KONSEP IKHTIKAR PESPEKTIF HUKUM POSITIF
Zul Azimi dan Hasan Syazali STIS Al-Hilal Sigli
Email: [email protected] dan [email protected]
INFO ARTIKEL ABSTRAK Diterima
13 Mei 2021
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui konsep ikhtikar perspektif hukum positif. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif analisis, dengan metode penelitian kepustakaan (library research) dan jenis penelitian kualitatif, serta analisis data dengan menggunakan pendekatan atau cara berpikir deduktif.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa ikhtikar dalam hukum positif yaitu penimbunan barang. Penimbunan adalah kegiatan menimbun barang pada barang pokok dan barang penting pada jumlah dan waktu tertentu.
Hukum penimbunan barang dalam hukum positif tidak boleh. Penimbunan kebutuhan pokok dan barang penting di dalam gudang dalam jumlah dan waktu tertentu yang terjadi ketika terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan hambatan lalu lintas perdagangan barang. Dan haram hukumnya menimbun barang menurut kalangan Syafi’iyah dan hukum positif pelaku usaha dilarang menyimpan barang pokok dan barang penting.
Kata kunci:
ikhtikar; barang pokok;
hukum positif
Pendahuluan
Di Indonesia kelangkaan barang sering terjadi, misalnya kelangkaan bahan bakar minyak, pupuk, sembako dan produk-produk sejenis yang menjadi kebutuhan khalayak umum (public goods). Dan biasanya, jika demikian, harga barang yang dimaksud melonjak naik. Pada saat yang sama kondisi ini menjadi momentum yang sangat menguntungkan bagi produsen. Bahkan, bisa jadi, kondisi ini menjadi moment idola sekaligus yang difavoritkan oleh para produsen.
Pemerintah meminimalisir akan adanya tindak kejahatan dalam perdagangan yakni larangan penimbunan barang dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan (Karim, 2001). Penjelasan secara detail Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Pasal 29 ini terdapat pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2015 Tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting yang berbunyi:
Ayat (1) Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang.
Ayat (2) Pelaku Usaha dapat melakukan penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu jika digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau sebagai persediaan Barang untuk didistribusikan.
Ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Ikhtikar sering kali diterjemahkan sebagai monopoli, padahal sebenarnya ikhtikar tidak identik dengan monopoli (Karim, 2001). Ikhtikar adalah membeli sesuatu untuk ditimbun, dengan tujuan supaya tidak banyak jumlahnya di pasaran sehingga harganya naik atau istilah ekonominya monopoly’s rent. Manakala monopoli (monopoly) pula bermaksud satu-satunya penjual (tunggal). Dalam teori ekonomi konvensional dikenal natural monopoly yang memerlukan investasi yang sangat besar.
Karena itu, sektor ini perlu dilindungi dari masuknya pesaing baru. Ini berbeda dalam ekonomi Islam yang tidak mengenal sikap mendua itu. Siapa pun boleh berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain, jadi monopoli boleh saja tetapi ikhtikar tidak boleh dilakukan (Karim, 2001).
Menimbun barang untuk dijual dengan harga yang lebih tinggi, disaat orang- orang sedang mencari dan tidak mendapatkannya. Hal ini dipandang penganiayaan terhadap orang lain dan berdosa bagi pelakunya, tetapi berbeda dengan dari sudut pandang kapitalis yang tanpa norma dan etika dimana setiap masyarakat bebas menumpuk harta kekayaan, mengembangkan sekalipun mendatangkan mudarat bagi orang lain. Dalam arti kata lain penimbunan barang dibolehkan jika ia adalah untuk mengekalkan kestabilan harga suatu barang tanpa menghiraukan bahaya yang menimpa masyarakat. Prinsip ekonomi kapitalis dalam kegiatan ekonomi adalah modal sedikit dengan keuntungan sebanyak-banyaknya, segala cara dihalalkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan sekalipun mengorbankan orang lain.
Perdagangan yang dijalankan dengan cara yang tidak jujur, mengandung unsur penipuan, yang karena itu ada pihak yang dirugikan, dan praktik-praktik lain yang sejenis merupakan hal-hal yang dilarang dalam Islam. Melakukan perdagangan dengan cara menimbun barang (ikhtikar) dengan tujuan agar harga barang tersebut mengalami lonjakan sangat dilarang dalam Islam. Terlebih bila barang tersebut sedang langka, sementara masyarakat sangat membutuhkannya (Zuhaili, 2011).
Penimbunan menurut hukum positif adalah kegiatan menimbun barang pada barang pokok dan barang penting pada jumlah dan waktu tertentu. Konsep Undang- Undang membolehkan menimbun tiga bulan ke depan tidak sampai terjadi kelangkaan, dibolehkan menimbun untuk menolong ketersediaan masyarakat maupun pribadi dan produksi. Menurut ulama’ Syafi’i ikhtikar adalah menjual bahan makanan ketika harga naik dan menahannya atau menyimpannya agar bertambah tinggi harga jual nantinya (U.-U. R. I. Nomor, 7 C.E.).
Berdasarkan penjelasan di atas yang menjadi rumusan penelitian ini adalah bagaimana konsep ikhtikar menurut padangan hukum positif.
Metode Penelitian
Adapun penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan/ pembahasan penelitian ini adalah (Mariana et al., 2020; Mariana & Murthaza, 2019):
1. Sumber Data Sumber data yang dipergunakan adalah data skunder dari bahan hukum primer yaitu data yang digali dari peraturan dasar, peraturan Perundang- undangan, buku-buku/ literatur, hasil-hasil penelitian maupun dari sumber- sumber lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.
2. Teknik Pengumpulan Data. Mengunakan Studi kepustakaan yaitu (library research) dengan mempelajari UUD, peraturan UU. Peraturan Tata Tertib DPR, literature-literatur, Koran, makalah dan hasil Studi terhadap masalah yang diteliti.
3. Metode deskriptif (Descriptive Research), yaitu penelitian terhadap fakta-fakta yang ada pada saat sekarang dan melaporkan seperti apa yang akan terjadi.
4. Analisa Data. Data dalam penelitian ini akan di analisa dengan metode deskriptif, yaitu data-data yang diperoleh dari data skunder dan hasil penelitian akan diuraikan secara sistematis dan logis menurut pola deduktif kemudian dijelaskan, dijabarkaan dan diintergrasikan berdasarkan Hukum Positif.
Hasil dan Pembahasan
Indonesia secara resmi mempunyai undang-undang yang mengatur perdagangan.
Definisi perdagangan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transakasi barang dan/ atau jasa di dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan/atau jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi.
Penimbunan barang adalah kegiatan menimbun barang pada barang pokok dan barang penting pada jumlah dan waktu tertentu (U.-U. R. I. Nomor, 7 C.E.).
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dibentuk untuk mengedepankan kepentingan nasional dan ditujukan pada perlindungan pasar domestik maupun produk dalam negeri, membuat regulasi terhadap perdagangan dalam negeri serta memberikan perlindungan terhadap konsumen. Beberapa pertimbangan dasar dari pada pemerintah menyusun undang-undang ini adalah:
1. Bahwa pembangunan di bidang ekonomi diarahkan dan dilaksanakan untuk memajukan kesejahteraan umum melalui pelaksanaan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (U.-U. R. I. Nomor, 7 C.E.).
2. Bahwa pelaksanaan demokrasi ekonomi yang dilakukan melalui kegiatan Perdagangan merupakan penggerak utama dalam pembangunan perekonomian nasional yang dapat memberikan daya dukung dalam meningkatkan produksi dan
memeratakan pendapatan serta memperkuat daya saing produk dalam negeri (U.-U.
R. I. Nomor, 7 C.E.).
3. Bahwa peraturan perundang-undangan di bidang Perdagangan mengharuskan adanya harmonisasi ketentuan di bidang perdagangan dalam kerangka kesatuan ekonomi nasional guna menyikapi perkembangan situasi perdagangan era globalisasi pada masa kini dan masa depan yang akan berakibat pada fungsi hukum bisnis yang syariah yaitu mewujudkan konsep adil dan sesuai dalam praktik dan transaksi bisnis (Mardani, 2014).
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan mengatur sektor perdagangan secara menyeluruh yang meliputi perdagangan dalam negeri; perdagangan luar negeri; perdagangan perbatasan; standardisasi; perdagangan melalui sistem elektronik; perlindungan dan pengamanan perdagangan; pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil dan menengah; pengembangan ekspor; kerjasama perdagangan internasional; sistem informasi perdagangan; tugas dan wewenang pemerintah di bidang perdagangan; komite perdagangan nasional; pengawasan; penyidikan; dan jasa yang dapat diperdagangkan (Mardani, 2014).
Namun yang menjadi fokus pembahasan di sini adalah pada sektor pengendalian barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting yang terdapat pada pasal 29 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan yang berbunyi (U.-U. R. I. Nomor, 7 C.E.):
Pasal 29
Ayat (1) Pelaku Usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.
Ayat (2) Pelaku usaha dapat melakukan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu jika digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau sebagai persediaan barang untuk didistribusikan.
Ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2015 Tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
Jelas tersebut yang bahwa tidak boleh menimbun barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.
Oleh karena itu, dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan, yang sama-sama mengenai penjelasan barang kebutuhan pokok dan barang penting, Presiden pada tanggal 15 Juni 2015 lalu, telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 Tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting (Nurhayat, 2015).
Yang dimaksud barang kebutuhan pokok adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi, serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat. Sedangkan Barang Penting adalah barang yang strategis yang berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional. Pemerintah pusat menentukan jenis barang kebutuhan pokok dan barang penting, bunyi Pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 71 Tahun 2015 tersebut adalah:
Penetapan barang kebutuhan pokok dilakukan berdasarkan alokasi pengeluaran rumah tangga secara nasional untuk barang tersebut tinggi, sementara penetapan jenis barang penting dilakukan berdasarkan sifat strategis dalam pembangunan nasional (P. P.
Nomor, 71 C.E.).
Inilah jenis barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting sebagaimana yang tercantum dalam pasal 2 ayat (6) (P. P. Nomor, 71 C.E.):
1. Hasil pertanian: beras, kedelai bahan baku tahu dan tempe, cabe, dan bawang merah;
2. Hasil industri: gula, minyak goreng, dan tepung terigu;
3. Hasil peternakan dan perikanan: daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan ikan segar (bandeng, kembung, dan tongkol/tuna/cakalang);
4. Barang Penting:
a. Benih (padi, jagung, dan kedelai);
b. Pupuk;
c. Gas elpiji 3 (tiga) kilogram;
d. Triplek;
e. Semen;
f. Besi baja konstruksi; dan g. Baja ringan.
Dengan demikian, menjadi tugas dan kewajiban negara untuk mengimplementasikan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dalam struktur ekonomi nasional yang berdasarkan demokrasi ekonomi yang di dalam Perpres ini menyebutkan bahwa, pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengendalikan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau (Usman, 2004).
Untuk pengendalian ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang Penting sebagaimana dimaksud, pemerintah menetapkan harga acuan dan harga pembelian pemerintah pusat untuk sebagian atau seluruh barang kebutuhan pokok dan barang penting, bunyi Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015. Jadi, pemerintah sudah menetapkan harga acuan dan harga pembelian untuk sebagian atau seluruh barang kebutuhan pokok sehingga tidak menimbulkan kasus permainan harga.
Pada penjaminan pasokan Perpres Nomor 71 Tahun 2015 ini menegaskan, dalam kondisi tertentu (kondisi terjadinya gangguan pasokan dan/atau kondisi harga tertentu berada di atas/di bawah harga acauan) yang dapat mengganggu kegiatan perdagangan nasional, pemerintah pusat wajib menjamin pasokan dan stabilisasi harga
barang kebutuhan pokok dan barang penting. Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud, Menteri Perdagangan menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta pengelolaan ekspor impor, bunyi Pasal 5 ayat (2) Perpres tersebut adalah kondisi tertentu yang dapat mengganggu kegiatan perdagangan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan kondisi terjadinya gangguan pasokan dan/atau kondisi harga Barang Kebutuhan Pokok dan/atau Barang Penting tertentu berada diatas harga acuan atau dibawah harga acuan.
Penetapan kebijakan harga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (4), berbunyi:
Pasal 5 ayat (4)
Penetapan kebijakan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
a. Penetapan harga khusus menjelang, saat, dan setelah Hari Besar Keagamaan Nasional dan/atau pada saat terjadi gejolak harga;
b. Penetapan harga eceran tertinggi dalam rangka operasi pasar untuk sebagian atau seluruh barang kebutuhan pokok; dan
c. Penetapan harga subsidi untuk sebagian atau seluruh barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting.
Sedangkan pengelolaan ekspor dan impor, pada Pasal 5 ayat (6) Perpres berbunyi:
Pasal 5 ayat (6)
a. Memberikan persetujuan ekspor jika kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi dan tersedia alokasi cadangan stok paling sedikit untuk 6 (enam) bulan ke depan; dan b. Memberikan persetujuan impor jika terjadi kekurangan pasokan di dalam negeri
yang mengakibatkan gejolak harga.
Untuk menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta pengendalian ekspor dan impor sebagaimana dimaksud, Menteri Perdagangan dapat membentuk tim ketersediaan dan stabilisasi harga, bunyi Pasal 8 ayat (1) Perpres Nomor 71 Tahun 2015 yang berbunyi untuk menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta pengendalian ekspor dan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), Menteri dapat membentuk tim ketersediaan dan stabilisasi harga.
Perpres ini menegaskan, Pemerintah Daerah harus mengacu pada kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam hal mengatur langkah pemenuhan ketersediaan, stabilisasi harga, dan distribusi Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting seperti yang tercantung dalam Pasal 10 Perpres Nomor 71 Tahun 2015 yang berbunyi biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan pengendalian Ketersediaan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Selain itu Perpres juga menegaskan, dalam hal terjadi kelangkaan barang, gejolak harga dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dilarang disimpan di gudang dalam jumlah dan dalam waktu tertentu, kecuali barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting itu digunakan
sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau sebagai persediaan barang untuk didistribusikan (U.-U. R. I. Nomor, 7 C.E.).
Disebutkan di dalam Perpres Nomor 71 Tahun 2015 pasal 11 yaitu mengatur mengenai penyimpanan barang oleh pengusaha. Pertama, Apabila terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan hambatan lalu lintas perdagangan barang, pengusaha dilarang menyimpan kebutuhan pokok dan barang penting di dalam gudang dalam jumlah dan waktu tertentu bunyi Pasal 11 ayat (1) yaitu dalam hal terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, Barang Kebutuhan Pokok dan/atau Barang Penting dilarang disimpan di Gudang dalam jumlah dan waktu tertentu.
Kedua, pengusaha boleh menyimpan bahan pokok dan penting maksimal 3 bulan persediaan barang berjalan. Jadi, diperbolehkan menyimpan bahan pokok dan penting manakala dalam 3 bulan ke depan persediaan bahan pokok dan penting tidak sampai menimbulkan kelangkaan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan pada catatan rata- rata penjualan per bulan dalam kondisi normal, berdasar pada Pasal 11 ayat (2) yang berbunyi jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu jumlah diluar batas kewajaran yang melebihi stok atau persediaan barang berjalan, untuk memenuhi pasar dengan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, berdasarkan catatan rata-rata penjualan per bulan dalam kondisi normal.
Ketiga, ketentuan larangan penyimpanan pada pasal Pasal 11 ayat (3) dikecualikan terhadap barang kebutuhan pokok dan atau barang penting sepanjang digunakan sebagai bahan baku dan bahan penolong untuk proses produksi dan atau distribusi, yang berbunyi Pelaku Usaha dapat melakukan penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan/atau Barang Penting dalam jumlah dan waktu tertentu apabila digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau sebagai persediaan Barang untuk didistribusikan (P. P. Nomor, 71 C.E.).
Kesimpulan
Ikhtikar dalam hukum positif yaitu penimbunan barang. Penimbunan adalah kegiatan menimbun barang pada barang pokok dan barang penting pada jumlah dan waktu tertentu. Hukum penimbunan barang dalam hukum positif tidak boleh.
Penimbunan kebutuhan pokok dan barang penting di dalam gudang dalam jumlah dan waktu tertentu yang terjadi ketika terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan hambatan lalu lintas perdagangan barang.
BIBLIOGRAFI
Karim, H. A. A. (2001). Ekonomi Islam: suatu kajian temporer. Bandung: Gema Insani.
Mardani. (2014). Hukum Bisnis Syari’ah. Jakarta: Prenadamedia Group.
Mariana, & Murthaza, M. (2019). Etika Bisnis dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus pada Swalayan Kota Sigli). Tahqiqa, 13(1), 62–72.
Mariana, Nufiar, & Ali, M. (2020). Settlement of Problematic Loans in the Unit Pengelola Kegiatan (UPK) of Pidie District did Sharia. Journal of Sosial Science, 1(4), 147–151.
Nomor, P. P. (71 C.E.). Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
Nomor, U.-U. R. I. (7 C.E.). tahun 2014 tentang Perdagangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor, 45.
Nurhayat, W. (2015). Bahan Pokok Diawasi Ketat, Perdagang Maksimal Simpan Barang 3 Bulan. Detik News Finance.
Usman, R. (2004). Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Zuhaili, W. (2011). Al-Fiqhu Al Islami Wa Adhillatihi, Maktabah Syamilah. Gema Insani.