalam fotogrametri adalah penggunaan paralaks, yaitu perubahan kenampakan posisi suatu objek terhadap kerangka acuan tertentu yang disebabkan oleh perpindahan posisi pengamat. Selama ini, prinsip paralaks telah diaplikasikan dengan bantuan stereoskop dan tongkat paralaks. Dari pengukuran beda paralaks dapat dihitung beda tinggi dengan menggunakan suatu rumusan matematis yang relatif lebih sederhana daripada penghitungan dengan prinsip kesegarisan dan kesebidangan.

Pembuatan model permukaan digital dari citra satelit telah dilakukan pada citra-citra satelit yang mempunyai sifat stereoskopis, seperti SPOT, JERS-1, dan MOMS. Salah satu kelemahan dari citra satelit sebagai sumber data untuk pembuatan model permukaan digital adalah adanya selang waktu yang relatif lama antara dua pengambilan gambar pada daerah yang akan dibentuk model permukaan digitalnya. Adanya selang waktu ini memberikan dampak negatif pada proses pembentukan model stereo karena daerah yang akan ditinjau akan mengalami berbagai perubahan kenampakan, yang meliputi perubahan iluminasi, perubahan penutup lahan, perubahan cuaca, maupun perubahan geomorfologis lainnya. Pada citra ASTER, kelemahan ini dapat diatasi dengan adanya selang waktu yang singkat antara dua pengambilan citra stereo, yaitu sekitar 9 detik.

I.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah membentuk model permukaan digital dengan memanfaatkan prinsip paralaks. Untuk menentukan titik-titik yang bersesuaian pada dua buah citra, dilakukan proses image-matching dengan teknik korelasi silang.

I.3. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, hanya dua faktor yang diperhitungkan dalam pembentukan model permukaan digital, yaitu beda paralaks serta perbandingan basis terhadap tinggi terbang sebesar 0,6. Pengaruh kesalahan orientasi sumbu-sumbu kamera, pengaruh kelengkungan bumi, pengaruh kesalahan orbit satelit, pengaruh variasi skala dalam satu scene, serta pengaruh kesalahan radiometris diabaikan.

(16)

I.4. Landasan Teori

I.4.1. Sistem Satelit Terra (EOS AM-1)

I.4.1.1. Karakteristik Sistem. Pada bulan Desember 1999, National Aeronautics and Space Administration (NASA) meluncurkan sebuah satelit bernama EOS AM-1/Terra sebagai bagian awal dari misi Earth Observing System (EOS). EOS terdiri dari komponen ilmiah dan sistem informasi data yang memberikan dukungan kepada sejumlah satelit terkoordinasi dengan orbit kutub dan orbit berinklinasi rendah untuk observasi global jangka panjang dari permukaan daratan, biosfer, kerak bumi, atmosfer, dan lautan (Abrams, 2002).

Tabel I.1. Parameter orbit satelit Terra (ASTER Science Team, 2001)

Parameter Keterangan

Orbit Sun synchronous, descending

Sumbu semi-major (rerata) 7078 km

Eksentrisitas 0,0012 Waktu lintas (lokal) 10.30 ± 15 menit.

Kisaran ketinggian 700 - 737 km (705 km pada ekuator)

Inklinasi 98,2° ± 0,15°

Repeat cycle 16 hari (233 revolusi / 16 hari) Jarak antara orbit yang berdekatan 172 km

Periode orbit 98,9 menit

Satelit Terra berada pada orbit kutub yang bersifat sun-synchronous, 30 menit dibelakang Landsat ETM+; Terra melintasi ekuator pada sekitar pukul 10.30 pagi waktu setempat. Parameter orbit satelit Terra ditunjukkan pada Tabel I.1.

I.4.1.2. Sensor-sensor pada Satelit Terra. Selain Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER), instrumen lain yang terpasang pada satelit Terra adalah Moderate-Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS), Multi-angle Imaging Spectro-Radiometer (MISR), Clouds and the Earth’s Radiant Energy System (CERES), dan Measurements of Pollution in the Troposphere (MOPITT).

I.4.2. Sensor ASTER

(17)

4

Thermal Emission and Reflection Radiometer) adalah sebuah pengindera multispektral modern yang dipilih oleh NASA untuk dipasang pada satelit EOS AM-1 (Terra) bersama dengan empat buah sensor yang lain. Konsep dasar dari ASTER adalah mengumpulkan data spektral kuantitatif dari radiasi yang dipantulkan dan dipancarkan dari permukaan bumi dalam jangkauan panjang gelombang 0,5 – 2,5 µm dan 8 – 12 µm.

Tujuan umum dari penyelidikan ilmiah menggunakan ASTER adalah untuk mempelajari interaksi antara geosfer, hidrosfer, dan atmosfer bumi, dari sudut pandang geofisika (ASTER Science Team, 2001).

Salah satu kemampuan sensor ASTER pada satelit Terra yang cukup menarik adalah kemampuan stereoskopisnya pada arah jalur orbit, dimana waktu yang diperlukan untuk mencitrakan suatu daerah dari dua sudut yang berbeda (arah nadir dan arah lihat-belakang) relatif singkat, yaitu sekitar 64 detik. Dalam waktu yang sangat singkat itu, perubahan kenampakan permukaan bumi akibat perubahan cuaca atau penutup lahan akan dapat diminimalisasi. Selain itu, resolusi spasial yang ditawarkan cukup tinggi, yaitu 15 meter.

Gambar I.1. Diagram skematik linear array sensor. (JARS, 1993)

Sensor ASTER pada subsistem VNIR termasuk tipe pushbroom dengan 5000 buah detektor CCD (Charge Coupled Device) yang terbuat dari silikon. Pushbroom

(18)

scanner atau linear array sensor adalah sebuah sistem penyiam (scanner) yang tidak menggunakan cermin penyiam mekanis, melainkan menggunakan elemen-elemen semikonduktor padat yang disusun dalam satu baris sehingga memungkinkan perekaman satu baris citra secara simultan (JARS, 1993). Diagram skematik linear array sensor ditunjukkan pada gambar I.1.

Tabel I.2. Karakteristik band Citra ASTER (ASTER Science Team, 2001). Subsistem Band Kisaran spektral

(µm) Resolusi Spasial Kuantisasi sinyal

VNIR 1 2 3N 3B 0.52 - 0.60 0.63 - 0.69 0.78 - 0.86 0.78 - 0.86 15 m 8 bit SWIR 4 5 6 7 8 9 1.600 - 1.700 2.145 - 2.185 2.185 - 2.225 2.235 - 2.285 2.295 - 2.365 2.360 - 2.430 30 m 8 bit TIR 10 11 12 13 14 8.125 - 8.475 8.475 - 8.825 8.925 - 9.275 10.25 - 10.95 10.95 – 11.65 90 m 12 bit

Satu scene penuh dari citra ASTER meliputi daerah berukuran sekitar 60 km x 60 km. Tabel I.2. menunjukkan karakteristik kisaran spektral, resolusi spasial, dan kuantisasi sinyal dari semua band yang ada pada citra ASTER.

ASTER terdiri atas tiga buah subsistem, yaitu: Visible and Near-Infrared Radiometer (VNIR), yang memiliki 3 band (ditambah satu band pandangan ke belakang yang menggunakan sebuah teleskop lihat-belakang untuk kemampuan pandangan stereo) dengan resolusi spasial 15 meter; Shortwave Infrared Radiometer (SWIR) yang memiliki 6 band dengan resolusi spasial 30 meter; dan Thermal Infrared Radiometer (TIR) yang memiliki 5 band dengan resolusi spasial 90 meter. Kenampakan fisik dari subsistem VNIR ditunjukkan pada gambar I.2.

(19)

6

Gambar I.2. Subsistem VNIR pada sistem sensor ASTER

I.4.2.2. Sifat Stereoskopik pada Citra ASTER. Citra ASTER memiliki kemampuan stereoskopis pada arah jalur orbit (along track) karena dimilikinya sebuah sensor pada arah vertikal (nadir looking) dan sebuah sensor dengan arah miring ke belakang sebesar 27,6° terhadap vertikal (backward looking). Perbandingan jarak basis terhadap ketinggian terbang (B/H ratio) sebesar 0,6.

(20)

Sebenarnya, untuk menghasilkan B/H ratio sebesar 0,6 diperlukan sudut miring sebesar 30,96° terhadap vertikal, namun untuk mengkompensasi pengaruh kelengkungan bumi, sudut miring diatur pada 27,6° (ASTER Science Team, 2001). Data yang dihasilkan oleh kedua sensor yang bekerja pada daerah gelombang tampak dan infra merah dekat (subsistem VNIR) ini direkam dalam band 3 pada tiap citra, yaitu pada band 3N (band 3 nadir) dan band 3B (band 3 backward). Untuk merekam satu stereo scene diperlukan waktu selama 64 detik. Kemampuan stereoskopis ini memungkinkan pembuatan model 3 dimensi dari daerah yang diamat oleh satelit Terra. Diagram skematik geometri pencitraan disajikan pada gambar I.3.

I.4.3. Data Citra ASTER

I.4.3.1. Pemrosesan Data Citra ASTER. Pada produk citra ASTER dikenal adanya produk Level 1A dan 1B. Pada level 1A, citra belum dikoreksi secara geometris maupun radiometris, tetapi parameter-parameter untuk melakukan koreksi-koreksi tersebut telah disertakan dalam header file citra. Sedangkan pada level 1B, citra sudah dikoreksi menggunakan data citra dari Level 1A dengan parameter-parameter koreksi yang juga terdapat pada level 1A.

I.4.3.2. Format Data Citra ASTER. Format standar dari citra ASTER adalah EOS-HDF, sebuah implementasi khusus dari format HDF (Hierarchical Data Format), yang dapat dikenali oleh beberapa perangkat lunak seperti PCI Geomatica OrthoEngine, Matlab, ILWIS, dan IDL/ENVI. Satu scene penuh dari citra ASTER yang terdiri atas 14 band berukuran sekitar 120 MB. Data ini didistribusikan dalam berbagai media data, seperti CD-ROM (Compact Disc – Read Only Memory), CCT (Computer Compatible Tape), maupun transfer data secara langsung melalui Internet dengan fasilitas FTP (File Transfer Protocol).

I.4.4. Pembentukan Model Permukaan Digital

I.4.4.1. Teknik Korelasi Silang. Untuk mendapatkan koordinat titik yang bersesuaian pada kedua band, digunakan teknik korelasi silang. Korelasi silang adalah algoritma untuk menentukan lokasi bagian-bagian dari citra berdasarkan kesamaan tingkat keabuan. Sebuah titik referensi ditentukan pada citra referensi, dan

(21)

8

titik yang bersesuaian dicari pada citra pencarian. Untuk keperluan itu, citra referensi digerakkan pada citra pencarian, dan posisi dari kesamaan maksimum dari tingkat keabuan dapat dicari. Pada setiap posisi dari citra referensi dalam citra pencarian, sebuah nilai kesamaan, yaitu koefisien korelasi silang dari tingkat-tingkat keabuan, dihitung. Koefisien korelasi dihitung dengan persamaan I.1. (Rottensteiner, 2001).

Gambar I.4. Korelasi silang 2 dimensi.

Pencarian piksel yang bersesuaian pada kedua band dilakukan dengan membentuk daerah selidik dan daerah sasaran, seperti yang diilustrasikan pada gambar I.4.. Pada citra band 3N, piksel yang akan dicari pasangannya dibentuk sebuah daerah sasaran dengan ukuran tertentu dengan titik tersebut sebagai pusatnya, misalnya 3 x 3 piksel, 5 x 5 piksel, atau lebih besar lagi.

Pada citra band 3B dibentuk daerah selidik dengan ukuran yang lebih besar dari daerah sasaran. Untuk tiap piksel pada daerah selidik, dibentuk daerah sasaran dengan piksel yang bersangkutan sebagai titik pusat. Kemudian, dihitung nilai korelasi antara daerah sasaran pada citra band 3N dengan daerah sasaran pada citra band 3B. Proses ini diulang untuk tiap piksel pada daerah selidik, dengan demikian diperoleh nilai korelasi untuk tiap piksel pada daerah selidik tersebut. Piksel dengan nilai korelasi paling tinggi merupakan piksel yang bersesuaian pada citra band 3N dan band 3B.

(22)

∑∑

∑∑

∑∑

= = = = = = − ⋅ − − − = t x t y t x t y xy m m y x t x t y xy m xy m h h g g h h g g 1 1 1 1 2 ) , ( 2 ) , ( 1 1 ( , ) ( , ) ] [ ] [ ] ][ [ δ (I.1)

dalam hal ini :

δ : koefisien korelasi

g(x,y) : derajat keabuan untuk piksel yang mempunyai koordinat (x, y)

pada citra pertama.

h(x,y) : derajat keabuan untuk piksel yang mempunyai koordinat (x, y)

pada citra kedua.

gm, hm : rerata nilai keabuan piksel dalam luasan jendela citra pertama

dan citra kedua.

Untuk mendapatkan ketelitian sub-piksel, maka piksel dengan nilai korelasi terbesar dijadikan pusat dari sebuah daerah interpolasi berukuran 3 x 3 piksel. Nilai koordinat piksel dan nilai korelasi untuk tiap piksel pada daerah tersebut digunakan untuk menghitung parameter dari suatu fungsi permukaan kuadratis.

2 5 2 4 3 2 1 0 a x a y a xy a x a y a + + + + + = δ (I.2) dengan δ : koefisien korelasi

a0 – a5 : koefisien parameter polinomial

x, y : koordinat piksel

Setelah parameter fungsi permukaan kuadratis tersebut dihitung dengan menggunakan hitung kuadrat terkecil dengan persamaan I.2 sebagai persamaan observasi, maka dapat dihitung nilai koordinat piksel yang memiliki nilai korelasi yang maksimum dari derivatif pertama dari fungsi permukaan kuadratis dengan menggunakan persamaan I.3, dengan demikian, ketelitian sub-piksel dapat diketahui.

(23)

10

Ketelitian metode estimasi sub-piksel ini secara empiris diperoleh sekitar 0,2 – 0,3 piksel (Rottensteiner, 2001).       =       ∗       +       =             ∂ ∂∂ ∂ 0 0 2 2 max max 5 3 3 4 2 1 y x a a a a a a y x δ δ (I.3)

Gambar I.5. Estimasi koordinat sub-piksel (Rottensteiner, 2001).

Menurut Lang (1999), ketelitian elevasi secara teoritis yang dapat dihasilkan dari citra satelit stereo dihitung dengan persamaan:

B p H h= ∆ ∆ (I.4) dengan ∆h = ketelitian teoritis

∆p = asumsi kesalahan image-matching maksimum H = tinggi orbit satelit

B = jarak basis

Apabila ketelitian pada proses korelasi silang diasumsikan sebesar 1 piksel (15 meter), maka berdasarkan persamaan I.4 resolusi elevasi model adalah 25 meter. Sebuah model permukaan digital dengan resolusi elevasi sebesar 25 meter akan tampak berteras-teras pada daerah yang miring. Efek berteras (terraced effect) ini

(24)

akan tampak nyata pada daerah yang landai maupun daerah yang mendekati datar. Selain kualitas visual yang buruk, model dengan resolusi elevasi 25 meter akan cenderung menghilangkan detil lokal dari permukaan bumi.

Untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul pada model dengan resolusi elevasi besar tersebut, digunakan proses korelasi silang dengan ketelitian sub-piksel sehingga resolusi elevasi dari model permukaan digital dapat ditingkatkan.

Proses korelasi silang membutuhkan unjuk kerja komputasi yang handal karena proses korelasi dilakukan pada tingkat piksel untuk tiap piksel pada citra serta melibatkan banyak hitungan floating-point. Karena pada penghitungan elevasi diperlukan nilai beda paralaks pada sumbu y, maka proses korelasi silang dapat dipercepat dengan membatasi daerah sasaran dan selidik menjadi satu dimensi saja. Namun demikian, pada kenyataan, diperlukan toleransi sebesar masing-masing satu piksel ke arah sumbu x positif dan sumbu x negatif untuk mengkompensasi perubahan ketinggian satelit.

Korelasi silang, sebagai salah satu metode image-matching berdasar area (area-based image-matching) mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:

a. tidak memberikan solusi untuk daerah yang tingkat keabuannya homogen, misalnya salju, padang rumput, dataran pasir, dan lautan.

b. tidak memberikan solusi untuk daerah yang sangat gelap, maupun sangat terang, seperti daerah bayang-bayang atau permukaan atas awan.

c. tidak memberikan hasil yang tepat untuk daerah dengan perulangan pola tertentu (repeated patterns).

d. tidak memberikan hasil yang tepat pada daerah yang sama sekali tidak mirip, misalnya apabila objek pada salah satu citra tertutup awan.

I.4.4.2. Penghitungan Paralaks dan Elevasi. Besarnya paralaks dari tiap piksel pada citra dapat ditentukan dengan proses image-matching menggunakan teknik korelasi silang, dimana untuk tiap piksel pada band 3N dicari piksel yang bersesuaian pada band 3B. Beda koordinat pada komponen sumbu y adalah beda paralaks pada sumbu y, sedangkan beda koordinat pada komponen sumbu x adalah beda paralaks pada sumbu x. Koordinat x dan y adalah dalam koordinat citra, merupakan sistem koordinat tangan kiri, dengan sumbu y sejajar arah orbit.

(25)

12

Beda tinggi dapat diketahui berdasarkan besar paralaks dan perbandingan antara basis citra terhadap tinggi terbang (B/H ratio). B/H ratio dari citra ASTER adalah sebesar 0,6. Hubungan matematis dari paralaks dan beda tinggi ditunjukkan dalam persamaan berikut:

α tan 2 1 X X h= − ∆ (I.5) α tan p ∆ = (I.6) B p H⋅∆ = (I.7)

Gambar I.6. Penentuan elevasi berdasarkan paralaks pada citra ASTER (Lang, 1999).

Beda paralaks pada sumbu x pada citra yang terkoreksi harus sama dengan 0. Hal ini disebabkan karena sifat stereoskopis dari citra ASTER adalah untuk scene

(26)

yang terletak berurutan pada satu jalur terbang (along track), sehingga untuk kondisi ideal, paralaks yang ada hanyalah paralaks pada sumbu y saja. Namun pada kenyataannya, kemungkinan terdapat kesalahan geometrik sebesar 1 piksel pada sumbu x, yang disebabkan karena perubahan tinggi satelit (Lang, 1999). Kesalahan ini perlu dikompensasi pada saat proses image-matching.

I.4.4.3. Model Permukaan Digital. Pemodelan permukaan merupakan istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan suatu proses menyajikan permukaan nyata atau tiruan secara matematis. Pemodelan permukaan bumi merupakan kategori khusus dari pemodelan permukaan yang berkaitan dengan problem khusus untuk menyajikan bentuk permukaan bumi (Djurdjani, 1999). Model permukaan digital dapat disimpan dengan berbagai metode:

a. Data berdistribusi teratur. Data disimpan dengan spasi yang teratur antar titik data sehingga membentuk suatu grid. Bentuk dasar dari grid yang paling sering digunakan adalah bentuk bujur sangkar. Data elevasi dicatat pada tiap jarak tertentu, sesuai dengan resolusi spasial dari grid.

b. Data berdistribusi semi teratur. Pada metode ini, keteraturan terdapat pada salah satu unsur datanya, sedangkan unsur yang lain acak. Misalnya garis-garis kontur pada peta yang merepresentasikan ketinggian yang sama pada permukaan bumi dengan interval ketinggian tertentu yang konstan mempunyai keteraturan pada unsur Z, tetapi pada unsur X dan Y acak. c. Data berdistribusi acak. Pada metode ini, tidak ada keteraturan pada

setiap unsur datanya. Salah satu bentuk struktur data acak adalah TIN (Triangulated Irregular Networks) dengan segitiga-segitiga tak beraturan sebagai satuan datanya.

d. Fungsi permukaan. Permukaan bumi dapat pula disajikan dalam model matematis tertentu, namun pemodelan ini cenderung hanya memberikan gambaran umum permukaan (trend surface) serta menghilangkan detil-detil lokal pada permukaan bumi, mengingat kenampakan fisik dari permukaan bumi sangat kompleks dan sulit dimodelkan melalui suatu fungsi matematis secara tepat.

(27)

14

I.4.5. Noise Filtering

Dua tahap yang terlibat dalam proses noise filtering adalah deteksi noise dan eliminasi noise. Dalam penelitian ini noise dideteksi dengan menggunakan teknik simpangan baku lokal, sedangkan noise yang telah dideteksi dihilangkan dengan menggunakan filter median.

I.4.5.1. Simpangan baku lokal. Salah satu cara untuk mendeteksi adanya noise adalah dengan menggunakan simpangan baku lokal. Simpangan baku lokal adalah simpangan baku nilai ketinggian pada sebuah daerah window bujur sangkar berukuran tertentu. Nilai ketinggian yang melebihi ambang batas tertentu dianggap sebagai noise. Ambang batas dihitung dengan mengalikan simpangan baku dengan faktor pengali tertentu.

n x xi )2 (

− = σ (I.8) dengan

xi = nilai ketinggian pada piksel ke-i

x = nilai rerata ketinggian pada jendela n = jumlah piksel pada jendela

σ = simpangan baku

I.4.5.2. Filter Median. Filter median adalah filter yang memeriksa setiap nilai piksel yang tercakup dalam jendela filter dan mengurutkannya dari nilai terkecil sampai terbesar. Hasil dari filter median adalah nilai yang tepat berada di tengah urutan tersebut.

Sebagai contoh, pada gambar I.7 diilustrasikan sebuah jendela filter berukuran 3 x 3 piksel. Nilai yang dihasilkan filter median pada ilustrasi tersebut adalah nilai yang berada pada bagian tengah hasil pengurutan, atau dalam hal ini nilai ke-4, yaitu 23. Nilai-nilai ekstrim akan berada pada awal maupun akhir dari daftar pengurutan, sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai ekstrim dapat dihilangkan dengan filter median.

(28)

Jendela filter 3 x 3

Hasil pengurutan dari 9 piksel yang ada pada jendela filter

22 22 23 23 23 24 24 25 35

Gambar I.7. Proses penghitungan median filter.

I.4.6. Hitung Kuadrat Terkecil

Kuadrat terkecil adalah prosedur yang dilakukan untuk menghitung nilai yang paling mungkin dari suatu pengukuran yang mengandung kesalahan acak. Prinsip dasar yang dipakai dalam penyelesaian kuadrat terkecil adalah meminimumkan kuadrat residual, yaitu kuadrat selisih antara hasil pengamatan dengan hasil perataan. Penelitian ini memakai hitungan kuadrat terkecil metode parameter.

Dalam metode parameter, harus dicari sejumlah parameter (besaran yang independen) sebanyak minimum data yang harus diketahui untuk menyelesaikan suatu sistem persamaan (u). Setelah parameternya diketahui, dapat disusun persamaan atau hubungan matematis antara hasil pengamatan dengan masing-masing parameter tersebut. Jumlah persamaan ini harus sama dengan jumlah pengamatan (n). Hubungan antara hasil pengamatan, nilai yang paling mungkin (pengamatan terkoreksi), dan nilai koreksi kesalahan adalah :

an n n a a l v l l v l l v l = + = + = + ... 2 2 2 1 1 1 (I.9) dengan ln = hasil pengamatan vn = residual lan = pengamatan terkoreksi 23 25 23 35 24 24 22 22 23

(29)

16

Hubungan fungsional antara la dan x berbentuk

0 , , 2 2 , 1 1 , 0 , 1 , 1 2 2 , 1 1 1 , 1 1 ... ... ... n u u n n n an u u a a x a x a x a l a x a x a x a l + + + + = + + + + = (I.10)

sehingga persamaan I.9 menjadi

0 , , 2 2 , 1 1 , 0 , 1 , 1 2 2 , 1 1 1 , 1 1 1 ... ... ... n u u n n n n n u u a x a x a x a v l a x a x a x a v l + + + + = + + + + + = + (I.11)

maka didapat persamaan dalam fungsi v sebagai berikut

n n u u n n n n u u l a x a x a x a v l a x a x a x a v − + + + + = − + + + + = 0 , , 2 2 , 1 1 , 1 0 , 1 , 1 2 2 , 1 1 1 , 1 1 ... ... ... (I.12)

dalam bentuk matriks dapat dituliskan F AX V = + (I.13) dengan           = n v v V ... 1           = u n n n u a a a a a a A , 2 , 1 , , 1 2 , 1 1 , 1 ... ... ... ... ... ...           = u x x X ... 1           − − = n n l a l a F 0 , 1 0 , 1 ... ... V = matriks residual A = matriks koefisien

X = matriks koefisien parameter F = matriks vektor sisa

Jumlah kuadrat residual sama dengan transpos matriks V dikalikan matriks V. Supaya jumlah kuadrat residual minimum, maka turunan pertama dari VTV (jumlah kuadrat residual) terhadap X harus sama dengan nol.

(30)

0 = ∂ ∂ X V VT (I.14) Karena ) ( ) (AX F AX F V VT = + T + (I.15) maka 0 2 2XTATA+ FTA= (I.16) 0 = +F A A A XT T T (I.17)

Apabila persamaan diatas ditranspos maka 0 = + A F AX AT T (I.18) Sehingga ) ( ) (A A 1 A F X = TT (I.19)

Nilai varian posteriori adalah :

u n V VT − = 2 0 σ (I.20) dengan 2 σ = varian posteriori n = jumlah persamaan u = jumlah parameter

I.4.7 Transformasi Polinomial

Transformasi polinomial dipakai apabila hubungan antara kedua sistem yang akan ditransformasikan sulit diterangkan secara geometri, sehingga diasumsikan ada hubungan polinomial antara kedua sistem koordinat (Soeta’at, 1999).

Bentuk umum persamaan polinomial adalah:

y A x X = T (I.21) y B x Y = T (I.22)

(31)

18 dengan             = ... ... ... ... ... ... ... 22 21 20 12 11 10 02 01 00 a a a a a a a a a A (I.23)             = ... ... ... ... ... ... ... 22 21 20 12 11 10 02 01 00 b b b b b b b b b B (I.24)

dalam hal ini

A, B = matriks koefisien polinomial

[

1 x x2 x3 ...

]

xT = (I.25)

[

1 y y2 y3 ...

]

yT = (I.26)

Dalam penelitian ini, transformasi polinomial digunakan pada proses minimalisasi paralaks-x. Karena yang diperlukan pada proses ini hanya komponen absis saja, maka hitungan kuadrat terkecil untuk mencari nilai koefisien polinomial dibatasi pada matriks A (matriks koefisien polinomial untuk komponen absis), sedangkan matriks B (matriks koefisien polinomial untuk komponen ordinat) tidak dihitung.

1.4.8. Teori Kesalahan

Kesalahan yang terjadi pada setiap pengukuran dapat digolongkan menjadi tiga jenis kesalahan, yaitu kesalahan kasar, kesalahan sistematis, dan kesalahan acak. Kesalahan kasar adalah kesalahan bernilai besar yang melebihi kesalahan maksimum yang diperbolehkan. Kesalahan sistematis adalah kesalahan yang mengikuti aturan atau pola tertentu yang diakibatkan oleh kesalahan prosedur atau kesalahan sistem pengukuran/pengolahan data.

(32)

Setelah kesalahan kasar dan kesalahan sistematik dihilangkan dari hasil pengukuran, masih ada kesalahan yang tersisa, yaitu kesalahan acak. Kesalahan acak terjadi diluar kendali pengukur, dan biasanya tidak mengikuti pola atau aturan tertentu. Karena itu, kesalahan acak perlu ditangani menurut hukum probabilitas.

Pada kurva distribusi normal seperti yang diilustrasikan pada gambar I.8, ditunjukkan distribusi kesalahan untuk suatu pengukuran dengan µ sebagai nilai sebenarnya. Daerah dibawah kurva yang meliputi –σ sampai +σ mempunyai luas 68% dari keseluruhan luas daerah dibawa kurva, atau dapat dikatakan bahwa 68% nilai data akan berada diantara –σ dan +σ, dengan σ sebagai kesalahan baku (standard error).

Gambar I.8. Kurva distribusi normal.

Hal ini juga berarti bahwa untuk tiap kelompok pengukuran, terdapat kemungkinan sebesar 68% bahwa sebuah pengukuran mempunyai kesalahan diantara –σ dan σ. Kesalahan baku didefinisikan sebagai akar pangkat dua dari rerata kuadrat kesalahan (error). n xi

− = 2 ) ( µ σ (I.27) dengan σ = kesalahan baku xi = nilai hasil ukuran

µ = nilai sebenarnya n = jumlah pengukuran

(33)

20

RMSE (Root Mean Square Error) adalah suatu nilai yang digunakan untuk menunjukkan ketelitian dengan melibatkan semua faktor kesalahan yang terjadi selama proses pengukuran atau produksi data. Definisi matematis dari RMSE mirip dengan kesalahan baku, yaitu akar pangkat dua dari rata-rata kuadrat kesalahan.

Menurut Lang, 1999, nilai RMSE untuk elevasi (RMSEz) dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

n Z Z

RMSEz=

MAPDEM 2 ) (

(I.28) dengan

RMSEz = nilai root mean square error elevasi

ZMAP = nilai elevasi pada titik cek, berdasarkan peta rupabumi.

ZDEM = nilai elevasi pada model permukaan digital.

n = banyaknya titik cek.

Ketelitian pengukuran elevasi dengan tingkat kepercayaan 90% menurut Mauney, 2002, adalah sebagai berikut :

Accuracy = E90 x RMSEz (I.29)

dengan

Accuracy = ketelitian elevasi

E90 = faktor pengali untuk tingkat kepercayaan 90% (Tabel I.3)

RMSEz = root mean square error untuk komponen z (elevasi)

Tabel I.3. Faktor pengali σ untuk berbagai tingkat kepercayaan (Wolf, 1997). Tingkat kepercayaan Faktor pengali σ

50 % 0,6745 90 % 1,6449 95 % 1,960 99 % 2,576 99,7 % 2,965 99,9 % 3,29

(34)

I.4.9. Acuan Ketelitian Baku

Persyaratan ketelitian baku dari peta topografi menurut United States National Map Accuracy Standards, 1947, adalah sebagai berikut:

1. Komponen horisontal

Untuk peta skala 1 : 20.000 atau lebih kecil lagi, sekurang-kurangnya 90% dari titik yang diteliti harus mempunyai ketelitian 0,508 mm (1/50 inci) pada peta. Dengan kata lain, ketelitian horisontal yang disyaratkan adalah sebesar 0,508 mm pada skala peta untuk tingkat kepercayaan 90%.

2. Komponen vertikal

Sekurang-kurangnya 90% dari titik yang diteliti harus mempunyai kesalahan kurang dari 0,5 kali interval kontur pada peta. Dengan kata lain, ketelitian vertikal yang disyaratkan adalah sebesar 0,5 kali interval kontur pada peta untuk tingkat kepercayaan 90%.

Untuk peta skala 1 : 25.000 sampai dengan skala 1 : 500.000, hubungan antara skala peta, interval kontur dan syarat tingkat ketelitian menurut United States National Map Accuracy Standards, diringkas dalam tabel III.5.

Tabel I.4. Hubungan antara skala peta, interval kontur, dan syarat tingkat ketelitian. Tingkat ketelitian (m)

Skala peta Interval kontur

(m) horizontal vertikal 1:25.000 12,5 12,7 6,25 1:50.000 25 25,4 12,5 1:100.000 50 50,8 25 1:250.000 125 127 62,5 1:500.000 250 254 125

I.4.10. Perangkat Lunak Komputer

I.4.10.1 IDL/ENVI. Environment for Visualizing Images (ENVI) adalah paket perangkat lunak pemrosesan citra yang disusun menggunakan bahasa IDL (Interactive Data Language). ENVI mampu mengenali format HDF yang digunakan

(35)

22

dalam distribusi data citra ASTER dan mengkonversinya kedalam format lain. Sebagai perangkat lunak pemrosesan citra, ENVI memiliki fasilitas yang cukup lengkap untuk melakukan berbagai hal yang diperlukan dalam penelitian ini, seperti pemilihan dan pengukuran GCPs (Ground Control Points), rektifikasi, registrasi/geocoding citra, contrast-stretching, dan lain-lain. ENVI mampu mengukur koordinat suatu titik sampai pada ketelitian sub-piksel. Dalam penelitian ini digunakan ENVI versi 3.1, yang dijalankan dengan menggunakan IDL versi 5.1.1.

I.4.10.2. Delphi 5. Bahasa pemrograman yang dipilih untuk pembuatan model permukaan digital ini adalah bahasa pemrograman yang dapat memberikan kecepatan maksimum pada proses hitungan, mengingat proses korelasi otomatis melibatkan hitungan floating-point dalam jumlah yang sangat besar. Pada citra ASTER berukuran 1000 piksel x 1000 piksel, dengan resolusi model permukaan digital 15 meter, maka titik yang harus diproses berjumlah 1.000.000 titik. Oleh karena itu, bahasa-bahasa pemrograman seperti yang bersifat terinterpretasi, seperti Matlab, IDL, dan QBasic, bukan merupakan pilihan yang tepat. Pada bahasa terinterpretasi, program tidak secara langsung dieksekusi oleh komputer, melainkan melalui proses penerjemahan dahulu. Delphi dipilih karena kemampuannya membuat sebuah program yang langsung dieksekusi oleh CPU (Central Processing Unit), sehingga pengolahan data berlangsung lebih cepat.

Delphi adalah salah satu bahasa pemrograman komputer yang merupakan perkembangan dari bahasa Pascal. Bahasa Pascal terkenal karena terstruktur, fleksibel, serta mudah dipahami dan dipelajari. Selaras dengan perkembangan teknologi informasi yang menuntut interaksi yang lebih mudah antara manusia dengan komputer, maka bahasa Pascal yang semula hanya berjalan pada modus teks dibawah sistem operasi DOS (Disk Operating System), dikembangkan menjadi perangkat pemrograman komputer yang dirancang untuk memanfaatkan keunggulan sistem operasi Windows.

Delphi dirancang sebagai bahasa pemrograman berbasis RAD (Rapid Application Development) yang memungkinkan pembuatan program komputer secara cepat dan handal, sehingga pemrogram dapat memfokuskan diri pada

(36)

penyelesaian pekerjaan pemrograman, bukan pada detail teknis pemrograman itu sendiri.

Dalam lingkungan Windows, interaksi antara pengguna dengan komputer dilakukan melalui tampilan grafis di layar monitor. Lembar kerja utama dimana komponen-komponen antarmuka seperti button, text box, check box, diletakkan adalah form. Tiap-tiap komponen mempunyai properties sendiri-sendiri yang mengatur penampilan maupun sifat dari komponen itu. Pemrograman dalam Windows bersifat event-driven, artinya kerja program dikendalikan oleh kejadian (event), seperti peng-klik-an mouse pada komponen button, pemilihan menu, pengisian text-box, dan lain-lain. Tiap kejadian membangkitkan serangkaian instruksi yang dikerjakan oleh komputer.

Untuk memecah program menjadi bagian-bagian yang sederhana dapat dilakukan dengan membuat prosedur dan fungsi. Sebuah fungsi adalah serangkaian instruksi yang akan mengembalikan suatu nilai setelah fungsi tersebut dipanggil, sedangkan prosedur hanya melakukan serangkaian instruksi tanpa mengembalikan nilai apapun.

(37)

24

BAB II

PELAKSANAAN

II.1. Persiapan

Pada tahap persiapan dilakukan studi pustaka, penentuan daerah penelitian, pengajuan ijin penggunaan data citra ASTER, pencarian dan pengumpulan data penelitian yang antara lain berupa citra ASTER dalam format HDF dan peta rupabumi skala 1:25.000, serta penyiapan perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang akan digunakan.

II.2. Materi Penelitian

Materi yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa :

1. Satu scene citra ASTER level 1B (local granule ID : pg-PR1B0000-2000111402_006_001) dalam format EOS-HDF pada media CD-ROM yang meliputi daerah Tuban, dicitrakan pada tanggal 9 September 2000. Citra diperoleh dari LP-DAAC NASA, Amerika Serikat..

2. Peta rupabumi daerah Parengan, Tuban, skala 1:25.000. Peta ini diperoleh dari Pusat Informasi Kebumian Bakosurtanal.

II.3. Alat Penelitian

Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa :

1. Satu unit komputer dengan prosesor Intel Pentium III 800 MHz, memori 128 MB, hard disk berkapasitas 20 GB, dan sistem operasi Windows 98, untuk pembuatan dan eksekusi program.

2. Media penyimpan data berupa CD-ROM, CD-R, dan floppy disk 3½ inci. 3. Printer inkjet Canon BJC-2100SP untuk mencetak laporan penelitian. 4. Perangkat lunak IDL/ENVI 3.1, untuk melakukan proses georeferensi

citra, serta untuk mengkonversi format HDF ke format standar ENVI. 5. Paket bahasa pemrograman Delphi 5, untuk menyusun program

komputer.

6. Paket perangkat lunak Microsoft Office 2000, untuk pengetikan laporan penelitian serta pengolahan data numeris.

(38)

II.4. Alur Penelitian

Langkah-langkah yang perlu dilaksanakan dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam diagram alir berikut :

Gambar II.1. Diagram alir penelitian. Pemilihan dan

pengukuran GCP Pemilihan dan

pengukuran titik cek

ASTER L-1B

Ekstraksi band 3N dan 3B

Pemilihan titik ikat pada band 3N dan 3B Visualisasi MPD Evaluasi Ketelitian MPD Peta Rupabumi Pemrograman Komputer Pengujian Program

Paket Program Komputer

Pengumpulan data Pengolahan data Pembuatan program

Proses otomatis MPD : model permukaan digital Georeferensi MPD Korelasi stereo untuk

pembuatan MPD

Noise filtering MPD

Koreksi elevasi pada MPD

(39)

26

II.4.1. Pemrograman Komputer

Pengolahan data secara otomatis dengan menggunakan komputer memer-lukan sebuah program yang harus disusun terlebih dahulu. Sebelum penulisan kode program, terlebih dahulu disusun dasar logika dan rangkaian tahapan yang perlu dilakukan. Kerangka logika program ini dituangkan dalam bentuk flow chart atau diagram alir untuk mempermudah pemahaman atas cara kerja dari program yang akan disusun. Hal ini sangat membantu dalam memecah program yang kompleks menjadi modul-modul yang lebih sederhana, misalnya flow chart pada lampiran H.

II.4.1.1. Perancangan Interface. Pada pemrograman visual, interface adalah bagian yang sangat penting dalam program, karena seolah-olah sebagian besar kode program “menempel” pada interface. Oleh karena itu perlu dilakukan perancangan interface terlebih dahulu supaya dapat direncanakan prioritas modul program yang apa saja yang akan ditulis. Selain harus mudah dimengerti oleh pengguna (user-friendly), interface juga harus sesuai dengan diagram alir program yang telah direncanakan.

Delphi adalah bahasa pemrograman visual yang memberikan berbagai kemudahan dalam merancang tampilan program. Dalam bahasa pemrograman visual seperti Delphi, form adalah inti dari antarmuka pemakai (user interface) yang berperan sebagai sarana komunikasi antara pemakai komputer dengan program komputer. Form merupakan “kanvas” tempat pemrogram dapat meletakkan berbagai komponen dalam konsep graphical user interface (GUI) yang umum digunakan dalam berbagai sistem operasi modern, seperti tombol (button), combo-box, text-box, radio button, check-box, frame, panel, dan lain-lain. Komponen-komponen GUI itu disebut controls dalam Delphi.

Desain antarmuka pemakai dilakukan dengan melakukan penempatan controls pada form sedemikian rupa sehingga program menjadi mudah dimengerti dan digunakan oleh pemakai program. Baik form maupun berbagai controls yang ada padanya memiliki properties dan methods yang lazim ada dalam pemrograman berorientasi objek. Properties adalah sekumpulan variabel yang mengatur sifat dari komponen/controls yang bersangkutan, seperti warna komponen, teks yang muncul pada komponen, tinggi dan lebar komponen dan sebagainya. Methods adalah

(40)

sekumpulan subrutin program yang digunakan untuk mengoperasikan komponen/controls yang bersangkutan, seperti menampilkan, menyembunyikan, atau membuang komponen dari memori.

Gambar II.2. Properties dan Events dalam Object Inspector Delphi.

Setiap komponen form akan membangkitkan kejadian (event) tertentu apabila pemakai melakukan sesuatu terhadap komponen tersebut, seperti meng-klik mouse, mengetik sesuatu pada keyboard, menyeret mouse (dragging), dan lain-lain. Karena pemrograman dalam visual umumnya bersifat event-driven, maka untuk event-event tertentu diberikan event-handler, sehingga misalnya saat pemakai program meng-klik sebuah tombol, maka serangkaian instruksi tertentu akan dilaksanakan oleh komputer. Properties dan events dapat dimanipulasi nilai dan cara penanganannya dengan menggunakan fasilitas Object Inspector pada Delphi (gambar II.2).

II.4.1.2. Penulisan kode program. Penulisan kode dimulai dengan membagi program menjadi beberapa modul utama berdasarkan logika dari flow chart. Masing-masing modul tersebut disusun dan diuji secara terpisah untuk memastikan bahwa tiap modul dapat berfungsi dengan benar. Proses penulisan kode dilakukan

(41)

28

menggunakan window Code Editor (gambar II.3). Melalui proses pengujian program kemungkinan besar akan timbul berbagai kesalahan yang disebabkan oleh kesalahan penulisan kode (syntax error) program maupun kesalahan logika program. Untuk mengatasi masalah tersebut, program perlu diperbaiki dan ditinjau ulang algoritma serta implementasinya. Setelah diperbaiki, proses pengujian dilakukan lagi sampai modul program yang bersangkutan dapat dipastikan berjalan dengan baik.

Gambar II.3. Code Editor pada Delphi.

II.4.1.3. Uji Program dan Debugging. Kesalahan penulisan kode program akan langsung dapat dideteksi pada proses kompilasi, yaitu proses penerjemahan baris-baris program dalam bahasa tingkat tinggi yang dimengerti manusia menjadi kode-kode mesin yang dapat dikenali oleh prosesor. Kesalahan syntax sangat mudah diperbaiki karena mudah dideteksi. Kesalahan logika adalah kesalahan yang terjadi akibat kesalahan dalam algoritma pemrograman, sehingga program tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Kesalahan logika lebih sulit diselesaikan daripada kesalahan syntax, karena komputer tidak dapat memberikan petunjuk dimana kesalahan itu terjadi. Proses pelacakan kesalahan logika ini dikenal dengan

(42)

debugging. Pada proses debugging, program dapat dijalankan baris demi baris untuk melihat nilai setiap variabel yang ada, serta dapat dilihat pula ke arah baris mana program berjalan, dengan demikian dapat diketahui pada modul mana program mulai berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Setelah semua modul dapat berfungsi dengan benar, maka dilakukan penulisan program penuh dengan menyatukan semua modul, satu demi satu, menurut prioritas pemakaiannya. Setelah program dapat berjalan dengan benar, dilakukan perbaikan-perbaikan kecil untuk mempermudah pemahaman algoritma, menanggulangi kesalahan run-time, dan lain-lain. Program yang telah berjalan sesuai yang direncanakan siap digunakan untuk pengolahan data secara otomatis, yaitu pada tahap korelasi stereo otomatis, noise filtering, dan koreksi elevasi. Panduan singkat penggunaan program terdapat pada lampiran G.

II.4.2. Ekstraksi band 3N dan 3B

Untuk menghemat tempat di hard disk dan mempercepat waktu pemrosesan, pengolahan lebih lanjut difokuskan hanya pada band 3N dan 3B. HDF adalah format data yang kompleks dan berukuran besar, oleh karena itu diperlukan perangkat lunak khusus untuk mengekstraksi band yang diperlukan.

Gambar II.4. Ukuran citra ASTER Level-1B full scene (ASTER Science Team, 2001).

(43)

30

Citra ASTER level 1B full-scene berukuran 4980 x 4200 piksel untuk band 3N dan 4980 x 4600 piksel untuk band 3B. Karena daerah yang tercakup pada citra ASTER full-scene jauh melebihi cakupan daerah penelitian yang hanya seluas 14 km x 14 km, maka dilakukan pemotongan (cropping) pada citra. Proses pemotongan ini dilakukan dengan menggunakan ENVI. Ukuran pemotongan pada band 3N adalah 1000 x 1000 piksel atau setara dengan daerah seluas 15 km x 15 km. Sedangkan pada band 3B ukurannya 1000 x 1400 piksel. Diagram ukuran citra ASTER Level 1B full-scene disajikan pada gambar II.4.

Daerah yang akan dipotong ditentukan koordinat batasnya (koordinat pojok kiri atas dan kanan bawah) pada citra band 3N, kemudian untuk memperkirakan daerah yang bersesuaian (bertampalan 100%) pada band 3B dilakukan penambahan nilai ordinat pada koordinat pojok kanan bawah pada band 3N sebesar 400 piksel, sehingga diperoleh nilai pojok kanan bawah yang baru. Nilai 400 piksel adalah besar selisih posisi y untuk titik dengan elevasi 0, pada bidang referensi elipsoid WGS 84 (World Geodetic System 1984).

(44)

Dalam penelitian ini digunakan perangkat lunak pengolah citra IDL/ENVI untuk melakukan ekstraksi dan cropping. Pemotongan dilakukan dengan menggunakan kotak dialog New File Builder pada ENVI yang dijelankan dengan perintah UtilitiesÆFile UtilitiesÆCreate New FileÆStandard. Pada New File Builder pilih Import File, kemudian dipilih citra yang akan dipotong (citra full-scene harus sudah dimuat di memori). Untuk membuat potongan, dipilih Spatial Subset untuk menentukan batas pemotongan.

Dalam penelitian ini, untuk band 3N dilakukan subset pada daerah dengan koordinat piksel bagian kiri atas pada kolom 2569 dan baris 2061, serta bagian kanan bawah pada kolom 3568 dan baris 3060. Sedangan untuk band 3B dilakukan subset pada daerah dengan koordinat piksel bagian kiri atas pada kolom 2569 dan baris 2061, serta bagian kanan bawah pada kolom 3568 dan baris 3460. Citra hasil cropping disimpan dalam format raster standar ENVI dan berekstensi *.img.

II.4.3. Pengukuran Koordinat pada Peta Rupabumi

Pengukuran koordinat serta elevasi titik cek dapat dilakukan secara langsung pada peta rupabumi dengan menggunakan bantuan mistar ukur. Namun untuk mempermudah identifikasi dan mempercepat pengukuran koordinat serta elevasi titik cek, maka pengukuran dilakukan dengan bantuan perangkat lunak komputer.

Untuk melakukan proses pengukuran dengan menggunakan komputer, peta rupabumi di-scan sehingga diperoleh versi digitalnya. Versi digital peta rupabumi yang berformat raster ini perlu dikoreksi dengan menggunakan ENVI. Proses koreksi pada intinya adalah proses rektifikasi citra hasil scanning dengan menggunakan transformasi affine, sehingga kesalahan geometrik akibat deformasi kertas peta maupun kesalahan akibat tidak tepatnya orientasi kertas peta saat proses scanning dapat diminimalisasi.

Citra peta rupabumi yang telah dikoreksi kemudian dimasukkan ke dalam dokumen pada AutoCAD sebagai raster image object dan koordinatnya diatur melalui proses penskalaan dan translasi dengan perintah SCALE dan MOVE sehingga sesuai dengan koordinat UTM yang ada pada peta. yaitu dengan membuat sebuah objek titik pada titik yang diinginkan dengan perintah POINT, mengatur elevasi titik tersebut dengan perintah CHANGE, kemudian setelah membuat objek

(45)

32

titik pada semua titik yang akan diukur, diberikan perintah LIST untuk menampilkan daftar koordinat dari semua objek titik beserta informasi tambahan lain.

Perangkat lunak AutoCAD dipilih karena adanya fasilitas untuk menampilkan data koordinat, sehingga tidak diperlukan proses key-in data koordinat UTM secara manual. Transfer data dari tampilan koordinat AutoCAD hasil perintah LIST dapat dilakukan dengan proses copy dan paste ke file teks ASCII dengan editing seperlunya (membuang informasi yang tidak diperlukan). Dengan demikian, proses penentuan koordinat dan elevasi suatu titik dapat dilakukan dengan cepat dan mudah.

(46)

II.4.3.1. Pengukuran Koordinat Titik Kontrol Tanah. Sebelum dilakukan pengukuran, terlebih dahulu dilakukan identifikasi titik-titik yang dapat dikenali pada citra serta mencocokkannya dengan kenampakan yang ada pada peta rupabumi. Titik-titik yang teridentifikasi diukur koordinatnya dalam sistem UTM dengan menginterpolasi grid pada peta menggunakan AutoCAD. Elevasi titik tinggi diperoleh dengan cara menginterpolasi garis kontur secara linier. Untuk keperluan registrasi model permukaan digital, digunakan 11 buah titik kontrol tanah yang dipilih sedemikian rupa sehingga distribusinya merata di seluruh citra (gambar II.6). Deskripsi titik kontrol tanah disajikan pada lampiran B.

Selain koordinat tanahnya, sebuah titik kontrol tanah juga harus diketahui koordinat pikselnya pada citra, oleh karena itu diperlukan pengukuran koordinat piksel pada citra. Proses input data titik kontrol serta pengukuran koordinat piksel ini dapat dipermudah dengan menggunakan fasilitas RegisterÆSelect GCPsÆImage to Map pada ENVI. Data hasil pengukuran disimpan dalam file berkstensi *.pts sesuai dengan format yang dijelaskan pada lampiran G, bagian III.1.

II.4.3.2. Pengukuran Titik Cek. Titik cek diperlukan dalam tahap evaluasi ketelitian model permukaan digital. Cara mengukur titik cek mirip dengan cara mengukur koordinat titik kontrol tanah. Titik-titik yang dipilih adalah titik-titik tinggi pada peta rupabumi yang tersebar secara merata di seluruh muka peta. Untuk keperluan titik cek, diukur koordinat dan elevasi 150 buah titik tinggi pada peta rupabumi. Daftar koordinat dan elevasi titik cek disertakan pada lampiran E.

II.4.4. Pengukuran Koordinat Titik Ikat pada Citra

Titik-titik ikat antara band 3N dan band 3B diukur koordinatnya dengan menggunakan fasilitas Ground Control Points Selection melalui pilihan menu RegisterÆSelect GCPsÆImage to Image pada ENVI. Hasil pengukuran ini disimpan ke dalam file teks berekstensi *.pts dengan format seperti yang dijelaskan pada lampiran G, bagian III.1. Untuk keperluan registrasi dari band 3B ke band 3N (titik ikat) digunakan 30 buah titik ikat. Diantara 30 buah titik tersebut, 11 buah titik ikat adalah titik yang sama dengan titik yang digunakan sebagai titik kontrol tanah. Titik ikat dipilih sedemikian rupa sehingga distribusinya merata di seluruh citra.

(47)

34

II.4.5. Pengolahan Data secara Otomatis

Setelah data citra band 3N dan 3B, data titik ikat, dan data titik kontrol tanah didapatkan, maka dilakukan pengolahan data secara otomatis dengan menggunakan program komputer yang telah disusun (DEMCreator versi 4). Pengolahan secara otomatis ini meliputi registrasi band 3B ke 3N, korelasi otomatis dengan teknik korelasi silang, noise filtering, serta koreksi elevasi. Menu utama DEMCreator 4 ditunjukkan pada gambar II.7, sedangkan berbagai menu pengaturan proses dapat diakses pada bagian DEM Generation Settings yang ditunjukkan pada gambar II.8. Pilihan pengaturan yang dipakai saat eksekusi program disajikan pada lampiran F.

Gambar II.7. Tampilan awal program DEMCreator 4.

II.4.5.1. Registrasi Band 3B ke 3N secara Otomatis. Secara ideal, beda paralaks hanya terjadi pada sumbu y saja, sedangkan pada sumbu x tidak ada beda paralaks sehingga proses korelasi silang dapat dilakukan dalam 1 dimensi saja, namun kondisi ideal ini tidak dapat tercapai karena proyeksi sentral yang terjadi pada setiap kolom citra ASTER. Untuk citra ASTER, setiap kolom citra dapat dikatakan mempunyai proyeksi ortogonal, tetapi untuk setiap barisnya mempunyai proyeksi

(48)

sentral. Proyeksi sentral pada arah sejajar sumbu x inilah yang menyebabkan timbulnya paralaks-x yang tidak diharapkan.

Proses registrasi band 3B ke 3N dilakukan untuk mengurangi adanya paralaks-x pada citra, sehingga paralaks yang ada hanya paralaks-y yang disebabkan karena perbedaan elevasi. Pada proses ini tidak dilakukan pengubahan apapun pada citra, namun dilakukan transformasi untuk memberikan nilai absis dari pusat window korelasi silang. Jenis transformasi yang digunakan adalah polinom orde 1 mengingat daerah penelitian secara umum bertopografi datar sampai berbukit, variasi relief tidak ekstrim dengan tinggi bukit terhadap daerah disekitarnya maksimum kurang lebih 400 meter.

Parameter transformasi diperoleh dengan perhitungan kuadrat terkecil dari data koordinat titik-titik ikat. Proses registrasi ini dilakukan secara otomatis di dalam program komputer apabila disediakan titik-titik ikat antara band 3N dan band 3B yang dimuat dalam file teks dengan format seperti yang dijelaskan pada lampiran G, bagian III.1, dengan ekstensi *.pts.

(49)

36

II.4.5.2. Korelasi Stereo secara Otomatis. Untuk mendapatkan koordinat dari titik-titik yang bersesuaian pada band 3N dan band 3B diperlukan proses korelasi stereo dengan teknik korelasi silang. Jumlah data yang besar dan proses penghitungan yang rumit memerlukan proses otomasi dengan menggunakan program komputer. Dari hasil korelasi stereo dapat dihitung besar paralaks dan elevasi tiap titik data. Untuk mendapatkan nilai elevasi, maka hanya paralaks-y yang diperlukan, sedangkan paralaks-x yang ada dapat diminimalisasi dengan proses registrasi band 3B ke 3N.

Pada band 3N ditentukan koordinat piksel-piksel yang akan diproses, sesuai dengan resolusi model permukaan digital yang diinginkan. Untuk mendapatkan titik yang bersesuaian pada band 3B dilakukan proses korelasi silang dengan koordinat (absis) pusat window korelasi silang ditentukan dengan menggunakan transformasi affine. Sedangkan untuk ordinatnya, ditentukan berdasarkan ordinat titik pada band 3N dikurangkan dengan rerata beda paralaks maksimum dan minimum yang diharapkan terjadi pada citra. Pengurangan ini secara teknis pemrograman dimaksudkan untuk meletakkan pusat jendela korelasi di tengah-tengah daerah pencarian piksel yang bersesuaian.

Sebagaimana yang disajikan pada gambar II.9, daerah pada tepi citra tidak dapat diproses karena sebagian window korelasi akan terletak diluar citra. Oleh karena itu, untuk daerah tepi ini elevasinya tidak dihitung. Besarnya daerah tepi sangat tergantung dari ukuran window korelasi.

(50)

II.4.5.3. Noise Filtering Model Permukaan Digital. Pada saat korelasi otomatis, seringkali terjadi kesalahan kasar (blunder), yaitu program memilih posisi yang salah, walaupun koefisien korelasinya cukup besar. Hal ini dapat terjadi pada daerah-daerah yang memiliki pola berulang (repeated patterns) seperti pada kawasan perumahan, sawah, maupun pada daerah dengan kontras yang rendah, seperti daerah pantai, laut, awan, dan lain-lain. Karena nilai koefisien korelasi yang tinggi, maka kesalahan ini tidak terdeteksi pada saat proses korelasi otomatis berlangsung. Kesalahan ini menyebabkan timbulnya titik-titik dengan nilai elevasi yang ekstrim (peaks and spikes) apabila dibandingkan daerah sekitarnya. Karena nilainya yang ekstrim dan jumlahnya yang cukup banyak serta tersebar seara acak di seluruh model permukaan digital, maka titik-titik ekstrim ini dapat dianggap sebagai noise pada citra digital.

a b

Gambar II.10. Citra dengan noise (a), citra yang telah dihilangkan noise-nya (b).

Selain titik-titik ekstrim, pada penelitian ini piksel-piksel yang mempunyai koefisien korelasi rendah (dengan penentuan ambang batas tertentu, misalnya 0,7) juga dianggap sebagai noise, karena hanya meliputi daerah yang kecil dan distribusinya acak diseluruh model. Pada daerah yang nilai kontrasnya rendah atau bahkan tanpa kontras sama sekali, akan terjadi pengelompokan (clustering) piksel-piksel dengan koefisien korelasi rendah.

Untuk menghilangkan noise ini, diperlukan proses noise filtering, yang dapat dibagi menjadi dua pekerjaan utama, yaitu deteksi noise dan eliminasi noise. Cara

(51)

38

mendeteksi piksel-piksel yang merupakan noise adalah dengan menggunakan teknik simpangan baku lokal. Sebuah jendela dengan ukuran tertentu, sesuai dengan ukuran filter, dihitung simpangan baku nilai elevasinya, kemudian piksel yang berada tepat di tengah jendela tersebut dibandingkan nilainya dengan simpangan baku area di sekitarnya. Apabila beda nilai simpangan baku terhadap nilai elevasi piksel yang dievaluasi melebihi faktor pembatas (threshold) tertentu, maka piksel tersebut dianggap sebagai noise.

Faktor pembatas yang diterapkan adalah faktor pengali dari simpangan baku lokal. Secara statistik, semua nilai yang meliputi 3 kali simpangan baku mempunyai kemungkinan 99% bahwa nilai rata-rata ada di jangkauan nilai tersebut, sedangkan nilai diluar jangkauan –3σ sampai +3σ dapat dianggap sebagai outlier. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin besar jangkauan yang diberikan, maka semakin sedikit noise yang dapat dideteksi.

Gambar

Tabel I.1.  Parameter orbit satelit Terra.................................................................
Tabel I.1. Parameter orbit satelit Terra (ASTER Science Team, 2001)
Gambar I.1. Diagram skematik linear array sensor. (JARS, 1993)
Tabel I.2. Karakteristik band Citra ASTER (ASTER Science Team, 2001).
+7

Referensi

Dokumen terkait