RANCANGAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2020
TENTANG
KEMUDAHAN BERUSAHA BAGI PELAKSANAAN PROYEK STRATEGIS NASIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan proyek strategis nasional;
b. Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 26, Pasal 31, Pasal 36, Pasal 124, dan Pasal 173 Undang-Undang Nomor .... Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kemudahan Berusaha Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Pasal 173 ayat (5) Undang-Undang Nomor ... Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor ...., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...)
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEMUDAHAN BERUSAHA BAGI PELAKSANAAN PROYEK STRATEGIS NASIONAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Proyek Strategis Nasional adalah proyek dan/atau program yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka upaya penciptaan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Kemudahan Berusaha adalah kemudahan yang diberikan dalam Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional adalah segala bentuk kemudahan perizinan/ non perizinan yang diberikan
dalam rangka percepatan proses perencanaan, penyiapan, transaksi, konstruksi, dan kelancaran pengendalian operasi, termasuk didalamnya mekanisme pembiayaan untuk Proyek Strategis Nasional.
3. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
4. Badan Usaha adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
5. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
6. Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha yang selanjutnya disebut sebagai KPBU adalah kerjasama antara pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko diantara para pihak.
7. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
9. Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang selanjutnya disingkat PTSP adalah pelayanan secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu.
10. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi yang selanjutnya disingkat BPMPTSP Provinsi adalah penyelenggara PTSP di provinsi.
11. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat BPMPTSP Kabupaten/Kota adalah penyelenggara PTSP di kabupaten/kota.
12. Menteri adalah Menteri yang mempunyai tugas menyelenggarakan, koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.
13. Komite adalah Komite yang bertugas dalam rangka koordinasi untuk mempercepat pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang diketuai oleh Menteri.
14. Hari adalah hari kerja sesuai yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 2
(1) Pemerintah melakukan percepatan Proyek Strategis Nasional yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau Badan Usaha, yang bersumber dari anggaran Pemerintah dan/atau non-anggaran Pemerintah.
(2) Daftar Proyek Strategis Nasional ditetapkan dan/atau diubah berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Komite.
(3) Penetapan dan/atau perubahan daftar Proyek Strategis Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan oleh Menteri selaku Ketua Komite setelah mendapatkan persetujuan Presiden.
(4) Proyek Strategis Nasional dilaksanakan dengan mengutamakan integrasi konektivitas antar infrastruktur untuk mendorong pengembangan ekonomi berbasis kewilayahan;
BAB II
KEMUDAHAN BERUSAHA
Pasal 3
(1) Pemerintah memberikan fasilitas berupa Kemudahan Berusaha dalam Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional;
(2) Kemudahan berusaha dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun BUMN/BUMD dengan dengan koordinasi Menteri;
(3) Dalam rangka mengupayakan Kemudahan Berusaha pelaksanaan Proyek Strategis Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Komite memiliki tugas dan fungsi untuk melaksanakan:
a. memfasilitasi penyelesaian permasalahan dalam perizinan berusaha dan pengadaan tanah bagi Proyek Strategis Nasional;
b. menetapkan strategi dan kebijakan dalam rangka percepatan Proyek Strategis Nasional;
c. memfasilitasi penyiapan Proyek Strategis Nasional;
d. memantau dan mengendalikan pelaksanaan strategi dan kebijakan dalam rangka percepatan penyediaan Proyek Strategis Nasional;
e. memfasilitasi peningkatan kapasitas aparatur dan kelembagaan terkait dengan penyediaan Proyek Strategis Nasional;
f. mengoordinasikan optimalisasi pemanfaatan Proyek Strategis Nasional;
g. menyusun prioritas Proyek Strategis Nasional;
(4) Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana diatur pada ayat (3), Komite berwenang untuk:
a. mengoordinasikan kementerian, lembaga, pemerintah daerah, badan usaha, dan pihak lainnya yang lingkup tugas dan fungsinya berkaitan dengan upaya percepatan Penyediaan Proyek Strategis Nasional;
b. merekrut tenaga ahli perseorangan, badan usaha, institusi;
c. Membentuk panel konsultan dan panel investor yang berasal dari Badan Usaha Institusi dalam dan Luar Negeri.
BAB III
KEMUDAHAN PERENCANAAN
Bagian Kesatu Rencana Tata Ruang
Pasal 4
(1) Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi.
(2) Dalam hal lokasi Proyek Strategis Nasional belum sesuai dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi, pemanfaatan ruang tetap dapat dilaksanakan setelah mendapat rekomendasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dari Menteri yang membidangi urusan tata ruang.
Bagian Kedua Rencana Induk Sektoral
Pasal 5
Dalam hal Proyek Strategis Nasional belum masuk/sesuai
dengan rencana induk sektoral maka
Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah akan melakukan penyesuaian terhadap rencana induk sektoral setelah mendapatkan rekomendasi dari Komite.
Bagian Keempat Perencanaan Pembiayaan
Pasal 6
(1) Pembiayaan Proyek Strategis Nasional bersumber dari anggaran pemerintah dan non anggaran pemerintah, serta sumber pendapatan lain yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Investasi.
(2) Lembaga Pengelola Investasi / Investor Authorithy memprioritaskan pembiayaan Proyek Strategis Nasional (mengikuti bunyi RPP yg ngatur LPI)
(3) Perencanaan dan pengembangan skema pembiayaan untuk Proyek Strategis Nasional dikoordinasikan oleh Komite.
(4) Dalam hal belum terdapat pengaturan mengenai mekanisme dan ketentuan pembiayaan, Komite melakukan koordinasi terkait mekanisme dan ketentuan alternatif pembiayaan seperti pemanfaatan nilai tanah (Land Value Capture) atau alternatif lainnya.
BAB IV
KEMUDAHAN PENYIAPAN
Bagian Kesatu Fasilitas Penyiapan Proyek
Pasal 7
Dalam rangka percepatan proses pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Penangung Jawab Proyek dapat menfaatkan fasilitas Panel konsultan dan/atau Panel Investor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4).
Pasal 8
Dalam rangka percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Pemerintah memberikan prioritasi fasilitas pendampingan transaksi melalui Project Development Facilities kepada Penanggung Jawab Proyek Kerjasama untuk Proyek Strategis Nasional.
Bagian Ketiga
Penggunaan Bersama Aset BUMN
Pasal 9
(1) Dalam hal pemakaian bersama aset BUMN untuk Proyek Stategis Nasional yang dikuasai atau diprakarsai oleh
Pemerintah, pemakaian tersebut tidak dikenakan biaya sewa/pemanfataan dan biaya lainnya;
(2) Dalam hal pemakaian bersama aset BUMN untuk Proyek Stategis Nasional yang dilakukan oleh swasta dikenakan biaya sewa/pemanfataan dengan tarif terendah dan tidak dikenakan biaya lainnya selain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
BAB V
KEMUDAHAN TRANSAKSI
Pasal 10
(1) Dalam Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang dilakukan melalui skema KPBU, Pemerintah memberikan dukungan konstruksi sebagian atau Dana Dukungan Tunai Infrastruktur (Viability Gap Fund) maupun availability payment untuk proyek KPBU yang membutuhkan dan memiliki nilai strategis dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara;
(2) PJPK memprioritaskan pemberian dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas kepada proyek strategis nasional.
(3) Badan Usaha pemenang proyek KPBU berkewajiban menyelesaikan financial close dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak ditetapkan sebagai pemenang tender.
Pasal 11
(1) Pemilihan Badan Usaha pelaksana oleh PJPK yang diprakarsai oleh Pemerintah dilakukan melalui mekanisme Prakualifikasi, dengan memperhatikan kriteria kemampuan badan usaha dari sisi teknis, finansial, dan pengalaman serta kualifikasi lain berdasarkan atas prinsip efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel.
(2) Badan Usaha terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melaksanakan penyusunan studi kelayakan.
(3) Dalam hal hanya terdapat beberapa Badan Usaha yang memiliki kapasitas maka pengadaan dapat dilakukan melalui panel investor.
(4) Pengaturan lebih lanjut mengenai panel investor akan diatur melalui Peraturan Menteri.
(5) Percepatan pemilihan badan usaha pada proyek yang diprakarsai oleh Badan Usaha dapat dilakukan melalui mekanisme swiss challenge.
BAB VI
KEMUDAHAN KONSTRUKSI
Pasal 12
(1) Dalam rangka percepatan pelaksanaan Proyek Stategis Nasional, Pemerintah memberikan kemudahan dalam proses izin konstruksi untuk Proyek Stategis Nasional;
(2) Izin Konstruksi yang diberikan merupakan satu kesatuan dalam rangka pelaksanaan Proyek Stategis Nasional;
(3) Pengurusan perizinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang dikuasai atau diprakarsai Pemerintah menjadi kewajiban Penanggung Jawab Proyek Stategis Nasional;
(4) Menteri/Kepala lembaga/Kepala Daerah wajib menindaklanjuti rekomendasi yang dikeluarkan oleh komite;
(5) Dalam hal perizinan sebagaimana ayat (1) masih belum dapat dilakukan melalui sistem Online Single Submission, maka perizinan dilakukan melalui PTSP.
BAB VII
PENGELOLAAN ASET
Bagian Pertama Pasca Kontruksi
Pasal 13
(1) Penanggung Jawab Proyek Strategis Nasional wajib menyusun rencana pengoperasian dan pemeliharaan Proyek Strategis Nasional
(2) Rencana pengoperasian dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat : a. Rencana bisnis dan pengelolaan; dan
b. Rencana anggaran.
Bagian Kedua
Pasca Berakhirnya Perjanjian Kerjasama
Pasal 14
(1) PJPK wajib membuat rencana pengelolaan asset pasca berakhirnya perjanjian kerjasama selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sebelum sebelum perjanjian selesai.
(2) Dalam hal penyerahan aset, inventarisasi aset dilakukan oleh pihak ketiga yang disepakati oleh PJPK dan Badan Usaha
BAB VIII KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 15
Dalam hal terdapat persoalan konkret dan/atau mendesak yang belum diatur dalam ketentuan mengenai Proyek Strategis Nasional berdasarkan hasil evaluasi Komite, maka Menteri selaku ketua Komite dapat mengambil diskresi
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Proses Proyek Strategis Nasional yang sedang dilaksanakan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini diselesaikan berdasarkan ketentuan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini;
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
(1) Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku semua Peraturan Pelaksanaan dari Peraturan Presiden Nomor ___
Tahun _____ tentang _______________________ dan perubahannya dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ____ ayat ____, Pasal ___ dan Pasal ___ ditetapkan paling lama ___ (____) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 18
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2O2O
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2O2O
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2O2O NOMOR
PENJELASAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2O2O
TENTANG
KEMUDAHAN BERUSAHA PELAKSANAAN PROYEK STRATEGIS NASIONAL
I. UMUM
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 4 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Badan Usaha terpilih merupakan Badan Usaha pemenang lelang
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Mekanisme swiss challenge merupakan Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.