• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Asas Yurisdiksi Universal dalam Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pidana Nasional T1 312011605 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Asas Yurisdiksi Universal dalam Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pidana Nasional T1 312011605 BAB I"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam menindak suatu tindak pidana, sebuah negara atau otoritas berwenang

memerlukan yurisdiksi sebagai dasar atas perbuatannya menindak pelaku tindak

pidana tersebut. Oppenheim menyatakan bahwa :

Jurisdiction is the term that describes the limit of legal competence of a State or other regulatory authority to (such as the European Community) to make, apply, and enforce rules of conduct upon persons. It concerns essentially the extent of each state's right to regulate conduct or the consequences of events.1

Kutipan di atas dapat diartikan bahwa yurisdiksi diperlukan sebagai dasar

wewenang yang digunakan oleh negara atau otoritas berwenang untuk

mempengaruhi hak dan kewajiban seseorang dengan tujuan tercapainya ketertiban

umum. Cara mempengaruhi hak dan kewajiban seseorang bermacam-macam, baik

lewat pembentukan aturan baru yang berisi larangan dan kewajiban sampai dengan

penindakan terhadap para pelanggar aturan baik yang ringan maupun berat.

Yurisdiksi selain digunakan sebagai dasar wewenang dan kekuatan suatu

entitas untuk mempengaruhi hak-hak orang, juga sebagai refleksi dari prinsip dasar

kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut

tidak memiliki yurisdiksi. Persamaan derajat negara di mana kedua negara yang

sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa memiliki yurisdiksi (wewenang)

1 Oppenheim (a), International Law, 9th edited by Sir R. Jennings and Sir A. Watts (Harlow:

(2)

2

terhadap pihak lainnya (equal states don’t have jurisdiction over each other)2, dan

prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara lain.

Prinsip-prinsip tersebut tersirat dari Prinsip-prinsip hukum par in parem non habet imperium3

Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum par in parem non habet imperium ini

memiliki beberapa pengertian. Pertama, suatu negara tidak dapat melaksanakan

yurisdiksi melalui pengadilannya terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali

negara tersebut menyetujuinya. Kedua, suatu pengadilan yang dibentuk

berdasarkan perjanjian internasional tidak dapat mengadili tindakan suatu negara

yang bukan merupakan anggota atau peserta dari perjanjian internasional tersebut.

Ketiga, pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan tindakan

suatu negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayah negaranya.4

Prinsip hukum par in parem non habet imperium dapat disimpulkan bahwa

yurisdiksi merupakan kedaulatan suatu negara. Negara lain tidak boleh mencampuri

urusan yurisdiksi negara lainnya. Tetapi prinsip ini memberikan celah bagi negara

lain untuk mencampuri yurisdiksi suatu negara jika negara yang akan diintervensi

yurisdiksinya memberikan izin. Celah selanjutnya adalah lewat perjanjian

internasional baik bilateral maupun multilateral. Tetapi secara umum prinsip

kedaulatan yurisdiksi suatu negara sangat kuat, sehingga sangat jarang ada negara

2 Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, (Bandung : Penerbit Nusamedia,

2007), hal.56.

3 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, edisi revisi, (Jakarta : Raja Grafindo

Persada, 2002),hal.183.

(3)

3

yang mau diintervensi kedaulatan hukumnya oleh negara lain, kecuali jika negara

tersebut sudah memutuskan tunduk terhadap hukum internasional.

Dalam komunitas hukum internasional, hanya negara berdaulat yang dapat

memiliki yurisdiksi. Maksudnya adalah negara yang tidak berdaulat penuh seperti

contohnya Somalialand yang ada di benua Afrika, tidak memiliki yurisdiksi karena

dunia internasional tidak mengakui kedaulatan negara tersebut. Hanya beberapa

negara saja yang memiliki hubungan bilateral dengan negara tersebut. Dalam dunia

Internasional, selain negara yang berdaulat, yurisdiksi juga dimiliki oleh pengadilan

internasional seperti contohnya International Criminal Court (ICC), walaupun

yurisdiksinya sangat terbatas hanya kepada negara - negara yang tunduk dalam

Statuta Roma. Yurisdiksi suatu negara yang diakui oleh dunia internasional sangat

penting untuk menunjukkan pada dunia Internasional kedaulatan dan eksistensi

negara tersebut. Tetapi sebagai subjek hukum internasional, suatu negara juga

adakalanya tunduk terhadap beberapa aturan-aturan dalam hukum internasional,

atau yang disebut juga dengan hak-hak istimewa ekstrateritorial. Hak - hak

istimewa ekstrateritorial ini menggambarkan suatu keadaan dimana status

seseorang atau benda yang secara fisik terdapat di dalam suatu wilayah negara,

tetapi seluruhnya atau sebagian dikeluarkan dari yurisdiksi negara tersebut oleh

ketentuan hukum internasional.

Terdapat lima prinsip yurisdiksi dalam hukum internasional yang diakui oleh

negara - negara di dunia, yaitu5 :

5 DJ Harris, Cases and Materials on International Law,5th Ed, (London: Sweet &Maxwell,1998),

(4)

4

1. Prinsip Teritorial, yurisdiksi ditentukan dari tempat terjadinya sebuah

pelanggaran atau tindakan

2. Prinsip Nasionalitas, yurisdiksi ditentukan dari kewarganegaraan

seseorang yang melakukan pelanggaran atau tindakan

3. Prinsip Protektif, yurisdiksi ditentukan berdasarkan kepentingan nasional

yang dirugikan oleh pelanggaran atau tindakan yang dilakukan

4. Prinsip Universal, yurisdiksi ditentukan berdasarkan beberapa kriteria

pelanggaran dan tindakan yang mengancam kepentingan bersama umat

manusia

5. Prinsip Personalitas Pasif, yurisdiksi ditentukan berdasarkan

kewarganegaraan dari seseorang yang dirugikan oleh sebuah pelanggaran

atau tindakan.

Dari lima prinsip di atas, prinsip universal atau yurisdiksi universal

mempunyai karakteristik yang paling berbeda dari yang lainnya. Prinsip universal

tidak mengenal lokasi kejadian, kewarganegaraan pelaku atau korban, atau

kepentingan nasional suatu negara yang dirugikan, tetapi yurisdiksi universal diakui

dapat digunakan untuk pelanggaran atau kejahatannya di mana pun dan kapan pun

selama tindakan tersebut mengancam kepentingan bersama umat manusia di

seluruh dunia.

Institut de droit international (IDI) pada tahun 2005 mengeluarkan resolusi atas yurisdiksi universal yang menyatakan bahwa

(5)

5

regardless of any link of active or passive nationality, or other grounds of jurisdiction recognized by international law.6

Selain definisi di atas, AU - EU (African Union - European Union Partnership) dalam Expert Report mendefinisikan yurisdiksi universal sebagai

berikut :

Universal criminal jurisdiction is the assertion by one state of its jurisdiction over crimes allegedly committed in the territory of another state by nationals of another state against nationals of another state where the crime alleged poses no direct threat to the vital interests of the state asserting jurisdiction. In other words, universal jurisdiction amounts to the claim by a state to prosecute crimes in circumstances where none of the traditional links of territoriality, nationality, passive personality or the protective principle exists at the time of the commission of the alleged offence.7

Dapat disimpulkan bahwa kejahatan yang termasuk dalam subjek

internasional adalah kejahatan yang secara umum dianggap berbahaya bagi seluruh

komunitas internasional. Salah satu instrumen pendukung yurisdiksi universal

adalah The Princeton Principles yang dibentuk pada tahun 2001 menyimpulkan

bahwa kejahatan-kejahatan yang dicakup oleh yurisdiksi universal adalah serious

crimes under international law yang terdiri dari (1) piracy (2) slavery (3) war crimes (4) crimes against peace (5) crimes against humanity (6) genocide dan (7)

torture.8 Di sisi lain, banyak ahli yang menganggap bahwa cakupan yurisdiksi

6 Institut de droit international (IDI), Resolution on universal criminal jurisdiction with regard to the

crime of genocide, crimes against humanity and war crimes,Krakow, 2005.

7 AU-EU Expert Report,http://ec.europa.eu/development/icenter/repository/troika_ua_

ue_rapport_competence_universelle_EN.pdf, para.8. Dikunjungi pada tanggal 2 Mei 2016.

(6)

6

uinversal hanya terbatas pada apa yang disebut oleh ICC (International Criminal Court) dengan 'kejahatan paling serius yang memprihatinkan masyarakat

internasional secara keseluruhan' yang berupa genosida, kejahatan terhadap

kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi9 ditambahkan dengan

pembajakan laut.

Permasalahan dari asas yurisdiksi universal adalah belum adanya aturan yang

jelas dan pasti tentang aspek-aspek apa saja yang dapat ditindak melalui asas

yurisdiksi universal. Banyak negara masih ragu untuk menggunakannya karena

takut jika melewati batas kedaulatan negara lain. Hal ini dibuktikan dengan masih

sangat sedikit negara-negara yang di dunia yang memasukkan asas yurisdiksi

universal dalam undang-undangnya dan masih sedikit yang

mengimplementasikannya. Penulis berpendapat bahwa harus segera ada aturan

yang jelas dasar hukum dan diakui secara bersama - sama oleh negara - negara di

dunia, tentang jenis - jenis kejahatan apa saja yang dapat ditindak dengan asas

universal ini dan bagaimana cara pemberlakuan asas yurisdiksi universal tersebut.

Walaupun belum ada aturan yang jelas tentang yurisdiksi universal, tetapi

beberapa instrumen hukum internasional sudah mengakui eksistensi asas yurisdiksi

universal baik secara tersurat maupun tersirat. Contohnya yurisdiksi universal

sudah ada di dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 yang memberikan mandat kepada

ICRC (International Commitee of Red Cross) untuk melindungi korban perang menyatakan dalam pasal 39 dan pasal 130 bahwa yurisdiksi universal dapat

9 Malcolm N. Shaw, Hukum Internasional, terjemahan oleh Derta Sri Widowati, Penerbit Nusa

(7)

7

diterapkan untuk kejahatan perang. Dalam Konvensi Genosida tahun 1948, asas

yurisdiksi universal juga sudah ada walaupun hanya dituliskan secara tersirat.

Dalam konvensi tersebut dalam bab tentang yurisdiksi teritorial disebutkan bahwa

negara tidak boleh melarang penggunaan asas yurisdiksi universal dalam

menangani tindak pidana genosida10. Dalam hukum nasional, yurisdiksi universal

diatur dalam undang - undang maupun dalam putusan mahkamah tinggi masing -

masing negara untuk dapat digunakan mengadili pelaku tindak pidana pidana berat.

Seperti contohnya Australia yang mengakui yurisdiksi universal setelah The High

Court of Australia membolehkan parlemen Australia untuk menggunakan asas

tersebut dalam kasus Polyukhovich v Commonwealth tahun 1991. Di Prancis yurisdiksi universal diakui setelah dituliskan dalam Undang - undangnya yaitu code de procédurepénale (code of criminal procedure) bahwa dalam artikel nomor 689,

pengadilan Prancis dapat mengadili seseorang yang melakukan tindak pidana

torture, terrorism, nuclear smuggling, naval piracy, dan airplane hijacking tanpa

mengindahkan lokasi kejadian, dan kewarganegaraan baik pelaku maupun korban..

Di negara Belgia Pada 12 Februari 2003 Supreme Court Belgia memutuskan bahwa perkara Ariel Sharon dapat diteruskan untuk diadili di pengadilan Belgia segera

setelah ia tak lagi menjabat PM Israel. Sharon digugat ke pengadilan Belgia oleh

para korban peristiwa Sabra Shatila-Lebanon (1982). Ketika itu, terjadi

pembantaian massal (genocide) oleh pasukan Israel terhadap para pengungsi

10 Genocide Convention, Article VI (cited in Vol. II, Ch. 44, § 109); Germany, Higher Regional Court

(8)

8

Palestina dan Lebanon yang melibatkan Sharon dalam kapasitasnya sebagai

Menteri Pertahanan.11

Asas yurisdiksi universal dapat menjadi jembatan untuk mengakhiri kasus -

kasus kejahatan internasional yang selama ini tidak ada penyelesaiannya. Banyak

contoh kasus kejahatan internasional berat yang tidak tersentuh seperti Pol Pot,

mantan orang kuat Kamboja (Cambodia) yang bersama Khmer Merah-nya

membantai jutaan rakyat Kamboja selama tahun 1975-1979. Lalu, Jenderal

Augusto Pinochet, mantan Presiden Chile yang bertanggung jawab atas

pembunuhan, penyiksaan (torture) dan penghilangan (forced disappearances)

ribuan rakyatnya antara 1973-1990. Juga para mantan petinggi di Guatemala, El

Salvador, Argentina, Chad, Afrika Tengah, Cote D'Ivoire, Nigeria, Rwanda, dan

lain - lain.12 Hal-hal yang telah disebutkan di atas sebelumnya disebut dengan

impunity atau kejahatan yang tidak dihukum. Banyak hal yang menyebabkan

impunity seperti contoh pada kasus pembantaian di Kamboja oleh Khmer Merah,

tidak tersentuh kasusnya karena pemerintahan Hun Sen (pada 1997) cenderung

enggan untuk mengadili Khmer Merah. Juga adanya veto dari China di Dewan

Keamanan yang mencegah terbentuknya pengadilan khusus bagi Khmer Merah.

Yurisdiksi universal dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi atau

mencegah banyaknya kasus-kasus kejahatan internasional berat yang tidak

dihukum.

11 Heru Susetyo, Yurisdiksi Universal dan Pengadilan Penjahat Kemanusiaan, 27 Februari 2003,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7526/yurisdiksi-universal-dan-pengadilan penjahat-kemanusiaan, dikunjungi pada tanggal 28 April 2016.

(9)

9

Sudah cukup banyak instrumen pendukung yurisdiksi universal yang ada,

para ahli dan organisasi internasional seperti Amnesty International juga sudah

mengajak komunitas internasional untuk aktif menyelenggarakan pengadilan

dengan asas yurisdiksi universal seperti yang tertuang dalam 14 Principles on the Effective Exercise of Universal Jurisdiction. Walaupun begitu negara - negara di

dunia belum banyak yang berani mengaplikasikannya demi keamanan dan

ketertiban internasional karena ada beberapa hambatan. Maka dari itu penulis akan

menganalisis posisi yurisdiksi universal dalam hukum internasional dan hukum

nasional serta hambatan-hambatan apa saja yang menghalangi pengaplikasian

yurisdiksi universal di lingkungan komunitas internasional.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diurai di atas, maka penulis

mengidentifikasi beberapa permasalahan yang dapat dibahas yaitu :

1. Kriteria apa yang dipergunakan untuk menentukan prinsip yurisdiksi

universal dapat diterapkan dalam suatu tindak pidana?

2. Bagaimana pengaturan dan penerapan prinsip yurisdiksi universal di

dalam hukum internasional ?

3. Bagaimana pengaturan dan penerapan prinsip yurisdiksi universal pada

(10)

10

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah memberikan pandangan tentang

penerapan asas yurisdiksi universal dalam hukum internasional dan memberikan

analisis untuk kejahatan - kejahatan apa saja yang dapat ditindak atau ditanggulangi

dengan asas yurisdiksi universal. Tujuan lainnya adalah memberikan pemahaman

tentang pengaturan dan penerapan asas yurisdiksi universal di suatu negara.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini secara umum diharapkan dapat memberikan

pengembangan bagi ilmu hukum secara khusus bagi hukum internasional tentang

asas yurisdiksi universal

1.5 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Yuridis

Normatif, karena bahan pustaka digunakan sebagai bahan utama, yaitu bahan

hukum primer yang terdiri dari norma dasar atau kaidah, ketentuan peraturan dasar,

serta peraturan perundang - undangan. Selain itu digunakan pula bahan hukum

sekunder sebagai data sekunder yang termasuk di dalamnya hasil penelitian dan

teori dari para akademisi dan pakar hukum.

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan skripsi ini akan dibagi dalam empat bab yang

(11)

11

1. BAB I Pendahuluan, pada bab ini akan diuraikan latar belakang masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metodologi menyangkut karya

ilmiah ini.

2. BAB II Tinjauan Pustaka terhadap Yurisdiksi dan Yurisdiksi Universal,

pada bab ini akan diuraikan lebih dalam pengertian, teori, prinsip, dan

konsep tentang yurisdiksi dan yurisdiksi universal sebagai objek

penelitian dalam karya ilmiah ini.

3. BAB III Analisis dan Pembahasan, pada bab ini akan diuraikan semua

teori, prinsip, dan konsep tentang yurisdiksi universal yang akan

digunakan untuk menjawab rumusan masalah yang ada dalam karya

ilmiah ini.

4. BAB IV Penutup, Kesimpulan, dan Saran, pada bab ini akan diuraikan

kesimpulan yang didapatkan oleh penulis setelah mengkaji macam -

macam aspek dari yurisdiksi universal dan akan diuraikan jawaban dari

Referensi

Dokumen terkait

Kurangnya upaya pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan akan dapat mengurangi potensi konsumen terhadap produk yang dihasilkan perusahaan, dengan ancaman semakin

³%DKZD SHUOX GLDGDNDQ Undang-Undangtentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan sehingga khalayak ramai dilindungi terhadap tiruan barang-barang yang memakai suatu

: PERATURAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA TENTANG PERUBAHAN ATAS PBRATURAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA NOMOR T6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN SERI,. KODE, DAN

Terkait dengan adanya kebutuhan mengenai pengungkapan tanggung jawab sosial di perbankan syariah saat ini, marak diperbincangkan mengenai Islamic Social Reporting

Volume 7 Nomor 1, Juni 2015, AL-BIDAYAH I 7.. Metode ini digunakan untuk mem- peroleh data tentang mutu lulusan terhadap daya serap pengguna lulusan dan lamanya

Penilaian kinerja keuangan perbankan dan dalam rangka menjaga kesehatan suatu perbankan pemerintah melalui Bank Indonesia selaku pengawas kegiatan perbankan

1) Meyakinkan individu tentang hal-hal sesuai kebutuhan. Untuk menjelaskan dan meyakinkan tahap ini pembimbing menyampaikan sesuai dengan materi yang ada, karena semua

Disini masyarakat dan panitia menyiapkan tenda dan mencari air untuk mengaliri sawah yang akan dipakai untuk pacuan jawi, kerjasama antar pemilik Jawi dan pemilik jawi