• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fasies Pengendapan Berdasarkan Metode Ground Penetrating Radar (GPR) Pada Blok A Dan Blok B Di Pulau Subi Kecil, Kepulauan Riau.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fasies Pengendapan Berdasarkan Metode Ground Penetrating Radar (GPR) Pada Blok A Dan Blok B Di Pulau Subi Kecil, Kepulauan Riau."

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

FASIES PENGENDAPAN BERDASARKAN METODE GROUND PENETRATING RADAR (GPR) PADA BLOK A DAN BLOK B DI PULAU SUBI KECIL,

KEPULAUAN RIAU

Ryandi Adlan1, Undang Mardiana2, Nurdrajat2, Kris Budiono3 1

Student at the Dept. of Geological Engineering, Padjadjaran University, Jatinangor,Sumedang 2

Lecturer at the Dept. of Geological Engineering, Padjadjaran University, Jatinangor, Sumedang 3

Marine Geological Institute, Ministry of Energy and Mineral Resources

SARI

Perbedaan pendapat para peneliti terdahulu antara Harahap dkk (1995) dan Budiono (2012) menimbulkan perbedaan dalam mengungkapkan kondisi bawah permukaan di Pulau Subi Kecil. Daerah penelitian terletak di Pulau Subi Kecil, Kecamatan Subi, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau dengan koordinat 3° 0' 35,802" - 3° 3' 34,5852" LU, 108° 49' 40,278" - 108° 52' 50,052" BT dan terbagi menjadi dua daerah penelitian di daerah A dan daerah B. Tahapan dalam penelitian ini yaitu studi pustaka, survey lapangan sekaligus perencanaan lintasan, tahap pengambilan data dengan frekuensi antena dan transducer 80 MHz serta 270 MHz, pengolahan data, interpretasi dari data GPR dan membandingkan hasil penelitian dengan penelitian geologi terdahulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing blok mempunyai unit-unit radar tertentu seperti batas fasies, pola konfigurasi bidang lapisan, pola konduktifitas, dan fasies pengendapan. Berdasarkan batas fasiesnya, daerah A mempunyai lima unit dan daerah B mempunyai lima unit. Pola konfigurasi bidang lapisan di daerah A terdiri atas lima unit dan daerah B terdiri atas lima unit. Pola konduktifitas di daerah A terdiri atas lima unit dan daerah B terdiri atas lima unit. Fasies pengendapan pada daerah A terdiri atas lima unit dan daerah B terdiri atas lima unit. Hasil identifikasi tersebut membagi fasies pengendapan Pulau Subi Kecil diurutkan dari yang paling tua yaitu unit A5 dan B5 yang sebanding dengan Formasi Teraya (Tmt); Unit A4 dan B4 yang sebanding dengan Formasi Teraya (Tmt); Unit A3 dan B3 yang sebanding dengan Formasi Teraya (Tmt); Unit A2 dan B2 yang sebanding dengan Formasi Teraya (Tmt); Unit A1 dan B1 yang sebanding dengan Alluvium (Qc).

Kata Kunci : konduktifitas, fasies, radar, struktur, unit. ABSTRACT

(2)

of layers configuration in the A consists of five units and area B consists of five units. A conductivity pattern in the area consists of five units and area B consists of five units. A depositional facies in the area consists of five units and area B consists of five units. The results of the identification of depositional facies divide Subi Kecil Island sorted from oldest unit A5 and B5 are comparable with Teraya Formation (Tmt); Units A4 and B4 are comparable with Teraya Formation (Tmt); Unit A3 and B3 are comparable with Teraya Formation (Tmt); Unit A2 and B2 are comparable with Teraya Formation (Tmt); Units A1 and B1 are comparable with Alluvium (Qc).

Keywords : conductivity, facies, radar, structure, units.

PENDAHULUAN

Menurut Harahap dkk (1995), Pulau Subi Kecil mempunyai pola stratigrafi yang menarik untuk dikaji yang diurutkan dari formasi berumur paling tua hingga ke muda Formasi Batuan Gunungapi Tebeian yang terdiri atas dominasi batuan plutonik dasit dan andesitik; Formasi Kutei yang terdiri atas perselingan konglomerat dan batupasir dengan massa dasar lempung kaolinit; Formasi Teraya, formasi yang paling muda di daerah penelitian, yang terdiri atas perselingan batupasir berbutir sedang karbonatan dengan batupasir berbutir halus tidak karbonatan. Sedangkan menurut Budiono (2013 modifikasi dari Harahap dkk, 1995), formasi yang paling muda di Pulau Subi Kecil adalah Alluvium yang didominasi oleh endapan pantai dan koral. Endapan pantai terdiri atas pasir, kerikil dan tumbuhan-tumbuhan yang telah mati sedangkan koral mempunyai ciri khas yaitu koral yang tumbuh kemudian tererosi

dan talus. Endapan Alluvium ini menutupi secara tidak selaras Formasi Teraya. Perbedaan hasil penelitian yang diungkapkan oleh Harahap dkk (1995) dan Budiono (2013) menimbulkan keinginan penulis untuk meneliti daerah ini dengan metode geofisika untuk mengetahui bagaimana urutan stratigrafi yang sebenarnya di daerah penelitian. Salah satunya adalah menggunakan metode

Ground Penetrating Radar (GPR). METODE PENELITIAN

(3)

anomali amplitudonya sebagai batas ketidakselarasan, identifikasi pola konfigurasi bidang lapisan untuk melihat pola bidang yang terlihat pada data radar di bawah permukaan, identifikasi konduktifitas batuan dengan melihat kuat-lemahnya amplitudo pada data radar, identifikasi fasies radar untuk mengetahui fasies pengendapan yang meliputi interpretasi proses pembentukannya, serta membandingkan unit-unit radar pada masing-masing blok untuk mengetahui fasies pengendapan daerah penelitian.

HASIL PENELITIAN Batas Fasies

Unit-unit pengendapan yang menyusun daerah A yaitu unit A1 diendapkan berada di paling atas; unit A2 diendapkan sebelum unit A1 dibatasi oleh batas 1A sebagai batas bawah unit A1 dan batas atas unit A2; Unit A3 yang menunjukkan morfologi hiatus atau mempunyai kontinuitas yang tidak menerus, diendapkan sebelum unit A2 dibatasi oleh batas 2A sebagai batas bawah unit A2 dan batas atas unit A3; Unit A4 diendapkan sebelum unit A3 dibatasi oleh batas 3A sebagai batas bawah unit A2 dan A3 serta batas atas unit A4; Unit A5 yang merupakan unit paling bawah diendapkan sebelum unit A4 dibatasi oleh batas 4A

sebagai batas bawah unit A4 dan batas atas unit A5.

Sedangkan, unit-unit yang menyusun daerah B yaitu unit B1 diendapkan berada di paling atas; Unit B2 diendapkan sebelum unit B1 dibatasi oleh batas 1B sebagai batas bawah unit B1 dan batas atas unit B2; Unit B3 diendapkan sebelum unit B2 dibatasi oleh batas 2B sebagai batas bawah unit B2 dan batas atas unit B3; Unit B4 diendapkan sebelum unit B3 dibatasi oleh batas 3B sebagai batas bawah unit B3 dan batas atas unit B4; Unit B5 yang merupakan unit paling bawah diendapkan sebelum unit B4 dibatasi oleh batas 4B sebagai batas bawah unit B4 dan batas atas unit B5.

Pola Konfigurasi Bidang Lapisan

(4)

horizontal, diskontinu ke arah timur yang diinterpretasikan sebagai gradasional perlapisan sedimen yang baik dan menerus menjadi memiliki perlapisan yang bergelombang dan tidak menerus ke arah timur. Unit A3 mempunyai perubahan pola amplitudo yang paralel, horizontal, diskontinu menjadi bergelombang, horizontal, dan diskontinu yang diinterpretasikan sebagai gradasional perlapisan sedimen paralel dan tidak menerus menjadi bergelombang dan tidak menerus. Unit A4 mempunyai amplitudo yang bergelombang, horizontal, dan diskontinu yang diinterpretasikan sebagai batuan tersebut memiliki perlapisan sedimen yang bergelombang dan tidak menerus. Unit A5 mempunyai amplitudo yang bergelombang, horizontal, dan diskontinu yang diinterpretasikan sebagai perlapisan sedimen yang bergelombang dan tidak menerus.

Sedangkan, pembagian unit pola konfigurasi bidang lapisan di daerah B terdapat lima unit berdasarkan kesebandingan masing-masing unit pada lintasan Subi 4001 dan Subi MLF 7002. Unit-unit konfigurasi yang menyusun daerah B yaitu unit B1 mempunyai amplitudo yang paralel, horizontal, dan kontinu yang diinterpretasikan sebagai batuan tersebut memiliki perlapisan sedimen yang baik dan menerus. Unit B2

mempunyai perubahan pola amplitudo secara vertikal (ke bawah) dari paralel, horizontal, dan diskontinu menjadi amplitudo yang bergelombang, hummocky, diskontinu yang diinterpretasikan sebagai gradasional perlapisan sedimen yang baik dan tidak menerus menjadi memiliki perlapisan yang bergelombang, hummocky, dan tidak menerus. Unit B3 mempunyai amplitudo yang bergelombang, hummocky, diskontinu yang diinterpretasikan sebagai perlapisan sedimen yang bergelombang,

hummocky, dan tidak menerus. Unit B4 mempunyai perubahan pola amplitudo secara vertikal (ke bawah) dari bergelombang, hummocky, diskontinu menjadi amplitudo yang paralel, oblique hingga horizontal ke arah timur dan diskontinu ke arah selatan yang diinterpretasikan sebagai gradasional perlapisan sedimen yang bergelombang,

hummocky dan tidak menerus menjadi perlapisan yang paralel, oblique hingga horizontal ke arah timur dan tidak menerus ke arah selatan. Unit B5 mempunyai amplitudo yang bergelombang, horizontal, dan diskontinu yang diinterpretasikan sebagai perlapisan sedimen yang bergelombang dan tidak menerus.

Nilai Konduktifitas

(5)

Subi MLF 13001 dan Subi 14001 3D. Unit-unit yang menyusun daerah A yaitu unit A1 mempunyai perubahan amplitudo secara vertikal (ke bawah) dimana pada bagian atas terdapat amplitudo yang kuat dengan konduktifitas lemah, amplitudo sedang dengan konduktifitas sedang pada bagian tengah, dan amplitudo lemah dengan konduktifitas tinggi yang diinterpretasikan terdapat sedimen yang mengkasar ke atas atau kekerasan meningkat dari bawah hingga ke atas pada unit ini. Unit A2 Unit B memiliki perubahan kekuatan amplitudo dari lemah dengan konduktifitas tinggi, menguat secara tiba-tiba sehingga amplitudonya kuat dengan konduktifitas rendah, dan berubah menjadi amplitudo yang sedang dengan konduktifitas sedang ke arah utara yang diinterpretasikan sebagai batuan tersebut memiliki tingkat kekerasan yang lemah atau sedimen yang didominasi oleh material berukuran butir lempung-pasir halus, ukuran butir sedimen atau kekerasan sedimen tersebut meningkat secara tiba-tiba menjadi sedimen berukuran pasir kasar-kerikil, dan ukuran butir kembali mengecil menjadi pasir sedang atau sedimen dengan kekerasan sedang ke arah utara. Unit A3 memiliki perubahan konduktifitas secara vertikal (ke bawah) dan horizontal (ke arah utara) dimana pada bagian atas memiliki amplitudo yang kuat dengan konduktifitas lemah dan bagian

bawah memiliki amplitudo yang lemah dengan konduktifitas tinggi serta amplitudo sedang ke arah utara yang diinterpretasikan sebagai batuan tersebut memiliki perubahan ukuran butir atau tingkat kekerasan secara vertikal dari ukuran butir pasir kasar-kerikil pada bagian atas hingga lempung-pasir halus pada bagian bawah serta pasir sedang ke arah utara. Unit A4 mempunyai amplitudo yang lemah hingga sedang dengan konduktifitas sedang hingga tinggi diintepretasikan batuan tersebut memiliki tingkat kekerasan yang lemah-sedang atau sedimen yang didominasi oleh material berukuran butir lempung-pasir sedang. Unit A5 mempunyai amplitudo yang lemah hingga sedang dengan konduktifitas sedang hingga tinggi diintepretasikan batuan tersebut memiliki tingkat kekerasan yang lemah-sedang atau sedimen yang didominasi oleh material berukuran butir lempung-pasir sedang.

(6)

amplitudo lemah pada bagian atas, amplitudo kuat pada bagian tengah, dan amplitudo sedang pada bagian bawah yang diinterpretasikan bagian atas didominasi oleh sedimen berukuran lempung-pasir halus, pasir kasar-kerikil pada bagian tengah, dan pasir sedang pada bagian bawah unit ini. Unit B3 mempunyai perubahan dari amplitudo yang tinggi, amplitudo lemah dengan konduktifitas tinggi, kemudian amplitudo menguat menjadi amplitudo sedang dengan konduktifitas sedang yang diinterpretasikan batuan pada unit ini memiliki perubahan dari tingkat kekerasan yang keras atau material sedimen berukuran pasir kasar-kerikil ke tingkat kekerasan yang lunak atau material sedimen berukuran butir lempung-pasir halus, kemudian menguat kembali menjadi pasir sedang, perubahan ini terjadi secara horizontal ke arah timur. Unit B4 mempunyai perubahan ukuran butir dilihat dari perubahan amplitudo dari kuat menjadi lemah secara vertikal (ke bawah) yang diinterpretasikan sebagai adanya perubahan ukuran butir sedimen dari pasir kasar-kerikil ke berukuran butir lempung-pasir halus secara vertikal ke arah bawah. Unit B5 mempunyai amplitudo yang lemah dengan konduktifitas tinggi yang diinterpretasikan batuan pada unit ini memiliki tingkat kekerasan yang rendah

atau sedimen yang didominasi oleh material berukuran lempung-pasir halus. Fasies Pengendapan

(7)

(Beres dan Haeni, 1991 dalam Ekes dan Hickin, 2001).

Unit A2 dengan ketebalan 2,25-6 meter dengan penebalan ke arah utara dan timur, diendapkan sebelum unit A1, dan dibatasi oleh batas 1A sebagai batas atas serta batas 2A sebagai batas bawah. Unit ini mempunyai perubahan amplitudo secara lateral dari lemah, paralel, horizontal, diskontinu menjadi amplitudo kuat, bergelombang, horizontal, diskontinu kemudian amplitudo berubah kembali menjadi lemah, bergelombang, horizontal, diskontinu ke arah utara yang diinterpretasikan sebagai perubahan karakter ukuran butir pada sedimen di unit ini dari lempung-pasir halus dengan perlapisan baik dan tidak menerus, pasir kasar-kerikil dengan lapisan yang bergelombang dan tidak menerus, dan kembali menghalus menjadi lempung-pasir halus dengan lapisan bergelombang dan tidak menerus ke arah utara. Unit ini diendapkan pada energi rendah pada bagian selatan, tinggi pada bagian tengah, dan kembali melemah pada bagian utara apabila dilihat dari perubahan ukuran butir sedimen pada unit ini, mempunyai geometri berbentuk bank atau channel fill

(Mitchum dkk, 1977 dalam Boggs, 1978) dan berdasarkan energi pengendapan yang berubah secara lateral dari lemah, tinggi pada bagian tengah, dan kembali melemah

ke arah utara, kemungkinan unit ini diendapkan pada lingkungan channel

(Boggs, 1978).

Unit A3 dengan ketebalan sekitar 2-9 meter dan menebal ke arah utara dan barat, membentuk morfologi hiatus

(8)

trough fill (Mitchum dkk, 1977 dalam Boggs, 1978) karena erosi ketika pengendapan unit A2 sehingga membentuk hiatus dan berdasarkan energi pengendapan yang berubah secara lateral dari lemah, tinggi pada bagian tengah, dan kembali melemah ke arah utara, kemungkinan unit ini diendapkan pada lingkungan channel (Boggs, 1978).

Unit A4 dengan ketebalan sekitar 3,5-12 meter dengan penipisan ke arah utara dan penebalan ke arah timur, diendapkan sebelum unit A3, serta dibatasi oleh batas 3A sebagai batas atas dan batas 4A sebagai batas bawah. Unit ini mempunyai perubahan ukuran butir dilihat dari perubahan amplitudo secara lateral dari amplitudo sedang, bergelombang, horizontal, diskontinu menjadi amplitudo lemah, bergelombang, horizontal, diskontinu dan kemudian kembali menjadi amplitudo sedang, bergelombang, horizontal, kontinu yang diinterpretasikan adanya perubahan ukuran butir dari sedimen berukuran pasir sedang dengan lapisan bergelombang dan tidak menerus menjadi sedimen berukuran lempung-pasir halus dengan lapisan bergelombang dan tidak menerus, kemudian terjadi perubahan ukuran butir kembali menjadi sedimen berukuran pasir sedang, lapisan bergelombang, horizontal, dan tidak menerus ke arah utara. Unit ini diendapkan

pada energi sedang pada bagian selatan, rendah pada bagian tengah, dan kembali tinggi menjadi sedang pada bagian utara apabila dilihat dari perubahan ukuran butir sedimen pada unit ini, mempunyai geometri berbentuk bank (Mitchum dkk, 1977 dalam Boggs, 1978) dan berdasarkan energi pengendapan yang berubah secara lateral dari sedang, lemah pada bagian tengah, dan kembali sedang ke arah utara, kemungkinan unit ini diendapkan pada lingkungan channel (Boggs, 1978).

(9)

energi pengendapan yang berubah secara vertikal dari tinggi pada bagian bawah dan lemah ke arah utara, kemungkinan unit ini diendapkan pada lingkungan delta (Boggs, 1978) atau fasies kipas alluvial (Beres dan Haeni, 1991 dalam Ekes dan Hickin, 2001).

Sedangkan, unit-unit pengendapan yang menyusun daerah B yaitu Unit B1 dengan ketebalan sekitar 0,25-4 meter dengan penebalan ke arah barat dan selatan, diendapkan berada di paling atas, dan batas 1B sebagai batas bawah. Unit ini menunjukkan pola terminasi amplitudo paralel, horizontal, kontinu, dan memiliki amplitudo yang kuat pada bagian atas dan amplitudo lemah, paralel, horizontal, diskontinu pada bagian bawah. Unit ini diinterpretasikan sebagai sedimen yang didominasi oleh material berukuran butir pasir kasar hingga kerikil dengan perlapisan baik dan menerus secara horizontal pada bagian atas dan sedimen yang didominasi oleh material berukuran lempung-pasir halus dengan perlapisan yang baik dan tidak menerus secara horizontal. Unit ini diendapkan pada energi rendah hingga tinggi atau peningkatan energi pengendapan ke atas, mempunyai geometri berbentuk bank

(Mitchum dkk, 1977 dalam Boggs, 1978), dan berdasarkan pola amplitudo yang progradasi kemungkinan unit ini

diendapkan pada lingkungan delta (Boggs, 1978) atau fasies kipas alluvial (Beres dan Haeni, 1991 dalam Ekes dan Hickin, 2001).

(10)

diendapkan pada lingkungan channel pada delta (Boggs, 1978) atau fasies kipas alluvial (Beres dan Haeni, 1991 dalam Ekes dan Hickin, 2001).

Unit B3 dengan ketebalan sekitar 4-9 meter dengan penebalan ke arah barat dan selatan, diendapkan sebelum unit B2, serta dibatasi oleh batas 2B sebagai batas atas dan batas 3B sebagai batas bawah. Unit ini menunjukkan pola terminasi amplitudo bergelombang (wavy),

hummocky, amplitudo kuat, diskontinu, yang diinterpretasikan sebagai sedimen yang didominasi oleh material berukuran butir pasir kasar-kerikil yang mempunyai pola perlapisan yang buruk dan tidak menerus. Unit ini diendapkan pada energi tinggi, mempunyai geometri berbentuk

bank (Mitchum dkk, 1977 dalam Boggs, 1978), dan berdasarkan pola amplitudo yang hummocky dan arah pengendapan yang berubah secara signifikan kemungkinan unit ini diendapkan pada lingkungan tidal zone (Boggs, 1978) atau fasies kipas alluvial (Beres dan Haeni, 1991 dalam Ekes dan Hickin, 2001).

Unit B4 dengan ketebalan 3-17,5 meter dengan penebalan ke arah timur dan menipis ke arah selatan, diendapkan sebelum unit B3, serta dibatasi oleh batas 3B sebagai batas atas dan batas 4B sebagai batas bawah. Unit ini menunjukkan pola terminasi amplitudo bergelombang,

hummocky dan oblique ke arah timur, amplitudo kuat, diskontinu pada bagian atas dan amplitudo paralel, horizontal, amplitudo lemah, diskontinu pada bagian bawah. Unit ini diinterpretasikan sebagai sedimen yang didominasi oleh material berukuran butir pasir kasar- kerikil yang memiliki perlapisan bergelombang,

hummocky dan oblique ke arah timur, tidak menerus pada bagian atas dan material berukuran butir lempung-pasir halus yang mempunyai pola perlapisan yang paralel dan tidak menerus secara horizontal pada bagian bawah. Unit ini diendapkan pada energi rendah hingga tinggi atau peningkatan energi pengendapan, mempunyai geometri berbentuk bank

(Mitchum dkk, 1977 dalam Boggs, 1978), dan berdasarkan pola amplitudo yang progradasi dan berbentuk hummocky pada bagian atas kemungkinan unit ini diendapkan pada tidal zone pada lingkungan delta (Boggs, 1978) atau fasies kipas alluvial (Beres dan Haeni, 1991 dalam Ekes dan Hickin, 2001).

(11)

mempunyai pola perlapisan yang paralel dan tidak menerus secara horizontal. Unit ini diendapkan pada energi rendah, mempunyai geometri berbentuk bank

(Mitchum dkk, 1977 dalam Boggs, 1978), dan kemungkinan unit ini diendapkan pada lingkungan paparan/shelf (Boggs, 1978) atau fasies kipas alluvial (Beres dan Haeni, 1991 dalam Ekes dan Hickin, 2001). Kaitan Fasies Pengendapan Pada Daerah A dan Daerah B

Setelah kedua daerah/blok penelitian diidentifikasi fasiesnya berdasarkan data radar, selanjutnya dilakukan kesebandingan untuk mengetahui karakter pada unit-unit tertentu antara unit-unit pengendapan di blok A dan di blok B. Pembandingan unit-unit pada masing-masing daerah diurutkan dari yang tua ke muda.

Unit A5 di daerah A dengan ketebalan sekitar 4-9 meter, dibatasi oleh batas 4A sebagai batas atas, dengan penipisan ke arah utara dan timur, dan penebalan ke arah selatan. Unit ini menunjukkan pola terminasi amplitudo bergelombang (wavy), amplitudo sedang pada bagian atas dan tinggi pada bagian bawah, diskontinu, yang diinterpretasikan sebagai sedimen yang didominasi oleh material berukuran butir pasir sedang pada bagian atas dan pasir kasar-kerikil pada

bagian bawah yang mempunyai pola perlapisan yang bergelombang dan tidak menerus secara horizontal. Unit ini diendapkan pada energi tinggi pada bagian bawah dan melemah pada bagian atas apabila dilihat dari perubahan ukuran butir sedimen pada unit ini, mempunyai geometri berbentuk bank (Mitchum dkk, 1977 dalam Boggs, 1978) dan berdasarkan energi pengendapan yang berubah secara vertikal dari tinggi pada bagian bawah dan lemah ke arah atas dan utara, kemungkinan unit ini diendapkan pada fasies kipas alluvial (Beres dan Haeni, 1991 dalam Ekes dan Hickin, 2001). Sedangkan, unit B5 di daerah B dengan ketebalan sekitar 2,75 meter, dibatasi oleh batas 4B sebagai batas atas, menunjukkan pola terminasi amplitudo paralel, amplitudo lemah, diskontinu, yang diinterpretasikan sebagai sedimen yang didominasi oleh material berukuran lempung-pasir halus yang mempunyai pola perlapisan yang paralel dan tidak menerus secara horizontal. Unit ini diendapkan pada energi rendah, mempunyai geometri berbentuk sheet

(12)

dimana pada unit A5 diendapkan pada lingkungan delta atau kipas alluvial dan unit B5 diendapkan pada lingkungan shelf. Berdasarkan posisi stratigrafinya, kemungkinan kedua unit ini diendapkan secara bersamaan dan menempati urutan yang paling tua sehingga hubungan stratigrafi antara kedua unit ini adalah menjemari atau interfingering. Berdasarkan hasil interpretasi tersebut, kemungkinan unit kedua unit ini sebanding dengan Formasi Teraya yang diendapkan di lingkungan pengendapan laut yang sangat dangkal dekat dengan daerah pedaratan.

Unit A4 di daerah A dengan ketebalan sekitar 3,5-12 meter dengan penipisan ke arah utara dan penebalan ke arah timur, diendapkan setelah unit A5, serta dibatasi oleh batas 4A sebagai batas bawah dan batas 3A sebagai batas atas. Unit ini mempunyai perubahan ukuran butir dilihat dari perubahan amplitudo secara lateral dari amplitudo sedang, bergelombang, horizontal, diskontinu menjadi amplitudo lemah, bergelombang, horizontal, diskontinu dan kemudian kembali menjadi amplitudo sedang, bergelombang, horizontal, kontinu yang diinterpretasikan adanya perubahan ukuran butir dari sedimen berukuran pasir sedang dengan lapisan bergelombang dan tidak menerus menjadi sedimen berukuran

lempung-pasir halus dengan lapisan bergelombang dan tidak menerus, kemudian terjadi perubahan ukuran butir kembali menjadi sedimen berukuran pasir sedang, lapisan bergelombang, horizontal, dan tidak menerus ke arah utara. Unit ini diendapkan pada energi sedang pada bagian selatan, rendah pada bagian tengah, dan kembali tinggi menjadi sedang pada bagian utara apabila dilihat dari perubahan ukuran butir sedimen pada unit ini, mempunyai geometri berbentuk bank

(Mitchum dkk, 1977 dalam Boggs, 1978) dan berdasarkan energi pengendapan yang berubah secara lateral dari sedang, lemah pada bagian tengah, dan kembali sedang ke arah utara, kemungkinan unit ini diendapkan pada lingkungan channel

(Boggs, 1978). Sedangkan, unit B4 di daerah B dengan ketebalan 3-17,5 meter dengan penebalan ke arah timur dan menipis ke arah selatan, diendapkan setelah unit B5, serta dibatasi oleh batas 4B sebagai batas bawah dan batas 3B sebagai batas atas. Unit ini menunjukkan pola terminasi amplitudo bergelombang,

(13)

hummocky dan oblique ke arah timur, tidak menerus pada bagian atas dan material berukuran butir lempung-pasir halus yang mempunyai pola perlapisan yang paralel dan tidak menerus secara horizontal pada bagian bawah. Unit ini diendapkan pada energi rendah hingga tinggi atau peningkatan energi pengendapan, mempunyai geometri berbentuk bank

(Mitchum dkk, 1977 dalam Boggs, 1978), dan berdasarkan pola amplitudo yang progradasi dan berbentuk hummocky pada bagian atas kemungkinan unit ini diendapkan pada tidal zone pada lingkungan delta (Boggs, 1978) atau fasies kipas alluvial (Beres dan Haeni, 1991 dalam Ekes dan Hickin, 2001). Kedua unit tersebut memiliki perbedaan fasies sehingga diendapkan pada lingkungan pengendapan yang berbeda dimana pada unit A4 diendapkan pada lingkungan

channel dan unit B4 diendapkan pada lingkungan tidal zone yang dicirikan sebagai adanya struktur hummocky pada lingkungan delta. Berdasarkan posisi stratigrafinya, kemungkinan kedua unit ini diendapkan secara bersamaan sehingga hubungan stratigrafi antara kedua unit ini adalah menjemari atau interfingering. Hasil interpretasi di atas menunjukkan bahwa kedua unit tersebut sebanding dengan Formasi Teraya yang diendapkan pada lingkungan pengendapan laut yang

dangkal yang sangat dekat dengan dengan daerah pedaratan.

(14)

geometri berbentuk bank atau trough fill

(Mitchum dkk, 1977 dalam Boggs, 1978) karena erosi ketika pengendapan unit batuan yang lebih muda sehingga membentuk hiatus dan berdasarkan energi pengendapan yang berubah secara lateral dari lemah, tinggi pada bagian tengah, dan kembali melemah ke arah utara, kemungkinan unit ini diendapkan pada lingkungan channel (Boggs, 1978). Sedangkan, unit B3 di daerah B dengan ketebalan sekitar 4-9 meter dengan penebalan ke arah barat dan selatan, diendapkan setelah unit B4, serta dibatasi oleh batas 3B sebagai batas bawah dan 2B sebagai batas atas. Unit ini menunjukkan pola terminasi amplitudo bergelombang (wavy), hummocky, amplitudo kuat, diskontinu, yang diinterpretasikan sebagai sedimen yang didominasi oleh material berukuran butir pasir kasar-kerikil yang mempunyai pola perlapisan yang buruk dan tidak menerus. Unit ini diendapkan pada energi tinggi, mempunyai geometri berbentuk bank (Mitchum dkk, 1977 dalam Boggs, 1978), dan berdasarkan pola amplitudo yang hummocky dan arah pengendapan yang berubah secara signifikan kemungkinan unit ini diendapkan pada lingkungan tidal zone

(Boggs, 1978) atau fasies kipas alluvial (Beres dan Haeni, 1991 dalam Ekes dan Hickin, 2001). Kedua unit tersebut memiliki perbedaan fasies sehingga

diendapkan pada lingkungan pengendapan yang berbeda dimana pada unit A3 diendapkan pada lingkungan channel yang dibuktikan adanya perubahan energi pengendapan secara lateral dan unit B3 diendapkan pada lingkungan tidal zone

yang dicirikan sebagai adanya struktur

hummocky. Berdasarkan posisi

stratigrafinya, kemungkinan kedua unit ini diendapkan secara bersamaan sehingga hubungan stratigrafi antara kedua unit ini adalah menjemari atau interfingering. Berdasarkan interpretasi di atas, kedua unit tersebut diperkirakan sebanding dengan Formasi Teraya yang diendapkan pada lingkungan laut sangat dangkal dekat dengan daerah pedaratan.

(15)

menerus, pasir kasar-kerikil dengan lapisan yang bergelombang dan tidak menerus, dan kembali menghalus menjadi lempung-pasir halus dengan lapisan bergelombang dan tidak menerus ke arah utara. Unit ini diendapkan pada energi rendah pada bagian selatan, tinggi pada bagian tengah, dan kembali melemah pada bagian utara apabila dilihat dari perubahan ukuran butir sedimen pada unit ini, mempunyai geometri berbentuk bank atau

channel fill (Mitchum dkk, 1977 dalam Boggs, 1978) dan berdasarkan energi pengendapan yang berubah secara lateral dari lemah, tinggi pada bagian tengah, dan kembali melemah ke arah utara, kemungkinan unit ini diendapkan pada lingkungan channel (Boggs, 1978). Sedangkan, unit B2 di daerah B dengan ketebalan 1-11 meter dengan penebalan ke arah barat dan selatan, diendapkan setelah unit B2, dan dibatasi oleh batas 2B sebagai batas bawah serta batas 1B sebagai batas atas. Unit ini menunjukkan pola terminasi amplitudo paralel, horizontal, diskontinu, dan memiliki gradasi amplitudo yang kuat pada bagian bawah dan lemah pada bagian atas dan kemudian amplitudo menguat menjadi amplitudo kuat, paralel, horizontal, diskontinu ke arah timur. Unit ini diinterpretasikan sebagai sedimen yang didominasi oleh material berukuran butir pasir kasar hingga kerikil pada bagian bawah dan lempung-pasir halus pada

bagian atas dengan perlapisan baik dan tidak menerus secara horizontal kemudian mengkasar ke arah titik timur menjadi sedimen dengan ukuran butir pasir kasar-kerikil dengan perlapisan yang baik dan tidak menerus. Unit ini diendapkan pada energi tinggi hingga rendah atau penurunan energi pengendapan ke atas dan meninggi ke arah timur, mempunyai geometri berbentuk bank (Mitchum dkk, 1977 dalam Boggs, 1978), dan berdasarkan pola amplitudo yang progradasi kemungkinan unit ini diendapkan pada lingkungan channel pada delta (Boggs, 1978) atau fasies kipas alluvial (Beres dan Haeni, 1991 dalam Ekes dan Hickin, 2001). Kedua unit tersebut memiliki perbedaan fasies sehingga diendapkan pada lingkungan pengendapan yang berbeda dimana pada unit A2 diendapkan pada lingkungan

(16)

Kemungkinan kedua unit ini sebanding dengan Formasi Teraya yang diendapkan pada lingkungan laut sangat dangkal dekat dengan daerah pedaratan.

Unit A1 di daerah A dengan ketebalan sekitar 0,25-5 meter diendapkan setelah unit A2 dan dibatasi oleh batas 1A sebagai batas bawah. Unit ini berupa sedimen yang didominasi oleh material berukuran butir pasir kasar hingga kerikil dengan perlapisan baik dan menerus secara horizontal pada bagian atas dan sedimen yang didominasi oleh material berukuran pasir sedang dengan perlapisan baik dan tidak menerus pada bagian bawah. Unit ini diendapkan pada energi rendah hingga tinggi atau peningkatan energi pengendapan, mempunyai geometri berbentuk bank (Mitchum dkk, 1977 dalam Boggs, 1978), dan berdasarkan pola amplitudo yang progradasi kemungkinan unit ini diendapkan pada lingkungan delta (Boggs, 1978) atau fasies kipas alluvial (Beres dan Haeni, 1991 dalam Ekes dan Hickin, 2001). Sedangkan, unit B1 di daerah B dengan ketebalan sekitar 0,25-4 meter diendapkan setelah unit B2 dan dibatasi oleh batas 1B sebagai batas bawah dengan penebalan ke arah barat dan selatan, berupa sedimen yang didominasi oleh material berukuran butir pasir kasar hingga kerikil dengan perlapisan baik dan menerus secara horizontal pada bagian atas

(17)

terbentuk akibat tidak adanya pengendapan atau sebagian tubuh batuan mengalami erosi pada waktu tertentu.

KESIMPULAN

Batas fasies pada daerah A mempunyai empat batas yang membatasi lima unit pengendapan sedangkan daerah B mempunyai empat batas yang membatasi lima unit pengendapan. Unit konfigurasi bidang lapisan pada daerah A memiliki lima unit dan daerah B memiliki lima unit. Nilai konduktifitas pada daerah A dan daerah B masing-masing mempunyai lima unit pengendapan. Oleh karena itu dari data tersebut, Pulau Subi Kecil memiliki fasies pengendapan diurutkan dari yang paling tua yaitu unit A5 dan B5 yang sebanding dengan Formasi Teraya (Tmt); Unit A4 dan B4 yang sebanding dengan Formasi Teraya (Tmt); Unit A3 dan B3 yang sebanding dengan Formasi Teraya (Tmt); Unit A2 dan B2 yang sebanding dengan Formasi Teraya (Tmt); Unit A1 dan B1 yang sebanding dengan Alluvium (Qc).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2001. Dielectric Constant and

Ground-penetrating Radar.

http://www.kgs.ku.edu/Current/ 2001/martinez/martinez4.html. Diakses pada tanggal 4 November 2013.

Anonim. 2012. SIR20: Rugged,

High-Performance Dual Channel

GPR Data Acquisition System. Brosur SIR20. Geophysical Survey System Inc.

Anonim. 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. Revisi SSI 1973. Jakarta: Ikatan Ahli Geologi Indonesia.

Basson, U. 2000. Ground Penetrating Radar (GPR). http://www.geo-sense.com/GPRmore.htm. Diakses pada tanggal 4 November 2013.

Budi, Esmar. 2013. Gelombang. Remaja Rosdakarya: Jakarta.

Budiono, Kris. 2013. Survey Ground Penetrating Radar Survey For Imaging Of Subsurface Tertiary To Quaternary Deposits Of Subi Kecil Island, Natuna District, Riau Archipelago Province. GPR Buletin, 2013.

Boggs, JR, Sam. 1978. Principles of

Sedimentology and

Stratigraphy. Edisi keempat. Pearson Prentice Hall: New Jersey.

Casas, Albert dkk. 2000. Fundamentals of Ground Penetrating Radar in Environmental and Engineering Applications. Annali di Geofisica, Vol. 43. N. 6, Desember 2000.

Daniels, Jeffrey J. 2000. Ground

Penetrating Radar

Fundamentals. Journal of

Environmental and Engineering Geophysics, vol 5.

Ekes, Csaba dan Edward J. Hickin. 2010. Ground Penetrating Radar Facies of The Paraglacial Cheekye Fan, Southwestern British Columbia, Canada.

(18)

Geology, Vol. 143 Issues 3-4, September 2001, pp. 199-217. Harahap, B. H. dkk. 1995. Peta Geologi

Lembar Natuna Selatan. Skala 1: 250.000 Dit P3G, Dit Geologi dan Sumber Daya Mineral, Bandung.

Hausmann, H. Dan K Krainer. 2010.

Guide lines for Monitorong

GPR (Ground Penetrating

Radar). Permafrost and

Periglacial Processes Version 1- 1.02.2010.

Huisman, J. A. Dkk. 2003. Measuring Soil Water Content with Ground Penetrating Radar: A Review.

Vadose Zone Journal. Vol 2. Pp 476-491.

Jol, Harry M. 2009. Ground Penetrating

Radar: Theory and

Applications. Edisi Pertama. Elsevier B. V.: Amsterdam. Martifa, Riski. 2010. Identifikasi Struktur

Bawah Permukaan di Sekitar Kawasan Semburan Lumpur Sidoarjo, Berdasarkan Penafsiran Penampang Ground Penetrating Radar (GPR).

Skripsi. Jurusan Fisika FMIPA UPI, Bandung.

Ramdhany, Yudhi Arief. 2006. Analisis Sedimen Bawah Permukaan Di Pantai Teluk Ciletuh, Kabupaten Sukabumi Berdasarkan Survey GPR. Skripsi. Jurusan Teknik Geologi UNPAD, Jatinangor. Selley, R.C., 1985, Ancient Sedimentary

Environments, Third Edition: Cornell University Press, New York.

Sukmono, Sigit. 1999. Seismik Stratigrafi. Penerbit ITB: Bandung.

Takahashi, Kazunori dkk. 2012. Basics and Application of Ground

Penetrating Radar as A Tool for Monitoring Irrigation Process.

Journal of Problems

Perspectives and Chalenges of

Agricultural Water

Management, Maret 2012, pp. 155-180.

Tilliard, Sylvie dan Jean-Claude Dubois. 1995. Analysis of GPR data: Wave Propagation Velocity Determination. Journal of Applied Geophysics, Vol. 33, pp. 77-91.

Walker, Roger G., James,Noel P., 1992,

Fasies Models Response To Sea

Level Change: Geological

(19)

Gambar 1. Daerah Penelitian dengan daerah A di sebelah timur laut dan daerah B di bagian tenggara Pulau Subi Kecil (Budiono, 2013)

Gambar 2. Daerah Penelitian A di sebelah timur laut Pulau Subi Kecil (Budiono, 2013) A

B Skala 1:32.000

U

U

(20)

Gambar 3. Daerah Penelitian B di sebelah tenggara Pulau Subi Kecil (Budiono, 2013)

Gambar 4. Subi 1001 line a-b wiggle (Daerah A) Skala 1:1.558

U

(21)

Gambar 5. Subi 1001 line a-b radar (Daerah A)

Gambar 6. Subi 1001 line b-c wiggle (Daerah A)

a b

(22)

Gambar 7. Subi 1001 line b-c radar (Daerah A)

Gambar 8. Subi 1001 line c-d wiggle (Daerah A)

b c

(23)

Gambar 9. Subi 1001 line c-d radar (Daerah A)

Gambar 10. Subi 1001 line d-e wiggle (Daerah A)

c d

(24)

Gambar 11. Subi 1001 line d-e radar (Daerah A)

Gambar 12. Subi 1001 line e-f wiggle (Daerah A)

d e

(25)

Gambar 13. Subi 1001 line e-f radar (Daerah A)

Gambar 14. Subi MLF 13001 line a-b wiggle (Daerah A)

e f

(26)

Gambar 15. Subi MLF 13001 line a-b radar (Daerah A)

Gambar 16. Subi MLF 13001 line b-c wiggle (Daerah A)

a b

(27)

Gambar 17. Subi MLF 13001 line b-c radar (Daerah A)

Gambar 18. Subi MLF 13001 line c-d wiggle (Daerah A)

b c

(28)

Gambar 19. Subi MLF 13001 line c-d radar (Daerah A)

Gambar 20. Subi MLF 13001 line d-e wiggle (Daerah A)

c d

(29)

Gambar 21. Subi MLF 13001 line d-e radar (Daerah A)

Gambar 22. Subi MLF 13001 line e-f wiggle (Daerah A)

d e

(30)

Gambar 23. Subi MLF 13001 line e-f radar (Daerah A)

Gambar 24. Subi 14001 3D (Daerah A)

(31)

Gambar 25. Subi 4001 line a-b wiggle (Daerah B)

Gambar 26. Subi 4001 line a-b radar (Daerah B)

a b

(32)

Gambar 27. Subi 4001 line b-c wiggle (Daerah B)

Gambar 28. Subi 4001 line b-c radar (Daerah B)

b c

(33)

Gambar 29. Subi 4001 line c-d wiggle (Daerah B)

Gambar 30. Subi 4001 line c-d radar (Daerah B)

c d

(34)

Gambar 31. Subi 4001 line d-e wiggle (Daerah B)

Gambar 32. Subi 4001 line d-e radar (Daerah B)

d e

(35)

Gambar 33. Subi 4001 line e-f wiggle (Daerah B)

Gambar 34. Subi 4001 line e-f radar (Daerah B)

e f

e f

(36)

Gambar 35. Subi MLF 7002 line a-b wiggle (Daerah B)

Gambar 36. Subi MLF 7002 line a-b radar (Daerah B)

a b

(37)

Gambar 37. Subi MLF 7002 line b-c wiggle (Daerah B)

Gambar 38. Subi MLF 7002 line b-c radar (Daerah B)

b c

(38)

Gambar 39. Subi MLF 7002 line c-d wiggle (Daerah B)

Gambar 40. Subi MLF 7002 line c-d radar (Daerah B)

c d

(39)

Gambar 41. Subi MLF 7002 line d-e wiggle (Daerah B)

Gambar 42. Subi MLF 7002 line d-e radar (Daerah B)

d e

(40)

Gambar 43. Subi MLF 7002 line e-f wiggle (Daerah B)

Gambar 44. Subi MLF 7002 line e-f radar (Daerah B)

e f

(41)
(42)
(43)

Gambar

Gambar 1. Daerah Penelitian dengan daerah A di sebelah timur laut dan daerah B di bagian tenggara Pulau Subi Kecil (Budiono, 2013)
Gambar 4. Subi 1001 line a-b wiggle (Daerah A)
Gambar 6. Subi 1001 line b-c wiggle (Daerah A)
Gambar 7. Subi 1001 line b-c radar (Daerah A)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan terbentuknya Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Tolikara,

Data hasil uji coba angket motivasi belajar terdapat pada lampiran (lampiran 10). Setelah angket diuji cobakan, hasil tersebut akan diuji validitas untuk menentukan angket

43 OJK Laporan Tahunan Perusahaan Terbuka mengungkapkan pemilik manfaat akhir dalam kepemilikan saham Perusahaan Terbuka paling sedikit 5% (lima persen), selain

Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 8 Mei 2010 di ruang guru SDN 2 Sidomulyo Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Peneliti dan guru kelas V mendiskusikan rancangan

Berdasarkan hasil penelitian dengan taraf signifikansi 5%, diperoleh: (1) Hasil belajar matematika siswa kelas VIII A lebih baik jika dibandingkan dengan siswa

Dosen dengan konsep kemitraan dengan mahasiswa mengalami peningkatan keterampilan dalam hal pembinaan (coaching), pengarahan (guiding), penetapan tujuan (goal

Dari hasil pengamatan dan foto struktur makro dapat dilihat bahwa perpatahan yang terjadi akibat uji kelelahan adalah patah getas, perpatahan ini ditandai dengan bentuk permukaan

Kegiatan persiapan dari program Optimalisasi Rekapitulasi Nilai Hasil Ujian Nasional Permata Pelajaran Tahun 2014/2015 Sekolah SMP dan MTs Se- Kabupaten Gunungkidul